Stilistika Dan Kesetaraan Gender Dalam Lirik Lagu Batak Toba

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam menciptakan karya sastra, baik prosa, puisi, maupun drama,
seorang pengarang tentunya menggunakan bahasa sebagai mediumnya dan
selanjutnya si pengarang dapat terinspirasi dan menjadikan sumber ceritanya atau
karyanya dari kehidupan manusia dan lingkungan manusia itu sendiri yang
kemudian menuangkannya dalam ide yang mengandung nilai, pengertian serta
perasaan.
Salah satu catatan yang penting dalam perkembangan karya sastra adalah
melalui lirik lagu. Lirik lagu merupakan susunan dari bahasa dengan kandungan
gagasan dan ekspresi jiwa yang dikombinasikan dengan estetika dan irama dalam
pelantunannya. Lirik merupakan karya sastra yang mempunyai kesamaan unsur
dengan

puisi,

baik

itu


ciri-ciri

seperti

kepadatan

pemakaian

bahasa,

mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan yang merangsang
imaginasi panca indra, mengandung gagasan yang dikombinasi dengan estetika
dan irama (Ratna 2009:3). Dengan adanya beberapa kesamaan unsur antara puisi
dengan lirik lagu maka dalam perkembangan karya sastra terdapat pementasan
dengan menampilkan pembacaan puisi yang disebut dengan musikalisasi puisi.
Keistimewaan unsur dalam lirik lagu lebih berpengaruh karena didukung oleh
fungsi yang terkandung didalamnya. Lirik lagu senantiasa terkait dengan gagasan
yang ingin disampaikan oleh penuturnya untuk mempengaruhi objeknya.

Untuk menjadikan karya satra menjadi satu kesatuan yang dapat menarik

minat pembacanya atau pendengarnya tentunya si pengarang dituntut untuk
mampu memberi kesan atau menarik minat pembacanya misalnya dengan
menggunakan estetika bahasa sehingga dapat menyentuh perasaan pembaca atau
pendengar. Melalui karya sastra segala bentuk kehidupan dapat diungkapkan
dengan demikian pembaca atau pendengar dapat mengetahui dengan jelas
bagaimana gambaran kehidupan masyarakat tertentu dan periode tertentu, nilai
nilai kehidupan yang digambarkan melalui karya sastra itu dapat memberi
manfaat bagi pembaca atau pendengar baik itu nilai moral maupun nilai spiritual.
Salah satu dari fungsi karya sastra yaitu dapat memberi manfaat bagi pembaca
atau pendengar sehingga nilai utile dan dulce dapat terimplementasikan
Negara Indonesia yang terdiri dari beberapa provinsi dan kabupaten,
kecamatan bahkan kelurahan kaya sekali dengan adat dan budaya masing-masing.
Salah satu provinsi yang ada di wilayah Negara Republik Indonesia adalah
propinsi Sumatra Utara, ibukotanya adalah Medan, yangterdiri atas beberapa
etnis,yaitu Melayu, Batak, Nias. Akan tetapi Medan kerap kali diidentikkan
dengan etnis Batak.
Ada beberapa suku yang dinamakan dengan suku Batak, yaitu: Batak
Toba, Simalungun, Karo, Mandailing, Pakpak. Dari kelima masyarakat suku
Batak ini, suku Batak Toba yang paling dominan menciptakan dan menyanyikan
lagu, sehingga orang lain selalu berpikir kalau semua orang Batak itu pintar

menyanyi.
Masyarakat Batak Toba yang umumnya berdomisili di pinggiran Danau
Toba sekitarnya merupakan masyarakat yang suka bermigrasi untuk memperoleh

kehidupan yang lebih layak bahkan untuk memperoleh kemakmuran di
perantauan. Kesulitan untuk memperoleh lahan pertanian yang subur memicu dan
mendorong masyarakatnya, khususnya yang masih muda, pergi merantau keluar
dari desanya. Kehidupan dan kesenjangan sosial sering sekali menjadi sumber
inspirasi bagi pengarang lagu Batak Toba untuk menciptakan lagu. Pengungkapan
pandangan hidup, perjuangan hidupdan kenyataan hidup tersebut menjadi menarik
untuk dianalisis dan diproyeksikan secara ilmiah.
Akan tetapi penelitian yang representative homonologi realitas fiksi
(kenyataan hidup dalam sastra) dengan realitas faktual (kenyataan hidup dalam
kehidupan sehari-hari) dalam konteks beberapa lagu Batak Toba belum banyak
ditemukan dalam penerbitan (kebanyakan masih berupa cassette lagu dan compact
disk), hal ini menjadi suatu bukti bahwa penelitian terhadap lagu Batak Toba,
khususnya yang mengandung tentang stilistika, kesetaraan gender dan ideologi
merupakan beberapa topik yang penting dan menarik untuk diteliti.
Sebagai seorang perempuan Batak, Simalungun, peneliti kerap kali
diundang untuk menghadiri pesta, sukacita dan dukacita. Di pesta-pesta tersebut

sering sekali diperdengarkan lagu-lagu yang pada awalnya sangat asing di
pendengaran peneliti. Ada gaya bahasa yang khas, baik dalam cara penyampaian
yang mempunyai ciri khusus dan gaya bahasa yang menggunakan figuratif
bahasa. Hal ini sangat mendorong keingintahuan peneliti untuk meneliti dan
menjadikan sepuluh lagu Batak Toba menjadi sumber data peneliti.
Selanjutnya peneliti memperhatikan kalau dalam menciptakan lirik lagu
pengarang lagu Batak Toba sering sekali terinspirasi oleh keindahan Danau Toba,
kerinduan akan kampung halamandan yang lebih khusus adalah rasa syukur dan

kagum akan peran, tanggung jawab dan perjuangan seorang ibu terhadap anakanaknya. Ketika sang pengarang menuliskan lirik demi lirik ke dalam lagu
ciptaannya sang penulis acapkali menggunakan majas, pengulangan kata
“repitisi”,menggunakan

andung-andung “ratapan” dengan mengatakan

kata

Inang, da, uuu, “Ibu”, menggunakan diksi atau pilihan kata. Majas yang dimaksud
dalam hal ini berhubungan dengan gaya bahasa atau bahasa kiasan seperti
metafora, personifikasi, simili dan lain sebagainya, yang berfungsi untuk memberi

nilai estetika terhadap lirik lagu tersebut.
Selanjutnya sang pengarang juga acapkali menggunakan pengulangan kata
‘repetisi‘ dengan tujuan untuk menunjukkan kepada pendengar atau pembaca
kalau teks yang diulang adalah pesan yang penting untuk diketahui dan juga
memberi nilai estetika terhadap lagu tersebut.
Acapkali juga ditemukan pilihan kata ‘diksi’, yang tidak digunakan dalam
bahasa sehari-hari sehingga teks tersebut kedengarannya indah dan mengandung
seni atau kepuitisan bahasa yang mampu membawa akal pikiran pembaca atau
pendengar ke dalam suasana kata yang dipilih tersebut. Selanjutnya ada lagi ciri
lagu Batak Toba yang sangat kental yaitu dengan adanya ratapan ‘andungandung’ yang umumnya mengucapkan kata ibu ‘inang’, baik itu di dalam nada
lagu beat cepat maupun lambat.
Semua penggunaan komponen yang disebutkan di atas merupakan
beberapa unsur yang berhubungan dengan stilistika sastra karena stilistika pada
dasarnya adalah satu ilmu yang mempelajari tentang style. Style yang dimaksud di
dalam hal ini berhubungan dengan ciri, cara dan gaya bahasa atau majas.

Melalui kajian ini peneliti lebih memilih stilistika sastra bukan stilistika
bahasa walaupun keduanya tidak bisa dipisahkan. Pada awal tulisan ini peneliti
menyampaikan bahwa bahasa adalah medium, alat, yang digunakan untuk menulis
karya sastra. Akan tetapi harus dipahami bahwa gaya bahasa sebagai ilmu bahasa

terbatas sebagai analisis struktur, sebaliknya gaya bahasa dalam kaitannya dengan
puitika sastra adalah deskripsi kualitas estetika, melampaui struktur. Singkatnya
analisis puitika bahasa menjawab pertanyaan tentang ‘apa‘, sedangkan puitika
sastra menjawab pertanyaan tentang ‘bagaimana’ dan ‘mengapa‘ bentuk stilistika
digunakan. Itulah sebabnya menurut Wellek dan Warren (dalam Ratna 2009:150),
studi stilistika seharusnya menemukan 2 (dua) hal, seperti: a) Menemukan prinsip
prinsip totalitas karya, b) Menemukan tujuan estetis yang dapat menopang
keseluruhan unsur.
Dengan kata lain bahwa stilistika bukan semata-mata permainan kata-kata,
persamaan dan perbedaan bunyi, akan tetapi berhubungan dengan penekanan dan
penjelasan yang berhubungandengan aspek ekspresif, berhubungan dengan gaya,
yang dalam hal ini gaya bahasa yang mengandung nilai keindahan yang bisa
mengevokasi nilai nilai kemanusiaan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Fowler
(1970) bahwa stilistika adalah ciri, standar bahasa, cara ekspresi. Ini artinya
bahwa stilistika berkaitan dengan gaya yang berhubungan dengan seluruh aspek
kehidupan, yang dalam hal ini berhubungan dengan budaya Batak Toba yang
tercermin melalui sepuluh lirik lagu Batak Toba dan juga kesetaraan gender
melalui peran perempuan Batak Toba, maupun ideologi masyarakat Batak Toba,
hasangapon, hagabeon, hamoraon. Karya sastra, dalam konteks ini lirik lagu


Batak Toba, mengutamakan keindahan. Itulah sebabnya penyair, pengarang bebas
menggunakan bahasanya untuk menyampaikan perasaan atau emosinya.
Selain karya sastra yang mengandung stilistika sastra, pengarang lagu
Batak Toba juga menciptakan karya yang mengandung kerinduan dan rasa syukur
dan kagum akan peran, tanggung jawab dan perjuangan seorang ibu terhadap
anak-anaknya yang sering bahkan mengorbankan kebahagiaan dirinya sendiri
demi keberhasilan dan kebahagiaan si anak.
Peran, tanggung jawab dan perjuangan dengan mengandung, melahirkan,
membesarkan sang anak hingga memberikan pendidikan formal dan non-formal
sebaik mungkin dan setinggi mungkin, menasihati, mendoakan sehingga anaknya
diharapkan dapat diperhitungkan dalam berbagai aspek dan bentuk kehidupan
yang bermoral baik, beretika, bersikap sopan, berempati dan bersimpati pada
lingkungan sekitarnya.
Selain mengandung, melahirkan, membesarkan dan mendidik, menasihati
dan mendoakan sang anak, seorang perempuan yang dalam hal ini seorang ibu
harus juga bekerja di ranah domestik bahkan di ranah publik. Seorang laki-laki
yang dalam hal ini seorang bapak belum tentu mampu melakukan peran, tanggung
jawab dan perjuangan seperti ibu, apalagi sekaligus bekerja di ranah domestik dan
ranah publik sekaligus.
Peran, tanggung jawab dan perjuangan yang dilakukan perempuan Batak

Toba ini, seorang ibu, memberikan motivasi untuk menciptakan kemajuan bagi
keluarga, walaupun hal ini tidak semudah yang diucapkan karena tidak mudah
untuk meraihnya dan bahkan kerap kali banyak mendapat rintangan dan masalah
baik dari luar maupun dari dalam diri perempuan Batak Toba itu sendiri. Peran,

tanggung jawab dan perjuangan perempuan Batak Toba tersebut adalah
merupakan salah satu bentuk implementasi dari kesetaraan gender.
Istilah kesetaraan gender (KG) mempunyai makna yang berbeda-beda.
Beberapa penulis menggunakan istilah tersebut untuk menentang adanya
perbedaan

perlakuan

maupun

sikap

terhadap

perempuan,


sebahagian

menghubungkannya dengan satu ketidakadilan terhadap perempuan. Ada juga
yang memahaminya sebagai satu sikap mandiri dalam melakukan berbagai hal
maupun menentukan pilihan hidup bahwa dulu selalu dihegemoni dimana
perempuan hanya boleh melakukan dan memilih hal tertentu yang sudah
ditetapkan oleh keluarga, agama maupun adat istiadat.
Hal ini sesuai dengan pendapat Hubeis (2010:139) bahwa ketika seorang
perempuan beranjak dewasa, posisi menjadi seorang istri digariskan oleh akar
budaya dengan indikator utama adalah kesiapan dan kematangan biologis, seperti
mensturasi dan tumbuhnya buah dada. Kemudian indikator lainnya seperti
kemampuan melakukan pekerjaan domestik, seperti memasak, dengan asumsi
bahwa kepuasan suami berawal dari perut yang dapat distimulasi dengan
kemampuan istri untuk memuaskan selera makan suami. Karena itu tempat yang
cocok untuk perempuan adalah di rumah.
Hegemoni yang dilakukan dengan cara mensosialisasikan peran seperti
disebut di atas dari generasi ke generasi membentuk pola pikir dan pola peran
perempuan menjadi satu hal yang permanen yaitu dari peran mengasuh anak,
menyiapkan makanan, mencuci pakaian, membersihkan rumah, belanja dan lain

sebagainya, yang tidak punya jam kerja yang jelas bahkan tidak berbatas waktu.

Gender dalam konteks komunikasi menggambarkan hubungan sosial dan
personal antara laki-laki dan perempuan. Gender merupakan konstruksi sosial
budaya yang berhubungan dengan peran, kedudukan dan kebutuhan baik laki-laki
maupun perempuan. Fakih, Harding, Wood. (Hubeis, 2010:1).
Peneliti melalui teori kesetaraan gender ingin mendeskripsikan realitas
perbedaan atau kesenjangan peran maupun tanggung jawab antara laki laki dan
perempuan dalam berbagai dimensi dasar pemberdayaan baik itu melalui
partisipasi politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya maupun dalam
mengambil keputusan yang tergambar melalui beberapa lirik lagu Batak Toba.
Peneliti sering sekali mengamati dan merasakan adanya kesenjangan dan
diskriminasi perlakuan dan batasan peran antara perempuan dan laki-laki di
kalangan masyarakat yang menganut paham patriarki (khususnya dalam
masyarakat Batak Toba). Di dalam kehidupan sehari-hari perempuan selalu
dianggap tidak pantas dan tidak layak dalam melakukan aktifitas yang jauh dari
keluarga, apalagi pada malam hari; tidak etis untuk menyampaikan pendapat di
depan umum; tidak layak mendapatkan pendidikan tinggi (walau saat ini sudah
ada beberapa, tapi tidak sebanding dengan laki-laki) dengan alasan pada akhirnya
perempuan akan mengurus rumah tangga; tidak mampu dan tidak layak mencari

nafkah apalagi sampai meninggalkan rumah dengan alasan siapa yang mengurus
rumah dan anak anak. (Hubeis, 2010:101).
Selain daripada hal-hal yang disebutkan di atas peneliti melihat dan
mengamati bahwa perempuan tidak berhak dan tidak diberikan kesempatan untuk
menjadi pembicara dan penentu jalannya adat-istiadat (Raja Parhata, kalaupun

ada itu hanya segelintir saja). Suka tidak suka, kalau laki-laki sudah setuju maka
perempuan harus patuh; walaupun perempuan bekerja juga di ranah publik, akan
tetapi perempuan tidak bisa lepas tangan dalam ranah domestik yaitu dengan
mengerjakan semua urusan rumahtangga maupun mengurus anak. Bahkan ada
satu pengadilan tersembunyi, “Kalau anak-anak dari satu keluarga berhasil,maka
mereka disebut anak bapaknya, sebaliknya bila anak- anak tidak berhasil disebut
anak ibunya”.
Namun demikian, dalam realitas faktual, peneliti banyak sekali melihat
dan mengamati fakta di tengah tengah masyarakat, khususnya di komunitas Batak
Toba, yang mencari nafkah untuk kelangsungan hidup dan kehidupan satu rumah
tangga adalah perempuan; yang paling banyak menghadiri acara adat atau
kegiatan keagamaan (ibadah) adalah perempuan; yang paling banyak berperan
memajukan pendidikan anak-anak adalah perempuan (dalam hal ini seorang ibu);
tempat anak-anak mencurahkan isihati adalah perempuan (seorang ibu), dan
masih banyak lagi peran, tanggung jawab dan pengorbanan perempuan Batak
Toba yang memacu keberlangsungan dan keberhasilan dalam satu keluarga.
Disamping hal-hal yang sudah disebutkan di atas, peneliti juga tertarik
untuk mendeskripsikan kesetaraan gender melalui ideologi komunitas masyarakat
Batak Toba ‘hamoraon, hasangapon, hagabeon, yang sekaligus

menjadi

implementasi dari peran, tanggung jawab dan perjuangan perempuan Batak Toba,
yang dapat dilihat melalui beberapa lagu Batak Toba.

Peran, tanggung jawab dan perjuangan perempuan Batak Toba tersebut
diatas memotivasi peneliti untuk menolak pendapat beberapa filsuf yang
memarginalkan eksistensi perempuan. Menolak yang dimaksud dalam hal ini
adalah tidak sepakat dengan beberapa konstruksi pendapat beberapa filsuf dengan
tujuan untuk mengubah image perempuan , khususnya permpuan Batak Toba,
dari perempuan yang dimarginalkan menjadi perempuan yang setara dengan lakilaki dalam berbagai bidang, politik, sosial, budaya, ekonomi, khususnya dalam hal
ini yang berhubungan dengan peran. Penolakan peneliti dilakukan berdasarkan
atas peran perempuan yang tergambar melalui sepuluh lagu Batak Toba yang
menjadi sumber data.
Ada beberapa filsuf yang menyampaikan konstruksi teks pendapat yang
mendiskreditkan dan memarginalkan kaum perempuan, khususnya perempuan
Batak Toba dalam konteks ini, seperti Simon DeBeauvoir yang disampaikam oleh
Lubis dalam bukunya Dekonstruksi Epistemologi Modern 2006, “Laki laki aktif
sedangkan perempuan pasif, laki laki rasional sedangkan perempuan emosional”.
Perempuan lalu disimbolkan sebagai manusia yang tidak menggunakan akal
pikiran atau dari sisi non-rasional dari tingkah laku manusia, sehingga perempuan
tidak perlu punya akses ke dunia pendidikan dan cukup sebagai mesin produksi
anak saja; Descartes mengatakan “Perempuan bukan makhluk rasional serta
lemah dalam ilmu pengetahuan”; Thomas Aquinas dalam Summa Theologia
mengatakan ”Perempuan bukan ciptaan pertama karena itu perempuan lebih baik
berada dalam dunia privat”; Francis Bacon mengatakan “Perempuan memiliki
ciri/sifat buruk, menghalangi kesuksesan laki laki serta tidak layak menduduki
jabatan publik”.

Dengan demikian penelitian ini akan merupakan bagian dari usaha untuk
memajukan sastra maupun budaya, yang akan menghasilkan kajian tentang
stilistika melalui ciri, cara dan majas dalam lirik lagu Batak Toba, kesetaraan
gender melalui peran, tanggung jawab dan perjuangan perempuan Batak Toba,
yang selanjutnya dihubungkan dengan ideologi masyarakat Batak Toba yang
digambarkan melalui beberapa lirik lagu Batak Toba.

1.2 Pembatasan Masalah
Untuk membatasi masalah dalam kajian ini, peneliti hanya memfokuskan
kajiannya pada stilistika dalam lirik lagu Batak Toba yang berkaitan dengan ciri,
cara dan gaya atau majas; kesetaraan gender melalui aplikasi peran,tanggung
jawab dan perjuangan perempuan Batak Toba, melalui ideologi masyarakat Batak
Toba; melalui framing semiotika sosial saja.

1.3 Rumusan Masalah Penelitian
Untuk lebih memudahkan penelitian kedepannya, peneliti mencoba
membuat beberapa rumusan permasalahan, sebagai berikut:
1. Bagaimanakah stilistika diaplikasikan di dalam beberapa lirik lagu-lagu
Batak Toba?
2. Bagaimanakah kesetaraan gender diimplementasikan dalam beberapa lirik
lagu Batak Toba?
3. Bagaimanakah kesetaraan gender diimplementasikan dalam ideologi
masyarakat Batak Toba melalui beberapa lirik lagu Batak Toba?

4. Bagaimanakah peran, tanggung jawab dan perjuangan perempuan Batak
Toba menolak beberapa konstruksi pendapat beberapa filsuf melalui
sepuluh lirik lagu Batak Toba?

1.4 Tujuan Penelitian
1. Menemukan stilistika berdasarkan style yaitu melalui ciri, cara dan gaya
bahasa dalam sepuluh lirik lagu Batak Toba kemudian mendeskripsikan
menginterpretasikan dan menganalisis.
2. Menemukan kesetaraangender melalui peran, tanggung jawab dan
perjuangan perempuan Batak Toba dalam sepuluh lirik lagu Batak Toba,
kemudian

mendeskripsikan

menginterpretasikan

dan

menganalisis

berdasarkan peran, tanggung jawab dan perjuangan perempuan Batak
Toba yang tergambar dalam beberapa lagu Batak Toba.
3. Menemukan kesetaraan gender melalui ideologi masyarakat Batak Toba,
hasangapon, hamoraon, hagabeon, dalam sepuluh lirik lagu Batak Toba,
kemudian mendeskripsikan menginterpretasi dan menganalisis.
4. Menemukan bentuk peran, tanggung jawab dan perjuangan perempuan
Batak Toba untuk menolak konstruksi pendapat para filsuf smelalui lirik
lagu

Batak

Toba,

menginterpretasikan.

kemudian

mendeskripsikan,

menganalisis

dan

1.5 Manfaat Penelitian
Kajian penelitian ini dilakukan untuk memberi kebermanfaatan secara
ilmiah untuk menyampaikan bahwa lirik lagu dapat dikaji dari berbagai dimensi
kajian teori, seperti: stilistika, kesetaraan gender dan juga ideologi.Sehingga para
pembaca, pendengar dan pengamat lagu boleh semakin mendapat pencerahan dan
pengetahuan dalam memahami kandungan lirik lagu.
1.5.1 Manfaat Teoritis
Setiap penelitian itu diharapkan dapat memberi manfaat bagi banyak
orang, dan lagu lagu AHDHDA, MP, INL, PNDI, IM, MMI, TNDI, DHBI,
HNDI, AH dapat memberi manfaat teoritis sebagai berikut:
1. Harapan peneliti, penelitian ini dapat memperkaya khasanah penerapan
teori stilistika, kesetaraan gender yang juga berkaitan dengan ideologi
masyarakat Batak Toba, semiotika sosial, dalam mencari kekuatan karya
sastra, khususnya lirik lagu.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
peminat sastra dan budaya sehingga dapat meningkatkan mutu
pengapresiasian sastra, khususnya melalui lirik lagu.
3. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya.
1.5.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
pengarang pengarang lainnya dan kehidupan manusia secara umum, agar dapat,
mau dan mampu:
1. Melatih diri secara berkelanjutan untuk menciptakan karya yang unggul.

2. Mengetahui ciri-ciri keunggulan sebuah karya sastra atau teks sastra.
3. Meningkatkan apresiasi terhadap karya anak bangsa Indonesia, khususnya
karya masyarakat Batak Toba.
4. Memotivasi penulis agar kreatif untuk mengeksplorasi ide-ide yang dapat
menambah wawasan berpikir, bersikap dan berekspresi.
5. Memotivasi penulis agar mau dan mampu menciptakan karya seni yang
bisa memberi satu manfaat hiburan mengingat saat ini manusia banyak
mengalami beban stress yang tinggi, khususnya diakibatkan beban kerja
yang berat. Salah satu wadah untuk menghibur diri di karaoke dengan
menyanyikan lagu-lagu yang disukai.
6. Sejalan dengan hal disebut di atas, industri musik juga harus mampu
berkolaborasi dengan produser dan pencipta lagu, penyanyi, sehingga
dapat menghasilkan karya yang luar biasa.