Efektifitas pelatihan SAT (self regulation, assertiveness and time management) untuk meningkatkan kedisiplinan remaja di SMA

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Kedisiplinan
A. 1. Pengertian Kedisiplinan
Menurut Hurlock (2000) kedisiplinan berasal dari disciple yang berarti
bahwa seseorang belajar secara sukarela mengikuti seorang pemimpin. Kamus
besar Bahasa Indonesia (1990) menyatakan bahwa disiplin adalah tata Tertib (di
sekolah, di kantor, kemiliteran, dan sebagainya), ketaatan (kepatuhan pada
peraturan dan tata tertib, dan sebagainya, bidang studi yang memiliki objek dan
sistem tertentu.
Secara teoritis Blandford (2005) mendefinisikan disiplin sebagai sebuah
sistem yang mampu mengatur dan menentukan batasan sikap dan perilaku semua
pihak yang terlibat. Hal ini sejalan dengan apa yang telah disampaikan oleh
Ferrari (1995) bahwa kedisiplinan adalah kemampuan melaksanakan pekerjaan
dan tugas dengan baik dan tepat waktu.
Selanjutnya Christine & Mark (2007) mendefinisikan disiplin sebagai
kemampuan pikiran dan sikap untuk menghasilkan pengendalian diri dan
kebiasaan-kebiasaan untuk menaati peraturan yang berlaku. Rogers (2011)
mengatakan bahwa kedisiplinan merupakan suatu sikap, tingkahlaku dan
perbuatan yang dilakukan untuk memenuhi tuntutan lingkungan sebagai

kesadaran individu untuk meningkatkan kualitas diri dan lembaga pendidikan.

11

Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa kedisiplinan
adalah perilaku seseorang dalam menjalankan aturan yang telah ditetapkan dengan
kemampuan mengontrol, memotivasi dan pengaturan waktu.
A. 2. Indikator-indikator Kedisiplinan
Menurut Blandford (2005) indikator-indikator kedisiplinan sekolah
sebagai berikut ;
1. Kepatuhan menjalankan aturan belajar.
2. Perilaku disiplin berdasarkan ketentuan sekolah.
Berdasarkan pendapat Blanford (2005) maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa indikator kedisiplinan sekolah adalah kepatuhan menjalankan aturan
belajar dan menjalankan aturan yang ditentukan oleh sekolah.
A. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kedisiplinan
Ferrari (2001) mengatakan bahwa perilaku indisipliner disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu:
1. Lemahnya kemampuan memotivasi diri (self regulation) yang disebabkan
adanya beban pikiran (Cognitive load).

2. Reinforcer yang diterima individu ketika melakukan perilaku indisipliner
bersifat menyenangkan sehingga muncul keinginan untuk mengulangi
perilaku tersebut.
3. Time Management yang buruk menyebabkan individu tidak mampu
menentukan kapan dirinya harus bertindak dan melakukan tanggung
jawabnya sesuai dengan waktu yang ditentukan.

12

B. Pelatihan Self Regulation, Assertiveness & Time Management (SAT)
Ferrari (1995) mengembangkan pelatihan SAT berdasarkan penelitiannya
tentang procartination yang menyebabkan munculnya perilaku ketidakdisiplinan.
Ia mendefinisikan SAT (self regulation, assertiveness & time management
training) sebagai program yang dirancang untuk meningkatkan kemampuan diri
dalam melakukan perilaku tertentu secara terstruktur dengan pengaturan,
motivasi, pengendalian dan penggunaan waktu secara efisien dengan memberikan
pelatihan self regulation, assertiveness dan time management.
Johnson dan Johnson (2001) mengatakan bahwa pelatihan adalah proses
belajar dengan tujuan experimental learning, dapat mempengaruhi peserta dalam
tiga cara, yaitu mengubah struktur kognitif, memodifikasi sikap dan menambah

ketrampilan berperilaku individu.
Berikut penjelasan mengenai pelatihan SAT (self regulation, assertiveness
and tima management) yang dikutip dari Ermida dan Apsari (2008) yang
melakukan penelitian pada siswa SMA untuk menurunkan prokastinasi akademik.

B. 1. Self Regulation Training
Ferrari (2001) mengatakan bahwa pada diri seseorang akan muncul self
regulation yang dipengaruhi oleh beban pikirannya (Cognitive load). Beban
pikiran ini akan menentukan perasaan dan tindakan yang dilakukannya. Schunk
& Zimmerman (1989) mengungkapkan ada dua pengaruh utama yang
mempengaruhi berkembangnya Self Regulation Learning, yaitu pengaruh sosial
dan pengaruh diri sendiri. Self Regulation Learning memiliki empat tingkatan

13

perkembangan yaitu tingkat pengamatan, peniruan, kontrol diri, dan regulasi diri.
Berikut ini tabel perkembangan Self Regulation Learning.
Tabel 2. Perkembangan Self Regulation Learning
Level Perkembangan
1. Pengamatan

(Observasional)
2. Peniruan (Emulative

3.
4.

Pengaruh Sosial
Modelling, Instruksi verbal,
Umpan Balik dari
Lingkungan, Adanya
Pengawasan, Peer Teaching,
Cooperative Learning

Pengaruh Diri Sendiri

Standart dari diri sendiri, self
reinforcement, Proses Self
Regulatory, Self Efficacy.

Kontrol Diri (Self

Controlled)
Pengaturan Diri (Self
Regulated)

Tabel 2 menjelaskan bahwa perkembangan self regulation dimulai pada level
pengamatan dan peniruan, dipengaruhi oleh lingkungan sosial baik dari guru,
orangtua, pertemanan maupun proses pembelajaran kooperatif. Selanjutnya
berkembang kontrol diri (self control) dan pengaturan diri (self regulated) yang
dipengaruhi oleh standard dan kemampuan diri sendiri.

Ferrari (1995) mengembangkan self regulation training sebagai pelatihan
untuk meningkatkan kemampuan pengaturan diri dalam menjalankan kegiatan
yang dibutuhkan. Schunk & Zimmerman (1989) mengemukakan mengenai 10
strategi untuk mengembangkan Self Regulation sebagai berikut :

a. Self Evaluating, yaitu individu menilai kualitas tugas dan kemampuan
dirinya untuk menentukan hal-hal apa saja yang telah diperoleh
menggunakan standar dan tujuan yang dimilikinya.
b. Organizing & Transforming, yaitu mengoganisasikan materi untuk
meningkatkan efektifitas pembelajaran, disusun lebih sederhana dan mudah dipahami


14

c. Goal Setting and Planning, yaitu menyusun tujuan pembelajaran dan
perencanaan belajar.

Tahap ini membantu peserta untuk menyusun

strategi dalam belajar dan fokus pada tujuan pelatihan.
d. Seeking Information, yaitu mencari informasi sebanyak mungkin untuk
mendukung proses belajar.
e. Pointed, yaitu mencatat hal-hal penting dalam proses belajar.
f. Environmental Structuring, yaitu mengatur aspek lingkungan fisik yang
mendukung peningkatan tujuan belajar.
g. Self Consequences, yaitu memahami akibat jika memperoleh keberhasilan
atau kegagalan.
h. Rehearsing

and


Memorizing,

yaitu

mengulang

dan

mengingat

pembelajaran yang telah dilakukan.
i. Seek Social Assistance, yaitu mencari bantuan jika mengalami kesulitan
dalam belajar baik kepada guru, teman atau sumber terpercaya.
j. Review Record, yaitu mereviu dan meninjau kembali catatan, tugas
sebelumnya.

B. 2. Assertive Training
Menurut kamus bahasa Indonesia assertiveness berasal dari kata
“assertion” yang memiliki arti menyatakan, menegaskan, menuntut atau titik
tengah antara perilaku nonasertif dan agresif. Asumsi dasar yang melandasi

pengertian assertive adalah setiap orang mempunyai hak (tetapi bukan kewajiban)
untuk mengungkapkan perasaannya, pendapat yang diyakini serta sikap seperti
apa yang diinginkan atau tidak (Corey, 2007).

15

Williams (2001) menjelaskan bahwa assertif adalah perilaku yang
merefleksikan rasa percaya diri dan menghormati diri sendiri dan orang lain
melalui kemampuan mengungkapkan perasaan dengan perkataan, pemikiran dan
tingkah laku. Alberti & Emmons (2002) menjelaskan bahwa assertif adalah
perilaku yang memungkinkan remaja untuk bertindak atas dasar keinginan sendiri
tanpa ada rasa cemas yang berlebihan, dapat mengekspresikan perasaan dengan
wajar dan mendapatkan hak-haknya tanpa merugikan orang lain.
Ferrari (1995) mengembangkan assertiveness training, pelatihan yang
dirancang untuk meningkatkan kemampuan menyatakan pendapat, pikiran, ide
dan perasaan seseorang kepada orang lain secara benar. Lebih lanjut Ferrari
(1995) menjelaskan bahwa Assertive training adalah suatu teknik untuk
membantu peserta untuk dapat menyatakan pikiran dan perasaannya untuk
menumbuhkan kemampuan bersikap pada seseorang. Assertiveness training juga
mengajarkan bagaimana menempatkan sikap agar hak-hak pribadinya dan orang

lain tidak dirugikan, mengurangi hambatan kognitif dan afektif yang menghambat
aktualisasi sikap asertif dengan metode praktikal.
B. 3. Time Management Training
Rahmat (2013) mengatakan bahwa manajemen waktu adalah aturan
menggunakan waktu sesuai dengan kebutuhan untuk memenuhi tuntutan kegiatan
yang harus dilakukan. Ada beberapa cara untuk meningkatkan kemampuan
mengatur waktu agar efektif, yaitu kejelasan tujuan atau hasil, alokasi waktu yang
cukup dan fokus pada kegiatan yang ingin dilakukan.

16

Selanjutnya Maccini (2003) mengatakan manajemen waktu merupakan
perencanaan, pengorganisasian, penggerak dan pengawasan produktivitas waktu
untuk digunakan sesuai dengan kebutuhan kegiatan yang direncanakan Maccini
(2003) menjelaskan bahwa time management training dilakukan dengan beberapa
tahap yaitu: mengecek kembali bagaimana penggunaanwaktu yang telah
dilakukan sebelumnya, menentukan kegiatan utama apasaja yang membutuhkan
penggunaan waktu, menyusun jadwal kegiatan, menentukan kelebihan dan
kekurangan yang dimiliki.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan

SAT adalah suatu pelatihan yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan
pengaturan diri, penentuan sikap, dan penggunaan waktu secara tepat dan efisien
yang dilakukan secara sadar dan mandiri untuk mencapai tujuan tertentu.

C. Remaja
C. 1. Definisi Remaja
Remaja berasal dari kata adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh
menjadi dewasa. Istilah adolensence ini memiliki arti yang lebih luas lagi yang
mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1990).
Santrock (2001) mengartikan remaja sebagai masa transisi antara masa anak dan
masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional.
Hurlock (1990) membagi batasan usia remaja antara 12-24 tahun.
Penjelasan tentang usia remaja ini dikaitkan dengan ciri-ciri sebagai berikut: anak tidak
suka diperlakukan seperti anak kecil lagi, anak mulai bersikap kritis, mulai cemas

17

dan bingung tentang perubahan fisiknya, memperhatikan penampilan, sikapnya tidak
menentu, suka berkelompok dengan teman sebaya dan senasib.
C. 2. Perkembangan Remaja

Masa remaja merupakan masa peralihan yang ditandai dengan perubahanperubahan pada individu baik secara psikologis, fisiologis, seksual, kognitif dan
adanya berbagai tuntutan dari lingkungan agar mereka menjadi dewasa dan
mandiri. Perkembangan kepribadian yang penting pada masa remaja pencarian
identitas diri (Papalia & Olds, 2001). Perkembangan sosial pada masa remaja
lebih melibatkan peran kelompok teman sebaya yang cukup besar. Remaja lebih
banyak menghabiskan waktu untuk melakukan kegiatan disekolah, ekstrakurikuler
dan bermain dengan teman (Papalia & Olds, 2001). Rice (1990) juga menjelaskan
bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku remaja adalah teman
sebaya. Pengaruh ini berkaitan dengan gaya hidup dan motivasi belajar.
Kelompok teman sebaya akan mengikat kegiatan dan aktivitas secara bersamasama.
Conger (1991) mengatakan bahwa pada diri remaja, pengaruh lingkungan
dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Walaupun perkembangan kognitif
memadai untuk menentukan tindakan sendiri, namun perilaku yang dilakukan
banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya. Kelompok teman
sebaya merupakan sumber utama bagi remaja untuk menentukan gaya hidup.
Remaja akan mencari informasi bagaimana cara berpakaian yang menarik, musik
atau film yang bagus.

18

C.3. Perkembangan Moral Remaja
Kohlberg (1996) mendeskripsikan penalaran moral remaja berada pada
level moralitas konvensional. Pada level ini seseorang diharapkan mampu
menginternalisasikan standar figur otoritas seperti guru dan orangtua. Selain itu
kepedulian tentang menjadi “baik”, memuaskan orang lain, dan mempertahankan
tatanan sosial menjadi tujuan dalam berperilaku. Secara umum remaja diharapkan
mampu membantu orang lain dan mengembangkan idenya sendiri tentang apa
yang dimaksud dengan orang yang baik.
Pada tahap pembentukan moralitas, remaja terkadang melakukan
pelanggaran-pelanggaran terutama dalam hal kedisiplinan. Hal itu wajar terjadi
karena kesadaran akan pentingnya moralitas belum terbentuk secara matang dan
masih mengalami perkembangan kearah kedewasaan. Namun, pelanggaranpelanggaran tersebut tidak serta merta hilang dengan sendirinya tanpa pengarahan
nilai moral pada pelaku pelanggaran kedisiplinan (Hurlock, 2004).
C.4. Kedisiplinan Remaja
Bagi Remaja, tanggung jawab dalam melaksanakan tugas belajar
dipengaruhi oleh minat mereka yang mulai terbentuk pada usia 11 tahun
(Santrock, 2003). Tanggung jawab dalam melaksanakan tugas belajar ini
mempengaruhi kedisiplinan disekolah seorang remaja. Kedisiplinan sekolah
tumbuh melalui kebiasaan berperilaku disiplin melalui proses belajar (learning by
doing) pada diri seseorang Hal ini di sebabkan kedisiplinan merupakan sikap dan
perilaku yang terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan seseorang terhadap lingkungan,

19

baik lingkungan keluarga, sekolah (pendidikan formal) dan masyarakat (Hurlock,
2004).
Remaja akan belajar berdisiplin dari pengasuhan yang diberikan orangtua
dan keluarga, selanjutnya lingkungan yang lebih luas lagi seperti lembaga
pendidikan akan mengembangkan perilaku tersebut. Lembaga pendidikan
membutuhkan metode yang efektif dan konsisten untruk membentuk kedisiplinan
disekolah. Kedisiplinan sekolah pada remaja dibentuk dengan menggambarkan
bagaimana perilaku disiplin yang diinginkan, memetakan kedisiplinan apa saja
yang diharapkan hingga mengarahkan perilaku disiplin secara aplikatif (Rogers,
2011).
D. Pelatihan SAT untuk Meningkatkan Kedisiplinan Remaja di SMA.
Blanford (2005) mengatakan bahwa sikap dan perilaku pelajar yang
melakukan pelanggaran sekolah disebabkan ketidakmampuan para pelajar
mengontrol, memotivasi, menentukan, mengungkapkan dan menyusun strategi
dalam menjalani tugas pendidikan. Sementara itu Ferrari (1996) menjelaskan
bahwa perilaku indisipliner yang dilakukan remaja ini disebabkan kurangnya
kemampuan memotivasi diri sendiri, kurangnya kemampuan menyelesaikan
masalah disebabkan adanya beban pikiran (cognitive load), reinforcer yang tidak
sesuai, pengaruh teman sebaya dan ketidakmampuan mengatur waktu.
Pelanggaran perilaku ini dapat diatasi dengan memberikan pelatihan SAT (self
regulation, assertiveness & time management training). Penelitian sebelumnya
menggunakan

pelatihan

SAT

(self

regulation,

assertiveness

and

time

management) pernah dilakukan oleh Ernida dan Apsari (2008) untuk menurunkan

20

perilaku procastination (penundaan) pada siswa SMA. Hasilnya perilaku
procastination (menunda) menurun dan meningkatkan kualitas belajar siswa.
Pelatihan SAT ini diberikan dalam tiga materi pelatihan yaitu self
regulation training, assertiveness training dan time management training. Self
regulation training diberikan dalam tiga rangkaian yaitu pertama tahap persiapan
(goal setting and planning) yang bertujuan untuk memberikan pemahaman
tentang tujuan pelatihan. Tahap kedua pengenalan diri dan pemanfaatan potensi
diri (self evaluating, seeking information and pointed). Tahap ketiga pemahaman
tentang aturan sekolah dan cara pelaksanaan aturan sekolah (environment
structuring, rehearsing & memorizing, dan seek social assistance. Selanjutnya
materi assertiveness training juga diberikan dengan tiga tahap yaitu penguatan
sikap (self statemant), kegagalan masa lalu menjadi motivasi untuk lebih
berprestasi (self motivation) dan pemanfaatan pengaruh lingkungan untuk
mendukung peningkatan perilaku disiplin (peer group). Berikutnya materi time
management training yang diberikan dalam dua tahap yaitu tahap pertama
pengenalan waktu (timing) dan tahap kedua pengaturan waktu dengan menyusun
jadwal kegiatan harian (time management)
Pelatihan SAT (self regulation, assertiveness & time management
training) diharapkan dapat meningkatkan perilaku kedisiplinan remaja. Target
perilaku yang ingin dicapai adalah sebagai berikut: Materi self regulation
diharapkan mampu meningkatkan kesiapan mengerjakan tugas, bersikap sopan
santun, kehadiran sesuai jadwal, jujur dan memiliki semangat belajar. Selanjutnya
materi

assertiveness

diharapkan

mampu

21

meningkatkan

kemampuan

mengungkapkan ide dan pendapat, mampu mengatakan “yes or no” saat diajak
teman bermain, saling menghargai teman sebaya dan bersikap baik kepada orang
lain. Materi time management diharapkan

mampu meningkatkan kehadiran,

pulang sekolah sesuai jadwal, siap tugas belajar sesuai waktu yang ditentukan dan
selalu hadir disekolah. Beriku ini kerangka teoritis SAT:

Gambar.1. Kerangka Teoritis Pelatihan SAT
-

Perilaku indisipliner Remaja di SMA

-

-

-

Terlambat Hadir
Bolos/ cabut pada jam
belajar
Tidak siap tugas belajar
Perilaku
membangkang/tidak jujur
Perilaku mencuri
Malas belajar

Kurangnya kemampuan Self
Regulasi , adanya Cognitive load
(beban pikiran) yang
mempengaruhi munculnya
permasalahan perilaku
Reinforcer yang tidak tepat
Pengaruh lingkungan-teman
sebaya
Ketidakmampuan mengatur waktu

Pelatihan SAT
Self Regulation,
Assertiveness & Time
Management

Self reg.training
-Goal setting&planing

Assertivenes

-self evaluating

-self statement

Time
Management

-seeking inform & pointed

-self motivation

-environment structuring

-Timing &-Time
management

-Memilih teman yang
tepat

Self Regulation
bertujuan membentuk
kemampuan
mengontrol,
memotivasi dan
mengendalikan diri

Assertive training bertujuan membentuk
kemampuan mengungkapkan ide, gagasan
dan pendapat saat pembelajaran dan mampu
memilih teman yang tepat dan mampu
mengataka yes or no pada te a sebaya
secara assertive.

22

Perilaku Disiplin Meningkat

TM bertujuan
membentuk
kemampuan
memanfaatkan waktu
dengan tepat

E. Hipotesa
Hipotesa penelitian ini adalah sebagai berikut:
Ho : Pelatihan SAT tidak efektif meningkatkan kedisiplinan remaja SMA.
Ha : Pelatihan SAT efektif meningkatkan kedisiplinan remaja SMA.

23