Peran Suami Terhadap Istri Yang Mengalami Abortus Di Rsud Rantau Prapat Kabupaten Labuhanbatu Tahun 2015

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Masalah kematian dan kesakitan ibu di Indonesia masih merupakan masalah
besar. Berdasarkan data UNICEF, WHO, UNFPA dan Bank Dunia tren angka
kematian ibu dari tahun 1990 sampai 2010 menunjukkan bahwa setiap hari sekitar
800 perempuan meninggal dunia karena komplikasi yang berhubungan dengan
kehamilan dan persalinan. Rasio kematian ibu (MMR) di Afrika berkisar 500
kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup dan Asia Selatan berkisar 220 kematian
ibu per 100.000 kelahiran hidup. Secara global, Afrika dan Asia Selatan
menyumbang 85% dari kematian ibu sedangkan negara-negara berkembang lainnya
sebesar 99% dari kematian. Penurunan persentase tahunan rata-rata MMR global
sebesar 3,1% dan lebih rendah dari target MDGs sebesar 5,5% (Childinfo, 2013).
Rasio kematian ibu merupakan salah satu indikator Millenneum Developmet
Goals (MDG’s) yang harus dicapai tahun 2015 yaitu 102 per 100.000 kelahiran
hidup, maka AKI saat ini masih belum memenuhi target atau perlu diturunkan lagi
(Kemenkes RI, 2013). Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2012, angka kematian ibu (yang berkaitan dengan kehamilan,
persalinan, dan nifas) sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini
masih cukup tinggi apalagi dibandingkan dengan SDK 2007. Padahal ditahun

2011 Program Jaminan Persalinan diluncurkan oleh Pemerintah sebagai usaha untuk

1

2

menurunkan angka kematian ibu di Indonesia dan untuk mencapai target MGDs
tahun 2015 (Kemenkes RI, 2013).
Data dari Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara tahun 2013, AKI
maternal sebesar 268 per 100.000 kelahiran hidup. Hasil Sensus Penduduk 2010, AKI
di Sumatera Utara sebesar 328 per 100.000 kelahiran hidup, angka ini masih cukup
tinggi bila dibandingkan dengan angka nasional hasil SP 2010 sebesar 259 per
100.000 kelahiran hidup (Dinkes Pemprovsu, 2014).
Kehamilan merupakan suatu peristiwa yang sangat membahagiakan bagi
setiap pasangan suami dan istri, karena dengan kehamilan menandakan akan
bertambahnya anggota keluarga, namun hal-hal yang tidak terduga dapat terjadi pada
awal kehamilan (mester pertama), seperti berakhirnya kehamilan yang dikenal
dengan abortus. Abortus (keguguran) adalah kegagalan kehamilan sebelum umur
kehamilan 28 minggu atau berat janin kurang dari 1000 gram (Manuaba, 2008).
Penyebab langsung kematian ibu adalah perdarahan (30%), eklamsia (25%),

partus lama (5%), komplikasi aborsi (8%), dan infeksi (12%). Resiko kematian
meningkat bila ibu menderita anemia, kekurangan energi kronik dan penyakit
menular. Kematian ibu karena hamil dan melahirkan juga merupakan akibat dari
adanya ”empat terlalu” yaitu terlalu muda (usia kurang dari 20 tahun), terlalu tua
(usia lebih dari 35 tahun), terlalu banyak/sering hamil dan melahirkan (jumlah anak
lebih dari 4 orang), serta terlalu dekat/rapat jarak antar kelahiran dimana jarak antar
kehamilan kurang dari 2 tahun (Kemenkes RI, 2013).

3

Abortus sulit di tentukan karena kadang-kadang seorang wanita dapat
mengalami abortus tanpa mengetahui bahwa ia hamil dan tidak mempunyai gejala
yang hebat sehingga hanya dianggap sebagai menstruasi yang terlambat (siklus
memanjang). Beberapa kepustakaan menyebutkan adanya resiko abortus seperti yang
dilaporkan oleh rumah sakit sebagai rasio dari jumlah abortus terhadap jumlah
kelahiran hidup (Krisnadi, 2005). Kehamilan diketahui secara klinis sebanyak 15% 25%, diantara kehamilan ini mengalami komplikasi perdarahan pada trimester
pertama, 50% mengalami abortus (Handono, 2009).
Di Indonesia gejala-gejala yang terkait dengan aborsi, jumlahnya meningkat
secara signifikan berdasarkan data Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi (POGI).
Menurut Handono (2009) saat ini setidaknya terdapat dua juta aborsi setiap tahun

dimana 700.000 diantaranya adalah pengguguran yang disengaja (induksi). selain
aborsi spontan banyak aborsi yang dilakukan dengan cara tak aman, terutam terhadap
kasus-kasus kehamilan diluar nikah dan akibatnya rendahnya pengetahuan
masyarakat terhadap resiko aborsi.
Abortus dapat mengancam nyawa istri, penyebab kematian karena abortus
dapat dibedakan menjadi penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab
langsung bisa diakibatkan karena komplikasi abortus dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan dan infeksi yang diperkirakan 11% dari seluruh kematian karena abortus,
sedangkan penyebab tidak langsung seperti sosial budaya, ekonomi, pendidikan,
status gizi istri hamil,
(Haryono, 2005).

anemia dan perilaku kesehatan yang diperkirakan 85%

4

Untuk mencegah beberapa penyebab kematian tersebut, maka keluarga/
suami harus memberikan dukungan dari awal kehamilan, karena pada beberapa
kasus tiga terlambat sering terulang akibat keluarga/suami merasa perannya sudah
memadai. Abortus merupakan berakhirnya kehamilan sebelum janin dapat hidup di

dunia luar tanpa mempersoalkan penyebabnya. Menurut Lewellyn (2005) istri yang
mengalami keguguran tidak mempunyai pasangan dan yang kurang dukungan sosial,
mengalami depresi antara 5-10% karena tiidak kesiapan istri menerima kegagalan
kehamilan sehingga istri menjadi tidak tenang,

takut,

keadaaan tersebut dapat

mengganggu pemulihan kondisi istri (Kartono, 1998).
Kurangnya dukungan atau motivasi suami dapat menjadi penyebab untuk
terjadinya abortus, Hal ini dikarenakan dukungan suami merupakan upaya dalam
menentramkan kejiwaan istri dalam menjalani kehamilan, begitu juga motivasi suami
kepada istri dalam menghadapi abortus, penting bagi istri pada saat mengalami
abortus dan berfungsi sebagai strategi preventif untuk mengurangi stress (Ingela,
1999).
Motivasi merupakan keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong
individu untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu guna mencapai tujuan. Motivasi
terdiri dari motivasi intrinsik dan ekstrensik. Motivasi instrinsik yaitu hal dan
keadaan yang datang dari dalam diri dan merupakan pendorong untuk melakukan

kegiatan, sedangkan motivasi ekstrinsik adalah hal dan keadaan yang datang dari luar
individu dan merupakan pengaruh dari orang tua atau lingkungan, misalnya seorang

5

istri yang gagal hamil atau keguguran yang harus dibawa ke rumah sakit karena ada
dorongan dari suami, keluarga dan orang lain (Purwanto, 1999).
Motivasi suami dalam masa keguguran membantu istri dalam menjalani dan
mengatasi perubahan yang terjadi pada tubuhnya. Istri yang menerima motivasi sosial
dan psikologis selama keguguran lebih kecil kemungkinan perasaan negatif tentang
keguguran yang di alaminya, dibandingkan istri yang tidak menerima motivasi atau
dukungan (Lewellyn, 2005). Menyiapkan mental suami istri untuk punya anak bisa
menjadi lebih mudah bila keduanya memang menginginkan kehadiran anak sesuai
dengan harapan mereka. Jika istri tidak siap mental menghadapi keguguran
kehamilan menjadi seorang istri,

akibatnya istri menjadi tertekan sehingga istri

gampang marah, hal ini mengganggu hubungan suami istri (Dagun, 2002).
Pemeriksaan kegagalan kehamilan memiliki peran yang sangat penting dalam

menurunkan angka kesakitan pada istri. Tujuan perawatan kegagalan kehamilan
setiap calon istri tetap menjaga kesehatannya, perawatan kegagalan kehamilan yang
cermat merupakan spencegahan yang terbaik untuk mengatasi kematian istri sewaktu
mengalami keguguran (Lewellyn, 2005).
Hubungan dan komunikasi yang baik di antara istri dan suami, membuat istri
yang mengalami keguguran kehamilan lebih siap untuk menghadapinya (Salmah,
2006). Suami sebagai pendamping, selama kehamilan meningkatkan kesiapan istri
dalam menghadapi terjadinya keguguran, bahkan juga memicu keterlibatan suami
sejak awal masa terjadinya keguguran mempermudah dan meringankan pasangan
dalam menjalani dan mengatasi berbagai perubahan yang terjadi pada tubuhnya.

6

Keikutsertaan suami secara aktif dari masa kehamilan membantu proses terjadinya
keguguran hal ini sangat di tentukan oleh seberapa besar motivasi suami dalam masamasa terjadinya keguguran (Bibilung, 2008).
Peran suami sebagai motivator suami terhadap istri,

dapat memberikan

ketenangan batin dan perasaan senang dalam diri istri dan istri akhirnya menjadi lebih

mudah menyesuaikan diri dalam situasi terjadinya keguguran. Suami adalah orang
pertama memberi dorongan atau dukungan kepada istri sebelum pihak lain memberi
dorongan (Dagun, 2002). Masalah lain orang sulit termotivasi untuk berperilaku
sehat adalah karena perubahan perilaku dari yang tidak sehat menjadi sehat tidak
menimbulkan dampak langsung yang cepat. Memotivasi orang sehat jauh lebih sulit
daripada memotivasi orang sakit. Karena pada saat sehat, menghindari penyakit
adalah bukan tujuannya (Notoatmodjo, 2007). Sumber motivasi bisa dari dalam diri
individu sendiri ataupun dari luar individu tersebut. Dalam mengubah perilaku,
motivasi yang berasal dari dalam individu lebih kuat mengembangkan minat
seseorang terhadap sesuatu (Uno, 2012).
Hasil survei pendahuluan yang penulis lakukan di RSUD Rantau Prapat
Kabupaten Labuhanbatu tahun 2014,

didapatkan data dari 54 orang istri yang

mengalami abortus yang datang berobat dan hanya 18 orang ditemani suami, 14
orang ditemani keluarga, 12 orang bersama teman wanita dan 10 istri datang sendiri.
Dari hasil wawancara dengan istri yang datang tanpa ditemani suami mengataka
sangat ingin ditemani oleh suami saat memeriksakan kondisinya di rumah sakit,
karena dengan adanya suami, istri merasa mendapat perhatian dan dorongan.


7

Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang peran suami terhadap istri yang mengalami abortus di RSUD Rantau Prapat
Labuhanbatu Tahun 2015.

1.2. Permasalahan
Permasalahan penelitian dapat dirumuskan berdasarkan uraian diatas yaitu:
Bagaimana peran suami terhadap istri yang mengalami abortus di RSUD Rantau
Prapat Kabupaten Labuhanbatu Tahun 2015?

1.3. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui peran suami terhadap istri yang mengalami abortus di
RSUD Rantau Prapat Kabupaten Labuhanbatu Tahun 2015

1.4. Manfaaat Penelitian
1. Bagi petugas Rumah Sakit Umum Daerah Rantau Prapat Labuhanbatu diharapkan
sebagai pertimbangan perumusan kebijakan program dalam menurunkan AKI dan
AKB khususnya yang disebabkan abortus.

2. Sebagai masukan untuk petugas puskesmas agar dapat mengevaluasi kegiatan
yang telah dilakukan, dan membuat perencanaan yang lebih tepat guna dalam
mengatasi ibu hamil yang mengalami abortus.