Analisis Framing Berita Pembunuhan Engeline di Viva.co.id

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kajian
2.1.1

Paradigma Konstruktivisme
Vardiansyah (2008) mengartikan paradigma sebagai cara pandang

seseorang terhadap diri dan lingkungannya

yang

akan

memengaruhinya

dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif).
Oleh karena itu, paradigma sangat menentukan cara seorang ahli memandang
komunikasi yang menjadi objek ilmunya.
Sementara itu dalam literatur yang berbeda, Nyoman Naya Sujana

menjelaskan bahwa paradigma sebagai sebuah konsep yang paling umum dan
terdalam untuk melihat dan memahami realitas (Suyanto, 2008: 9). Konsep
tersebut memandang realitas yang tercipta dapat dipahami oleh manusia.
Seorang

ahli

filsafat

ilmu

pengetahuan,

Thomas

Kuhn

(1972)

mengembangkan konsep paradigmatik sebagai upaya untuk mempelajari anomalianomali dalam sejarah ilmu pengetahuan. Melalui bukunya, The Structure of

Scientific Revolution Kuhn menggunakan istilah paradigma dalam dua dimensi

yang berbeda.
Pertama, paradigma berarti keseluruhan perangkat–Kuhn menyebutnya
dengan istilah „konstelasi‟–keyakinan, nilai-nilai, teknik-teknik, dan selanjutnya
dimiliki bersama oleh para anggota suatu masyarakat. Kedua, paradigma berarti
unsur-unsur tertentu dalam perangkat tersebut, yakni cara-cara pemecahan atas
suatu teka-teki, yang digunakan sebagai model atau contoh, yang dapat
menggantikan model atau cara lain sebagai landasan bagi pemecahan atas tekateki dalam ilmu pengetahuan normal (Saifuddin, 2005: 53).
Penting bagi seorang peneliti untuk mengingat benar atau tidaknya suatu
paradigma yang digunakan itu tidak dapat dibuktikan. Yang terpenting adalah
apakah paradigma tersebut mampu mendukung argumentasi-argumentasi dengan
bukti yang sesuai dengan prinsip-prinsipnya.
Sendjaja (2005) menyebutkan ilmu komunikasi pada dasarnya merupakan
salah satu ilmu pengetahuan sosial yang bercirikan „multiperspektif‟ dan
7

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


„multiparadigma‟. Sendjaja juga menjelaskan bahwa berdasarkan basis keilmuan,
terdapat berbagai perspektif dan paradigma yang diterapkan dalam ilmu
komunikasi (Bungin, 2008: 11).
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode analisis
framing dan menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut paradigma

konstruktivisme, realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat
digeneralisasi pada semua orang yang biasa dilakukan oleh kaum klasik dan
positivis.

Paradigma

konstruktivisme

menilai

perilaku

manusia


secara

fundamental berbeda dengan perilaku alam. Hal ini dikarenakan manusia
bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik itu
melalui pemberian makna ataupun pemahaman perilaku di kalangan mereka
sendiri.
Paradigma konstruktivisme berpendapat bahwa secara epistemologi,
semesta merupakan hasil dari konstruksi sosial. Pengetahuan yang dimiliki
manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan
interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari
interpretasi bermakna terhadap kenyataan, bukan reproduksi kenyataan. Dengan
demikian, tidak ada pengetahuan yang koheren, transparan secara keseluruhan dan
independen dari subjek sebagai pengamat. Manusia ikut berperan, menentukan
pilihan perencanaan yang lengkap, dan menuntaskan sebuah tujuan. Pilihanpilihan yang dibuat lebih sering didasarkan pada pengalaman sebelumnya, bukan
pada prediksi secara ilmiah-teoritis.
Ardiyanto (2007) menjelaskan bahwa bagi kaum konstruktivis, semesta
adalah suatu konstruksi, artinya bahwa semesta bukan dimengerti sebagai semesta
yang otonom, akan tetapi dikonstruksi secara sosial, dan karenanya plural.
Konstruktivisme menolak pengertian ilmu sebagai yang „terberi‟ dari objek pada

subjek yang mengetahui. Unsur subjek dan objek sama-sama berperan dalam
mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Konstruksi membuat cakrawala baru dengan
mengakui adanya hubungan antara pikiran, yang membentuk ilmu pengetahuan
dengan objek atau eksistensi manusia. Dengan demikian, paradigma konstruktivis
mencoba

menjembatani

dualisme,

objektivisme-subjektivisme

dengan

mengafirmasi peran subjek dan objek dalam konstruksi ilmu pengetahuan.

8

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara

Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat
untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai
penyampai pesan. Subjek tersebutlah yang merupakan faktor sentral dalam
kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek melakukan
kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Setiap
pernyataan pada dasarnya adalah tindakan pembentukan diri, serta
pengungkapan jati diri dari sang pembicara. Oleh karena itu, analisis dapat
dilakukan demi membongkar maksud dan makna-makna tertentu dari
komunikasi (Ardiyanto, 2007: 151).
Menurut
pengetahuan

Von

tidak

Glaserfeld,


lepas

dari

konstruktivisme

subjek

yang

menegaskan

sedang

belajar

bahwa
mengerti.

Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa

pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Para konstruktivis
percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang
mengetahui. Melalui proses komunikasi, pesan tidak dapat dipindahkan begitu
saja dari otak seseorang kepada orang lain. Penerima pesan sendirilah yang harus
mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman
mereka (Ardiyanto, 2007: 156-157).
Von Glaseferld dan Kitchener (987) juga merangkum

gagasan

konstruktivisme menurut pengetahuan, sebagai berikut:
3. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka,
tetapi merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
4. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan stuktur yang
perlu untuk pengetahuan.
5. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur
konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam
berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
Kaitan dengan kajian komunikasi, Robyn Pennman yang dikutip oleh
Ardiyanto (2007: 158) merangkum kaitan konstruktivisme sebagai berikut:

1. Tindakan komunikatif sifatnya sukarela. Pembuat komunikasi adalah
subjek yang memiliki pilihan bebas, walaupun lingkungan sosial
membatasi apa yang dapat dan telah dilakukan. Jadi tindakan
komunikatif dianggap sebagai tindakan sukarela berdasarkan pilihan
subjeknya.
9

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

2. Pengetahuan adalah sebuah produk sosial. Pengetahuan bukan sesuatu
yang objektif sebagaimana diyakini positivisme, melainkan diturunkan
dari interaksi dalam kelompok sosial. Pengetahuan itu dapat ditemukan
dalam bahasa, melalui bahasa itulah konstruksi tercipta.
3. Pengetahuan bersifat kontekstual, maksudnya pengetahuan merupakan
produk yang dipengaruhi ruang dan waktu, serta dapat berubah sesuai
dengan pergeseran waktu.
4. Teori-teori menciptakan dunia. Teori bukanlah alat, melainkan suatu
cara pandang kita terhadap realitas atau dalam batas tertentu teori

menciptakan dunia. Dunia di sini bukanlah „segala sesuatu yang ada‟,
melainkan „segala sesuatu yang menjadi lingkungan hidup dan
penghayatan hidup manusia‟. Dunia dapat dikatakan sebagai hasil
pemahaman manusia atas kenyataan di luar dirinya.
Sebagai konsekuensinya, dapat dilihat bahwa pandangan konstruktivisme
menganggap tidak ada makna yang mandiri, tidak ada deskriptif yang murni
objektif. Kita tidak dapat melihat secara kasat mata „apa yang ada di sana‟ atau
„yang di sini‟ tanpa termediasi oleh teori, kerangka konseptual, atau bahasa yang
disepakati secara sosial. Semesta di hadapan kita bukan sesuatu yang ditemukan
melainkan selalu termediasi oleh paradigma, kerangka konseptual, dan bahasa
yang dipakai.
Apabila dikaitkan dengan pemberitaan, pendekatan konstruksionis
menegaskan berita sesungguhnya adalah hasil dari konstruksi sosial yang selalu
melibatkan pandangan ideologi, nilai-nilai dari jurnalis, atau media. Menurut
pendekatan konstruksionis, hasil kerja seorang jurnalis tidak dapat dinilai dengan
standar yang kaku. Aspek etika, moral, dan nilai-nilai juga akan mewarnai
pemberitaan, karena hal-hal itu merupakan bagian yang integral dalam diri
jurnalis. Menurut pandangan ini, junalis bukanlah robot yang dapat diprogram
untuk senantiasa melaporkan fakta apa adanya.
Menurut


Eriyanto

(2001),

pendekatan

paradigma

konstruksionis

mempunyai penilaian tersendiri seperti apa media, wartawan, dan berita dilihat,
yaitu:

10

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

1. Fakta

atau

peristiwa

adalah

hasil

konstruksi.

Bagi

kaum

konstruksionis, realitas bersifat objektif. Realitas dihadirkan oleh
konsep subjektif wartawan. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung
pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan
yang mempunyai pandangan berbeda.
2. Media adalah agen konstruksi. Media bukanlah sekedar saluran yang
bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas lengkap dengan
pandangan dan pemihakannya.
3. Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanya konstruksi dari realitas.
Berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja
jurnalis, bukan kaidah buku jurnalistik.
4. Berita bersifat subjektif atau konstruksi atas realitas opini tidak dapat
dihilangkan. Ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan
pertimbangan subjektif.
5. Wartawan bukan pelapor, ia agen konstruksi realitas. Wartawan
sebagai partisipan yang menjembatani keragaman subjektifitas pelaku
sosial.
6. Etika, pilihan, moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang
integral dari produksi berita. Etika dan moral termasuk keberpihakan
satu kelompok adalah bagian yang tak terpisahkan dalam membentuk
dan mengkonstruksi realitas.
7. Khalayak mempunyai penilaian tersendiri atas berita. Khalayak bukan
dilihat sebagai subjek pasif, yang mempunyai penafsiran sendiri dan
bisa jadi berbeda dari pembuat berita (Zamroni, 2009: 95).

2.2 Uraian Teoritis
Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir
dalam memecahkan masalah. Untuk itu, perlu disusun kerangka teori yang
memuat pokok-pokok pikiran dalam menggambarkan dari sudut mana masalah
penelitian akan disorot (Nawawi, 2001 : 39). Adapun beberapa uraian teoritis
yang relevan dengan topik permasalahan penelitian ini, yaitu:

11

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

2.2.1

Teori Konstruksi Sosial Media Massa
Peter L. Berger dan Luckman (1966) menjelaskan konstruksi sosial atas

realitas melalui „The Social Construction of Reality, a Treatise in the Sociological
of Knowledge’. Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas yang terjadi

secara simultan melalui tiga proses sosial, yakni eksternalisasi, objektivasi dan
internalisasi. Tiga proses ini terjadi di antara individu satu dengan individu
lainnya dalam masyarakat (Bungin, 2008: 202).
Suparno membahas tentang asal usul konstruksi sosial. Asal usul ini
berasal dari filsafat konstruktivisme yang dimulai dari gagasan-gagasan
konstruktif kognitif. Menurut Von Glaserfeld, pengertian konstruktif kognitif
muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam
dan disebarkan oleh Jean Piaget. Apabila ditelusuri sebenarnya gagasan-gagasan
pokok konstruktivisme telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang
epistemologi dari Italia, yang menjadi cikal bakal konstruktivisme (Bungin, 2008:
13).
Bertens menjelaskan bahwa dalam aliran filsafat, gagasan konstruktivisme
telah muncul sejak Sokrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato
menemukan akal budi dan ide. Gagasan tersebut lebih konkret lagi setelah
Aristoteles mengenal istilah informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi,
dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa manusia adalah makhuk sosial, setiap
pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah
logika dan dasar pengetahuan adalah fakta (Bungin, 2008: 13).
Berger dan Luckman menjelaskan bahwa realitas sosial dengan
memisahkan pemahaman „kenyataan dan pengetahuan‟. Realitas diartikan sebagai
kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas yang diakui memiliki keberadaan
(being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. Pengetahuan
didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan
memiliki karakteristik yang spesifik. Mereka mengatakan terjadi dialektika antara
individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu (Bungin,
2008 : 191).
Berger menyebut proses dialektis ini sebagai momen dan membaginya ke
dalam tiga tahap, diantaranya:

12

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

1. Eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke
dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Hal tersebut
sebenarnya sudah menjadi sifat dasar manusia, ia akan selalu
mencurahkan diri ke tempat dimana ia berada. Manusia tidak dapat
kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya.
Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan
suatu dunia dengan kata lain, manusia menemukan dirinya sendiri
dalam satu dunia.
2. Objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental ataupun fisik
dari

kegiatan

eksternalisasi

manusia

tersebut.

Hasil

tersebut

menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si
penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan
berbeda dari manusia yang menghasilkannya. Lewat proses objektivasi
ini, masyarakat menjadi suatu realitas suigeneris. Hasil dari
eksternalisasi kebudayaan itu misalnya, manusia menciptakan alat
demi kemudahan hidupnya atau kebudayaan non-materiil dalam
bentuk bahasa. Baik alat tadi maupun bahasa adalah eksternalisasi
manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan
manusia.
Setelah dihasilkan, baik

benda atau bahasa sebagai

produk

eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang objektif. Bahkan ia dapat
menghadapi manusia sebagai penghasil dari produk kebudayaan.
Kebudayaan yang telah berstatus sebagai realitas objektif, ada di luar
kesadaran manusia, ada „di sana‟ bagi setiap orang. Realitas objektif
itu berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia menjadi
kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang.
3. Internalisasi. Proses internalisasi melakukan penyerapan kembali dunia
objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif
individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur
dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai
gejala realitas di luar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal
bagi kesadaran. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari

13

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

masyarakat. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah,
tidak juga sesuatu yang telah diturunkan oleh Tuhan. Sebaliknya,
realitas dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman semacam ini,
realitas berwajah ganda atau plural. Setiap orang bisa mempunyai
konstruksi yang berbeda-beda terhadap suatu realitas. Setiap orang
yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan
lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsikan realitas
sosial itu dengan konstruksinya masing-masing.
Berger dan Luckman mengawali pendekatan konstruksi sosial atas realitas
dengan membahas proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa
dalam kehidupan sosial sehari-hari dalam sebuah komunitas primer, ataupun
sekunder. Seiring dengan semakin maraknya pembicaraan tentang media massa
yang cukup signifikan dalam proses penyampaian pesan, pendekatan ini kemudian
direvisi. Media massa menjadi sangat substansial dalam proses eksternalisasi,
subjektivasi, dan internalisasi sehingga dikenal menjadi konstruksi sosial media
massa. Informasi yang cepat dan luas dengan sebaran yang merata melalui media
massa membuat proses konstruksi sosial berlangsung begitu cepat.
Substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi
informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan
sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas sosial yang dikonstruksi juga
membentuk opini massa. Massa cenderung apriori dan opini massa cenderung
sinis.
Melalui prosesnya, konstruksi sosial media massa melalui beberapa
tahapan, sebagai berikut:
1. Tahap menyiapkan materi konstruksi
Menyiapkan materi konstruksi sosial media massa adalah tugas redaksi
media massa, tugas tersebut selanjutnya didistribusikan pada desk
editor yang terdapat pada setiap media massa. Masing-masing media

memiliki desk yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dan visi
suatu media. Isu-isu penting setiap hari menjadi fokus media massa,
terutama yang berhubungan dengan tiga hal yaitu harta, kedudukan,
dan wanita.

14

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Ketika mempersiapkan materi konstruksi sosial, ada tiga hal penting
yang harus diperhatikan, yaitu:
a. Keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Sebagaimana
diketahui bahwa pada saat ini hampir tidak ada media massa yang
tidak

dimiliki

oleh

kapitalis.

Kekuatan-kekuatan

kapitalis

digunakan dalam menjadikan sebuah media massa sebagai mesin
untuk mencetak uang dan melipat gandakan modal yang ada.
b. Keberpihakan semu kepada masyarakat. Bentuk dari keberpihakan
ini adalah ada dalam bentuk empati, simpati, dan berbagai
partisipasi kepada masyarakat, namun ujung-ujungnya adalah juga
untuk menjual berita untuk kepentingan kapitalis sendiri.
c. Keberpihakan kepada kepentingan umum. Bentuk keberpihakan
kepada kepentingan umum dalam arti sesungguhnya merupakan
visi setiap media massa, akan tetapi jika dilihat apa yang terjadi
pada saat ini visi tersebut tak pernah menunjukkan jati dirinya.
Walau demikian, slogan-slogan tentang visi ini masih sering
didengar.
Saat menyiapkan materi konstruksi, media massa memosisikan diri pada
tiga hal tersebut. Akan tetapi jika diperhatikan kondisi yang terjadi saat ini,
keberpihakan media massa lebih dominan pada tujuan untuk meraup kepentingan
media itu sendiri. Lebih lanjut jika ditelusuri bahwa kepentingan kapitalis yang
berada di belakang media massa lebih didahulukan. Untuk kepentingan
masyarakat atau kepentingan umum bukanlah menjadi satu persoalan yang serius.
2. Tahap sebaran konstruksi
Konstruksi media massa disebar melalui strategi media massa. Konsep
konkret strategi sebaran media massa masing-masing media berbeda,
namun pada prinsip utamanya adalah real time. Media cetak, sepeti
surat kabar, tabloid, dan majalah memiliki konsep real time yang
terdiri dari beberapa konsep seperti harian, mingguan, atau bulanan.
Walaupun bersifat tertunda, namun konsep aktualitas menjadi
pertimbangan

utama

sehingga

pembaca

merasa

tepat

waktu

memperoleh berita tersebut.

15

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Pada umumnya, sebaran konstruksi sosial media massa menggunakan
model satu arah dimana media menyodorkan informasi, sementara
konsumen media tidak memiliki pilihan lain kecuali mengonsumsi
informasi itu. Prinsip dasar dari sebuah sebaran konstruksi sosial media
massa adalah semua informasi harus sampai pada pembaca secepatnya
dan setepatnya berdasarkan pada agenda media. Hal ini menunjukkan
apa yang dianggap penting oleh media menjadi penting pula bagi
pembaca.
3. Tahap pembentukan konstruksi realitas
a. Tahap pembentukan konstruksi realitas
Ketika pemberitaan sudah sampai pada pembaca, setelah tahap
sebaran konstruksi, terjadi pembentukan konstruksi di masyarakat
melalui tiga tahap yang berlangsung secara generik. Pertama,
konstruksi realitas pembenaran; kedua , kesediaan dikonstruksi oleh
media massa; ketiga, sebagai pilihan konsumtif.
Tahap pertama adalah kontruksi pembenaran sebagai suatu bentuk
konstruksi media massa yang terbangun di masyarakat. Hal ini
cenderung membenarkan apa saja yang ada (tersaji) di media
massa sebagai suatu realitas kebenaran. Dengan kata lain,
informasi media massa sebagai suatu otoritas sikap untuk
membenarkan sebuah kejadian.
Tahap Kedua adalah kesediaan dikontruksi oleh media massa, yaitu
sikap generik dari tahap pertama. Hal tersebut menjelaskan bahwa
pilihan seseorang untuk menjadi pembaca media massa adalah
karena pilihanya untuk bersedia pikiran-pikirannya dikonstruksi
oleh media massa. Secara tidak langsung diri pembaca sendiri
menjadi faktor utama untuk bersedia dikonstruksi.
Tahap Ketiga adalah menjadikan konsumsi media massa sebagai
pilihan konsumtif, di mana seseorang secara terbiasa bergantung
pada media massa. Media massa adalah kebiasaan hidup yang tidak
bisa dilepaskan. Pada tingkat tertentu, seseorang merasa tak
mampu beraktivitas apabila dia belum membaca koran.

16

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

b. Tahap pembentukan konstruksi realitas
Pembentukan konstruksi citra bangunan yang diinginkan oleh
tahap konstruksi. Bangunan citra yang dibangun oleh media massa
ini terbentuk oleh dua model, model good news dan model bad
news. Good news adalah sebuah konstruksi yang cenderung

membangun suatu pemberitaan sebagai pemberitaan yang baik.
Melalui model ini objek pemberitaan dikonstruksi sebagai sesuatu
yang memiliki citra baik, sehingga terkesan lebih baik dari
sesungguhnya kebaikan yang ada pada objek itu sendiri. Sementara
itu, model bad news adalah sebuah konstruksi yang cenderung
memberi citra buruk pada objek pemberitaan sehingga terkesan
lebih jelek, lebih buruk, lebih jahat dari sesungguhnya sifat jelek,
buruk, dan jahat yang terdapat pada objek pemberitaan itu sendiri.
4. Tahap konfirmasi
Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun pembaca
memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk
terlibat dalam tahap pembentukan konstruksi. Bagi media, tahapan ini
perlu sebagai bagian untuk menjelaskan mengapa ia terlibat dan
bersedia hadir dalam proses konstruksi sosial.
Ada beberapa alasan yang sering digunakan dalam konfirmasi ini,
yaitu:
a. Kehidupan modern menghendaki pribadi yang selalu berubah dan
menjadi bagian dari produksi media massa.
b. Kedekatan dengan media massa adalah lifestyle orang modern,
dimana orang modern sangat menyukai popularitas terutama
sebagai subjek media massa itu sendiri.
c. Media massa walau pun memiliki kemampuan mengkonstruksi
realitas berdasarkan berdasarkan subjektivitas media, namun
kehadiran media massa dalam kehidupan seseorang merupakan
sumber pengetahuan tanpa batas yang sewaktu-waktu dapat
diakses.

17

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

2.2.2

Teori Shoemaker dan Reese
Reese dan Shoemaker (1996), dalam bukunya Mediating the Message:

Theories of Influences on Mass Media Content, mengemukakan terdapat

perbedaan dalam memaknai suatu peristiwa dalam institusi media. Terdapat lima
level yang memengaruhi isi sebuah media massa. Kelima level tersebut di
antaranya, individu, rutinitas media, organisasi, ekstra media, dan ideologi.

Gambar 1.2 Model hierarki pengaruh isi media
(Dalam Shoemaker, Pamela J and Stephen D Reese, “Mediating The Messages: Theories of
Influences on Mass Media Content”, Second Edition, 1996 hlm. 64)

1. Faktor individu (latar belakang wartawan, editor, kamerawan, dan
lainnya)
Faktor individu menjadi tahap pertama dalam menentukkan isi
berita. Wartawanlah yang melakukan peliputan langsung di
lapangan. Wartawan pula yang memutuskan realitas mana yang
akan ditulis dalam beritanya. Realitas yang dipilihnya akan sangat
bergantung pada pemaknaan peristiwa yang dipilihnya. Pemaknaan
tersebut dipengaruhi oleh pendidikan, pengalaman, kesukaan,
agama, gender, dan sikap wartawan tersebut terhadap peristiwa
yang akan diberitakannya (Shoemaker & Reese, 1996: 63-64).
Level ini menjelaskan peran seorang jurnalis sebagai individu yang
memiliki pengaruh dalam proses pemberitaan. Individu akan
menentukan peristiwa dari sudut pandang tertentu untuk dijadikan
berita. Setiap individu mengkonstruksi realitas berdasarkan latar
belakang dan karakteristik yang ada di dalam dirinya.
Ada tiga faktor intrinsik individu yang turut memengaruhi isi media.
Pertama, karakteristik pekerja, personaliti, dan latar belakang pekerja.
18

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Kedua, sikap, nilai, dan keyakinan pekerja. Ketiga, orientasi dan peran
konsep profesi yang disosialisasikan kepada mereka. Sebagai contoh,
apakah seorang jurnalis mempersepsikan diri mereka sebagai
penyampai kejadian yang netral, ataukah sebagai partisipan yang aktif
membangun cerita (Shoemaker dan Reese, 1996: 64).

2. Rutinitas media
Berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita.
Setiap media umumnya mempunyai ukuran sendiri tentang apa
yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa
kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang
berlangsung

tiap

hari

dan

menjadi

prosedur standar

bagi

pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini
juga berhubungan dengan mekanisme pembentukan berita. Ketika
ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput, seperti apa bentuk
pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja
tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa penulisnya, siapa
editornya, dan seterusnya.
Poin yang harus digaris bawahi ialah bahwa rutinitas media dalam hal
proses produksi berita memengaruhi isi berita. Rutinitas media berarti
suatu yang sudah terpola, terinstitusi, sesuatu bentuk yang diulangulang. Pada akhirnya membentuk suatu rutinitas yang dilakukan oleh
pekerja media setiap hari (Shoemaker & Reese, 1996: 105).
Faktor ini berhubungan dengan rutinitas redaksional yang dilakukan
oleh media dalam melakukan proses produksi berita. Proses itu
dimulai dari pengolahan berita yang masuk dari wartawan sampai
berita naik cetak. Setiap media memiliki standar yang berbeda dalam
rutinitas medianya.
Rutinitas telah menciptakan pola yang sedemikian rupa dan terus
diulang oleh para pekerjanya. Rutinitas juga menciptakan sistem
dalam media sehingga media tersebut bekerja dengan cara yang dapat
diprediksi dan tidak mudah untuk dikacauan. Hal-hal yang

19

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

memengaruhi media adalah organisasi media itu sendiri (processor ),
sumber (supplier ), dan target khalayak (consumer ) (Shoemaker dan
Reese, 1996: 108).

3.

Struktur organisasi
Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang
secara hipotetik memengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan
wartawan bukan orang tunggal yang ada dalam organisasi berita,
ia sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu.
Masing-masing
mempunyai

komponen

dalam

kepentingan

organisasi media

sendiri-sendiri.

bisa

jadi

Organisasi media

misalnya, selain bagian redaksi ada juga bagian pemasaran,
bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya.
Masing-masing

bagian tersebut

tidak

selalu

sejalan.

Mereka

mempunyai tujuan dan target masing-masing, sekaligus strategi
yang berbeda untuk mewujudkan target tersebut.
Bagian redaksi misalnya menginginkan agar berita tertentu yang
disajikan, tetapi bagian sirkulasi menginginkan agar berita lain yang
ditonjolkan karena terbukti
organisasi

berita,

mempunyai

tujuan

elemen

tersebut

dapat

menaikkan

penjualan.

Setiap

selain mempunyai banyak elemen juga
dan

filosofi

organisasi sendiri.

Berbagai

memengaruhi sikap seorang wartawan dan cara

suatu peristiwa disajikan dalam berita.
Menurut

Turow

(1984),

sebuah

organisasi

media

dapat

didefinisikan sebagai entitas sosial, formal atau ekonomi yang
mempekerjakan awak media dalam usaha untuk memproduksi isi
media. Organisasi tersebut memiliki ikatan yang jelas dan dapat
diketahui dengan mudah mana yang menjadi anggotanya dan mana
yang

bukan.

Terdapat

tujuan

jelas

yang menciptakan saling

ketergantungan antara bagian-bagiannya dan struktur secara birokratis.
Anggota-anggotanya memiliki spesialisasi fungsi yang

jelas dan

peran yang standardisasi. Bagan struktur organisasi yang dimiliki

20

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

sebuah organisasi media massa membantu menjelaskan empat
pertanyaan penting, yaitu: apa peran organisasi; bagaimana organisasi
terstruktur; apa saja kebijakan yang ada dan bagaimana kebijakan
tersebut

diimplementasikan; serta bagaimana kebijakan tersebut

dijalankan (Shoemaker dan Reese, 1996: 142-144).
Organisasi media memiliki tiga tingkatan posisi. Pertama ialah
pekerja
yang

garda

depan

seperti

penulis,

reporter,

staf

kreatif

bertugas mengumpulkan dan mengemas bahan mentah.

Kedua ialah tingkatan menengah, yaitu manajer, editor, produser
dan

lainnya

yang

bertugas

mengoordinasikan proses

dan

menjembatani komunikasi antara posisi atas dan bawah dalam
organisasi. Ketiga ialah posisi tingkat atas dalam perusahaan
yang

bertugas membuat

anggaran,

mengambil

kebijakan

organisasi,

membuat

keputusan-keputusan penting, melindungi

perusahaan dari kepentingan politik dan komersial, dan

saat

dibutuhkan melindungi pekerjaannya dari tekanan luar (Soemaker
dan Reese, 1996: 151).
Sebuah institusi media terdiri dari beberapa orang yang mempunyai
job description yang berbeda-beda, tujuan medianya pun berbeda-

beda. Tidak jarang tujuan media tersebut memengaruhi cara media
mengeluarkan suatu pemberitaan terhadap isu tertentu. Awak media
yang langsung turun ke lapangan bukanlah satu-satunya pihak yang
menentukan isi berita. Awak media tetap harus tunduk dan patuh pada
perusahaan media. Sering kali terjadi pertentangan antara idealisme
awak media dengan kepentingan perusahaan. Kekuatan pemilik
media, tujuan dari media, dan kebijakan media memengaruhi pesan
yang disampaikan media (Shoemaker & Reese, 1996:144).

4.

Kekuatan ekstra media
Level ini menjelaskan faktor budaya, kebutuhan khalayak, agama, dan
lingkungan sosial politik tempat media itu berada pada akhirnya
memengaruhi isi media tersebut. Dengan kata lain, level ini

21

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

membahas mengenai sumber-sumber informasi media, pengiklan,
khalayak sasaran, kontrol pemerintah, dan pasar media (Shoemaker &
Reese, 1996:197).
Level ini juga berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media.
Ada beberapa faktor yang termasuk dalam lingkungan di luar media:
a. Sumber berita
Sumber berita di sini dipandang bukanlah sebagai pihak netral
yang memberikan informasi apa adanya, ia juga mempunyai
kepentingan untuk memengaruhi media dengan berbagai alas an,
memenangkan opini publik, atau memberi citra tertentu kepada
khalayak,

dan

seterusnya. Sebagai pihak yang mempunyai

kepentingan, sumber

berita

tentu memberlakukan politik

pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang sekiranya baik
bagi dirinya, dan mengembargo informasi yang tidak baik bagi
dirinya. Kepentingan sumber berita ini sering kali tidak disadari
oleh media.
b. Sumber penghasilan media
Sumber penghasilan media berupa iklan, bisa juga berupa
pelanggan atau pembeli media. Media harus survive dan untuk
bertahan hidup terkadang media harus berkompromi dengan
sumber daya yang menghidupi mereka. Seperti contohnya sebuah
media tidak memberitakan kasus tertentu yang berhubungan
dengan pengiklan. Pihak pengiklan juga mempunyai strategi untuk
memaksakan

versinya

pada

media.

Ia

tentu

saja

ingin

kepentingannya dipenuhi, itu dilakukan di antaranya dengan cara
memaksa media mengembargo berita yang buruk bagi mereka.
Pelanggan dalam banyak hal juga ikut mewarnai pemberitaan
media. Tema tertentu yang menarik dan terbukti mendongkrak
penjualan, akan terus-menerus diliput oleh media. Media tidak
akan menyia-nyiakan momentum peristiwa yang disenangi
oleh khalayak.

22

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

c. Pihak eksternal
Pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis. Pengaruh
ini sangat ditentukan oleh corak dari masing-masing lingkungan
eksternal media. Negara yang otoriter misalnya, pengaruh
pemerintah menjadi faktor yang dominan dalam menentukan berita
apa yang disajikan. Keadaan ini tentu saja berbeda di negara
yang demokratis dan menganut liberalisme. Campur tangan negara
praktis tidak ada, justru

pengaruh yang besar terletak pada

lingkungan pasar dan bisnis.
5.

Ideologi
Menurut Samuel Becker (1984), ideologi menentukan cara kita
mempersepsikan dunia dan diri kita sendiri. Sebuah ideologi adalah
seperangkat kerangka pikir yang menentukan cara pandang kita
terhadap dunia dan bagaimana kita harus bertindak. Level ideologi
adalah level paling besar dalam model hierarki pengaruh isi media
(Shoemaker dan Reese, 1996: 222).

Tiap lembaga pemberitaan memiliki seperangkat pengetahuan yang
diwarisi dan dijalankannya. Pengetahuan yang dimaksud ialah aturan-aturan
perilaku yang sesuai dengan lembaga media tersebut. Cara media menggambarkan
realitas akan menjadi subjektif karena setiap media mempunyai proses konstruksi
yang berbeda-beda.
Raymond William (dalam Eriyanto, 2001) mengklasifikasikan penggunaan
ideologi tersebut dalam tiga ranah,
1.

Sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atau
kelas tertentu
Definisi ini terutama dipakai oleh kalangan psikologi yang melihat
ideologi sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan
dalam bentuk yang koheren. Contohnya, seseorang mungkin
mempunyai seperangkat sikap tertentu mengenai demontrasi buruh. Ia
percaya bahwa buruh yang berdemontrasi mengganggu kelangsungan
produksi. Oleh sebab itu, demontrasi tidak boleh ada, karena hanya

23

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

akan menyusahkan orang lain, membuat keresahan, menggangu
kemacetan lalu lintas, dan membuat perusahaan mengalami kerugian
besar. Jika bisa memprediksikan sikap seseorang semacam itu, kita
dapat mengatakan bahwa orang itu mempunyai ideologi kapitalis atau
borjuis. Meskipun ideologi disini terlihat sebagai sikap seseorang,
tetapi ideologi di sini tidak dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam
diri individu sendiri, melainkan diterima dari masyarakat.
2.

Sebuah sistem kepercayaan yang dibuat biasa dilawankan dengan
pengetahuan ilmiah
Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat
dan kesadaran palsu dimana kelompok yang berkuasa atau dominan
menggunakannya untuk mendominasi

kelompok

lain. Kelompok

yang dominan mengontrol kelompok lain dengan menggunakan
perangkat ideologi yang disebarkan ke dalam masyarakat. Mereka
akan membuat kelompok yang didominasi melihat hubungan itu
nampak natural, dan diterima sebagai kebenaran. Ideologi disebarkan
lewat berbagai instrumen dari pendidikan, politik, hingga media
massa.
3.

Proses umum produksi makna dan ide
Ideologi di sini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
produksi makna. Ideologi menjadi proses dalam menghasilkan sebuah
makna dan ide.

2.2.3

Komunikasi Massa
Komunikasi massa dapat didefinisikan sebagai proses penggunaan sebuah

medium massa untuk mengirimkan pesan kepada khalayak yang luas untuk tujuan
memberi informasi, menghibur atau membujuk (Vivian, 2008: 405). Sasaran
khalayak dalam komunikasi massa bersifat luas, heterogen, dan anonim.
Proses komunikasi massa, di samping melibatkan unsur-unsur komunikasi
sebagaimana umumnya, juga membutuhkan pula peran media massa sebagai alat
untuk menyampaikan atau menyebarkan informasi. Media massa itu tidak berdiri
sendiri. Ada beberapa individu yang bertugas melakukan pengolahan informasi

24

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

sebelum informasi tersebut sampai kepada khalayaknya. Mereka yang bertugas itu
sering disebut sebagai gatekeeper (Nurudin, 2003: 6).
Definisi komunikasi massa yang lebih rinci dikemukakan oleh Ahli
Komunikasi lainnya, yaitu Gerbner. Menurut Gerbner (1967),
“Mass communication is the technologically and instituationally based
production and distribution of the most broadly shared continuous flow of
messages in industrial societies.”
Penjelasan Gerbner, mengartikan bahwa komunikasi massa adalah
produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan
yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri) (Sobur,
2004: 4).
Selain itu, ada satu definisi komunikasi massa yang dikemukakan oleh
Michael W. Gamble dan Teri Kwal Gamble (1986) (dalam Nuruddin, 2004: 6)
yang dapat semakin memperjelas apa itu komunikasi massa. Menurut mereka
sesuatu bisa diartikan sebagai komunikasi massa jika mencakup:
1. Komunikator dalam komunikasi massa mengandalkan peralatan
modern untuk menyebarkan atau memancarkan pesan secara cepat
kepada khalayak yang luas dan tersebar.
2. Komunikator pada komunikasi massa dalam menyebarkan pesanpesannya bermaksud mencoba berbagi pengertian dengan jutaan orang
yang tidak saling kenal satu sama lain. Anonimitas khalayak dalam
komunikasi massa inilah yang membedakan pula dengan jenis
komunikasi yang lain. Bahkan pengirim dan penerima pesan tidak
saling mengenal satu sama lain.
3. Pesan adalah publik, artinya bahwa pesan ini bisa didapatkan dan
diterima oleh banyak orang. Oleh sebab itu diartikan sebagai milik
khalayak.
4. Sebagai sumber, komunikator massa biasanya organisasi formal,
seperti jaringan, ikatan, atau perkumpulan. Dengan kata lain,
komunikatornya tidak berasal dari seseorang, tetapi lembaga. Lembaga
ini biasanya berorientasi pada keuntungan bukan organisasi sukarela
atau nirlaba.

25

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

5. Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper (pentapis informasi). Hal
ini diartikan bahwa pesan-pesan yang disebarkan atau dipancarkan,
dikontrol oleh sejumlah individu dalam lembaga tersebut sebelum
disiarkan lewat media massa. Contohnya adalah seorang reporter,
editor film, penjaga rubrik, dan lembaga sensor lain dalam media itu
bisa berfungsi sebagai gatekeeper .
6. Umpan balik dalam komunikasi massa sifatnya tertunda. Di samping
itu, dalam jenis komunikasi lain umpan balik bisa bersifat langsung.
Untuk lebih jelasnya, perlu diketahui apa saja ciri-ciri dari komunikasi
massa. Nurudin (2004: 16-29) menyebutkan di antaranya:
1. Komunikator melembaga
Komunikator dalam komunikasi massa bukan lah satu orang,
melainkan kumpulan dari beberapa orang. Hal tersebut berarti
komunikator dalam komunikasi massa merupakan gabungan antar
berbagai macam unsur dan bekerja satu sama lain dalam sebuah
lembaga. Sebuah lembaga tentunya terkait dengan sistem yang dianut.
Sistem di sini maksudnya adalah sekelompok orang, pedoman, dan
media yang melakukan suatu kegiatan mengolah, menyimpan dan
menuangkan ide, gagasan, simbol, lambang menjadi pesan dalam
membuat keputusan untuk mencapai satu kesepakatan dan saling
pengertian satu sama lain dengan mengolah pesan itu menjadi sumber
informasi.
Komunikator dalam komunikasi massa di sini maksudnya adalah
lembaga media massa itu sendiri. Meskipun di dalamnya terdapat
pemilik dan pekerja media secara individual, komunikator massa
tetaplah individu-individu yang sudah dilembagakan dan bertanggung
jawab atas proses komunikasi massa yang terjadi.
2. Komunikan bersifat heterogen
Penerima pesan (komunikan) dalam proses komunikasi massa berasal
dari latar belakang yang berbeda-beda, baik itu dari usia, pendidikan,
jenis kelamin, agama, status sosial, status ekonomi, dan sebagainya.

26

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

3. Pesan bersifat umum
Pesan dalam komunikasi massa tidak ditujukan kepada satu orang,
melainkan kepada banyak orang. Hal ini mengartikan bahwa pesan
yang disampaikan harus bersifat umum.
4. Komunikasi berlangsung satu arah
Proses pertukaran pesan dalam komunikasi massa berlangsung secara
satu arah, yakni dari media massa kepada komunikan. Komunikan atau
penerima pesan tidak bisa memberikan tanggapan spontan saat proses
komunikasi langsung.
5. Komunikasi massa menimbulkan keserempakan
Keserempakan dalam proses komunikasi massa terdapat pada saat
penyebaran pesan-pesannya. Serempak maksudnya adalah bahwa
khalayak bisa menikmati media massa hampir bersamaan, sehingga
komunikator berupaya menyebarkan informasinya secara serentak.
6. Komunikasi massa mengandalkan peralatan teknis
Media massa sebagai alat utama dalam menyampaikan pesan kepada
khalayaknya sangat membutuhkan bantuan peralatan teknis. Peralatan
teknis yang dimaksud misalnya pemancar untuk media elektronik
(mekanik atau elektronik). Peralatan teknis dalam prosesnya sangat
dibutuhkan media massa. Tak lain agar proses penyebaran pesannya
bisa lebih cepat dan serentak kepada khalayak yang tersebar.
7. Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper
Gatekeeper adalah orang yang berperan dalam penyebaran informasi

melalui media massa. Gatekeeper di sini berfungsi sebagai orang yang
ikut menambah atau mengurangi, menyederhanakan, mengemas agar
semua informasi yang disebarkan lebih mudah dipahami.

2.2.4

Analisis Framing
Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun

1955. Mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat
kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana serta
yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Tetapi

27

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

akhir-akhir ini konsep framing telah digunakan secara luas dalam literatur ilmu
komunikasi untuk menggambarkan proses penyeleksian dan penyorotan aspekaspek khusus sebuah realita oleh media (Sobur, 2004: 161).
Lebih jauh, Eriyanto (2001) mengemukakan bahwa menurutnya dalam
sebuah analisis framing, yang diperlukan oleh seorang analis adalah melihat cara
media mengkonstruksi realitas. Peristiwa dipahami bukan sebagai sesuatu yang
taken for granted (lumrah). Seorang analis dalam analisis framing harus mampu

bersikap kritis dan mempertanyakan segala sesuatu yang tampak sebagai
kenyataan semu bagi masyarakat luas.
Melalui analisis framing, yang kita lihat adalah cara media memaknai,
memahami, dan membingkai kasus peristiwa yang diberitakan. Cara perilaku
media dalam menyajikan informasi sebaik mungkin pada khalayak adalah
pertanyaan yang berhubungan dengan masalah perubahan level teks isi media
tersebut. Contoh kasus pada pemberitaan tertentu, media yang satu menonjolkan
sisi atau aspek tertentu, sedangkan media lain meminimalisir, bahkan menutup isi
atau aspek tersebut. Perbedaan tendensi setiap media dalam pemberitaan atas
peristiwa yang sama lazim disebut dengan frame atau bingkai media (Eriyanto,
2001: 5).
Pemilihan judul berita, struktur berita, atau keberpihakan adalah implikasi
dari seperangkat asumsi tertentu sebagai kecenderungan wartawan media massa.
Melalui penggunaan bahasa sebagai sistem simbol yang utama, para wartawan
mampu menciptakan, memelihara, mengembangkan, dan bahkan meruntuhkan
suatu realitas. Implikasinya adalah aksen tertentu seperti penekanan, penajaman,
pelembutan, pengagungan, pelecehan, pembelokan, pengaburan, dan lainnya.
Persepsi kewartawanan erat kaitannya dengan asumsi persepsi setiap orang
atau kelompok yang aktif dan selektif dalam memahami lingkungannya. Masingmasing memiliki persepsi yang berbeda atas suatu masalah, seberapa kecil pun
perbedaan tersebut. Hal tersebut dilakukan dengan cara melewati proses seleksi
dan reproduksi, berita sebenarnya merupakan laporan peristiwa yang artificial,
tetapi dapat diklaim objektif oleh pers untuk mencapai tujuan ideologis dan bisnis.
Berita tidak hanya menyampaikan tetapi juga menciptakan makna (Sobur, 2004:
89).

28

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Ada beberapa ahli yang turut menyumbangkan pandangannya mengenai
framing, seperti diantaranya:

1.

Murray Edelman
Edelman menyejajarkan framing sebagai kategorisasi, pemakaian
perspektif tertentu dengan pemakaian kata-kata yang tertentu pula
yang menandakan seperti apa fakta ataupun realitas dipahami.
Kategorisasi menurutnya sebagai abstraksi dan fungsi dari pikiran.
Kategorisasi dalam mendefinisikan peristiwa tersebut menentukan
seperti apa masalah didefinisikan, apa efek yang direncanakan, ruang
lingkup masalah, dan penyelesaian efektif yang direkomendasikan
(Eriyanto, 2001: 186).

2.

Robert N. Entman
Entman melihat framing dalam dua dimensi besar, seleksi isu dan
penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/isu.
Proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu
dari peristiwa lebih menonjol dibandingkan yang lain. Disamping itu,
mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan
memengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas (Eriyanto,
2001: 221).

3.

William A. Gamson
William A. Gamson merupakan peneliti yang paling konsisten dalam
mendiskusikan konsep framing. Gamson terkenal dengan pendekatan
konstruksionisnya yang melihat proses framing sebagai suatu proses
konstruksi sosial untuk memaknai realitas. Proses ini bukan hanya
terjadi dalam wacana media, melainkan juga dalam struktur kognisi
individu. Jika dilihat dari konteks tersebut, Gamson melihat terdapat
hubungan antara wacana media dengan opini publik yang terbentuk di
masyarakat.
Frame dipandang sebagai cara bercerita (story line) atau gugusan ide

yang tersusun sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna

29

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu wacana. Framing menurut
Gamson dan Modigliani adalah pendekatan untuk mengetahui
perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika
menyeleksi isu dan menulis berita. Gamson dan Modigliani
menjelaskan

bahwa

pekerja

media

menuangkan

gagasannya,

menggunakan gaya bahasanya sendiri serta memfrase dan mengutip
sumber berita tertentu. Di saat yang sama, mereka membuat retorikaretorika yang menyiratkan keberpihakan dan kecenderungan tertentu
(Eriyanto, 2001: 260-261).

4.

Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki
Analisis framing dilihat sebagaimana wacana publik tentang suatu isu
atau

kebijakan

dikonstruksikan

atau

dinegosiasikan.

Framing

didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol,
menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak
lebih tertuju pada pesan tersebut. Menurut mereka ada dua konsepsi
dari framing yang sangat berkaitan, konsepsi psikologis dan sosiologis
((Eriyanto, 2001: 291).
Penelitian ini menggunakan analisis framing model Gamson dan
Modigliani. Gamson dan Modigliani menjelaskan konsep bahwa framing
merupakan cara bercerita yang menghadirkan konstruksi makna atas peristiwaperistiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Gamson mengandaikan
wacana media terdiri dari sejumlah package interpretatif yang mengandung
konstruksi makna tentang objek wacana. Analisis framing yang dikembangkannya
adalah untuk memahami wacana media sebagai suatu gugusan perspektif
interpretasi saat mengkonstruksi dan memberi makna pada suatu isu.

2.2.5

Media Online
Media online (online media ) disebut juga cybermedia , internet media dan

new media dapat diartikan sebagai media yang tersaji secara online di situs web

internet. Media online dikatakan pula sebagai media „generasi ketiga‟ setelah
media cetak dan media eletronik.
30

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Melalui perspektif studi media atau komunikasi massa, media online
menjadi objek kajian teori media baru (new media ), yaitu yang mengacu pada
permintaan akses ke konten (isi/informasi) kapan saja, dimana saja, pada setiap
perangkat digital serta umpan balik pengguna interaktif, partisipasi kreatif, dan
pembentukan komunitas sekitar konten media, juga aspek generasi „real time‟.
Secara teknis, media online adalah media berbasis telekomunikasi dan multimedia
(komputer dan internet). Hal-hal yang termasuk kategori media online adalah
portal, website, radio online, TV online, dan email.
Dari segi konten atau sajian informasi, yang disajikan media online secara
umum sama dengan media cetak seperti koran atau majalah, yakni terdiri dari
berita, artikel opini, feature, foto, dan iklan yang dikelompokkan kategori tertentu.
Isi media online umumnya dibagi dua bagian, yaitu halaman dan kategori.
Halaman

biasanya

berisi

informasi

statis

sedangkan

kategori

berisi

pengelompokan jenis tulisan dari sisi topik atau tema (Romli: 2012: 30 - 35).

2.3 Model Teoretik
Model teoritik merupakan dasar pemikiran dari peneliti yang dilandasi
dengan konsep dan teori yang relevan guna memecahkan masalah penelitian. Hal
ini dimaksud agar peneliti mampu menjelaskan operasional fenomena penelitian
kualitatif dengan terstruktur dan efektif.
Teks Berita Pembunuhan Engeline
yang dimuat di viva.co.id
Periode 10 Juni – 16 Juni 2015

Framing Devices

1.
2.
3.
4.
5.



Metaphors
Exemplaar
Catchphrases
Depiction
Visual Images

Reasoning Devices

1. Roots
2. Appeals to
Principle
3. Consequences

Gambar 2.2 Alur kerangka pemikiran

31

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara