Konstruksi Realitas Media Massa (Analisis Framing Pemberitaan Korupsi M. Nazaruddin di Harian Republika)
di Harian Republika)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam
(S.Kom.I)
Di Susun Oleh:
Ahmad Fauzi
108051000099
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(2)
(3)
(4)
i Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1) Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukanuntuk memenuhi salah satu
persyaratan meraih gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2) Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3) Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan
jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia nemerima sanksi yang berlaku di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 26 September 2013
AHMAD FAUZI 108051000099
(5)
ii
belum memiliki status yang jelas di mata hukum. Kasus Nazaruddin dalam keterlibatannya dalam korupsi Wisma Atlet di Pamlembang menjadi alasan yang tepat bagi peneliti untuk meneliti ini lebih dalam.
Penelitian ini merupakan penelitian melalui pendekatan kualitatif dengan menggunakan analisis framing sebagai metodenya. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode observasi teks/document research. Observasi teks dalam hal ini dibedakan menjadi dua bagian, yaitu teks berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan sasaran utama dalam analisis, sedangkan data sekunder diperlukan guna mempertajam analisis data primer sekaligus dapat dijadikan bahan pelengkap ataupun pembanding. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan model framing Robert N. Entman. Dalam model framing ini memiliki empat elemen untuk mengetahui bagaimana sebuah media massa membingkai berita. Yakni define problem, dainose
causes, make moral judgment, dan treatment recommendation.
Pemilihan berita berdasarkan unsur kebaharuan. Karena kebaharuan di sini bukan hanya fakta yang baru saja terjadi, melainkan juga fakta yang telah lama terjadi namun terus terungkap kebenarannya. Pemberitaan ini menarik karena status Nazaruddin yang belum menjadi tersangka dan juga dalam posisi sakit.
Penelitian ini menemukan titik lemah pada diri Harian Umum Republika. Ini dapat terlihat dari bagaimana Republika memilih narasumber untuk dijadikan rujukan dalam pemberitaan mengenai kasus Nazaruddin. Republika hanya mengedepankan pendapat dari elit Partai Demokrat dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam membingkai berita ini. Mereka tidak bermain dari pendapat para pengamat maupun ICW (Indonesian Corruption Watch) yang selalu menyuarakan ke kritisannya terhadap isu ini. Alhasil, Republika memframe pemberitaan ini hanya datar saja tanpa mampu membawa pemikiran pembaca ke ruang yang lebih dalam.
Harian Republika juga mengesampingkan proses eksternalisasi dan
objektifikasi dalam proses pembentukan sebuah berita. Proses tersebut dibatasi oleh
internalisasi yang dilakukan oleh Republika yang menganggap bahwa pemberitaan
korupsi ini jangan sampai menimbulkan polemik baru karena menyampaikan informasi yang belum terkonfirmasi baik dari pelaku maupun pemberi informasi tersebut. Pembentukan berita seperti ini berbenturan dengan kebebasan pekerja medianya dalam mengkonstruk sebuah pemberitaan. Ini juga menempatkan mereka kepada satu keberpihakan semu. Mereka mengajak pembaca untuk menganggap korupsi adalah musuh bersama yang harus dilawan, namun dilain sisi mereka juga bermain aman dalam memberitakan sebuah informasi kourpsi.
(6)
iii
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Segala puji
dan syukur tercurah hanya kepada-Nya Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam tercurahkan
kepada Nabi Muhamad SAW yang telah membimbing kita pada derajat kemanusiaan yang lebih
baik.
Alhamdulillah atas hidayah-Nya, penulis berhasil menyelesaikan tugas skripsi. Skripsi
yang diberi judul “Konstruksi Realitas Media Massa (Analisis Framing Pemberitaan Korupsi M Nazaruddin di Harian Republika)” ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi penulis untuk memperoleh gelar sarjana dalam bidang Komunikasi dan Penyiaran Islam pada
Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari dalam pembuatan skripsi ini telah mendapat bantuan, dukungan dan
dorongan dari berbagai pihak sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan baik. Untuk itu
dengan segala kerendahan hati, perkenankanlah penulis mengungkapkan rasa terima kasih yang
setulus-tulusnya kepada:
1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Arief Subhan, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Jumroni M.Si dan Drs. Umi Musyarofah M.A. selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan
Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Gun Gun Heryanto M. Si. selaku Dosen Pembimbing Skripsi. Terima kasih penulis
(7)
v
walaupun terbang ke angkasa. Selalu mengajarkan kami (mahasiswa) untuk selalu
berproses menjadi orang hebat.
5. Segenap Dosen Fakultas Ilmu dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah banyak memberikan keilmuan serta berbagai wawasan dan
pengalamannya kepada penulis selama menuntut ilmu di jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam. Semoga penulis dapat mengamalkan ilmu yang telah Bapak dan Ibu
berikan, Amin.
6. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis dalam urusan administrasi selama
perkuliahan danpenelitian skripsi ini.
7. Syahruddin El-Fikri (Wakil Redaktur Pelaksana Harian Umum Republika) selaku
narasumber yang telah meluangkan waktu kepada peneliti untuk melakukan penelitian.
Kebesaran hati beliau untuk selalu membantu orang lain semoga selalu di ridhai oleh
Allah SWT.
8. Terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda SUAD dan Ibunda Hasanah yang
selalu mendukung langkah anak-anaknya dengan cara mereka sendiri untuk berproses
menjadi lebih baik lagi. Dengan kesederhanan kami diajarkan kehidupan.
9. Kakak-kakakku yang tersayang. Mulyati, M. Sidik, M. Idris SH, Umayyati, Nur Seha,
mereka luar biasa. Dengan pribadinya saya belajar kehidupan.
10.Keponakanku Habibi, Haidar, Nia yang selalu menjadi penghilang duka dan selalu
(8)
v
memberikan banyak cerita, pengalaman, dan inspirasi untuk penulis. Ferdian, Saiful
Bahri, Nurul Iman, Ika Kurnia Utami, Gana Buana, Anisaturohmah, Aimatunisa, Herdina
Rosidi, Aris Budi Sismansyah, Ade Irfan Abdurrahman, Lala. Kita menjadi hebat dengan
saling memberikan kelengkapan diantara kekurangan masing-masing. Kita luar biasa.
12.Semua pihak yang telah memberikan konstribusi terhadap penyelesaian skripsi ini yang
tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu, namun tidak mengurangi rasa hormat dan
ucapan terimakasih kepada semua pihak.
(9)
vi
LEMBAR PERNYATAAN ... i
ABSTRAK ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
D. Kajian Pustaka ... 7
E. Metdeologi Penelitian ... 8
BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konseptualisasi Konstruksi Realitas Sosial ... 14
B. Konseptualisasi Analisis Framing ... 22
C. Konseptualisasi Berita ... 28
1. Pengertian Berita ... 28
2. Syarat-syarat Berita ... 30
3. Nilai-nilai Berita ... 31
4. Jenis-jenis Berita ... 34
5. Sumber Primer dan Sumber Sekunder dalam Berita ... 36
D. Konseptualisasi Media Massa ... 37
(10)
vii
A. Harian Republika ... 43
1. Sejarah Perusahaan ... 43
2. Visi dan Misi Harian Republika ... 47
3. Konsep Produk ... 49
4. Struktur Redaksi ... 51
5. Segmentasi Pembaca ... 53
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA A. Konteks Kasus ... 54
1. Paparan Singkat Objek Penelitian Republika ... 57
B. Analisis Framing Pemberitaan Kasus M Nazaruddin di Harian Umum Republika ... 58
1. Frame Harian Republika dengan Judul “KPK Pastikan Panggil Nazaruddi” yang Terbit pada Tanggal 3 Juni 2011 ... 58
2. Frame Harian Republika dengan Judul “Langkah Jemput Paksa Bergantung Status Nazaruddin” yang Terbit pada Tanggal 6 Juni 2011 ... 62
3. Frame Harian Republika dengan Judul “Demokrat Gagal Bawa Pulang Nazaruddin” yang Terbit pada Tanggal 7 Juni 2011 ... 65
4. Frame Harian Republika dengan Judul “KPK Resmi Panggil Nazaruddin” yang Terbit pada Tanggal 9 Juni 2011 ... 69
(11)
viii
Juni 2011 ... 73
6. Frame Harian Republika dengan Judul “Nazaruddin Mangkir” yang Terbit pada Tanggal 11 Juni 2011 ... 76
7. Frame Harian Republika dengan Judul “Pemerintah dan KPK Lamban” yang Terbit pada Tanggal 12 Juni 2011 ... 80
8. Frame Harian Republika dengan Judul “KPK Pastikan Panggil Paksa Nazaruddin” yang Terbit pada Tanggal 16 Juni 2011 ... 82
9. Frame Harian Republika dengan Judul “Demokrat Respons Tudingan Nazar” yang Terbit pada Tanggal 18 Juni 2011 ... 85
10.Frame Harian Republika dengan Judul “KPK Segera Panggil TPF Demokrat” yang Terbit pada Tanggal 21 Juni 2011 ... 88
C. Pembahasan ... 91
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 99
B. Saran ... 100
1. Saran Akademisi ... 100
2. Saran Praktisi ... 101
DAFTAR PUSTAKA ... 102
(12)
ix
Tabel 1 ... 61
Tabel 2 ... 64
Tabel 3 ... 68
Tabel 4 ... 72
Tabel 5 ... 75
Tabel 6 ... 79
Tabel 7 ... 82
Tabel 8 ... 85
Tabel 9 ... 88
(13)
1 A. Latar Belakang Masalah
Isi media merupakan sebuah informasi yang dapat merubah sebuah persepsi
masyarakat terhadap apa yang disampaikan oleh media tersebut. Apalagi isu yang di
sampaikan mengenai sebuah pemberitaan mengenai pemerintahan. Ini merupakan isu
sangat sensitive bagi khalayak. Semakin gencarnya media dalam memberitakan isu
tentang boroknya pemerintahan kita maka akan semakin gencar juga focus khalayak
terhadap isu tersebut.
Selama ini berita yang disampaikan oleh media elektronik maupun media
cetak hanya dianggap sebagai sebuah representasi dari kenyataan. Kenyataan itu
ditulis kembali dan ditransformasikan lewat berita. Ia bisa mengesampingkan
keberpihakan dan pilihan moral sehingga apa yang diungkapkan murni fakta, bukan
penilaian individu.
Biasanya kita menilai berita hanya melihat, mendengar dan membacanya saja
tanpa adanya sebuah pengaruh yang memasuki benak kita dalam menilai sebuah fakta
yang di sampaikan oleh media tersebut. Dalam buku Jumroni (2006) Alex Sobur
mendefinisikan media massa sebagai “suatu alat untuk menyampaikan berita, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, ia mempunyai kemampuan
untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini public, antara lain,
(14)
gagasan, dan bahkan suatu kepentingan atau citra yang ia representasikan untuk diletakkan dalam konteks kehidupan yang lebih empiris”.1
Dari penjelasan diatas, dapat kita mengerti memang saat kita membaca,
mendengar, dan melihat sebuah informasi yang terjadi kita tidak hanya melakukan
kegiatan tersebut saja, tetapi kita telah terkonstruksi pemikiran kita terhadap isi
pemberitaan tersebut.
Dalam pandangan konstruksionis media bukanlah saluran yang bebas, ia juga
subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan
pemihakannya. Di sini media di pandang sebagai agen konstruksi social yang
mendefinisikan realitas.
Setelah mereka memahami bahwa media bukan hanya menyampaikan berita
saja, lalu mereka menafsirkan isi berita tersebut melalui penafsiran mereka sendiri.
Setiap orang memiliki pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu akan menafsirkan
realitas itu dengan konstruksinya masing-masing.2 Jadi, seseorang akan menafsirkan
isi berita sesuai dengan apa yang melekat pada dirinya, bisa berupa pengalaman,
pendidikan, dan preferensi yang pernah mereka alami sendiri.
Dalam pandangan konstruktivis wartawan tidak bisa menyembunyikan
keberpihakannya, karena ia merupakan bagian intrinsic dalam pembentukan berita. Di
sini wartawan bukan sebagai palapor yang hanya memindahkan realitas ke dalam
sebuah berita. Di dalam pemberitaan wartawan memang tidak hanya memindahkan
1
Jumroni dan Suhaimi, Metode-Metode Penelitian Komunikasi, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 85
2
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media,(Yogyakarta: Lkis, 2002), h. 18
(15)
realitas yang terjadi di dalam masyarakat ke dalam sebuah berita, tetapi wartawan
juga menafsirkan realitas yang terjadi sesuai penafsiran mereka sendiri baru mereka
masukkan ke dalam berita. Hal ini terjadi karena pemberitaan berimbang sulit
bersaing dengan pemberitaan memihak, karena pembaca cenderung membaca apa
yang memang ingin dibacanya, bukan apa yang seharusnya dibaca.3
Kepemilikan media menjadi hal yang sangat dilematis dalam dinamika
industry media. Dalam hal ini, siapapun yang memiliki modal besar dan mempunyai
kepentingan akan berusaha menguasai media. Karena era perpolitikan Indonesia saat
ini telah memasuki fase politik pencitraan. Di mana media sebagai mediator paling
ampuh sebagai media pencitraan kepentingan mereka. Walaupun apa yang mereka
sampaikan hanya berupa pesan-pesan simbolik saja.4
Hal ini terjadi ketika sekarang banyak pengusaha yang memiliki kepentingan
di dunia politik menjadi pemilik sebuah media untuk alat pencitraan dirinya. Tentu
hal ini sangatlah menarik untuk lebih di teliti terhadap pemberitaan yang di
sampaikan oleh Koran Harian Republika. Dalam melihat konteks ini perlu kita teliti
bagaimana Republika memposisikan dirinya dalam menyampaikan pemberitaan.
Tentunya pengaruh yang diberikan oleh pemilik media dalam menyampaikan
berita dan juga perspektif wartawan yang dimasukkan dalam isi berita pun akan
sangat mempengaruhi para pembaca menafsirkan pemberitaan yang di sampaikan
Harian Republika. Atas dasar itulah penilitian ini sangat penting untuk dilaksanan.
3
Rivers, L. William. Jensen, W Jay & Peterson, Theodore, Media Massa dan Masyarakat Modern, (Jakarta: Kencana, 2008) h. 12
4
Merujuk pada tulisan Gun Gun Heryanto ( SINAR HARAPAN, 9 February 2011 ) mengutip pada tulisan Pamela J Shoemaker dan Stephen D Reese dalam bukunya Mediating the Message: Theories of Influence on Mass Media Content
(16)
Kasus korupsi Nazaruddin ini sangat mengejutkan banyak pihak. Dan untuk
menyelesaikan kasus ini pun sesungguhnya membutuhkan waktu yang sangat lama.
Pernah muncul dipermukaan bahwa untuk menyelesaikan kasus yang melibatkan
mantan bendahara umum Partai Demokrat ini membutuhkan waktu seratus tahun.
Awal mula kasus ini adalah dari tertangkapnya Sesmenpora (Sekretaris
Menteri Pemuda dan Olahraga) Wafid Muaharram, bos PT Duta Graha Indah M El
Idris, dan seorang perantara Mindo Rosalina. Ketiganya ditangkap atas dugaan
penyuapan terkait proyek Wisma Atlet SEA Games 2011. Pengacara Rosalina,
Kamarudin Simanjuntak menyatakan kliennya sebagai bawahan Nazarudin.
Pernyatann ini terus bergulir di media massa dan menimbulkan dugaan keterlibatan
beberapa elit partai tersebut.
Tentu saja Nazarudin menolak pernyataan dari pengacara Rosalina tersebut.
Nazarudin membantah semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya dan Partai
Demokrat. Pemberitaan yang tersu bergulir di media massa tentang kerterkaitannya
Nazarudin dengan kasus penyuapan tersebut memaksa Dewan Kehormatan Partai
Demokrat memecat Nazarudin dari jabatan Bendahar Umum. Pada tanggal 24 Mei
2011 KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menerbitkan surat bepergian ke luar
negeri terhadap Nazarudin. Namun, Nazarudin telah terbang ke Singapura dengan
alasan berobat, bersamaan waktunya dengan pengumuman pemecatan dirinya dari
Demokrat.
Inilah awal mula pelarian Nazarudin di luar negeri. Pada 10 Juni 2011 Partai
(17)
Jhonny Allen Marbun. Tim berhasil menemui Nazarudin di Singapura, namun gagal
membawa pulang Nazarudin ke tanah air. Keberadaan Nazarudin di Singapura karena
sedang berobat dan dalam keadaan sakit berdasarkan keterangan pers yang dilakukan
Partai Demokrat.
Selama pelariannya di luar negeri, Nazarudin selalu membeberkan informasi
tentang beberapa kader Partai Demokrat kepada para wartawan melalui blackberry
messanger. Sampai pada akhirnya tanggal 14 Agustus 2011 Nazarudin berhasil
dibawa pulang dari persembunyiannya di Cartagena, Kolombia.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini lebih focus dan terarah serta tidak
terjebak pada pembahasan yang terlalu luas, peneliti membatasi masalah hanya dilihat
dari berita-berita yang berkaitan dengan kasus M. Nazaruddin Bendahara Partai
Demokrat yang disampaikan oleh Harian Republika. Lebih tepatnya lagi, pembatasan
masalah pada penelitian ini adalah pemilihan berita yang diterbitkan oleh Harian
Republika pada tanggal 3, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 16, 18, 21 Juni 2011.
2. Perumusan Masalah
Dari penjelasan di dalam latar belakang masalah, fokus penelitian ini
mengarah lebih kepada untuk menguji apa yang dikatakan dalam pandangan
konstruksionis yang menyatakan bahwa media bukanlah saluran yang bebas, ia juga
(18)
pemihakannya. Di sini media di pandang sebagai agen konstruksi sosial yang
mendefinisikan realitas.
Jika dilihat dari pandangan konstruksionis, sebenarnya pada saat ini media
yang sudah mengutamakan keuntungan dan pemilik media yang sudah memiliki
kepentingan di dunia perpolitikan. Peneliti ingin mengetahui apakah media dalam
mengkonstruksi realitas benar-benar berasal dari pandangan wartawan bukan dari
pemilik media. Apakah di harian ini sudah terdapat kebebasan jurnalistik dalam
mengkonstruk berita.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin di capai dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara Harian Umum Republika
membingkai pemberitaan menengenai kasus M Nazaruddin.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang penulis harapkan dari adanya penelitian ini antara
lain sebagai berikut:
a. Secara akademisi dapat menjadi bahan rujukan dan menambah
khazanah ilmu pengetahuan untuk para aktivis dan para akademisi
(19)
b. Secara praktisi dapat dijadikan contoh dan menambah pengetahuan,
wawasan serta pedoman terhadap bagaimana media cetak mampu
mengkonstruksi pemikiran pembacanya.
D. Kajian Pustaka
Setelah peneliti malakukan pengamatan di perpustakaan Faklultas Dakwah
dan Perpustakaan Utama UIN Jakarta. Peneliti mendapatkan penelitian yang sama,
hanya saja penelitian yang sudah ada kebanyakan tentang pemberitaan keagamaan
saja jarang yang menyinggung politik.
Sedangkan penelitian tentang analisis framing terhadap pemberitaan di media
massa hanya ada satu penelitian yang dilakukan oleh Donie Kadewandana.
Donie Kadewandan melakukan penelitian dengan judul “ Konstruksi Realitas di Media Massa (Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia
PDI-P di Harian Kompas dan Republika)”.
Perbedaan antara penelitian yang peneliti lakukan dengan penelitian saudara
Donie Kadewandana. Kalau peneliti sendiri meneliti tentang pemberitaan kasus
korupsi yang dilakukan oleh M. Nazzaruddin di harian Republika, sedangkan
penelitian yang dilakuakan oleh Donie adalah analisis framing pada kasus Baitul
Muslimin yang merupakan sayap islam dari PDI-P pada pemberitaan Harian Kompas
dan Republika. Disini terlihat jelas perbedaan antara peneliti dengan penelitian
terdahulu, yakni penelitian sekarang lebih berfokus terhadap kasus politik yang
(20)
berfokus terhadap peranan organisasi sayap yang didirikan oleh Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan yaitu Baitul Muslimin.
Dari tinjauan pustaka ini, peneliti yakin apa yang akan di teliti belum pernah
ada sebelumnya. Maka dengan itulah peneliti yakin mengajukan penelitian teersebut
sebagai langkah awal untuk mengajukan skripsi.
E. Metodelogi Penelitian 1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif memusatkan perhatian pada
prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di
dalam masyarakat. Obyek analisis dalam pendektatan kualitatif adalah makna dari
gejala-gejala sosial dan budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat
bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai katagorisasi tertentu.5
Menurut Crasswell, beberapa asumsi dalam pendekatan kualitatif yaitu
pertama, peneliti kualitatif lebih mementingkan proses daripada hasil. Kedua, peneliti
kualitatif lebih memerhatikan interpretasi. Ketiga, peneliti kualitatif merupakan alat utama dalam menumpulkan data dan analisis data serta peneliti kualitatif harus terjun
langsung ke lapangan, melakukan observasi partisipasi di lapangan. Keempat, peneliti kualitatif menggambarkan bahwa peneliti terlibat dalam proses penelitian, interpretasi
data, dan pencapaian pemahaman melalui kata atau gambar.6
5
Burhan Bungin, Sosiologi komunikasi massa: ( teori, paradigma dan diskursus teknologi komunikasi di masyarakat ) (Jakarta: Kencana, 2007) h. 306
6
(21)
2. Metode Penelitian
Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah analisis framing. Analisis
framing adalah analisis yang di gunakan untuk mengetahui bagaimana realitas (aktor,
kelompok, atau apa saja) di konstruksi oleh media.7 Yang menjadi titik perhatian
bukan apakah media memberitakan negatif atau positif, melainkan bagaimana bingkai
yang dikembangkan oleh media. Sikap mendukung, positif, atau negatif hanyalah
efek dari bingkai yang dikembangkan oleh media.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode observasi
teks/document research. Observasi teks dalam hal ini dibedakan menjadi dua bagian, yaitu teks berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan sasaran
utama dalam analisis, sedangkan data sekunder diperlukan guna mempertajam
analisis data primer sekaligus dapat dijadikan bahan pelengkap ataupun pembanding.
a. Data primer (primary-sources), yaitu teks berita dari harian Republika.
b. Data sekunder (secondary-sources), yaitu berupa buku-buku, website, literature-literatur lain yang ada relevansinya dengan materi penelitian untuk
selanjutnya dijadikan bahan argumentasi, untuk kemudian menjadi bahan
penelitian skripsi ini.
4. Unit Analisis
Unit analisis dari penelitian ini adalah teks berita yang dipakai dalam kasus
korupsi yang melibatkan bendahara umum Partai Demokrat M. Nazarudin pada
harian Republika.
7
(22)
5. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan cara yang dipakai untuk menganalisis, mempelajari,
serta mengoolaha kelompok data tertentu sehingga dapat diambil suatu kesimpulan
yang kongkrit tentang persoalan yang diteliti dan dibahas. Oleh karena yang digali
berupa data kualitatif, maka analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Mengikuti Bogdan dan Biklen, analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan
dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-memilahnya
menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari, dan menemukan
pola menemukan apa yang penting, dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa
yang dapat diceritakan oleh orang lain.8
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan model framing Robert N. Entman. Konsep framing, oleh Entman, digunakan untuk “menggambarkan proses seleksi dan menonjolkan aspek tertentu dari realitas oleh media”.9
Framing dapat
dipandang sebagai penempatan informasi dalam konteks yang khas sehingga isu
tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada isu yang lain.
Framing memberi tekanan lebih pada bagaimana teks komunikasi ditampilkan
dan bagian mana yang ditonjolkan/dianggap penting oleh pembuat teks.10 Kata
penonjolan itu sendiri dapat didefinisikan: membuat informasi lebih terlihat jelas,
lebih bermakna, atau lebih mudah diingat khalayak, lebih terasa dan tersimpan dalam
memori dibandingkan dengan yang disajikan secara biasa.
8
Lexy. J. Moloeng, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006) h. 248
9
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, h. 220
10
(23)
Entman melihat framing dalam dua dimensi besar: seleksi isu dan penekanan
atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/isu. Penonjolan adalah proses
membuat informasi menjadi lebih bermakna, lebih menarik, berarti, atau lebih diingat
oleh khalayak. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mempunyai
kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam
memahami suatu realitas.11
Dalam konsepsi Entman, framing pada dasarnya merujuk pada pemberian
definisi, penjelasan, evaluasi, dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk
menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap wacana yang diwacanakan.12
Frame berita timbul dalam dua level. Pertama, konsepsi mental yang digunakan untuk memproses informasi dan sebagai karakterisitik dari teks berita.
Kedua, perangkat spesifik ari narasi berita yang dipakai untuk membangun pengertian
mengenai persitiwa. Frame berita dibentuk dari kata kuci, metafora, konsep, symbol,
citra yang ada dalam narasi berita. Karenanya, frame dapat dideteksi dan diselidiki
dari kata, citra dan gambar tertentu yang memberi makna tertentu dari teks berita.
Kosa kata dan gambar itu ditekankan dalam teks sehingga lebih menonjol
dibandingkan bagian lain dalam teks.13
Dalam model Entman, mem frame sebuah berita memiliki empat elemen:
1. Define problems (pendefinisian masalah) adalah elemen yang pertama kali
dapat kita lihat mengenai framing. Ini merupakan master frame/bingkai yang paling utama. Ia menekankan bagaimana peristiwa dipahami oleh wartawan.
11
Ibid, h, 221
12
Ibid, h. 222
13
(24)
Ketika ada masalah atau peristiwa, bagaimana peristiwa atau isu tersebut
dipahami. Peristiwa yang sama bisa dipahami secara berbeda. Dan bingkai
yang berbeda ini menyebabkan realitas bentukan yang berbeda.14
2. Diagnose causes (memperkirakan penyebab masalaha), merupakan elemen
framing untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai actor dari suatu
peristiwa. Penyebab di sini bisa berarti apa (what), tetapi bisa juga berarti siapa (who). Bagaimana peristiwa dipahami, tentu saja menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah. Karena itu, masalah yang
dipahami secara berbeda, penyebab masalah secara tidak langsung juga akan
dipahami secara berbeda pula.15
3. Make moral judgement (membuat pilihan moral) adalah elemen framing yang
dipakai untuk membenarkan/memberi argumentasi pada pendefinisian
masalah yang sudah dibuat. Ketika masalah sudah didefinisikan, penyebab
masalah sudah ditentukan, dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk
mendukung gagasan tersebut. Gagasan yang dikutip berhubungan dengan
sesuatu yang familiar dan dikenal oleh khalayak.16
4. Treatment recommendation (menekankan penyelesaian). Elemen ini
digunakan untuk menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan. Jalan apa yang
dipilih untuk menyelesaikan masalah. Penyelesaian itu tentu saja sangat
14
Ibid, h. 225
15
Ibid, h. 225
16
(25)
tergantung bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa yang dipandang sebagai
penyebab masalah.17
Selanjutnya data diolah dengan penjelasan table-tabel yang merujuk pada
model Robert N. Entman, sehingga penyajian table serta teori itu akan tampak
bagaiamana Harian Republika mengangkat pemberitaan seputar korupsi yang
dilakukan M. Nazarudin.
17
(26)
14 KAJIAN TEORI
A. Konseptualisasi Konstruksi Realitas Sosial
Bagi banyak orang media merupakan sumber untuk mengetahui suatu
kenyataan atau realitas yang terjadi, bagi masyarakat biasa, pesan dari sebuah media
akan dinilai apa adanya. Apa kata media dan bagaimana penggambaran mengenai
sesuatu, begitulah realitas yang mereka tangkap.1
Berita dari sebuah media bagi masyarakat umum dipandang sebagai barang
suci yang penuh obyektifitas. Namun berbeda dengan kalangan tertentu yang
memahami betul gerak pers. Mereka akan menilai lebih dalam terhadap pemberitaan,
yaitu dalam setiap penulisan berita ternyata menyimpan subjektivitas seorang penulis.
Seorang penulis pasti akan memasukkan ide-ide mereka dalam analisis data-data
yang diperoleh di lapangan.
Kenyataan ini seperti mengamini bahwa media berhasil dalam tugasnya
merekonstruksi realitas dari peristiwa itu sendiri, sehingga pembaca terpengaruh dan
memiliki pandangan seperti yang diinginkan media dalam menilai suatu peristiwa.
Isi media adalah hasil konstruksi realitas dengan ideologi, kepentingan,
keberpihakan media dalam memandang sebuah berita, apalagi bila berita tersebut
memiliki akibat yang mungkin menguntungkan atau merugikan media berkaitan
dengan pihak-pihak berpengaruh terhadap pemberitaan peristiwa itu.
1
Zulkarnaen Nasution, Sosiologi Komunikasi Massa. (Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka Departemen Pendidikan Nasional, 2004), h. 10
(27)
Isi media adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai dasarnya,
sedangkan bahasa bukan saja alat mempresentasikan realitas, tetapi juga menentukan
relief seperti apa yang hendak diciptakan bahasa tentang realitas tersebut. Akibatnya
media massa mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi makna dan
gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksinya.2
Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of reality) menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann melalui
bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in the
Sociological of Knowledge (1966). Ia menggambarkan proses sosial melalui tindakan
dan interaksinya, di mana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas
yang dimilki dan dialami bersama secara subyektif.3
Konstruksi realitas sosial adalah sebuah teori yang diciptakan oleh Peter L.
Berger dan Thomas Luckmann. Dalam teori ini berpandangan bahwa realitas
memiliki dimensi subjektif dan objektif. Manusia merupakan instrumen dalam
menciptakan realitas yang objektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana ia
memengaruhinya melalui proses internalisasi yang mencerminkan realitas yang
subjektif. Dengan demikian, masyarakat sebagai produk manusia, dan manusia
sebagai produk masyarakat, yang keduanya berlangsug secara dialektis: tesis,
antitesis dan sintesis. Kedialektisan itu sekaligus menandakan bahwa masyarakat
tidak pernah sebagai produk akhir, tetapi sebagai proses yang sedang terbentuk.
2
Ibnu Hamad, dkk., Kabar-kabar Kebencian. (Jakarta: Institute Studi Arus Informasi. PT. sembrani Aksara Nusantara, 2001) h. 74-74.
3
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008) h. 13
(28)
Manusia sebagai individu sosial pun tidak pernah stagnan selama ia hidup ditengah
masyarakatnya.
Asal mula konstruksi sosial dari filsafat konstruktivisme, yang dimulai dari
gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut von Glasersfeld, pengertian
konstruktif kognitif muncul pada abad ini.4
Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme:5
1. Konstruktivisme radikal; konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui
apa yang dapat dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk ini tidak selalu
representasi dunia nyata. Kaum konstruktivisme radikal
mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai
suatu kriteria kebenaran. Pengetahaun bagi mereka tidak merefleksi suatu
realitas ontologis obyektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh
pengalaman seseorang.
Bentuk ini biasanya hanya mengakui apa yang dihasilkan oleh pikiran
kita. Mereka tidak menganggap pengetahuan sebagai sebuah realitas.
Karena realitas adalah sesuatu yang dibentuk oleh pengalaman seseorang.
Misalnya adalah, orang Barat akan menilai Islam sebagai sebuah agama
yang mengajarkan kekerasan. Ini karena mereka melihat realitas yang
terjadi selama ini dalam sisi islam begitu banyaknya aksi-aksi kekerasan
yang melibatkan umat islam dalam menegakan amar ma’ruf nahi mungkar.
4
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi (Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat), (Jakarta: Kencana 2006), h. 193
5
(29)
2. Realisme hipotesis; dalam pandangan realisme hipotesis, pengetahuan
adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan
menuju kepada pengetahuan yang hakiki.
Dalam bentuk ini mereka mengakui pengetahuan sebagai sebuah
hipotesis, lalu mereka membandingkannya dengan segala hipotesis yang
melibatkan sebuah relaitas sehingga meneguhkan diri mereka menuju
pengetahuan yang hakiki. Misalnya islam belum tentu benar walaupun Al-Qur‟an menuliskan keagungang kebenarannya, selama realitas dari umat islam itu sendiri tidak menunjukkan kebenaran dalam Al-Qur‟an. Bentuk ini akan terus melakukan dugaan-dugaan terkait kebenaran pengetahuan
dan juga realitas yang terjadi dalam lingkungan social.
3. Konstruktivisme biasa; konstruktivisme biasa mengambil semua
konsekuensi konstruktivisme dan memahami pengetahuan sebagai sebuah
gambaran dari realitas itu. Kemudian pengetahuan individu dipandang
sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari realitas objek dalam dirinya
sendiri.
Antara pengetahuan dan pengalaman seseorang mampu menjadi sebuah
realitas dari seseorang. Lebih tepatnya pengetahuan seseorang dipengaruhi
oleh pengalaman seseorang dalam realitas tersebut yang mamou
membentuk dirinya dalam sebuah lingkungan.
Menurut Mufid (2007), Berger dan Luckmann menilai proses mengkonstruksi
melalui interaksi sosial yang dialektis dari tiga bentuk realitas, yakni symbolic reality,
(30)
tiga momen simultan: eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.6 Objective reality, merupakan suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan)
serta rutinitas tindakan dan tingkahlaku yang telah mapan terpola (tercakup di
dalamnya adalah berbagai institusi sosial dalam pasar), yang kesemuanya dihayati
oleh individu secara umum sebagai fakta. Symbolic reality, merupakan semua ekspresi simbolik dari apa yang dihayati sebagai „objectiver reality‟, termasuk di dalamnya teks industry media, representasi pasar, kapitalisme dan sebagainya dalam
media. Sedangkan objective reality merupakan konstruksi definisi realitas (dalam hal ini misalnya media, pasar, dan seterusnya) yang dimiliki individu dan di konstruksi
melalui proses internalisasi.
Adapun dalam pandangan Peter L. Berger tiga tahapan yang dimaksud di sini
adalah7:
1. Eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke
dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi
sifat dasar manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat dimana dia
berada.
Proses ini berawal dari latar belakang seseorang dalam melakukan
pencurahan dirinya kedalam sebuah realitas. Proses ini dapat dilihat dari
latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi dan lain sebagainya. Latar
belakang akan mempengaruhi seseorang dalam melihat realitas.
6
Muhammad Mufid, Komunikasi dan Regulasi penyiaran,( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 92
7
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media (Yogyakarta: LKiS, 2002), h. 16
(31)
2. Objektivikasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas
objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai
suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang
menghasilkannya.
Setelah manusia mencurahkan dirinya ke dalam sebuah realitas, maka
mereka akan menghasilkan sebuah pemaknaan pada dirinya terkait dengan
realitas sekitarnya. Seorang yang berlatar belakang Muslim radikal
misalnya akan melihat perjuangan Front Pembela Islam (FPI) sebagai
tindakan yang wajar dalam melakukan kekerasan untuk menegekan amar
ma’ruf nahi mungkar. Sedangkan bagi seorang Muslim Moderat perbuatan tersebut dinilai sebagai sebuah tindakan yang melanggar
hukum. Karena akan mengganggu kerukunan umat beragama, selain itu
mereka juga akan menganggap FPI sebagai sebuah organisasi liar yang
melakukan penertiban iman. Latar belakang seseorang akan menghasilkan
realitas yang berbeda dalam melihat kondisi social.
3. Internalisasi, proses ini lebih merupakan penyerapan kembali dunia
objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu
dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia
yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas di
luar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran.
(32)
Dalam tahap ini adalah bagaimana manusia kembali merefleksikan apa
yang telah ia hasilkan melalui pencurahan dirinya ke dalam sebuah realitas
dan melihat apa yang dipersepsikan oleh lingkungan sekitar terhadap
realitas yang sama. Misalnya, sebagai pekerja media, seorang wartawan
tidak akan mungkin menuliskan hasil pencurahan dirinya dalam sebuah
realitas untuk dijadikan sebuah berita. Biasanya mereka dibatasi oleh
pengertian-pengertian yang dihasilkan oleh rapat redaksi dalam membuat
realitas dalam sebuah pemberitaan. Dan ini terjadi pada tubuh media
manapun.
Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang
diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi.8 Dari
pernyataan seperti itu, berarti realitas tidak pernah memiliki wajah aslinya, akan
selalu ada perbedaan. Setiap orang akan memiliki tafsiran sendiri dalam menghadapi
realitas. Pengalaman, preferensi, pendidikan, dan lingkungan pergaulan akan
menafsirkan sebuah realitas sosial dengan konstruksinya masing-masing.
Ada tiga hal penting dalam penyiapan materi konstruksi sosial yaitu:9
1. Keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Sebagaimana diketahui
saat ini hampir tidak ada lagi media massa yang tidak dimiliki oleh
kapitalis. Dengan demikian, media massa tidak bedanya dengan super
market. Semua elemen media massa, termasuk orang-orang media massa
8
Ibid, h. 18
9
(33)
berpikir untuk melayani kapitalisnya, ideologi mereka adalah membuat
media massa yang laku di masyarakat.
2. Keberpihakan semu kepada masyarakat. Bentuk dari keberpihakan ini
adalah dalam bentuk empati, simpati dan berbagai partisipasi kepada
masyarakat, namun ujung-ujungnya adalah untuk “menjual berita” dan menaikan rating untuk kepentingan kapitalis.
3. Keberpihakan kepada kepentingan umum. Bentuk keberpihakan kepada
kepentingan umum dalam arti sesungguhnya sebenarnya adalah visi setiap
media massa, namun akhir-akhir ini visi tersebut tidak pernah
menunjukkan jati dirinya, namun slogan-slogan tentang visi ini tetap
terdengar.
Jadi, dalam menyiapkan materi konstruksi, media massa memosisikan diri
pada tiga hal tersebut di atas, namun pada umumnya keberpihakan kepada
kepentingan kapitalis menjadi sangat dominan mengingat media massa adalah mesin
produksi kapitalis yang mau apaupun tidak harus menghasilkan keuntungan.
Tidak jarang dalam menyiapkan sebuah materi pemberitaan, terjadi
pertukaran kepentingan di antara pihak yang berkepentingan, seperti
pihak-pihak yang berkepentingan dengan sebuah kepentingan pemberitaan, membeli
halaman-halaman tertentu atau jam-jam siaran tertentu dengan imbalan pertukaran,
bukan saja uang dan materi lain, akan tetapi bisa menjadi blow up terhadap pencitraan terhadap pihak-pihak yang membeli pemberitaan itu.
(34)
a. Media dan Berita dilihat Dari Paradigma Konstruksionis
Pendekatan konstruksionis memiliki penilaian sendiri bagaimana media,
wartawan, dan berita dilihat. Fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum
konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif.10 Realitas itu hadir, karena dihadirkan
oleh konsep subjektif wartawan. Realitas tercipta atas konstruksi, sudut pandang
tertentu dari pandangan wartawan. Disini tidak ada realitas yang bersifat objektif,
karena realitas itu tercipta lewat konstruksi dan pandangan tertentu.
Pertanyaan utama dalam pandangan konstruksionis adalah fakta berupa
kenyataan itu sendiri bukan suatu yang terberi melainkan ada dalam benak kita yang
melihat fakta tersebut. Kitalah yang memberi definisi dan menentukan fakta tersebut
sebagai kenyataan. Fakta ada dalam konsepsi pemikiran orang. Kitalah yang secara
aktif mendefinisikan peristiwa tersebut sebagai peristiwa kriminalitas politik.
B. Konseptualisasi Analisis Framing
Analisis framing adalah salah satu metode analisis teks yang berada dalam
kategori penelitian konstruksionis. Paradigma ini memandang realitas kehidupan
social bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil dari konstruksi. Karenanya,
konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana
peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk.
Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis ini seringkali disebut sebagai
paradigm produksi dan pertukaran makna.11
10
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, h. 22
11
(35)
Pada dasarnya, analisis framing adalah versi terbaru dari pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisis teks media. Gagasan menegani framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1995. Mulanya, frame dimaknai sebagai
struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan
politik, kebijkan dan wacana saerta menyediakan kategori-kategori standar untuk
mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman
pada tahun 1974, yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku
(strips of behavior) yang membimbing individu dalam membaca realitas.12
Dalam konsep komunikasi, framing digunakan untuk membedah sebuah berita yang ditampilkan oleh media massa dengan melihat isu-isu apa saja yang
ditonjolkan dan isu-isu yang dibuang. Dengan cara itu, kita dapat mengetahui
keberpihakan media massa dalam menyampaikan berita.
Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk mebedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati stategi
seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih
menarik, lebih berarti atau diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai
perspektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika
menyeleksi isu dan menulis berita.13
Framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan
dikonstruksi oleh media. Proses pembentukan dan konstruksi realitas itu, hasil
12
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. (Bandung: PT. Remaja Rosadakarya, 2006), h. 162
13
(36)
akhirnya adalah adanya bagian tertentu dari realitas yang lebih menonjol dan lebih
mudah dikenal. Akibatnya, khalayak lebih mudah mengingat aspek-aspek tertentu
yang disajikan secara menonjol oleh media. aspek-aspek yang tidak disajikan secara
menonjol, bahkan tidak diberitakan, menjadi terlupakan dan sama sekali tidak
diperhatikan oleh khalayak.14
Analisis framing adalah salah satu metode analisa media. Seperti halnya
analisis isi dan semiotik. Framing secara sederhana adalah membingkai sebuah
peristiwa. Sobur mengatakan bahwa analisis framing digunakan untuk mengetahui
bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan wartawan ketika menyeleksi
isu dan menulis berita.15 Cara pandang dan perspektif itu pada akhirnya menentukan
fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan serta hendak
dibawa kemana berita tersebut.
Framing adalah metode penyajian realitas dimana kebenaran tentang suatu
realitas tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan
memberikan sorotan terhadap aspek-aspek tertentu saja, dengan menggunakan
istilah-istilah yang mempunyai koneksi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur dan alat
ilustrasi lainnya, dengan kata lain dibingkai, dikonstruksi dan dimaknai oleh media.16
Framing juga dapat dimaknai sebagai tindakan penyeleksi aspek-aspek realitas yang
tergambar dalam teks komunikasinya dan membuatnya lebih menonjol dari
aspek-aspek yang lain, sambil memperkenalkan definisi problem tertentu, interpretasi
kausal, dan rekomendasi penanganan terhadap masalah yang dibicarakan.
14
Eriyanto, Analisis Framing. h. 76-77
15Rachmat Kriyanto, “Teknik Praktik: Riset Komunikasi”,
(Jakarta : Kencana, 2006), h. 253
16
(37)
Penonjolan merupakan proses agar membuat informasi lebih bermakna.
Sebuah realitas yang disajikan secara menonjol akan membuat pembaca memiliki
sebuah perhatian yang lebih terhadap informasi tersebut. Dalam praktiknya, framing dijalankan oleh sebuah media massa dengan menyeleksi isu tertentu dan
mengabaikan isu lain; serta menonjolkan aspek isu tersebut dengan menggunakan
pelbagai strategi wacana-penempatan yang mencolok (menempatkan di headline, halaman depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk
mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika
menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan.17
Kata penonjolan (salience) didefinisikan sebagai membuat sebuah informasi lebih diperhatikan, bermakna, dan berkesan. Suatu peningkatan dalam penonjolan
mempertinggi probabilitas penerima akan lebih memahami informasi, melihat makna
lebih tajam, lalu memprosesnya dan menyimpannya dalam ingatan, bagian informasi
dari teks dapat dibuat lebih menonjol dengan cara penempatannya atau pengulangan
atau mengasosiasikan dengan simbol-simbol budaya yang sudah dikenal.18
Analisis framing menanyakan mengapa peristiwa X diberitakan? Mengapa
peristiwa yang lain tidak diberitakan? Mengapa suatu tempat dan pihak terlibat?
Mengapa realitas didefinisikan dengan cara tertentu? Mengapa sisi atau angle tertentu
ditonjolkan sedangkan yang lain tidak? Mengapa fakta tertentu ditonjolkan sedangkan
17
Alex Sobur, Analisis Teks Media. h. 164
18
(38)
yang lain tidak? Mengapa menampilkan sumber X dan mengapa bukan sumber berita
yang lain yang diwawancarai?.19
Ada dua aspek dalam framing. Pertama, memilih fakta atau realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat peristiwa
tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan: apa
yang dipilh (included) dan apa yang dibuang (excluded). Bagian mana yang ditekankan dalam realitas? Bagian mana dari realitas yang tidak diberitakan?
Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angel tertentu, memilih fakta
tertentu, dan melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan
aspek lainnya. Intinya, peristiwa dilihat dari sisi tertentu. Akibatnya, pemahaman dan
konstruksi atau suatu peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan media lain.
Media yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu akan melahirkan
berita yang bisa jadi berbeda kalau media menekankan aspek atau perisitwa yang
lain.20
Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta
yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata,
kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan
sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekan-kan dengan
pemakaian perangkat tertentu: penempatan yang mencolok (menempatkan di
headline depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk
mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika
19Rachmat Kriyanto, “Teknik Praktik: Riset Komunikasi”,
h. 252
20
(39)
gambarkan orang/peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya,
generalisasi, simplifikasi, dan pemakaian kata yang mencolok, gambar dan
sebagainya. Elemen menulis fakta ini berhubungan dengan penonjolan realitas.
Pemakaian kata, kalimat atau foto itu merupakan implikasi dari memilih aspek
tertentu dari realitas. Akibatnya, aspek tertentu yang ditonjolkan menjadi menonjol,
lebih mendapatkan alokasi dan perhatian yang besar dibandingkan aspek lain. Semua
aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi
bermakna dan diingat oleh khalayak. Realitas yang disajikan secara menonjol atau
mencolok, mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan
mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas.
Framing ini pada akhirnya menentukan bagaimana realitas itu hadir di
hadapan pembaca. Apa yang kita tahu tentang realitas sosial pada dasarnya
tergantung pada bagaimana kita melakukan frame atas peristiwa itu yang memberikan pemahaman dan pemaknaan tertentu atas suatu peristiwa. Framing dapat mengakibatkan suatu peristiwa yang sama dapat menghasilkan berita yang secara
radikal berbeda ketika melihat peristiwa tersebut dan menuliskan pendangannya
dalam berita. Apa yang dilaporkan oleh media seringkali merupakan hasil dari
pandangan mereka (prediposisi perseptuil) wartawan ketika melihat dan meliput
peristiwa.21
21
(40)
C. Konseptualisasi Berita 1. Pengertian Berita
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) ada beberapa pengertian
berita, yaitu cerita atau keterangan mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat.
Berita juga diartikan sebagai kabar, laporan dan pemberitahuan atau pengumuman. Di
antara berbagai macam pengertian itu, salah satu yang cocok dengan konteks
pembicaraan jurnalistik adalah berita sebagai keterangan mengenai kejadian atau
persitiwa yang hangat. Satu kata terakhir dalam pengertian itu member tekanan
bahwa berita itu sebuah peristiwa yang hangat. Hagat dalam artian tentu saja sesuatu
yang baru saja terjadi dan penting untuk diketahui oleh khalayak.22
Kadangkala, feeling seorang wartawan harus main, harus jeli, di dalam menangkap setiap fakta atau peristiwa yang mengandung nilai berita. Bisa saja, fakta
dan peristiwanya biasa-biasa saja, namun karena kepiawaian wartawan, maka fakta
atau persitiwa yang diangkatnya mengandung peristiwa.23
Namun sebuah berita tidak selalu menyampaikan sebuah fakta atau informasi
yang baru saja terjadi. Bisa saja fakta atau informasi yang terjadi dalam beberapa
bulan yang lalu bisa kita jadikan sebuah berita saat ini.
Sebuah berita selalu menyampaikan fakta dan tidak semua fakta bisa
dijadikan sebuah berita karena tidak mampu menarik perhatian pembaca. Tugas
seorang reporter adalah bagaimana mencari sebuah fakta yang dapat dijadikan sebuah
22
Suhaemi dan Ruli, Nasrullah, Bahasa Jurnalistik. (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta: 2009). h. 27
23
R Masri Sareb Putra, Teknik Menulis Berita dan Feature (Jakarta: INDEKS Kelompok Gramedia: 2006) h. 33
(41)
berita dan mampu menarik perhatian pembaca. Jika sebuah fakta yang ada diberita
mampu menarik perhatian pembaca biasanya fakta yang terdapat di dalam berita
tersebut memiliki arti penting bagi kehidupan si pembaca.
Fakta dalam sebuah berita harus disertai dengan keakuratan nama, tanggal,
lokasi, dan kejadian yang terjadi tentang fakta tersebut. Reporter harus berhati-hati
apabila ingin menyampaikan sebuah fakta yang ingin dijadikan berita. Keakuratan
sebuah berita menjadi pertaruhan sendiri untuk reporter kepada media massa di
tempat dia bekerja dan pihak media massa kepada pembaca.
Di dalam menggali informasi reporter juga harus berani memberikan
pertanyaan kepada informan. Terkadang informan pun salah dalam menyampaikan
informasi. Agar wawancara yang dilakukan tetap terjaga fokus beritanya, seorang
reporter terlebih dahulu melakukan diskusi dengan editor berita untuk menemukan
pertanyaan-pertanyaan yang relevan dalam menjaga focus berita. Selain itu reporter
juga harus terlebih dahulu memahami apa yang menjadi masalah dalam mencari
informasi.
Berita semestinya berimbang. Keseimbangan isi berita adalah soal penekanan
dan kelengkapan. Reporter memberikan penekanan yang tepat untuk setiap fakta,
meletakkannya dalam hubungan yang tepat dengan fakta lain dan menunjukkan arti
penting relatifnya bagi ide utama atau focus berita. Berita biasanya dianggap
berimbang dan lengkap apabila reporter memberi informasi kepada pembacanya,
pendengarnya, atau pemirsanya tentang semua detail penting dari suatu kejadian
dengan cara yang tepat. Keseimbangan adalah pemilihan detail signifikan
(42)
berita berimbang adalah memberi kepada pembaca, pendengar atau pemirsa
pemahaman yang adil (fair) atas suatu peristiwa bukan untuk menjelaskan setiap detail dari fakta.24
2. Syarat-Syarat Berita
Menurut Harahap, ada beberapa syarat dalam suatu berita yaitu sebagai berikut:25
a. Akurat, singkat, padat, jelas dan sesuai dengan kenyataan.
b. Tepat waktu dan actual.
c. Objektif, sama dengan fakta yang sebenarnya, tanpa opini dari penulis yang
dibuat-buat.
d. Menarik, apa yang disajikan terdiri dari kata-kata dan kalimat yang khas,
segar dan enak dibaca.
e. Baru/belum diberitakan sebelumnya atau merupakan ulangan “baru”. Ini sangat penting yang bisa menarik perhatian.
Demikinalah beberapa criteria mengenai pemilihan atau penetapan suatu
peristiwa yang dapat diangkat menjadi berita. Dengan memperhatikan hal itu, berarti
sebagian dari persyaratan suatu berita yang baik sudah terpenuhi.
Struktur berita, khususnya berita langsung (straight news), pada umumnya mengacu kepada struktur piramida terbalik yakni memulai penulisan berita dengan
mengemukakan fakta yang dianggap penting, kemudian diikuti bagian-bagian yang
dianggap agak penting, kurang penting dan seterusnya. Struktur berita selengkapnya:
24
Tom E. Rolnicki, dkk., ”Pengantar Dasar Jurnalistik”, Edisi kesebelas(Jakarta: Kencana 2008) h. 5
25Sr. Maria Assumpta Rumanti OSF, “
Dasar-dasar Public Realation: Teori dan Praktik”,
(43)
a. Judul
b. Date line yaitu tempat atau waktu berita itu diperoleh dan disusun.
c. teras berita yaitu bagian berita yang terletak dibagian pertama.
d. Isi berita.
3. Nilai-nilai Berita
a. Kebaharuan
Kebaharuan dalam menyampaikan sebuah berita bagi media massa sangatlah
penting.26 Bahkan dalam menyampaikan berita atau fakta yang telah lama terjadi. Dalam menyampaikan berita yang seperti ini sering kali menggunakan kata “hari ini” dalam sebuah berita untuk menyampaikan kebahruan fakta terbaru dari berita yang
telah lama terjadi dan diberitakan. Biasanya fakta terbaru seperti ini adalah dampak
dari sebuah fakta lama yang terus terungkap.
b. Kedekatan
Kedekatan dari sebuah berita atau fakta bukan hanya tentang jarak geografis
saja.27 Kedekatan dari sebuah isi berita bisa dilihat juga dari aspek minat dari para
pembacanya. Ini menunjukkan bahwa tidak hanya kedekatan geografis saja yang
membuat pembaca tertarik kepada sebuah berita, melainkan juga kepada kedekatan
minat pun ikut mempengaruhi.
26
Tom E. Rolnicki, dkk., ”Pengantar Dasar Jurnalistik”, h. 8
27
(44)
c. Konsekuensi
Konsekuensi berhubungan dengan daya tarik yang lebih luas dengan arti
penting dan dengan efek berita pada pembaca.28 Misalnya berita tentang
direncanakannya kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) akan dianggap lebih
penting oleh pembaca ketimbang berita tentang ditangkapnya bandar narkoba yang
mempunyai jaringan internasional dalam peredaran narkoba. Kenapa kasus diatas
dianggap lebih penting oleh pembaca, karena berita mengenai direncanakannya
kenaikan harga BBM mempunya konsekuensi atau dampak yang lebih besar.
d. Kemenonjolan
Kemenonjolan sebagai satu unsur berita, biasanya mencakup orang, tempat
sesuatu dan yang dikenal oleh publik karena kemakmurannya, posisi sosialnya,
prestasinya atau publisitas sebelumnya yang positif atau negatif.29 Ketenaran
seseoarang akan selalu menjadi berita apabila yang bersangkutan melakukan sebuah
kegiatan ataupun terlibat dalam sebuah kejadian yang positif ataupun negative.
e. Drama
Sebuah berita bisa mendapat nilai lebih dari pembacanya apabila sang reporter
mampu menyajikan berita diiringi dengan sebuah latar belakang yang dramatis.30
Akan tetapi apa yang disajikan disini harus bersesuaian dengan fakta. Berita yang
didaramatisir akan bersesuaian dengan fakta dan mampu memberikan warna dalam
berita tersebut maka akan menarik perhatian pembaca.
28
Ibid, h. 11
29
Ibid, h. 11
30
(45)
f. Frekuensi
Ini berkaitan dengan jangka waktu sebuah peristiwa.31 Jangka waktu disini
sangat mempengaruhi kemenarikan sebuah peristiwa. Sebuah peristiwa yang
memiliki jangka waktu pendek memiliki nilai berita lebih daripada sebuah peristiwa
yang memiliki jangka waktu panjang. Jangka waktu disini dilihat dari seberapa
menariknya peristiwa tersebut sehingga tidak akan terjadi dalam beberapa waktu ke
depan.
g. Negatif
Bad news is a good news ( berita buruk adalah berita yang bagus).32 Istilah ini
sangat familiar dengan banyak wartawan. Yang buruk disini adalah suatu peristiwa
yang kebanyakan orang tidak senang mengalami peristiwa tersebut, sehingga
membuat sang wartawan tertarik memberitakan peristiwa tersebut. Karena sesuatu
yang buruk sering kali dianggap mempunyai nilai berita oleh seorang wartawan.
h. Konflik
Konflik disini berarti sedikitnya terdapat 2 (dua) pihak atau lebih yang
bertikai atau bersaing. Bisa konflik fisik, urat syaraf, atau perang dan bisa juga
persaingan untuk menjadi penguasa di wilayahnya. Pertikaian yang kerap kali terjadi
antar Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) di DKI Jakarta sangat menarik untuk
diberitakan. Dan juga persaingan antar pasangan calon gubernur dan calon wakil
gubernur yang sedang terjadi juga di DKI Jakarta sangat menarik untuk diberitakan.
31
Nurudin, “Jurnalisme Masa Kini”, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009) h. 52
32
(46)
i. Prediksi
Prediksi yang dimaksud adalah ulasan yang berkaitan dengan kemungkinan
dan ketidak mungkinan. Prediksi biasanya sering kali dipakai untuk mengulas sebuah
pertandingan olahraga dan juga tentang kemungkinan kejadian selanjutnya setelah
terjadi gempa bumi atau letusan gunung berapi.
4. Jenis – jenis Berita
Selain nilai berita, hal prinsip lain dalam proses produksi berita adalah apa
yang disebut sebagai kategori berita. Secara umum seperti dicatat Tuchman,
wartawan memakai lima kategori berita: hard news, spot news, developing news, dan
continuing news. Kategori tersebut dipakai untuk membedakan jenis isi berita dan
subjek peristiwa yang menjadi berita. Kelima kategori tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:33
a. Hard News
Berita mengenai peristiwa yang tejadi saat itu. Kecepatan informasi adalah
kekuatan utama kategori berita ini. Ukuran keberhasilan dari kategori ini adalah
kecepatan menyampaikan sebuah informasi. Kategori berita ini dipakai untuk melihat
apakah informasi itu diberikan kepada khalayak dan sejauh mana berita tersebut
diterima oleh khalayak. Kejadian yang termasuk kedalam berita hard news adalah biasanya peristiwa yang telah direncanakan (misalnya: aksi demo mahasiswa
terhadap sebuah kebijakan pemerintah) dan juga peristiwa yang tidak direncanakan
(misalnya: kerusuhan di sampit).
33
(47)
b. Soft News
Kategori berita ini berkaitan dengan kisah manusiawi (human interest). Kalau
hard news peristiwa itu yang sedang terjadi dan harus dilaporkan pada saat itu juga,
maka pada soft news tidak. Kategori ini bisa disampaikan pada kapan saja. Hard news titik kuatnya harus dilaporkan pada saat itu juga, sedangkan soft news bisa kapan saja yang penting peristiwa itu memiliki kedekatan emosi dengan khalayak. Soft news berkaitan dengan peristiwa yang menarik untuk khalayak, sedangkan soft news ialah peristiwa yang memiliki hubungan emosional dengan khalayak.
c. Spot News
Spot news adalah subklasifikasi dari berita yang berkategori hard news.
Peliputan dalam peristiwa ini tidak bisa direncanakan. Peristiwa kebakaran,
pembunuhan, kecelakaan, gempa bumi adalah jenis peristiwa yang tidak
direncanakan.
d. Developing News
Developing news adalah subklasifikasi lain dari hard news. Kategori ini
masuk kedalam sebuah berita yang tidak terduga. Dimensi lain dari kategori ini
adalah peristiwa yang diberitakan adalah rangkaian lain dari berita yang akan
dilanjutkan pada berita selanjutnya atau bahkan keesokan harinya. Misalnya dalam
peristiwa jatuhnya pesawat Sukhoi kemarin yang belum lama terjadi di kawasan
Gunung Salak. Berita yang pertama disajikan adalah mengenai lokasi jatuhnya
pesawat tersebut, lalu dilanjutkan pada berita mengenai siapa saja korbannya dan
seterusnya. Berita dipertama diteruskan oleh berita-berita selanjutnya.
(48)
e. Continuing News
Continuing news adalah subklasifikasi dari kategori hard news. Dalam
kategori ini berita yang disampaikan merupakan sebuah peristiwa yang bisa
direncakan.
5. Sumber Primer dan Sumber Sekunder dalam Pemberitaan34
Di dalam penulisan berita, wartawan tidak hanya menuliskan apa-apa saja
yang terjadi di lapangan. Untuk memperdalam atau memperjelas sebuah berita,
wartawan harus mencari pendapat seorang yang terlibat lansung kedalam kejadian
maupun seorang pengamat yang memahami berita tersebut.
Misalnya, dalam menuliskan berita tentang korupsi M. Nazaruddin, wartawan
tidak hanya harus menjadikan M. Nazaruddin sebagai sumber pemberitaan,
malainkan wartawan bisa juga menjadikan pengacara, pengamat hukum, pengamat
politik sebagai sumber untuk dimintai pendapatnya untuk memperdalam penulisan
berita sang wartawan.
Lalu apa itu yang disebut dengan sumber primer dan sumber sekunder.
Sumber primer adalah saksi mata suatu persitiwa, atau tokoh pelaku utamanya.
Dalam penjelasan di atas kita dapat mengetahui siapa saja yang termasuk ke dalam
sumber primer di dalam kasus yang melibatkan M. Nazaruddin. Sedangkan sumber
sekunder adalah orang yang memiliki beberapa pengetahuan namun tidak terlibat
secara pribadi. Pengacara, isteri Nazaruddin, ketua KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi), ialah sebagian dari sumber sekunder yang perlu dimintai keterangannya
oleh wartawan untuk dijadikan ke dalam berita.
34
(49)
Kualitas sumber primer dan sekunder juga berpengaruh. Kredibilitas dan
tingkat keterlibatan saksi mata perlu diperhatikan. Apakah mereka adalah orang yang
paling ahli? Apakah mereka benar-benar aktif dalam suatu kejadian yang akan
diberitakan atau mereka hanya melihat saja kejadian itu? Apakah usia atau beberapa
ciri fisik bisa mempengaruhi kesaksian mereka? Ada banyak cara untuk
mengkategorisasikan dan mengurutkan kredibilitas potensial dari sumber primer, dan
wartawan harus memilih sumber terbaik berdasarkan penilaiannya. Ide, opini, dan
property intelektual lainnya dapat menjadi sumber yang bagus jika dikutip dari karya
orisinal.35
D. Konseptualisasi Media Massa
Kita sangat membutuhkan sebuah media (komunikator) untuk mendapatkan
informasi. Informasi ini dapar membantu kita sebagai manusia dalam lingkungan
sosialnya memiliki peranan yang penting dalam bertukar informasi. Media
(komunikator) disini ialah media massa yang mampu melayani kebutuhan manusia
untuk memiliki informasi.
Media terlebih dalam posisinya sebagai suatu institusi informasi, dapat pula
dipandang sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses-proses perubahan
sosial-budaya dan politik.36 Bahkan dalam beberapa pendapat tokoh komunikasi,
media massa dianggap sebagai pilar keempat dalam demokrasi setelah eksekutif,
yudikatif, dan legislatif.
35
Ibid, h. 20
36
Jumroni dan Suhaimi, Metode-Metode Penelitian Komunikasi, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006) h. 85
(50)
Media massa adalah media komunikasi dan informasi yang melakukan
penyebaran informasi secara massal dan dapat diakses oleh masyarakat secara massal
pula. Informasi massa adalah informasi yang diperuntukkan kepada masyarakat
secara massal, bukan informasi yang hanya boleh dikonsumsi oleh pribadi.37 Tetapi
terkadang pada saat ini media massa dalam menyampaikan pemberitaan tidak lagi
menyadari bahwa frekuensi yang digunakan oleh media massa adalah milik publik.
Mereka mengabaikan hal ini dengan hanya menyampaikan informasi yang memihak
kepentingan salah satu tokoh atau golongan tertentu saja.
Alex Sobur mendefinisikan media massa sebagai, “suatu alat untuk menyampaikan barita, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, ia
mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk
opini publik antara lain, karena media juga dapat berkembang menjadi kelompk
penekan atas suatu ide atau gagasan, dan bahkan suatu kepentingan atau citra yang ia representasikan untuk diletakkan dalam konteks kehidupan yang lebih empiris.”38
Dari penjelasan di atas, kita dapat pahami bahwasanya media massa bukan
saja menyampaikan informasi yang murni dari lapangan sesuai dengan fakta yang
terjadi, namun media massa juga mampu membentuk opini publik sesuai dengan
kepentingannya. Media massa di sini dijelaskan bukan sebagai institusi yang
memberikan fakta apa adanya.
37
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi Massa, h. 72
38
(51)
1. Fungsi Media Massa
a. Fungsi Mediator
Netral, menjadi kata kunci dari penjelasan fungsi media massa sebagai
mediator.39 Netralitas pekerja media massa memang selalu menjadi perbincangan
hangat. Dalam pandangan konstruktivis bahkan menyatakan wartawan itu tidak dapat
menyembunyikan keberpihakannya dalam membuat berita. Namun, bukan ini yang akan menjadi pembahasan ke “netralan” media massa. Bukan netral dalam pembentukan berita, netral di sini adalah sikap dari kenetralan media massa dalam
melakukakan funsinya sebagai mediator.
Media massa diminta netral ketika fungsinya sebagai mediator antara
masyarakat dan pemerintah sedang malakukan pertukaran pesan. Kenetralan media
massa di sinilah baru ditekankan. Kedua belah pihak yakni masyarakat dan
pemerintah selalu meminta kepada media massa dalam menyampaikan pesan
keduanya bersifat apa adanya.
Misalnya, ketika pemerintah menayampaikan kebijakannya kepada
masyarakat, meraka berdua (masyarakat dan pemerintah) meminta media massa
dalam menyampaikannya secara apa adanya. Pemerintah meminta kepada media
massa agar kebijakan-kebijakan yang telah direncanakan untuk kepentingan
masyarakat disampaikan secara apa adanya tanpa ada yang dikurangi atau dilebihkan
agar masyarakat dalam menerima informasi tersebut masih secara utuh. Begitupun
39
Ana Nadhya Abrar, Analisis Pers (Teori dan Praktik), (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka 2011), h. 21
(52)
sebaliknya, masyarakat juga menginginkan kenetralan pihak media massa dalam
menyampaikan suaranya ke pemerintah.
b. Fungsi Mengawasi
Fungsi mengawasi itu bermula dari tugas media massa sebagai public servant. Tuga ini akan membawa media massa pada sendirinya akan membela kepentingan
masyarakat. Dalam keadaan seperti ini, banyak yang menyebut media massa dengan
the function of the watchdog.
Lalu apakah semua media massa telah menjalankan fungsi ini? Masalah
tebesarnya adalah berbenturan dengan aturan main yang ada di dalam media massa
tersebut untuk dapat menjalankan fungsi ini oleh media massa itu sendiri.
Dalam konteks dunia kerja media massa, aturan main itu menyangkut
kebebasan pers, yaitu semacam kebebasan yang diberikan lingkungan media massa
itu. Kebebasan untuk merefleksikan segala dinamika yang ada dalam masyarakat.
Berpedoman kepada pengalaman empiris, tidak ada kebebasan pers yang bersifat
absolut. Ia merupakan tarik menarik antara keinginan berbagai macam institusi yang
ada di luar pers untuk menyetel daya tahan personal media massa untuk menjaga
otonomi dan integritasnya. Misalnya, institusi politik, birokrasi, ekonomi dan
sebagainya.40
Cara yang bisa ditempuh oleh media massa untuk menjalankan fungsi
mengawasi adalah menjadikan berita sebagai alat kontrol sosial. Maksud berita
sebagai kontrol sosial adalah memberitakan peristiwa yang buruk, keadaan yang tidak
pada tempatnya, dan ihwal yang menyalahi aturan; supaya peristiwa buruk tidak
40
(53)
terulang lagi dan kesadaran berbuat baik serta menaati peraturan makin tinggi. Maka,
berita sebagai alat kontrol sosial bisa disebut “berita buruk”.41 c. Fungsi Menyediakan Informasi
Fungsi utama bagi media massa di belahan dunia manapun ialah menyediakan
informasi. Informasi yang disampaikan berkaitan dengan kepentingan orang banyak
dan memiliki manfaat untuk orang banyak. Untuk mempermudah kinerjanya ini
dalam menyediakan informasi kepada khalayak media massa membutuhkan sebuah
kebebasan.
Menayadari hal tersebut, khalayak meminjamkan kebebasannya kepada pers.
Kebebasan inilah yang dikenal sebagai kebebasan pers. Sekalipun namanya
kebebasan pers, namun kebebasan ini berasal dari khalayak. Disebut kebebasan pers
karena untuk memenuhi kebutuhan khalayak akan informasi. Pers disini harus
memahami, bahwa kebebasan yang ia miliki adalah dari khalayak, maka dari itu
dalam menyampaikan informasi harus sesuai dengan norma yang berlaku
dikhalayak.
Meski begitu kebebasan pers tidak mutlak. Terdapat berbagai batasan yang
membatasi kebebasan pers. Batasan itu meliputi KUHP, UU No. 40 Tahun 1999,
Kode Etik Jurnalistik, hingga Code of Conduct atau Code of Practice yang dimiliki pers. Semua batasan ini bukan ditujukan untuk menghalangi pers menyediakan
informasi, melainkan untuk menjaga agar pers tidak terjerumus kepada tindakan
sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya. Lebih dari itu, batasan ini juga
41
(54)
dimaksudkan untuk melindungi khalayak dari kerugian yang mungkin saja mereka
alami.42
d. Fungsi Menghibur
Banyak yang bisa ditampilkan oleh media massa untuk menghibur khalayak.
Namun di sini, sesuatu yang menghibur itu bukan dalam bentuk berita. Maka banyak
pekerja media yang berpaling kepada fiksi untuk dapat menghibur khalayak. Selain
itu, media massa juga menyediakan iklan untuk menghibur khalayaknya agar dapat
keluar sejenak dari rutinitas kehidupan yang begitu sulit.
Yang perlu di garis bawahi, ialah bagaimana iklan dapat menciptakan
kebutuhan semu kepada khalayak. Jangan sampai kita mudah terpesona oleh
kecanggihan sebuah iklan. Begitu canggihnya sehingga khalayak menjadi terpesona
dan menerima begitu saja informasi yang disebarkan.
Kebutuhan semu, menurut Herbert Marcuse, adalah “segala kebutuhan yang ditanamkan ke dalam masing-masing individu demi kepentingan sosial tertentu dalam
represinya. Dalam konteks iklan, yang menanamkan kebutuhan semu adalah kaum
kapitalis melalui media massa. Secara praktis, kaum kapitalis bersama-sama dengan
media massa memanipulasi kebutuhan semu menjadi kebutuhan yang perlu atau
malah harus dipenuhi oleh khalayak. Kaum kapitalis dan media massa menciptakan
suasana yang membuat khalayak tidak lagi sadar apakah yang ditawarkan iklan
memang benar-benar dibutuhkan atau tidak.43
42
Ibid, h. 25
43
(55)
43 A. Harian Republika
1. Sejarah Perusahaan
Republika adalah koran nasional yang dilahirkan oleh kalangan komunitas
muslim bagi publik di Indonesia. Penerbitan tersebut merupakan puncak dari upaya
panjang kalangan umat Islam, khususnya para wartawan profesional muda yang
dipimpin oleh ex wartawan Tempo, Zaim Uchrowi yang telah menempuh berbagai
langkah.1 Harian umum Republika diterbitkan atas kehendak mewujudkan media
massa yang mampu mendorong bangsa menjadi kritis dan berkualitas. Yakni bangsa
yang mampu sederajat dengan bangsa maju lain di dunia, memegang nilai-nilai
spiritualitas sebagai perwujudan Pancasila sebagai filsafat bangsa, serta memiliki arah
gerak seperti digariskan UUD 1945.2
Kehendak melahirkan masyarakat demikian searah dengan tujuan, cita-cita
dan program Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang dibentuk pada 5
Desember 1990. Salah satu dari program ICMI yang disebarkan ke seluruh Indonesia,
antara lain, mencerdaskan kehidupan bangsa melalui program peningkatan 5K, yaitu:
Kualitas Iman, Kualitas Hidup, Kualitas Kerja, Kualitas Karya, dan Kualitas Pikir.3
1
Mengutip dari Skripsi Fauziah Mahasiswi Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta, “Analisis Wacana Pemberitaan Kekerasan
Tenaga Kerja Wanita Indonesia di Harian Umum Republika (Edisis 22 November-25 November 2010), h. 55
2
Dokementasi Harian Umum Republika, (Buncit Raya: PT. HU Republika) tanggal 19 Oktober 2012
3 Ibid
(56)
Untuk mewujudkan tujuan, cita-cita, dan program ICMI di atas, beberapa
tokoh pemerintah dan masyarakat yang berdedikasi dan komitmen pada
pembangunan bangsa dan masyarakat Indonesia, yang beragama Islam, menyusun
Yayasan Abdi Bangsa pada 17 Agustus 1992. Yayasan ini kemudian menyusun tiga
program utamanya:4
1. Pengembangan Islamic Center
2. Pengembangan CIDES (Center for Information and Development Studies)
3. Penerbitan Harian Umum Republika.
Pendiri Yayasan Abdi Bangsa 48 orang, terdiri dari beberapa menteri, pejabat
tinggi Negara, cendekiawan, tokoh masyarakat, serta pengusaha. Mereka antara lain,
Ir. Drs. Ginanjar Kartasasmita, Haji Harmoko, Ibnu Sutowo, Muhammad Hasan, Ibu
Tien Soeharto, Probosutedjo, Ir. Aburizal Bakrie, dan lain-lainnya. Sedangkan Haji
Muhammad Soeharto, Presiden RI, berperan sebagai pelindung Yayasan. Sementara
Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie, yang juga menjabat Ketua Umum ICMI, dipercaya
sebagai Keua Badan Pembina Yayasan Abdi Bangsa.5
Untuk mewujudkan programnya menerbitkan sebuah Koran harian, pada 28
November 1992 Yayasan Abdi Bangsa mendirikan PT Abdi Bangsa. Melalui proses,
Yayasan kemudian memperroleh SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dari
Departemen Penerangan Republik Indonesia., sebagai modal awal penerbitan Harian
4
Ibid
5
(57)
Umum Republika. SIUPP itu bernomor 283/SK/MENPEN/SIUPP/A.7/1992
tertanggal 19 Desember 1992.6
Nama Republika sendiri berasal dari ide Presiden Soeharto yang
disampaikannya saat beberapa pengurus ICMI Pusat menghadap padanya untuk
menyampaikan rencana peluncuran harian umum tersebut. Sebelumnya, Koran ini
akan diberi nama, antara lain, “Republik.”7
Harian Umum Republika mulai terbit perdana pada tanggal 4 Januari 1993.
Pada masa izin untuk menerbitkan harian umum atau Koran terbilang sangat sulit,
hasil dari ICMI se-Indonesia yang dapat menembus ketatnya pemerintahan untuk izin
penerbitan. Harian Umum Republika menjadi suatu berkah dengan dapat
keterwakilannya aspirasi umat Islam di dalam wacana nasional sehingga
menumbuhkan pulralisme informasi kepada masyarakat dan merupakan perusahaan
media pertama yang menjadi perusahaan publik.8
Harian Umum Republika juga menjadi “media pertama” yang melakukan
Cetak jarak Jauh (CJJ) pada tanggal 17 Mei 1997, di Solo. Bidang teknologi
Republika terbukti menjadi media pertama di Indonesia yang mengembangkan media
Online (www.republika.co.id) yakni pada 17 Agustus 1995. Beberapa hari menjelang
kemunculan Microsoft sendiri meluncurkan Internet Explorer (IE).9
6
Ibid
7
Ibid
8
Mengutip dari Skripsi Fauziah Mahasiswi Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta, “Analisis Wacana Pemberitaan Kekerasan
Tenaga Kerja Wanita Indonesia di Harian Umum Republika (Edisis 22 November-25 November 2010), h. 55
9
(58)
Ideologi Republika adalah ideology pemiliknya, PT Abdi Bangsa, yaitu:
Kebangsaan, Kerakyatan, dan Keislaman; dengan tujuan mempercepat terbentuknya
civil society. Orientasi inilah yang sehari-hari dituangkan Republika dalam bentuk
informasi dan sajian lainnya. Republika menampilkan islam dengan wajah moderat.10
a. PT Abdi Bangsa
PT Abdi Bangsa, penerbit Harian Umum Republika, didirakan pada 28
November 1992 di Jakarta. Perusahaan yang di bawah Yayasan Abdi Bangsa ini
bergerak dalam bidang usaha penerbitan dan percetakan pers. Pengelolaan perseroan
dilakukan oleh Direksi di bawah Dewan Komisaris yang anggotanya dipilih oleh
Rapat Umum Pemegang Saham. Direksi, dalam mengelola perseroan, dibantu oleh
Pembina Manajemen.11
PT. Abdi Bangsa, dalam upaya penggallan dana untuk pengembangan
usahanya, melakukan penjualan saham kepada masyarakat. Tampaknya, PT. Abdi
Bangsa akan menjadi perusahaan terbesar di dunia, dalam arti jumlah pemilikan
sahamnya.12
Penjualan saham PT Abdi Bangsa memang unik: satu lembar saham hanya
boleh dimiliki oleh satu keluarga. Maka dengan menawarkan 2,9 juta lembar saham
10
Mengutip dari Skripsi Ririn Restu Utami Mahasiswi Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta, “Analisis Framing Pemberitaan Kasus Gayus Tambunan di Republika dan Media Indonesia Periode November 2010, h. 53
11
Dokementasi Harian Umum Republika, (Buncit Raya: PT. HU Republika) tanggal 19 Oktober 2012
12
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)