Pengaruh Suplementasi Fe, Asam Folat, Vitamin A dan Vitamin B12 terhadap Peningkatan Kadar Hemoglobin (Hb) Pekerja Wanita di PT. X Kabupaten Simalungun 2012

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anemia
Anemia adalah suatu keadaan menurunnya kadar hemoglobin, hematokrit dan
jumlah sel darah merah di bawah nilai normal yang dipatok untuk perorangan.
Sedangkan anemia gizi adalah keadaan dimana kadar hemoglobin, hematokrit dan sel
darah merah lebih rendah dari nilai normal sebagai akibat dari defisiensi dari salah
satu atau beberapa unsur makanan yang esensial yang dapat mempengaruhi
timbulnya defisiensi besi (Arisman, 2004).
Menurut Ramakrishnan, 2001 ada dua faktor penyebab anemia gizi yaitu
defisiensi besi dan defisiensi mikronutrien lain. Defisiensi besi dapat diakibatkan oleh
(1) meningkatnya kebutuhan akan zat besi, seperti pada masa kehamilan, menstruasi,
masa pertumbuhan pada bayi dan remaja, (2) asupan dan ketersediaan zat besi dalam
tubuh yang rendah, dan (3) infeksi dan parasit, seperti malaria, infeksi HIV, dan
infeksi cacing. Infeksi parasit terutama cacing tambang dapat menyebabkan
kehilangan darah yang banyak, karena cacing tambang menghisap darah. Malaria
khususnya Plasmodium falciparum juga dapat menyebabkan pecahnya sel darah
merah. Sedangkan defisiensi karena mikronutrien lain adalah defisiensi vitamin A,
riboflavin, asam folat dan vitamin B12.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya anemia adalah sosial ekonomi,

pendidikan, pengetahuan, umur, dan status perkawinan. Faktor sosial ekonomi

menentukan kualitas dan kuantitas makanan dan mempunyai hubungan yang erat
dengan masalah gizi. Pendapatan keluarga yang rendah akan mempengaruhi
permintaan pangan sehingga menentukan hidangan dalam keluarga tersebut baik dari
segi kualitas makanan, kuantitas makanan dan variasi hidangannya (Supariasa dkk,
2002). Risiko terjadinya anemia pada pekerja wanita dengan penghasilan di bawah
UMR (Upah Minimum Regional) adalah 9 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
yang berpenghasilan di atas UMR. Hal ini dikarenakan dengan penghasilan yang
rendah maka daya beli terhadap makanan sumber zat gizi berkurang dan akses
terhadap pelayanan kesehatan juga berkurang (Raharjo, 2003). Dalam bidang
pendidikan, ada kecenderungan pendidikan makin tinggi maka jumlah kejadian
anemia makin menurun, karena tingkat pendidikan dapat menentukan mudah
tidaknya seseorang menyerap dan memahami ilmu pengetahuan yang diperoleh.
Tingkat pengetahuan gizi seseorang diperoleh dari pengalaman sendiri maupun dari
pengalaman orang lain, serta dari latar belakang pendidikannya, semakin baik
pengetahuan gizinya, semakin kecil kemungkinan menderita anemia (Apriadji, 1996).
Berdasarkan umur, penelitian Raharjo, 2003 diketahui bahwa usia 20-35 tahun
lebih banyak menderita anemia dibanding usia