Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Bidan Pelaku Penjualan Bayi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1201 PID.B 2014 PN.MDN)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah – perintah dan larangan –
larangan) yang mengatur tata tertib dalam masyarakat yang seharusnya ditaati
oleh seluruh anggota masyarakat 1 . Pengertian ini menegaskan bahwa hukum
haruslah ditaati oleh seluruh elemen masyarakat yang bilamana ketika hukum itu
dilanggar tentu mempunyai sanksi bagi yang melanggarnya.
Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang – Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 1 ayat (3) dikatakan bahwa Negara
Indonesia adalah negara hukum

2

, negara hukum mempunyai arti bahwa

pemerintahannya dilaksanakan bedasarkan hukum.
Negara berdasar atas hukum menempatkan hukum sebagai hal yang tertinggi
(supreme) sehingga ada istilah supremasi hukum yang pada hakikatnya tidak
boleh mengabaikan tiga ide dasar hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan

kepastian. 3 Dengan adanya sistem hukum, penyelenggaraan negara dan rakyat
dapat bersatu di bawah dan tunduk pada sistem hukum yang berlaku.4

1

E.Utrecht/Moh.Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia Cetakan Kesebelas
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan ,1989), hal.3.
2
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3
Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan Panduan Kuliah di
Perguruan Tinggi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), hal. 116.
4
Ibid, hal. 117.

Universitas Sumatera Utara

2

Plato mengatakan bahwa negara hukum haruslah mempunyai suatu

pengaturan hukum yang baik agar tercipta penyelenggaraan negara yang baik
pula5, hal ini berkaitan dengan sifat hukum yaitu untuk mengatur dan memaksa.
Sifat hukum yang memaksa itu dapat kita lihat di dalam sifat dari Hukum
Pidana, Hukum Pidana merupakan bagian dari Hukum Publik yang artinya hukum
yang mengatur antara negara dengan masyarakatnya dan apabila dilanggar akan
ada sanksi yang tegas dari negara melalui perwakilannya. Pemberian sanksi yang
tegas ini merupakan suatu kepastian kepada siapa saja yang terbukti melanggar
hukum pasti akan dikenai sanksi.
Penegakkan hukum seperti itu merupakan salah satu ciri suatu negara hukum
(rechstaat), yang menurut Stahl mempunyai unsur – unsur6 yaitu:
1. Perlindungan hak – hak asasi manusia
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak – hak itu
3. Pemerintah berdasarkan peraturan perundang – undangan
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan
Perwujudan negara hukum di Indoenesia dituangkan dalam konstitusi negara ,
yaitu UUD 1945 yang menempati posisi sebagai hukum negara tertinggi dalam
tertib hukum Indonesia.7
Negara Indonesia di dalam konstitusi dengan jelas mengatakan mempunyai 4
(empat) tujuan negara yang tertulis di dalam Pembukaan Undang – Undang Dasar
Negara republik Indonesia Tahun 1945, yaitu melindungi segenap bangsa

5

Tahir Azhari,Negara Hukum (Jakarta: Bulan Bintang,1992), hal. 63. Yang dikutip oleh
Ridwan HR dalam bukunya, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: PT. Grafindo Persada,2007),
hal.2.
6
Ridwan HR,Op.cit., hal. 2.
7
Winarno, Op.cit, hal. 124.

Universitas Sumatera Utara

3

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdasaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial. Tujuan Negara Indonesia ini yang pertama yaitu melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, perlindungan ini hanya
dapat terjadi apabila hukum itu ditegakkan.

Perlindungan yang diberikan negara kepada rakyatnya dilakukan melalui
pembentukan peraturan perundang – undangan yang di dalamnya ada pengaturan
tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan serta
pelaksanaanya yang tegas di dalam sistem hukum Negara Indonesia.
Hukum yang merupakan peraturan mempunyai tujuan hukum yakni
terciptanya keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Tujuan hukum ini
saling berkaitan dan mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lainnya.
Melalui penegakkan hukum yang baik maka tujuan hukum ini pun dapat tercipta.
Di dalam penegakkannya, maka hukum tidak terlepas dari sumbernya. Sumber
hukum formal yang kita kenal ada 5 (lima), yaitu :8
1. Undang – Undang
2. Kebiasaan
3. Yurisprudensi
4. Traktat
5. Doktrin

8

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,(Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), hal. 46.


Universitas Sumatera Utara

4

Kelima sumber hukum ini menjadi patokan dalam menerapkan hukum di negara
Indonesia.
Dalam pembagiannya, hukum dapat dibagi ke dalam beberapa bagian dan
salah satunya pembagian hukum menurut bentuknya yaitu Hukum Publik dan
Hukum Privat.9
Hukum Publik merupakan hukum yang mengatur hubungan antar negara
dengan masyarakatnya sedangkan Hukum Privat merupakan hukum yang
mengatur antara orang dengan orang lain. Salah satu yang merupakan Hukum
Publik yaitu Hukum Pidana.
Menurut Pompe, Hukum Pidana adalah semua aturan – aturan hukum yang
menentukan terhadap perbuatan – perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana dan
apakah macamnya pidana itu. 10 Sedangkan Simons memberi pendapat bahwa
Hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum hukum pidana dalam arti objektif
(strafrecht in objectieve zin) dan hukum pidana dalam arti subjektif (strafrecht in
subjektieve zin).11

Hukum pidana dapat dibagi dan dibedakan atas berbagai dasar/berikut ini :12
1.

Hukum Pidana dalam Keadaan Diam dan dalam Keadaan Bergerak

2.

Hukum Pidana dalam Arti Objektif dan dalam Arti Subjektif

3.

Atas Dasar pada Siapa Berlakunya Hukumm Pidana

4.

Atas Dasar Sumbernya

9

Ibid, hal. 75.

http://www.referensimakalah.com/2012/08/pengertian-hukum-pidana-menurutpakar.html. Tanggal akses Sabtu, 16 Januari 2016. Pukul 19.00 WIB.
11
Ibid.
12
Adami Chazawi,, Pelajaran Hukum Pidana (Bagian 1) (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada,2008), hal 9-14.
10

Universitas Sumatera Utara

5

5.

Atas Dasar Wilayah Berlakunya Hukum

6.

Atas Dasar Bentuk/Wadahnya
Negara Indonesia mengenal dan menerapkan Hukum Pidana baik hukum


Pidana Formil maupun Hukum Pidana Materil. Hukum Pidana Formil bertujuan
untuk setidak – tidaknya mendekati kebenaran Hukum Pidana Materil.
Di dalam Hukum Pidana Materil terdapat sanksi yang tegas bagi siapa saja
yang melanggarnya dan sanksi itu diberikan melalui pembacaan putusan oleh
Hakim dalam putusan yang diberikan di pengadilan.
Seseorang mendapat hukuman bergantung pada dua unsur, yaitu :13
1. Harus ada suatu kelakuan yang bertentangan dengan hukum, disebut
Anasir Objektif.
2. Harus ada seorang pembuat/pelaku (dader) yang bertanggungjawab atas
kelakuan yang bertentangan dengan hukum itu disebut Anasir Subjektif
Kedua unsur ini bila terpenuhi maka dapatlah seseorang yang melakukan
kejahatan itu dapat diberikan sanksi pidana.
Sanksi ini diberikan kepada

14

subjek hukum, dalam pemberian sanksi ini

majelis hakim berdasarkan teori yang dianut oleh Indonesia yaitu teori

pembuktian negatif, maka majelis hakim dalam memutuskan suatu perkara
khusunya perkara pidana haruslah berdasarkan setidaknya 2 alat bukti ditambah
keyakinan hakim, hal ini sebagaimana di atur dalam 15Pasal 183 KUHAP (Kitab

13

E.Utrecht/Moh.Saleh Djindang, Op.cit., hal. 390.
Subjek hukum adalah manusia (natuurlijke persoon) dan badan hukum (rechtspersoon).
Lihat. C.S.T. Kansil, Op.cit.
15
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keaykinan bahwa suatu tindak
14

Universitas Sumatera Utara

6

Undang – Undang Hukum Acara Pidana). Ketika sesorang tersebut memenuhi
unsur tindak pidana (delik), maka orang tersebut haruslah bertanggungjawab

terhadap kesalahannya yang dikenal dengan istilah Pertanggungjawaban Pidana.
Pertanggungjawaban yang dilakukan oleh Terdakwa ketika ia terbukti
bersalah dan mampu untuk bertanggungjawab terhadap kesalahan yang dia
lakukan yaitu harus menerima dan menjalani sanksi pidana yang diberikan oleh
Majelis Hakim. Salah satu bentuk pemidanaan yang dilakukan adalah pidana
penjara contohnya dalam kasus tindak pidana penjualan bayi.
Perdagangan orang merupakan suatu kejahatan yang melanggar Hak Asasi
Manusia, hal ini dikarenakan manusia bukanlah objek hukum melainkan subjek
hukum. Manusia yang merupakan ciptaan Tuhan yang diberi akal dan pikiran
tentu mempunyai martabat yang harus dijaga dan dilindungi bukan sebaliknya.
Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan suatu perbuatan yang dilarang
baik menurut hukum positif Negara Indonesia maupun menurut Hukum
Internasional. Mengapa? Hal ini dikarenakan ketika Manusia itu menjadi objek
yang diperdagangkan maka sebenarnya terjadi suatu pelecehan terhadap harkat
dan martabat manusia.
Seseorang yang menjadi korban perdagangan orang, sebenarnya terjadi suatu
hal perampasan kemerdekaan atau kebebasan pada dirinya karena ketika dia
menjadi korban perdagangan orang haknya sebagai orang yang merdeka
diabaikan.


pidana benar – benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Lihat Kitab
Undang – Undang Hukum Acara Pidana (Surabaya : Karya Anda), Pasal 183.

Universitas Sumatera Utara

7

Negara Indonesia salah satu negara di Asia Tenggara yang menjadi lumbung
trafficking, secara tidak langsung memiliki beberapa peran dalam perdagangan
manusia diantaranya sebagai negara asal, perantara, dan tujuan.16
Akhir – akhir ini banyak terjadi kasus Perdagangan Orang yang terjadi di
Negara Indonesia dan yang menjadi perhatian adalah yang menjadi korban tindak
pidana perdagangan orang tersebut adalah seorang Bayi. Bayi yang seharusnya
dilindungi, dirawat, dikasihi, dan dijaga ini menjadi korban tindak pidana
perdagangan orang yang dilakukan oleh orang dewasa yang seharusnya mengerti
tentang kasih sayang dan yang seharusnya menjadi pelindung bagi bayi tersebut.
Beberapa kasus yang pernah terungkap sindikat penjualan bayi terjadi Kota
Medan dimana bayi laki-laki dibanderol dengan harga Rp15 juta dan bayi
perempuan dibanderol seharga Rp20 juta. Sebelum melakukan transaksi, setiap
pembeli juga diwajibkan membayar uang muka Rp2 juta. Selain mengamankan
seorang bayi yang baru lahir, petugas turut meringkus empat orang tersangka,
termasuk seorang bidan dan kedua orangtua bayi. 17 Kasus serupa juga pernah
terjadi di Bandung sebagaimana yang dikutif dalam halaman web liputan 6.com:18
Bidan Tiur Maruli Harianja (54) yang begitu tega menjual seorang bayi baru
lahir. Jaksa Penutut Umum dalam persidangan di Pengadilan Negeri Bandung,
Jabar, seperti dikutip Lipuatan6.com, Jakarta, Minggu (16/2/2014) dari laman
web kejati-jabar.go.id, jaksa dalam dakwaannya menjerat terdakwa dengan
pasal 83 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan
16

Alfitra, Modus Operandi di Luar KUHP Korupsi, Money Laundering, & Trafficking
(Jakarta: Perum Bukit Permai,2014), hal.106.
17
http://daerah.sindonews.com/read/1049147/191/polisi-bongkar-sindikat-penjualanbayi-di-medan-1443584687 . diakses Tanggal 29 Februari 2016, Pukul 22:00 WIB.
18

http://news.liputan6.com/read/828749/jual-bayi-baru-lahir-bidan-pns-terancamhukuman-15-tahun-bui . diakses Tanggal 29 Februari 2016, Pukul 22:02 WIB.

Universitas Sumatera Utara

8

ancaman maksimal 15 tahun penjara. "Dalam dakwaan disebutkan bahwa
terdakwa telah melakukan penjualan anak di tempat prakteknya. Anak tersebut
dijual dengan harga Rp 7 juta kepada seseorang," kata Jaksa Juniarto dalam
persidangan perdana di PN Bandung, pada Senin 10 Februari 2014 pekan lalu.
Dijelaskan jaksa, sang bidan itu melakukan aksinya ditempat prakteknya di
Jalan Desa RT 03 RW 05 Kelurahan Cipadung Kecamatan Cibiru Kota
Bandung. Namun dalam laman itu, jaksa tak menjelaskan siapa orang tua bayi
tersebut, hanya usia ibu bayi itu diperkirakan antara 17 sampai 30 tahun.
"Karena orang tua bayi yang tidak menginginkan kehadiran bayi itu rata rata
berusia antara 17 tahun hingga 30 tahun dan menyerahkan bayi kepada bidan
yang membantu persalinannya," ujar jaksa dalam situs tersebut. Dalam sidang
yang digelar di Ruang Anak PN Bandung itu, dipimpin oleh hakim Parlas itu
pun menjadi perhatian publik. Bahkan istri Gubernur, Netty Heryawan sempat
turun tangan untuk melakukan pengasuhan terhadap bayi yang dijual tersebut.
Bidan Tiur Maruli Harianja merupakan PNS pada Dinas Kesehatan Kota
Bandung yang sehari-hari bertugas di Puskesmas Cipadung dan membuka
praktek bersalin di rumahnya sejak 5 tahun lalu. Sementara Kasipenkum
Kejati jabar, Koswara dalam laman kejaksaan.go.id menuturkan kasus ini
terungkap berdasarkan adanya informasi masyarakat di sekitar tempat praktek
bidan tersebut. Pelaku ditangkap oleh polisi pada Jumat 13 September 2013
usai membantu persalinan di mana saat itu bayi baru berusia 8 jam, jenis
kelamin laki-laki, berat 3,2 kilogram, dan panjang 48 cm. Namun jaksa dalam
websitenya tidak menjelaskan siapa kedua orangtua si bayi tersebut. Barang
bukti yang diamankan penyidik berupa 6 surat pernyataan pelepasan hak asuh
dari orangtua bayi, satu bundel buku daftar pasien dan uang Rp 7 juta yang
diduga hasil penjualan bayi. Kemungkinan sidang akan dilanjutkan pada Senin
17 Februari.
Kasus ini adalah kasus penjualan bayi yang diperdagangkan oleh seorang
Bidan yang semestinya adalah merupakan orang yang wajib menolong dan
merawat bayi. Seorang Bidan yang merupakan sebuah pekerjaan di dunia medis
haruslah melaksanakan kewajibannya dan tugasnya secara profesional. Bidan
haruslah menjadi tenaga profesional yang menjadi pelindung baik bagi si Ibu
maupun bagi si bayi.
Ikatan Bidan Indonesia (IBI) menetapkan bahwa bidan Indonesia adalah
seorang perempuan yang lulus dari pendidikan Bidan yang diakui pemerintah dan
organisasi profesi di wilayah Negara Republik Indonesia serta memiliki

Universitas Sumatera Utara

9

kompetensi dan kualifikasi untuk diregister, sertifikasi dan atau secara sah
mendapat lisensi untuk menjalankan praktik kebidanan.19
Dari pengertian di atas maka kita dapat mengatakan bahwa Bidan merupakan
tenaga yang sudah lulus dalam untuk menjadi seorang Bidan yang ditentukan
oleh negaranya. Maka ketika bidan tersebut dinyatakan sah menjadi seorang
Bidan selayaknyalah Bidan tersebut menaati dan menjunjung tinggi Etika Profesi
Kebidanan dan menjalankan janji jabatannya sebagai tenaga profesional di bidang
kesehatan atau tenaga medis yang seharusnya menolong dan merawat baik Ibu
yang melahirkan maupun Bayi.
Namun beberapa waktu yang lalu kita melihat dan mendengar kabar bahwa
ada beberapa bidan yang terlibat dalam kasus perdagangan bayi di negara
Indonesia, pelaku penjualan bayi salah satunya adalah Bidan yang bernama Evelin
Purba. Perbuatan ini sangatlah tidak terpuji dan merupakan perbuatan yang
melanggar HAM20 oleh karenanya perlulah ditangani secara serius.
Permasalah ini semakin banyak terjadi karena berbagai faktor penyebab, bidan
yang merupakan tenaga

profesional

tetapi

melakukan

suatu kejahatan

memperdagangkan bayi. Oleh karena itu, dalam skripsi ini akan dibahas mengenai
Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Bidan Pelaku Penjualan Bayi (Studi
Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1201/Pid.B/2014/PN.MDN).

19

https://id.wikipedia.org/wiki/Bidan.,Op.cit., tanggal akses Senin, 25 Januari 2016,
Pukul 20.00 WIB.
20

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah - Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (UNDANG- UNDANG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA).

Universitas Sumatera Utara

10

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan

uraian

di

atas,

maka

dalam

skripsi

yang

berjudul

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Bidan Pelaku Penjualan Bayi (Studi
Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1201/Pid.B/2014/PN.MDN) akan
dibahas 3 (tiga) rumusan masalah, yaitu :
1.

Bagaimanakah aturan hukum tindak pidana penjualan bayi yang dilakukan
oleh Bidan?

2.

Bagaimanakah penerapan hukum terhadap bidan pelaku penjualan bayi
berdasarkan

putusan

Pengadilan

Negeri

Medan

No.

1201/PID.B/2014/PN.MDN?
3.

Apa saja hambatan dalam penegakan hukum tindak pidana perdagangan
orang (bayi)?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan hal-hal diatas yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut :
1.

Untuk mengetahui bagaimanakah aturan hukum mengenai Tindak Pidana
Penjualan Bayi yang dilakukan oleh Bidan.

2.

Untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum terhadap Bidan pelaku
penjulan Bayi berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Medan No.
1201/PID.B/2014/PN.MDN.

3.

Untuk mengetahui apa saja hambatan dalam penegakan hukum tindak pidana
perdagangan orang (bayi).

Universitas Sumatera Utara

11

Penulisan Skripsi ini memiliki manfaat sebagai berikut :
1.

Manfaat secara teoritis
a.

Menambah wawasan dan pengetahuan tentang perdagangan bayi yang
dilakukan oleh bidan dan bagaimana pertanggungjawaban pidana
terhadapnya.

b.

Memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang apa itu tindak
pidana perdagangan bayi dan bagaimana pertanggungjawabannya
khususnya di bidang kebidanan.

2.

Manfaat secara praktis
a.

Dapat dijadikan sebagai pedoman bagi mahasiswa dalam melakukan
penelitian yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

b.

Dapat memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat mengenai
tindak pidana perdagangan bayi serta pertanggungjawaban tindak pidana
perdagangan bayi khususnya yang dilakuakan oleh bidan.

D. Keaslian Penulisan
Sepanjang yang diketahui dan dicermati oleh penulis, di lingkungan Fakultas
Hukum

Universitas

Sumatera

Utara

bahwa

penulisan

tentang

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Bidan Pelaku Penjualan Bayi (Studi
Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1201/PID.B/2014/PN.MDN) belum
pernah dilakukan sebelumnya. Hal ini sejalan dengan pemeriksaan di
Perpustakaan Universitas Sumatera Utara cabang Fakultas Hukum, dan tidak ada
judul dan rumusan masalah yang sama. Dengan demikian, dilihat dari

Universitas Sumatera Utara

12

permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, maka dapat
dikatakan bahwa skripsi ini adalah hasil dari pemikiran dan merupakan karya
penulis yang asli. Permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini adalah murni
hasil pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan undang – undang, teori-teori
hukum yang berlaku maupun doktrin – doktrin yang ada, dalam rangka
melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

E. Tinjauan Kepustakaan
1.

Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

yang namanya Hukum Pidana. Hukum Pidana menurut beberapa sarjana punya
beberapa pandangan. Banyak sarjana yang memberikan pendapat terkait apa yang
dimaksud dengan Hukum Pidana itu.
Beberapa Sarjana yang memberikan pendapatnya mengenai apa yang
dimaksud dengan hukum pidana, antara lain sebagai berikut:
a.

Moeljatno
Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di

suatu negara, yang mengadakan dasar – dasar dan aturan – aturan untuk :
1) Menentukan perbuatan – perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana
tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut;

Universitas Sumatera Utara

13

2) Menentukan kapan dan dalam hal – hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan – larangan itu dapat dikarenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan;
3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut.21
b.

Van Kan
Hukum pidana tidak mengadakan norma – norma baru dan tidak

menimbulkan kewajiban – kewajiban yang dulunya belum ada. Hanya norma –
norma yang sudah ada saja yang dipertegas, yaitu dengan mengadakan ancaman
pidana dan pemidanaan. Hukum pidana memberikan sanksi yang bengis dan
sangat memperkuat berlakunya norma – norma hukum yang telah ada. Tetapi
tidak mengadakan norma baru. Hukum pidana sesungguhnya adalah hukum
sanksi (het straf – recht is wezenlijk sanctie – recht).22
c.

Pompe
Hukum pidana adalah semua aturan – aturan hukum yang menentukan

terhadap perbuatan – perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana dan apakah
macamnya pidana itu.23
Dari tiga sarjana yang memberikan pendapatnya mengenai pengertian dari
Hukum Pidana dapat kita simpulkan bahwa hukum pidana berkaitan dengan
adanya sanksi pemidanaan bagi pelaku yang diduga melakukan suatu tindak
Moeljatno, Azaz – azas Hukum Pidana, (1982), hal. 1 sebagaimana yang dikutif oleh
Mohammad Ekaputra, Dasar – Dasar Hukum Pidana, (Medan: USU Press, 2013), hal. 2-3.
22
Ibid.
23
Moeljatno, Azaz – azas Hukum Pidana, (1982), hal. 1 sebagaimana yang dikutif oleh
Mohammad Ekaputra,Op. cit.
21

Universitas Sumatera Utara

14

pidana. Hal ini dikarenakan dalam Hukum Pidana yang merupakan bagian dari
Hukum Publik memuat atau berisi tentang 3(tiga) rumusan, yaitu :24
a.

Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan)
larangan

melakukan

perbuatan



perbuatan

(aktif/positif

maupun

pasif/negatif) tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana
(straf) bagi yang melanggar larangan itu.
b.

Syarat – syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si
pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada
larangan perbuatan yang dilanggarnya.

c.

Tindakan dan upaya – upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui
alat – alat perlengkapannya (misalnya Polisi, Jaksa, Hakim), terhadap yang
disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha
negara menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap
dirinya, serta tindakan dan upaya – upaya yang boleh dan harus dilakukan
oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usha melindungi
dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara menegakan hukum
pidana tersebut.

Hukum Pidana yang mengandung aspek pertama dan kedua disebut dengan
hukum pidana materil sedangkan aspek ketiga disebut dengan hukum pidana
formil.25
Pidana merupakan suatu kata yang memiliki arti suatu nestapa atau
penderitaan. Penderitaan ini merupakan suatu akibat yang dirasakan dari
24
25

Adami Chazawi,, Op.cit, hal. 1-2.
Adami Chazawi,, Op.cit., hal. 2.

Universitas Sumatera Utara

15

diperbuatnya suatu kesalahan 26 oleh si pembuat salah dan ini merupakan suatu
pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana Indonesia digunakan
beberapa macam sistem hukum pidana yaitu: 27
1.

Strichtliability
Dapat diartikan bahwa seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana

sebagaimana telah dirumuskan dalam undang-undang harus dan mutlak dapat
dipidana dalam artian lain adalah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku
secara perseorangan atau sendiri-sendiri. Strichtliability berlaku terhadap tiga
macam delik:
a. Public nuisance (gangguan terhadap kepentingan umum).
b. Criminal libel (fitnah, pencemaran nama).
c. Contempt of court (pelanggarana tata tertib pengadilan).
2.

Vicarious Liability
Sering diartikan sebagai pertangggungjawaban menurut hukum seseorang atas

perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain. Secara singkat sering diartikan
“pertanggungjawaban pengganti.”
3.

Corporate Liability
Pertanggungjawaban

pidana

yang

dapat

dihubungkan

dengan

pertanggungjawaban korporasi. Korporasi pribadi berdasarkan asal identifikasi.
Namun ada beberapa pengecualian, yaitu:

26
27

Geen straf sonder schuld atau tiada pidana tanpa kesalahan.
Alfrita, Op.cit, hal. 131-132.

Universitas Sumatera Utara

16

a. Dalam perkara-perkara yang menurut kodartanya tidak dapat dilakukan
oleh korporasi, misalnya perkosaan, sumpah palsu.
b. Dalam perkara yang satu-satunya pidana yang dapat dikenakan tidak
mungkin dikenakan kepada korporasi, mislanya pidana penjara dan pidana
mati.
Korporasi bisa juga dipertanggugjawabkan dalam hukum pidana karena
perbuatan seseorang dalam hal memungkinkan adanya vicarious liability
Dalam pemberian sanksi itu maka kita dapat melihat beberapa teori tentang
hukum pidana.
Menurut pendapat Wijono Prodjodikoro dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana
di Indonesia”, teori – teori hukum pidana itu antara lain :28

1.

Teori Absolut (Mutlak)
Menurut teori ini setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana tidak boleh

tidak tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana karena telah melakukan
kejahatan. Tidak dilihat akibat – akibat apa pun yang mungkin timbul dari
dijatuhkannya pidana sehingga dikenal dengan istilah “pembalasan”.
2.

Teori Relatif (Nisbi)
Menurut teori ini, suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu

pidana. Untuk ini, tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, tetapi harus
dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si
penjahat sendiri. Sehingga harus ada tujuan lebih jauh daripada hanya
menjatuhkan pidana saja melainkan harus ada tujuan.
28

Wijono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia,(Bandung: PT. Refika
Aditama,2014), hal. 23-27.

Universitas Sumatera Utara

17

Tujuan ini pertama – tama harus diarahkan kepada upaya agar dikemyudian
hari kejahatan yang telah dilakukan itu tidak terulang kembali (prevensi).
Prevensi ini ada dua macam, yaitu prevensi khusus atau special dan prevensi
umum atau general. Dalam pengertian ini, prevensi khusus tujannya untuk
membuat takut kepada si penjahat sedangkan dalam prevensi umum tujuannya
untuk membuat takut adalah kepada semua oknum agar takut melakukan
kejahatan.
3.

Teori Gabungan (Vereningings Theorien)
Disamping teori – teori absolut dan teori relatif tentang hukum pidana,

kemudian muncul teori ketiga yang di satu pihak mengakui adanya unsur
“pembalasan” ada juga yang mengakui unsur memperbaiki penjahat yang melekat
pada tiap pidana.
Ketika seseorang yang diduga atau disangka melakukan suatu perbuatan
melawan hukum atau tindak pidana maka kepadanya berlaku juga suatu syarat
yang menyatakan apakah dia dapat dijatuhi hukuman atau tidak.
Tindak pidana merupakan perbuatan atau tindakan yang tidak dapat
diperbolehkan atau yang seharusnya dilakukan tetapi tidak dilakukan, hal mana
apabila dilakukan dikenakan sanksi pidana, dimana sanksi pidana itu terdapat atau
tertulis dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana29, namun beberapa Sarjana
juga memberikan pendapat mereka masing – masing mengenai apa itu yang
dimaksud dengan tindak pidana, salah satunya Vos.

29

Alfitra,, Op.cit., hal. 110.

Universitas Sumatera Utara

18

Vos mengatakan Tindak Pidana adalah suatu kelakuan manusia yang oleh
peraturan perundang – undangan diberi pidana. Jadi, suatu kelakuan manusia yang
pada umumnya dilarang dan diancam dengan pidana (eenwettelijke omschreven
menschelijke gedraging, onrechmatig, strafwaardig en aan sachuld te wijten).30
Dari pengertian ini kita dapat mengambil suatu garis besar bahwa tindak
pidana tidak akan terlepas dari sebuah sanksi dan sanksi itu berkaitan dengan
pertanggungjawaban pidana. Hal ini dikarenakan apabila seseorang yang
melanggar hukum pidana yang berlaku maka kepadanya ada ancaman pidana,
namun apakah dia dapat dijatuhi pidana atau tidak bergantung kepada apakah si
pembuat kesalahan tersebut kepadanya dapat dipertanggungjawabkan mengenai
hal tersebut.31
Seseorang yang terbukti mampu bertanggungjawab terhadap kesalahannya
sebelum dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim melalui putusan yang di
bacakan di pengadilan dalam sidang yang terbuka untuk umum, maka harus
terlebih dahulu dilihat apakah orang tersebut telah memenuhi unsur – unsur tindak
pidana (delik) yang disangkakan kepadanya.
Unsur – unsur tindak pidana atau peristiwa pidana dapat dibedakan ke dalam
dua bentuk, yaitu :32
a.

Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teoritis
Dalam bentuk ini kita akan melihat bahwa ada beberapa pandangan dari

sarjana memberi pendapat mengenai unsur tindak pidana, diantaranya :
1) Menurut Moeljatno
30

Ibid, hal. 112.
Pasal 44 KUHP mengatur tentang tidak mampunya bertanggungjawab
32
Adami Chazawi,, Op.cit., hal. 79-82.
31

Universitas Sumatera Utara

19

a) perbuatan
b) yang dilarang (oleh aturan hukum)
c) ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).
2) Menurut Jonkers
a) perbuatan (yang)
b) melawan hukum (yang berhubungan dengan)
c) kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat)
d) dipertangungjawabkan
b.

Unsur Tindak Pidana Menurut Undang – Undang
1) unsur tingkah laku
2) unsur melawan hukum
3) unsur kesalahan
4) unsur akibat konstitutif
5) unsur keadaan yang menyertai
6) unsur syarat tanbahan untuk dapatnya dituntut pidana
7) unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana
8) unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana
9) unsur objek hukum tindak pidana
10) unsur kualitas subjek hukum tindak pidana
11) unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana
Saat unsur – unsur dari suatu tindak pidana terpenuhi, maka kepada pembuat

kejahatan atau pelanggaran tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban pidana
kepadanya dengan tetap memperhatikan kemampuan bertanggungjawab dan

Universitas Sumatera Utara

20

ketika si pembuat kesalahan mampu untuk bertanggungjawab maka dia dapat
dijatuhi sanksi sesuai dengan apa yang tertulis di undang – undang.
2.

Pengertian Bidan
Keputusan

Menteri

Kesehatan

(KEPMENKES)

No.

369/MENKES/SK/III/2007 menuliskan bahwa definisi Bidan sebagaimana
merujuk dan mempertimbangkan kebijakan ICM. 33 Definisi bidan menurut
International Confederation Of Midwives (ICM) yang dianut dan diadopsi oleh
seluruh organisasi bidan di seluruh dunia, dan diakui oleh WHO dan Federation
of International Gynecologist Obstetrition (FIGO). Definisi tersebut secara
berkala di review dalam pertemuan Internasional / Kongres ICM. Definisi terakhir
disusun melalui konggres ICM ke 27, pada bulan Juli tahun 2005 di Brisbane
Australia ditetapkan sebagai berikut: Bidan adalah seseorang yang telah
mengikuti program pendidikan bidan yang diakui di negaranya, telah lulus dari
pendidikan tersebut, serta memenuhi kualifikasi untuk didaftar (register) dan atau
memiliki izin yang sah (lisensi) untuk melakukan praktik bidan.34
Menurut Kepmenkes No. 900/MENKES/SK/VII/2002 mengatakan bahwa
Bidan adalah seorang wanita yang telah mengikuti program pendidikan kebidanan
dan lulus ujian dengan persyaratan yang berlaku.
Pengertian Bidan sebagaimana yang ditulis di awal merupakan profesi yang
diakui. Dikatakan demikian karena dalam falsafah asuhan kebidanan menjelaskan
beberapa keyakin salah satunya bahwa profesi kebidanan secara nasional diakui
33

LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR
369/MENKES/SK/III/2007.
34
https://id.wikipedia.org/wiki/Bidan. tanggal akses Senin, 25 Januari 2016, Pukul 20.00
WIB.

Universitas Sumatera Utara

21

dalam undang – undang maupun peraturan pemerintah Indonesia yang merupakan
salah satu tenaga pelayanan kesehatan profesional dan secara Internasional diakui
oleh International confederation of Midwives (ICM), International Federation of
International Gynecologist and Obstetrician (FIGO) dan WHO.35
C.V Good menjelaskan bahwa jenis pekerjaan profesional memiliki ciri-ciri
tertentu, yaitu : memerlukan persiapan atau pendidikan khusus bagi pelakunya
(membutuhkan pendidikan prajabatan yang relevan), kecakapnnya memenuhi
persyaratan yang telah dibakukan oleh pihak yang berwenang (misal, organisasi
profesional, konsorsium dari pemerintah), serta jabatan tersebut mendapat
pengakuan dari masyarakat dan/atau negara.36
Syarat untuk seorang Bidan dikatakan bahwa mempunyai jabatan profesional,
yaitu :37
a. Memberikan pelayanan kepada masyarakat yang bersifat khusus atau
spesialis.
b. Melalui jenjang pendidikan yang menyiapkan bidan sebagai tenaga
profesional.
c. Keberadaannya diakui dan diperlukan oleh masyarakat.
d. Mempunyai kewenangan yang disahkan atau diberikan oleh pemerintah.
e. Mempunyai peran dan fungsi yang jelas.
f. Mempunyai kompetensi yang jelas dan terukur.
g. Memiliki organisasi profesi sebagai wada.
h. Memiliki kode etik bidan.
35

Dwiana Estiwidani,SST, dkk, Konsep Kebidanan,(Yogyakarta: Fitramaya,2009), hal.3.
S. Nova Kurnia, Etika Profesi Kebidanan, (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2009), hal. 23.
37
Dwiana Estiwidani,SST, dkk, Op.cit, hal. 56.
36

Universitas Sumatera Utara

22

i. Memiliki etika kebidanan.
j. Memiliki standar pelayanan.
k. Memiliki stansar praktik.
l. Memiliki standar pendidikan yang mendasari dan mengembangkan
profesi sesuai dengan kebutuhan pelayanan.
m. Memiliki

standar

pendidikan

berkelanjutan

sebagai

wahana

pengembangan kompetensi.
Dari argumentasi ini disimpulkan bahwa Bidan dalam profesinya mempunyai
jabatan yang profesional, sehingga ketika Bidan melakukan pelanggaran dalam
jabatannya atau menyalahgunakan wewenang dalam jabatannya maka dapat
diancam dengan ketentuan pidana.
3.

Tindak Pidana Perdagangan Orang

a.

Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2)

menyebutkan bahwa :
Pasal 1 ayat (1) :
Perdagangan Orang adalah tindakan prekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau
memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang
yang memegagn kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di
dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau
mengakibatkan orang terekploitasi.
Pasal 1 ayat (2) :
Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau serangkaian
tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam
Undang-Undang ini.

Universitas Sumatera Utara

23

Dalam hukum pidana, suatu pelanggaran hukum disebut perbuatan melawan
hukum (wederrechtelijke handeling) dan pelanggaran hukum inilah dalam Kitab
Undang – Undang Hukum Pidana dikwalifikasi sebagai peristiwa pidana
(strafbaar feit).38
Menurut pendapat Pompe yang dikutif H. A. Zainal Abidin Farid dalam buku
“Hukum Pidana 1”, Peristiwa pidana atau tindak pidana merupakan suatu situasi
yang menggambarkan suatu peristiwa yang oleh undang-undang mengandung
unsur handeling (perbuatan) dan unsur natalen (pengabaian; tidak berbuat;
berbuat pasif) yang tindakan itu memiliki suatu rangkaian antara satu dengan
lainnya yang disebut sebagai suatu peristiwa dan itulah yang disebut sebagai
delik.39
Merujuk kepada beberapa pendapat sarjana di atas, maka kita dapat mengerti
bahwa tindak pidana sama artinya dengan peristiwa pidana, sama artinya dengan
perbuatan pidana, dan sama juga artinya dengan delik.
Dalam perkembangan zaman yang semakin berkembang khususnya di Negara
Indonesia, maka kejahatan pun akan semakin beragam bentuknya sehingga akan
bermunculan tindak pidana – tindak pidana yang baru dan belum di atur di dalam
Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) sehingga di atur lebih lanjut
dengan undang – undang yang berada di luar KUHP dan ini disebut dengan
Tindak Pidana Khusus.

38
39

E.Utrecht/Moh.Saleh Djindang, Op.cit., hal.390.
H.A.Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 226.

Universitas Sumatera Utara

24

Dikatakan Tindak Pidana Khusus hal ini dikarenakan tindak pidana yang
diatur secara khusus di luar Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) dan
orang – orang yang menanganinya pun khusus.
Bagaimana Undang – Undang tindak pidana khusus ini dapat berlaku di
Negara Indonesia adalah dengan berdasarkan kepada Pasal 103 KUHP.40 Dengan
dimuatnya aturan ini maka status dari undang – undang yang mengatur tentang
tindak pidana di luar KUHP mempunyai suatu kepastian hukum dan mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat karena mempunyai daya berlaku di dalam sistem
hukum Negara Indonesia.
Beberapa contoh tindak pidana yang di atur di luar KUHP atau yang dikatakan
sebagai Tindak Pidana Khusus yaitu Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam
Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian dirubah dengan Undang
– Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Narkotika yang
diatur dalam Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Tindak
Pidana Perdagangan Orang yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 21
Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan
tindak pidana lainnya yang diatur di luar KUHP.
Dalam hal ini sebagaimana skripsi ini tentang perdagangan bayi, maka kita
akan melihat apakah yang dimaksud dengan tindak pidana perdagangan orang itu
dengan melihat definisinya dari berbagai pendangan baik menurut pendapat
sarjana maupun definisi yang terdapat di dalam undang – undang.
Pasal 103 KUHP : “ Ketentuan dari delapan bab yang pertama dari Buku ini berlaku
juga terhadap perbuatan yang dapat dihukum menurut peraturan undang – undang lain, kecuali
kalau ada undang – undang (Wet) tindakan Umum Pemerintahan (Algemene maatregelen van
bestuur) atau ordonansi menentukan peraturan lain.
40

Universitas Sumatera Utara

25

Perdagangan orang (trafficking) saat ini mempunyai pengertian yang
diperluas, dimana pada masa sekarang ini trafficking diartikan sebagai
perpindahan orang dengan pemaksaan, terutama perempuan dan anak – anak
dengan atau tanpa sepengetahuan mereka, baik di dalam maupun di luar negeri
untuk tujuan eksploitasi tenaga kerja, prostitusi, dan perkawinan yang tidak
seimbang (servile marriage),41serta untuk kepentingan yang lain.
Global Alliance Against Traffick in Women memberi definisi tentang apa yang
dimaksud dengan trafficking yaitu :
Trafficking atau perdagangan perempuan dan anak, adalah segala usaha yang
meliputi tindakan yang berhubungan dengan perekrutan, ransportasi di dalam
atau melintasi perbatasan (wilayah atau negara), pembelian, penjualan,
transfer, pengiriman, penerimaan seseorang dengan menggunakan penipuan
dan tekanan termasuk penggunaan ancaman kekerasan atau penyalahgunaan
kekuasaan atau menahan orang tersebut, baik dibayar maupun tidak, untuk
kerja yang tidak diinginkannya, seperti domestik, seksual atau reproduksi,
dalam kerja paksa ataunikatan kerja atau dalam kondisi perbudakan, dalam
suatu lingkungan yang asing dari tempat tinggalnya semula dengan
orangtuanya atau bukam ketika penipuan itu terjadi, tekanan, atau terkena
lilitan yang pertama kali.42
Pengertian ini memahamkan kita bahwa kebanyakan yang menjadi korban
dari perdagangan orang ini adalah perempuan dan anak – anak dan bahkan
sekarang ini, bayi pun kerap menjadi korban atau kerap diperdagangkan.
41
42

Alfitra, Op.cit., hal.164.
Ibid., hal.168.

Universitas Sumatera Utara

26

b. Pengertian Tindak Pidana Penjualan Bayi
Lalu, apakah bayi masuk ke dalam pengertian dari yang diperdagangkan? Hal
ini dijawab dengan Potokol II Transitional Organized Crime (TOC) di huruf (d)
yang memberi pengertian: ”Child” Shall mean any person under eighteen years
of age yang terjemahannya adalah “Anak” adalah orang yang berumur di bawah
delapan belas tahun.43
Jadi, setiap orang baik laki – laki maupun perempuan jika usianya dibawah 18
(delapan belas) tahun, termasuk juga Bayi, maka disebut sebagai anak. Oleh
karena itu apabila ada seseorang ataupun bersama – sama melakukan
perdagangan/penjualan bayi hal itu dapat masuk sebagai Tindak Pidana
Perdagangan Orang (TPPO).
Di atas telah disingung bahwa Tindak Pidana Perdagangan Orang mempunyai
pengertian yang menyangkut tentang penjualan maupun pembelian terhadap
perempuan ataupun anak. Perdagangan berasal dari kata dagang 44 , dalam
pengertian ini kita dapat melihat bahwa dari kata “perdagangan” maka ada barang
yang dijual, ada penjual dan ada pembeli. Sehingga tentu ada subjek (pelaku) di
dalamnya dan inilah yang menjadi perhatian kita.
Pelaku

dalam kejahatan ini bisa sebagai penjual, pembeli, atau bahkan

perantara. Namun pelaku yang akan kita bahas dalam Tindak Pidana Perdagangan
Orang ini lebih spesifiknya adalah penjual.

Alfitra,Op. Cit., hal. 166 – 167.
Dagang adalah pekerjaan yang berhubungan dengan menjual dan membeli barang untuk
memperoleh keuntungan; jual beli;niaga. Lihat Drs.Dwi Adi K. Kamus Praktis Bahasa Indonesia,
(Surabaya: Fajar Mulya, 2001), hal.110.
43

44

Universitas Sumatera Utara

27

Penjual merupakan orang yang melakukan penjualan kepada orang lain atau
dengan kata lain penjual merupakan orang yang menjual.
Jika dalam hal ini dibahas mengenai tindak pidana perdagangan orang, maka
penjual yang dimaksud adalah Subjek yang melakukan perdagangan orang atau
Subjek yang menjual orang.
Pelaku – pelaku dalam Tindak Pidana Perdagangan Bayi bukan hanya dalam
bentuk individu saja namun juga dalam beberapa bentuk dan sistem yang
bermacam juga. Hal ini karena kejahatan tersebut masuk dalam Tindak Pidana
Perdagangan Orang menyangkut juga tentang lintas batas ataupun dalam lintas
nasional.
Pelaku – pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang ini di dalama Pasal 1 ayat
(2) Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang, dikatakan adalah “setiap orang”. Setiap orang dapat
diartikan dalam beberapa bentuk, yakni :
1) Perseorangan
2) Korporasi
Dari beberapa jenis pelaku tindak pidana perdagangan orang ini kita akan
mengaitkan perdagangan orang yang dilakukan oleh Bidan dengan bentuk atau
jenis – jenis pelaku tindak pidana perdagang orang di atas.
Sebagaimana dari pembahasan kita sebelumnya dikatakan bahwa dalam
skripsi ini yang menjadi korban perdagangan orang adalah Bayi dimana perbuatan
ini adalah perbuatan yang dilakukan oleh Bidan.

Universitas Sumatera Utara

28

Bidan yang merupakan suatu profesi yang sangat erat kaitannya dengan Bayi.
Hal itu dikarenakan Bidan mempunyai tugas dan fungsi yang memang berkaitan
dengan bayi.
Lalu, dimanakah posisi Bidan dikatakan sebagai pelaku dalam tindak pidana
perdagangan orang (bayi) ini? Untuk menjawab hal ini kita harus melihat dari
jenis – jenis pelaku (penjual) dalam tindak pidana perdagangan orang ini.
Perseorangan (pleger) menurut Jan Remmelink adalah orang yang memenuhi
semua unsur delik.45 Sedangkan korporasi di dalam Pasal 1 ayat (6) menyebutkan
bahwa Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir,
baik yang merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.46
Seorang Bidan yang melakukan Tindak Pidana Penjualan Bayi tersebut harus
dilihat apakah dia bekerja sendiri atau bersama – sama dalam artian apakah
perbuatan Bidan tersebut terorganisir dalam sebuah kelompok atau dilakukan
secara perseorangan saja.
Apabila dilakukan secara berkelompok atau bersama – sama, maka
dikategorikanlah perbuatannya dilakukan dalam bentuk pelaku korporasi namun
apabila tidak maka Bidan tersebur dikatakan sebagai pelaku perseorangan.
Jadi, dapat kita simpulkan bahwa Bidan tersebut dapat dikategorikan sebagai
pelaku dalam bentuk perseorangan namun dapat pula tidak apabila Bidan tersebut
melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang tidak secara sendiri melainkan
bersama – sama atau berkelompok.

45

Mohammad Eka Putra/Abul Khair, Percobaan dan Penyertaan, (Medan: USU Press),

hal. 45.

Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
46

Universitas Sumatera Utara

29

4.

Tindak Pidana Penjualan Bayi Menurut Undang-Undang Perlindungan
Anak

a.

Pengertian Tindak Pidana Penjualan Bayi Menurut UU No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 1 ayat (1) menyebutkan :
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Bayi merupakan korban yang banyak “diperdagangkan”, dengan mengacu

pada pengertian Pasal 1 ayat (1) ini maka bayi mendapat perlindungan hukum
melalui pasal ini.
Mengenai aturan yang membahas mengenai tindak pidana penjualan bayi
dalam undang-undang ini di atur dalam Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengatur bahwa :
Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri
sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
b. Pengertian Tindak Pidana Penjualan Bayi Menurut UU No. 35 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
Berdasarkan pertimbangan lembaga pembuat undang-undang, dibentuknya
undang-undang ini dikarenakan bahwa dalam rangka meningkatkan perlindungan
terhadap anak perlu dilakukan penyesuaian terhadap beberapa ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Universitas Sumatera Utara

30

Perlindungan Anak dalam Pasal 1 ayat (2) pengertiannya adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Oleh karena dalam undang-undang ini hanya merubah undang-undang
sebelumnya maka hanya beberapa ketentuan yang diubah dan beberpa ketentuan
lain seperti misalkan pengertian anak pada bagian ketentuan umum masih
menggunakan penertian yang sama dengan undang-undang sebelumnya.
Ketentuan Pasal 83 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 83:
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
76F dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).
Pasal 76F berbunyi : Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan,
melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan,
penjualan, dan/atau perdagangan Anak.
Oleh karena itu, menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 aturan
mengenai penjualan bayi mendapat penambahan unsur perbuatan di dalamnya.
F. Metode Penelitian
Dalam dunia riset, penelitian merupakan aplikasi atau penerapan metode yang
telah ditentukan dengan persyaratan yang sangat ketat berdasarkan tradisi

Universitas Sumatera Utara

31

keilmuan yang terjaga sehingga hasil penelitian yang dilakukan memiliki nilai
ilmiah yang dihargai oleh komunitas ilmuwan terkait (intersubjektif).47
1.

Jenis Penelitian
Penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh dari

masyarakat dan dari bahan – bahan pustaka.48 Dalam skripsi ini penelitian yang
dilakukan adalah penelitian hukum normatif atau yuridis normatif. Penelitian
hukum normatif yaitu penelitian yang didasarkan pada bahan hukum sekunder
yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap
sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal,
perbandingan hukum, dan sejarah hukum.49
2.

Sumber Data
Data merupakan sesuatu yang diketahui atau dianggap yang artinya bahwa

data berisi tentang informasi atau berisi tentang pendapat.50
Jenis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder yang diperoleh dari:51
a.

Bahan hukum primer, yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, yaitu UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Republik Indonesia

47

Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2005), hal. 25.
48
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), hal. 12.
49
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.cit, hal. 13-14.
50
Muslan Abdurahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, (Malang: UMM Press,
2009), hal. 111.
51
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.cit, hal. 13.

Universitas Sumatera Utara

32

Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UndangUndang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 yang dirubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan Anak, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Republik
Indonesia

Nomor

36

Tahun

2009,

dan

Kepmenkes

Ri

No.

369/Menkes/Sk/Iii/2007 Tentang Standar Profesi Bidan, dan Kepmenkes Ri
No. 938/ Menkes/Sk/Iii/2007 Tentang Standar Asuhan Kebidanan.
b.

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberi penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti hasil – hasil penelitian, karya tulis
ilmiah, atau karya dari kalangan hukum, dan beberapa sumber dari internet
yang berkaitan dengan persoalan diatas.

c.

Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk terhadap
bahan hukum primer dan skunder seperti seperti kamus,ensiklopedia, dan
lain-lain.

3.

Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode Library Research (studi

kepustakaan). Metode Library Research yaitu mempelajari dan menganalisa
secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, internet, peraturan
perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang
akan dibahas dalam skrispsi ini.
4.

Analisis Data

Universitas Sumatera Utara

33

Analisis dapat dibedakan menjadi analisis yang kualitatif dan analisis yang
kuantitatif. Analisis kualitatif adalah apabila data itu hanya bersifat monografis
atau berwujud kasus-kasus sedangkan analisis kuantitatif adalah apabila data yang
dikumpulkan tersebut berjumlah besar dan oleh karenanya diklasifikasikan ke
dalam kategori-kategori.52
Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi
dokumen, dan studi putusan pengadilan maka hasil penelitian ini menggunakan
analisa kualitatif. Analisa kualitatif merupakan suatu kegiatan menganalisa data
sekunder yang diperoleh sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan
dalam skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini dibagi ke dalam 5 (lima) bab yang terdiri
dari beberapa sub bab. Adapun sistmatika penulisan ini adalah sebagai berikut :
BAB I

PENDAHULUAN
Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum, yaitu : Latar
Bel

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang yang Dengan Sengaja Tidak Melaporkan Adanya Tindak Pidana Menguasai Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 409/Pid.B/2014/PN.Mdn.)

2 54 90

Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Ptk dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn)

2 81 104

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Yang Memperniagakan Satwa Yang Dilindungi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemny ( Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1513/Pid.B/2014/Pn.Md

3 88 109

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kepemilikan dan Penjualan Senjata Api Serta Amunisi Ilegal Oleh Masyarakat Sipil (Studi Putusan Nomor 3550/Pid.B/2006/PN.Mdn)

0 64 150

Penegakan Hukum Terhadap Oknum Polri Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 479/Pid.B/2011/Pn.Mdn)

1 50 102

Analisis Yuridis Terhadap Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Pencurian Arus Listrik (Putusan Nomor : 1770/Pid.B/2014/PN.Mdn)

3 22 102

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Bidan Pelaku Penjualan Bayi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1201 PID.B 2014 PN.MDN)

2 6 8

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Bidan Pelaku Penjualan Bayi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1201 PID.B 2014 PN.MDN)

0 0 1

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Bidan Pelaku Penjualan Bayi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1201 PID.B 2014 PN.MDN)

1 0 25

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Bidan Pelaku Penjualan Bayi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1201 PID.B 2014 PN.MDN)

0 0 4