Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Ptk dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn)

(1)

KEPADA ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor:

I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Ptk dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh: PUTRI ZULPITA

NIM 110200024

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN HUKUMAN KEPADA ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor:

I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Ptk dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh: PUTRI ZULPITA

NIM 110200024

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan S.H M.H NIP. 195703261986011001

Dosen Pembimbing I DosenPembimbing II

Dr, Madiasa Ablisar S.H M.S Dr.Mahmud Mulyadi S.H M.H NIP. 196104081986011002 NIP.197404012002121001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAKSI Putri Zulpita

Dr. Madiasa Ablisar S.H M.S Dr. Mahmud Mulyadi S.H M.H

Kenakalan anak setiap tahun selalu meningkat. Apabila dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus operandi, pelanggaran yang dilakukan anak tersebut dirasakan telah meresahkan semua pihak khusunya para orang tua. Anak yang melakukan tindak pidana tersebut tidak terlepas dari pertanggungjawaban hukum positif terhadap perbuatan yang dilakukannya. Dalam hal ini peranan hakim yang menangani perkara pidana anak sangatlah penting. Hakim mempunyai wewenang untuk melaksanakan peradilan. Hakim wajib menggali dan memahami faktor-faktor yang menjadi penyebab seorang anak melakukan tindak pidana. Hakim sebagai aparat pemerintah, mempunyai tugas memeriksa, menyelesaikan, dan memutus setiap perkara yang diajukan kepadanya. Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai pertimbangan apa saja yang digunakan oleh hakim didalam menjatuhkan suatu putusan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana khususnya tindak pidana pencabulan.

Masalah yang akan dibahas didalam skripsi ini adalah mengenai pengaturan hukum di Indonesia terkait dengan anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan serta bagaimana penerapan hukum tersebut apabila dilihat dari analisis dua putusan yang terkait dengan anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah hukum normatif dengan pendekatan Undang-Undang, yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan maupun putusan hakim di pengadilan. Sifat penelitian adalah deskriptif analitis yakni menggambarkan dan menguraikan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan.

Hasil penelitian menerangkan bahwa pertimbangan yang digunakan oleh Hakim dalam menjatuhkan suatu putusan kepada anak sebagai pelaku tindak pencabulan sangatlah beragam. Didalam Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor I/PID.SUS.ANAK/2014/PN.PTK menerangkan bahwa Hakim memberikan putusan pemidanan kepada terdakwa dengan tujuan sebagai perbaikan diri kepada terdakwa tanpa merusak masa depan terdakwa dan tetap melindungi hak-hak dari korban. Namun dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 2/PID.SUS-ANAK/2014/PN.Mdn menerangkan bahwa pertimbangan yang digunakan oleh hakim dalam memberikan pemidanan terhadap terdakwa lebih mengarah kepada pemberian efek jera kepada terdakwa agar tidak mengulangi kesalahannya kembali.

Kata Kunci : Pertimbangan Hakim, Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan.

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 

Dosen Pembimbing I 


(4)

ABSTRAKSI Putri Zulpita

Dr. Madiasa Ablisar S.H M.S Dr. Mahmud Mulyadi S.H M.H

Kenakalan anak setiap tahun selalu meningkat. Apabila dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus operandi, pelanggaran yang dilakukan anak tersebut dirasakan telah meresahkan semua pihak khusunya para orang tua. Anak yang melakukan tindak pidana tersebut tidak terlepas dari pertanggungjawaban hukum positif terhadap perbuatan yang dilakukannya. Dalam hal ini peranan hakim yang menangani perkara pidana anak sangatlah penting. Hakim mempunyai wewenang untuk melaksanakan peradilan. Hakim wajib menggali dan memahami faktor-faktor yang menjadi penyebab seorang anak melakukan tindak pidana. Hakim sebagai aparat pemerintah, mempunyai tugas memeriksa, menyelesaikan, dan memutus setiap perkara yang diajukan kepadanya. Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai pertimbangan apa saja yang digunakan oleh hakim didalam menjatuhkan suatu putusan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana khususnya tindak pidana pencabulan.

Masalah yang akan dibahas didalam skripsi ini adalah mengenai pengaturan hukum di Indonesia terkait dengan anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan serta bagaimana penerapan hukum tersebut apabila dilihat dari analisis dua putusan yang terkait dengan anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah hukum normatif dengan pendekatan Undang-Undang, yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan maupun putusan hakim di pengadilan. Sifat penelitian adalah deskriptif analitis yakni menggambarkan dan menguraikan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan.

Hasil penelitian menerangkan bahwa pertimbangan yang digunakan oleh Hakim dalam menjatuhkan suatu putusan kepada anak sebagai pelaku tindak pencabulan sangatlah beragam. Didalam Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor I/PID.SUS.ANAK/2014/PN.PTK menerangkan bahwa Hakim memberikan putusan pemidanan kepada terdakwa dengan tujuan sebagai perbaikan diri kepada terdakwa tanpa merusak masa depan terdakwa dan tetap melindungi hak-hak dari korban. Namun dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 2/PID.SUS-ANAK/2014/PN.Mdn menerangkan bahwa pertimbangan yang digunakan oleh hakim dalam memberikan pemidanan terhadap terdakwa lebih mengarah kepada pemberian efek jera kepada terdakwa agar tidak mengulangi kesalahannya kembali.

Kata Kunci : Pertimbangan Hakim, Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan.

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 


(5)

BAB 1

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Anak adalah karunia yang terbesar bagi keluarga, agama, bangsa, dan negara. Anak merupakan cikal bakal lahirnya generasi baru yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan Nasional. Masa depan bangsa dan Negara dimasa yang akan datang berada ditangan anak sekarang. Anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.1

Pembicaraan mengenai anak tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara, tidak terkecuali Indonesia.2 Oleh karena itu diharapkan agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia.

Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan suatu bangsa. Selain itu, anak merupakan harapan orang tua, harapan bangsa dan

1

Mukaddimah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

2

Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011, Hal.1.


(6)

negara yang akan melanjutkan tongkat estafet pembangunan serta memiliki peran strategis, mempunyai ciri atau sifat khusus yang akan menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Setiap anak harus mendapatkan pembinaan sejak dini, anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial. Terlebih lagi bahwa masa kanak-kanak merupakan periode pembentukan watak, kepribadian dan karakter diri seorang manusia, agar kehidupan mereka memiliki kekuatan dan kemampuan serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan.3

Berkaitan dengan hal diatas, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) melalui ketetapannya No. II/1993, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, Bab IV PELITA VI, bagian Kesejahteraan Rakyat, Pendidikan dan Kebudayaan angka 7 huruf (a), khusus Masalah Anak dan Remaja ditegaskan: “Pembinaan anak dan remaja dilaksanakan melalui peningkatan mutu gizi, pembinaan perilaku kehidupan beragama dan budi pekerti luhur, penumbuhan minat belajar, peningkatan daya cipta dan daya nalar serta kreativitas, penumbuhan kesadaran akan hidup sehat, serta penumbuhan idealisme dan patriotisme dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan pancasila dan peningkatan kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan masyarakat”.4

3

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2008, Hal. 1.

4


(7)

Anak dalam perkembangannya menuju kedewasaan, ada kalanya melakukan perbuatan yang lepas kontrol, yaitu melakukan perbuatan yang tidak baik sehingga dapat merugikan dirinya sendiri, bahkan dapat merugikan orang lain. Tingkah laku yang demikian disebabkan karena dalam masa pertumbuhan sikap dan mental anak belum stabil, dan juga tidak terlepas dari lingkungan tempat ia bergaul. Sudah banyak terjadi karena lepas kendali, kenakalan anak berubah menjadi tindak pidana atau kejahatan, sehingga perbuatan tersebut tidak dapat ditolerir lagi. Anak yang melakukan tindak pidana harus berhadapan dengan aparat penegak hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.5

Kenakalan anak setiap tahun selalu meningkat. Apabila dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus operandi, pelanggaran yang dilakukan anak tersebut dirasakan telah meresahkan semua pihak khusunya para orang tua. Fenomena meningkatnya perilaku tindak pidana yang dilakukan oleh anak seolah-olah tidak berbanding lurus dengan usia pelaku.6

Kesejahteraan terhadap anak dalam hal ini juga sangatlah perlu diperhatikan, tidak sedikit alasan anak yang melakukan tindak pidana adalah dikarenakan kehidupan sosial nya yang tidak sejahtera. Hal ini membuat anak terkadang tidak dapat berfikir secara baik dan matang dalam mengambil keputusan apakah tindakan yang akan dilakukannya dapat berdampak hukum atau tidak bagi dirinya sendiri.

5

Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Jakarta: Djambatan, 2000, Hal. ix.

6

Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010, Hal. 2013


(8)

Anak yang melakukan tindak pidana tersebut tidak terlepas dari pertanggungjawaban hukum positif terhadap perbuatan yang dilakukannya sehingga timbul tugas yang mulia bagi hakim untuk menjatuhkan sanksi yang sesuai dan tepat bagi anak mengingat anak tersebut masih memiliki masa depan yang panjang. Anak sebagai sosok yang lemah dan tidak berdaya tentu belum memahami apa yang baik dan buruk untuk dilakukan.

Perilaku anak dibawah umur yang berkaitan dengan pencabulan tidak cukup hanya dipandang sebagai kenakalan biasa. Anak yang melakukan tindak pidana pencabulan ini bisa karena beberapa faktor, diantaranya adalah adanya rasa ingin tahu yang besar yang dimiliki oleh anak, banyaknya peredaran video porno, gaya pacaran anak zaman sekarang yang kurang terkontrol, perkembangan teknologi, faktor keluarga, faktor meniru perilaku orang-orang disekitarnya, nilai-nilai keagamaan yang semakin hilang di masyarakat, tayangan televisi dan jaringan internet yang kian menyediakan situs-situs tidak baik bagi anak-anak.7

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah meningkatnya tindak pidana yang dilakukan anak adalah dengan diterapkannya sanksi hukum pidana bagi anak yang melakukan kejahatan. Dalam hal ini peranan hakim yang menangani perkara pidana anak sangatlah penting. Hakim mempunyai wewenang untuk melaksanakan peradilan. Hakim wajib menggali dan memahami faktor-faktor yang menjadi penyebab seorang anak melakukan tindak pidana. Hakim sebagai aparat pemerintah, mempunyai tugas memeriksa, menyelesaikan, dan memutus setiap perkara yang diajukan kepadanya.

7

Yenni Widyaastuti, “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Putusan No.49/Pid.B/2013/PN.Sungguminasa) (Skripsi Ilmu


(9)

Hakim harus dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya, yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, dan masyarakat. Dalam menjatuhkan putusan pidana, hakim harus mempertimbangkan tujuan dari pemidanaan itu sendiri, yaitu membuat pelaku tindak pidana jera dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Hakim tidak boleh hanya memperhatikan kepentingan anak sebagai pelaku tindak pidana. Berbagai pihak yang harus bertanggung jawab dalam menghadapi masalah anak adalah sekolah, orang tua, masyarakat sekitar, penegak hukum, dan pemerintah. Pihak-pihak tersebut harus lebih memberikan perhatian dan penanganan secara khusus dengan melakukan pembinaan, pendidikan, dan pengembangan perilaku anak tersebut. Dalam penegakan hukum, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan.8

Maraknya kasus yang sampai dipengadilan terkait dengan anak sebagai pelaku tindak pidana yang dalam hal ini tindak pidana pencabulan membuat perlu dijadikan suatu pembahasan yang serius. Perlu diingat bahwa sejak diberlakukannya Undang-Undang Pengadilan Anak yang saat ini belum secara efektif diterapkan, membuat pelaksanaan hukum pidana anak di pengadilan menjadi tidak menentu baik dilihat dari visi penjatuhan pidana maupun dari misi mekanismenya.9

Beberapa kasus mengenai tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh anak yang sempat menjadi sorotan adalah Kasus Moch Yusuf Bin Haryono

8Fajar Deni Kusumawati, “

Analisis Terhadap Putusan Hakim Berupa Pemidanaan Terhadap Perkara Tindak Pidana Anak”, (Skripsi Ilmu Hukum--Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2008), Hal.3.

9


(10)

berumur 16 tahun, yang terbukti secara sah melakukan perbuatan cabul dengan seorang perempuan yang berumur 4 tahun. Akibat perbuatannya Moch. Yusuf dijatuhi pidana oleh hakim 1 tahun potong masa tahanan di Pengadilan Negeri Bojonegoro. Berbeda dengan Kasus Budi Santoso yang berumur 15 tahun, yang terbukti secara sah melakukan perbuatan cabul dengan seorng perempuan berumur 7 tahun. Akibat perbuatannya Budi Santoso dijatuhi hukuman pidana 2 bulan potong masa tahanan oleh Pengadilan Negeri Malang.

Pada Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor:

I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.PTK dengan Terdakwa bernama Ghumantar als Patih Ghumantar als Tatar yang terbukti secara sah melakukan pencabulan dengan perempuan berumur 4 tahun, dimana putusan hakimnya yaitu tindakan pengembalian kepada orang tua dan pidana pelatihan kerja selama 3 bulan. Berbeda lagi dengan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn dengan terdakwa yaitu Muhammad Lutfi Efriadi yang terbukti secara sah melakukan perbuatan dengan sengaja membujuk untuk melakukan persetubuhan dengan perempuan berumur 15 tahun yang dimana hukuman yang dijatuhi oleh hakimnya yaitu pidana penjara selama 2 tahun dan denda sebesar Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah).

Berdasarkan penjelasan beberapa contoh diatas, terlihat adanya perbedaan putusan pidana yang diberikan oleh hakim bagi anak pelaku tindak pidana pencabulan. Dalam dunia hukum terjadinya perbedaan mencolok dalam proses


(11)

penjatuhan putusan pidana terhadap pelaku dalam perkara yang sama atau berkarakter sama sering disebut dengan disparitas pidana.10

Disparitas pidana ini pun membawa problematika tersendiri dalam penegakan hukum di Indonesia. Di satu sisi pemidanaan yang berbeda/ disparitas pidana merupakan bentuk dari diskresi hakim dalam menjatuhkan putusan, tapi di sisi lain pemidanaan yang berbeda/disparitas pidana ini pun membawa ketidakpuasan bagi terpidana bahkan masyarakat pada umumnya. Muncul pula kecemburuan sosial dan juga pandangan negatif oleh masyarakat pada institusi peradilan, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk ketidakpedulian pada penegakan hukum dalam masyarakat. Kepercayaan masyarakat pun semakin lama semakin menurun pada peradilan, sehingga terjadilah kondisi dimana peradilan tidak lagi dipercaya atau dianggap sebagai rumah keadilan bagi mereka atau dengan kata lain terjadi kegagalan dari sistem peradilan pidana. Keadaan ini tentu menimbulkan inkonsistensi putusan peradilan dan juga bertentangan dengan konsep rule of law yang dianut oleh Negara kita, dimana pemerintahan diselenggarakan berdasarkan hukum dan didukung dengan adanya lembaga yudikatif yakni institusi peradilan untuk menegakkan hukum.11 Perbedaan pertimbangan yang digunakan oleh hakim yang menyebabkan perbedaan terhadap penjatuhan pidana bagi anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan menjadi sangat menarik untuk diteliti lebih dalam.

10

SanthosWachjoe,DisparitasPutusanHakim,http://santhoshakim.blogspot.com/20 13/11/disparitas-putusan-hakim.html, Diakses Tanggal 23 April 2015, Pukul 13.22 Wib.

11 Ibid.


(12)

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah tersebut menjadi sebuah skripsi yang berjudul “Analisis Pertimbangan Hakim Terhadap Penjatuhan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.PTK; Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn)”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah serta pembatasan masalah yang telah diuraikan di atas maka untuk memudahkan menyusun skripsi ini, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan hukum di Indonesia mengenai anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan?

2. Bagaimanakah pertimbangan hakim terhadap penjatuhan hukuman kepada anak pelaku tindak pidana pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.PTK; Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn) ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tulisan ini dibuat sebagai tugas akhir dan merupakan sebuah karya ilmiah yang bermanfaat bagi perkembangan hukum di Indonesia. Sesuai dengan permasalahan yang diatas adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah:


(13)

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum di Indonesia yang mengatur mengenai anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan

2. Untuk mengetahui pertimbangan yang digunakan hakim terhadap penjatuhan hukuman kepada anak pelaku tindak pidana pencabulan

Adapun yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini tidak dapat dipisahkan dari tujuan penulisan yang telah diuraikan diatas, yaitu:

1. Manfaat secara teoritis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan masukan pemikiran di bidang ilmu pengetahuan hukum, khususnya pengetahuan ilmu hukum pidana. Selain itu, diharapkan juga dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.

2. Manfaat secara praktis

Secara praktis diharapkan agar penulisan skripsi ini dapat dijadikan sebagai pedoman bagi mahasiswa, penegak hukum dalam melakukan penelitian yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Serta dapat memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat mengenai tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh anak dan apa saja yang dijadikan pertimbangan hukum bagi hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada anak sebagai pelaku tindak pidana.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini berjudul “Analisis Pertimbangan Hakim Terhadap Penjatuhan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.PTK;


(14)

Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn) belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dan pemahaman dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun dengan fenomena tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh anak yang ada melalui referensi buku-buku, media elektronik, dan bantuan berbagai pihak. Pengujian tentang kesamaan dan keaslian penulisan judul juga telah dilakukan dan dilewati, maka ini juga dapat mendukung tentang keaslian penulisan. Apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencabulan a. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda, dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu tetapi sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat.12

12


(15)

Pompe merumuskan bahwa suatu strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu “tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang -undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”.13 Vos juga merumuskan pengertian strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.14 Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.15

Simons dalam Roni Wiyanto mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Rumusan pengertian tindak pidana oleh simons dipandang sebagai rumusan yang lengkap karena akan meliputi :16

1. Diancam dengan pidana oleh hukum 2. Bertentangan dengan hukum

3. Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (schuld)

4. Seseorang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya

13

Ibid, Hal. 72.

14 Ibid. 15

Ibid, Hal. 75.

16

Roni Wiyanto, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung: C.V Mandar Maju, 2012, Hal. 160.


(16)

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Simons merumuskan unsur-unsur dalam suatu tindak pidana meliputi unsur subyektif dan unsur obyektif yaitu:17

Unsur Subyektif:

1.Orang yang mampu bertanggungjawab

2.Adanya kesalahan (Dollus atau Culpa), setiap perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

Unsur Obyektif: 1.Perbuatan orang

2.Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu

3.Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “openbaar’ atau dimuka umum.

Menurut uraian tindak pidana yang dikemukakan oleh Vos, Unsur-Unsur Tindak Pidana meliputi :18

1. Kelakuan manusia 2. Diancam dengan Pidana

3. Dalam Peraturan Perundang-Undangan

Sementara itu, Schravendijk dalam batasan yang dibuatnya secara panjang lebar, jika dirinci terdapat unsur-unsur sebagai berikut:19

1. Kelakuan (orang yang)

17

TenagaSosial.Com,Unsur-UnsurTindakPidana,

http://www.tenagasosial.com/2013/08/unsur-unsur-tindak-pidana.html,DiaksesTanggal 19 April 2015, Pukul 12.22 WIB.

18


(17)

2. Bertentangan dengan keinsyafan hukum 3. Diancam dengan hukuman

4. Dilakukan oelh orang (yang dapat) 5. Dipersalahkan / kesalahan

c. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Membagi kelompok benda atau manusia dalam jenis-jenis tertentu atau mengklasifikasikan dapat sangat beraneka ragam sesuai dengan kehendak yang mengklasifikasikan, menurut dasar apa yang diinginkan, demikian pula halnya dengan jenis-jenis tindak pidana. KUHP telah mengklasifikasikan tindak pidana ke dalam 2 (dua) kelompok besar, yaitu dalam buku kedua dan ketiga masing-masing menjadi kelompok kejahatan dan pelanggaran.

Secara umum jenis-jenis tindak pidana dapat juga dibagi kedalam beberapa kelompok, yaitu:20

1) Menurut sistem KUHP

Dibedakan antara kejahatan yang dimuat dalam buku II dan pelanggaran yang dimuat dalam buku III Alasan pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran adalah jenis pelanggaran lebih ringan dibandingkan kejahatan. Hal ini dapat diketahui dari ancaman pidana pada pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi berupa pidana kurungan dan denda, sedangkan kejahatan dengan ancaman pidana penjara.

20

Nur Ikhsan Fiandy, Tinjuan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penipuan, (Skripsi Ilmu Hukum- Universitas Hasanudin-2012), Hal. 14-18.


(18)

2) Menurut cara merumuskannya

Dibedakan antara tindak pidana formil dan tindak pidana materil. Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa larangan yang dirumuskan adalah melakukan suatu perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak memerlukan dan/atau tidak memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan hanya pada perbuatannya. Tindak pidana materil adalah menimbulkan akibat yang dilarang. Oleh karena itu, siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.

3) Berdasarkan bentuk kesalahan

Dibedakan antara tindak pidana sengaja (dolus) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpa). Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsurkesengajaan, sedangkan tindak pidana tidak sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung culpa.

4) Berdasarkan macam perbuatannya

Dapat dibedakan antara tindak pidana aktif dan dapat juga disebut tindak pidana komisi dan tindak pidana pasif disebut juga tindak pidana omisi. Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif. Perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya diisyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat. Bagian terbesar tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP adalah tindak pidana aktif. Tindak


(19)

pidana pasif ada 2 (dua), yaitu tindak pidana pasif murni dan tindak pidana pasif yang tidak murni.Tindak pidana pasif murni adalah tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya semata-mata unsur perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif. Sementara itu, tindak pidana pasif yang tidak murni berupa tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif atau tindak pidana yang mengandung suatu akibat terlarang, tetapi dilakukan dengan tidak berbuat atau mengabaikan sehingga akibat itu benar benar timbul.

5) Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya

Dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama atau berlangsung terus menerus. Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat saja, disebut juga dengan aflopende delicten. Sebaliknya, ada tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus menerus yang disebut dengan voordurende delicten. Tindak pidana ini juga dapat disebut sebagai tindak pidana yang menciptakan suatu keadaan yang terlarang.

6) Berdasarkan sumbernya

Dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materil (Buku II dan Buku III). Sementara itu,


(20)

tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat di luar kodifikasi KUHP.

7) Dilihat dari segi subjeknya

Dapat dibedakan antara tindak pidana communia (tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang) dan tindak pidana propria (tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu). Pada umumnya tindak pidana itu dibentuk dan dirumuskan untuk berlaku pada semua orang. Akan tetapi, ada perbuatan yang tidak patut yang khusus hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu saja, misalnya: pegawai negeri (pada kejahatan jabatan) dan nakhoda (pada kejahatan pelayaran).

8) Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan,

Dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok, tindak pidana diperberat dan tindak pidana yang diperingan. Dilihat dari berat ringannya, ada tindak pidana tertentu yang dibentuk menjadi :

1. Dalam bentuk pokok disebut juga bentuk sederhana atau dapat juga disebut dengan bentuk standar;

2. Dalam bentuk yang diperberat; 3. Dalam bentuk ringan.

Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap, artinya semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan. Sementara itu, pada bentuk yang diperberat dan/atau diperingan tidak mengulang kembali unsur-unsur bentuk pokok, melainkan sekedar menyebut kualifikasi bentuk pokoknya atau pasal bentuk pokoknya, kemudian disebutkan atau ditambahkan unsur yang bersifat


(21)

memberatkan atau meringankan secara tegas dalam rumusan. Adanya faktor pemberat atau faktor peringan menjadikan ancaman pidana terhadap bentuk tindak pidana yang diperberat atau yang diperingan itu menjadi lebih berat atau lebih ringan dari pada bentuk pokoknya.21

d. Tindak Pidana Pencabulan

Pencabulan merupakan kecenderungan untuk melakukan aktivitas seksual dengan orang yang tidak berdaya seperti anak, baik pria maupun wanita, dengan kekerasan maupun tanpa kekerasan. Pengertian pencabulan atau cabul dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai berikut: pencabulan adalah kata dasar dari cabul, yaitu kotor dan keji sifatnya tidak sesuai dengan sopan santun (tidak senonoh), tidak susila, bercabul: berzinah, melakukan tindak pidana asusila,mencabul: menzinahi, memperkosa, mencemari kehormatan perempuan, dll.22

Pencabulan atau perbuatan cabul (Ontuchtige Handelingen) dapat juga diartikan sebagai segala macam wujud perbuatan, baik yang dilakukan diri sendiri maupun pada orang lain mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual. Dari pengertian di atas, dapatlah diketahui oleh siapapun yang tidak memiliki

21

Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Makassar: Rangkang Education, 2012 Hal. 28.

22

Chasyati, Tindakan Asusila Pencabulan, Chasyati.blogspot.com/2014/05/tulisan-tindakan-asusila-pencabulan.html, Diakses Tanggal 19 April 2015, Pukul 14.15 WIB.


(22)

legalitas hukum dalam hubungan suami istri tetap dipidana sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.23

Pengertian pencabulan itu sendiri lebih luas dari pengertian bersetubuh. Sebagaimana pengertian bersetubuh menurut Hoge Raad yang mengandung pengertian perpaduan alat kelamin laki-laki dan alat kelamin perempuan, dimana disyaratkan masuknya penis kedalam liang vagina, kemudian penis mengeluarkan sperma sebagaimana biasanya membuahkan kehamilan. Sementara itu, apabila tidak memenuhi salah satu syarat saja, misalnya penis belum masuk spermanya sudah keluar, kejadian ini bukanlah persetubuhan namanya, tetapi perbuatan cabul sehingga bila dilakukan dengan memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, kejadian itu adalah perkosaan berbuat cabul.24

e. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencabulan

Untuk dapat menyatakan seseorang bersalah telah melakukan perbuatan cabul yang melanggar Pasal 290 KUHP maka harus memenuhi unsur- unsur sebagai berikut:25

Unsur-unsur Pasal 290 a.Unsur objektif: 1) Barang siapa;

Yang dimaksud dengan perkataan barang siapa adalah menunjukkan bahwa siapa saja yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi semua unsur

23

Chazawi Adami, Tindak Pidana Mengenai Kesopanaan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, Hal. 80.

24 Ibid


(23)

dari tindak pidana yang dimaksud di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 290 sub 1 e KUHP, maka ia dapat disebut sebagai palaku dari tidak pidana tersebut.

2) Melakukan pencabulan dengan seseorang;

Yang dimaksud dengan melakukan perbuatan cabul adalah melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba, buah dada dan sebagainya.

b.Unsur subjektif:

Diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.

2. Pengertian Anak dan Kedudukan Anak dalam Hukum

Terdapat beberapa pengertian anak menurut peraturan perundang-undangan begitu juga menurut para pakar. Namun tidak ada keseragaman mengenai pengertian anak tersebut. Secara umum dapat diketahui yang dimaksud dengan anak yaitu orang yang masih belum dewasa atau masih belum kawin.

Pengertian anak yang terdapat dalam Pasal 45 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat dengan KUH Pidana) yaitu, Anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun, di dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya,


(24)

walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 517 – 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 330 dimuat bahwa belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai genap umur 21 Tahun dan tidak lebih dahulu kawin. Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 Tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Pasal 7 (1) Undang-undang Pokok Perkawinan (Undang-undang No.1 Tahun 1974) mengatakan, seorang pria hanya diizinkan kawin apabila telah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Penyimpangan atas hal tersebut hanya dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan Negeri.

Menurut Sugiri sebagai mana yang dikutip dalam buku karya Maidin Gultom mengatakan bahwa: “Selama di tubuhnya masih berjalan proses pertumbuhan dan perkembangan, anak itu masih menjadi anak dan baru menjadi dewasa bila proses perkembangan dan pertumbuhan itu selesai, jadi batas umur


(25)

anak-anak adalah sama dengan permulaan menjadi dewasa, yaitu 18 (delapan belas) tahun untuk wanita dan 21 (dua puluh) tahun untuk laki-laki”.26

Batasan usia bagi anak juga dapat dilihat pada dokumen-dokumen internasional seperti:27

a. Task Force on Juvenile Deliquency Prevention, menentukan bahwa seyogianya batas usia penentuan seseorang dikategorikan sebagai anak dalam konteks pertanggungjawaban pidananya, ditetapkan usia terendah 10 Tahun dan batas antara 16-18 Tahun.

b. Resolusi PBB 40/33 tentang UN Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules) menetapkan batasan anak yaitu seseorang yang berusia 7-18 Tahun.

c. Resolusi PBB 45/113 hanya menentukan batas atas 18 Tahun, artinya anak adalah seseorang yang berusia dibawah 18 Tahun.

Signifikasi kedudukan khusus anak dalam Hukum, Sama halnya dengan orang dewasa, anak dengan segala keterbatasan biologis dan psikisnya mempunyai hak yang sama dalam setiap aspek kehidupan, baik itu aspek kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, hankam, dan hukum. Prinsip kesamaan hak antara anak dan orang dewasa dilatar belakangi oleh unsur internal dan eksternal yang melekat pada diri anak tersebut, yaitu:

Unsur internal pada diri anak, meliputi :28

26

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Cetakan Kedua, Bandung,: P.T.Refika Aditama, 2010, Hal. 32.

27

Nashriana, Op.Cit, Hal. 9.

28

Rian Suheri Akbar, Tinjauan Kriminologis Terhadap Kejahatan Pembunuhan Berencana Yang Dilakukan Oleh Anak, (Skripsi Ilmu Hukum- Universitas Hasanuddin-2012), Hal. 20.


(26)

(a) Bahwa anak tersebut merupakan subjek hukum sama seperti orang dewasa, artinya sebagai seorang manusia, anak juga digolongkan sebagai human rights yang terikat dengan ketentuan perundang-undangan.

(b) Persamaan hak dan kewajiban anak, maksudnya adalah seorang anak juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan orang dewasa yang diberikan oleh ketentuan perundang-undangan dalam melakukan perbuatan hukumnya. Hukum meletakkan anak dalam reposisi sebagai perantara hukum untuk dapat memperoleh hak atau melakukan kewajiban-kewajiban. dan atau untuk dapat disejajarkan dengan kedudukan orang dewasa; atau disebut sebagai subjek hukum yang normal.

Meskipun pada prinsipnya kedudukan anak dan orang dewasa sebagai manusia adalah sama di mata hukum, namun hukum juga meletakkan anak pada posisi yang istimewa (khusus). Artinya, ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku pada anak dibedakan dengan ketentuan Hukum yang diberlakukan kepada orang dewasa, setidaknya terdapat jaminan-jaminan khusus bagi anak dalam proses acara di pengadilan.

3. Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan

Anak sebagai pelaku tindak pidana merujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010 yaitu batas usia anak yang dapat dipertanggungjawabkan bukan lagi telah mencapai 8 tahun dan belum 18 tahun tetapi telah mencapai umur 12 tahun dan belum 18 tahun. Di Indonesia ada beberapa Rujukan Perundang-Undangan yang mengatur tentang anak, misalnya


(27)

Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 jo Undang-Undang 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan berbagai peraturan lainnya yang berkaitan dengan masalah anak.

Anak sebagai pelaku tindak pidana sering disebut sebagai Anak Nakal, dimana Anak Nakal menurut Sudarto adalah :29

a.Yang melakukan tindak pidana:

b.Yang tidak dapat diatur dan tidak taat kepada orangtua/wali/pengasuh;

c.Yang sering meninggalkan rumah, tanpa ijin/pengetahuan orang tua/wali/pengasuh;

d.Yang bergaul dengan penjahat-penjahat atau orang-orang yang tidak bermoral, sedang anak tersebut mengetahui hal itu;

e. Yang kerapkali mengunjungi tempat-tempat yang terlarang bagi anak; f. Yang sering menggunakan kata-kata kotor;

g.Yang melakukan perbuatan yang mempunyai akibat yang tidak baik bagi perkembangan pribadi, sosial, rohani dan jasmani anak itu.

Pelaku tindak pidana adalah mereka yang melakukan suatu perbuatan yang oleh hukum (peraturan yang telah ada) disebut secara tegas sebagai suatu perbuatan yang terlarang dan dapat dipidana. Pelaku tindak pidana dapat pula mencakup mereka yang turut serta melakukan, menyuruh melakukan, ataupun membujuk seseorang agar melakukan sesuatu perbuatan pidana.

29

Arnaz Dwijayanto, Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Persetubuhan yang Dilakukan Oleh Anak Terhadap Anak, (Skripsi Ilmu Hukum-Universitas Hasanudin-2014), Hal. 21-22.


(28)

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Pengadilan Anak memuat didalam Pasal 1 ayat (3) bahwa:

“Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana”.

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 jo Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditentukan bahwa:

“Bagi setiap orang baik orang dewasa maupun anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan adalah mereka yang dengan sengaja melakukan kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk seorang anak untuk melakukan perbuatan cabul dipidana dengan penjara paling lama 15 Tahun dan paling singkat tiga tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000 dan paling sedikit Rp. 60.000.000”.

Meskipun demikian, anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan tetap mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan serta jaminan atas hak-hak anak dalam menjalani sebuah proses peradilan atas perbuatan yang dilakukannya. Oleh karena itu, dalan hal menjatuhkan vonis hukuman terhadap anak pelaku tindak pidana, Hakim patut memperhatikan secara cermat akan jaminan masa depan si anak kelak dikemudian hari atas vonis yang dijalaninya nanti.

4. Pertimbangan Hakim

Didalam banyak literatur dikenal ada dua dasar pertimbangan yang dapat digunakan oleh hakim untuk menjatuhkan suatu putusan. Menurut Muhammad Rusli, pertimbangan hakim dibagi atas :


(29)

A. Pertimbangan yang bersifat yuridis30

Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Hal-hal yang dimaksud tersebut antara lain:

1) Dakwaan jaksa penuntut umum

Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasar itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan. Dakwaan selain berisikan identitas terdakwa, juga memuat uraian tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Dakwaan yang dijadikan pertimbangan hakim adalah dakwaan yang telah dibacakan di depan sidang pengadilan.

2) Keterangan terdakwa

Keterangan terdakwa menurut Pasal 184 butir e KUHAP, digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau dialami sendiri. Keterangan terdakwa sekaligus juga merupakan jawaban atas pertanyaan hakim, jaksa penuntut umum ataupun dari penasihat hukum

3) Keterangan saksi

Keterangan saksi dapat dikategorikan sebagai alat bukti sepanjang keterangan itu mengenai sesuatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, alami sendiri, dan harus disampaikan di dalam sidang pengadilan

30

Muhammad Rusli, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2007, Hal. 212-220.


(30)

dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi menjadi pertimbangan utama dan selalu dipertimbangkan oleh hakim dalam putusannya.

4) Barang-barang bukti

Pengertian barang bukti disini adalah semua benda yang dapat dikenakan penyitaan dan diajukan oleh penuntut umum di depan sidang pengadilan, yang meliputi:

1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa seluruhnya atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil tindak pidana; 2. Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak

pidana atau untuk mempersiapkan;

3. Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;

4. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung tindak pidana yang dilakukan.

Barang-barang bukti yang dimaksud di atas tidak termasuk alat bukti. Sebab Undang-Undang menetapkan lima macam alat bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Adanya barang bukti yang terungkap pada persidangan akan menambah keyakinan hakim dalam menilai benar tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa, dan sudah barang tentu hakim akan lebih yakin apabila barang bukti itu dikenal dan diakui oleh terdakwa ataupun saksi-saksi.


(31)

5) Pasal-pasal dalam peraturan hukum pidana

Dalam praktek persidangan, pasal peraturan hukum pidana itu selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa. Dalam hal ini, penuntut umum dan hakim berusaha untuk membuktikan dan memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan terdakwa telah atau tidak memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam pasal peraturan hukum pidana.

B. Pertimbangan yang bersifat non yuridis:31 1. Latar belakang terdakwa

Latar belakang perbuatan terdakwa adalah setiap keadaan yang menyebabkan timbulnya keinginan serta dorongan keras pada diri terdakwa dalam melakukan tindak pidana kriminal.

2. Akibat perbuatan terdakwa

Perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa sudah pasti membawa korban ataupun kerugian pada pihak lain. Bahkan akibat dari perbuatan terdakwa dari kejahatan yang dilakukan tersebut dapat pula berpengaruh buruk kepada masyarakat luas, paling tidak keamanan dan ketentraman mereka senantiasa terancam.

3. Kondisi diri terdakwa

Pengertian kondisi terdakwa adalah keadaan fisik maupun psikis terdakwa sebelum melakukan kejahatan, termasuk pula status sosial yang melekat pada terdakwa. Keadaan fisik dimaksudkan adalah usia dan tingkat kedewasaan, sementara keadaan psikis dimaksudkan adalah berkaitan dengan perasaan yang

31 Ibid.


(32)

dapat berupa: tekanan dari orang lain, pikiran sedang kacau, keadaan marah dan lain-lain. Adapun yang dimaksudkan dengan status sosial adalah predikat yang dimiliki dalam masyarakat.

4. Agama terdakwa

Keterikatan para hakim terhadap ajaran agama tidak cukup bila sekedar meletakkan kata “Ketuhanan” pada kepala putusan, melainkan harus menjadi ukuran penilaian dari setiap tindakan baik tindakan para hakim itu sendiri maupun dan terutama terhadap tindakan para pembuat kejahatan.

Lazimnya dalam praktik peradilan dalam putusan Hakim sebelum pertimbangan-pertimbangan yuridis dibuktikan dan dipertimbangkan maka Hakim terlebih dahulu akan menarik fakta-fakta dalam persidangan beriorentasi pada dimensi tentang locus dan tempus delicti, modus operandi bagaimanakah tindak pidana tersebut dilakukan, penyebab atau latar belakang mengapa terdakwa sampai melakukan tindak pidana, kemudian bagaimanakah akibat langsung dan tidak langsung dari perbuatan terdakwa dalam melakukan tindak pidana, dan sebagainya.

Selanjutnya, setelah fakta-fakta dalam persidangan tersebut diungkapkan pada putusan Hakim kemudian akan dipertimbangkan terhadap unsur-unsur dan tindak pidana yang telah didakwakan oleh Jaksa/Penuntut Umum. Sebelum mempertimbangkan unsur-unsur tersebut menurut praktek lazimnya dipertimbangkan tentang hal-hal bersifat korelasi antar fakta-fakta, tindak pidana yang didakwakan, dan unsur-unsur kesalahan terdakwa.


(33)

Dalam proses persidangan, anak sebagai peaku tindak pidana, Hakim juga harus mempertimbangkan laporan Pembimbing Kemasyarakatan. Laporan Pembimbing Kemasyarakatan hanya digunakan dalam proses persidangan yang menempatkan anak sebagai pelaku tindak pidana. Laporan ini berguna bagi Hakim guna mengenal lebih dalam pribadi anak sehingga hasil putusannya akan lebih terarah serta sesuai dengan kebutuhan anak.

Pengaturan mengenai Laporan Pembimbing Kemasyarakatan terdapat pada pasal 57 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Pengadilan Pidana Anak :

Pasal 57 :

(1) Setelah surat dakwaan dibacakan, Hakim memerintahkan Pembimbing Kemasyarakatan membacakan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai Anak yang bersangkutan tanpa kehadiran Anak, kecuali Hakim berpendapat lain.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi:

a. data pribadi Anak, keluarga, pendidikan, dan kehidupan sosial; b. latar belakang dilakukannya tindak pidana;

c. keadaan korban dalam hal ada korban dalam tindak pidana terhadap tubuh atau nyawa;

d. hal lain yang dianggap perlu; e. berita acara Diversi; dan

f. kesimpulan dan rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan.

Sebuah laporan Pembimbing Kemasyarakatan dibuat oleh seorang petugas sosial (social worker) Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak (BIPAS) dalam bentuk suatu case study (studi kasus). Gambaran mengenai keadaan si anak terdapat dalam studi kasus berupa:

1. Masalah sosialnya; 2. Kepribadiannya;


(34)

3. Latar belakang kehidupannya, contoh : riwayat sejak kecilnya, pergaulan di luar dan di dalam rumah, hubungan interaksi antara anggota keluarga, latar belakang dilakukannya pidana tersebut.

Data-data yang diperlukan dalam rangka pembuatan laporan Bimbingan Kemasyarakatan diperoleh dari keterangan si anak sendiri, orang tua anak, dan lingkungan sekitar anak. Hasil dari laporan Bimbingan Kemasyarakatan tidaklah bersifat mengingat Hakim tetapi merupakan suatu alat pertimbangan yang mau tidak mau wajib diperhatikan oleh Hakim. Sehingga menjadi pedoman bagi hakim dalam memutuskan perkara pidana anak di muka Pengadilan.

Dengan keberadaan laporan Bimbingan Kemasyarakatan diharapkan Hakim dapat lebih mengenal pribadi anak dan mengerti kondisi sebenarnya yang dialami oleh anak sebagai latar belakang terjadinya suatu tindak pidana oleh anak. Sehingga hasil putusan dari hakim dapat sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan anak. Dimana putusan Hakim haruslah lebih mengedepankan pemberian bimbingan edukatif, disamping yang bersifat menghukum.

F. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian hukum yang digunakan dalam mengerjakan skripsi ini meliputi:


(35)

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif32 yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bagian pustaka atau data sekunder. Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau badan hukum yang lain. Penelitian hukum ini disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen disebabkan karena penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.

2. Jenis Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, berupa peraturan perundang-undangan antara lain: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Tentang Pengadilan Anak Nomor 11 Tahun 2012 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

32

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, Hal. 51.


(36)

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya, rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.33

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan seterusnya.34

3. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan anak dianalisis dengan menggunakan metode deduktif dan induktif yang berpedoman kepada teori-teori hukum pidana khususnya tentang pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada anak pelaku tindak pidana pencabulan. Analisis secara deduktif artinya semaksimal mungkin penulis berupaya memaparkan data-data sebenarnya. Analisis secara induktif artinya berdasarkan yurisprudensi dan peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia tentang Anak sebagai pelaku tindak pidana yang dijadikan pedoman untuk mengambil kesimpulan yang bersifat khusus berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini secara garis besar terdiri dari lima bab dan sub-sub bab yang diuraikan sebagai berikut :

33


(37)

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, keaslian penulisan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan yang terakhir sistematika penulisan.

BAB II PENGATURAN HUKUM DI INDONESIA MENGENAI ANAK

SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN

Didalam bab ini akan dibahas pengaturan hukum di Indonesia yang mengatur tentang anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan. Dimana pengaturan hukumnya terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH PIDANA), Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 jo Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

BAB III ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP

PENJATUHAN HUKUMAN KEPADA ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.PTK; Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn) Secara umum bab ini berisi tentang pertimbangan hakim didalam menjatuhkan hukuman kepada anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan. Pertimbangan hakim ini dapat dilihat dari dua putusan yang dijadikan bahan penelitian dengan membahas posisi kasus


(38)

yang terdiri dari kronologi kasus, dakwaan jaksa penuntut umum, fakta hukum dan menganalisis putusan hakim.

BAB IV PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab kesimpulan dan saran yang berisi kesimpulan mengenai permasalahan yang dibahas dan saran-saran dari penulis berkaitan dengan pembahasan skripsi.


(39)

BAB II

PENGATURAN HUKUM DI INDONESIA MENGENAI ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN

A. Pengaturan Hukum Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 1 ayat 1 kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan:

“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan itu dilakukan”.

Pasal 1 ayat 1 KUH Pidana ini merupakan perundang-undangan hukum pidana modern yang menuntut bahwa ketentuan pidana harus ditetapkan dalam undang-undang yang sah. Hal ini berarti bahwa larangan-larangan menurut adat tidak berlaku untuk menghukum orang, kecuali tercantum dalam Pasal 1 KUH Pidana dimaksud, selanjutnya KUH Pidana menuntut pula bahwa ketentuan pidana dalam undang-undang tidak dapat dikenakan kepada perbuatan yang telah dilakukan sebelum ketentuan pidana dalam undang-undang itu diadakan, berarti bahwa undang-undang tidak mungkin berlaku surut.

KUH Pidana telah menentukan bagaimana sikap yang dapat diambil oleh seorang hakim dalam mengadili seseorang yang telah melakukan tindak pidana sebelum berumur 16 Tahun karna penerapan hukuman terhadap anak berkaitan dengan usia anak tersebut. Hukuman adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis pada orang yang telah


(40)

melanggar undang-undang hukum pidana.35 KUH Pidana dalam Pasal 10 menyebutkan:

a. Hukuman Pokok terdiri dari : 1) Hukuman Mati 2) Hukuman Penjara 3) Hukuman Kurungan 4) Hukuman Denda

b. Hukuman Tambahan terdiri dari:

1) Pencabutan beberapa hak tertentu 2) Perampasan beberapa hak tertentu 3) Pengumuman keputusan Hakim

Urutan ini dibuat menurut beratnya pidana, dimana yang terberat disebutkan terlebih dahulu. Hukuman tambahan dimaksudkan sebagai tambahan terhadap pidana pokok.

KUH Pidana Indonesia telah mengenal isitilah “Pencabulan” yang merupakan kejahatan terhadap kesopanan/kesusilaan. Kejahatan Pencabulan yang dimasukkan dalam klasifikasi kejahatan kesusilaan. Pengaturan mengenai tindak pidana pencabulan atau lebih dikenal dengan tindak pidana cabul dalam KUH Pidana diatur dalam Pasal 289, 290 ayat (1), (2), (3), 291 ayat (1),(2) dan 292. Semua aturan tersbeut masing-masing memiliki aturan yang berbeda mengenai tindak pidana cabul juga memilki sanksi yang berbeda pula satu smaa lain.

35


(41)

Komentar-1. Pasal 289 KUHP sebagai berikut :

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.”

Yang dimaksudkan dengan “perbuatan cabul” ialah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu berahi kelamin.36 Adapun mengenai unsur-unsur dalam tindak pidana pencabulan menurut Pasal 289 KUHP adalah unsur memaksa sebagai suatu perbuatan yang demikian rupa sehingga tak berdaya untuk menghindarinya. Kekerasan yang dimaksudkan yaitu setiap perbuatan yang agak hebat. Pasal 89 KUHP memperluas pengertian kekerasan sehingga memingsankan atau melemahkan orang, disamakan dengan melakukan kekerasan.

Dalam rumusan Pasal 289 KUHP tidak ditegaskan kepada siapa perbuatan cabul itu dilakukan. Hanya aja tersirat dalam pasal ini ancaman kekerasan yang ditujukan terhadap wanita itu sendiri dan bersifat sedemikian rupa hingga berbuat lain tidak memungkinkan bagi wanita tersebut selain membiarkan dirinya untuk disetubuhi oleh orang yang melakukan pemaksaan tersebut. Sehingga perbuatan cabul itu adalah berupa perbuatan paksaan kepada korban.

Tujuan diterapkannya Pasal 289 KUH Pidana tersebut, telah mampu mengantisipasi anak yang melakukan tindak pidana pencabulan dan juga bagi para korban tindak pidana tersebut mampu untuk kembali hidup seperti biasa tanpa mengalami suatu trauma akibat apa yang pernah dialaminya di waktu ia

36


(42)

belum dewasa dan juga dapat memberikan efek jera kepada para pelaku pencabulan tersebut.

Pasal 289 KUH Pidana dalam perkembangannya di masyarakat memang sudah cukup mampu menjerat para pelaku tindak pidana pelecehan seksual. Itu jelas terlihat dalam perumusan pasal tersebut yang mengatakan bahwa “barang siapa” dimana dengan kalimat tersebut membuat pasal ini juga mampu menjerat anak-anak sebagai pelaku pencabulan.

2. Pasal 290 KUH Pidana dimuat bahwa:

“Dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun dihukum:

1e. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.

2e. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya bahwa umur orang itu belum cukup 15 tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya bahwa orang itu belum masanya buat kawin.

3e. Barangsiapa membujuk (menggoda) seseorang yang diketahuinya atau patut disangkanya bahwa umur orang itu belum cukup 15 tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa ia belum masanya buat kawin akan melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul atau akan bersetubuh dengan orang lain dengan tiada kawin.

Pasal ini mengatakan tentang “berbuat cabul”, yang isinya hampir sama dengan pasal 286 dan 287 KUHP. Menurut pasal ini dapat dihukum juga: orang yang membujuk atau menggoda seseorang yang umurnya belum cukup 15 tahun atau belum masanya untuk kawin atau orang yang membujuk atau menggoda seseorang untuk bersetubuh dengan orang lain diluar nikah.37


(43)

B. Pengaturan Hukum Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Pertanggungjawaban pidana mensyaratkan pelaku mampu bertanggungjawab. Seseorang yang tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Pemberian pertanggungjawaban pidana terhadap anak harus mempertimbangkan perkembangan dan kepentingan terbaik anak di masa yang akan datang. Penanganan yang salah menyebabkan rusak bahkan musnahnya di masa depan, karena anak adalah generasi penerus dan cita-cita negara.38

Hukum positif di Indonesia saat ini memang sudah mulai mengatur secara khusus bentuk perlindungan untuk mencegah dan penanggulangan kejahatan terhadap anak-anak yaitu tentang kejahatan yang berupa masalah kasus pencabulan pada anak-anak. Ketentuan yang mengatur tindak pidana pencabulan juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagai lex specialis.

Tindak pidana pencabulan didalam undang-undang ini diatur pada : 1. Pasal 76 (e) yaitu yang berbunyi:

“Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”.

38

Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2009, Hal. 73.


(44)

2. Pasal 82 memuat yaitu:

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Menurut Pasal ini dapat dihukum setiap orang yang dengan sengaja baik dengan kekerasan maupun dengan melakukan kebohongan, tipu muslihat dan bujukan terhadap anak dibawah umur (belum berusia delapan belas tahun) untuk melakukan segala perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan dan kehormatan anak atau korban dan membiarkan dilakukannya perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan dan kehormatan anak oleh orang lain. Misalnya meraba-raba kemaluan atau anggota tubuh korban, mencium korban dan lain sebagainya.

Dari rumusan pasal di atas dikatakan bahwa “setiap orang yang dengan sengaja…”, ini berarti bahwa tidak ada batasan pelaku didalam pasal ini. Dimana bisa saja yang melakukan perbuatan tersebut orang dewasa bahkan anak-anak sekalipun, kedua-duanya dapat dikenakan terhadap pasal ini apabila terbukti melakukan perbuatan pencabulan. Dalam pasal ini juga terlihat bahwa tidak ada keharusan tindakan pidana tersebut harus dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik pencabulan terhadap anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Oleh karena itu, orang lain boleh melaporkan apabila


(45)

mengetahui adanya kejadian seperti yang diatur dalam pasal diatas.39 Dapat dijelaskan bahwa tindak pidana pencabulan terhadap anak dapat terjadi berdasarkan beberapa pola atau cara-cara dari si pelaku yaitu:40

1. Pelaku akan memilih anak-anak yang mempunyai hubungan dekat dengannya sehingga pelaku mengetahui kondisi anak-anak serta memiliki akses terhadap anak-anak. Tetapi tidak tertutup kemungkinan pelaku juga orang yang tidak dikenal korban

2. Membujuk anak-anak dengan sesuatu yang sangat disukai anak-anak, seperti permen, uang atau es krim.

3. Berlangsung di kediaman anak-anak tersebut atau di tempat tinggal pelaku dan umumnya pelaku tidak menggunakan kekerasan fisik.

4. Pelaku akan melakukannya secara terus menerus dalam waktu yang cukup lama.

5. Pelaku mengancam agar anak-anak tidak menceritakan kejadian itu kepada siapapun. Ini adalah faktor utama penyebab anak-anak tetap membisu. Dari unsur yang terdapat didalam pasal diatas apabila dikaitkan dengan pola atau cara si pelaku maka yaitu “melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul….” dapat dikatakan sebagai pemenuhan unsur melakukan tipu muslihat atau membujuk anak untuk melakukan perbuatan cabul.

39

HukumOnline.Com,http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl2034/pencabuta n-laporan-tentang pencabulan, Diakses Tanggal 24 April 2015, Pukul. 17.55 Wib.

40 Ibid.


(46)

Jika diuraikan lebih lanjut, maka unsur-unsur tindak pidana pada Pasal 76 (e) Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Pelindungan Anak sebagai berikut :41

a. Setiap Orang

Merupakan unsur subjektif yang berarti adanya pelaku (orang yang dapat bertanggungjawab) yang melakukan perbuatan yang dapt dipidana sesuai dengan Pasal ini.

b. Dengan Sengaja

Merupakan unsur subjektif yang berasal dari dalam diri si pelaku, yang mana si pelaku secara sadar betul, mengerti dan menghendaki perbuatan yang ia dilakukan.

c. Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak

Pada dasarnya unsur ini memiliki kemiripan dengan unsur yang disebutkan dalam Pasal 290 ayat (3) yakni adanya tindakan kekerasan, paksaan, serangkaian kebohongan dan tipu muslihat serta bujukan yang dilakukan kepada anak dengan maksud agar si anak mau melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh si pelaku.

d. Untuk melakukan atau membiarkan melakukan perbuatan cabul.

Inilah unsur terakhir yang mana merupakan tujuan utama dari si pelaku melakukan serangkaian kekerasan, bujukan, serta kebohongan terhadap anak, agar sianak mau dilakukan cabul atas dirinya


(47)

Berdasarkan perumusan tindak pidana pencabulan diatas baik didalam KUHP maupun didalam UU RI No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, diperoleh suatu kesimpulan bahwa yang menjadi subjek tindak pidana tersebut pastilah anak-anak tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa anak juga bisa menjadi pelakunya. Berdasarkan UU RI No 23 Tahun 2002 anak yang melakukan tindak pidana pencabulan dapat dijatuhi dengan pidana berdasarkan pasal tersbut diatas untuk memberikan perlindungan dan menjamin kesejahteraan anak.

C. Pengaturan Hukum Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Anak adalah bagian dari generasi muda yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan dan sebagai salah satu sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Pada kenyataannya sering dijumpi penyimpangan dan perilaku di kalangan anak, bahkan seringkali mereka berperilaku atau melakukan perbuatan melanggar hukum yang dapat merugikan diri sendiri dan masyarakat.42

Undang-Undang Sistem Peradilan Anak ini tidak ada mengatur tentang tindak pidana pencabulan. Undang-Undang ini hanya mengatur sanksi pidana yang akan dijatuhkan bagi anak nakal yang melakukan tindak pidana. Demi kepentingan/perlindungan anak dengan tetap berpegang pada asas praduga

42

C.S.T Kansil, Tindak Pidana dalam Undang-Undang Nasional, Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009, Hal. 141.


(48)

tidak bersalah maka Undang-Undang ini dalam Pasal 21 menentukan sebagai berikut:

(1) Dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:

a.menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau

b.mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.

(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan ke pengadilan untuk ditetapkan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.

(3) Bapas wajib melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.

(4) Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Anak dinilai masih memerlukan pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan lanjutan, masa pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan.

(5) Instansi pemerintah dan LPKS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib menyampaikan laporan perkembangan anak kepada Bapas secara berkala setiap bulan.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengambilan keputusan serta program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sanksi pidana dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2012 ini menyebutkan bahwa:

Pasal 69

(1) Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

(2) Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan.

Pasal 70

Ringannya perbuatan, keadaan pribadi Anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.


(49)

Pasal 71

(1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas: a. pidana peringatan;

b. pidana dengan syarat: 1) pembinaan di luar lembaga; 2) pelayanan masyarakat; atau 3) pengawasan.

c. pelatihan kerja;

d. pembinaan dalam lembaga; dan e. penjara.

(2) Pidana tambahan terdiri atas:

a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau b. pemenuhan kewajiban adat.

(3) Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja.

(4) Pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang melanggar harkat dan martabat Anak.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pidana tambahan yang dimaksud dalam “pemenuhan kewajiban adat” adalah denda atau tindakan yang harus dipenuhi berdasarkan norma adat setempat yang tetap menghormati harkat dan martabat Anak serta tidak membahayakan kesehatan fisik dan mental Anak.43

Pasal 79

(1) Pidana pembatasan kebebasan diberlakukan dalam hal Anak melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai dengan kekerasan. (2) Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap Anak paling lama

1/2 (satu perdua) dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa.

(3) Minimum khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap Anak.

(4) Ketentuan mengenai pidana penjara dalam KUHP berlaku juga terhadap Anak sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

43

Penjelasan Pasal 71 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.


(50)

Dalam hal “maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa” adalah maksimum ancaman pidana penjara terhadap tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau undang-undang lainnya.44

Tindakan yang dapat dijatuhkan bagi anak pelaku tindak pidana adalah berupa:

Pasal 82

(1) Tindakan yang dapat dikenakan kepada Anak meliputi: a. pengembalian kepada orang tua/Wali;

b. penyerahan kepada seseorang; c. perawatan di rumah sakit jiwa; d. perawatan di LPKS;

e. kewajiban mengikuti pendidikan formal da/ atau pelatihan yang dilakukan oleh pemerintah atau badan swasta;

f. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau g. perbaikan akibat tindak pidana;

(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f dikenakan paling lama 1 (satu) tahun.

(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh Penuntut Umum dalam tuntutannya, kecuali tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 83

(1) Tindakan penyerahan Anak kepada seseorang dilakukan untuk kepentingan Anak yang bersangkutan.

(2) Tindakan perawatan terhadap Anak dimaksudkan untuk membantu orang tua/Wali dalam mendidik dan memberikan pembimbingan kepada Anak yang bersangkutan.

Meskipun anak dikembalikan kepada orangtua, wali, atau orang tua asuh anak tersebut akan tetap dibawah pengawasan dan bimbingan pembimbing

44

Penjelasan Pasal 79 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.


(51)

kemasyarakatan.45 Dalam hal anak diserahkan kepada seseorang yaitu penyerahan kepada orang dewasa yang dinilai cakap, berkelakuan baik dan bertanggungjawab serta dipercayai oleh Hakim dan juga anak sebagai terdakwa.46 Apabila Hakim berpendapat bahwa orangtua, wali atau orangtua asuh tidak memberikan pendidikan dan pembinaanyang lebih baik, maka Hakim dapat menetapkan anak tersebut ditetapkan dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan pelatihan kerja. Latihan kerja dimaksudkan untuk memberikan bekal keterampilan kepada anak misalnya dengan keterampilan mengenai pertukangan, pertanian, perbengkelan, tata rias dan sebagainya. Sehingga setelah selesai menjalani pelatihan kerja anak tersebut dapat hidup secara mandiri dan mempunyai keterampilan khusus.

Pada prinsipnya pendidikan, pembinaan dan pelatihan kerja diselenggarakan oleh Pemerintah di Lembaga Pemasyarakatan Anak atau Departemen Sosial, tetapi dalam hal kepentingan anak menghendaki Hakim juga dapat menetapkan anak yang bersangkutan untuk diserahkan kepada Organisasi Sosial Kemasyarakatan seperti pesantren, panti sosial, lembaga sosial lainnya dengan memperhatikan agama si anak.

45

Penjelasan Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

46

Penjelasan Pasal 82 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.


(52)

BAB III

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PENJATUHAN HUKUMAN KEPADA ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN ( Studi Putusan Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.PTK;

Putusan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn)

A. Posisi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.PTK

1. Kronologis Kasus

Terdakwa dalam kasus ini bernama Ghumantar als. Patih Ghumantar als. Tatar, berumur 16 Tahun lahir di Simpang Banuah Kabupaten Kubu Raya pada 7 Maret 1999, berdomisili di Jalan Trans Kalimantan Dusun VI Gunung Banuah Desa Teluk Bakung Kecamatan Sungai Ambawang Kabupaten Kubu raya, beragaman Khatolik dan berstatus sebagai pelajar. Peristiwa ini bermula ketika terdakwa pada hari sabtu 21 juni 2014 jam 13.00 wib atau setidak-tidaknya pada suatu waktu pada bulan juni tahun 2014 bertempat di sebuah rumah jalan Trans Kalimantan Dusun VI Gunung Benuah Rt 04 Rw 04 Kecamatan Sei Ambawang Kab Kubu Raya, yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak yakni Korban Fortuna Juwita Talenta Als. Juwita yang lahir pada tanggal 4 juni 2010 dan berumur 4 Tahun berdasarkan kutipan Akte Kelahiran No : 2984/Ist/2010 untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, perbuatan mana terdakwa lakukan dengan cara sebagai berikut.


(53)

Bermula ketika terdakwa pada hari sabtu 21 juni 2014 datang kerumah saksi Julita Dinata dan terdakwa bertemu dengan saksi Julita Dinata kemudian terdakwa bertemu dengan korban yaitu saksi Fortuna Juwita Talenta lalu terdakwa member saksi Fortuna Juwita Talenta permen kemudian terdakwa berkata kepada saksi Julita Dinata” tante aku mau menelepon, ada sinyal tidak diatas?” dan terdakwa langsung naik kelantai dua tidak lama kemudian terdakwa turun lagi sambil berkata kepada skasi Julita Dinata bahwa tidak ada sinyal, setelah itu terdakwa naik lagi kelantai dua dan masuk kedalam kamar yang ada dilanati dua rumah tersebut dengan maksud hendak menelepon dan meng SMS kakak terdakwa, tidak berapa lama datang saksi Adnanta Talenta dan saksi Fortuna Juwita Talenta masuk kedalam kamar dan bermain didekat terdakwa, kemudian terdakwa teringat film porno yang pernah terdakwa tonton sebelumnya lalu terdakwa terangsang melihat saksi Fortuna Juwita Talenta dan terdakwa langsung memegang kemaluan saksi Fortuna Juwita Talenta dan terdakwa memaksa memasukkan jari terdakwa kedalam kemaluan saksi Fortuna Juwita Talenta hingga saksi Fortuna Juwita Talenta kesakitan, setelah itu terdakwa mengatakan kepada saksi Adnanta Talenta yang merupakan abang kandung saksi Fortuna Juwita Talenta” jangan bilang mama mu, nanti kau tidak aku kasih permen lagi”, kemudian terdakwa turun dari lantai dua rumah tersebut dan terdakwa pamit pulang kepada saksi Julita Dinata yang mana merupakan ibu dari saksi Fortuna Juwita Talenta dan saksi Adnanta Talenta.

Kemudian sekitar jam 16.00 Wib saksi Julita Dinata hendak memandikan saksi Fortuna Juwita Talenta namun saksi Fortuna Juwita Talenta tidak mau


(1)

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan mengenai pertimbangan hakim terhadap penjatuhan hukuman kepada anak pelaku tindak pidana pencabulan diatas, maka dapat disimpulkan beberapa hal penting dari pembahasan tersebut, yakni sebagai berikut:

1. Di Indonesia terdapat beberapa pengaturan yang menyangkut dengan perbuatan pencabulan yang dilakukan oleh anak. Diantaranya di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) terdapat didalam Pasal 289, 290 ayat (1), (2), (3) KUHP. Didalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dimuat dalam Pasal 76 (e) dan Pasal 82. Dan Pengaturan terhadap anak didalam proses peradilan terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Pengadilan Pidana Anak yang dimuat dalam Pasal 21, 69, 70, 71,79, 82 dan 83.

2. Pertimbangan yang digunakan oleh Hakim didalam menjatuhkan putusan terhadap anak pelaku tindak pidana pencabulan diantaranya adalah dalam Putusan Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.PTK yaitu: Pemenuhan terhadap keseluruhan unsur-unsur dalam Pasal 82 UU RI NO 23 Tahun 2002, Keterangan saksi-saksi dan alat bukti yang dihadapkan dalam persidangan, surat perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, kesimpulan


(2)

terdakwa, melihat pertumbuhan dan perkembangan sikap perilaku bagi terdakwa, dan tujuan dari pemidanan yang harus bersifat korektif, edukatif dan preventif bagi terdakwa. Namun didalam Putusan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn, Hakim hanya menggunakan pertimbangan yaitu pemenuhan unsur dari dakwaan pertama yaitu dalam Pasal 81 UU RI NO 23 Tahun 2002 dan juga Keterangan dari saksi-saksi serta alat bukti yang dihadapkan didalam persidangan.

B. SARAN

Adapun saran yang dapat diberikan berkaitan dengan pembahasan dan kesimpulan diatas adalah:

1. Sebaiknya perlu dibuat rumusan yang lebih jelas terhadap pengertian cabul didalam peraturan perundang-undangan, agar semua pihak dapat mengerti sampai dimana sajakah batasan-batasan terhadap suatu perbuatan cabul. Sehingga apabila dibuat pengetian yang lebih jelas tentang suatu perbuatan cabul maka dapat dibuat pula peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan sebagai pembaharuan dibidang peraturan perundang-undangan hukum pidana. 2. Sebaiknya bagi para penegak hukum khusunya Hakim dapat lebih cermat

dan teliti didalam memberikan pertimbangan hukum yang digunakan didalam menjatuhkan suatu putusan. Karna pada faktanya sampat saat ini berdasarkan kasus putusan yang diteliti diatas belum ada keseragaman


(3)

terhadap pertimbangan yang digunakan oleh Hakim dalam memberikan putusannya padahal terdapat kesamaan dalam kategori kasus yang diteliti.


(4)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta: Rajawali Pers, 2002.

---, Tindak Pidana Mengenai Kesopanaan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Gultom, Maidin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2008.

---, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Cetakan Kedua, Bandung: P.T.Refika Aditama, 2010.

Hidayat, Bunadi Pemidanaan Anak Dibawah Umur, Bandung: PT Alumni, 2010.

Ilyas, Amir, Asas-Asas Hukum Pidana, Makassar: Rangkang Education, 2012. Khair, Abul dan Mohammad Eka Putra, “Pemidanaan” Medan: USU Press,

2011.

Kansil, C.S.T, Tindak Pidana dalam Undang-Undang Nasional, Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009.

Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2009. Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 2011.

Rusli, Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2007.


(5)

R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, 1994.

Sambas, Nandang Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.

Supramono, Gatot, Hukum Acara Pengadilan Anak, Jakarta: Djambatan, 2000. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986. Wiyanto, Roni, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung: C.V Mandar

Maju, 2012.

B. Undang-Undang

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang No 35 Tahun 2014 Tentang perubahan Atas Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

C. Internet

Chasyati,Tindakan Asusila Pencabulan, Chasyati.blogspot.com/2014/05/tulisan-tindakan-asusila-pencabulan.html, Diakses Tanggal 19 April 2015, Pukul 14.15 Wib.

HukumOnline.Com,http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl2034/pencabut an-laporan-tentang pencabulan, Diakses Tanggal 24 April 2015, Pukul. 17.55 Wib.


(6)

SanthosWachjoe,DisparitasPutusanHakim,http://santhoshakim.blogspot.com/20 13/11/disparitas-putusan-hakim.html, Diakses Tanggal 23 April 2015, Pukul 13.22 Wib.

TenagaSosial.Com,UnsurUnsurTindakPidana,http://www.tenagasosial.com/201 3/08/unsur-unsur-tindak-pidana.html,DiaksesTanggal 19 April 2015, Pukul 12.22 Wib.

D. Skripsi

Akbar, Rian Suheri, Tinjauan Kriminologis Terhadap Kejahatan Pembunuhan Berencana Yang Dilakukan Oleh Anak, (Skripsi Ilmu Hukum- Universitas Hasanuddin-2012)

Dwijayanto, Arnaz, Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Persetubuhan yang Dilakukan Oleh Anak Terhadap Anak, (Skripsi Ilmu Hukum-Universitas Hasanudin-2014)

Kusumawati, Fajar Deni, “Analisis Terhadap Putusan Hakim Berupa Pemidanaan Terhadap Perkara Tindak Pidana Anak”, (Skripsi Ilmu Hukum--Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2008)

Fiandy, Nur Ikhsan, Tinjuan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penipuan, (Skripsi Ilmu Hukum- Universitas Hasanudin-2012)

Widyaastuti, Yenni, “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Putusan No.49/Pid.B/2013/PN.Sungguminasa) (Skripsi Ilmu Hukum- Universitas


Dokumen yang terkait

Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

2 50 101

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

5 92 87

Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia)

1 74 133

Penegakan Hukum Terhadap Oknum Polri Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 479/Pid.B/2011/Pn.Mdn)

1 50 102

SKRIPSI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA “PENGEDAR NARKOTIKA".

0 3 14

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Ptk dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Su

0 0 34

BAB II RESTORATIVE JUSTICE DAN DIVERSI - Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

0 1 19

Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

0 0 34

BAB II PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENGGUNA NARKOTIKA A. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pengguna Narkotika - Peranan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terha

0 0 51

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK DIBAWAH UMUR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI MAKASSAR)

0 23 95