BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT - Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Benda Bergerak: Studi Pada PT. Bank BRI Unit Padang Bulan
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT A. Pengertian Perjanjian Kredit Istilah kredit berasal dari kata Latin “Creditum” atau “Credo” dan bahasa
Yunani “Credere”, yang artinya: “percaya”, kepercayaan (truth atau faith). Oleh
karena itu dasar dari kredit ialah kepercayaan, yang mana seorang penerima kredit akan memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan terlebih dahulu di dalam perjanjian kredit.
Beberapa pengertian kredit ditinjau dari aspek ekonomi dan hukum. Pengertian kredit dalam arti ekonomi adalah : “Suatu penundaan pembayaran yaitu uang atau barang (prestasi) atau uang diterima sekarang akan dikembalikan pada
masa yang akan datang berikut tambahan suatu prestasi oleh penerima kredit”.
M. Jakile mengatakan bahwa kredit adalah suatu ukuran kemampuan dari seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai ekonomis sebagai ganti rugi dari
janjinya untuk membayar kembali hutangnya pada tanggal tertentu.
Selanjutnya Mr. JA. Levy merumuskan arti hukum dari kredit sebagai berikut :
3 Thomas Suyatno, dkk., Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991, hal. 13. 4 5 Ibid, hal. 14.
Menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit. Penerima kredit berhak mempergunakan pinjaman itu untuk keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan
jumlah pinjaman itu dibelakang hari.
Dalam pemberian kredit, bank wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang dipinjamkan. Pada hakekatnya pemberian kredit didasarkan atas kepercayaan yang berarti bahwa pemberian kredit adalah pemberian kepercayaan oleh bank sebagai pemberi dana di mana prestasi yang diberikan benar-benar sudah diyakini akan dapat dibayar kembali oleh sipenerima kredit sesuai dengan syarat-syarat yang telah disepakati bersama dalam perjanjian kredit.
Dari pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan unsur-unsur kredit, yaitu:
1. Adanya kepercayaan, yaitu keyakinan si pemberi kredit (bank) bahwa prestasi (uang) yang diberikan akan benar-benar diterima kembali dari si penerima kredit (debitur) pada masa yang akan datang.
2. Adanya waktu, yaitu jangka waktu antara saat pemberian prestasi dan saat pengembaliannya. Karena dalam unsur waktu terdapat dari nilai aqio uang yakni nilai uang sekarang lebih tinggi dari nilai dimasa yang akan datang.
3. Adanya prestasi, yaitu suatu yang berhubungan dengan kredit maka yang dimaksud prestasi dalam hal ini adalah uang. 6
4. Adanya resiko, yaitu suatu kerugian yang mungkin timbul dari pemberian kredit.
5. Adanya jaminan, yaitu untuk menghindari resiko yang mungkin timbul, maka harus dilakukan penilaian secara cermat dan dilindungi dengan suatu jaminan sebagai upaya terakhir pengamanan kredit.
Di dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia perjanjian kredit tidak ada pengaturannya. Istilah perjanjian kredit terdapat di dalam Instruksi Pemerintah yang ditujukan kepada kalangan perbankan yang menyatakan bahwa, untuk pemberian kredit bank wajib menggunakan akad perjanjian. Instruksi ini terdapat di dalam Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/E/In/1996 tanggal 3 Oktober 1966, Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit 1 Nomor 2/649/UPK/Pemb, tanggal 20 Oktober 1966 dan Instruksi Presidium Kabinet Ampera Nomor
10/E/In/1966 tanggal 6 Pebruari 1967.
Dalam Pasal 1 butir 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dikatakan bahwa : “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan”.
Berdasarkan batasan yang diberikan oleh undang-undang tersebut, bahwa dalam pengertian kredit terkandung perkataan perjanjian pinjam meminjam sebagai
7 dasar diadakannya perjanjian kredit. Atas hal itu pula, dapat dikatakan bahwa kredit
merupakan suatu perjanjian yang lahir dari persetujuan.
Mengenai pinjam meminjam ini, Pasal 1754 KUHPerdata mengatakan bahwa : “Pinjam meminjam ialah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabiskan karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.
Dalam hubungan ini Subekti, mengemukakan dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, pada hakekatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam KUHPerdata, Pasal 1754 s/d 1769.
Sebagai suatu perjanjian, maka pengertian perjanjian kredit itu tidak dapat terlepas dari KUHPerdata dan UU Perbankan. Mengenai perjanjian kredit bank, Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa : perjanjian, kredit bank adalah perjanjian pendahuluan (voorovereenkomst) dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil pemufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian ini bersifat konsensuil (pacta de conntrahendo obligatoir) yang dikuaai oleh Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1967 dan bagian umum KUHPerdata.
Oleh karena UU No. 14 Tahun 1967 sudah tidak berlaku lagi, dan digantikan dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 maka menurut penulis perjanjian kredit
8 9 Marhainis Abdulhay, Hukum Perdata Materiil, Pradnya Paramita, Jakarta, 1984, hal. 142.
bank dikuasai oleh ketentuan UU No. 10 Tahun 1998, dan bagian umum KUHPerdata.
Dalam pelaksanaannya, pengertian perjanjian kredit ini selalu dikaitkan dengan bentuk perjanjian yang ditegaskan dalam model-model formulir bank dari masing-masing bank.
Oleh karena perjanjian kredit sebahagian dikuasai oleh Undang-Undang No.
10 Tahun 1998 dan bagian umum KUHPerdata maka mengenai syarat perjanjian kredit perlu dilihat dalam bagian umum KUHPerdata tentang perjanjian.
Selanjutnya mengenai pengertian perjanjian itu sendiri, menurut R. Subekti adalah : "Perjanjian adalah : suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal".
10 Menurut. Wirjono Prodjodikoro,. yang dimaksud dengan perjanjian adalah
sebagai berikut : Sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.
10 R. Subekti, Op.Cit, hal. 1.
11
Sedangkan jika diperhatikan Pasal 1313 KUHPerdata maka pengertian perjanjian adalah : suatu peristiwa dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
B. Jenis-jenis Perjanjian Kredit
Mengenai perjanjian ini diatur dalam buku II KUH Perdata, peraturan-peraturan yang tercantum dalam KUH Perdata ini sering disebut juga dengan peraturan pelengkap, bukan peraturan memaksa, yang berarti bahwa para pihak dapat mengadakan perjanjian dengan menyampingkan peraturan-peraturan perjanjian yang ada. Oleh karena itu disini dimungkinkan para pihak untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang sama sekali tidak diatur dalam bentuk perjanjian itu : 1.
Perjanjian bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini, misalnya : jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, dan lain-lain.
2. Perjanjian tidak bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang tidak teratur dalam KUHPerdata. Jadi dalam hal ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu. Dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh para
pihak, berlaku sebagai Undang-undang bagi masing-masing pihak.
Dalam KUHPerdata pun yaitu Pasal 1234, dilihat dari sisi perjanjian, perjanjian dapat dibagi 3 (tiga) macam, yaitu :
12 R. M. Suryodiningrat, Perikatan-perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito Bandung, 1978,
1. Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang.
2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu.
3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu. ad.1. Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang.
Ketentuan ini, diatur dalam KUHPerdata Pasal 1235 sampai dengan Pasal 1238. Sebagai contoh untuk perjanjian ini, adalah jual-beli, tukar menukar, penghibaan, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan lain-lain. ad.2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu.
Hal ini diatur dalam Pasal 1239 KUH Perdata, sebagai contoh perjanjian ini adalah perjanjian hutang. ad.3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.
Hal ini diatur dalam Pasal 1240 KUHPerdata, sebagai contoh perjanjian ini adalah : perjanjian untuk tidak mendirikan rumah bertingkat, perjanjian untuk tidak mendirikan perusahaan sejenis, dan lain-lain.
Setelah membagi bentuk perjanjian berdasarkan pengaturan dalam KUH Perdata atau diluar KUH Perdata dan macam perjanjian dilihat dari lainnya, R.Subekti, membagi lagi macam-macam perjanjian yang dilihat dari bentuknya, yaitu :
1. Perikatan bersyarat, adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian dikemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi.
Pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu timbul. Suatu perjanjian yang demikian itu, mengandung adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertanggungjawabkan (ospchortende voorwade). Suatu contoh saya berjanji pada seseorang untuk membeli mobilnya kalau saya lulus dari ujian, disini dapat dikatakan bahwa jual beli itu akan hanya terjadi kalau saya lulus dari ujian.
2. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketepatan waktu (tijdshepaling), perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya, misalnya meninggalnya seseorang.
3. Perikatan yang memperbolehkan memilih (alternatif) adalah suatu perikatan, dimana terdapat dua atau lebih macam, prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau satu juta rupiah.
4. Perikatan tanggung menanggung (hoofdelijk atau solidair) ini adalah suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang bersama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam yang berlakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek.
5. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi, apakah suatu perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi.
Pada hakekatnya tergatung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil kemuka. Jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain. Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahli warisnya.
6. Perikatan dengan penetapan hukum (strafbeding), adalah untuk mencegah jangan sampai ia berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam praktek banyak hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu. Hakim mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman apabila perjanjian telah sebahagian dipenuhi.
C. Asas-asas Hukum Perjanjian
Asas hukum adalah suatu pikiran yang bersifat umum dan abstrak yang melatar belakangi hukum positif. Dengan demikian asas hukum tersebut tidak tertuang dalam hukum yang konkrit. Pengertian tersebut dapat ditarik dari pendapat Sudikno Mertokusumo, yang memberi penjelasan sebagai berikut :
Pengertian asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan dibelakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat dikemukakan dengan mencari
sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut.
Adapun asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum perjanjian adalah : 1. Konsensualisme.
2. Kebebasan berkontrak.
3. Pacta Sunt Servanda.
4. Itikad baik. ad.1. Asas Konsensualisme Konsensualisme berasal dari perkataan lain "consensus" yang berarti sepakat.
Jadi asas konsensualisme berarti bahwa suatu perjanjian pada dasarnya telah dilahirkan sejak tercapainya kesepakatan. Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1320 KUH Perdata yang menentukan bahwa :
13 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1986, hal.
Untuk sahnya suatu persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat : 1. Sepakat mereka mengikatkan diri.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Dalam pasal tersebut tidak disebutkan adanya formalitas tertentu disamping kesepakatan yang telah tercapai, sehingga dapat disimpulkan bahwa perjanjian sudah sah apabila telah ada kesepakatan para pihak mengenai hal-hal yang pokok. Terhadap asas konsensualisme ini terdapat pengecualian yaitu untuk beberapa macam perjanjian, undang-undang mensyaratkan adanya formalitas tertentu. Hal ini berarti selain kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak, perjanjian harus pula diwujudkan dalam bentuk tertulis atau akta. Perjanjian semacam ini misalnya perjanjian penghibahan, perjanjian kerja dan perjanjian perdamaian. ad.2. Asas Kebebasan Berkontrak
Menurut asas ini, hukum perjanjian memberikan kebebasan pada setiap orang untuk membuat perjanjian apapun, dengan ketentuan tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Asas ini diberikan oleh Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dari perkataan semua yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) mengadakan suatu perjanjian yang berisi apa saja, baik mengenai bentuknya maupun objek dan jenis dari perjanjian tersebut.
Asas kebebasan berkontrak ini merupakan konsekuensi dari dianutnya sistem terbuka dalam hukum perjanjian, yang berarti setiap orang bebas membuat perjanjian apapun baik yang telah diatur secara khusus dalam KUHPerdata maupun yang belum diatur dalam KUHPerdata atau peraturan perundangan lainnya.
Sebagai konsekuensi lain dari dianutnya sistem terbuka maka hukum perjanjian mempunyai sifat sebagai hukum pelengkap. Hal ini berarti bahwa masyarakat selain bebas membuat perjanjian apapun, mereka pada umumnya juga diperbolehkan untuk mengesampingkan atau tidak mempergunakan peraturan-peraturan yang terdapat dalam bagian khusus Buku III KUH Perdata. Dengan kata lain, para pihak dapat membuat ketentuan-ketentuan yang akan berlaku diantara mereka. Undang-undang hanya melengkapi saja apabila ada hal-hal yang belum diatur diantara mereka.
Pada umumnya, orang dalam membuat suatu perjanjian itu tidak mengatur secara tuntas segala kemungkinan yang akan terjadi. Dengan demikian tepatlah jika hukum perjanjian sebagai hukum pelengkap, sehingga dapat dipergunakan untuk melengkapi perjanjian-perjanjian yang tidak lengkap tersebut. ad.3. Pakta Sunt Servanda
Asas ini juga disebut sebagai asas pengikatnya suatu perjanjian, yang berarti yang telah mereka perbuat. Dengan kata lain, perjanjian yang diperbuat secara sah berlaku seperti berlakunya undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Asas pakta sunt servanda ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) dan ayat (2) KUH Perdata yang menyatakan :
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Dari perkataan "berlaku sebagai undang-undang" dan "tak dapat ditarik kembali" berarti bahwa perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya, bahkan perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lawannya. Jadi para pihak harus mentaati apa yang telah mereka sepakati bersama. Pelanggaran terhadap isi perjanjian oleh salah satu pihak menyebabkan pihak lain dapat mengajukan tuntutan atas dasar wanprestasi dari pihak lawan. ad.4. Asas Itikad Baik
Asas ini berkaitan dengan pelaksanaan suatu perjanjian. Mengenai asas itikad baik ini, terdapat dalam Pasal 138 ayat (3) KUH Perdata yang menentukan : "Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik".
Itikad baik dapat dibedakan dalam artian subjektif dan dalam artian objektif. Itikad baik dalam segi subjektif, berarti kejujuran. Hal ini berhubungan erat dengan sikap batin seseorang pada saat membuat perjanjian. Artinya sikap batin seseorang pada saat dimulainya suatu perjanjian itu seharusnya dapat membayangkan telah dipenuhinya syarat-syarat yang diperlukan.
Itikad baik dalam segi objektif, berarti kepatutan, yang berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian atau pemenuhan prestasi dan cara melaksanakan hak dan kewajiban haruslah mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
D. Syarat-syarat Sahnya Suatu Perjanjian Kredit
Untuk sahnya suatu perjanjian di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata diperlukan empat syarat : 1.
Adanya kata sepakat dari mereka yang mengadakan perjanjian.
2. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian (Perikatan).
3. Perjanjian yang diadakan harus mempunyai obyek yang tertentu.
4.
Yang diperjanjikan itu adalah suatu sebab yang halal.
Ad.1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri Sepakat maksudnya adalah bahwa dua belah pihak yang mengadakan perjanjian setuju atau seia sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian, dengan kata lain mereka saling menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.
Adanya kemauan atas kesesuaian kehendak oleh kedua belah pihak yang membuat perjanjian, jadi tidak boleh hanya karena kemauan satu pihak saja, ataupun 14 terjadinya kesepakatan oleh karena tekanan salah satu pihak yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak.
Kesepakatan itu ditatanya bebas, artinya tidak ada paksaan, tekanan dari pihak manapun, betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak.
Berpedoman kepada ketentuan Pasal 1321 KUH Perdata bahwa : "Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena : a. kekhilafan atau kekeliruan (dwaling) b. pemerasan/paksaan (dwang) c. penipuan (bedrog)"
Unsur kekhilafan/kekeliruan dibagi dalam dua bagian, yakni kekhilafan mengenai orangnya dinamakan error in persona. Dan kekhilafan mengenai barangnya dinamakan error in substantia.
Mengenai kekhilafan/kekeliruan yang dapat dibatalkan, harus mengenai intisari pokok perjanjian. Jadi harus mengenai objek atau prestasi yang dikehendaki.
Sedangkan kekhilafan/kekeliruan mengenai orangnya tidak menyebabkan perjanjian dapat batal (Pasal 1322 KUH Perdata).
Paksaan (dwang) terjadi jika seseorang memberikan persetujuannya karena ia takut pada suatu ancaman. Dalam hal ini paksaan tersebut harus benar-benar menimbulkan suatu ketakutan bagi yang menerima paksaan, misalnya ia akan dianiaya atau akan dibuka rahasianya jika ia tidak menyetujui suatu perjanjian (Pasal 1324 KUH Perdata).
Mengenai pengertian penipuan (bedrog) ini terjadi, apabila menggunakan perbuatan secara muslihat sehingga pada pihak lain menimbulkan suatu gambaran yang tidak jelas dan benar mengenai suatu hal. Untuk mengatakan terjadi suatu penipuan, maka harus ada kompleks dari muslihat-muslihat itu.
Subekti, mengatakan penipuan (bedrog) terjadi apabila suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar, disertai dengan kelicikan-kelicikan, sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberi
perizinan.
Suatu penipuan adalah apabila ada keterangan-keterangan yang tidak benar (palsu) disertai dengan kelicikan-kelicikan atau tipu muslihat dan harus ada rangkaian kebohongan-kebohongan yang mengakibatkan orang menjadi percaya, dalam hal ini pihak tersebut bertindak secara aktif untuk menjerumuskan seseorang. Misalnya, perbuatan memperjual belikan sebuah rumah yang bukan merupakan hak miliknya
dengan memalsukan suarat-suratnya.
Ad.2. Kecakapan para pihak pembuat perjanjian Subjek yang melakukan perjanjian harus cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk melakukan perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu. 15 16 Ibid, hal. 135.
Subjek hukum terbagi dua, yaitu manusia dan badan hukum. Dalam hal ini kita akan membahas mengenai subjek hukum manusia.
Menurut Pasal 1329 KUH Perdata : "Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap".
Jadi menurut ketentuan pasal ini, semua orang dianggap mampu atau cakap untuk mengikatkan diri dalam suatu persetujuan. Hal ini memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk melakukan perbuatan hukum. Ketidakmampuan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum harus dinyatakan oleh undang-undang.
Dilihat dari sudut rasa keadilan memang benar-benar perlu bahwa orang yang membuat perjanjian yang nantinya akan terikat oleh perjanjian yang dibuatnya itu harus benar-benar mempunyai kemampuan untuk menginsyafi segala tanggungjawab
yang bakal dipikulnya karena perbuatan itu.
Sedangkan dilihat dari sudut ketertiban umum, maka oleh karena orang yang membuat perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, sehingga sudah seharusnya orang itu sungguh-sungguh berhak berbuat bebas terhadap harta
kekayaannya.
Tegasnya syarat kecakapan untuk membuat suatu perjanjian mengandung kesadaran untuk melindungi baik bagi dirinya maupun dalam hubungannya dengan keselamatan keluarganya.
17 18 R.Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke IV, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, 1976, hal. 13.
Ad.3. Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi objek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUH Perdata : "Barang yang menjadi objek suatu perjanjian harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan saja kemudian dapat dihitung atau ditentukan".
Selanjutnya dalam Pasal 1322 KUH Perdata dikatakan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok persetujuan.
Dengan demikian barang-barang yang di luar perdagangan tidak dapat menjadi objek perjanjian, misalnya, barang-barang yang dipergunakan untuk keperluan orang banyak, seperti jalan umum, pelabuhan umum, gedung-gedung umum dan udara.
Dengan demikian, perjanjian yang objeknya tidak tertentu atau jenisnya tidak tertentu maka dengan sendirinya perjanjian itu tidak sah. Objek atau jenis objek merupakan syarat yang mengikat dalam perjanjian.
Ad.4. Suatu sebab yang halal Pengertian sebab pada syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian tiada lain daripada isi perjanjian. Jadi dalam hal ini harus dihilangkan salah sangka bahwa yang dimaksud sebab di sini adalah suatu sebab yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian tersebut. Bukan hal ini yang dimaksud oleh undang-undang dengan sebab yang halal.
Sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat suatu perjanjian atau dorongan jiwa untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak dihiraukan oleh undang-undang. Undang-undang hanya menghiraukan tindakan orang-orang dalam masyarakat. Jadi yang dimaksud dengan sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri.
Yang dimaksud dengan halal atau yang diperkenankan oleh undang-undang menurut Pasal 1337 KUH Perdata adalah persetujuan yang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
Akibat hukum terhadap perjanjian bercausa tidak halal, perjanjian tersebut batal demi hukum atau perjanjian itu dianggap tidak pernah ada. Dengan demikian tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian di muka Hakim.
Dalam hal syarat sahnya suatu perjanjian sebagai mana di atas, harus dibedakan antara syarat obyektif dan syarat subyektif, bahwa di dalam syarat obyektif tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum, yang artinya dari semula dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian. Dengan kata lain bahwa tujuan yang mengadakan perikatan semula adalah gagal, maka dari itu tidak ada suatu alasan bagi pihak untuk menuntut dimuka hakim.
Dalam hal syarat subyektif, maka jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjian bukan batal demi hukum tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta perjanjian itu dibatalkan. Dalam hal ini yang berhak meminta pembatalan adalah yang merasa dirinya tertipu oleh suatu hal.
Dari keempat syarat sahnya perjanjian di atas tidak ada diberikan suatu formalitas yang tertentu disamping kata sepakat para pihak mengenai hal-hal pokok perjanjian tersebut. Tetapi ada pengecualiannya terhadap Undang-undang yang dibutuhkan bahwa formalitas tersebut untuk beberapa perjanjian baru dapat berlaku dengan suatu formalitas tertentu yang dinamakan perjanjian formal. Misalnya perjanjian perdamaian harus dilakukan secara tertulis.
Dalam setiap hubungan hukum harus ada subyek dan obyek, tetapi subyeklah yang merupakan pendukung hak dan kewajiban para pihak dalam hubungan atau pembuatan hukum tersebut, dengan kata lain bahwa subyek hukum atau pendukung hak dan kewajiban dapat berupa manusia atau badan hukum.
Adapun mengenai hak dan kewajiban pihak tersebut dicantumkan di dalam surat perjanjian pemborong, dan juga disebut di dalam peraturan umum, yaitu dalam KUH Perdata.
Akan tetapi mengenai hak dan kewajiban dari para pihak dalam perjanjian pemborongan bangunan hanya sedikit diatur dalam KUHPerdata. Sebagian besar hak-hak kewajiban tersebut diatur dalam peraturan standart pemborongan bangunan (AV tahun 1941), kemudian dimuat secara terperinci dalam perjanjian pemborongan,
juga dalam bestek dan syarat (rencana kerja dan syarat).
Dan akhirnya mengenai haknya, disini para pihak atau subyek hukum menuntut haknya kepada pihak lain untuk melaksanakan kewajibannya. Sebab dalam 19 Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Hukum Bangunan, Penerbit Liberty, Jogyakarta, 1982, hal ini jika salah satu pihak telah melaksanakan kewajibannya maka lazimnya hak pihak lainnya telah terpenuhi.
E. Akibat Hukum Suatu Perjanjian Kredit
Akibat hukum dari suatu perjanjian secara jelas disebutkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata :
Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus
dilaksanakan dengan itikad baik.
Dari ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata tersebut di atas dapat dilihat bahwa semua persetujuan, baik persetujuan yang bernama maupun yang tak bernama yang dibuat sesuai dengan ketentuan hukum, mengikat para pihak yang membuatnya atau dibuat secara sah yang berarti dalam pembuatan perjanjian itu adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata sehingga dengan demikian perjanjian yang dibuat itu mengikat dan mempunyai kekuatan hukum bagi kedua belah pihak yang berlaku sebagai undang-undang.
Jika dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata disimpulkan adanya azas kebebasan berkontrak, yang disesuaikan dengan Pasal 1320 KUH Perdata, maka perjanjian yang dibuat para pihak tidaklah dapat ditarik seketika tanpa adanya kata sepakat kedua belah pihak (Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata). 20
Selanjutnya menurut Pasal 1339 KUH Perdata, persetujuan itu tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, undang-undang.
F. Berakhirnya Perjanjian Kredit Berakhirnya suatu perjanjian berbeda dengan berakhirnya suatu perikatan.
Mengenai berakhirnya suatu perjanjian pada umumnya telah ditentukan sendiri oleh pihak yang membuat perjanjian tersebut, misalnya jika tujuan dari perjanjian tersebut telah tercapai yaitu masing-masing pihak telah saling menerima prestasi, sebagaimana yang mereka kehendaki bersama dalam mengadakan perjanjian tersebut.
Selain apa yang telah disebuatkan di atas, masih terdapat beberapa cara untuk berakhirnya suatu perjanjian, yaitu :
1. Suatu perjanjian akan berakhir dengan lewatnya waktu tertentu yang telah disepakati bersama oleh para pihak dalam membuat perjanjian tersebut. Akan tetapi ada juga perjanjian yang batas maksimal waktunya ditentukan oleh Undang-undang, misalnya perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali tidak lebih dari lima tahun.
2. Suatu perjanjian berakhir karena oleh undang-undang ataupun di dalam perjanjian itu sendiri oleh para pihak telah ditentukan bahwa dengan adanya suatu peristiwa tertentu maka perjanjian itu akan berakhir, misalnya dengan meninggalnya salah
3. Selama berlangsungnya perjanjian, para pihak yang membuat perjanjian tersebut mengadakan kesepkatan untuk mengakhiri perjanjian. Disamping atas kesepakatan, perjanjian dapat pula berakhir karena adanya penghentian dari salah satu pihak dengan memperhatikan kebiasaan-kebiasaan setempat, misalnya perjanjian sewa menyewa yang waktunya tidak ditentukan dalam perjanjian.
4. Suatu perjanjian dapat berakhir dengan adanya suatu putusan hakim yang disebabkan karena adanya tuntutan pengakhiran perjanjian tersebut dari salah satu pihak.