BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi - Efikasi Diri dan Manajemen Diri pada Pasien Diabetes Tipe 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Melitus

2.1.1. Definisi

  Menurut American Diabetes Association (ADA, 2013), diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Menurut Lewis et al. (2011) menyebutkan bahwa diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang berkaitan dengan defisiensi insulin atau resistensi insulin baik relatif atau absolut atau karena keduanya yang ditandai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein sehingga gula darah tubuh mengalami kenaikan (hiperglikemia). Lanywati (2011) juga menjelaskan bahwa penyakit diabetes melitus, kencing manis atau penyakit gula, merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya gangguan menahun terutama pada sistem metabolisme karbohidrat, lemak, dan juga protein dalam tubuh. Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat dapat disimpulkan bahwa diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar gula dalam darah karena tubuh sedikit atau tidak mampu memproduksi insulin.

2.1.2. Klasifikasi

  Menurut ADA (2014), diabetes dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori klinis, yaitu; Diabetes tipe 1 (karena kerusakan sel-, biasanya menyebabkan kekurangan insulin absolut); Diabetes tipe 2 (karena kerusakan progresif sekretorik insulin akibat resistensi insulin); Tipe diabetes tertentu karena penyebab lain, misalnya; defek genetik pada fungsi sel- (beta), defek genetik pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (seperti fibrosis kistik), dan yang disebabkan oleh obat atau kimia (seperti dalam pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ); Diabetes melitus gestasional (diabetes yang didiagnosis selama kehamilan dan belum menjadi penyakit diabetes secara pasti).

2.1.3. Faktor Risiko

  Menurut PERKENI (2011), faktor risiko diabetes tipe 2 terdiri dari faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi dan yang bisa dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi antara lain; Ras dan etnik, riwayat keluarga dengan diabetes, umur (risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan meningkatnya umur, umur >45 tahun harus dilakukan pemeriksaan diabetes), riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi >4000 gram atau riwayat pernah menderita diabetes gestasional, riwayat lahir dengan berat badan rendah kurang dari 2,5 kg (bayi yang lahir dengan berat badan rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan berat badan normal).

  Faktor risiko yang dapat dimodifikasi yaitu; berat badan lebih (IMT >23 kg/m2), kurangnya aktivitas fisik, hipertensi (>140/90 mmHg), dislipidemia (HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL), diet yang tidak sehat (unhealthy diet), diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan risiko menderita prediabetes/intoleransi glukosa dan diabetes tipe 2. Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes yaitu; penderita Polycystic Ovary Syndrome

  (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin, penderita sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya. Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, penyakit jantung koroner (PJK), atau Peripheral

  Arterial Diseases (PAD) (PERKENI, 2011).

2.1.4. Patofisiologi

  Diabetes tipe 2 merupakan suatu kelainan dengan karakteristik utama adalah terjadinya hiperglikemik kronik. Meskipun pola pewarisannya belum jelas, faktor genetik dikatakan memiliki peranan yang penting dalam munculnya diabetes tipe 2. Faktor genetik ini akan berinteraksi dengan faktor-faktor lingkungan seperti gaya hidup, diet, rendahnya aktifitas fisik, obesitas, dan tingginya kadar asam lemak bebas. Mekanisme terjadinya diabetes tipe 2 umumnya disebabkan karena resistensi terhadap insulin atau defek sekresi insulin. Resistensi terhadap insulin terjadi disebabkan oleh penurunan kemampuan hormon insulin untuk bekerja secara efektif pada jaringan-jaringan target perifer (terutama pada otot dan hati). Untuk mencapai kadar glukosa darah yang normal dibutuhkan kadar insulin plasma yang lebih tinggi. Pada orang dengan diabetes tipe 2, terjadi penurunan pada penggunaan maksimum insulin, yaitu lebih rendah 30-60% daripada orang normal. Resistensi terhadap kerja insulin menyebabkan terjadinya gangguan penggunaan insulin oleh jaringan-jaringan yang sensitif dan meningkatkan pengeluaran glukosa hati. Kedua efek ini memberikan kontribusi terjadinya hiperglikemi pada diabetes. Kelainan yang juga khas pada diabetes tipe 2 adalah ketidakmampuan sel beta (defek sekresi insulin) yang meningkatkan sekresi insulin dalam waktu 10 menit setelah pemberian glukosa oral dan lambatnya pelepasan insulin fase akut. Hal ini akan dikompensasi pada fase lambat, dimana sekresi insulin pada diabetes melitus tipe 2 terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan orang normal. Meskipun telah terjadi kompensasi, tetapi kadar insulin tetap tidak mampu mengatasi hiperglikemia yang ada atau terjadi defisiensi relatif yang menyebabkan keadaan hiperglikemi sepanjang hari.

  Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabetes tipe 2, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe 2. Meskipun demikian, diabetes tipe 2 yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Non-Ketotik (HHNK). Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahun- tahun) dan progresif, maka awitan diabetes tipe 2 dapat berjalan tanpa terdeteksi.

  Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan, seperti; kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang lama-lama sembuh, infeksi vagina atau pandangan kabur (jika kadar glukosanya sangat tinggi). Salah satu konsekuensi tidak terdeteksinya penyakit diabetes selama bertahun-tahun adalah terjadinya komplikasi diabetes jangka panjang (misalnya, kelainan mata, neuropati perifer, kelainan vaskuler perifer) mungkin sudah terjadi sebelum diagnosis ditegakkan (Smeltzer & Bare, 2010).

  2.1.5. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis tergantung pada tingkat hiperglikemia pasien.

  Manifestasi klinis klasik dari semua jenis penyakit diabetes mencakup "tiga P" yaitu; poliuria, polidipsia, dan polifagia. Poliuria (peningkatan urinasi) dan polidipsia (peningkatan rasa haus) terjadi sebagai akibat dari hilangnya cairan yang berlebihan berhubungan dengan diuresis osmotik. Pasien juga mengalami polifagia (peningkatan nafsu makan) akibat dari keadaan katabolik yang disebabkan oleh defisiensi insulin dan pemecahan protein dan lemak. Gejala lainnya yaitu kelemahan dan kelelahan, perubahan fungsi penglihatan secara mendadak, kesemutan atau mati rasa pada tangan atau kaki, kulit kering, lesi kulit atau luka yang lambat sembuh, dan infeksi berulang. Pada diabetes tipe 1 dapat terjadi kehilangan berat badan secara tiba-tiba, mual, muntah atau sakit perut jika pasien telah mengalami ketoasidosis diabetik (Smeltzer & Bare, 2010).

  2.1.6. Diagnosis Diabetes didiagnosis berdasarkan kriteria glukosa plasma (ADA, 2014).

  Seseorang didiagnosis diabetes jika; 1) Nilai glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L). Puasa didefinisikan sebagai tidak ada asupan kalori setidaknya 8 jam. 2) Nilai glukosa plasma 2 jam setelah tes toleransi glukosa oral 75 gr (TTGO) ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L). Tes harus dilakukan seperti yang dijelaskan oleh WHO tahun 1994, menggunakan beban glukosa yang mengandung setara dengan 75 gram glukosa anhidrat yang dilarutkan dalam air. 3) International

  Expert Committee

  menambahkan tes hemoglobin-glikosilat/A 1c sebagai pilihan ketiga untuk mendiagnosa penyakit diabetes (terdiagnosis diabetes jika nilai HbA ≥6,5%). Tes ini harus dilakukan di laboratorium yang menggunakan

  1C

  metode yang bersertifikat NGSP (National Glycohemoglobin Standardization

  Program

  ) dan standar untuk uji DCCT (Diabetes Control and Complications

  Trial

  ). Tanpa adanya hiperglikemia yang tegas, maka hasil dari ke tiga pemeriksaan di atas harus dikonfirmasi dengan tes ulang. 4) Pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia, dilakukan tes glukosa plasma acak (sewaktu) ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L).

2.1.7. Penatalaksanaan

  Pengelolaan penyakit diabetes tipe 2 dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI), ada empat pilar penatalaksanaan pada penderita diabetes tipe 2 yaitu edukasi, terapi nutrisi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis (PERKENI, 2011). 1) Edukasi

  Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif dari pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam melakukan perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus. 2) Terapi Nutrisi Medis

  Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain, serta pasien dan keluarganya). Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari; karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi, asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, protein dibutuhkan sebesar 10-20% total asupan energi, anjuran asupan natrium tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1 sendok teh garam dapur), dianjurkan mengkonsumsi cukup serat ±25 gr/hari, dan pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily Intake/ADI).

  3) Latihan jasmani Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan diabetes tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun, harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk penderita yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi diabetes, maka intensitas latihan jasmani dapat dikurangi. Penderita dianjurkan untuk menghindari kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan.

  4) Intervensi farmakologis Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani. Obat-obatan yang digunakan untuk penderita diabetes tipe 2 yaitu obat hipoglikemik oral (OHO), insulin, dan terapi kombinasi. Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan, antara lain; pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue), seperti sulfonilurea dan glinid; peningkat sensitivitas terhadap insulin, seperti metformin dan tiazolidindion; penghambat glukoneogenesis (metformin); penghambat absorbsi glukosa, seperti penghambat glikosidase alfa, dan DPP-IV (dipeptidyl

  peptidase -4) inhibitor.

2.1.8. Komplikasi

  Diabetes merupakan penyakit yang sangat berpotensi terhadap terjadinya berbagai komplikasi berat. Berikut ini diuraikan komplikasi yang terkait dengan diabetes. 1) Komplikasi Akut

  Ada tiga komplikasi utama diabetes akut yang berhubungan dengan ketidakseimbangan kadar glukosa darah dalam jangka pendek yaitu, Ketoasidosis Diabetik (KAD), Status Hiperglikemik Hiperosmolar (SHH), dan hipoglikemia. KAD merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap. Pada kondisi SHH terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat. Dan pada hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60 mg/dL. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar-debar, banyak keringat, gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma) (PERKENI, 2011).

  2) Komplikasi Kronik Permana (2009) menguraikan komplikasi kronis pada diabetes berkaitan dengan gangguan vaskular, yaitu: komplikasi mikrovaskular, komplikasi makrovaskular, dan komplikasi neurologis. Komplikasi mikrovaskular terjadi akibat penyumbatan pada pembuluh darah kecil khususnya kapiler yang terdiri dari retinopati diabetik dan nefropati diabetik. Retinopati diabetik dibagi dalam 2 kelompok, yaitu retinopati non proliferatif dan proliferatif. Retinopati non proliferatif merupakan stadium awal dengan ditandai adanya mikroaneurisma, sedangkan retinopati proliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia retina. Pada nefropati diabetik ditandai dengan adanya proteinuria persisten (>0,5 gr/24 jam), terdapat retinopati dan hipertensi. Kerusakan ginjal yang spesifik pada diabetes mengakibatkan perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti protein dapat lolos ke dalam kemih (albuminuria). Akibat dari nefropati diabetik tersebut dapat menyebabkan kegagalan ginjal yang progresif.

  Komplikasi makrovaskular pada diabetes terjadi akibat aterosklerosis dari pembuluh-pembuluh darah besar, khususnya arteri akibat timbunan plak ateroma.

  Makroangioati tidak spesifik pada diabetes, namun dapat muncul lebih cepat, lebih sering terjadi dan lebih serius. Berbagai studi epidemiologis menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit kardiovaskular dan penderita diabetes meningkat 4-5 kali dibandingkan orang normal. Komplikasi makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya dengan kontrol kadar gula darah yang baik. Tetapi telah terbukti secara epidemiologi bahwa hiperinsulinemia merupakan faktor resiko mortalitas kardiovaskular, di mana peninggian kadar insulin menyebabkan risiko kardiovaskular semakin tinggi pula. Kadar insulin puasa >15 mU/mL akan meningkatkan risiko mortalitas koroner sebesar 5 kali lipat. Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor aterogenik dan diduga berperan penting dalam timbulnya komplikasi makrovaskular (Permana, 2009).

  Neuropati diabetik mengacu pada sekelompok penyakit yang mempengaruhi semua jenis saraf, termasuk perifer (sensorimotor), otonom, dan saraf tulang belakang. Gejala klinis beragam dan tergantung pada lokasi sel-sel saraf yang terkena (NIDDK, 2008; Smeltzer & Bare 2010). Neuropati pada umumnya berupa polineuropati diabetik yang merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita diabetes, dan lebih dari 50% dari penderita diabetes mengalami komplikasi tersebut. Manifestasi klinis dapat berupa gangguan sensorik, motorik, dan otonom. Proses terjadinya neuropati biasanya progresif di mana terjadi degenerasi serabut-serabut saraf dengan gejala-gejala nyeri atau baal. Area yang biasanya mengalami neuropati adalah serabut saraf tungkai atau lengan (Permana, 2009).

2.2. Efikasi Diri

2.2.1. Definisi Efikasi Diri

  Konsep efikasi diri telah dikembangkan oleh Albert Bandura sebagai teori sosial kognitif pada tahun 1977. Bandura (1994) menjelaskan bahwa efikasi diri adalah keyakinan seseorang tentang kemampuan mereka untuk mencapai suatu tingkat kinerja yang mempengaruhi setiap peristiwa dalam hidupnya. Efikasi diri menentukan bagaimana seseorang merasa, berfikir, memotivasi dirinya dan berperilaku. Efikasi diri terbentuk melalui empat proses utama yaitu kognitif, motivasi, afektif dan proses seleksi. Pender (2004; dalam Tomey & Alligood, 2006) menjelaskan efikasi diri adalah penilaian kemampuan personal untuk mengatur dan menjalankan perilaku promosi kesehatan.

  Efikasi diri merupakan keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk mengelola penyakit kronis secara mandiri, karena menentukan seseorang apakah akan memulai atau tidak untuk melakukan perawatan dirinya (Holman & Lorig, 1992; Nyunt et al., 2010). Dan berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa efikasi diri adalah keyakinan seseorang akan kemampuan dirinya dalam mengatur dan melaksanakan kegiatan yang mendukung kesehatannya berdasarkan pada tujuan dan harapan yang diinginkan.

2.2.2. Sumber Efikasi Diri

  Bandura (1995) menyatakan bahwa efikasi diri dapat diperoleh, dipelajari, dan dikembangkan dari empat sumber informasi. Pada dasarnya, keempat sumber tersebut adalah stimulasi atau kejadian yang dapat memberikan inspirasi atau pembangkit positif untuk berusaha menyelesaikan tugas atau masalah yang dihadapi. Adapun sumber-sumber efikasi diri tersebut adalah: 1) Mastery Experiences (Pengalaman keberhasilan). Sumber informasi ini memberikan pengaruh besar pada efikasi diri individu karena didasarkan pada pengalaman-pengalaman pribadi individu secara nyata yang berupa keberhasilan dan kegagalan. Pengalaman keberhasilan akan menaikkan efikasi diri individu, sedangkan pengalaman kegagalan akan menurunkannya. Pengalaman keberhasilan individu ini meningkatkan ketekunan dan kegigihan dalam berusaha mengatasi kesulitan, sehingga dapat mengurangi kegagalan.

  2) Vicarious experience (Pengalaman orang lain), yaitu mengamati perilaku dan pengalaman orang lain sebagai proses belajar individu. Melalui model ini efikasi diri individu dapat meningkat, terutama jika ia merasa memiliki kemampuan yang setara atau bahkan merasa lebih baik dari pada orang yang menjadi subyek belajarnya. Ia akan mempunyai kecenderungan merasa mampu melakukan hal yang sama. Meningkatnya efikasi diri individu ini dapat meningkatkan motivasi untuk mencapai suatu prestasi. Peningkatan efikasi diri ini akan menjadi efektif jika subyek yang menjadi model tersebut mempunyai banyak kesamaan karakteristik antara individu dengan model, kesamaan tingkat kesulitan tugas, kesamaan situasi dan kondisi, serta keanekaragaman yang dicapai oleh model. 3) Verbal persuasion (Persuasi verbal). Pada persuasi verbal, individu diarahkan dengan saran, nasihat, dan bimbingan sehingga dapat meningkatkan keyakinannya tentang kemampuan-kemampuan yang dimiliki yang dapat membantu mencapai tujuan yang diinginkan. Individu yang diyakinkan secara verbal cenderung akan berusaha lebih keras untuk mencapai suatu keberhasilan. Dalam kondisi yang menekan dan kegagalan terus-menerus, pengaruh sugesti akan cepat lenyap jika mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan.

  4) Physiological and emotional state (Keadaan fisiologis dan psikologis), yaitu situasi yang menekan kondisi emosional. Gejolak emosi, kegelisahan yang mendalam, dan keadaan fisiologis yang lemah yang dialami individu akan dirasakan sebagai suatu isyarat akan terjadi peristiwa yang tidak diinginkan.

  Individu akan mendasarkan informasi mengenai kondisi fisiologis mereka untuk menilai kemampuannya. Ketegangan fisik dalam situasi yang menekan dipandang individu sebagai suatu tanda ketidakmampuan karena hal itu dapat melemahkan perfomansi kerja individu. Karena itu, efikasi diri tinggi biasanya ditandai oleh rendahnya tingkat stres dan kecemasan. Sebaliknya, efikasi diri yang rendah ditandai oleh tingkat stres dan kecemasan yang tinggi pula.

2.2.3. Proses Pembentukan Efikasi Diri

  Menurut Bandura (1995), proses psikologis dalam efikasi diri yang turut berperan dalam diri manusia ada 4 yakni proses kognitif, motivasional, afeksi dan proses pemilihan/seleksi. 1) Proses kognitif

  Proses kognitif merupakan proses berfikir, termasuk pemerolehan, pengorganisasian, dan penggunaan informasi. Kebanyakan tindakan manusia bermula dari sesuatu yang dipikirkan terlebih dahulu. Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi lebih senang membayangkan tentang kesuksesan.

  Sebaliknya individu dengan efikasi dirinya rendah lebih banyak membayangkan kegagalan dan hal-hal yang dapat menghambat tercapainya kesuksesan. Bentuk tujuan personal juga dipengaruhi oleh penilaian akan kemampuan diri. Semakin seseorang mempersepsikan dirinya mampu maka individu akan semakin membentuk usaha-usaha dalam mencapai tujuannnya dan semakin kuat komitmen individu terhadap tujuannya.

  2) Proses motivasi Kebanyakan motivasi manusia dibangkitkan melalui kognitif. Individu memberi motivasi/dorongan bagi diri mereka sendiri dan mengarahkan tindakan melalui tahap pemikiran-pemikiran sebelumnya. Kepercayaan akan kemampuan diri dapat mempengaruhi motivasi dalam beberapa hal, yakni menentukan tujuan yang telah ditentukan individu, seberapa besar usaha yang dilakukan, seberapa tahan mereka dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dan ketahanan mereka dalam menghadapi kegagalan. Ada tiga teori yang menjelaskan tentang proses motivasi. Teori pertama adalah causal attributions (atribusi penyebab). Teori ini fokus pada sebab-sebab yang mempengaruhi motivasi, usaha, dan reaksi-reaksi individu.

  Individu yang memiliki efikasi diri tinggi bila mengahadapi kegagalan cenderung menganggap kegagalan tersebut diakibatkan usaha-usaha yang tidak cukup memadai. Sebaliknya, individu yang efikasi dirinya rendah, cenderung menganggap kegagalanya diakibatkan kemampuan mereka yang terbatas. Teori kedua, outcomes experience (harapan akan hasil), yang menyatakan bahwa motivasi dibentuk melalui harapan-harapan. Biasanya individu akan berperilaku sesuai dengan keyakinan mereka tentang apa yang dapat mereka lakukan. Teori ketiga, goal theory (teori tujuan), dimana dengan membentuk tujuan terlebih dahulu akan dapat meningkatkan motivasi.

  3) Proses afektif Proses afeksi merupakan proses pengaturan kondisi emosi dan reaksi emosional. Keyakinan individu akan koping mereka turut mempengaruhi tingkat stres dan depresi seseorang saat mereka menghadapi situasi yang sulit. Persepsi efikasi diri tentang kemampuannya mengontrol sumber stres memiliki peranan penting dalam timbulnya kecemasaan. Individu yang percaya akan kemampuannya untuk mengontrol situasi cenderung tidak memikirkan hal-hal yang negatif. Individu yang merasa tidak mampu mengontrol situasi cenderung mengalami tingkat kecemasan yang tinggi, selalu memikirkan kekurangan mereka, memandang lingkungan sekitar penuh dengan ancaman, membesar- besarkan masalah kecil, dan terlalu cemas pada hal-hal kecil yang sebenarnya jarang terjadi. 4) Proses seleksi

  Kemampuan individu untuk memilih aktivitas dan situasi tertentu turut mempengaruhi efek dari suatu kejadian. Individu cenderung menghindari aktivitas dan situasi yang diluar batas kemampuan mereka. Bila individu merasa yakin bahwa mereka mampu menangani suatu situasi, maka mereka cenderung tidak menghindari situasi tersebut. Dengan adanya pilihan yang dibuat, individu kemudian dapat meningkatkan kemampuan, minat, dan hubungan sosial mereka.

2.2.4. Dimensi Efikasi Diri

  Bandura (1997) mengungkapkan bahwa perbedaan efikasi diri pada setiap individu terletak pada tiga dimensi, yaitu: magnitude (tingkat kesulitan tugas),

  strength

  (kekuatan keyakinan), dan generality (generalitas). Masing-masing aspek mempunyai implikasi penting di dalam kinerja individu yang secara lebih jelas dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Magnitude (tingkat kesulitan tugas), yaitu masalah yang berkaitan dengan derajat kesulitan tugas individu. Komponen ini berimplikasi pada pemilihan perilaku yang akan dicoba individu berdasarkan ekspektasi efikasi pada tingkat kesulitan tugas. Individu akan berupaya melakukan tugas tertentu yang ia persepsikan dapat dilaksanakannya dan ia akan menghindari situasi dan perilaku yang ia persepsikan di luar batas kemampuannya.

  2) Strength (kekuatan keyakinan), yaitu aspek yang berkaitan dengan kekuatan keyakinan individu atas kemampuannya. Pengharapan yang kuat dan mantap pada individu akan mendorong untuk gigih dalam berupaya mencapai tujuan walaupun mungkin belum memiliki pengalaman-pengalaman yang menunjang. Sebaliknya, pengharapan yang lemah dan ragu-ragu akan kemampuan diri akan mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak menunjang. Dimensi ini biasanya berkaitan langsung dengan tingkat dimensi, yaitu semakin tinggi tingkat kesulitan tugas, semakin lemah keyakinan yang dirasakan untuk menyelesaikannya. 3) Generality (generalitas), yaitu hal yang berkaitan dengan luas cakupan tingkah laku diyakini oleh individu mampu dilaksanakan. Keyakinan individu terhadap kemampuan dirinya bergantung pada pemahaman kemampuan dirinya, baik yang terbatas pada suatu aktivitas dan situasi tertentu maupun pada serangkaian aktivitas dan situasi yang lebih luas dan bervariasi.

  2.2.5. Efikasi Diri pada Diabetes

  Menurut Bandura (1997), efikasi diri adalah jembatan antara mengetahui apa yang harus dilakukan dan benar-benar melakukannya. Selain itu, efikasi diri juga menjadi dasar untuk meningkatkan efektivitas pendidikan diabetes karena berfokus pada perubahan perilaku (Van der Bijl & Shortridge-Baggett, 2001; Wu et al., 2007). Efikasi diri merupakan keyakinan individu tentang kemampuan pribadi terhadap kinerja perilaku. Dalam hal manajemen diri diabetes, efikasi diri adalah keyakinan pasien terhadap kemampuannya untuk melakukan berbagai perilaku manajemen diri diabetes (Al-Khawaldeh, Al-Hassan & Froelicher, 2012).

  Efikasi diri adalah prediktor kuat terhadap perilaku manajemen diri diabetes, seseorang yang hidup dengan diabetes yang memiliki tingkat efikasi diri yang lebih tinggi akan berpartisipasi dalam perilaku pengelolaan diri diabetes yang lebih baik (Hunt et al., 2012).

  2.2.6. Pengukuran Efikasi Diri pada Diabetes Tipe 2

  Pengembangan instrumen Diabetes Management Self-efficacy Scale (DMSES) Dutch/English Version untuk pasien diabetes tipe 2 telah dilakukan oleh Bijl., Poelgeest-Eeltink, & Shortridge-Baggett (1999) yang terdiri dari 20 item pertanyaan untuk mengukur efikasi diri terhadap manajemen diri pada pasien tipe 2. Skala ini juga telah dikembangkan dalam versi Australia/Inggris oleh McDowell et al. (2005), dan dalam versi Inggris oleh Sturt, Hearnshaw dan Wakelin (2010). Instrumen (DMSES) Dutch/English Version juga telah dimodifikasi dan diterjemahkan ke dalam bahasa Cina oleh Wu et al. (2008).

2.3. Manajemen Diri

  2.3.1. Definisi Manajemen Diri

  Di dalam literatur, manajemen diri (self-management) juga disebut dengan perawatan diri (self-care) telah didefinisikan dalam beberapa cara tergantung pada fokus disiplin (yaitu, sosiologi, fisiologi, ekologi, medis, atau terkait dengan perawatan atau promosi kesehatan) (Weiler & Crist, 2007). Manajemen diri mengacu pada pelaksanaan tugas-tugas dimana seseorang harus berusaha untuk hidup dengan baik dengan satu atau lebih kondisi kronis. Tugas ini juga ternasuk dalam mendapatkan kepercayaan untuk menangani manajemen medis, manajemen peran, dan manajemen emosional (Adams, Greiner & Corrigan, 2004).

  2.3.2. Manajemen Diri pada Diabetes

  Manajemen diri pada diabetes merupakan seperangkat perilaku yang dilakukan oleh individu dengan diabetes untuk mengelola kondisi mereka, termasuk minum obat, mengatur diet, melakukan latihan fisik, pemantauan glukosa darah mandiri, dan mempertahankan perawatan kaki (Xu et al., 2010).

  Manajemen diri pada diabetes juga didefinisikan sebagai perilaku manajemen diri yang mencakup pengaturan pola makan, olahraga, pemantauan glukosa darah secara mandiri, dan minum obat, yang secara keseluruhan berhubungan dengan perbaikan yang signifikan dalam mengontrol status metabolik (Jones et al., 2003; Sousa et al., 2005; Hunt et al., 2012).

  Seseorang dengan diabetes perlu mengetahui pemahaman dalam pengelolaan penyakitnya. Tugas-tugas dalam manajemen diri yang diperlukan untuk mengontrol diabetes, sebagai berikut:

  1) Pengaturan pola makan (diet) Diet merupakan faktor utama dalam mengontrol diabetes, yang melibatkan pengendalian berat badan dan perencanaan makan yang sehat (Harris et al., 2012).

  Pasien dengan diabetes tipe 2 harus dimotivasi untuk menerapkan perubahan pola hidup yang lebih sehat (Amod et al., 2012). Rekomendasi diet bagi penderita diabetes mirip dengan rekomendasi untuk masyarakat umum, misalnya mengurangi gula, lemak jenuh, dan asupan garam (Dyson, 2002; Nair, 2007).

  Meskipun setiap orang memiliki kebutuhan yang sama untuk nutrisi dasar, pasien diabetes akan membutuhkan diet yang lebih terstruktur untuk mencegah hiperglikemia (Lemone & Burke, 2004; Nair, 2007). Diet yang direkomendasikan untuk pasien diabetes tipe 2 sebagai berikut (Amod et al., 2012): a) Mengikuti perencanaan makan yang sehat dan seimbang, yaitu; mengkonsumsi berbagai buah dan sayuran segar setiap hari, hindari jus buah, mengkonsumsi produk susu rendah lemak dan minuman kedelai yang diperkaya dengan kalsium, mengkonsumsi ikan setidaknya dua kali per minggu, gunakan alternatif pengganti daging seperti kacang-kacangan, kedelai dan tahu, dan batasi mengkonsumsi produk olahan.

  b) Karbohidrat harus mencukupi 45-60% dari total asupan energi. Pemantauan asupan karbohidrat dapat dilakukan dengan menghitung karbohidrat, atau melakukan pertukaran atau memperkirakan jumlah karbohidrat bagi yang berpengalaman, batasi gula alkohol (maltitol, manitol, sorbitol, laktitol, isomalt, xylitol) <10 gr per hari, batasi total asupan fruktosa sekitar 60 gr per hari; meningkatkan asupan serat larut dan tidak larut 25-50 gr per hari, asupan sukrosa hingga 10% per hari dapat diterima, dan penggunaan pemanis buatan dikonsumsi dalam batas harian yang ditetapkan oleh FDA.

  c) Protein harus mencukupi 15-20% dari total asupan energi.

  d) Asupan lemak harus dibatasi <35% dari total asupan energi. Asupan lemak jenuh harus dibatasi <7% dari total asupan energi, asupan lemak

  polysaturated

  harus dibatasi <10% dari total asupan energi, meminimalkan asupan lemak trans, dan mengkonsumsi lemak tidak jenuh tunggal dan asam lemak omega-3 yang berasal dari tumbuhan dan ikan.

  e) Garam. Sumber utama natrium dalam makanan adalah garam yang terkandung dalam makanan kemasan dan makanan olahan. Kurangi diet natrium hingga <2300 mg per hari dapat membantu mengontrol tekanan darah.

  f) Vitamin dan mineral. Suplemen vitamin dan mineral mungkin diperlukan pada kelompok-kelompok tertentu seperti; lansia, wanita hamil dan menyusui, suplemen antioksidan seperti vitamin E, vitamin C, dan beta karoten, tidak dianjurkan, karena tidak cukup bukti keberhasilan dan keamanan jangka panjang, akan tetapi suplemen dapat dipertimbangkan pada penderita diabetes yang merokok.

  2) Latihan fisik Latihan fisik merupakan faktor penting dalam mengelola diabetes dan mengontrol kadar glukosa darah yang lebih baik. Sebelum meningkatkan pola aktivitas fisik dari yang biasanya, pasien diabetes harus melakukan pemeriksaan medis terlebih dahulu, untuk menyesuaikan kebutuhan individu dan mempertimbangkan adaptasi latihan terhadap adanya komplikasi diabetes. Aktifitas fisik dapat menurunkan resistensi insulin, dan memungkinkan untuk penggunaan insulin yang lebih baik (DeCoste & Scott, 2004). Aktifitas latihan fisik yang direkomendasikan pada pasien diabetes tipe 2 yaitu melakukan latihan fisik selama 30 menit setiap hari. Jenis latihan yang dapat dilakukan seperti berjalan, jogging, berenang, atau membersihkan taman (DCD, 1999; DeCoste & Scott, 2004). Latihan fisik dapat membantu meningkatkan sirkulasi, tonus otot, dan mengurangi berat badan (Caterson, 2005; Nair, 2007), serta meningkatkan penyerapan glukosa dalam sel otot (Pullen, 2000; Nair, 2007), sehingga membantu menurunkan kadar glukosa darah (Nair, 2007).

  3) Medikasi Bagi penderita diabetes tipe 2, kontrol glikemik dapat dipertahankan dengan intervensi non-farmakologis seperti diet, latihan fisik, dan monitoring gula darah mandiri. Namun, sebagian besar penderita diabetes tipe 2 memerlukan pengobatan dengan farmakologi (DeCoste & Scott, 2004). Diabetes tipe 2 dapat diobati dengan obat tunggal atau kombinasi obat oral dan insulin. Setiap obat diberikan untuk salah satu ketidaknormalan kadar gula darah dan kombinasi dengan perawatan medis yang dapat menormalkan kadar gula darah. Jika terapi oral tidak bekerja, maka terapi insulin satu-satunya cara untuk mengontrol kondisi hiperglikemia. Insulin hanya akan digunakan jika nilai HbA1c lebih dari 6,5% setelah terapi oral maksimal. Insulin harus dikombinasi dengan terapi oral untuk mengurangi risiko hipoglikemia dan peningkatan berat badan (Garber et al., 2002; Svartholm & Nylander, 2010).

  4) Monitoring gula darah mandiri Monitoring gula darah mandiri merupakan bagian penting dalam manajemen diri pasien dengan diabetes, dan disarankan pada pasien diabetes yang menggunakan terapi obat oral. Monitoring gula darah mandiri bertujuan untuk mencapai penurunan HbA1c dengan tujuan utama mengurangi risiko komplikasi, mengidentifikasi adanya hipoglikemia (IDF, 2012), mempertahankan kadar glukosa darah pada 4-6 mmol/L sebelum makan (preprandial) dan tidak di atas 10 mmol/L dua jam setelah makan (postprandial) (Diabetes UK, 2006; Nair, 2007). Monitoring gula darah mandiri didasarkan pada kebutuhan individu, jadwal, dan penggunaan data yang direncanakan. Monitoring gula darah mandiri efektif dalam meningkatkan kontrol glikemik pada individu dengan diabetes tipe 2 yang tidak menggunakan insulin (Welschen et al, 2005; Hirsch et al, 2008).

  Pasien dengan diabetes tipe 2 non-insulin direkomendasikan untuk memonitoring kadar gula darah mandiri setidaknya sekali dalam sehari (Hirsch et al., 2008). Pada pasien diabetes tipe 2 yang menggunakan insulin, dapat melakukan monitoring gula darah pre dan post prandial untuk membantu menentukan penyesuaian insulin yang digunakan. Pada pasien diabetes tipe 2 yang tidak menggunakan insulin, dapat melakukan monitoring gula darah post prandial untuk mengevaluasi status glikemik yang disebabkan oleh diet atau aktivitas fisik (DeCoste & Scott, 2004). Pedoman International Diabetes

  Federation

  tentang monitoring gula darah mandiri untuk diabetes tipe 2 non- insulin diobati tipe 2 merekomendasikan bahwa monitoring gula darah mandiri harus dimasukkan sebagai bagian dari pendidikan manajemen diri diabetes berkelanjutan untuk membantu pasien untuk lebih memahami kondisi mereka, berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan pengobatan, dan memodifikasi perilaku perawatan dan obat-obatan yang diperlukan (IDF, 2012).

  Monitoring glukosa darah mandiri memberikan informasi mengenai efek terapi, diet dan aktivitas fisik. Pernyataan dari ADA (2009, dalam CPG on

  Management

  T2DM, 2009) merekomendasikan bahwa monitoring glukosa darah mandiri harus dilakukan 3 atau 4 kali sehari untuk pasien menggunakan suntikan insulin atau terapi pompa insulin. Untuk pasien yang menggunakan suntikan insulin tidak sering, terapi non-insulin atau terapi nutrisi medis saja, monitoring glukosa darah mandiri mungkin berguna dalam mencapai kontrol glikemik.

  (Sumber: ADA, 2009; CPG on Management T2DM, 2009) 5) Perawatan kaki

  Kaki diabetes dianggap sebagai komplikasi umum dari diabetes. Pasien dengan risiko ulkus kaki, harus memahami dasar-dasar perawatan kaki. Beberapa studi menunjukkan bahwa intervensi pendidikan bagi pasien tentang perawatan kaki sangat efektif dalam pencegahan ulkus kaki diabetik (Spollett, 1998; Culleton, 1999; Viswanathan et al., 2005; Aalaa et al., 2012). Perawat dapat mengajarkan pasien bagaimana melakukan pemeriksaan fisik dan merawat kaki setiap hari (Clapham, 1997; Aalaa et al., 2012). Misalnya, perawat dapat menganjurkan pasien untuk melaksanakan serangkaian aturan sederhana untuk membantu mencegah kekambuhan ulkus kaki atau, seperti memeriksa sepatu sebelum memakainya, menjaga kaki bersih dan perawatan kulit dan kuku berkelanjutan. Pelatihan tentang memilih sepatu yang tepat juga sangat penting (Ramachandran, 2004; Aalaa et al., 2012).

2.3.3. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Manajemen Diri pada Diabetes Tipe 2

  1) Umur. Penderita diabetes yang lebih tua memiliki tingkat manajemen diri yang lebih tinggi pada diet, olahraga, dan perawatan kaki daripada individu yang lebih muda (Xu, Pan & Liu, 2010). Penderita diabetes yang lebih tua dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi juga akan lebih baik dalam perawatan diri daripada orang tua yang buta huruf (Bai, Chiou & Chang, 2009).

  2) Tingkat pendidikan. Seseorang dengan pendidikan tinggi umumnya memiliki pemahaman yang baik tentang pentingnya perilaku perawatan diri dan memiliki keterampilan manajemen diri yang lebih baik untuk menggunakan informasi peduli diabetes yang diperoleh melalui berbagai media dibandingkan dengan tingkat pendidikan rendah (Bai, Chiou & Chang, 2009). Seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki tingkat manajemen diri yang lebih tinggi terhadap diet, olahraga, dan pemeriksaan gula darah mandiri, dan lebih mudah untuk memahami informasi kesehatan yang berhubungan dengan diet, aktivitas fisik, dan pemeriksaan gula darah mandiri (Xu, Pan & Liu, 2010).

  3) Pekerjaan. Penderita diabetes yang bekerja memiliki tingkat manajemen diri lebih rendah untuk latihan fisik daripada penderita yang tidak bekerja.

  Penderita diabetes yang lebih muda yang bekerja bisa memiliki jadwal dan tanggung jawab yang sangat banyak, membuat perilaku manajemen diri diabetesnya menjadi prioritas rendah bagi mereka (Xu, Pan & Liu, 2010). 4) Efikasi diri. Seseorang yang hidup dengan diabetes tipe 2 yang memiliki tingkat efikasi diri yang lebih tinggi lebih berpartisipasi dalam perilaku manajemen diri diabetes. Efikasi diri yang lebih tinggi lebih mungkin untuk menunjukkan pengaturan diet secara optimal, olahraga, monitoring glukosa darah mandiri, dan perawatan kaki (Sarkar, Fisher & Schillinger, 2006; Xu et al., 2008; Hunt et al., 2012).

  5) Lamanya menderita diabetes. Seseorang dengan durasi penyakit lebih lama memiliki pengalaman dalam mengatasi penyakit mereka dan melakukan perilaku perawatan diri yang lebih baik (Wu et al., 2007). Seseorang yang telah didiagnosis dengan diabetes bertahun-tahun dapat menerima diagnosis penyakitnya dan rejimen pengobatannya, serta memiliki adaptasi yang lebih baik terhadap penyakitnya dengan mengintegrasikan gaya hidup baru dalam kehidupan mereka sehari-hari (Xu, Pan & Liu, 2010). 6) Dukungan sosial. Dukungan sosial merupakan prediktor penting dalam perilaku perawatan diri pada pasien diabetes. Ketika pasien didiagnosis dengan penyakit kronis, maka pasien tersebut memerlukan bantuan perawatan dari teman dan keluarga. Pasien diabetes tipe 2 melakukan perilaku perawatan diri yang lebih baik ketika mereka menerima dukungan dari keluarga dan teman-temannya (Bai, Chiou & Chang, 2009). 7) Asuransi. Penderita diabetes yang tidak memiliki asuransi kesehatan biasanya memiliki perilaku kurang baik dalam minum obat dan memantau kadar glukosa darah mereka secara teratur (Xu, Pan & Liu, 2010). 8) Komunikasi antara pasien dan provider. Tujuan utama komunikasi antara pasien dan provider adalah untuk bertukar informasi tentang penyakit dan perawatannya. Sebuah gaya komunikasi yang positif dapat meningkatkan pemahaman pasien dan mengingat informasi tentang penyakit (Ong et al., 1995; Xu et al., 2008). Interaksi antara pasien dan provider dapat memperkuat kepercayaan pasien dan dapat mempengaruhi hasil kesehatan (Kaplan, Greenfield & Ware, 1989; Xu et al., 2008). Komunikasi antara pasien dan provider yang lebih baik dapat membantu membangun hubungan saling percaya, dan menjadi landasan bersama untuk mempromosikan manajemen diri pasien dengan diabetes (Xu et al., 2008).

  9) Jenis layanan perawatan. Pasien diabetes yang menerima perawatan dari spesialis menunjukkan kecenderungan yang lebih besar untuk melaksanakan praktek perawatan diri yang lebih baik termasuk gaya hidup yang lebih baik, dan mengontrol diabetes lebih baik daripada pasien yang menerima perawatan dokter umum. Para pasien yang menerima perawatan dari spesialis cenderung untuk berolahraga lebih banyak dan mengurangi merokok. Pada pasien yang mengunjungi dokter umum selama satu tahun terakhir lebih sering memiliki kecenderungan untuk menunjukkan kontrol glikemik yang buruk (Goudswaard et al.; Lee, Ahn & Kim, 2009). Pasien yang telah menerima pendidikan tentang perawatan kaki diabetes dan pemeriksaan kaki oleh spesialis secara signifikan lebih mungkin untuk memeriksa kaki mereka secara teratur dan cenderung untuk mematuhi pedoman perawatan diabetes, serta menjaga kadar glukosa darah dalam tingkat optimal daripada pasien yang menerima perawatan dari dokter umum (De Berardis et al., 2005; Lee, Ahn & Kim, 2009)

  10) Bahasa dan budaya. Keterbatasan bahasa dan budaya pada materi pendidikan manajemen diri pada diabetes yang tepat dan program yang tersedia untuk pasien dengan diabetes, misalnya pada etnis Cina-Amerika. Kebanyakan program pendidikan manajemen diri pada diabetes tersedia dalam bahasa Inggris dan didasarkan pada budaya Barat, seperti jenis pilihan makanan dan membaca label, sehingga menyulitkan pasien diabetes Cina-Amerika untuk mengikuti program tersebut (Xu, Pan & Liu, 2010). 11) Kepercayaan terhadap efektivitas pengobatan.

   Kepercayaan terhadap

  efektivitas pengobatan merupakan faktor penting yang mempengaruhi manajemen diri diabetes. Xu et al. (2008), mengungkapkan bahwa pada pasien Cina dapat menggunakan pendekatan medis Barat untuk mengontrol diabetes mereka, sementara untuk strategi manajemen penyakit, mereka lakukan berdasarkan tradisi pengobatan Cina. Kepercayaan dalam pengobatan Cina dapat mengurangi kepercayaan pasien dalam efektivitas pengobatan medis Barat untuk diabetes.

2.3.4. Pengukuran manajemen diri pada diabetes Tipe 2

  Manajemen diri pada diabetes tipe 2 diukur dengan menggunakan kuesioner Summary of Diabetes Self Care Activities-Revised (SDSCA). Instrumen ini merupakan self-report manajemen diri secara singkat pada diabetes yang terdiri dari item-item pertanyaan untuk menilai aspek perawatan pada diabetes diantaranya; diet umum, diet khusus, olahraga, pemeriksaan glukosa darah, perawatan kaki, dan merokok (Toobert, Hampson & Glasgow, 2000).

2.4. Landasan Teori Penelitian ini menggunakan landasan teori self-care dari Dorothea E.

  Orem (1991) dan teori self-efficacy dari Albert Bandura (1994) sebagai dasar untuk pengembangan kerangka konsep penelitian untuk efikasi diri dan manajemen diri pada pasien diabetes tipe 2.

2.4.1. Orem’s Self-Care Theory

  Teori model yang diperkenalkan Dorothea E. Orem adalah Self Care

  Deficit Theory of Nursing

  yang terdiri dari tiga teori utama yaitu teori self-care,

  self-care deficit