BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Komunikasi 1.1. Defenisi Komunikasi - Pengaruh Teknik Orang Ketiga Terhadap Eksplorasi Perasaan Anak Usia Sekolah Selama Dirawat di RSUD dr. Pirngadi Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Komunikasi 1.1. Defenisi Komunikasi Kata komunikasi berasal dari bahasa latin Coomunicare yang berarti

  berpartisipasi atau memberitahukan. Komunikasi merupakan komponen penting dalam praktik keperawatan. Komunikasi merupakan proses yang dilakukan perawat dalam menjaga kerjasama yang baik dengan klien dalam membantu memenuhi kebutuhan kesehatan klien (Mundakir, 2006).

1.2. Klasifikasi komunikasi Komunikasi verbal meliputi kata- kata yang diucapkan maupun yang ditulis.

  Kata- kata adalah media atau simbol yang digunakan untuk mengekspresikan ide atau perasaan, menimbulkan respons emosional, atau menggambarkan objek, observasi, kenangan atau kesimpulan. Bahasa akan menjadi efektif hanya jika setiap orang yang berkomunikasi memahami pesan tersebut dengan jelas (Potter & Perry, 2005).

  Komunikasi nonverbal adalah komunikasi dimana pesan disampaikan tidak menggunakan kata- kata. Merupakan cara yang paling meyakinkan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Perawat perlu menyadari pesan verbal dan nonverbal yang disampaikan klien mulai dari saat pengkajian sampai evaluasi asuhan keperawatan, karena isyarat nonverbal menambah arti terhadap pesan verbal. Perawat yang mendeteksi suatu kondisi dan menentukan kebutuhan asuhan keperawatan (Potter & Perry, 2005).

1.3. Teknik Orang Ketiga

  Teknik orang ketiga merupakan mengungkapkan ekspresi perasaan orang ketiga seperti”dia atau mereka”. Teknik tersebut mengurangi perasaan terancam dari pada langsung bertanya pada anak bagaimana perasaannya. Cara seperti ini memberikan kesempatan untuk setuju atau tidak setuju tanpa ingin bertahan. Misalnya perawat mengatakan “ kadang- kadang bila seseorang jatuh sakit, perasaan –perasaan marah dan sedih karena dia tidak mampu berbuat seperti apa yang orang lain perbuat”.

  Kemudian diam sebentar untuk menunggu responnya atau mendorong timbulnya jawaban dan berkata lagi “ Apakah engkau pernah merasakan seperti itu?”.

  Teknik pendekatan seperti ini memberi kesempatan pada anak dalam tiga pilihan:

  1. Menyetujui, penuh harapan dan mengungkapan perasaannya.

  2. Tidak setuju 3.

  Tetap diam, mungkin mempunyai suatu perasaan tetapi tidak mampu mengekspresikannya pada saat itu ( Mundakir, 2006; Wong 2009).

  Tahapan dalam berkomunikasi

1. Tahap Prainteraksi

  Mengumpulkan data tentang anak dengan mempelajari status atau bertanya kepada ortu tentang masalah yang ada.

  2. Tahap Perkenalan Memberi salam dan senyum pada anak, melakukan validasi , mencari kebenaran data yang ada, mengobservasi, memperkenalkan nama dengan tujuan, waktu dan menjelaskan kerahasiaan klien.

  3. Tahap Kerja Memberi kesempatan pada klien untuk bertanya , karena akan memberitahu tentang hal yang kurang dimengerti dalam komunikasi, menanyakan perasaan yang dialami selama dirawat dirumah sakit.

  4. Tahap Terminasi Menyimpulkan hasil pembicaraan meliputi evaluasi proses dan hasil, memberikan reinforcement positif dan mengakhiri pembicaraan dengan cara yang baik (Mundakir, 2006).

1.4. Sikap dalam Komunikasi

   Perawat juga harus memperhatikan sikap dalam berkomunikasi dengan

  anak. Sikap komunikasi merupakan sesuatu apa yang harus dilakukan dalam komunikasi baik secara verbal maupun nonverbal (Potter & Perry, 2005).

  Sikap dalam berkomunikasi yang baik adalah sebagai berikut : a.

  Sikap berhadapan Bentuk sikap dimana seseorang langsung bertatap muka atau berhadapan langsung dengan anak( komunikator siap untuk berkomunikasi).

  b.

  Sikap mempertahankan kontak Bertujuan menghargai klien dan mengatakan adanya keinginan untuk tetap berkomunikasi dengan cara selalu memperhatikan apa yag diinformasikan atau disampaikan dengan tidak melakukan kegiatan yang dapat mengalihkan perhatian dengan yang lainnya.

  c.

  Sikap membungkuk kearah pasien Menunjukkan keinginan untuk mengatakan atau mendengar sesuatu dengan cara membungkuk sedikit kearah klien.

  d.

  Sikap terbuka Bentuk sikap dengan memberikan posisi kaki tidak melipat, tangan menunjukkan keterbukaan untuk berkomunikasi.

  e.

  Sikap tetap relaks Menunjukkan adanya keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi dalam memberi respons pada klien selama komunikasi.

1.5. Cara dalam komunikasi

  Selain sikap dalam berkomunikasi, perawat juga harus mengetahui cara yang teraupetik dalam berkomunikasi dengan anak adalah sebagai berikut :

  1. Nada suara Bicara lambat dan jika tidak dijawab harus diulang lebih jelas dengan pengarahan yang sederhana. Hindari sikap mendesak untuk dijawab dengan mengatakan jawab dong.

  2. Mengalihkan aktivitas Kegiatan anak yang berpindah-pindah dapat meningkatkan rasa cemas terapis dan mengartikannya sebagai tanda hiperaktif, Anak lebih tertarik pada aktivitas yang disukai sehingga perlu dibuat jadwal bergantian antara aktivitas yang disukai dengan aktivitas terapi yang diprogramkan.

  3. Jarak interksi Perawat yang mengobservasi tindakan nonverbal dan sikap tubuh anak harus mempertahankan jarak yang aman dalam berinteraksi.

  4. Marah Perawat perlu mempelajari tanda kontrol perilaku yang rendah pada anak untuk mencegah tempertantrum. Perawat menghindari bicara yang keras dan otoriter serta mengurangi kontak mata jika respon anak meningkat. Jika anak mulai dapat mengontrol perilaku kontak mata dimulai kembali namun sentuhan ditunda dahulu.

  5. Kesadaran diri Perawat harus menghindari konfrontasi secara langsung, duduk yang terlalu dekat dan berhadapan. Meja tidak diletakkan antara perawat dan anak.

  Perawat secara nonverbal selalu memberi dorongan, penerimaan dan persetujuan jika diperlukan.

6. Sentuhan

  Jangan sentuh anak tanpa izin dari anak. Salaman dengan anak merupakan cara untuk menghilangkan stres dan cemas khususnya pada anak laki-laki (Dalami, dkk 2009; Mundakir, 2006 ).

2. Perkembangan Anak Usia Sekolah 2.1. Perkembangan Kognitif pada anak usia sekolah

  Perkembangan kognitif terdiri atas perubahan- perubahan terkait usia yang terjadi dalam aktivitas mental. Teori yang paling terkenal tentang cara berpikir anak, dibuat oleh psikolog dari Swiss bernama Jean Piaget(1969). Menurut Piaget, intelegensia memungkinkan individu melakukan adaptasi terhadap lingkungan sehingga meningkatkan kemungkinan bertahan hidup, dan melalui perilakunya individu membentuk dan mempertahankan keseimbangan dengan lingkungan.

  Pada usia sekolah Piaget mengemukakan bahwa anak berada pada fase Operasional konkret (7 sampai 11 tahun). Pada usia ini cara berpikir menjadi semakin logis dan masuk akal. Anak- anak mampu mengklasifikasi, mengurutkan, menyusun dan mengatur fakta tentang dunia untuk menyelesaikan masalah. Mereka membentuk konsep baru tentang permanen, konservasi. Mereka meyadari bahwa faktor- faktor fisik seperti volume, berat badan, dan jumlah tetap sama sekalipun tampilan luarnya berubah. Mereka mampu menghadapi sejumlah aspek berbeda dalam sebuah situasi secara bersamaan.

  Anak usia sekolah tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi sesuatu yang abstrak, mereka menyelesaikan masalah secara konkret dan sistematis berdasarkan apa yang mereka rasakan. Cara berpikir bersifat induktif . Melalui perubahan progresif dalam proses bepikir dan berhubungan dengan orang lain, cara berpikir tidak lagi terlalu berpusat pada diri sendiri. Mereka dapat mempertimbangkan sudut pandang orang lain yang berbeda dengan sudut pandang mereka sendiri. Cara berpikir menjadi semakin tersosialisasi (Wong, 2009). Selama tahap ini, anak mengembangkan pemahaman mengenai hubungan antara sesuatu hal dan ide. Anak mengalami kemajuan dari membuat penilaian berdasarkan apa yang mereka lihat (pemikiran perseptual) sampai membuat penilaian berdasarkan alasan mereka (pemikiran konseptual). Kemampuan anak meningkat dalam menguasai simbol-simbol dan untuk menggunakan simpanan memori mengenai pengalaman masa lalu mereka untuk mengevaluasi dan menginterpretasi masa kini (Wong, 2009).

2.2. Perkembangan Psikososial pada anak usia sekolah

  Erickson membagi perkembangan psikososial pada anak menjadi lima yaitu : percaya vs tidak percaya, otonomi vs rasa malu dan ragu, inisiatif vs rasa bersalah,

  

industry vs inferiority, dan identitas vs kerancuan peran ( Supartini, 2004; Wong

2009).

  Anak usia sekolah berada pada fase industry vs inferiority. Terjadi sekitar tahun sekolah dasar. Inisatif anak membawa mereka berhubungan dengan banyak pengalaman baru. Anak menjadi lebih antusias mengenai belajar dibandingkan dengan akhir periode kanak- kanak awal yang penuh imajinasi. Kemungkian lain yang dalam tahun sekolah dasar adalah bahwa anak dapat memunculkan rasa inferior merasa tidak kompeten dan tidak produktif (Santrock, 2007).

  Anak usia sekolah ingin sekali mengembangkan keterampilan dan berpartisipasi dalam pekerjaan yang berarti dan berguna secara sosial. Mereka mendapatkan rasa kompetensi personal dan interpersonal, menerima instruksi sistematik yang digambarkan oleh budaya individual mereka, dan mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan untuk menjadi orang yang berguna, yang memberikan konstribusi dalam komunitas sosial mereka. Meluasnya ketertarikan anak pada tahun- tahun pertengahan, dan dengan tumbuhnya rasa kemandirian, anak ingin terlibat dalam tugas yang dapat dilakukan sampai selesai.

  Anak- anak memperoleh kepuasan yang sangat besar dari perilaku yang mandiri dalam menggali dan memanipulasi lingkungannya dan dari interaksi dengan teman sebaya. Sering kali pencapaian keterampilan merupakan cara untuk memperoleh keberhasilan dalam aktivitas sosial. Penguatan dalam bentuk tingkat, penghargaan materi, hak- hak istimewa tambahan dan pengakuan memberikan dorongan dan yang lebih baik. Rasa pencapaian juga melibatkan kemampuan untuk bekerja sama, bersaing dengan orang lain, dan untuk melakukan koping secara efektif dengan masyarakat. Perasaan inferioritas atau kurang berharga dapat diperoleh dari anak itu sendiri atau dari lingkungan sosial mereka. Anak- anak yang menderita keterbatasan fisik atau mental mungkin menyulitkan mereka dalam mendapatkan keterampilan tertentu dan beresiko untuk mengalami perasaan inferior. Namun, tidak ada anak yang mampu melakukan segala hal dengan baik dan anak harus belajar bahwa mereka tidak akan mampu menguasai setiap keterampilan yang mereka usahakan. Semua anak bahkan anak- anak yang biasanya memiliki perilaku yang positif dalam bekerja dan kemampuan diri yang baik akan mengalami beberapa tingkat inferioritas diri dalam keterampilan tertentu yang tidak dapat mereka kuasai (Wong, 2009).

2.3. Perkembangan Moral pada anak usia sekolah

  Kohlberg menyatakan bahwa pola pikir anak mulai berubah dari egosentrisme ke pola pikir yang lebih logis, mereka juga bergerak melalui tahap perkembangan kesadaran diri dan standar moral (Wong, 2009).

  Anak usia sekolah yang lebih besar lebih mampu menilai suatu tindakan berdasarkan niat dibandingkan akibat yang dihasilkannya. Peraturan dan penilaian tidak lagi bersifat mutlak dan otoriter serta mulai berisi lebih banyak kebutuhan dan keinginan orang lain. Untuk anak yang lebih besar, pelanggaran peraturan cenderung dilhat dalam kaitannya dengan konteks total penampakannya, reaksi dipengaruhi oleh kondisi dan moralitas peraturan itu sendiri. Walaupun anak yang lebih kecil dapat menilai suatu tindakan hanya berdasarkan benar atau salah, anak yang lebih besar menggunakan berbagai pandangan yang berbeda untuk membuat penilaian. Mereka mampu memahami dan menerima konsep memperlakukan orang lain seperti bagaimana mereka ingin diperlakukan (Wong, 2009).

2.4. Perkembangan psikoseksual pada anak usia sekolah

  Freud membagi perkembangan psikoseksual menjadi fase oral, fase anal, fase falik, fase laten dan fase genital.

  Pada anak usia sekolah (6 sampai 12 tahun) berada pada fase laten. Anak menggunakan energi fisik dan psikologis yang merupakan media untuk mengeksplorasi pengetahuan dan pengalamannya melalui aktivitas fisik maupun sosialnya. Pada awal fase laten, anak perempuan lebih menyukai teman dengan jenis kelamin yang sama, dan anak laki- laki dengan anak laki- laki. Pertanyaan anak tentang seks semakin banyak, mengarah pada sistem reproduksi. Dalam hal ini, orang tua harus bijaksana dalam merespon, yaitu menjawabnya dengan jujur dan hangat. Luas jawaban disesuaikan dengan maturitas anak. Sering kali karena begitu penasaran dengan seks, anak mungkin bertindak coba-coba dengan teman sepermainan. Oleh karena itu , apabila anak tidak pernah bertanya tentang seks, sebaiknya orang tua waspada. Peran ibu dan ayah sangat penting dalam melakukan pendekatan dengan anak, pelajari apa yang sebenarnya sedang dipikirkan anak berkaitan dengan seks (Supartini, 2004).

2.5. Perkembangan Komunikasi pada Anak Usia Sekolah

  Komunikasi yang efektif merupakan prinsip dasar dalam setiap perawatan dan begitu juga pada perawatan pediatrik. Perawat harus dipersiapkan agar menggunakan waktunya untuk menjelaskan pada anak- anak segala sesuatu yang baru dan pengalaman- pengalaman yang menakutkan, sehingga anak- anak percaya pada tenaga perawat. Karena perawatan pediatrik melibatkan seluruh keluarga, penting sekali khususnya bagi orang tua agar dilibatkan dalam diskusi tentang perawatan dan penanganan dan mereka juga perlu penjelasan tentang prosedur rumah sakit sehingga kecemasan mereka berkurang . Kebebasan bekerja sama dan komunikasi dengan orangtua harus diimbangi dengan menjaga kerahasiaan (Wong, 2009).

  Anak usia sekolah yang lebih muda kurang mengandalkan sesuatu yang mereka lihat, namun lebih mengandalkan sesuatu yang mereka ketahui ketika menghadapi masalah baru. Mereka menginginkan penjelasan dan alasan untuk segala sesuatu tetapi tidak memerlukan verifikasi di luar hal tersebut. Mereka tertarik pada aspek fungsional semua prosedur, objek, dan aktivitas. Anak usia tersebut ingin mengetahui mengapa sebuah objek ada, mengapa objek tersebut digunakan, bagaimana cara kerjanya dan apa tujuan dari penggunanya. Anak perlu mengetahui tindakan apa yang yang akan dilakukan terhadap mereka dan terutama mengapa hal tersebut dilakukan

  Pada anak usia sekolah sudah menggunakan bahasa sebagai alat pertukaran verbal dalam berkomunikasi dan tidak begitu egosentris dalam orientasi dapat mempertimbangkan pendapat orang lain. Usia sekolah dasar merupakan masa berkembang pesatnya kemampuan mengenal dan menguasai perbendaharaan kata.

  Pada masa awal sekolah dasar (usia 6 tahun) anak sudah menguasai sekitar 2500 kata, usia 8 tahun 20000 kata dan pada masa akhir (usia 11-12 tahun) telah menguasai sekitar 50000 kata (Betz & Sowden 2002; Abin Syamsudin M, 1991; Nana Syaodih S, 1990).

  Anak usia sekolah memiliki peningkatan kekhawatiran terhadap integritas tubuhnya. Karena tubuh merupakan hal yang penting dan bernilai khusus, anak menjadi sangat sensitif terhadap segala sesuatu yang dianggap mengancam atau menjadi indikasi timbulnya cedera pada tubuhnya. Kekhawatiran ini mengarah juga pada kepemilikan barang – barang mereka, sehingga mereka dapat tampak bereaksi secara berlebihan terhadap kehilangan atau ancaman kehilangan objek- objek yang sangat mereka sukai. Dengan membantu anak mengungkapkan kekhawatiran mereka, perawat akan meyakinkan dan mengimplementasikan aktivitas yang dapat mengurangi kekhawatiran anak. Misalnya, jika anak pemalu tidak suka menjadi pusat perhatian biarkan anak tersebut dengan caranya berbicara dan berhubungan dengan anak lain dalam keluarga atau kelompok. Ketika anak merasa lebih nyaman, mereka biasanya akan menyampaikan ide- ide pribadi, perasaan, dan interpretasi dari setiap kejadian.

  Anak yang lebih tua memiliki penggunaan bahasa yang adekuat dan memuaskan. Anak tersebut tetap memerlukan penjelasan yang relatif sederhana tetapi kemampuan mereka untuk berpikir konkret dapat memfasilitasi komunikasi dan penjelasan.

  Secara umum, anak memiliki cukup pengalaman dengan kesehatan dan tenaga kesehatan untuk memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang diharapkan dari mereka secara umum (Wong, 2009).

3. Hospitalisasi 3.1. Defenisi hospitalisasi

  Hospitalisasi adalah suatu keadaan sakit dan perlu dirawat dirumah sakit yang terjadi pada anak maupun keluarga. Hospitalisasi sering kali menjadi krisis pertama yang harus dihadapi anak . Anak- anak, terutama selama tahun-tahun awal, sangat rentan terhadap krisis penyakit dan hospitalisasi karena stres akibat perubahan dari keadaan sehat biasa dan rutinitas lingkungan, dan anak memiliki jumlah mekanisme koping yang terbatas untuk menyelesaikan stressor(kejadian-kejadian yang menimbulkan stres). Stresor utama dari hospitalisasi antara lain adalah perpisahan, kehilangan kendali,cedera tubuh dan nyeri. Reaksi anak terhadap krisis-krisis tersebut dipengaruhi oleh usia perkembangan mereka, pengalaman mereka sebelumnya dengan penyakit, perpisahan, atau hospitalisasi, keterampilan koping yang mereka miliki dan dapatkan, keparahan diagnosis dan sistem pendukung yang ada (Wong, 2009).

  Perawatan anak dirumah sakit memaksa anak untuk berpisah dengan lingkungan yang dicintainya, yaitu keluarga dan terutama kelompok sosialnya dan menimbulkan kecemasan. Kehilangan kontrol juga terjadi akibat dirawat di rumah sakit karena adanya pembatasan aktivitas. Kehilangan kontrol tersebut berdampak pada perubahan peran dan keluarga, anak kehilangan kelompok sosialnya karena ia biasa melakukan kegiatan bermain atau pergaulan sosial, perasaan takut mati, dan adanya kelemahan fisik. Reaksi terhadap perlukaan atau rasa nyeri akan ditunjukkan dengan ekspresi baik secara verbal maupun nonverbal karena anak sudah mampu mengomunikasikannya (Supartini, 2004).

3.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi anak terhadap Hospitalisasi

  Reaksi anak terhadap sakit berbeda-beda sesuai tingkat perkembangan anak dan dipengaruhi oleh : a.

  Usia Anak Usia mempengaruhi terhadap dampak hospitalisasi. Anak usia prasekolah menginpretasikan hospitalisasi sebagai hukuman dan perpisahan dengan orang tua sebagai kehilangan kasih sayang. Pada anak usia sekolah perasaan hilang kendali dikaitkan dengan bergantung kepada orang lain dan gangguan peran dalam keluarga dan takut akan cedera dan nyeri tubuh merupakan akibat dari rasa takut terhadap penyakit, kecacatan, dan kematian (Muscari,2005). b.

  Kesiapan anak dalam menjalani perawatan dirumah sakit Kesiapan juga berpengaruh terhadap hospitalisasi. Anak yang sudah siap masuk rumah sakit dengan anak yang belum siap masuk rumah sakit memiliki perbedaan dalam hal koping.

  c.

  Pengalaman dirawat di rumah sakit sebelumnya Berbagai perasaan yang sering muncul pada anak, yaitu cemas, marah, sedih, takut dan rasa bersalah, perasaan tersebut dapat timbul karena menghadapi sesuatu yang baru dan belum pernah dialami sebelumnya. Hal tersebut terutama terjadi pada mereka yang baru pertama kali mengalami perawatan dirumah sakit (Supartini, 2004).

  d.

  Support sytem yang tersedia Dukungan juga sangat penting dalam menghadapi hospitalisasi pada anak.

  Anak memerlukan dukungan selama hospitalisasi dan untuk anak yang lebih kecil sumber rasa nyaman terbesar adalah orangtua (Wong, 2009).

  e.

  Keterampilan koping dalam menangani stressor Rasa takut dan ansietas tentang penyakit atau hospitalisasi yang meningkat mempengaruhi kemampuan mengatasi masalah dan melakukan koping (Muscari,2005).

3.3. Stressor Hospitalisasi

  Berikut ini adalah stressor utama dari hospitalisasi : a.

  Cemas akibat perpisahan Respon perilaku anak akibat perpisahan dibagi dalam tiga tahap, yaitu: 1. Tahap protes (phase of protest)

  Tahap ini dimanifestasikan dengan menangis kuat, menjerit dan memanggil ibunya atau menggunakan tingkah laku agresif seperti menendang, menggigit, memukul, mencubit, mencoba untuk membuat orang tuanya tetap tinggal dan menolak perhatian orang lain . Secara verbal anak menyerang dengan rasa marah, seperti mengatakan pergi. Perilaku tersebut dapat berlangsng dari beberapa jam sampai beberapa hari. Perilaku protes tersebut seperti menangis akan terus berlanjut dan hanya akan berhenti bila anak merasa kelelahan. Pendekatan dengan orang asing yang tergesa-gesa akan meningkatkan protes.

2. Tahap putus asa (phase of despair)

  Pada tahap ini anak tampak tenang tangisnya berkurang, tidak aktif, kurang berminat untuk bermain, tidak ada nafsu makan., menarik diri, tidak mau berkomunikasi, sedih, apatis dan regresi(misalnya mengompol atau menghisap jari). Pada tahap ini,kondisi anak mengkhawatirkan karena anak menolak untuk makan, minum dan bergerak.

3. Tahap menolak (phase of denial)

  Pada tahap ini secara samar- samar anak menerima perpisahan, mulai tertarik pada apa yang disekitarnya dan membina hubungan dangkal dengan orang lain.

  Anak mulai kelihatan gembira . Fase ini biasanya terjadi setelah perpisahan yang lama dengan orang tua.

  Meskipun secara umum anak usia sekolah lebih mampu melakukan koping terhadap perpisahan, stress dan sering kali disertai regresi akibat penyakit atau hospitalisasi dapat meningkatkan kebutuhan mereka akan keamanan dan bimbingan dari orangtua. Hal ini terutama berlaku bagi anak- anak usia sekolah yang masih kecil yang baru saja meninggalkan rasa aman di rumah dan berjuang dengan krisis penyesuaian di sekolah. Anak- anak usia sekolah pertengahan dan akhir dapat lebih bereaksi terhadap perpisahan dengan aktivitas mereka yang biasa dan teman sebaya daripada ketidakhadiran orangtua.

  Anak- anak ini memiliki aktivitas fisik dan mental yang tinggi yang kerap kali menemukan ketidaksesuaian dengan lingkungan rumah sakit dan bahkan meskipun ketika mereka tidak menyukai sekolah, mereka mengakui kehilangan rutinitasnya dan merasa khawatir mereka tidak mampu berkompetisi atau “menyesuaikan diri” dengan teman- teman sekelas mereka pada saat mereka kembali masuk sekolah. Kesepian, bosan, isolasi, dan depresi umum terjadi. Reaksi- reaksi semacam itu terjadi lebih sebagai akibat dari perpisahan dari pada akibat kekhawatiran terhadap penyakit, pengobatan, atau lingkungan rumah sakit. b.

  Kehilangan kendali Salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah stres akibat hospitalisasi adalah jumlah kendali yang orang tersebut rasakan. Kurangnya kendali akan meningkatkan persepsi ancaman dan dapat mempengaruhi keterampilan koping anak- anak. Banyak situasi rumah sakit yang menurunkan jumlah kendali yang dirasakan anak. Meskipun stimulasi sensorik yang biasanya berkurang, namun stimulus rumah sakit lainnya seperti cahaya, suara, dan bau dapat berlebihan.

  Tanpa pemahaman tentang jenis lingkungan kondusif untuk pertumbuhan anak yang optimal, pengalaman rumah sakit dapat menjadi hal yang dapat memperlambat perkembangan dan yang lebih buruk membatasinya secara permanen. Karena kebutuhan anak-anak sangat bervariasi yang bergantung pada usia mereka maka area utama mengenai kehilangan kendali dalam hal pembatasan fisik, perubahan rutinitas atau ritual, dan ketergantungan didiskusikan berdasarkan setiap kelompok usia.

  Anak usia sekolah karena mereka berusaha keras untuk memperoleh kemandirian dan produktivitas biasanya rentan terhadap kejadian-kejadian yang dapat mengurangi rasa kendali dan kekuatan mereka. Secara khusus perubahan peran keluarga, ketidakmampuan fisik, takut terhadap kematian pelantaran, atau cedera permanen kehilangan penerimaan kelompok sebaya, kurangnya produktivitas, dan ketidakmampuan untuk mengadapi stres sesuai harapan budaya yang ada dapat menyebabkan kehilangan kendali. Salah satu contoh c.

  Cedera tubuh dan nyeri Takut akan cedera tubuh dan nyeri sering terjadi diantara anak- anak. Dalam merawat anak, perawat harus menghormati kekhawatiran anak terhadap cedera tubuh dan reaksi terhadap nyeri sesuai dengan periode perkembangannya. Pada anak usia sekolah pemahaman anak tentang sakit dan nyeri adalah pemikiran operasional konkret yaitu : a.

  Kontaminasi : Menganggap penyebab sakit adalah manusia, benda, atau tindakan eksternal terhadap anak yang bersifat buruk atau membahayakan bagi tubuh (misal : menderita flu karena anak tidak memakai topi) b. Internalisasi : Menganggap penyakit memiliki penyebab eksternal namun berlokasi didalam tubuh ( menderita flu karena menghirup udara dan bakteri) .

  Karakteristik respon anak terhadap nyeri : Dapat terlihat semua perilaku anak kecil, terutama selama prosedur yang menimbulkan nyeri namun berkurang pada saat periode antisipasi. Sikap berdalih seperti tunggu sebentar atau saya belum siap. Rigiditis otot seperti mengepalkan tangan, jari memucat, gigi bergemeretak, ekstremitas berkontraksi, tubuh kaku, mata tertutup, dahi berkerut.

  Pada anak usia sekolah, ketakutan mendasar terhadap sifat fisik dari penyakit muncul pada saat ini. Anak usia sekolah tidak begitu khawatir terhadap nyeri jika dibandingkan dengan disabilitas, pemulihan yang tidak pasti, atau kemungkinan kematian. Anak yang menderita penyakit kronis lebih cenderung mengidentifikasi prosedur intrusif sebagai hal yang menimbulkan stres, sedangkan anak- anak yang menderita penyakit akut cenderung mengindikasikannya dengan gejala fisik. Anak perempuan cenderung mengekspresikan ketakutan yang lebih banyak dan lebih kuat dibandingkan dengan anak laki- laki, dan hospitalisasi sebelumnya tidak berdampak pada frekuensi atau intensitas ketakutan tersebut. Karena kemampuan kognitif mereka sedang berkembang, anak usia sekolah waspada terhadap pentingnya berbagai penyakit berbeda, pentingnya anggota tubuh tertentu, kemungkinan bahaya pengobatan, konsekuensi seumur hidup akibat cedera permanen atau kehilangan fungsi tubuh, dan makna kematian (Wong, 2009).

3.4. Eksplorasi perasaan anak selama dirawat di Rumah Sakit

  Eksplorasi adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan tujuan memperoleh lebih banyak informasi tentang suatu keadaan (KBBI, 2005). Selama dirawat dirumah sakit banyak perasaan yang muncul pada seorang anak. Sering kali anak melakukan sesuatu didasarkan atas dasar perasaan, misalnya perasaan suka ataupun benci, dan lainnya. Kadang- kadang terasa begitu kuat, kadang- kadang lemah, atau kadang juga samar- samar. Kondisi tersebut dinamakan warna afektif. Apabila warna afektif kuat, luas dan terarah maka disebut emosi.

  Bentuk- bentuk emosi : 1.

  Takut Takut adalah perasaan yang mendorong individu untuk menjauhi sesuatu dan sedapat mungkin menghindari kontak dengan hal itu. Biasanya anak takut karena

  2. Khawatir Khawatir adalah rasa takut yang tidak mempunyai objek yang jelas dan tanpa objeknya berlangsung lama sekali, kekhawatirannya menyebabkan rasa tidak senang, gelisah, tegang, tidak tenang dan rasa tidak aman (Hidayat,2009).

  3. Cemburu Cemburu merupakan bentuk khusus dari kekhawatiran yang didasari oleh kurang adanya keyakinan terhadap diri sendiri dan ketakutan akan kehilangan kasih sayang dari seseorang. Rasa cemburu timbul dari kemarahan yang menimbulkan sikap jengkel dan ditujukan kepada orng lain.

  4. Marah Sumber utama kemarahan adalah hal- hal yang mengganggu aktivitas untuk sampai tujuannya, dengan demikian ketegangan yang terjadi dalam aktivitas itu tidak mereda, bahkan bertambah. Untuk menyalurkan ketegangan itu individu yang bersangkutan menjadi marah (Hidayat,2009).

  5. Bosan Perasaan sudah tidak suka lagi, jemu menghadapi suasana yang monoton

  (KBBI, 2005). Anak usia sekolah sering merasakan bosan selama dirawat di rumah sakit (Supartini, 2004).

Dokumen yang terkait

Efektivitas Komunikasi Terapeutik Terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan Orang Tua yang Anaknya Dirawat di Ruang ICU RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2013

2 64 84

1. Biblioterapi 1.1 Defenisi - Pengaruh Biblioterapi Terhadap Kecemasan Anak yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan

0 2 21

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Komunikasi Terapeutik - Efektifitas Komunikasi Terapeutik Terhadap Penurunan Kecemasan Ibu Bersalin Seksio Sesarea di RSUD dr. Pirngadi.

0 0 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku 1. Pengertian perilaku - Perilaku Suami dalam Menghadapi Persalinan Istri Selama Seksio Sesaria di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2012

1 1 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Spiritualitas 1.1 Defenisi Spiritualitas - Tingkat Spiritualitas dan Kecemasan Ibu Primigravida di RSUD Dr. Pirngadi Medan

0 0 16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. Konsep Bermain 1.1 Defenisi bermain - Pengaruh Terapi Bermain Terhadap Kecemasan Akibat Hospitalisasi Pada Anak Usia Sekolah Yang di Rawat Di RSUD Dr. Pirngadi Medan

0 0 24

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Musik 2.1.1 Pengertian Terapi Musik - Pengaruh Terapi Musik Terhadap Stress Akibat Rawat Inap Pada Anak Usia Sekolah di RSUD Dr. Pirngadi Medan

0 0 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Komunikasi 1.1 Defenisi Komunikasi - Hubungan Pola Komunikasi Keluarga dengan Tingkat Depresi Lansia di Kelurahan Padang Bulan Medan

0 0 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep ASI 2.1.1 Defenisi - Gambaran Pemberian ASI oleh Tenaga Kesehatan yang Bekerja di RSUD dr. Pirngadi Medan

0 0 18

Pengaruh Teknik Orang Ketiga Terhadap Eksplorasi Perasaan Anak Usia Sekolah Selama Dirawat di RSUD dr. Pirngadi Medan

0 0 39