MEDIA MASSA DAN HEGEMONI NEGARA TERHADAP (1)

i

MEDIA MASSA DAN HEGEMONI NEGARA TERHADAP REALITAS POLITIK
PEREMPUAN:
Analisis Gramscian Atas Proses Perjuangan Affirmative Action, Kuota 30 Persen
Marjinalisasi terhadap kaum perempuan sudah lama berlangsung dalam sejarah
kehidupan manusia. Perkembangan sejarah kemudian mencatat bahwa marjinalisasi itu
tidak semakin berkurang melainkan justru meningkat dan mengakar dalam bentuk budaya
dan nilai-nilai estetika yang di yakini kebenaran dan keabsahannya oleh sebagian besar
manusia, bahkan terkadang oleh kaum perempuan itu sendiri.
Situasi ini lalu melahirkan sebuah sistem budaya patriarkhi yang sangat
merugikan kaum perempuan. Dan sistem budaya patriarkhi ini semakin kuat dan berakar,
serta seakan memiliki legalitas kebenaran, ketika Negara, sebagai struktur dominan
dalam masyarakat, ikut memelihara dan melakukan ‘pembiaran’ terhadap nilai nilai yang
terjadi dan merugikan kaum perempuan.
Hegemoni dan keterlibatan negara terhadap marjinalisasi yang dialami kaumperempuan sangat nyata dan berpengaruh, hal ini disebabkan oleh kekuasaan negara,
yang memiliki legalitas untuk membuat ketentuan/aturan yang berlaku dimasyarakat,
termasuk didalamnya segala ketentuan yang menyangkut kebijakan terhadap kaum
perempuan.
Dalam konteks sosial, norma norma dan segala nilai yang berlaku di masyarakat
juga sangat dipengaruhi oleh budaya patriarkhis, yang jelas jelas menyudutkan posisi

kaum perempuan.
Nilai nilai budaya patriarkhis ini lalu seakan memperoleh kekuatan pembenaran,
ketika negara, yang dalam hal ini disebut Pemerintah, melakukan ‘pembiaran’, dan dalam
beberapa hal bahkan melakukan justifikasi terhadap nilai nilai yang berlaku dimasyarakat
melalui kebijakan-kebijakan yang sangat merugikan kaum perempuan. Tingkah laku
negara seperti ini, pada akhirnya menciptakan dan ‘status quo’ terhadap nilai nilai yang
merugikan kaum perempuan.
Dikalangan kaum perempuan sendiri, tindakan negara tersebut lalu melahirkan
sikap apatisme yang oleh sebagian masyarakat, dan juga negara, dianggap sebagai
‘pengakuan’ dan ‘penerimaan’ terhadap realitas yang terjadi.
Pentingnya mempengaruhi kebijakan negara agar lebih berpihak kepada kaum
perempuan sudah banyak di pahami oleh kaum perempuan itu sendiri. Akan tetapi
Negara seringkali membutuhkan pressure untuk melahirkan kebijakan kebijakan yang
lebih sensitive gender. Dan pressure terhadap negara hanya dapat dilakukan oleh kaum
perempuan jika mereka memiliki posisi tawar ( Bargaining position ) yang seimbang,
atau lebih kuat dari negara.
Dalam konsep Antonio Gramsci, Seorang Marxist Humanis dari Italia,
keseimbangan posisi tawar antara gerakan perempuan, yang direpresentasikan sebagai
civil society, dengan negara, sebagai political society akan melahirkan pertarungan ide
( War of Position ) antara keduanya. Dalam konsep Gramsci, War of Position itu sendiri

dapat terjadi jika terdapat hubungan simbiosis antar struktur yang akan membentuk
superstruktur bagi terciptanya historical block

ii

Gramsci meyakini bahwa hegemoni negara bisa saja kalah, dan pertarungan ide
dapat dimenangkan oleh kaum perempuan, sehingga akan muncul nilai-nilai baru yang
lebih berpihak kepada kaum perempuan. Fase ini disebut oleh Gramsci sebagai gerakan
‘counter hegemoni’, dimana kaum perempuan mampu tampil dan melahirkan hegemoni
baru, setelah memenangkan pertarungan ide melawan hegemoni lama dan
sekaligus ,memperoleh kekuasaan civil society.
Dalam upaya melakukan ‘counter hegemoni’, kaum perempuan, sebagaimana di
sebutkan diatas, harus memiliki posisi tawar (bargaining position) yang tinggi. Posisi
tawar yang tinggi sangat dipengaruhi oleh banyak instrumen pendukung, yang dalam
bahasa Gramsci disebut sebagai struktur.
Instrumen pendukung yang saling berhubungan secara simbiosis akan mendukung
terbentuknya kesadaran masyarakat, terutama kaum perempuan itu sendiri, terhadap
hegemoni patriarkhis yang berlaku, yang pada akhirnya akan melahirkan kesadaran
komunal yang sangat diperlukan untuk merubah nilai-nilai yang selama ini merugikan
kaum perempuan di politik.

Kesadaran masyarakat tentu saja tidak dapat diharapkan muncul dengan
sendirinya sebagai bola salju yang akan meruntuhkan hegemoni dominan. Perlu kondisi
factual yang akan menjadi stimulus bagi pencerahan nilai nilai baru yang lebih berpihak
pada keadilan terhadap kaum perempuan. Hal ini disebabkan karena kesadaran
masyarakat juga dipengaruhi oleh berbagai instrumen yang berada dan terjadi dalam
masyarakat itu sendiri yang salah satunya adalah Media Massa.
Kebutuhan akan dukungan media massa menjadi pilihan yang tidak dapat
dihindari. Hal ini disebabkan Media massa memiliki gaung yang lebih luas dan
cenderung lebih dapat diterima oleh publik disebabkan kelebihan-kelebihan media itu
sendiri yang salah satunya adalah, Media massa mampu menempatkan dirinya sebagai
instrumen yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh hubungan saling
ketergantungan yang kuat antara media massa dengan masyarakat itu sendiri.
Yang menjadi masalah adalah ketika Media massa , sebagai elemen penting untuk
menaikan posisi tawar kaum perempuan terhadap negara, justru berperan sebagai
pendukung budaya patriarkhis yang berlaku ditengah masyarakat. Situasi menjadi
semakin tidak menguntungkan bagi gerakan kaum perempuan ketika negara, yang juga
memiliki kepentingan dengan media massa, memanfaatkan kekuasaannya untuk
melakukan ‘perselingkuhan social ( social conspiration) dengan media massa.
Social conspiration antara negara dengan media massa sangat mungkin terjadi
terutama jika para pemilik media itu sendiri adalah bagian dari masyarakat politik atau

memiliki kepentingan dengan masyarakat politik yang berkuasa.
Secara umum, Media dibedakan dalam dua bentuk, yaitu Media Komunitas dan
Media Komersial. Dalam pelaksanaannya kedua bentuk Media ini terkadang bias dan
saling terkait satu sama lain, hal ini disebabkan karakteristik keduanya sebagai Media.
Namun ada beberapa ciri dasar yang membedakan sifat kedua bentuk Media tersebut.
Perbedaan itu disebabkan oleh visi dan misi dari masing masing Media.
Secara definitif Media Komunitas dapat diartikan sebagai Media yang dimiliki /
dikelola oleh sekelompok orang / institusi, yang bertujuan untuk kepentingan subjektive
mereka. Media komunitas lebih banyak dipakai sebagai sarana promosi dan terkadang

iii

provokasi bagi kepentingan kelompok, yang lalu berakibat media jenis ini seringkali
harus melawan kaidah kaidah professional dalam pembuatan sebuah berita.
Media bentuk ini, karena nilai subjektifitasnya yang tinggi, cenderung tidak
memiliki kredibilitas di mata masyarakat yang sudah maju dalam membaca dan
mengamati realita, apalagi jika pembuatan beritanya cenderung tidak cerdas dan
provokatif.
Media seperti ini sangat kecil kemungkinannya dapat dijadikan sarana pembentuk
opini publik yang dapat digunakan, baik oleh masyarakat sipil maupun masyarakat

politik, meski itu bukan berarti bahwa Media jenis ini tidak mungkin memperoleh
popularitas, terutama jika mereka mampu mengangkat isu-isu yang yang bersifat
’common sense’ dan dianggap membela ‘kepentingan umum’ / publik.
Namun dalam sebuah masyarakat sipil yang tertindas, dukungan terhadap media
seperti ini cenderung bersifat ‘silent sympathy’ yang lalu melahirkan ‘silent support’
dalam berbagai bentuk, yang diakibatkan oleh ketakutan masyarakat untuk melawan
hegemoni penguasa.
Pada beberapa negara tiran yang totaliter, media jenis ini bahkan sering menjadi
legitimasi pembenaran atas realitas yang terjadi ditengah masyarakat. Contoh nyata
adalah gerakan revolusi kaum buruh di Polandia, yang dengan cerdas memanfaatkan
media komunitas mereka untuk menyebarkan, bukan hanya realitas dalam masyarakat,
namun juga ide ide tentang nilai / ideologi alternatif yang diyakini dapat lebih memberi
kebaikan bersama.
Dalam realitasnya Media jenis ini cenderung harus berkolaborasi dengan media
media komersial untuk mendapatkan legitimasi lebih terhadap berita berita yang mereka
buat, meski kolaburasi itu tidak bersifat keharusan.
Mengingat sifatnya yang demikian, Media komunitas pada umumnya lebih
‘ideological oriented’ daripada ‘profit oriented’, namun ini tidak berarti bahwa kapital
sama sekali tidak berperan didalamnya, karena walau bagaimanapun tetap dibutuhkan
sumber dana untuk mengadakan dan memelihara sebuah institusi media. Namun bagi

sebuah media komunitas, kendala kapital biasanya dapat diatasi dengan semangat
kebersamaan dan militansi untuk berkorban bagi berhasilnya ideology yang mereka anut.
Media komersial, (penulis lebih menyukai kata ‘komersial’ daripada
‘professional’ karena kata ‘professional’ penulis anggap lebih tepat jika dipakai untuk
menilai kapasitas berita), secara umum adalah media yang dikelola oleh individu /
kelompok sebagai sebuah industri.
Dalam konteks umum, industri selalu berkaitan erat dengan kapitalisme Ini
berarti bahwa sebuah media komersial dalam perjalanannya selalu berkait erat dengan
nilai nilai kapitalisme yang berlaku. Karena itu sebuah media komersial sangat
bergantung kepada ‘nilai jual’ dan seberapa banyak financial yang dihasilkan.
Pada tataran selanjutnya media komersial cenderung menjadi ‘profit oriented’
daripada ‘ideological oriented’. Namun ini tidak berarti bahwa sebuah media komersial
sama sekali tidak memiliki ideologi, apalagi jika ‘profit oriented’ itu sendiri
dikatogerikan sebagai sebuah ideologi.
Karena sifatnya yang ‘profit oriented’, tanpa harus menafikan bahwa banyak juga
media komersial yang memiliki tanggung jawab moral karena etika proffesional yang

iv

mereka junjung tinggi, sebuah media komersial cenderung menjadi pengikut agenda

publik, dimana berita berita yang mereka muat selalu mengikuti trend peristiwa yang
sedang menjadi sorotan publik.
Hal ini wajar mengingat publik sendiri cenderung menyukai informasi terkini
yang sedang berkembang ditengah masyarakat yang didalamnya terdapat pengetahuan
dalam berbagai bentuk.
Media, sebagai sebuah institusi, didalamnya terdapat individu individu dengan
berbagai latar belakang pemahaman dan kepentingan. Ketika individu individu itu
menyatu dalam sebuah institusi media, maka yang terjadi adalah peleburan berbagai latar
belakang pemahaman dan kepentingan menjadi satu ideologi, yaitu ideologi institusi.
Bentuk ideologi institusi sebuah media sangat ditentukan oleh kapital power, yang
dalam hal ini diwakili oleh pemilik media. Dalam merumuskan kebijakannya Kapital
power itu sendiri dipengaruhi oleh banyak instrumen selain ‘audiences needs’ yang
menjadi dasar ‘profit oriented’.
Negara, yang dalam konteks ini direpresentasikan sebagai political society, sangat
berkepentingan dengan produk sebuah media disebabkan oleh kekuatan media itu karena
kedekatannya dengan masyarakat. Hal inilah yang mendasari munculnya kontrol negara
atas media. Situasi ini menjadi sangat mungkin mengingat Negara, dengan segenap
instrumentnya yang memiliki legalitas dan kewewenangan, ikut berperan dalam
menentukan hidup matinya institusi media. ‘Perselingkuhan / Conspirasi’ antara Media
dengan Negara menjadi sangat mungkin terjadi, apalagi jika kapital power dalam media

merupakan bagian dari masyarakat politik atau memiliki kepentingan dengan masyarakat
politik itu sendiri..
Dari uraian diatas maka disimpulkan bahwa produk sebuah media tergantung
pada factor-faktor :
1). Ideologi subjektif Media
2). Pemahaman dan Kepentingan individu pelaku media
3). Kebutuhan Media atas Masyarakat
4). Kebutuhan Masyarakat terhadap media
5). Kepentingan Negara/Masyarakat politik terhadap produk media
6). Ketergantungan Media terhadap Negara.
Uraian tentang Media di atas menghasilkan kesimpulan bahwa mengharapkan
dukungan ideologis Media, dalam hal ini Media Industri, sangat sulit didapat. Dukungan
dari Media hanya dapat di peroleh jika kaum aktifis perempuan mampu mengangkat isuisu tentang perjuangan kaum perempuan menjadi isu-isu yang mampu menarik rasa
keingintahuan masyarakat.
Pada sisi lain, dalam suatu masyarakat yang menganut nilai budaya patriarkhis,
berita dengan ‘engel’ atau sudut pandang yang berbeda tentang perempuan dapat saja di
manfaatkan oleh media menjadi sebuah nilai jual yang pada akhirnya menguntungkan
media itu sendiri. Hal ini berarti bahwa hubungan yang saling menguntungkan antara
Media dengan gerakan perjuangan perempuan menjadi sesuatu yang penting dalam
konteks mengharapkan dukungan media.


v

Kaum perempuan, disamping harus memiliki media komunitas sendiri, juga harus
mampu mengoptimalkan fungsi media komunitas yang mereka miliki guna melahirkan
isu-isu yang mampu menarik minat media Industri, yang selama ini banyak menghasilkan
berita tentang perempuan dari sudut eksploitasi phisik semata.
Dalam konteks ini, komunikasi intensif antara media komunitas kaum perempuan
dengan media industri menjadi sangat penting. Media industri dapat dan seringkali luput
melihat sudut pandang berbeda tentang gerakan perjuangan perempuan dari kaca mata
kapitalis mereka, dan pada situasi ini, media komunitas kaum perempuan berperan
sebagai ‘pengingat’ yang mampu memberi stimulus agar isu-isu yang mereka anggap
penting dapat tersalurkan kemasyarakat melalui media industri yang kemudian akan
mengangkatnya meski dengan sudut pandang kapitalis mereka.
Ini akan berarti bahwa media ideologis kumunitas kaum perempuan harus mampu
berkompromi dengan nilai-nilai kapitalis yang dianut oleh media industri tanpa harus
mengorbankan ideologi mereka.
Kompromi yang cerdas adalah satu satunya cara bagi kaum perempuan untuk
dapat meraih dukungan dari media industri. Tanpa suatu kompromi, akan sangat sulit
bagi kaum perempuan untuk dapat meraih dukungan media, terlebih jika nilai-nilai yang

ditawarkan bersifat kontra produktif dengan kepentingan kapitalis media industri itu
sendiri.
Media massa, sebagai sebuah institusi yang memiliki ideology kapital, memang
bukan tidak mungkin dimanfaatkan oleh gerakan kaum perempuan untuk
memperjuangkan ide ide nya, terutama jika mengingat bahwa ideology kapitalis sangat
menekankan pada orientasi financial (profit oriented).
Orientasi financial itu sendiri sangat dipengaruhi oleh seberapa banyak sebuah
media industri mampu meraih peminat dikalangan masyarakat. Sementara masyarakat
sendiri, meski dengan pola budaya patriarkhis yang mereka miliki, juga sangat memiliki
kepentingan akan pengetahuan, yang sebagian besar dapat mereka peroleh melalui media
industri.
Rasa keingintahuan masyarakat terhadap hal hal baru maupun situasi yang sedang
berkembang ditengah mereka merupakan celah yang dapat dimanfaatkan oleh gerakan
kaum perempuan untuk ‘memaksa’ media industri berperan sebagai sarana sosialisasi
perjuangan mereka.
Diperlukan upaya yang cerdas dan konsisten dari kaum perempuan untuk terus
mengangkat isu isu perjuangan agar mampu bermain dalam ‘arena pasar’ yang laku jual,
agar dapat terus memaksa media industri berperan sebagai sarana sosialisasi mereka,
sehingga pada akhirnya dapat tercipta opini publik yang lebih mendukung ide ide yang
mereka perjuangkan. Opini publik inilah yang lalu akan menjadi salah satu instrumen

penting untuk menaikan posisi tawar mereka terhadap negara.
Perjuangan counter hegemoni kaum perempuan sangat sulit dilakukan jika
perjuangan dilakukan secara parsial / terpecah. Sejarah Indonesia mencatat bahwa spirit
individual Kartini maupun ‘fighting movement’ seorang Dewi sartika, ternyata tidak
memiliki posisi tawar signifikan untuk mengubah nilai budaya yang ada, bahkan pada
tataran ‘melintas tembok’ sekalipun.

vi

Pada konsep ini jelas bahwa ‘ideologi pembebasan’ yang selama ini ‘dianggap’
sebagai ideology pejuang perempuan, ternyata tidak cukup ampuh untuk menambah daya
gerakan. Hal ini disebabkan karena ‘pembebasan’ memberi konotasi yang lebih bersifat
‘personal’ ataupun ‘golongan’. Kata ‘pembebasan’ dapat melahirkan intepretasi beragam
sesuai keadaan dan latar belakang serta kepentingan individual atau kelompok perempuan
itu sendiri.
Hal ini yang melatarbelakangi asumsi, bahwa kesamaan visi dan misi dari seluruh
elemen gerakan kaum perempuanlah yang akan mampu melahirkan energi besar kaum
perempuan untuk mencapai tujuan perjuangan. Dan energi besar itu adalah ‘collective
will’ dari kalangan perempuan itu sendiri. Dari sini jelas bahwa menjadikan ‘collective
will’ sebagai sebuah ideologi perjuangan merupakan sebuah keharusan agar ide ide
perjuangan kaum perempuan memiliki energi yang konstant dan signifikan serta bersifat
menyeluruh.
Dalam penyusunan disertasi ini, Penulis menggunakan metode Analisis isi
Kualitatif, untuk menemukan tema-tema utama yang dikandung dalam teks dua media
atau surat kabar terbesar di Indonesia, yaitu Kompas dan Media Indonesia, yang
berhubungan dengan proses perjuangan kaum perempuan meraih kuota 30 persen di
Parlemen.
Untuk memahami dan mengangkat realitas dibalik realitas yang muncul, termasuk
dalam menganalisis isi kedua Media tersebut, Penulis memakai paradigma kritis dengan
menggunakan teori Marxist Humanist Antonio Gramsci, yang didalamnya terdapat
konsep hegemoni-counter hegemoni antara masyarakat sipil dan masyarakat politik
dengan menyimak peran media massa diantara keduanya.
Dari hasil penelitian dan analisa yang penulis lakukan terhadap gerakan perjuangan kaum
perempuan meraih kuota 30 % di Parlemen, beberapa temuan yang dapat disimpulkan
diantaranya adalah :
1.
2.
3.
4.
5.

Sistem budaya patriarki masih berlangsung di masyarakat dan didukung oleh
negara bahkan oleh sebagian perempuan itu sendiri sehingga menciptakan realitas
yang merugikan kaum perempuan.
Realitas yang terjadi mengakibatkan marjinalisasi kaum perempuan dalam
berbagai bidang, baik sosial,politik,ekonomi maupun budaya.
Keberadaan perempuan dalam kekuasaan adalah penting guna memberi warna
bagi lahirnya kebijakan-kebijakan publik yang lebih sensitive gender.
Keberadaan perempuan dalam kekuasaan hanyalah sebuah fase perjuangan
( affirmative action ) dari beberapa fase yang harus dilalui sebelum mencapai
tataran tujuan.
Kaum Perempuan membutuhkan ideologi yang komunal untuk menjamin
kontinuitas perjuangan yang memang belum selesai, dan ideologi yang dimaksud
adalah ‘collective will’, sementara kesetaraan dan keadilan gender serta
‘pembebasan’ lebih tepat ditempatkan dalam kerangka tujuan, dan bukan
ideologi.

vii

6.

Keberadaan perempuan dalam kekuasaan akan menjadi percuma ketika mereka
tidak memiliki ‘collective will’ sebagai ideology perjuangan. ( Lihat point 3 dan
4)
7.
Perjuangan kaum perempuan belum selesai. Kuota 30 % hanya merupakan
affirmative action menuju situasi yang ideal bagi kaum perempuan. Gerakan
counter hegemoni kaum perempuan Indonesia baru berada pada fase awal.
8.
Tujuan dari gerakan kaum perempuan Indonesia pada dasarnya adalah keadilan
dan kesetaraan gender yang indikatornya adalah perubahan nilai ditengah
masyarakat.
9.
Affirmative action kuota 30 % belum dapat dijadikan indikator keberhasilan,
karena affirmative action itu sendiri hanya salah satu instrumen bagi terjadinya
perubahan. Namun mengingat status quo ideology dominan yang berlaku selama
ini, maka affirmative action kuota 30 % tetap dianggap sebagai gerakan counter
hegemoni, meski hanya berlaku pada tataran politis dengan kapasitas yang juga
masih sangat terbatas.
10.
Existensi ‘ collective will’ sebagai sebuah ideologi adalah suatu keharusan karena
dengan ‘collective will’ kaum perempuan akan lebih konstan dan sinergis untuk
melakukan gerakan guna mencapai tujuan perjuangan.
Dalam konteks Media, Yang dalam hal ini diwakili oleh dua media / Surat kabar terbesar
di Indonesia, yaitu Kompas dan Media Indonesia, beberapa temuan yang dapat
disimpulkan diantaranya :
1.

2.
3.

4.

5.

Keberadaan teks dalam media yang berkonotasi mendukung perjuangan, seperti
yang terdapat dalam teks-teks Kompas dan Media Indonesia, bukan merupakan
indikator dukungan media terhadap gerakan perjuangan perempuan mengingat
media memiliki ideologinya sendiri.
Ideologi kapitalis yang dianut media membuka celah terjadinya konspirasi antara
media dengan negara yang memiliki kekuasaan dan legalitas untuk membuat
kebijakan-kebijakan.
Konspirasi antara media dengan negara dapat terhambat atau bahkan kontra
produktif bagi media itu sendiri ketika ‘common sense’ yang berlaku
dimasyarakat bertentangan dengan kebijakan yang diambil negara. Hal itu
disebabkan ketergantungan media terhadap masyarakat yang dilandasi ideologi
media itu sendiri.
Keberadaan ‘perempuan’ dalam media bukan jaminan bahwa media yang
bersangkutan akan berperan sebagai pendukung perjuangan, meski para
perempuan pelaku media itu sendiri mempunyai idealisme tentang kesetaraan dan
keadilan gender.
Butuh upaya cerdas dan kompromis dengan nilai nilai kapitalis industri media
untuk dapat meraih dukungan media massa bagi gerakan perjuangan kaum
perempuan guna menaikan posisi tawar mereka terhadap ideologi dominan
negara.

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

EFEKTIFITAS BERBAGAI KONSENTRASI DEKOK DAUN KEMANGI (Ocimum basilicum L) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR Colletotrichum capsici SECARA IN-VITRO

4 157 1

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24