BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Subyek Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Penerimaan Oleh Guru Dengan Siswa Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di SMP Kristen 1 Pulau-Pulau Aru Maluku

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

  4.1 Deskripsi Subyek Penelitian

  Penelitian dilaksanakan di SMP Kristen 1 Pulau-pulau Aru

  • –Maluku dengan uraian subyek penelitian sebagai berikut: siswa dikelompokkan dalam dua puluh lima rombel, kelas 7, 8, 9 dan responden guru berjumlah 45 orang. Siswa dengan kisaran usia 11 sampai 16 tahun, sedangkan guru berusia 21 sampai 55 tahun. Kelas 7 terdiri dari 73 siswa, kelas 8 berjumlah 71 siswa dan kelas 9 sebanyak 89 siswa. Jadi, keseluruhan siswa pada ketiga kelas berjumlah 233 orang siswa dan guru berjumlah 45 orang. Jumlah keseluruhan subyek penelitian dalam penelitian berjumlah 278 responden.

  4.2 Karakteristik Responden

  Karakteristik responden terjabar dari aspek jenis kelamin dan usia yang terlihat pada tabel 4.1

Tabel 4.1 Karakteristik Responden Guru Berdasarkan Jenis Kelamin

  Guru Jenis

Kelamin frekuensi Prosentase

  L 11 24,44 % P 34 75,56 % Jml 45 100 % Sumber :Data primer yang diolah tahun 2014 Pada tabel 4.1 menunjukan bahwa sebagian besar responden guru dalam penelitian ini berjenis kelamin perempuan sebanyak 75,56 %.

Tabel 4.2 Karakteristik Responden Siswa Berdasarkan Jenis Kelamin

  Jenis Kelamin Siswa Frekuensi Prosentase L 84 36,05% P 149 63,95 %

  Jml 233 100 %

Sumber: data primer diolah Tahun 2014

  Pada tabel 4.2 menunjukan bahwa sebagian besar responden siswa dalam penelitian ini berjenis kelamin perempuan 63,95%.

Tabel 4.3 Karakteristik Responden

  

Guru Berdasarkan Usia

Usia frekuensi Prosentase 21-25 th 5 11% 26-30 th

  6 13% 31-35 th 10 22% 36-40 th 11 25% 41-45 th

  7 16% 45-50 th 5 11% 51-55 th 1 2% Jumlah

  45 100%

Sumber : data primer diolah tahun 2014

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini berusia 36- 40 tahun dengan

  prosentase (25%).

  Tabel 4.4

Karakteristik Responden Siswa Berdasarkan Usia

Usia Frekuensi Prosentase

  11 th 21 9,01% 12 th 62 26,60 % 13 th 76 32,62% 14 th 67 28,76% 15 th

  4 1,72% 16 th 3 1,29 %

Total 233 100 %

  Sumber : data primer diolah tahun 2014

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden siswa dalam penelitian ini berusia 13 tahun

  (32,62%).

Tabel 4.5 Karakteristik Responden Guru Berdasarkan Masa Kerja Golongan sejak pengangkatan Masa Kerja Frekuensi Prosentase

  01-05 th 35 77,78% 06-10 th 6 13,32% 11-15 th - 0%

  16-20 th 3 6,67% 21-25 th 1 2,23% Jumlah

  45 100 %

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa responden dalam penelitian ini mempunyai masa kerja sebagian besar golongan

  1-5 tahun (77,78%).

Tabel 4.6 Karakteristik Responden Guru

  

Berdasarkan Status

Status Guru Frekuensi Prosentase

Tetap 34 75,56% Tidak Tetap

  11 24,44% Jumlah 45 100

Tabel 4.6 menunjukkan dalam penelitian ini bahwa sebagian besar responden berstatus sebagai guru tetap

  sebanyak 34 (75,56%).

Tabel 4.7 Karakteristik Responden Guru

  

Berdasarkan Pangkat Golongan

Pangkat Golongan Frekuensi Prosentase

Non Golongan 10 22,22%

  

II/a-II/b - -

  II/c-II/d 6 13,33%

  III/a-III/b 24 53,33%

  III/c-III/d 3 6,67%

  IV/a-IV/b 2 4,45% Jumlah 45 100 %

Tabel 4.7 menunjukkan bahwa dalam penelitian ini sebagian besar responden memiliki pangkat golongan III/a

  • – III/b sebanyak 53,33%.

4.3 ANALISIS DATA

4.3.1 Analisis Deskriptif Variabel Penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus.

  57

  Deskripsi distribusi frekuensi penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus oleh guru dan siswa dapat terlihat pada tabel 4.8 dan 4.9 sebagai berikut:

Tabel 4.8 Deskripsi Frekuensi Penerimaan Guru

  

Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus

Kategori Rentang Skor frekuensi Guru Prosentase

Sangat Tinggi

  • – 68 17 37,78 % Tinggi
  • – 56 15 33,33% Sedang

  47

  • – 46 13 28,89% Rendah
  • – 36 Sangat Rendah
  • – 26 Jumlah

  • – Maluku berada pada kategori Sangat Tinggi sekitar 37,78%.
  • – 68 7 3 % Tinggi
  • – 56 89 38,20 % Sedang
  • – 46 117 50,21 % Rendah
  • – 36 16 6,87% Sangat Rendah
  • – 26 4 1,72% Jumlah 233 100 % Sumber : Data primer yang diolah tahun 2014

  57

  17

  27

  37

  47

  

Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus

Kategori Rentang Skor frekuensi Siswa Prosentase

  Sangat Tinggi

  37

Tabel 4.9 Deskripsi Frekuensi Penerimaan Siswa

  Aru

  45 100 % Sumber : Data primer yang diolah tahun 2014

  17

  27

Tabel 4.8 menunjukkan bahwa penerimaan guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di SMP Kristen 1 P. P.Tabel 4.9 menunjukkan sebagian besar penerimaan siswa terhadap Anak Berkebutuhan Khusus berada pada

  kategori Sedang sekitar 50,21%.

  4.4 Uji Normalitas Tabel 4.10 Test of Normality

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

  Penerimaan Penerimaan Guru siswa N a 45 233

Normal Parameters Mean. .0000000 .0000000

  Std.Deviation .30134382 .92175616

Most Extreme Absolute .104 .054

Differences Positive .098 .054

  Negative -.104 -.026

Kolmogorov-Smirnov Z .699 .819

Asymp. Sig. (2-tailed) .714 .514

a. Test distribution is Normal.

  Pengujian normalitas pada penenelitian ini menggunakan teknik Kolmogorov-Smirnov test dan pengujian linearitas menggunakan uji regresi linear. Kriteria yang dipakai untuk menentukan data berdistribusi normal atau tidak menggunakan nilai probabilitasnya. Jika nilai probabilitas di atas 0,05 maka data distribusi normal, sedangkan jika probabilitanya di bawah 0,05 maka data tidak berdistribusi normal. Berdasarkan koefisien Kolmogorov-

  

Smirnov di peroleh Penerimaan Guru = 0,699 dan untuk

  Penerimaan Siswa 0,819. dengan Asymp Sig (2-tailed) penerimaan guru 0,714 >0,05 dan Asymp sig (2-tailed) penerimaan siswa 0,514

  >0,05 Maka kedua variabel distribusi normal dan memenuhi syarat analisis dengan t-test.

4.5 Analisis Perbedaan Mean Variabel Penelitian

4.5.1 Perbedaan Penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus Oleh Guru dan Siswa.

Tabel 4.11 Group Statistics

  Std. Std. Error Penerimaan N Mean Deviation Mean

  VAR00

  1

  19 3.53 .772 .177 001

  2

  5 3.20 1.095 .490

  Berdasarkan tabel 4.12 di atas terlihat bahwa rata-rata (mean) penerimaan guru (3.53) terhadap Anak Berkebutuhan Khusus lebih besar dibandingkan dengan rata-rata (mean) penerimaan siswa (3.20) terhadap Anak Berkebutuhan Khusus dengan selisih mean sebesar 0.33 Dengan kesimpulan tidak ada perbedaan penerimaan yang signifikan antara siswa dan guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di SMP Kristen 1 P. P. Aru – Maluku.

  

4.6.2.Analisis Perbedaan Penerimaan Guru dan Siswa

terhadap Anak Berkebutuhan Khusus

Tabel 4.12 AnalisisPenerimaan Guru dan Siswa Terhadap

  

Anak Berkebutuhan Khusus

Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means 95%

  Confidence Std. Interval of the Mean Error

  Difference Sig. (2- Differe Differe F Sig. T Df tailed) nce nce Lower Upper Equal variances

  2.760 .111 .773 22 .448 .326 .422 -.550 1.202 assumed Equal variances not .626 5.096 .558 .326 .521 -1.005 1.658 assumed hitung

  Berdasarkan Tabel 4.12 diketahui hasil F levene

  

test sebesar 2,760 dengan signifikansi 0,111 lebih besar dari

  0,05 maka Ho di terima atau kedua populasi memiliki varian yang sama. dengan kata lain kedua variabel homogen. Hasil uji beda independent sample t-tes terlihat bahwa t hitung di bagian equal variance assumed adalah 0,773 dengan signifikansi (2-tailed) sebesar 0,448. Karena P

  >0,05 maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan penerimaan yang signifikan antara guru dengan siswa terhadap anak berkebutuhan khusus.

4.6 Uji Hipotesis

  Penelitian ini berkepentingan menguji rumusan hipotesis yaitu: Adakah perbedaan penerimaan terhadap Anak Berkebutuhan Khusus antara guru dan siswa di SMP Kristen

1 Pulau-pulau Aru – Maluku.

  Hipotesis yang diajukan Ada Perbedaan Penerimaan yang Signifikan Guru dan siswa terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di SMP Kristen 1 Pulau-pulau Aru Maluku. Hasil analisis menunjukan bahwa tidak ada perbedaan penerimaan yang signifikan Guru dan Siswa terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di SMP Kristen 1 Pulau- pulau Aru Maluku, sehingga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini ditolak.

4.7 Pembahasan Hasil Penelitian.

  Perbedaan penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus antara guru dan siswa dari hasil penelitian dipengaruhi faktor refleksi penerimaan FEAR. Pendekatan refleksi FEAR bertujuan menguji interpretasi bahasa dalam lingkungan sosial. Refleksi FEAR dipahami sebagai faktor kunci penerapan penerimaan dalam lingkungan sosial (Hayes, 2003). Ciri dan ungkapan penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus di SMP Kristen 1 P. P. Aru - Maluku oleh guru maupun siswa teridentifikasi melalui bahasa dan perilaku yang terjabar dalam empat dimensi yakni: peleburan (Fusion), evaluasi

  

(Evaluation), menghindar (Avoidance) dan memberi alasan

(Giving Reason).

  Peleburan menjadi faktor penting seseorang mengalami proses penerimaan diri dan sosial secara positif. Penerimaan positif bagi Anak Berkebutuhan Khusus dianalisis dengan cara: pertama, membedah peleburan kognitif dan perasaan guru melalui simbol kata dan perilaku ketika berinteraksi dengan Anak Berkebutuhan Khusus. Kedua, membedakan peleburan kognitif dan perasaan siswa melalui pikiran dan perilaku ketika berinteraksi dengan Anak Berkebutuhan Khusus.

  Berdasarkan hasil analisis proses peleburan teridentifikasi melalui karakteristik guru dan siswa lewat kategori jenis kelamin dan usia. Hasil analisis dari kategori jenis kelamin ditemukan bahwa penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus lebih besar dari responden berjenis kelamin perempuan di kalangan guru (75,56 %) dan siswa (63,95%) dibandingkan responden berjenis kelamin laki-laki hanya untuk guru sekitar 24,44% dan siswa sekitar 36,05%. Alasannya, terkait aspek keintiman relasi, perempuan memiliki kualitas keintiman lebih kuat dibandingkan laki-laki. Perempuan cenderung didominasi perasaan dibandingkan pikiran sehingga mudah melebur dan berinteraksi secara sosial, sebaliknya laki-laki mengutamakan logika/ pikiran dibandingkan perasaan sehingga sulit membangun keintiman relasi.

  Prinsip evaluasi juga termasuk faktor penting yang menentukan proses penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus. Fokus evaluasi merujuk pada kesiapan Anak Berkebutuhan Khusus di sekolah, keluarga dan lingkungan sosial untuk menerima pengalaman diskriminatif sebagaimana adanya dan berani mengevaluasi pengalaman pahit tersebut. Berdasarkan hasil penelitian di SMP Kristen 1 P. P. Aru

  • – Maluku sebagai ruang sosial Anak Berkebutuhan Khusus, ditemukan fakta bahwa penerimaan guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus sebagian besar berada pada kategori sangat tinggi sekitar 37,78%, sementara penerimaan siswa di kategori sedang sebanyak 50,21%. Intinya, penerimaan guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus dinilai baik.

  Penulis menemukan adanya relasi mutualistis

  • –simbiosis antara Anak Berkebutuhan Khusus dengan guru. Pada satu sisi, Anak Berkebutuhan Khusus mampu menerima pengalaman diskriminasi oleh guru dan mengevaluasinya secara positif demi pengembangan diri. Sebaliknya, pada sisi lain guru sebagai stakeholder di lembaga pendidikan mampu mengevaluasi praktek diskriminasi Anak Berkebutuhan Khusus dan menghadirkan iklim penerimaan positif di sekolah. Relasi mutualistis
  • – simbiosis memungkinkan terciptanya iklim interaksi sosial positif dan konstruktif sehingga tercapai kualitas pendidikan yang baik.

  Pada domain penelitian di kalangan siswa, ditemukan fakta berbeda bahwa sebagian besar penerimaan terhadap Anak Berkebutuhan Khusus berada pada kategori sedang sekitar 50,21% di SMP Kristen 1 P. P. Aru

  • – Maluku. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Anak Berkebutuhan Khusus memiliki tingkat inisiatif yang sedang untuk berinteraksi dengan teman-teman sebaya. Proses interaksi ini menunjukkan bahwa Anak Berkebutuhan Khusus memiliki kemampuan sedang atau biasa untuk mengevaluasi dan menerima pengalaman diskriminatif ketika berinteraksi dengan teman-teman sebaya. Tingkat evaluasi dan penerimaan pengalaman diskriminatif sedang dari Anak Berkebutuhan Khusus mempengaruhi persepsi diri mereka. Alasannya, interaksi dan penerimaan mempengaruhi bangunan persepsi diri seseorang termasuk kesediaan mengevaluasi dan menerima pengalaman diskriminatif.

  Faktor lain yang menentukan penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus adalah sikap menghindar dan memberi

  

alasan. Kedua sikap ini memiliki hubungan kausal dengan

faktor evaluasi dan penerimaan pengalaman diskriminatif.

  Kemampuan evaluasi dan penerimaan pengalaman diskriminatif Anak Berkebutuhan Khusus terukur dengan

  

sikap menghindar dan memberi alasan. Artinya, sikap

menghindar dan memberi alasan adalah ciri orang yang

  memiliki kemampuan evaluasi dan penerimaan pengalaman diskriminatif rendah. Selain itu, sikap menghindar dan

  

memberi alasan berhubungan satu dengan lainnya. Salah satu

ciri sikap menghindar adalah kebiasaan memberi alasan.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap menghindar dan memberi alasan Anak Berkebutuhan Khusus berbeda ketika berinteraksi dengan guru dan siswa. Dalam relasi yang positif dengan guru, Anak Berkebutuhan Khusus tidak terdorong untuk menghindar, mengelak bahkan berkamuflase. Anak Berkebutuhan Khusus justru lebih jujur dan tulus mengekspresikan diri di hadapan guru. Sebaliknya, dalam relasi sosial dengan teman-teman sebaya, Anak Berkebutuhan Khusus tidak mengekspresikan diri secara utuh. Sikap

  

menghindar ditampilkan dengan kadar sedang. Intinya, Anak

  Berkebutuhan Khusus dipahami tidak mampu mengeksplorasi dan mengekspresikan diri secara optimal. Menurut penulis, secara psikologis Anak Berkebutuhan Khusus mengalami dilema berinteraksi dengan teman-teman sebaya. Pada satu sisi, takut dan agak curiga terhadap teman-temannya sehingga cenderung menghindar, mengelak dan berkamuflase. Pada sisi lain, Anak Berkebutuhan Khusus membutuhkan ruang persahabatan dengan teman sebayanya untuk bebas mengekspresikan diri.

  Sikap dilematis, Anak Berkebutuhan Khusus perlu dikelola secara baik untuk membentuk kepribadian sehat secara fisik maupun psikis. Sikap menghindar dan memberi

  

alasan adalah ekspresi dan kompensasi masalah perilaku

  psikososial yang menghambat sikap penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus secara personal maupun sosial. Guru dan siswa mesti membangun relasi jujur dan tulus dengan Anak Berkebutuhan Khusus. Kebiasan berkamuflase dengan

  

memberi alasan sebaiknya diubah dengan sikap jujur untuk mengakui Anak Berkebutuhan Khusus sebagai bagian dari dirinya.

  Berdasarkan perbandingan kedua kelompok penerimaan di SMP Kristen 1 P. P. Aru

  • – Maluku ditemukan fakta bahwa tidak ada perbedaan penerimaan signifikan Anak Berkebutuhan Khusus antara guru dan siswa. Terbukti, hasil perhitungan uji beda rata-rata (mean) penerimaan guru (3.53) terhadap Anak Berkebutuhan Khusus dengan rata-rata (mean) penerimaan siswa (3,20) terhadap Anak Berkebutuhan Khusus dengan selisih mean sebesar 0,33. dan signifikansi 0.111>0.05.

4.7.1 Penerimaan Guru Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus

  Secara analitis, penulis perlu mengulas tentang sikap maupun faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus. Ada beragam pemahaman guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus. Penerimaan guru terhadap Anak berkebutuhan Khusus terbangun dalam tiga pilihan yakni: pertama, penilaian negatif yang cenderung menolak Anak Berkebutuhan Khusus, kedua, penilaian positif, lebih aktif menerima Anak Berkebutuhan Khusus dan ketiga, penilaian ganda situasional, satu sisi menolak, tapi di sisi lain dapat menerima. Sikap guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus menggambarkan penilaian dan komitmen guru dalam mengembangkan mutu pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Bersamaan dengan itu, sikap guru juga menunjukkan sejauh mana tanggung- jawab dan penerimaan guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di sekolah.

  Sikap positif guru diwujudkan dengan memberi kesempatan yang lebih besar bagi Anak Berkebutuhan Khusus belajar bersama teman sebayanya sehingga menikmati kenyamanan pendidikan yang maksimal (Olson, 2003). Sikap guru yang negatif menggambarkan harapannya rendah bagi Anak Berkebutuhan Khusus di sekolah (Elliot, 2008). Dalam konteks SMP Kristen 1 P. P. Aru

  • – Maluku ditemukan penerimaan bersifat positif guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus. Ini menunjukkan bahwa guru di SMP Kristen 1 P. P. Aru – Maluku memberi kesempatan dan kenyamanan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus menikmati kualitas pendidikan yang baik.

  Menurut Avramidis dan Norwich (2002), ada beberapa faktor yang mempengaruhi sikap guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus, yakni: a. Pemahaman guru terhadap siswa.

  Konsep guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus tergantung pada jenis hambatan siswa, tingkat keparahan hambatan siswa dan kebutuhan siswa akan pendidikan (Clough dan Lindsay, 1991 dalam Avramiddis dan Norwich, 2002). Persepsi guru mengenai jenis hambatan siswa berdasar tiga hal yakni: hambatan fisik dan sensori, kognitif dan perilaku emosional siswa. Guru menilai siswa dengan problem belajar ringan dipandang lebih positif dibandingkan dengan siswa dengan problem belajar berat (Sharma dkk, 2008; Hasting & Oakford, 2003). Guru kadang bersikap pesimis jika Anak Berkebutuhan Khusus mendapat pelayanan pendidikan di sekolah reguler, karena dianggap tepat dilayani di SLB. Kompensasinya, terkadang guru mengekspresikan penolakan terhadap Anak Bekebutuhan Khusus lewat kata dan perbuatan.

  Terungkap sterotipe yang melemahkan semangat belajar Anak Berkebutuhan Khusus. Hasil penelitian di SMP Kristen I P. P. Aru

  • – Maluku menunjukkan penerimaan positif guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus. Artinya, guru di SMP Kristen 1 P. P. Aru – Maluku tidak pesimis terhadap hambatan siswa. Sebaliknya, guru pro-aktif memberi pelayanan pendidikan secara baik dan nyaman bagi kecerdasan Anak Berkebutuhan Khusus.

  b. Gender.

  Faktor ini terkait kategorisasi tenaga guru sesuai gender yang mempengaruhi penerimaan terhadap Anak Berkebutuhan Khusus. Beberapa peneliti menemukaan bahwa guru perempuan memiliki toleransi lebih tinggi dibandingkn guru laki-laki dalam proses interaksi dengan Anak Berkebutuhan Khusus (Aksamit, Morris and Leunberger, 1987; Thomas, 1985). Ditemukan kecenderungan bahwa guru perempuan menunjukkan sikap positif terhadap Anak yang memiliki masalah perilaku dibandingkan guru laki-laki. Terbukti dari hasil penelitian di SMP Kristen 1 P. P. Aru

  • – Maluku bahwa bahwa responden dalam penelitian ini sebagian besar responden guru menerima secara positif Anak Berkebutuhan Khusus berjenis kelamin perempuan sebanyak 75,56 % bagi guru dibandingkan responden laki-laki sekitar 24,44%.

  c. Usia dan Pengalaman Mengajar.

  Guru yang lebih muda dengan pengalaman mengajar sedikit memiliki tingkat penerimaan yang tinggi terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (Clough and Linsay, 1991 dalam Avramidis and Norwich, 2002). Harvey (1985 dalam Avramidis and Norwich, 2002) menemukan ada keengganan guru yang telah berpengalaman untuk menerima dan melayani Anak Berkebutuhan Khusus. Alasannya, guru berpengalaman mencintai kemapanan dan kurang berminat mengikuti pelatihan sehingga sulit mengalami transformasi pemikiran dan sikap. Kondisi berbeda dengan guru lebih muda yang tertarik mengikuti berbagai pelatihan dan bersedia menerapkan program integrasi kepada Anak Berkebutuhan Khusus. Tingkat penerimaan guru lebih muda lebih tinggi kepada Anak Berkebutuhan Khusus dibanding guru berpengalaman. Hal ini menjadi alasan, guru baru lebih memiliki sikap dan penerimaan positif terhadap program integrasi Anak Berkebutuhan Khusus. Terbukti dari hasil penelitian di SMP Kristen 1 P. P. Aru

  • – Maluku, bahwa sesuai usia, masa dan
golongan kerja, sebagian besar responden guru berusia muda sekitar 36

  • – 40 tahun (25%) dengan pangkat golongan III/a
  • – III/b (53,33%) dan masa kerja 1 - 5 tahun (77,78%) memiliki penerimaan tinggi terhadap Anak Berkebutuhan Khusus.

4.7.2 Penerimaan Siswa Normal Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus.

  Sikap penerimaan siswa normal terhadap Anak Berkebutuhan Khusus juga sejalan dengan guru terpola dalam tiga pilihan, yakni: pertama, penilaian negatif yang cenderung menolak Anak Berkebutuhan Khusus, kedua, penilaian positif, lebih aktif menerima Anak Berkebutuhan Khusus dan ketiga, penilaian ganda situasional, satu sisi menolak, tapi di sisi lain dapat menerima. Berdasarkan hasil penelitian di SMP Kristen 1 P. P. Aru

  • – Maluku ditemukan tingkat penerimaan siswa terhadap Anak Berkebutuhan Khusus pada kategori sedang, sekitar 50,21%. Artinya, sikap penerimaan siswa terhadap Anak Berkebutuhan Khusus tidak terlalu tinggi maupun rendah.

  Penulis memakai hasil penelitian sebelumnya dari Marloes Koster (2010) berjudul “Social Participation of Students with Special Needs in Regular Primary Education in the Netherlends” untuk menjelaskan sikap penerimaan siswa terhadap Anak Berkebutuhan Khusus. Menurut Marloes Koster (2010), ada empat tema utama untuk mengukur tingkat partisipasi sosial Anak Berkebutuhan Khusus, yakni: a. Persepsi Diri Siswa

  Perbedaan penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus antara guru dan siswa normal menunjukkan fakta tentang persepsi diri Anak Berkebutuhan. Anak Berkebetuhan Khusus terindikasi memiliki perspesi diri berbeda di hadapan guru dan siswa normal. Dalam relasi dengan guru, Anak Berkebutuhan Khusus memiliki tingkat persepsi diri baik dan positif. Sebaliknya dengan siswa normal, Anak Berkebutuhan Khusus dinilai memiliki tingkat persepsi diri dikategorikan sedang atau biasa saja. Persepsi diri Anak Berkebutuhan Khusus akan semakin baik dan positif jika ruang interaksi dan penerimaan terbangun baik. Sebaliknya, persepsi diri menjadi lemah ketika terbangun relasi yang buruk.

  b. Penerimaan oleh Teman-teman Sekelas Tingkat penerimaan yang sedang terhadap Anak Berkebutuhan Khusus menunjukkan bahwa relasi pertemanan Anak Berkebutuhan Khusus dengan teman- teman sebaya belum sepenuhnya terbangun baik. Kategori sedang menunjukkan Anak Berkebutuhan Khusus belum secara utuh diterima oleh teman-teman sebayanya. Sikap ini dilatari beberapa faktor, yakni:

  pertama, tingkat pendidikan siswa rendah sehingga

  belum terdorong secara baik untuk menerima teman sebayanya dengan kelemahan, dan kedua, tingkat kematangan mental dan psikologis lemah sehingga terkesan labil dalam menentukan sikap positif bagi teman sebayanya.

  c. Persahabatan.

  Tingkat penerimaan yang sedang mempengaruhi relasi persahabatan Anak Berkebutuhan Khusus dengan teman-teman sebayanya. Anak Berkebutuhan Khusus masih tersudutkan dalam ambiguitas peran. Pada satu sisi diposisikan peran isolasi, tetapi pada sisi lain terdorong memainkan peran partisipatif. Ketegangan peran isolasi dan peran partisipatif dipengaruhi oleh cara pandang dan sikap yang belum menerima Anak Berkebutuhan Khusus secara utuh.

  d. Kontak/ interaksi.

  Anak Berkebutuhan Khusus diterima pada tingkat sedang oleh siswa dilatari karena kurang adanya inisiatif untuk membangun relasi dengan siswa normal dan ketidaksiapan mental untuk menerima pengalaman diskriminasi. Kedua belah pihak, Anak Berkebutuhan Khusus dan siswa normal belum memiliki kemampuan mental psikologis dan pemahaman yang baik untuk menerima dan mengevaluasi pengalaman diskriminasi sebagai realitas yang lumrah dan manusiawi. Realitas ini mempengaruhi komitmen untuk membangun ruang interaksi sosial yang sehat dan positif demi pengembangan mutu hidup. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Sherly

  (2012) yang menyatakan perbedaan penerimaan ditentukan oleh jenjang pendidikan dan tidak ditentukan oleh usia. Menurut Sherly (2012), perbedaan penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus tergantung perbedaan jenjang pendidikan. Ibu yang berpendidikan tinggi memiliki penerimaan lebih besar terhadap Anak Berkebutuhan Khusus dibanding ibu dengan berpendidikan rendah. Terbukti, dalam penelitian Sherly (2012) di SLB Semarang, ibu yang berpendidikan rendah memiliki nilai rata-rata sebesar 83,53 yang dikategorikan sedang (66,84) dengan standar deviasi 10,63. Penerimaan berdasarkan jenjang pendidikan terjabar, pendidikan rendah 21 orang, jenjang pendidikan sedang 24 orang dan jenjang pendidikan tinggi sebanyak 25 orang. Sebaliknya penelitian ini menemukan fakta guru dengan pendidikan tinggi dan siswa berpendidikan rendah tidak memiliki perbedaan penerimaan terhadap Anak Berkebutuhan Khusus. Terbukti dari hasil perhitungan uji beda rata-rata antara dua kelompok penerimaan terhadap Anak

  hitung

  Berkebutuhan Khusus diperoleh hasil t sebesar 0,773 untuk kelompok guru dan kelompok siswa sebesar 0,626 dengan signifikansi 0.111 > 0.05.

  Namun demikian penelitian sama dengan penelitian Sherly (2012) yang menyatakan perbedaan penerimaan tidak ditentukan oleh usia. Hasil penelitian ini berdasarkan kategori usia menunjukkan bahwa sebagian besar responden guru berusia 36 - 40 tahun dengan prosentase (25%). Sedangkan paling sedikit responden berusia 51 - 55 tahun dengan prosentase (2%). Responden guru terbukti memiliki kategori penerimaan tinggi terhadap Anak Berkebutuhan Khusus. Penulis menilai guru di usia 36 - 40 tahun termasuk kategori usia produktif dan pola pikirnya terbuka terhadap perubahan sehingga mampu menerima Anak Berkebutuhan Khusus secara positif dan transformatif. Sebaliknya, pada usia 51 - 55 tahun termasuk kategori usia matang yang terjebak dalam kemapanan sehingga sulit berinteraksi dan melebur secara supel. Secara kejiwaan, guru pada usia ini sulit berinteraksi dan melebur dengan Anak Berkebutuhan Khusus (Kohlberg, 1995).

  Pada kelompok siswa, penulis menemukan fakta berbeda bahwa sebagian besar responden siswa berusia 13 tahun (32,62%) dibandingkan usia 16 tahun berjumlah sedikit sekitar 1,29%. Dalam perspektif psikologi perkembangan, usia 13 tahun adalah masa atau etape seorang anak membutuhkan relasi sosial tinggi dengan teman-teman sebayanya. Nilai hidup anak ditentukan dengan relasi sosial disekitarnya, karena itu wajar jika anak pada usia 13 tahun jauh lebih terbuka dan supel untuk melebur sekaligus menerima keberadaan Anak Berkebutuhan Khusus. Kondisi berbeda dengan usia 16 tahun yang memasuki usia dewasa dan cenderung individualis sehingga sulit melebur dan menerima Anak Berkebutuhan Khusus (Kohlberg, 1995).

  Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan penerimaan yang signifikan antara guru dan siswa terhadap Anak Berkebutuhan Khusus. Penerimaan siswa dan guru dilatari oleh tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin maupun kematangan mental psikologis. Anak Berkebutuhan Khusus membutuhkan penerimaan utuh, penerimaan diri maupun sosial baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Relasi dan penerimaan yang jujur, tulus maupun positif akan membangun mutu kepribadian yang baik bagi Anak Berkebutuhan Khusus. Relasi negatif mesti ditransformasi menjadi relasi positif agar Anak Berkebutuhan Khusus bertumbuh dan berkembang secara baik. Guru dan siswa mesti memperkecil peran isolasi Anak Berkebutuhan Khusus dan memberi peran partisipatif agar Anak Berkebutuhan Khusus mampu mengekspresikan diri secara baik.

Dokumen yang terkait

Welcome to Repositori Universitas Muria Kudus - Repositori Universitas Muria Kudus

0 0 10

Welcome to Repositori Universitas Muria Kudus - Repositori Universitas Muria Kudus

0 0 8

THE READING COMPREHENSION OF DESCRIPTIVE TEXT OF THE EIGHTH GRADE STUDENTS OF SMP NU AL MA’RUF KUDUS TAUGHT BY USING CRAZY PROFESSOR READING GAME IN ACADEMIC YEAR 20112012

0 2 15

Welcome to Repositori Universitas Muria Kudus - Repositori Universitas Muria Kudus

0 0 15

Welcome to Repositori Universitas Muria Kudus - Repositori Universitas Muria Kudus

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Meningkatkan Hasil Belajar PKn Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Take and Give Pada Siswa Sekolah Dasar

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Hasil Belajar PKn Siswa Kelas V Menggunakan Model Word Square

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Penerimaan Oleh Guru Dengan Siswa Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di SMP Kristen 1 Pulau-Pulau Aru Maluku

0 0 14

BAB II KAJIAN TEORI 2.1. PENGERTIAN PENERIMAAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Penerimaan Oleh Guru Dengan Siswa Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di SMP Kristen 1 Pulau-Pulau Aru Maluku

1 1 21

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Lokasi penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Penerimaan Oleh Guru Dengan Siswa Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di SMP Kristen 1 Pulau-Pulau Aru Maluku

0 0 22