Tantangan Besar Kembangkan Energi Terbar
http://www.migasreview.com/post/1419414022/tantangan-besar-kembangkan-energiterbarukan-skala-kecil.html
Tantangan Besar Kembangkan Energi Terbarukan Skala
Kecil
29 Desember 2014
MigasReview, Jakarta - Energi terbarukan adalah sumber energi yang cepat dipulihkan
kembali secara alami, dan prosesnya berkelanjutan. Energi terbarukan dihasilkan dari
sumberdaya energi yang secara alami tidak akan habis bahkan berkelanjutan jika
dikelola dengan baik. Energi terbarukan kerap disebut juga sebagai energi
berkelanjutan (sustainable energy).
Meskipun Indonesia memiliki banyak potensi energi yang dapat dikembangkan menjadi
pembangkit listrik, namun kenyataannya proses realisasinya tidak semudah membalik
telapak tangan. Pemilihan pembangkit listrik bukanlah hal yang mudah. ASEAN Market
Development Leader for General Electric (GE) Distributed Power Made
Wiratma mengatakan, diperlukannya perubahan mindset (pola pikir) untuk
memahami bahwa untuk menghasilkan energi tidak harus dengan infrastruktur yang
rumit.
Berikut perbincangannya dengan MigasReview.com saat ditemui di kantornya,
dibilangan Sudirman, Jakarta.
Apa yang mendorong GE untuk bergerak di bidang energi terbarukan?
Sebelumnya, saya jelaskan terlebih dahulu, terlepas dari energi terbarukan, GE sendiri
memang melihat bahwa perkembangan kebutuhan energi ke depannya muncul di sektor
pembangkit listrik skala lebih kecil, yang mendekati kebutuhan. Kapasitas pembangkit
yang terkecil dimulai dari 500 kilowatt (KW) atau 0,5 megawatt (MW), kalau GE sendiri
memiliki kapasitas pembangkit hingga 30 MW. Dari sana, timbul pertanyaan,
pembangkit seperti apa sih 0,5 MW, 1 MW atau 2 MW? kemungkinannya ada dua,
satu gas engine yang kecil, kedua energi terbarukan seperti biogas, biomass, gasifikasi
batubara. Terlepas dari energi terbarukan atau tidak, tapi dari sisi tren kebutuhan di
pasar sudah mengarah ke sana.
Lalu, ketika pembangkit skala kecil mendekati kebutuhan, bayangkan jika sebuah desa
dengan akses yang tidak mudah atau sulit dijangkau, sehingga membutuhkan solusi
yang sederhana. Artinya, bila kita membicarakan gas, tidak perlu membutuhkan
infrastuktur yang berat dan besar, seperti pasang jalur pipa. Kemudian apa yang bisa
http://www.migasreview.com/post/1419414022/tantangan-besar-kembangkan-energiterbarukan-skala-kecil.html
dilakukan? yaitu memilih teknologi yang menggunakan sumber daya bahan baku yang
ada di daerah tersebut, seperti mini hydro, micro hydro, panel surya (tenaga sinar
matahari) yang kecil, termasuk limbah.
Limbah ini bisa sampah, limbah pabrik kelapa sawit, limbah pemotongan kayu, dan
yang sejenisnya. Secara otomatis, kita mengerucut pada solusi-solusi yang memang
masuk dalam energi terbarukan. Melihat tren tersebut, maka kita menjawab tantangan
itu dengan menyediakan solusi pembangkit energi yang berbasis pada biogas dan
biomassa, serta gasifikasi batubara.
Gasifikasi batubara ini, apakah sama dengan coal bed methane?
Bukan, teknologi ini di Indonesia juga masih baru. Dimana, batubara bukan dibakar,
tapi digasifikasi (perubahan bahan bakar padat secara termokimia menjadi gas).
Memang ada satu project yang sedang berlangsung di daerah Kalimantan.
Bisa dikatakan saat ini, GE memfokuskan pada pembangkit yang berbasis
gas?
Benar, karena kebutuhannya mengarah ke sana. Saat ini yang memang banyak
dibicarakan adalah biogas dan biomassa. Biogas bentuknya gas methane, bisa dari
limbah. Sementara, biomassa bentuk gas diproses menjadi gas sintetis. Sehingga keduaduanya berbasis gas yang dipakai sebagai bahan bakar di mesin pembangkit yang
menggunakan gas, kemudian dapat menghasilkan listrik skala yang cukup untuk
kebutuhan yang kecil dan bisa membantu PLN (Perusahaan Listrik Negara) tanpa harus
menyiapkan infrastruktur bahan baku gas yang terlalu complicated.
Oleh karena itu, kita memfokuskan dengan memberdayakan sumber bahan baku yang
tersedia di masing-masing daerah, sebab berbeda-beda. Perbandingan misal di Laos,
lebih banyak air, maka digunakan teknologi mesin pembangkit dengan bahan baku air
yang diberdayakan. Sementara Indonesia, sebenarnya lebih banyak biomassa, berbagai
macam bahan baku mulai dari tumbuh-tumbuhan, limbah, sampah dan lain-lain.
Berapa maksimal kapasitas pembangkit listrik, umumnya bisa
menghasilkan listrik dari bahan baku tersebut?
Dari sisi teknologi sebenarnya berapa saja bisa, hanya saja karakteristik dari
pembangkitan energi terbarukan biasanya kecil, jadi kalau saya jawab sekitar di bawah
http://www.migasreview.com/post/1419414022/tantangan-besar-kembangkan-energiterbarukan-skala-kecil.html
10 MW, antara 500 KW hingga 10 MW. Namun, apabila kita membicarakan untuk
kebutuhan sebuah desa, 1 MW sudah cukup. Maka ini yang menjadi tantangan kita.
Bagaimana
menghadapi
tantangan
itu,
mengingat
pembangkit
menggunakan energi terbarukan terkesan sulit dikembangkan dibanding
energi fosil yang selalu dianggap mudah didapat?
Memang tidak mudah, karena masih adanya mindset itu. Misal, penggunaan bahan
bakar solar yang menggunakan mesin diesel, dimana mesin diesel mempunyai karakter
investasinya lebih rendah, operasional lebih tinggi. Sementara mindset yang ada,
terbiasa dengan "ga apa-apa deh, yang penting murah dulu", untuk
mengubah mindset itu bahwa kita berbicara nantinya akan mendatangkan kerugian
yang lebih besar, itu sebabnya diperlukan edukasi. Dari segi upaya juga tidak sedikit,
diperlukan waktu hingga format edukasi seperti apa yang perlu disampaikan.
Contohnya, bila kita mendatangi ke pemilik pabrik kelapa sawit. Melihat dari sisi
regulasi, limbah kelapa sawit, diharuskan dikelola sedemikian rupa supaya buangannya
ke alam sudah memenuhi kriteria tertentu dan membutuhkan investasi (tambahan).
Karena, core competency-nya pabrik kelapa sawit bukan pengolahan limbahnya. Maka
pemilikpun akan membayangkan harus berinvestasi lagi, ini yang agak sulit
disampaikan. Oleh karena itu, kita harus membuatkan sebuah model, bahwa kalaupun
harus berinvestasi, maka investasi itu bukan hanya membersihkan kemudian
membuang, tapi mengelolanya menjadi sesuatu yang lebih bernilai, seperti menjadi
listrik kemudian bisa menjual, mendatangkan revenue untuk mengembalikan investasi.
Menyampaikan proses (edukasi) tersebut juga tidak mudah, maka kita perlu
menampilkan contoh proses yang sudah berjalan, hingga terkadang kita datangkan juga
investor yang mau investasi. Itu merupakan rangkaian yang harus dijawab, memang
bisa, hanya saja 'pekerjaan rumah'nya jadi banyak. Kita sedang berada ditahap itu,
kalau kita membicarakan 5 tahun ke depan, mungkin mindset-nya sudah berubah
karena sudah ada pemahaman.
Berapa biaya investasi yang dibutuhkan untuk pembangkit listrik?
Rata-rata US$2-3 juta per MW.
Mengenai ketersediaan bahan baku, bagaimana bila suatu saat tidak ada?
http://www.migasreview.com/post/1419414022/tantangan-besar-kembangkan-energiterbarukan-skala-kecil.html
Sebenarnya, ini tantangan yang paling besar, yaitu bagaimana cara menjaga agar bahan
baku bisa dikelola sustainable (berkelanjutan) selama dibutuhkan atau kontrak yang
berjalan. Perbandingan dengan negara lain, sudah ada pelaku bisnis yang fokusnya
hanya mengelola bahan baku, karena melihat adanya potensi (bahan baku) dibutuhkan
dan ada yang membutuhkan, maka masuk mekanisme pasar. Pelaku mengelola bahan
baku ini, tidak bermain dalam sektor pembangkit listrik. Namun, berfungsi
sebagai channel wall, yang menghubungkan antara pelaku pembangkit listrik dengan
pemilik bahan baku. Maka, terbentuklah sistem mekanisme harga dari bahan baku yang
jelas dan bagi pelaku pembangkit listrik bisa merencanakan investasinya.
Sebab di sini, belum membiasakan limbah (bahan baku) menjadi suatu hal berpotensi
menjadi revenue generator. Dikarenakan masih adanya pandangan limbah konotasinya
negatif, namun ketika limbah menjadi revenue generator bisa juga membunuh peluang.
Sebab, belum ada sistem untuk mengatur mekanisme pasarnya (bahan baku).
Bagaimana dengan peran pemerintah?
Saya kira, pemerintah sudah mulai menunjukkan upaya membantu dari sisi kebijakan,
seperti belum lama ini telah diterbitkan peraturan yang memperbaiki nilai tarif pada
penggunaan energi berbahan baku biogas dan biomassa. Dengan demikian, model
investasi dapat mulai terukur dan aman. (anovianti muharti)
Tantangan Besar Kembangkan Energi Terbarukan Skala
Kecil
29 Desember 2014
MigasReview, Jakarta - Energi terbarukan adalah sumber energi yang cepat dipulihkan
kembali secara alami, dan prosesnya berkelanjutan. Energi terbarukan dihasilkan dari
sumberdaya energi yang secara alami tidak akan habis bahkan berkelanjutan jika
dikelola dengan baik. Energi terbarukan kerap disebut juga sebagai energi
berkelanjutan (sustainable energy).
Meskipun Indonesia memiliki banyak potensi energi yang dapat dikembangkan menjadi
pembangkit listrik, namun kenyataannya proses realisasinya tidak semudah membalik
telapak tangan. Pemilihan pembangkit listrik bukanlah hal yang mudah. ASEAN Market
Development Leader for General Electric (GE) Distributed Power Made
Wiratma mengatakan, diperlukannya perubahan mindset (pola pikir) untuk
memahami bahwa untuk menghasilkan energi tidak harus dengan infrastruktur yang
rumit.
Berikut perbincangannya dengan MigasReview.com saat ditemui di kantornya,
dibilangan Sudirman, Jakarta.
Apa yang mendorong GE untuk bergerak di bidang energi terbarukan?
Sebelumnya, saya jelaskan terlebih dahulu, terlepas dari energi terbarukan, GE sendiri
memang melihat bahwa perkembangan kebutuhan energi ke depannya muncul di sektor
pembangkit listrik skala lebih kecil, yang mendekati kebutuhan. Kapasitas pembangkit
yang terkecil dimulai dari 500 kilowatt (KW) atau 0,5 megawatt (MW), kalau GE sendiri
memiliki kapasitas pembangkit hingga 30 MW. Dari sana, timbul pertanyaan,
pembangkit seperti apa sih 0,5 MW, 1 MW atau 2 MW? kemungkinannya ada dua,
satu gas engine yang kecil, kedua energi terbarukan seperti biogas, biomass, gasifikasi
batubara. Terlepas dari energi terbarukan atau tidak, tapi dari sisi tren kebutuhan di
pasar sudah mengarah ke sana.
Lalu, ketika pembangkit skala kecil mendekati kebutuhan, bayangkan jika sebuah desa
dengan akses yang tidak mudah atau sulit dijangkau, sehingga membutuhkan solusi
yang sederhana. Artinya, bila kita membicarakan gas, tidak perlu membutuhkan
infrastuktur yang berat dan besar, seperti pasang jalur pipa. Kemudian apa yang bisa
http://www.migasreview.com/post/1419414022/tantangan-besar-kembangkan-energiterbarukan-skala-kecil.html
dilakukan? yaitu memilih teknologi yang menggunakan sumber daya bahan baku yang
ada di daerah tersebut, seperti mini hydro, micro hydro, panel surya (tenaga sinar
matahari) yang kecil, termasuk limbah.
Limbah ini bisa sampah, limbah pabrik kelapa sawit, limbah pemotongan kayu, dan
yang sejenisnya. Secara otomatis, kita mengerucut pada solusi-solusi yang memang
masuk dalam energi terbarukan. Melihat tren tersebut, maka kita menjawab tantangan
itu dengan menyediakan solusi pembangkit energi yang berbasis pada biogas dan
biomassa, serta gasifikasi batubara.
Gasifikasi batubara ini, apakah sama dengan coal bed methane?
Bukan, teknologi ini di Indonesia juga masih baru. Dimana, batubara bukan dibakar,
tapi digasifikasi (perubahan bahan bakar padat secara termokimia menjadi gas).
Memang ada satu project yang sedang berlangsung di daerah Kalimantan.
Bisa dikatakan saat ini, GE memfokuskan pada pembangkit yang berbasis
gas?
Benar, karena kebutuhannya mengarah ke sana. Saat ini yang memang banyak
dibicarakan adalah biogas dan biomassa. Biogas bentuknya gas methane, bisa dari
limbah. Sementara, biomassa bentuk gas diproses menjadi gas sintetis. Sehingga keduaduanya berbasis gas yang dipakai sebagai bahan bakar di mesin pembangkit yang
menggunakan gas, kemudian dapat menghasilkan listrik skala yang cukup untuk
kebutuhan yang kecil dan bisa membantu PLN (Perusahaan Listrik Negara) tanpa harus
menyiapkan infrastruktur bahan baku gas yang terlalu complicated.
Oleh karena itu, kita memfokuskan dengan memberdayakan sumber bahan baku yang
tersedia di masing-masing daerah, sebab berbeda-beda. Perbandingan misal di Laos,
lebih banyak air, maka digunakan teknologi mesin pembangkit dengan bahan baku air
yang diberdayakan. Sementara Indonesia, sebenarnya lebih banyak biomassa, berbagai
macam bahan baku mulai dari tumbuh-tumbuhan, limbah, sampah dan lain-lain.
Berapa maksimal kapasitas pembangkit listrik, umumnya bisa
menghasilkan listrik dari bahan baku tersebut?
Dari sisi teknologi sebenarnya berapa saja bisa, hanya saja karakteristik dari
pembangkitan energi terbarukan biasanya kecil, jadi kalau saya jawab sekitar di bawah
http://www.migasreview.com/post/1419414022/tantangan-besar-kembangkan-energiterbarukan-skala-kecil.html
10 MW, antara 500 KW hingga 10 MW. Namun, apabila kita membicarakan untuk
kebutuhan sebuah desa, 1 MW sudah cukup. Maka ini yang menjadi tantangan kita.
Bagaimana
menghadapi
tantangan
itu,
mengingat
pembangkit
menggunakan energi terbarukan terkesan sulit dikembangkan dibanding
energi fosil yang selalu dianggap mudah didapat?
Memang tidak mudah, karena masih adanya mindset itu. Misal, penggunaan bahan
bakar solar yang menggunakan mesin diesel, dimana mesin diesel mempunyai karakter
investasinya lebih rendah, operasional lebih tinggi. Sementara mindset yang ada,
terbiasa dengan "ga apa-apa deh, yang penting murah dulu", untuk
mengubah mindset itu bahwa kita berbicara nantinya akan mendatangkan kerugian
yang lebih besar, itu sebabnya diperlukan edukasi. Dari segi upaya juga tidak sedikit,
diperlukan waktu hingga format edukasi seperti apa yang perlu disampaikan.
Contohnya, bila kita mendatangi ke pemilik pabrik kelapa sawit. Melihat dari sisi
regulasi, limbah kelapa sawit, diharuskan dikelola sedemikian rupa supaya buangannya
ke alam sudah memenuhi kriteria tertentu dan membutuhkan investasi (tambahan).
Karena, core competency-nya pabrik kelapa sawit bukan pengolahan limbahnya. Maka
pemilikpun akan membayangkan harus berinvestasi lagi, ini yang agak sulit
disampaikan. Oleh karena itu, kita harus membuatkan sebuah model, bahwa kalaupun
harus berinvestasi, maka investasi itu bukan hanya membersihkan kemudian
membuang, tapi mengelolanya menjadi sesuatu yang lebih bernilai, seperti menjadi
listrik kemudian bisa menjual, mendatangkan revenue untuk mengembalikan investasi.
Menyampaikan proses (edukasi) tersebut juga tidak mudah, maka kita perlu
menampilkan contoh proses yang sudah berjalan, hingga terkadang kita datangkan juga
investor yang mau investasi. Itu merupakan rangkaian yang harus dijawab, memang
bisa, hanya saja 'pekerjaan rumah'nya jadi banyak. Kita sedang berada ditahap itu,
kalau kita membicarakan 5 tahun ke depan, mungkin mindset-nya sudah berubah
karena sudah ada pemahaman.
Berapa biaya investasi yang dibutuhkan untuk pembangkit listrik?
Rata-rata US$2-3 juta per MW.
Mengenai ketersediaan bahan baku, bagaimana bila suatu saat tidak ada?
http://www.migasreview.com/post/1419414022/tantangan-besar-kembangkan-energiterbarukan-skala-kecil.html
Sebenarnya, ini tantangan yang paling besar, yaitu bagaimana cara menjaga agar bahan
baku bisa dikelola sustainable (berkelanjutan) selama dibutuhkan atau kontrak yang
berjalan. Perbandingan dengan negara lain, sudah ada pelaku bisnis yang fokusnya
hanya mengelola bahan baku, karena melihat adanya potensi (bahan baku) dibutuhkan
dan ada yang membutuhkan, maka masuk mekanisme pasar. Pelaku mengelola bahan
baku ini, tidak bermain dalam sektor pembangkit listrik. Namun, berfungsi
sebagai channel wall, yang menghubungkan antara pelaku pembangkit listrik dengan
pemilik bahan baku. Maka, terbentuklah sistem mekanisme harga dari bahan baku yang
jelas dan bagi pelaku pembangkit listrik bisa merencanakan investasinya.
Sebab di sini, belum membiasakan limbah (bahan baku) menjadi suatu hal berpotensi
menjadi revenue generator. Dikarenakan masih adanya pandangan limbah konotasinya
negatif, namun ketika limbah menjadi revenue generator bisa juga membunuh peluang.
Sebab, belum ada sistem untuk mengatur mekanisme pasarnya (bahan baku).
Bagaimana dengan peran pemerintah?
Saya kira, pemerintah sudah mulai menunjukkan upaya membantu dari sisi kebijakan,
seperti belum lama ini telah diterbitkan peraturan yang memperbaiki nilai tarif pada
penggunaan energi berbahan baku biogas dan biomassa. Dengan demikian, model
investasi dapat mulai terukur dan aman. (anovianti muharti)