PENANGGULANGAN MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN OLEH TENAGA KESEHATAN (Studi di Wilayah Bandar Lampung)

  PENANGGULANGAN MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN OLEH TENAGA KESEHATAN (Studi di Wilayah Bandar Lampung)

  (Jurnal)

  Oleh Vera Polina Br Ginting 1312011336 BAGIAN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG 2017

  

PENANGGULANGAN MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN OLEH

TENAGA KESEHATAN

(Studi di Wilayah Bandar Lampung)

Oleh

  

Vera Polina Br Ginting, Sunarto, Tri Andrisman

Abstrak

  Kesehatan merupakan salah satu hal penting dan mutlak dibutuhkan oleh siapa saja, tanpa melihat status maupun derajat seseorang. Upaya peningkatan kualitas hidup manusia di bidang kesehatan merupakan suatu usaha yang sangat luas dan menyeluruh. Keberadaan hukum kesehatan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap pembangunan, khususnya di bidang kesehatan. Sorotan masyarakat yang cukup tajam atas jasa pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan, khususnya dengan terjadinya berbagai kasus yang menyebabkan ketidakpuasan masyarakat memunculkan isu adanya dugaan malpraktek medis. Adapun permasalahan yang diteliti adalah bagaimanakah penanggulangan malpraktek yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan dan apakah faktor penghambat penanggulangan yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian, penanggulangan malpraktek dilakukan melalui 2 upaya yaitu upaya penal, dilakukan secara represif (penegakan hukum) yang diawali dengan pemberitahuan melalui broadcast adanya dugaan malpraktek. Sedangkan MKEK mengupayakan mediasi setelah menerima pengaduan dan mendapat klarifikasi dalam penanganan malpraktek dan upaya non penal yang dilakukan oleh MKEK yang bekerjasama dengan IDI adalah dengan cara melakukan pemberian pembekalan baik secara etik maupun disiplin kepada setiap tenaga kesehatan. Terdapat faktor penghambat dalam penanggulangan malpraktek diataranya faktor perundang-undangan, faktor penegak hukum, dan faktor masyarakat.

  Kata Kunci : Penanggulangan, Malpraktek, Tenaga Kesehatan

  

THE PREVENTION OF MALPRACTICE PERFORMED BY HEALTH

PERSONNEL (A Study in Region of Bandar Lampung)

By

Vera Polina Br Ginting, Sunarto, Tri Andrisman

  

Abstract

  Health is one of the most important and essential thing needed by everyone, regardless the social status or the degree of a person. The efforts to improve the quality of health sector is a very extensive and thorough bussiness. The existence of health lawsuit has brought an enormous influence on nation's development, particularly in health sector. The society who has put a serious concern on health service issues committed by health personnel, particularly with the various cases that cause public discontent, has raised the issue of the alleged medical malpractice. The problems in this research are formulated as follows: how is the prevention of malpractice committed by health personnel and what are the inhibiting factors in the prevention of malpractice committed by health personnel? The result of the research showed that the prevention of medical practice has been carried out in two measures; first, the penal measure which was carried out through repressive effort (law enforcement), that was the notifications via broadcast regarding the alleged malpractice. While the Medical Ethics Council (MKEK) provided a mediation after receiving complaints and to obtain clarification in the handling of malpractice; second, the non-penal efforts was undertaken by Medical Etics Council in cooperation with Indonesian Doctors Association (IDI) to outreach the health personnel regarding the ethics and discipline of the profession. There were several inhibitung factors in the prevention of malpractice lawsuit, included: constitution factor, law enforcers, and community factors.

  Keywords: Prevention, Malpractice, Health Personnel

  Hukum merupakan subsistem dalam masyarakat, oleh karenanya pekerjaan hukum dan hasil-hasilnya bukan semata-mata urusan hukum melainkan bagian dari proses masyarakat.

  beberapa teori yang dapat dipergunakan untuk menganalisis permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan kejahatan. Teori- teori tersebut pada hakekatnya berusaha untuk mengkaji dan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan penjahat dan kejahatannya. Namun dalam menjelaskan hal tersebut tentu terdapat hal-hal yang berbeda antara satu teori dengan teori lainnya. Masalah hal kejahatan bukanlah hal yang baru, meskipun tempat dan waktunya berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Kejahatan dapat terjadi dalam hal apa saja bahkan dapat terjadi dibidang kesehatan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin pesat demikian pula penerapannya yang berpengaruh pada kemajuan pelayanan kesehatan. Para ilmuwan melakukan berbagai penelitian yang sangat berani, tetapi juga sangat menakutkan. Masyarakat pun semakin kitis dalam memandang masalah yang ada, termasuk pelayanan yang diberikan dalam bidang kesehatan. Masyarakat kini menuntut agar tenaga kesehatan memberikan pelayanan yang lebih baik.

  2 1 Satjipto Raharjo,1991, Ilmu Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bhakti, hlm.16 2 Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran

  Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa kesehatan adalah merupakan hak asasi manusia. Pada pasal 28 H dinyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Selanjutnya pada pasal 34 ayat 3 dinyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk menyehatkan yang sakit dan berupaya mempertahankan yang sehat untuk tetap sehat.

I. PENDAHULUAN

1 Didalam kriminologi dikenal adanya

  Istilah Malpraktek dalam kehidupan masyarakat saat ini, yaitu kelalaian profesional karena tindakan atau kealpaan oleh pihak penyedia jasa kesehatan, sehingga perawatan yang diberikan tidak sesuai dengan prosedur standar medis (SOP) sehingga mengakibatkan kondisi medis yang memburuk, atau kematian seorang pasien. Sorotan masyarakat yang cukup tajam atas jasa pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan, khususnya dengan terjadinya berbagai kasus yang menyebabkan ketidakpuasan masyarakat memunculkan isu adanya dugaan malpraktek medis yang secara tidak langsung dikaji dari aspek hukum dalam pelayanan kesehatan. Tindak pidana merupakan salah satu istilah untuk menggambarkan suatu perbuatan yang dapat dipidana. Selain istilah tindak pidana, terdapat juga istilah perbuatan pidana, pelanggaran pidana, maupun perbuatan yang dilakukan seseorang dangan kesalahan dan dapat dipertanggungjawabkan adanya suatu tindak pidana tidak dapat terlepas dari akibat yang ditimbulkan tindakan tersebut. Seperti halnya malpraktek yang dilakukan tenaga kesehatan, yang merupakan suatu kelalaian yang dapat mengacu terjadinya malpraktek, sehingga terdapat berbagai hukum yang mengatur cara penanganan dan hukuman yang diberikan bagi pelaku kejahatan malpraktek yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan seperti yang tercantum dalam pasal 84 UU No. 36 tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan menyebutkan bahwa Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Dalam UU No. 36 tahun 2014 dikualifikasikan juga bahwa Tenaga Kesehatan minimum Diploma Tiga, kecuali tenaga medis.

  Mengingat besarnya tanggung jawab dan beban kerja tenaga kesehatan dalam melayani masyarakat, pemerintah telah mengupayakan pendidikan bagi setiap tenaga kesehatan agar dapat menghasilkan lulusan yang mampu memberikan pelayanan yang berkualitas dan dapat berperan sebagai tenaga kesehatan professional. Permasalahan yang dihadapi saat ini ialah semakin banyaknya tenaga kesehatan yang lalai dalam melaksanakan kewajibannya yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain, sehingga memungkinkannya muncul tenaga kesehatan yang tidak berkompeten. dr Asep Sukohar selaku ketua Ikatan Dokter Indonesia wilayah Lampung mengatakan bahwa dalam satu tahun dapat terjadi 2 sampai 4 dugaan malprakek di daerah Bandar Lampung. Salah satu kasus kelalaian tenaga kesehatan yang terjadi di tahun 2016 adalah kelalaian yang terjadi di salah satu rumah sakit yang di daerah Pringsewu, Bandar Lampung pada awal bulan April lalu, dugaan malpraktek yang menyebabkan 3 orang pasien meninggal dunia setelah dilakukannya operasi di hari yang sama.

  3 Pada pertengahan bulan

  Oktober lalu kasus tersebut telah di SP3 oleh Penyidik Polda Lampung, dikarenakan kurangnya bukti yang mengarah malpraktek. Walaupun sudah ditetapkan SP3 oleh penyidik tetapi keluarga salah satu korban berupaya melakukan Praperadilan terhadap kasus ini.

  4 Selain kasus

  diatas, pada bulan Oktober 2016 lalu

   Diakses pada tanggal 22 Juni 2016. Pukul 19.10 Wib ada tanggal

  28 Desember 2016. Pukul 10.07 Wib kembali terjadi dugaan malpraktek di salah satu Rumah Sakit di Bandar Lampung yang menyebabkan salah seorang pasien yang melakukan cuci darah di Rumah Sakit tersebut meninggal karena mesin cuci darah yang tiba-tiba mati karena padam listrik.

5 Dengan adanya kelalaian atau

  malpraktek yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, maka perlu upaya untuk menanggulangi agar dugaan malpraktek tersebut tidak terulang lagi. Upaya penanggulangan tindakan malpraktek ini dapat dilakukan oleh semua pihak yang terlibat, seperti Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK), Ikatan Dokter Indonesia, yang bertugas menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dokter maupun tenaga kesehatan dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Serta kepolisian selaku penegak hukum yang bertugas menyelidik dan menyidik semua tindak pidana sesuai hukum acara pidana dan peraturan perundang- undangan lainnya. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana penanggulangan malpraktek yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan dan faktor penghambat penanggulangan yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini yaitu melalui pendekatan yuridis normatif dan 5

   akses pada tanggal 28 Desember 2016. Pukul 10.20 Wib

  yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan menelaah asas-asas hukum, pandangan ,dan lain-lain. Pendekatan yuridis empiris yaitu mempelajari hukum berdasarkan fakta yang ada. Narasumber dalam penelitian ini yaitu Penyidik Polda Lampung, Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran, Dosen Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Lampung.

  II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Penanggulangan Malpraktek yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan

  Setiap tindak pidana selalu terdapat unsur sifat melawan hukum. Pada sebagian kecil tindak pidana sifat melawan hukum dicantumkan secara tegas dalam rumusan, tetapi pada sebagian larangan berbuat, maka setiap tindak pidana mengandung unsur sifat melawan hukum. Bagi tindak pidana yang tidak mencantumkan unsur sifat melawan hukum dalam rumusannya, unsur tersebut terdapat secara terselubung pada unsur-unsur yang lain. Bisa melekat pada unsur perbuatan, objek perbuatan, akibat perbuatan atau unsur keadaan yang menyertainya.

  6 Kasus-kasus malpraktek seperti

  gunung es hanya sedikit yang muncul dipermukaan. Ada banyak tindakan 6 Komariah, Emong Sapadjaja, 2002, Ajaran

  Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum dan pelayanan medik yang dilakukan dokter atau tenaga medis lainnya yang berpotensi merupakan malpraktek yang dilaporkan masyarakat tapi tidak diselesaikan secara hukum. Bagi masyarakat hal ini sepertinya menunjukkan bahwa para penegak hukum tidak berpihak pada pasien terutama masyarakat kecil yang kedudukannya tentu tidak setara dengan tenaga medis. Secara umum letak sifat melawan hukum malpraktek dibidang kesehatan terletak pada dilangarnya kepercayaan atau amanah pasien dalam kontrak terapeutik. Kepercayaan atau amanah tersebut adalah kewajiban tenaga kesehatan untuk berbuat sesuatu dengan sebaik-baiknya, secermat- cermatnya, penuh kehati-hatian, tidak berbuat ceroboh, berbuat yang seharusnya diperbuat dan tidak berbuat apa yang seharusnya tidak diperbuat. Secara khusus latak sifat melawan hukum perbuatan malpraktek tidak selalu sama, bergantung pada kasus, terutama syarat yang menjadi penyebab timbulnya malpraktek. Faktor sebab dalam kasus malpraktek selalu ada, yaitu timbulnya akibat yang merugikan kesehatan atau nyawa pasien.

  tentang Tenaga Kesehatan juga membahas tentang ketentuan pidana untuk kasus malpraktek yaitu:

  7 Adami, Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana. seolah-olah sebagai Tenaga Kesehatan yang telah memiiki izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 64 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

  Pasal 84 ayat (1) “Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan Penerima Pelayan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun”

  Pasal 84 ayat (2) “Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun” Undang-undang kesehatan diwujudkan dalam rangka memberikan kapastian hukum dan perlindungan hukum untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberika dasar bagi pembangunan kesehatan. Seorang dokter yang mengakibatkan kerugian bagi pasien akibat kelalaian dokter tersebut dalam melakukan perawatan baik langsung maupun tidak langsung dapat dimintakan pertangggungjawaban pidana. Dalam Pasal 58 ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur tentang hak korban yaitu: “ Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehtan yang diterimanya”

7 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014

Pasal 83 “setiap orang yang bukan Tenaga Kesehatan melakukan praktik

  Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik, pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan kata lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Di samping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy).

  Perbuatan malpraktek yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan dalam hal ini dapat dikategorikan termasuk kejahatan, karena sudah memiliki unsur merugikan, terutama merugikan pasien. Berbicara mengenai malpraktek, menurut M. Fakih yang pada umumnya melakukan malpaktek itu ialah dokter dan dokter gigi selaku tenaga medis. Tenaga medis juga termasuk ke dalam kategori tenaga kesehatan.

  Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan menyatakan pegertian tenaga kesehatan yaitu: “setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan” Penanggulangan malpraktek dapat dilakukan melalui 2 upaya yaitu:

  1. Upaya Penal

  Upaya penal merupakan penanggulangan suatu kejahatan dengan menggunakan hukum pidana yang didalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan pada pelanggar.

  8 Berdsarkan pendapat Devi

  Puspa Sari maka diketahui upaya penal yang dilakukan oleh Polda Lampung dalam menanggulangi dugaan malpraktek dilakukan secara represif (penegakan hukum) berdasarkan tugas di bidang penyelidikan dan penyidikan tindak pidana. Polda Lampung memiliki unit khusus untuk melakukan upaya ini, yaitu Reskrimsus bagian Kasubdit IV yang bertugas melakukan penindakan dan penyidikan terhadap kasus dugaan malpraktek dalam rangka penegakan hukum. Berdasarkan wawancara dengan Devi Puspa Sari menerangkan penyelidikan yang dilakukan terkait kasus dugaan malpraktek diawali dengan pemberitaan melalui broadcast adanya dugaan malpraktek, karena sebagian 8 Barda Nawawi Arif. Masalah Penegakan

  Hukum dan KebijakanHukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan . Kencana, Jakarta, besar dalam kasus dugaan malpraktek tidak adanya laporan dari keluarga korban. Seperti yang terjadi dalam kasus dugaan malpraktek di salah satu rumah sakit wilayah lampung yang saat ini sudah SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara). Alasan mengapa kasus tersebut dijatuhan SP3 yaitu dikarenakan kurangnya bukti yang mendukung sehingga penyidik Polda Lampung menghentikan proses penyidikan tersebut. Setiap korban (keluarga korban) mempunyai hak untuk melakukan Praperadilan, karena dengan dikeluarganya SP3 tidak menutup kemungkinan kasus ini akan ditindak lanjuti kembali setelah dilakukannya Praperadilan.

  Apabila penyidik mengetahui adanya dugaan malpraktek maka pihak reskimsus segera melakukan penyelidikan dengan meminta bantuan para ahli yang berasal dari IDI, MKEK, dan PUSDOKKES Polri.

  Upaya penal dalam dugaan malpraktek melibatkan banyak pihak yang ikut serta dalam pembuktiannya baik dari pihak kepolisian maupun dari pihak kesehatan. Penyelesaian sengketa medik diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Apabila tindakan dokter bertentangan dengan etika dan moral serta kode etik kedokteran Indonesia (Kodeki) yang telah dibuktikan oleh Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK), maka bisa dikatakan malpraktik dan dapat diajukan gugatan hukum. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) merupakan salah satu organisasi yang turut serta dalam prosedur penanganan dugaan malpraktek. Menurut Fatah.W. berikut ini adalah prosedur yang dilakukan MKEK:

  1. Menerima Pengaduan Melalui IDI Cabang/Wilayah/Pusat atau langsung ke MKEK Cabang/Wilayah/Pusat, sesuai tempat kejadian perkara kasus aduan tersebut.

  Apabila menerima aduan secara tertulis maka harus memenuhi syarat sebagai berikut: a.

  Identitas pengadu b. Nama dan alamat tempat praktik dokter dan waktu tindakan dilakukan c. Alasan sah pengadu d. Bukti-bukti dan keterangan saksi atau petunjuk yang menunjang dugaan pelanggaran etika tersebut

  Apabila pengaduan tersebut tidak lengkap atau tidak atau berisi keterangan yang dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk pembinaan pengabdian profesi, maka ketua MKEK dapat menolak atau meminta pengaduan memperbaiki atau melengkapinya.

  2. Pemanggilan pengadu dan teradu Pemanggilan ini dapat dilakukan sampai 3 kali berturut-turut dan jika setelah 3 kali pengadu tetap tidak dating tanpa alasan yang sah, maka pengaduan tersebut dinyatakan batal, dan jika pada pemanggilan ke 3 teradu tidak dating dengan alasan yang sah maka pananganan kasus dilanjutkan tanpa kehadiran teradu dan putusan yang ditetapkan dinyatakan sah dan tidak dapat dilakukan banding.

  3. Penelaahan Kasus Penelaahan kasus dugaan malpraktek dilakukan dengan cara sebagai berikut: a.

  Mempelajari keabsahan surat pengaduan b.

  Bila perlu mengundang pasien atau keuarga pangadu untuk klarifikasi awal pengaduan yang disampaikan c. Bila perlu mengundang dokter teradu untuk klarifikasi awal yang diperlukan d. Bila diperlakukan melakukan kunjungan ketempat kejadian/perkara e. Diakhir penelaahan, ketua MKEK menetapkan pengaduan tersebut layak atau tidak layak untuk disidangkan oleh majelis pemeriksa. Pada saat penelaahan dilaksanakan maupun pada saat persidangan, dokter teradu berhak didampingi oleh pembela.

  Kemahkamahan MKEK Sidang ini dilakukan apabila perkara tersebut sudah memenuhi syarat dan benar adanya. Dalam siding ini pengadu,teradu, dan saksi tidak diambil sumpah melainka diminta kesediaan untuk menandatangani pernyataan tertulis di depan MKEK bahwa semua keterangan yang diberikan adalah benar. Para pihak dapat mengajukan saksi namun keputusan penerimaan kesaksian atau kesaksian ahli ditentukan oleh Ketua Majelis Pemeriksa.

  Divisi Kemahkamahan MKEK Keputusan Majelis Pemeriksa diambil ketentuan sebagai berikut : a.

  Diambil atas dasar musyawarah dan mufakat atau atas dasar suara terbanyak dari Majelis Pemeriksa, dengan tetap mencatat perbedaan pendapat b. Bersifat rahasia, kecuali dinyatakan lain c. Berupa dinyatakan melanggar atau tidak melanggar Kode Etik

  Kedokteran Indonesia d. Dapat dilakukan banding paling lambat 2 minggu setelah putusan ditetapkan. Selain upaya yang dilakukan di atas menurut Fatah.W, MKEK selalu mengupayakan mediasi setelah menerima pengaduan dan mendapatkan klarifikas dalam penanganan malpraktek.

  Menurut penulis, perlu dilakukan pembinaan khusus terhadap setiap tenaga kesehatan, agar dalam menjalankan tanggungjawab mereka tidak melakukan kesalahan dalam hal memberikan penanganan medis terhadap pasien, serta perlu memberikan pengalaman penanganan medis yang lebih kepada tenaga kesehatan, karena dengan pengalaman yang cukup mereka akan memberikan pelayanan kesehatan yang baik. Selain itu diperlukan juga pengadilan tersendiri bagi tenaga kesehatan dalam penanganan malpraktek karena sampai saat ini banyaknya persepsi yang salah muncul dimasyarakat bahkan bagi aparat penegak hukum dengan perkara dugaan malpraktek. Adanya kerja sama yang baik antara pihak kepolisian selaku penyidik dengan pihak di bidang kesehatan seperti

4. Sidang Majelis Pemeriksaan Divisi

5. Keputusan Majelis Pemeriksa

  IDI,MKEK,dan MKDKI diharapkan dapat menyatukan perpsepsi dalam penanganan dugaan malpraktek agar setiap kasus dugaan malpraktek dapat diselesaikan sebagaimana mestinya. Karena terkadang sangat sulit membuktikan kesalahan dokter. Sebagian besar kasus malpraktek diselesaikan secara damai yang dilakukan di luar jalur litigasi, karena dokter tidak menghendaki reputasinya rusak apabila dipublikasikan negatif, walaupun ada kemungkinan dokter yang bersangkutan tidak bersalah.

1. Upaya Non penal

  Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya kejahatan.

  menanggulangi kasus malpraktek dapat dilaksanakan dengan cara preventif (pencegahan terjadi tindak pidana), yaitu dengan cara melakukan penyuluhan atau pun sosialisasi kepada tenaga kesehatan. Agar setiap tenaga kesehatan lebih berhati-hati lagi dalam melakukan tugasnya sebagai tenaga medis. Upaya penanggulangan terhadap kasus dugaan malpraktek sebenarnya yang lebih berwenang adalah Tim dari kesehatan itu sendiri karena merekalah yang lebih paham terhadap apa yang mereka lakukan, apakah sudah sesuai dengan ilmu yang mereka pelajari atau tidak. Berdasarkan hasil wawancara dengan Fatah.W menyatakan upaya

  nonpenal yang dilakukan oleh IDI dan 9 Barda Nawawi Arif. Op.Cit. hlm.158

  MKEK adalah dengan cara melakukan pemberian pembekalan baik secara etik maupun disiplin kepada setiap anggota (tenaga kesehatan). Pembekalan dilakukan dengan cara mewajibkan mengikuti setiap kegiatan ilmiah, seminar, simposium yang dalam kegiatan tersebut akan ada penetapan SKP (Satuan Kredit Partisipasi) sebagai penilaian dalam kegiatan seminar atau simposium tersebut. Dalam setiap kegiatan ilmiah, seminar dan simposium yang dilakaukan selalu disisipkan penyampaian tentang pelanggaran etik dan disiplin dalam tindakan medis sebagai cara untuk mengingatkan setiap tenaga medis agar bertindak hati-hati dalam tugasnya.

  Menurut penulis sendiri upaya penanggulangan malpraktek yang dilakukan merupakan upaya yang sesuai dengan ketentuan yang terkait. Upaya penanggulangan kejahatan non

9 Upaya non penal dalam

  penal lebih bersifat tindakan

  pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan. Upaya non penal yang dilakukan IDI dan MKEK dilakukan untuk mencapai kesejahteraan dan sekaligus mencakup perlindungan kepada masyarakat (pasien) untuk itu dalam hal pencegahan tersebut IDI, MKEK, kepolisian, harus berkoordinasi dengan pihak Rumah Sakit dan para tenaga

  kesehatan dalam hal melakukan tindakan preventif.

B. Faktor Penghambat dalam Penanggulangan Malpraktek yang dilakukan Oleh Tenaga Kesehatan

  Berdasarkan studi wawancara yang dilakukan dengan responden maupun dari hasil pustaka, ditemukan beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam penanggulangan malpraktek yang dilakukan tenaga kesehatan. Faktor penghambat tersebut dapat diperjelas dan dirinci sebagai berikut:

  Perundang-undangan (substansi hukum)

1. Faktor

  Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum.

  Hakekatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencangkup law

  enforcement , akan tetapi juga peace maintenance , karena penyelengaraan

  hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai dan kaidah-kaidah serta pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian. Devi Puspa Sari dalam hasil wawancara juga menambahkan bahwa tidak ada aturan undang-undang lain yang bertentangan, tetapi dalam mengkaji lebih dalam kasus dugaan malprakteklah yang menjadi penghambat karena kurang pengetahuan mengenai perbuatan malpraktek yang dapat diproses sesuai dengan prosedur yang ada dalam undang-undang. Menurut penulis sendiri faktor undang- undang menjadi penghambat karena belum adanya undang-undang yang membahas tentang malpraktek secara mendalam, sehingga kurangnya pemahaman mengenai batasan-batasan perbuatan malpraktek bagi aparat penegak hukum. Dengan tidak adanya kejelasan secara terperinci tentang malpraktek maka menjadi penghambat dalam penegakan hukum tersebut dalam melakukan upaya penanggulangan malpraktek.

  2. Faktor penegak Hukum Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan.

  Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Aparat penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) sebagai penegak hukum. Dalam arti sempit, aparat penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum tersebut dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak- pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali terpidana. Devi puspa Sari mengatakan bahwa kualitas para penyidik masih banyak yang kurang memahami jenis-jenis kejahatan yang terkait dalam kesehatan, sehingga sulit untuk mengusut kejahatan-kejahatan yang di indikasi dalam kesehatan terutama malpraktek yang menyebabkan kurang efektif melaksanakan kewajibannya serta kurangnya pemahaman dan kualitas penyidik dalam mengatasi kejahatan terkait bidang kesehatan khususnya malpraktek. Sehingga perlunya pemberian pembinaan mengenai pengenalan-pengenalan kejahatan terutama dibidang kesehatan kepada penyidik. Karena apabila terjadi kasus dugaan malpraktek maka para penyidik khususnya penyidik Reskrimsus Polda Lampung memerlukan batuan dari pusat dalam hal penyidikan terhadap kasus dugaan malpraktek karena kurangnya pemahaman. Menurut penulis faktor aparat penegak hukum dapat menjadi penghambat karena dengan kurangnya pemahaman aparat penegak hukum dalam batasan- batasan perbuatan malpraktek dapat menghambat dalam mengatasi kejahatan terkait bidang kesehatan khususnya malpraktek.

  3. Faktor masyarakat Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum. Sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai tujuan dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Sebaliknya semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik. Seperti halnya kasus dugaan malpraaktek. Devi Puspa Sari mengatakan bahwa penghambat dalam penyidikan seringkali terjadi khususnya dalam kasus dugaan malpraktek yang seringkali para keluarga korban tidak ingin melakukan otopsi terhadap pasien yang menjadi korban dalam kasus dugaan malpraktek. Yang mengakibatkan terhambatnya proses penyidikan karena bukti yang kurang cukup. Selain itu keluarga korban juga seringkali tidak langsung melaporkan dugaan malpraktek ke pihak yang berwajib tetapi membeberkan adanya kasus dugaan malpraktek ke media, seolah-olah adanya keraguan terhadap penegak hukum. Menurut penulis faktor masyarakat sangatlah berpengaruh penting, karena semakin besar kesadaran hukum masyarakat maka penegakan hukum akan berjalan dengan baik. Dalam hal ini peran masyarakat sangat dibutuhkan dalam proses pembuktian kasus malpraktek karena seringkali ketidakinginan pihak korban untuk melakukan otopsi menjadi penghambat dalam proses penyidikan, sehingga upaya aparat penegak hukum dalam penanggulangan malpraktek sering terhambat dalam penegakan hukumnya. Ketiga faktor tersebut sangatlah saling berkaitan erat, karena merupakan esensi dari penegakan hukum, serta merupakan tolak ukur dari efektivitas penegakan hukum.

  Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan dalam bab-bab sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1.

  Upaya dalam penanggulangan malpraktek dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu penal dan

  non penal . Pertama upaya penal,

  upaya penal yang dilakukan oleh Reskrimsus Polda Lampung dalam menanggulangi malpraktek dilakukan secara represif (penegakan hukum) yang diawali dengan pemberitahuan melalui

  broadcast adanya dugaan

  malpraktek. Sedangkan MKEK mengupayakan mediasi setelah menerima pengaduan dan mendapat klarifikasi dalam penanganan malpraktek.

  Kedua upaya non penal, upaya

  non penal

  yang dilakukan oleh MKEK yang bekerjasama dengan

  IDI adalah dengan cara melakukan pemberian pembekalan baik secara etik maupun disiplin kepada setiap tenaga kesehatan. Misalnya dalam kegiatan ilmiah, simposium, maupun seminar tentang kesehatan diadakan SKP (Satuan Kredit Partisipasi) sebagai penilaian dalam kegiatan tersebut, serta disisipkan pembahasan tentang pelanggaran etik dan disiplin dalam tindakan medis.

  2. Terdapat beberapa faktor penghambat dalam penanggulangan malpraktek yang dilakukan oleh tenaga kesehatan adalah sebagai berikut:

III. Simpulan

  1) Faktor Perundang-undangan, faktor perundang-undangan menjadi penghambat karena belum adanya undang-undang yang membahas tentang malpraktek secara mendalam, sehingga kurangnya pemahaman mengenai batasan-batasan perbuatan malpraktek bagi aparat penegak hukum. Dengan tidak adanya kejelasan secara terperinci tentang malpraktek maka menjadi penghambat penegakan hukum tersebut dalam melakukan upaya penanggulangan malpraktek.

  2) Faktor Penegak Hukum, yang menjadi penghambat penegak hukum dalam menanggulangi malpraktek yaitu kualitas para penyidik masih banyak yang kurang memahami jenis-jenis kejahatan yang terkait dalam kesehatan, sehingga sulit untuk mengusut kejahatan- kejahatan yang di indikasi dalam kesehatan terutama malpraktek yang menyebabkan kurang efektif melaksanakan kewajibannya dalam mengatasi kejahatan terkait bidang kesehatan khususnya malpraktek. 3)

  Faktor Masyarakat, yaitu kurangnya kepedulian masyarakat menjadi penghambat dalam penyidikan dalam kasus dugaan malpraktek karena para keluarga korban tidak ingin melakukan otopsi terhadap pasien yang menjadi korban dalam kasus dugaan malpraktek, singga mengakibatkan terhambatnya proses penyidikan karena bukti yang kurang cukup. Selain itu keluarga korban juga tidak langsung melaporkan dugaan malpraktek ke pihak yang berwajib tetapi membeberkan adanya kasus dugaan malpraktek ke media, seolah- olah adanya keraguan terhadap penegak hukum.

  Buku Arief, Barda Nawawi, 2008. Masalah

  Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan . Jakarta: Kencana.

  Chazawi, Adami. 2011. Pelajaran

  Hukum Pidana . Bagian 1. Jakarta:

  Rajawali Pers Samil, Ratna Suprapti.2001. Etika

  Kedokteran Indonesia. .Jakarta: Tridasa

  Printer Sapadjaja. Komariah Emong. 2002.

  Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia .

  Bandung:Alumni B.

  Undang-undang Undang-undang No.36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana C.

  Sumber Lain