BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sirosis hati 2.1.1 Definisi - Hubungan besar varises esofagus secara endoskopi dengan Forns index pada penderita sirosis hati

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sirosis hati

  2.1.1 Definisi

  Kata sirosis berasal dari kata kirrhos yang merupakan bahasa Yunani, yang berarti oranye atau kuning kecoklatan, dan osis, berarti kondisi. Istilah sirosis

  19,20

  diperkenalkan pertama kali oleh Laennec pada tahun 1826. Definisi sirosis berdasarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah suatu proses difus yang ditandai dengan fibrosis dan perubahan arsitektur hati normal menjadi struktur nodul

  21 abnormal yang tidak memiliki organisasi lobular yang normal.

  Sirosis hati adalah penyakit hati yang menahun yang difus yang ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak

  22

  teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut. Banyak bentuk kerusakan hati yang ditandai fibrosis. Batasan fibrosis sendiri adalah penumpukan berlebihan matriks ekstraselular (seperti kolagen, glikoprotein, proteoglikan) dalam hati. Respon fibrosis terhadap kerusakan hati bersifat reversibel. Namun pada

  20 sebagian besar pasien sirosis, proses fibrosis biasanya tidak reversibel.

  Progresifitas kerusakan hati ini dapat berlangsung dalam waktu beberapa

  19,20,23 minggu sampai beberapa tahun.

  2.1.2 Epidemiologi

  Penyakit hati menahun dan sirosis dapat menimbulkan sekitar 35.000 kematian per tahun di Amerika Serikat. Sirosis merupakan penyebab kematian utama yang kesembilan di AS, dan bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh kematian di AS. Banyak pasien yang meninggal pada dekade keempat atau kelima kehidupan

  19,20 mereka akibat penyakit ini. Setiap tahun, 2.000 kematian tambahan dikaitkan dengan kegagalan hati fulminan (FHF). FHF disebabkan hepatitis virus (misalnya, hepatitis A dan B), obat- obatan (misalnya asetaminofen), racun (misalnya Amanita phalloides, yellow death

cap mushroom ), hepatitis autoimun, penyakit Wilson, atau berbagai etiologi lainnya.

Penyebab kriptogenik bertanggung jawab atas sepertiga dari kasus fulminan. Pasien dengan sindrom FHF memiliki tingkat kematian 50-80% kecuali mereka memperoleh

  20 transplantasi hati.

  Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), pada tahun 2000 sekitar 170 juta umat manusia menderita sirosis hepatis. Angka ini meliputi sekitar 3% dari seluruh populasi manusia di dunia dan setiap tahunnya kejadian baru sirosis hepatis

  21

  bertambah 3 - 4 juta orang. Angka prevalensi penyakit sirosis hepatis di Indonesia, secara pasti belum diketahui. Namun dari beberapa laporan rumah sakit umum pemerintah di Indonesia berdasar diagnosis klinis saja didapati prevalensi sirosis hati yang dirawat di bangsal penyakit dalam umumnya berkisar antara 3,6 – 8,4% di Jawa dan Sumatera, sedangkan di Sulawesi dan Kalimantan di bawah 1%. Secara keseluruhan rata – rata prevalensi sirosis adalah 3,5% seluruh pasien yang dirawat di bangsal penyakit dalam, atau rata – rata 47,4% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat. Kasus ini lebih banyak ditemukan pada kaum laki-laki dibandingkan kaum wanita dengan perbandingan 2,1 : 1 dan usia rata – rata 44 tahun (rentang usia 13 –

  24 88 tahun) dengan kelompok terbanyak antara usia 40 – 50 tahun.

2.1.3 Etiologi dan Patogenesis

  Terdapat banyak penyebab "sirosis hati", beberapa diantaranya jarang terjadi, bahkan muncul di masa kecil (misalnya air minum dari pipa tembaga). Sirosis merupakan penyakit yang diperoleh atau berbasis genetika. Klasifikasi etiologi, terutama dengan diagnosis dini, harus selalu menjadi prioritas, karena dapat membantu pengobatan dan juga prognosis. Dengan menggabungkan data klinis biokimia, histologi, dan epidemiologi penyebab sirosis sebagian besar dapat ditentukan. Pada masa lalu penyakit hati alkohol merupakan penyebab sirosis yang paling menonjol di Amerika Serikat. Akhir – akhir ini hepatitis C mulai meningkat jumlahnya sebagai penyebab utama hepatitis kronik maupun sirosis secara nasional. Di Indonesia, banyak penelitian menunjukkan bahwa hepatitis B dan C merupakan

  19,24,25 penyebab sirosis yang lebih menonjol dibanding penyakit hati alkoholik.

  Banyak kasus sirosis kriptogenik ternyata disebabkan penyakit perlemakan hati non – alkoholik (non-alcoholic fatty liver disease) NAFLD. Bila kasus – kasus sirosis kriptogenik diteliti, ternyata banyak pasien menunjukkan satu atau lebih faktor resiko klasik NAFLD seperti : obesitas, diabetes, dan hipertrigliseridemia. Diduga steatosis berkurang pada beberapa hati penderita, sementara fibrosis hatinya justru berkembang dengan progresif. Ini yang membuat diagnosis histologi dari NAFLD

  20,23,25 menjadi sulit.

  Sepertiga orang Amerika mempunyai NAFLD, sekitar 2 – 3% orang Amerika menunjukkan steatosis non – alkoholik (non – alcoholic steatohepatitis) NASH, yang deposisi lemaknya dalam hepatosit mengalami komlipkasi berupa peradangan atau inflamasi hati dan fibrosis. Diperkirakan 10% pasien NASH dikemudian hari berkembang menjadi sirosis. NAFLD dan NASH telah diperkirakan akan menjadi

  20,23 salah satu masalah kesehatan masyarakat utama pada dekade mendatang.

  Penyebab utama sirosis di Amerika Serikat adalah hepatitis C (26%), penyakit hati alkoholik (21%), hepatitis C plus penyakit hati alkoholik (15%), kriptogenik

  20,26 (18%), hepatitis B yang bersamaan hepatitis D (15%), dan penyebab lain (5%).

  Penyebab lain penyakit hati menahun dan sirosis : hepatitis autoimun, sirosis bilier primer, sirosis bilier sekunder (berhubungan dengan obstruksi saluran empedu ekstrahepar menahun), kolangitis sklerosing primer, hemokromatosis, penyakit Wilson, defisiensi α-1 antitripsin, penyakit granulomatosa (contoh : sarkoidosis), penyakit glycogen storage type IV

  , hepatitis imbas obat (contoh : metotreksat, α- metildopa, amidaron), obstruksi aliran vena (contoh : sindrom Budd-Chiari, penyakit

  20,25,26 veno-oklusif), gagal jantung kanan kronik dan regurgitasi trikuspid.

  Terjadinya fibrosis hati menggambarkan kondisi ketidakseimbangan antara produksi matriks ekstraseluler dan proses degradasinya. Sel – sel stelata yang berada dalam ruangan perisinusoidal merupakan sel penting untuk memproduksi matriks ekstraseluler. Beberapa faktor dapat dilepas atau diproduksi oleh sel – sel hepatosit, sel – sel Kupfer, dan endotel sinusoid pada saat terjadi kerusakan hati. Sebagai contoh : peningkatan kadar TGF -

  β1 dijumpai pada pasien dengan hepatitis C kronik dan sirosis. TGF - β1 selanjutnya akan merangsang sel – sel stelata yang aktif untuk

  19,20

  memproduksi kolagen tipe I. Peningkatan deposisi kolagen dalam ruang Disse ( ruang antara hepatosit dan sinusoid) dan pengurangan ukuran fenestra endotel akan menimbulkan kapilarisasi sinusoid. Sel – sel stelata yang aktif juga mempunyai sifat konstriksi. Kapilarisasi dan konstriksi sinusoid oleh sel – sel stelata dapat memicu

  19,20,27 terjadinya hipertensi portal.

  19 Tabel 2.1 Etiologi Sirosis Hati

2.1.4 Manifestasi klinis Keluhan subjektif dari pasien sirosis bersifat non karateristik dan ambigu.

  Kelelahan dikeluhkan sekitar 60-80% pasien, gangguan tidur (mungkin disebabkan oleh gangguan irama melatonin), keluhan gangguan saluran cerna (50-60%), dan

  28 gangguan mental kadang dikeluhkan oleh pasien. Beberapa keluhan dan gejala yang sering timbul pada sirosis antara lain adalah: kulit berwarna kuning, rasa mudah lelah, nafsu makan menurun, gatal, mual, penurunan berat badan, nyeri perut dan mudah berdarah (akibat penurunan produksi

  19,20,29,30

  faktor-faktor pembeku darah). Hepatic myelopati dengan paraparesis spastic jarang terjadi, terutama pada tahap lanjut dari sirosis. Gejala dari neuropati perifer juga terjadi. Kadang terjadi meteorismus dan pada beberapa kasus timbul asites. Takikardia, hipotensi, dan sistolik murmur yang menunjukkan sirkulasi hiperdinamik juga terjadi. Spider naevi menunjukkan gangguan signifikan pada sirkulasi sistemik dan pulmoner. Murmur dapat terdengar pada area umbilical (sindroma Cruveilhier- Baumgarten). Laki-laki dapat menampakkan gejala feminisasi, sedangkan wanita

  28 menunjukkan gejala hipogonadisme.

  Pasien sirosis juga dapat mengalami keluhan dan gejala akibat komplikasi dari sirosis hatinya. Pada beberapa pasien, komplikasi ini dapat menjadi gejala pertama yang membawa pasien pergi ke dokter. Pasien sirosis dapat tetap berjalan kompensata selama bertahun-tahun sebelum berubah menjadi dekompensata. Sirosis dekompensata dapat dikenal dari timbulnya bermacam komplikasi, seperti ikterus, perdarahan varises, asites, atau ensefalopati. Ikterus terjadi karena kegagalan fungsi hati, dan pengobatan terhadap komplikasi ini biasanya mengecewakan, kecuali pasien

  19,20,26,29,30 mendapat transplantasi.

  Sesuai dengan konsensus Baveno IV, sirosis hati dapat diklasifikasikan menjadi empat stadium klinis berdasarkan ada tidaknya varises, asites dan perdarahan varises : stadium 1 (tidak ada varises, tidak ada asites), stadium 2 (ada varises tanpa asites), stadium 3 (asites dengan atau tanpa varises), dan stadium 4 (perdarahan dengan atau tanpa asites). Stadium 1 dan 2 dimasukkan dalam kelompok sirosis

  10 kompensata, sementara stadium 3 dan 4 dalam kelompok sirosis dekompensata.

2.1.5 Diagnosis Satu-satunya tes diagnosis sirosis hati yang paling akurat adalah biopsi hati.

  Namun biopsi hati dapat menimbulkan komplikasi serius meskipun sangat jarang. Diagnosis kemungkinan sirosis dapat dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium rutin, maupun pemeriksaan imejing. Bila diagnosis sirosis dapat ditegakkan, pemeriksaan lain dikerjakan untuk menentukan beratnya sirosis serta ada tidaknya komplikasi. Pemeriksaan lain juga dapat dibuat untuk menentukan penyakit dasar yang menyebabkan sirosis seperti : ANA (Antinuclear

  

antibody ), ASMA (Anti – smooth muscle antibody), AMA (Anti – mitochondrial

antibody ) yang kadang – kadang dapat ditemukan pada darah pasien hepatitis

10,19,20,26,30

  autoimun atau sirosis bilier primer. Penilaian atau klasifikasi tingkat

  12 keparahan sirosis diukur dengan menggunakan skor Child – Pugh.

  

12

Tabel 2.2 Klasifikasi Child – Pugh

2.2 Varises esofagus

2.2.1 Defenisi

  Penderita sirosis hati yang memiliki varises esofagus yang besar akibat hipertensi portal beresiko 25 % - 35 % mengalami perdarahan serta 15 % - 20% beresiko kematian pada setiap episode perdarahan. Tingkat kematian bergantung

  19

  kepada keadaan umum pasien dan beratnya perdarahan. Varises esofagus merupakan kolateral portosistemik yang terbentuk setelah adanya dilatasi saluran pembuluh darah vena mulai dari distal esofagus akibat hipertensi portal. Varises

  31 esofagus sering terjadi pada 2 – 5 cm distal dari esofagus.

2.2.2 Patofisiologi

  Pada sirosis, hipertensi portal terinisiasi melalui peningkatan resistensi vaskular intrahepatik dan kemudian diperberat oleh perubahan pada sirkulasi sistemik dan splanik yang meningkatkan aliran portal. Peningkatan resistensi vaskular intrahepatik tidak hanya disebabkan oleh faktor mekanikal (seperti : jaringan fibrosis dan nodul - nodul regeneratif yang mendistorsi arsitektur pembuluh darah hepar), tetapi juga oleh komponen dinamis reversibel yang dimediasi oleh peningkatan tonus vaskular disebabkan oleh kontraksi aktif miofibrolast di sekitar sinusoid hepatik dan dalam septa fibrous. Komponen dinamik ini (menyumbang sekitar 30% pada peningkatan resistensi vaskular intrahepatik) menggambarkan gangguan fungsional dari sirkulasi hepar akibat dari peningkatan produksi vasokonstriktor (contoh : endotelin – 1, norepinephrin, angiotensin II, leukotriene, tromboxane A2) dan

  32,33,34,35

  penurunan pelepasan vasodilator endogen (terutama NO / nitric oxide). Sel stelata memiliki sifat kontraktil yang dapat dimodulasi oleh substansi vasoaktif antara lain NO dan endothelin yang dapat meningkatkan resitensi intrahepatik dan aliran

  36

  darah tertutama pada sinusoidal. Angiogenesis juga telah menunjukkan pengaruh terhadap hipertensi portal melalui studi – studi yang menggambarkan pengaturan peningkatan tekanan portal, sirkulasi hiperdinamik, neovaskularisasi splangnik, dan kolateralisasi portosistemik yang diregulasi oleh VEGF (Vascular Endothelial

  37 Growth Factor ) dan PDGF (Platelet derived Growth Factor).

  Pada sirosis, gradien portosistemik dinilai dengan mengukur WHVP (Wedged ) atau pengukuran tekanan sinusoid hepar dan dikurangi

  Hepatic Venous Pressure

  dengan FHVP (Free Hepatic Venous Pressure) / tekanan bebas vena hepatika atau tekanan vena cava inferior intraabdominal sehingga akan didapat HVPG (Hepatic

  12,38

Venous Pressure Gradient ). Nilai normal HVPG adalah 3 – 5 mmHg. Nilai

  HVPG ≥ 10 mmHg sudah menggambarkan hipertensi portal yang signifikan secara

  3

  klinis dan dan perubahan nilai

  ≥ 12 mmHg untuk terjadinya perdarahan varises akut, HVPG yang terjadi setiap waktu memiliki nilai prediksi untuk perkembangan varises esofagogastrik, resiko perdarahan variseal, perkembangan komplikasi hipertensi portal non – variseal (asites, sindrom hepatorenal, dan ensefalopati), dan

  39,40,41,42,43

  mortalitas. Pengukuran satu kali sangat bermanfaat dalam menentukan prognosis sirosis kompensata dan dekompensata, sedangkan pengukuran berulang sangat berguna untuk monitor respon terhadap terapi farmakologi dan progresi penyakit hati. Pada pasien sirosis didapati peningkatan resistensi intrahepatik dan peningkatan aliran darah splanik. Faktor awal yang berperan yaitu peningkatan resitensi intrahepatik sementara peningkatan aliran darah splanik meruapakan fenomena sekunder untuk mempertahankan atau memperburuk peningkata hipertensi portal dan menimbulkan keadaan hiperdinamik ditandai dengan peningkatan nadi,

  44 kardiak output, dan volum plasma.

  44 Gambar 2.1 Patogenesis Hipertensi Portal

2.2.3 Epidemiologi

  Varises dan perdarahan varises merupakan komplikasi sirosis yang diakibatkan langsung dari hipertensi portal. Pasien dengan sirosis dan varises gastroeseofageal memiliki nilai HVPG setidaknya 10 – 12 mmHg. Varises

  12

  gastroesofageal tampak pada sekitar 50% pasien sirosis. Pada saat sirosis pertama kali didiagnosis, varises tampak pada 30 – 40% pasien stadium kompensata dan pada

  40

  60% pasien stadium dekompensata. Pada pasien sirosis tanpa varises saat pemeriksaan endoskopi pertama kali, insidensi tahunan terbentuknya varises yang

  45,46,47

  baru rata – rata 7% (berkisar antara 5 – 10% per tahun. Setelah terbentuknya varises, ukuran varises akan bertambah dari kecil sampai besar sebelum akhirnya ruptur dan berdarah. Progresi dari varises ukuran kecil hingga menjadi besar masih kontroversial, namun menunjukkan angka laju progresi varises yang berkisar antara 5

  45,46,47,48

  • – 30% per tahun. Perdarahan varises pertama memiliki angka insidensi sekitar 4% per tahun, dan resiko ini meningkat menjadi 15% per tahun pada pasien dengan varises ukuran medium sampai besar. Insidensi perdarahan ulang berkisar antara 30 –

  47 40% pada 6 minggu pertama.

Tabel 2.3 Epidemiologi varises esofagus dan korelasinya dengan tingkat

  49 keparahan penyakit hati

2.2.4 Perjalanan alamiah varises esofagus

  Pada pasien sirosis yang belum mengalami varises berarti tekanan portalnya belum cukup tinggi untuk menyebabkan varises. Seiring bertambahnya tekanan portal, pasien akan memiliki progresi mengalami varises yang kecil. Bertambahnya waktu dan sejalan dengan peningkatan sirkulasi hiperdinamik, aliran darah yang melalui varises akan meningkat sehingga meningkatkan tekanan pada dinding varises. Perdarahan varises disebabkan ruptur terjadi ketika bertambahnya ketegangan

  49

  maksimal pada dinding varises. Diameter pembuluh darah merupakan salah satu penentu tekanan variseal. Pada tekanan yang sama, pembuluh darah dengan diameter besar akan ruptur sedangkan pembuluh darah dengan diameter kecil tidak akan ruptur. Selain diameter pembuluh darah, salah satu penentu tekanan padan dinding varises adalah tekanan di dalam varix yang berkaitan langsung dengan HVPG. Oleh karena itu, penurunan HVPG seharusnya memicu penurunan tekanan pada dinding varises sehingga mengurangi resiko ruptur. Perdarahan varises tidak akan terjadi ketika HVPG diturunkan menjadi < 12 mmHg, dan resiko perdarahan ulang juga

  12 menurun secara signifikan dengan penurunan HVPG lebih dari 20% nilai awal.

  Faktor lain yang juga sangat konsisten dengan progresi varises adalah klasifikasi keparahan penyakit hati berdasarkan skor Child – Pugh, dan tampilan red wale marks (didefinisikan sebagai venula yang membesar dan memanjang pada permukaan

  12,46,50 varises) pada saat pemeriksaan endoskopi awal.

  47 Gambar 2.2 Perjalanan alamiah varises esofagus

2.2.5 Diagnosis

  Pemeriksaan esophagogastroduodenoscopy (EGD) merupakan gold standar

  12

  dalam mendiagnosis varises. Konsensus saat ini menyatakan bahwa setiap pasien sirosis seharusnya menjalani skrining varises dengan endoskopi pada saat diagnosis. Tujuan dari skrining varises esofagus adalah untuk mendeteksi pasien yang memerlukan terapi profilaksis. Pemeriksaan endoskopi sebaiknya diulang setelah 2 – 3 tahun kemudian pada pasien tanpa varises pada saat endoskopi pertama.

  Berdasarkan angka laju progresi besar varises yang berkisar 10 – 15 % per tahun, endoskopi sebaiknya diulang setiap 2 tahun pada pasien dengan varises yang kecil. Pada pasien dengan sirosis yang dekompensata atau tampak red wale marks pada endoskopi, interval pemeriksaan endoskopi tiap 1 tahun sangat

  10,11,12,46,47,48 direkomendasikan.

  49 Tabel 2.4 Guideline diagnosis varises esofagus

  Telah lama diketahui bahwa gambaran varises secara endoskopi sangat krusial untuk memprediksi pasien mana yang memiliki resiko tinggi untuk perdarahan varises dan juga yang mana akan memiliki keuntungan dari terapi. Oleh sebab itu dibutuhkan sistem yang divalidasi untuk klasifikasi gambaran varises esofagus secara endoskopi. Pada tahun 1980 Japanese Research Society for Portal Hypertension merancang sistem klasifikasi yang kompleks untuk menggambarkan varises esofagus, sistem ini menggambarkan varises berdasarkan warna, ukuran, bentuk, lokasi, dan

  51 stigmata.

Tabel 2.5 Sistem klasifikasi varises esofagus (Japanese Research Society for

  51,52 Portal Hypertension)

2.3 Diagnosis Non – endoskopi varises esofagus

  Pemeriksaan baku emas untuk menegakkan diagnosis varises esofagus adalah dengan menggunakan endoskopi. Namun pemeriksaan endoskopi secara periodik dan berkala sangatlah mahal dan sering dihubungkan dengan komplikasi yang dapat timbul seperti perdarahan maupun perforasi. Di samping itu tidak semua pusat pemberi pelayanan kesehatan terutama di daerah yang memiliki fasilitas endoskopi serta adanya keterbatasan kompetensi dari seorang dokter untuk melakukan pemeriksaan endoskopi, sehingga dibutuhkan pemeriksaan (marker) non – invasif yang berhubungan dengan hipertensi portal, yang dapat mengidentifikasi adanya varises esofagus pada penderita sirosis hati.

  Berdasarkan konsep bahwa perkembangan hipertensi portal akibat dari fibrosis hati yang merupakan faktor kontribusi penting terhadap peningkatan resistensi hepatik, marker serum non – invasive dari fibrosis hati telah diuji sebagai prediktor varises esofagus pada pasien sirosis dengan hasil yang menjanjikan. Beberapa tes yang sebelumnya divalidasi sebagai prediktor fibrosis hati seperti : Lok

  

Score, APRI, Fib – 4, dan Forns index , dapat digunakan untuk memprediksi adanya

17,18 varises esofagus.

  Stefanescu dkk, meneliti mengenai beberapa pemeriksaan marker serum noninvasif dalam memprediksi adanya varises esofagus pada penderita sirosis hati, dimana didapatkan bahwa Forns index dapat memprediksi adanya varises esofagus dengan cut-off >7.297 dan varises esofagus berukuran besar dengan nilai cut-off >8.538. Hal ini yang juga mungkin mendasari penggunaan Forns index dalam

  18 memprediksi ada tidaknya serta ukuran varises esofagus pada pasien sirosis hati.

  Forns Index Forns index merupakan petanda fibrosis hati noninvasif, pertama kali

  dikemukakan oleh Forns dkk, dengan menggunakan variabel umur pasien, Gamma GT, kolesterol dan jumlah trombosit. Forns index pernah dilakukan sebagai prediktor varises esofagus pada pasien sirosis hati. Untuk nilai cut-off 8.5, AUROC (Area

  

Under Receiver Operating Curve) untuk memprediksi varises esofagus sebesar 0.74.

  Untuk mendiagnosa varises esofagus berukuran besar, AUROC sebesar 0.61 untuk nilai cut-off value 8.8. Stefanescu et al meneliti mengenai beberapa pemeriksaan marker serum noninvasif dalam memprediksi adanya varises esofagus pada penderita sirosis hati, dimana didapatkan bahwa Forns index dapat memprediksi varises esofagus berukuran besar dengan nilai cut-off >8,538 dan memiliki sensitivitas

  18 63,24% dan dan spesifisitas 63,19%.

  Rumus untuk menghitung Forns index :

  9 Forns Index = 7.811 - 3.131 x ln [platelet count (10 /L)] + 0.781 x ln

  [Gamma GT(IU/L)] + 3.467 x ln [age (years)] – 0.014 x [cholesterol (mg/dL)

  Pada penelitian Stefanescu dkk, dinyatakan cut-off value dari Forns index adalah

  18

  sebagai berikut:

  

Tabel 6. Akurasi marker serum noninvasive dalam mendeteksi adanya varises

  18 esofagus

Tabel 7. Akurasi marker serum noninvasive dalam mendeteksi adanya varises

  18 esofagus berukuran besar