BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Katoneng-katoneng pada Upacara Cawir Metua dalam Budaya Karo: Kajian Fungsi, Struktur Musik, dan Makna Tekstual

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki kekayaan kebudayaan etnik. Kebudayaan ini tersebar dari wilayah Aceh sampai Papua, atau dari Sabang di ujung barat sampai ke Merauke di ujung timur, dan dari Rote di ujung utaranya sampai Talaud di ujung selatan. Negara ini juga memiliki konsep kebudayaan multikultural yang diwadahi dalam filsafat kebangsaan bhinneka tunggal ika, biar berbeda-beda tetap satu juga. Keberadaan multikultural Indonesia ini juga tercermin di dalam kawasan Sumatera Utara. Sumatera Utara adalah salah satu provinsi di dalam wilayah Negara

  Kesatuan Republik Indonesia, yang memiliki keberadaan masyarakat yang

1 Pada masa penjajahan Belanda, di Sumatera Utara yang dikenal sekarang terdapat dua provinsi

  (afdeeling), yaitu Sumatera Timur dan Tapanuli. Ada perbedaan pengertian antara Sumatera Utara dengan

Sumatera Timur. Wilayah Sumatera Timur (Oostkust van Sumatra dalam Bahasa Belanda atau East Coast of Sumatra dalam Bahasa Inggeris) mencakup Provinsi Sumatera Utara sekarang di luar Tapanuli,

ditambah daerah Bengkalis Provinsi Riau--secara budaya termasuk pula Tamiang Provinsi Daerah

Istimewa Aceh. Lebih jauh lihat Blink, dalam bukunya Sumatra's Oostkust: In Here Opkomst en Ontwikkelings Als Economisch Gewest, (s'Gravenhage: Mouton & Co., 1918:1 dan 9). Kini Sumatera Utara adalah salah satu dari 34 Provinsi di Indonesia, yang mencerminkan budaya multikultural. Kawasan ini dihuni etnik natif: Melayu, Karo, Simalungun, Pakpak, Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir, dan Nias. Begitu juga etnik-etnik Nusantara seperti: Ageh Raya, Kluet, Simeulue, Alas, gayo, Aneuk Jamee, Melayu Tamiang, Minangkabau, Jawa, Sunda, Banjar, Bugis, Makasar, dan lainnya. Kawasan ini juga dihuni oleh etnik-etnik dunia yang datang dengan berbagai motif sosiobudaya seperti orang-orang: Hokkien, Kwong Fu, Hakka, Khek, Kanton, Tamil, Kerala, Sindi, Punjabi, Sikh, Arab, Eropa, dan lain-lainnya. Secara administratif provinsi yang beribu kota Medan ini, didukung pula oleh pemerintahan kabupaten dan kota,

seperti: Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Batubara, Asahan, Labuhanbatu Utara, Labuhanbatu, Labuhanbatu Selatan, Tapanuli Selatan, Madina, Padanglawas Utara, Padanglawas Selatan, Kota Sibolga, Tapanuli Tengah, Nias Utara, Nias Selatan, Kota Padangsidimpuan, Kota Binjai, Kota Tanjungbalai, Kota heterogen, dengan berdasar kepada nilai-nilai multikulturalisme. Etnik-etnik yang mendiami kawasan Sumatera Utara ini , dalam konteks pemerintahan Republik Indonesia dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) delapan etnik setempat yang terdiri dari: Melayu, Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi, Batak Toba, Mandailing- Angkola, Pesisir, dan Nias; (2) etnik pendatang dari Nusantara: Minangkabau, Aceh, Banjar, Jawa; serta (3) etnik pendatang dari luar negeri: Tionghoa, Tamil, Benggali, dan Eropa.

  Pada masa sekarang sebagian besar masyarakat Sumatera Utara, menerima cara pembagian kelompok-kelompok etnik setempat ke dalam delapan kategori, seperti yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia. Keberadaan etnik setempat dijelaskan oleh Goldsworthy sebagai berikut.

  The three major [North] Sumatran ethnic groups are the Batak, coastal Malay and Niasan ... North Sumatrans often divide the indigenous (that is, non-immigrant) population of the province into nine more narrowly defined ethnic groups (suku-suku). ... The broad Batak ethnic group is ussually divided into six main communities — Pakpak-Dairi Dairi, Toba, Angkola-Sipirok, Mandailing, Karo and Simalungun. All six groups have a broadly similar social organisation (patrilineal, exogamus dans) and related languages, but important social, religious and linguistic differences also divide them. The sharpest linguistic division is between the Karo/Pakpak-Dairi Dairi groups in the north and west and the Toba/Mandailing/ Angkola-Sipirok groups in the south. The Simalungun group falls between the two extreme points of contrast (Goldsworthy, 1979:6).

  Tebingtinggi, Kota Pematangsiantar, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan (Humbamas), Samosir, Toba Samosir (Tobasa), Dairi, Pakpak-Bharat, juga Karo.

  Tiga kelompok etnik besar Sumatera Utara adalah Batak, Melayu Pesisir, dan Nias. Orang-orang Sumatera Utara biasanya dibagi ke dalam sembilan populasi setempat (yaitu mereka yang bukan imigran), yang biasa disebut dengan suku-suku. Kelompok etnik Batak yang lebih luas, biasanya dibagi pada lima komunitas utama, yaitu: Pakpak-Dairi, Batak Toba, Angkola-Sipirok, Mandailing, Karo, dan Simalungun. Keenam komunitas utama ini mempunyai organisasi sosial yang sama, yaitu berdasar pada sistem patrilineal dan klen

  

  yang eksogamus. Mereka mempunyai sistem sosial, religi, dan linguistik yang berbeda. Perbedaan linguistik paling jelas adalah antara kelompok Karo dan Pakpak-Dairi di utara dan barat—dengan kelompok Toba, Mandailing, Angkola, dan Sipirok di Selatan. Simalungun berada di antara dua sistem

   linguistik ini.

  Sumatera adalah salah satu pulau besar di Indonesia yang terdiri dari sekitar 3.000 pulau-pulau. Pulau Sumatera ini mencakup wilayah sebesar 473.606 km (Fisher, 1977:455-457). Pulau ini mempunyai panjang lebih dari 1.920 km yang membentang dari barat laut ke tenggara, dan mempunyai lebar maksimum sebesar 384 km. Sumatera adalah pulau di sebelah barat 2 Yang dimaksud klen eksogamus adalah sistem kemasyarakatan dalam sebuah suku, yang norma pemilihan pasangan hidupnya berasal dari kelompok luar tertentu. Lihat Paul B.

  Horton dan Chester L. Hunt (1993:400). Dalam konteks masyarakat Batak, klen yang sama dilarang kawin. Jika mereka melakukan pelanggaran terhadap norma yang telah ditetapkan secara adat ini, maka mereka biasanya dikenakan sanksi sosial dan budaya. 3 Selain dari etnik natf yang biasa diuraikan dan dikaji oleh para ilmuwan, di Sumatera Utara terdapat juga dua etnik natif lainnya di wilayah Tapanuli Bahagian Selatan, yaitu orang- orang Lubu dan Siladang. Mengenai eksistensi mereka belum banyak dikaji oleh para ahli, namun

bagaimanapun mereka adalah termasuk ke dalam kategori etnik Sumatera Utara, yang

keberadaannya harus diperhatikan dan mengikutsertakan mereka dalam konteks membangun

Sumatera Utara dan Indonesia.

  Indonesia, yang terentang dari 6º LU sampai 6º LS secara latitudinal dan 95º sampai 110º BT secara longitudinal (Whitington, 1963:203). Sumatera juga dikelilingi oleh pulau-pulau di sekitarnya, baik yang berdekatan dengan pantai barat ataupun timurnya. Pulau-pulau ini secara administratif ikut ke dalam pemerintahan daerah di Sumatera. Struktur geologis Pulau Sumatera didominasi oleh rangkaian Pegunungan Bukit Barisan. Rangkaian pegunungan ini sampai ke wilayah Selat Sunda. Sumatera dibagi menjadi lima Provinsi atau Daerah Tingkat I. Sumatera adalah kawasan yang sangat cocok untuk bidang pertanian dan perikanan (Whitington, 1963:539). Sebahagian besar penduduk Sumatera tergolong ke dalam ras proto-Mongoloid (Fisher, 1977:456), dan berbahasa sama dengan kelompok bahasa Austronesia atau Melayu-Polinesia (Howell, 1973:80-81).

  Seperti terurai di tas, salah satu etnik natif Sumatera Utara adalah etnik Karo. Berdasarkan wilayah budayanya etnik Karo ini mendiami kawasan Kabupaten Karo, sampai juga ke Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan lainnya. Ditambah juga berbagai kawasan perantauannya di zaman Indonesia merdeka, seperti Riau, Riau Kepulauan, Jakarta, Bandung, dan berbagai tempat di kawasan Indonesia. Secara budaya, orang-orang Karo ini membagi wilayah budaya mereka, ke dalam dua kategori yaitu Karo Gugung, yang wilayahnya

  Karo Jahe

  berada pada dataran tinggi Bukit Barisan, dan [Ka.ro Ja.hê] yang bermukim di dataran rendah (pesisir timur) Sumatera Utara.

  Secara umum masyarakat Karo memiliki seni musik, baik itu musik instrumentalia, nyanyian, atau gabungan keduanya. Secara ensambel, di dalam kebudayaan Karo dikenal gendang lima sidalanen, gendang telu sidalanen, dan ensambel musik keyboard [ki.bod] Karo. Di antara musik vokal atau nyanyian Karo, yang paling terkenal dan menjadi induk dari semua lagu-lagu tradisional

4 Karo adalah katoneng-katoneng.

  Katoneng-katoneng [ka.to.nêng-ka.to.nêng] merupakan nyanyian

  

  tradisional etnik Karo yang sangat rumit, baik ditinjau dari aspek struktural maupun konteks sosialnya. Dari aspek struktural, di samping melodi lagunya yang sangat khas, teks nyanyiannya pun harus diciptakan dengan spontanitas sesuai dengan situasi yang berlangsung dalam konteks upacara apa ia digunakan.

  Secara fungsional, lagu-lagu katoneng-katoneng ini, difungsikan dalam berbagai aktivitas sosial dan budaya di dalam masyarakat Karo, seperti: upacara mengket

  rumah mbaru (masuk ke rumah baru), cawir metua (kematian seseorang yang 4 Istilah katoneng-katoneng ini, dalam konteks bahasa Karo terjadi dua versi penyebutan.

  Yang pertama adalah katoneng-katoneng yang secara fonetis diucapkan ka.to.nêng-ka.to.nêng. Kemudian versi kedua ada yang menyebutnya kateneng-kateneng, yang secara fonetis diucapkan dengan ka.tê.nêng-ka.tê.nêng. Kedua versi penyebutan ini merujuk kepada genre seni yang sama dan memiliki makna yang sama. Keduanya hanyalah ekspresi dari dialek dan sosiolok di dalam kebudayaan Karo. 5 Dalam buku-buku antropologi (misalnya Narroll 1964), kelompok etnik atau suku bangsa didefinisikan sebagai populasi yang: (1) secara bilogis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam sebuah bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain. Dalam konteks menganalisis kelompok etnik ini adalah pentingnya asumsi bahwa mempertahankan batas etnik tidaklah penting, karena hal ini akan terjadi dengan sendirinya, akibat adanya faktor-faktor isolasi seperti: perbedaan ras, budaya, sosial, dan bahasa.

  Asumsi ini juga membatasi pemahaman berbagai faktor yang membentuk keragaman budaya. Ini

mengakibatkan seorang ahli antropologi berkesimpuln bahwa setiap kelompok etnik mengembangkan budaya dan bentuk sosialnya dalam kondisi terisolasi. Ini terbentuk karena faktor ekologi setempat yang menyebabkan berkembangnya kondisi adaptasi dan daya cipta dalam kelompok tersebut. Kondisi seperti ini telah menhasilkan suku bangsa dan bangsa yang berbeda- beda di dunia. Tiap bangsa memiliki budaya dan masyarakat pendukung tersendiri. dipandang sempurna di dalam masa kehidupannya), sampai juga pesta guro-guro

  aron , sebagai ekspresi masyarakat Karo yang agraris, kerja tahun, dan lain- lainnya.

  Pada umumnya, mereka yang mampu melakukan aspek estetis, fungsional,

  

  spontanitas tersebut adalah perkolong-kolong (penyanyi dan penari profesional Karo); terutama perkolong-kolong yang mengkhususkan dirinya untuk tugas itu.

  Dalam kenyataan sosial, pada kebudayaan Karo, beberapa di antara mereka, menurut pengamatan penulis adalah: Jenni br Sembiring, Sumpit br Ginting, Ngalemisa br Ginting, Ramlah br Karo, Arus Perangin-angin, Sabar br Sitepu,

   Unjuk br Ginting, dan lain sebagainya.

  Ada juga perkolong-kolong lain yang tidak mengkhususkan diri untuk tugas profesional itu. Menurut pengamatan penulis adalah: Anita br Sembiring, Samuel Sembiring, Nana br Sitepu, Keleng Barus, Ardin Ginting, dan lain sebagainya. Nama-nama yang disebutkan terakhir ini, adalah mereka yang menerima tugas hanya untuk acara-acara hiburan; misalnya acara gendang guro-

  guro aron , kerja tahun, dan acara-acara hiburan lainnya. Pada acara-acara hiburan

6 Dalam kebudayaan musik Karo, perkolong-kolong ini dapat dipahami sebagai seorang

  penyanyi profesional, yang dibayar untuk bernyanyi dalam sebuah aktivitas budaya tertentu karena keahliannya tersebut. Perkolong-kolong ini bisa saja perempuan dan boleh juga laki-laki. Di sisi

lain, dalam persepsi pemusik tradisional Karo penyanyi dengan pemain musik dibedakan istilahnya. Untuk penyanyi tersebut disebut perkolong-kolong, sementara pemusik secara umum disebut dengan si erjabaten [si ér.ja.ba.tên]. Kemudian kelompok pemusik atau pemain musik ini

dibagi lagi kepada peranannya dalam gendang lima sedalanen atau telu sedalanen. Kalau ia bermain gung disebut si malu gung, kalau ia pemain sarune [sa.ru.né] disebut panarune [pa.na.ru.né]pemain gendang disebut si malu gendang, dan seterusnya. 7 Penulisan huruf br adalah singkatan dari kata beru, yang artinya anak perempuan dari ayah yang bermerga tertentu. Penulisan seperti ini lazim dilakukan oleh orang-orang Karo, dan menurut pengalaman penulis jarang seorang perempuan Karo memanjangkannya dalam kara beru. sejenis ini, nyanyian katoneng-katoneng dilantunkan hanya sekedarnya; yakni pada saat pembukaan acara.

  Menurut keterangan perkolong-kolong Arus Perangin-angin, lagu

  katoneng-katoneng merupakan indung (induk) dari lagu-lagu Karo. Artinya

  bahwa seseorang yang telah menguasai secara teknis nyanyian katoneng- katoneng , dengan sendirinya dianggap menguasai lagu-lagu Karo lainnya.

  Selanjutnya, menurut keterangan bapak Timbangen Perangin-angin yang juga merupakan seorang perkolong-kolong yang dipandang sebagai senior dalam kebudayaan Karo, bahwa ada setidaknya enam kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang perkolong-kolong agar mampu menyajikan lagu katoneng-katoneng dengan baik. Kriteria-kriteria tersebut adalah:

  (1) Memahami bahasa Karo dengan baik. (2) Memiliki pengetahuan yang luas tentang adat atau peradatan Karo. (3) Mampu memproduksi rengget (ornamen) dengan sempurna. (4) Tidak terlalu sering menyanyikan syair secara berulang-ulang. (5)

  Mengerti akan makna dari melodi sarune, serta mampu melaksanakannya dengan baik.

  (6) Mampu mengungkapkan teks dengan menggunakan anding-andingen

   Karo.

  8 Anding-andingen adalah perumpamaan dalam tradisi lisan pada kebudayaan Karo.

  Perumpamaan ini bisa saja dinyanyikan, dituturkan, didongengkan, dan berbagai jenis enkulturasi tradisi lisan lainnya. Lebih jauh lagu pengungkapanm teks anding-andingen ini juga berarti bahwa perkolong-kolong tersebut memahami dan menghayati filsafat kebudayaan Karo pada umumnya, serta dapat menerapkannya dalam perilaku musikal.

  Nyanyian katoneng-katoneng biasanya ditampilkan dalam upacara mengket

  rumah mbaru (memasuki rumah baru), upacara cawir metua (meninggal dunia),

  maupun acara adat lainnya, seperti: pembukaan pada acara guro-guro aron, pesta

  

kerja tahun (pesta tahunan), dan lain sebagainya. Dengan demikian sebagai

  sebuah genre nyanyian tradisional, penggunaan katoneng-katoneng ini cukup luas di dalam kebudayaan Karo.

  Namun demikian, dalam realitas sosial, kehadiran perkolong-kolong terutama pada upacara mengket rumah mbaru dan upacara cawir metua bukanlah suatu keharusan, karena banyak pelaksanaan upacara dimaksud di atas tanpa menghadirkan perkolong-kolong. Hal itu terjadi disebabkan pertimbangan ekonomi, karena untuk mendatangkan seorang perkolong-kolong saja, pihak sukut (penyelenggara upacara adat) harus mengeluarkan biaya berkisar 2 sampai 3 juta. Meskipun jumlah itu kadang-kadang masih dapat dirundingkan oleh kedua belah pihak (sukut dan perkolong-kolong). Selain pertimbangan ekonomi, alasan lain juga adalah karena pertimbangan adat. Karena apabila pihak sukut mendatangkan perkolong-kolong, maka harus melibatkan kaum kerabat lebih banyak untuk pelaksanaan upacara adatnya.

  Pada acara guro-guro aron dan kerja tahun, perkolong-kolong sepengetahuan penulis, secara budaya wajib dilibatkan. Biasanya mereka terdiri dari 2 (dua) orang—seorang perkolong-kolong laki-laki dan seorang perkolong-

  kolong perempuan (sepasang). Pada acara ini, peran perkolong-kolong tidak

  hanya menyampaikan nyanyian katoneng-katoneng, tetapi juga melantunkan lagu- lagu tradisional lainnya, seperti misalnya: lagu Sada Perarih, Diding-diding,

  Rimo Malem, Olakisat , dan lain sebagainya. Selain itu, perkolong-kolong juga

  menampilkan atraksi lain yang sangat digemari oleh orang Karo, yakni adu

  

perkolong-kolong (berupa perlombaan atau pertandingan kemahiran dan

keterampilan estetika mereka).

  Pada pesta perkawinan adat karo, lagu katoneng-katoneng berisikan nasehat dan doa kepada kedua mempelai agar rukun dan damai dalam rumah tangga yang baru. Dalam upacara mengket rumah mbaru (masuk rumah baru) lagu katoneng-katoneng berisikan doa agar keluarga yang memasuki rumah yang baru, sehat-sehat dan dikaruniai rejeki yang berlimpah. Sedangkan dalam upacara

  

cawir metua (kematian), lagu katoneng-katoneng berisikan tentang doa dan

  penghiburan kepada keluarga yang berduka, karena ditinggalkan salah seorang kerabatnya ke alam kubur.

  Pada acara guro-guro aron teks nyanyian katoneng-katoneng juga berisikan doa dan apresiasi terhadap kerja panitia penyelenggara, sedangkan pada acara kerja tahun teks nyanyian katoneng-katoneng berisikan tentang ucapan syukur terhadap panen yang berhasil untuk tahun ini, serta harapan dan doa agar masa-masa yang akan datangpun aktifitas pertanian mendapat hasil yang berlimpah, sehingga acara seperti ini dapat dilaksanakan lagi pada tahun depan.

  Perkolong-kolong memiliki kebebasan untuk membentuk struktur teks dan

  melodi lagu tersebut sesuai dengan kemampuannya. Karena setiap perkolong-

  kolong memiliki kemampuan yang berbeda satu dengan lainnya, maka mereka mempunyai pola tersendiri dalam penyajian melodi maupun teks nyanyian

  

katoneng-katoneng dalam berbagai upacara yang diikutinya. Sehingga, pola

  tersebut dapat dianggap sebagai ciri khas dari perkolong-kolong yang bersangkutan.

  Meskipun perkolong-kolong memiliki kebebasan untuk membentuk struktur teks dan melodi lagu, namun teks nyanyian katoneng-katoneng pada umumnya memiliki struktur yang tetap dan baku. Ketiga struktur itu terdiri dari: (1) pembukaan, (2) isi, dan (3) penutup.

  

Bagian pertama, nyanyian katoneng-katoneng adalah pembukaan yang mana

  teksnya merupakan sebuah pengantar bagi seorang perkolong-kolong untuk memperkenalkan diri kepada mereka yang terlibat di dalam upacara berkenaan.

  Perkolong-kolong akan menyatakan merga/beru (klen) apa yang disandangnya,

  menyebutkan darimana ianya berasal, menetapkan posisi adatnya dengan pihak

  sukut (yang punya hajatan). Kesempatan ini juga digunakan perkolong-kolong

  untuk memperkenalkan teman-temannya yang lain dari kelompok si erjabaten (pemain musik tradisional). Bagian selanjutnya dari teks pembukaan nyanyian

  

katoneng-katoneng melukiskan situasi, alasan atau tujuan dari pelaksanaan

upacara tersebut.

  Bagian kedua , merupakan teks isi yang biasanya berisi nasehat, dan

  pengharapan, dan juga penghiburan kepada pihak yang berduka cita. Bagian ini merupakan bagian yang sangat dramatis, karena merupakan inti dari keseluruhan teks nyanyian katoneng-katoneng. Tidak jarang pada bagian ini, kelompok adat tertentu (terutama kerabat dekat/saudara kandung yang meninggal dunia) sampai menitikkan air mata ketika mendengarkan nyanyian dari perkolong-kolong. Pada bagian ini juga adakalanya perkolong-kolong memposisikan diri sebagai orang yang sudah meninggal itu, seolah-olah sedang menyampaikan kata-kata nasehatnya kepada keluarganya maupun kerabat lainnya.

  Bagian ketiga , adalah teks penutup adalah bagian akhir dari nyanyian katoneng-katoneng . Teksnya berisikan permohonan maaf perkolong-kolong

  kepada pihak-pihak yang diwakilkannya maupun kepada pihak-pihak lain yang menjadi tujuan nyanyiannya, jika seandainya ada kata-kata yang kurang berkenan.

  Dengan rendah hati perkolong-kolongakan menyatakan bahwa ianya tidak bermaksud lancang berkata-kata, namun karena hanya sedemikian kemampuan yang dimilikinya.

  Penyajian lagu katoneng-katoneng pada pola di atas ini biasanya dilakukan pada sesi pertama perkolong-kolong menyampaikan nyanyiannya.

  Namun, pada penyajian sesi kedua dan seterusnya, perkolong-kolong sering tidak lagi menggunakan struktur yang pertama tetapi langsung menuju struktur yang kedua, dan dilanjutkan dengan struktur yang ketiga.

  Bahasa yang dipergunakan dalam nyanyian katoneng-katoneng menggunakan strata tertentu dalam bahasa Karo yang disebut dengan cakap lumat (bahasa halus). Kata-kata yang diucapkan tidak seluruhnya mengandung makna denotatif, tetapi lebih cenderung kepada makna konotatif. Kata-kata yang bermakna konotatif mempunyai efek yang lebih dalam, yang mengandung falsafah-falsafah tertentu dari orang Karo. Di antara falsafah hidup orang karo yang tercermin di dlam teks katoneng-katoneng itu adalah dalam frase bahasa

  

tambar malem mergana (artinya Perangin-angin marganya, dengan segala

  kelebihan klen ini); tinebus Ginting mergana (istri dari marga Ginting dan segala kelebihan kultural dan historis dari perempuan Karo ini), dan lain sebagainya.

  Dalam penyajian lagu katoneng-katoneng sering juga digunakan majas (figurative language), yang merupakan bahasa kias atau gaya bahasa. Pemakaian gaya bahasa metafora terutama ditujukan kepada pihak kalimbubu untuk menunjukkan penghormatan pihak lain kepada kelompok ini. Misalnya untuk pemakaian bahasa dibata idah kami (artinya tuhan kami yang nampak). Hal itu untuk menunjukkan bahwa pihakkalimbubu ditempatkan pada posisi yang tinggi dan agung. Gaya bahasa simbolisme terutama ditujukan kepada anak beru, untuk menunjukkan tanggung jawab dan kesetiannya kepada pihak kalimbubu kepada kelompok ini. Pemakaian bahasa kuda dalan kami, piso ntelap kami, pergani-

  ganin kami , dan lain sebagainya menunjukkan hal itu.

  Dalam musik vokal Karo, ornamen (hiasan) memainkan peranan penting. Kualitas suatu penyajian musik vokal Karo tergantung kepada beberapa aspek. Ornamen lagu merupakan aspek yang paling menonjol. Seorang penyanyi Karo harus menguasai ornamen tersebut. Ornamen tidak bisa dipakai dengan bebas, ada bagian-bagian tertentu dari lagu yang memerlukan ornamen. Misalnya ketika mengakhiri frase sebuah lagu, ataupun dipakai bersamaan pada ketika gong berbunyi. Seorang perkolong-kolong tidak dapat dengan pasti mengetahui di mana suatu ornamen digunakan dalam sebuah lagu, dengan demikian ornamen merupakan bagian yang intrinsik dari penyanyi, namun tidak terlepas dari melodi lagu itu sendiri.

  Donington (1980) memberikan defenisi ornamen dalam musik dalam sebuiah kalimat sebagai berikut: That element in music which is decorative rather than structural, and which in particular includes both free ornamentation and specific ornaments, whether indicated by notes or signs in the notation or left to be improvised at the discretion of the performer.

  Artinya adalah bahwa elemen di dalam musik yang lebih bersifat dekoratif (hiasan saja) ketimbang struktural, dan yang menjadi bahagiannya termasuk ornamentasi bebas dan ornamen khusus; apakah ditandai dengan nada-nada atau tanda-tanda dalam notasinya atau l;ebih jauh dilakukannya improvisasi ol;eh para seniman musik.

  Ornamen dalam musik vokal Karo termasuk katoneng-katoneng disebut dengan istilah rengget. Ornamen ini dapat dibedakan atas 2 (dua) jenis, yaitu:

  

rengget gedang (ornamen panjang) dan rengget peltep (ornamen pendek).

Rengget gedang adalah beberapa buah nada yang dinyanyikan dengan cepat

  dengan menggunakan teknik slur (meluncur). Biasanya dilakukan pada akhir sebuah kalimat lagu. Rengget peltep yang sering disebut sembeb adalah hampir sama dengan rengget gedang, namun nada (bunyi) yang dihasilkan lebih pendek dari renggetgedang, dan biasanya dilakukan bukan pada akhir sebuah kalimat lagu, melainkan pada akhir sebuah frase.

  Ada beberapa pola melodi nyanyian katoneng-katoneng yang disajikan

  perkolong-kolong , di antaranya: Simelungun Rayat, Jungut-jungut, Tangis-tangis,

  dan lain-lain. Lagu-lagu ini akan terasa lebih kontekstual dan memiliki makna yang dalam ketika disertai dengan pola-polanya.

  Dari uraian di atas terlihat dengan jelas bahwa katoneng-katoneng ini, mendasarkan garapannya kepada dua hal yaitu, melodi dan teks. Teks yang mendapatkan peran di sini, membuat musik Karo ini masuk ke dalam kategori logogenik. Istilah logogenik ini adalah untuk menjelaskan sebuah genre musik atau komposisi musik yang penekanan utamanya adalah pada teks nyanyian, sementara struktur melodi dan ritme mengiringinya. Logogenik selalu dikaitkan dengan musik vokal atau nyanyian, tidak dikaitkan dengan musik instrumentalia. Dalam musik yang berkategori logogenik ini, maka hubungan musik dengan bahasa menjadi sangat penting untuk dilihat dan dikaji. Bagaimanapun ada hubungan yang erat antara bahasa, sastra, dan musik, termasuk di dalam kebudayaan Karo yang menjadi topik dalam kajian ini, terutama di dalam konteks

  katoneng-katoneng yang dinyanyikan perkolong-kolong dan diiringi gendang lima sidalanen atau telu sidalanen.

  Kemudian ditinjau dari konteks sosialnya katoneng-katoneng selalu digunakan dalam berbagai upacara,. Seperti mengket rumah mbaru, pesta perkawinan, kerja tahun, guro-guro aron, dan juga kematian dalam hal ini kematian cawir metua. Upacara yang terakhir ini pun di dalam kebudayaan Karo penuh dengan makna-makna dan nilai budaya.

  Dalam masyarakat Karo, meninggal dunia di usia lanjut dan semua anaknya telah menikah, dihargai sebagai sebuah prestasi tersendiri yang disebut dengan cawir metua. Kriteria cawir metua ini adalah bila semua anak-anak kandungnya sudah menikah dan telah memenuhi seluruh kewajiban adatnya. Bila ada seseorang meninggal dalam kondisi cawir, maka semua kerabat dari pihak

  

kalimbubu nya harus menyediakan ose lengkap er emas-emas (pakaian adat

  lengkap) yang terdiri dari sertali (perhiasan dari sepuhan emas), bulang-bulang, dan tudung (kain adat uniul laki-laki dan perempuan). Semuanya ini nanti akan dipakai pada saat pelaksanaan upacara oleh saudara laki-laki almarhum (suami istri), anak laki-laki almarhum (suami istri), serta janda almarhum (kalau yang meninggal dunia laki-laki). Perhiasan dan pakaian yang indah ini, sebagai suatu tanda kehormatan dari pihak kalimbubunya kepada yang meninggal (almarhum).

  Kematian cawir metua ini seharusnya tidak perlu ditangisi, karena kematian seperti ini dianggap mulia dan sangat dihargai. Namun demikian, pada kenyataannya kaum keluarga dan kerabat tetap saja larut dalam kesedihan pada saat-saat tertentu maupun momen-momen tertentu. Meskipun selanjutnya, kesedihan semakin berkurang dan upacara tersebut dapat berlangsung dengan penuh suka ria. Dalam pelaksanaan upacara ini, maka salah satunya adalah menggunakan nyanyian katoneng-katoneng yang dinyanyikan oleh perkolong- kolong. Tema utamanya adalah tentang riwayat hidup yang meninggal serta bagaimana kesedihan sekaligus kegembiraan kerabatnya karena telah mencapai predikat kematian cawir metua.

  Latar belakang katoneng-katoneng seperti diurai di atas, sangat relevan untuk dikaji secara etnomusikologis sebagai bidang keilmuan yang penulis geluti selama ini. Apa yang dimaksud etnomusikologi itu adalah seperti diuraikan berikut ini.

  Ethnomusicology is the study of music in its cultural context. Ethnomusicologists approach music as a social process in order to understand not only what music is but why it is: what music means to its practitioners and audiences, and how those meanings are conveyed

  Ethnomusicology is highly interdisciplinary. Individuals working in the field may have training in music, cultural anthropology, folklore, performance studies, dance, cultural studies, gender studies, race or ethnic studies, area studies, or other fields in the humanities and social sciences. Yet all ethnomusicologists share a coherent foundation in the following approaches and methods: 1) Taking a global approach to music (regardless of area of origin, style, or genre). 2) Understanding music as social practice (viewing music as a human activity that is shaped by its cultural context). 3) Engaging in ethnographic fieldwork (participating in and observing the music being studied, frequently gaining facility in another music tradition as a performer or theorist), and historical research.

  Ethnomusicologists are active in a variety of spheres. As researchers, they study music from any part of the world and investigate its connections to all elements of social life. As educators, they teach courses in musics of the world, popular music, the cultural study of music, and a range of more specialized classes (e.g., sacred music traditions, music and politics, disciplinary approaches and methods). Ethnomusicologists also play a role in public culture. Partnering with the music communities that they study, ethnomusicologists may promote and document music traditions or participate in projects that involve cultural policy, conflict resolution, medicine, arts programming, or community music. Ethnomusicolo- gists may work with museums, cultural festivals, recording labels, and other institutions that promote the appreciation of the world’s musics org/?page=whatisethnomusicology). berdasarkan kutipan dalam situs web etnomusikologi.org tersebut, maka dapat dipahami bahwa etnomusikologi merupakan studi musik dalam konteks budaya di mana musik itu tumbuh dan berkembang. Para ahli etnomusikologi yang dalam bahasa Indonesia lazim disebut etnomusikolog, biasanya melakukan pendekatan musik sebagai proses sosial untuk memahami tidak hanya apa musik tapi mengapa: apa artinya praktik musik dan khalayak, dan bagaimana makna yang disampaikan musik tersebut.

  Secara keilmuan etnomusikologi sangat interdisipliner. Artinya para ilmuwan yang bekerja di lapangan etnomusikologi ini mungkin saja berasal dari pelatihan musik, atau ilmuwan antropologi budaya, cerita rakyat, kajian pertunjukan, tari, studi budaya, studi gender, stuis ras atau etnik, studi kawasan, atau bidang lainnya di bidang ilmu-ilmu humaniora dan sosial. Namun semua etnomusikolog berbagi landasan yang koheren dalam pendekatan dan metodenya, seperti berikut: (1) Mengambil pendekatan global untuk musik (terlepas dari daerah asal, gaya, atau genre). (2) Memahami musik sebagai praktik sosial (melihat musik sebagai aktivitas manusia yang dibentuk oleh konteks budaya). (3) Melakukan penelitian lapangan etnografi (berpartisipasi aktif dalam mengamati musik yang sedang dipelajari, mengkaji tradisi musik baik sebagai pemain atau ahli teori sekeligus), dan penelitian sejarah musik.

  Etnomusikolog aktif dalam berbagai bidang. Sebagai peneliti, mereka belajar musik dari setiap bagian di dunia ini dan menyelidiki koneksi ke semua elemen kehidupan sosial. Sebagai pendidik, mereka mengajar kursus musik dunia, musik populer, studi budaya musik, dan berbagai kelas yang lebih khusus (misalnya, tradisi musik sakral, musik dan politik, mengajarkan pendekatan disiplin ilmu dan metode). Etnomusikolog juga berperan di dalam budaya masyarakat. Bekerjasama dengan komunitas musik yang mereka pelajari, etnomusikolog dapat mempromosikan dan mendokumentasikan musik tradisi atau berpartisipasi dalam proyek-proyek yang melibatkan kebijakan budaya, penyelesaian konflik, pengobatan (melalui media musik), pemrograman seni, atau komunitas musik. Etnomusikolog dapat bekerja pada museum, festival budaya, rekaman label, dan lembaga lain yang mempromosikan apresiasi musik dunia.

  Berdasarkan sejarah keilmuan etnomusikologi, secara dasar terjadi gabungan (fusi) dua disiplin ilmu yaitu musikologi dan etnologi. Musikologi selalu digunakan dalam mendeskripsikan struktur musik yang mempunyai hukum-hukum internalnya sendiri—sedangkan etnologi memandang musik sebagai bahagian dari fungsi kebudayaan manusia dan sebagai suatu bahagian yang menyatu dari suatu dunia yang lebih luas. Secara eksplisit dinyatakan oleh Merriam sebagai berikut.

  Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but tidakes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam, 1964:3-4). Menurut pendapat Merriam seperti pada kutipan di atas, para pakar etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada pembahagian bidang kajian ilmu. Oleh karena pembahagian ini, maka selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan, yaitu musikologi dan etnologi. Dampaknya adalah menimbulkan kemungkinan-kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampurkan kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut. Sifat dualisme lapangan studi ini, dapat ditandai dari literatur-literatur yang dihasilkannya. Seorang sarjana (ilmuwan) etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bahagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan ini. Pada saat yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengandaikan kembali suatu aura reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks

etnologisnya. Di sini, penekanan etnologi yang dilakukan oleh para sarjana ini tidak seluas struktur komponen suara musik sebagai suatu bahagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas. Dengan demikian, kerja keilmuan yang penulis lakukan adalah sesuai dengan uraian mengenai apa itu etnomusikologi seperti tersebut di atas.

  Berdasarkan latar belakang katoneng-katoneng di dalam kebudayaan Karo, dan disertai kajiannya secara etnomusikologis dalam konteks interdisipliner keilmuan, maka penulis membuat penelitian ini dalam tajuk: Katoneng-katoneng

  pada Upacara Cawir Metua dalam Kebudayaan Karo: Kajian Fungsi, Struktur

Melodi, dan Makna Tekstual Sesuai dengan judul tersebut di atas, maka

  berikutnya adalah menentukan pokok masalah, atau lazim disebut juga dengan pertanyaan penelitian, atau masalah penelitian.

1.2 Pokok Permasalahan

  Uraian pada bagian sebelumnya menyebutkan bahwa nyanyian katoneng-

  katoneng adalah nyanyian yang sangat rumit, karena teks nyanyiannya diciptakan

  oleh perkolong-kolongsesuai dengan konteks penyajiaannya. Di samping itu, teks nyanyian katoneng-katoneng harus disesuaikan dengan melodi lagunya.

  Sampai saat ini, belum ditemukan penelitian tentang teks dan melodi

  katoneng-katoneng secara mendalam dan menyeluruh. Beberapa penelitian yang

  pernah dilakukan berkaitan dengan ini lebih menempatkan katoneng-katoneng dalam konteks budaya masyarakatnya, seperti contohnya: penelitian terhadap aspek historis, fungsi musik, dan sekilas penyajiannya.

  Oleh karena itu, penelitian yang lebih komprehensif terhadap nyanyian

  katoneng-katoneng perlu dilakukan untuk mengetahui dan memahami dengan

  lebih mendalam tentang struktur melodi dan makna dari nyanyian katoneng-

  katoneng . Maka dalam tesis ini, penulis menentukan dua pokok masalah, yaitu:

  (1) Bagaimana fungsi katoneng-katoneng yang dipertunjukkan dalam upacara cawir metua dalam kebudayaan masyarakat Karo?

  (2) struktur melodis lagu katoneng-katoneng yang dipertunjukan dalam upacara cawir metua dalam kebudayaan masyarakat Karo?

  (3) Bagaimana makna tekstual lagu katoneng-katoneng yang dipertunjukkan dalam upacara cawir metua dalam kebudayaan masyarakat Karo?

  Untuk pokok masalah pertama yaitu fungsi katoneng-katoneng akan dikaji berdasarkan dua titik pandang yaitu penggunaan dan fungsinya. Untuk struktur melodi katoneng-katoneng ini, maka unsur yang akan dikaji mencakup: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, distribusi interval, formula melodi, pola-pola kadensa, nada-nada yang digunakan, dan kontur. Selain itu, secara etnosains Karo, dalam menganalisis struktur melodi ini, penulis menggunakan cara pandang orang Karo seperti konsep dan terapan rengget (estetika improvisasi dalam budaya musik Karo), bentuknya yang berkait dengan sastra Karo, dan lain- lainnya.

  Untuk mengkaji pokok masalah penelitian ketiga yaitu bagaimana makna teks lagu katoneng-katoneng yang dipertunjukkan dalam upacara cawir metua dalam kebudayaan masyarakat Karo, maka unsur yang dibahas meliputi aspek- aspek: makna denotatif (makna yang sebenarnya) dari kata per kata dan kalimat per kalimat atau larik. Seterusnya, yang dikaji adalah makna-makna semiosis yang lebih dalam seperti nilai-nilai, filsafat hidup, dan aspek-aspek sejenis.

  Namun sebelumnya dideskripsikan juga struktur bahasa yang membangun katoneng-katoneng ini.

  1.3 Pembatasan Masalah

  Mengingat luasnya cakupan yang berhubungan dengan katoneng-

  

katoneng , peneliti membatasi pembahasan kajian ini terhadap fenomena yang

  berlangsung pada saat penyajian katoneng-katoneng dalam konteks upacara cawir

  metua . Oleh karena itu, penelitian ini ini akan menganalisis tentang makna teks dan struktur melodi yang membentuk penyajiannya melalui analisis semiotik.

  1.4 Tujuan dan Manfaat

1.4.1 Tujuan Penelitian

  Tujuan dari penelitian ini, adalah: 1.

  Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji fungsi katoneng-katoneng yang dipertunjukkan pada upacara cawir metua di dalam kebudayaan

  Karo, untuk memberikan pemahaman tentang konteksnya di dalam kebudayaan.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur melodi katoneng-

  katoneng yang dipertunjukkan pada upacara cawir metua di dalam

  kebudayaan Karo, untuk memberikan pemahaman tentang prinsip- prinsip keindahan penyajiannya.

  3. Penelitian ini juga bertujuan mengkaji makna teks katoneng-katoneng yang dipertunjukkan pada upacara cawir metua di dalam kebudayaan Karo.

1.4.2 Manfaat Penelitian

  Beberapa manfaat dari penelitian ini adalah: 1.

  Penelitian ini merupakan salah satu usaha untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat Karo pada umumnya dan juga kepada para ilmuwan seni tentang fungsi, struktur melodi, dan makna teks katoneng-katoneng dalam konteks cawir metua.

  2. Penelitian ini merupakan sebuah penelitian ilmiah yang dapat digunakan sebagai bahan rujukan untuk pengembangan fungsional dan struktural penyajian katoneng-katoneng untuk masa-masa yang akan datang.

  3. Penelitian ini dapat bermanfaat untuk menempatkan berbagai ragam seni pertunjukan yang mengikuti kaidah-kaidah tradisi di dalam kebudayaan Karo, yang disesuaikan pula dengan perkembangan zaman.

  4. Penelitian yang kemudian ditulis dalam bentuk tesis ini dapat bermanfaat sebagai salah satu bentuk kajian yang dapat mengembangkan disiplin ilmu-ilmu seni khususnya etnomusikologi, baik untuk sumbangan teoretis maupun teknis.

  5. Penelitian ini bermanfaat untuk mengungkapkan nilai-nilai kebudayaan yang terdapat di dalam pikiran masyarakat Karo secara umum, dan secara khusus di dalam pikiran seniman musik Karo, dalam konteks mempertahankan tradisinya pada era globalisasi dan perubahan zaman.

1.5 Konsep dan Teori

1.5.1 Konsep

  Untuk memperjerlas makna-makna peristilahan yang penulis gunakan dan berhubungan dengan tajuk tesis ini, maka penulis akan menjelaskan konsep- konsep dan teori. Oleh karena itu dijelaskan terlebih dahulu apa itu konsep dan teori, yang penulis gunakan agar tidak terjadi pembiasan (dikotomi) makna.

  Konsep adalah rancangan ide atau pengertian yang diabstrakan dari peristiwa kongkret (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005:588). Selanjutnya yang dimaksud dengan teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, yang didukung oleh data dan argumentasi (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005:1177).

  Untuk mendapatkan pengertian yang mendasar tentang istilah yang digunakan dalam penelitian ini maka diperlukan konsep. Adapun konsep-konsep yang perlu dijelaskan dalam konteks penelitian ini adalah: (a) katoneng-katoneng, (b) cawir metua, (c) kebudayaan, (d) struktur melodi, (e) makna teks. Seterusnya konsep tentang lima istilah di atas dapat diuraikan sebagai berikut ini.

1.5.1.1 Katoneng-katoneng

  Dalam kamus bahasa Karo karangan Darwin Prints (2002) disebutkan bahwa katoneng-katoneng adalah nyanyian tradisional Karo yang berisikan nasehat, doa, dan sebagainya. Lagukatoneng-katoneng biasanya dilantunkan oleh seorang perkolong-kolong dalam upacara cawir metua (kematian), mengket

  rumah mbaru (memasuki rumah baru), dan lain sebagainya.

  Katoneng-katoneng berasal dari kata toneng yang artinya tenang atau

  damai. Dengan kata lain, bahwa katoneng-katoneng adalah sejenis lagu yang syairnya memberikan ketenangan, kedamaian, nasehat, doa, dan lain sebagainya; yang sangat menggugah perasaan orang lain ketika mendengarkannya. Dalam terminologi musik Barat, lagu katoneng-katoneng yang disajikan dalam upacara

  cawir metua termasuk jenis lament song, yaitu sebuah lagu yang berhubungan dengan kematian dan cenderung sedih.

1.5.1.2 Cawir metua

  Dalam masyarakat Karo, meninggal dunia di usia lanjut dan semua anaknya telah menikah,dihargai sebagai prestasi tersendiri yang disebut dengan

  cawir metua . Kriteria cawir metua ini adalah bila semua anak-anak kandungnya

  sudah menikah dan telah memenuhi seluruh kewajiban adatnya. Bila ada seseorang meninggal dalam kondisi cawir, maka semua kerabat dari pihak

  

kalimbubu nya harus menyediakan ose lengkap er emas-emas(pakaian adat

  lengkap)yang terdiri dari sertali (perhiasan dari sepuhen emas), bulang-bulang dan tudung (kain adat uniul laki-laki dan perempuan); yang manasemuanya ini nanti akan dipakaipada saat pelaksanaan upacara oleh saudara laki-laki almarhum (suami istri), anak laki-laki almarhum (suami istri), serta janda almarhum (kalau yang meninggal dunia laki-laki). Perhiasan dan pakaian yang indah ini, sebagai suatu tanda kehormatan dari pihak kalimbubunya kepada yang meninggal (almarhum).

  Kematian cawir metua ini seharusnya tidak perlu ditangisi, karena kematian seperti ini dianggap mulia dan sangat dihargai.Namun demikian, pada kenyataannya kaum keluarga dan kerabat tetap saja larut dalam kesedihan pada saat-saat tertentu maupun momen-momen tertentu.Meskipun selanjutnya, kesedihan semakin berkurang dan upacara tersebut dapat berlangsung dengan penuh suka ria.

1.5.1.3 Kebudayaan

  Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal- hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia (Koentjaraningrat, 1982:9). Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin

  Colere , yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah

  tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.