BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KARO DAN KEBUDAYAANNYA - Katoneng-katoneng pada Upacara Cawir Metua dalam Budaya Karo: Kajian Fungsi, Struktur Musik, dan Makna Tekstual

  BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KARO DAN KEBUDAYAANNYA

   Suku Karo dikenal sebagai salah satu sub suku Batak , yang secara

  historis memiliki wilayah asalnya di daerah pegunungan (Bukit Barisan) di wilayah Provinsi Sumatera Utara Sekarang, khususnya di wilayah Kabupaten Karo dan sekitarnya. Mereka menyebut daerah tersebut dengan sebutan Taneh Karo Simalem (Tanah Karo Yang Sejuk).

  Pada masa kini hanya sebahagian kecil orang Karo bertempat tinggal di wilayah asalnya Taneh Karo simalem. Berdasarkan data sensus yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Karo pada tahun 2010, orang Karo yang mendiami dataran tinggi hanya berkisar 350 ribu kepala keluarga (KK). Sedangkan sebagian besar orang Karo lainnya bertempat tinggal secara tersebar di wilayah 1 Yang termasuk ke dalam kelompok suku Batak ini adalah: Karo, Pakpak-Dairi, Batak

  Toba, Simalungun, dan Mandailing-Angkola. Kelima sub suku ini memiliki persamaan- persamaan kultural dan sosial selain juga perbedaan-perbedaannya. Kelima-limanya memiliki konsep pembagian kelompok kerabat kepada tiga unsur yaitu: (1) kempompok keluarga besar satu marga atau klen yang ditarik berdasarkan keturunan dari pihak ayah (patrilineal), istilah untuk menyebutkannya adalah dongan sabutuha untuk Batak Toba, dengan sibeltek (Pakpak- Dairi), sembuyak (Karo), dan kahanggi (Mandailing-Angkola); (2) kelompok pemberi isteri kepada kelompok kita. Golongan ini disebut dengan istilah hula-hula (Batak Toba), kula-kula (Pakpak-Dairi), kalimbubu (Karo), mora (Mandailing-Angkola), tondong (Simalungun). Kelompok ini paling dihormati dalam konteks adat mereka. Mereka dipandang sebagai dewa yang tampak di dunia ini. (3) Kelompok atau penerima isteri, yang diistilahkan anak boru (batak Toba, Angkola-Mandailing, Simalungun), beru di Karo dan Pakpak-Dairi. Namun terdapat pula sejumlah perbedaan di antara masyarakat Batak ini, seperti penggunaan bahasa yang berbeda, garis keturunan yang sama dan berbeda sekaligus, artefak yang juga berbeda, dan lain-lainnya. Dengan demikian, sampai sekarang di kalangan antropolog atau ahli-ahli budaya dan ilmuwan sosial dan budaya secara umum masih belum sependapat mengenai hal ini, tetapi di antara mereka banyak pula yang mendukungnya. Demikian pula yang terjadi di dalam masyarakat. Jadi menurut penulis wacana mengenai identitas Batak dan subnya ini tidak akan pernah kunjung usai untuk diwacanakan. Namun yang penting konsep-konsep tersebut terdapat baik di kalangan masyarakat Batak sendiri maupun di kalangan para ilmuwan.

  Provinsi Sumatera Utara, antara lain: Kota Medan, Kabupaten Langkat, kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak-Bharat, Kota Binjai, Kota Tebing Tinggi, Kota Pematang Siantar, dan lain sebagainya. Sebagian orang Karo lainnya, juga tersebar di pelosok wilayah negara kesatuan Republik Indonesia; mulai dari Sabang sampai Merauke.

  Beberapa orang Karo bertempat tinggal di luar negeri (di Asia, Eropa, dan Amerika Serikat) karena bekerja, menuntut ilmu, atau karena kawin dengan warga negara asing. Saat ini, perkumpulan orang Karo yang paling terkenal di luar negeri adalah Perkoeah dan Permakan (sumber: karosimalem.com). Mereka adalah orang-orang Karo yang sudah bertempat tinggal tetap di Eropa Barat (Belanda, Jerman, Perancis, Belgia, dan lainnya).

  Namun demikian, di dalam persepsi masyarakat Karo, secara tradisional mereka membagi wilayah asal (asli)nya kepada dua wilayah budaya. Yang pertama adalah wilayah budaya yang disebut Karo Gugung. Istilah ini merujuk kepada pengertian wilayah hunian dan budaya etnik Karo yang berada di Pegunungan Bukit Barisan di Tanah Karo Simalem dan sekitarnya. Artinya orang-orang Karo dan wilayahnya yang berada di dataran tinggi Tanah Karo.

  Yang kedua adalah orang-orang Karo dan wilayah budayanya yang ada di Pesisir Sumatera Utara, seperti Langkat, Deli, Serdang, dan lainnya. Mereka ini disebut sebagai Karo Jahe (di wilayah pesisir timur Sumatera Utara). Karena wilayah pesisir ini, tidak hanya dihuni oleh etnik Karo, namun juga Melayu dan kini masuk juga yang lain-lainnya seperti Jawa, Sunda Minangkabau, Tamiang,

  Aceh Raya, dan lain-lain, maka densitas akulturasinya lebih tinggi pada orang- orang Karo Jahe ini.

  Peta 2.1 Kabupaten Karo Sumber: http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://2.bp.blogspot.com/... Gambar 2.1 Lambang Kabupaten Karo

  Sumber: Pemerintah Kabupaten Karo, 2014

2.1 Geografis

  Meskipun ada perbedaan antara wilayah budaya dan wilayah administratfi pemerintahan, tetapi pada bahagian ini dideskripsikan tentang wilayah geografis. Secara geografis, Kabupaten Karo berada pada ketinggian 400 sampai 1600 meter di atas permukaan laut, dengan luas wilayah seluruhnya kira-kira 2.127,25 km persegi, atau 27,9 % dari luas keseluruhan Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan klimatologi atau iklimnya Kabupaten Karo mempunyai iklim yang sejuk dengan suhu berkisar 16-17 derajat Celcius.

  Kabupaten Karo terletak pada koordinat 2° 50' lintang utara sampai 3° 19' lintang utara dan 97° 55' bujur timur sampai 98° 38' bujur timur.

  Adapun pusat pemerintahan KabupatenKaro, sejak awal berdirinya sampai sekarang berkedudukan di Kota Kabanjahe. Ibukota Kabupaten Karo ini jaraknya lebih kurang 77 kilometer dari ibukota Provinsi Sumatera Utara, Kota Medan, yang memiliki hubungan sejarah dengan orang Karo. Selanjutnya, perjalanan dari Kota Medan menuju Kota Kabanjahe, dalam kondisi lalu lintas normal dapat ditempuh dalam waktu dua jam dengan kenderaan umum; dan satu setengah jam dengan kenderaan pribadi.

  Selain itu, Kabupaten Karo merupakan salah satu kabupaten dari sejumlah 33 kabupaten dan kota di wilayah Provinsi Sumatera Utara.

  Berdasarkan wilayah geografis, Kabupaten Karo berada pada posisi 2’50-3’19’ Lintang Utara, dan 97’35’-98’38’ Bujur Timur. Keseluruhan daerah Kabupaten Karo beriklim sejuk, berada di kisaran 14-26 derajat Celsius. Penggunaan lahan di Kabupaten Karo di dominasi oleh penggunaan lahan kering berupa perladangan dan perkebunan seluas 96.045 ha atau 41% dari luas wilayah. Selanjutnya diikuti oleh kawasan hutan seluas 77.142 ha. Tanah yang subur, udara yang sejuk, panorama yang indah, serta hutan lindung yang luas, sangat sesuai dengan usaha dibidang sektor pertanian (sumber: BPS Kabupaten Karo, 2012).

  Pada sektor pertanian masyarakat Karo mengolah tanaman pangan, hortikultura (buah-buahan, sayur mayur, bunga-bungaan, dan biji-bijian). Sektor pariwisata mencakup : jalan hutan, gunung berapi, air panas, pemandangan yang indah, danau, air terjun, rumah tradisional, kebudayaan dan sebagainya. Sektor industri diharapkan mampu mendukung sektor pertanian, industri yang mengolah hasil pertanian dan industri yang mendukung sektor pariwisata seperti : cendera mata.

  Pada saat dilakukan penelitian ini, Kabupaten Karo terdiri dari 17 kecamatan dan berpenduduk 350.960 jiwa. Rincian luas wilayah, jumlah penduduk, dan kepadatan penduduk per kecamatan dapat dilihat pada rincian yang terdapat pada Tabel 2.1.

  Tabel 2.1 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk

  06 Kutabuluh 195,70 10 586 54,09

  16 Merek 125,51 18 054 143,85

  15 Dolat Rayat 32,25 8 296 257,24

  14 Tigapanah 186,84 29 319 156,92

  13 Berastagi 30,50 42 541 1394,79

  12 Kabanjahe 44,65 63 326 1418,28

  11 Merdeka 44,17 13 310 301,34

  10 Naman Teran 87,82 12 796 145,71

  09 Simpang Empat 93,48 19 015 203,41

  08 Tiganderket 86,76 13 178 151,89

  07 Payung 47,24 10 837 229,40

  05 Munte 125,64 19 686 156,69

  Setiap Kecamatan di Kabupaten Karo (Sumber: BPS Kabupaten Karo 2012).

  04 Juhar 218,56 13 244 60,60

  03 Tigabinanga 160,38 19 900 124,08

  02 Laubaleng 252,60 17 713 70,12

  01 Mardingding 267,11 17 062 63,88

  (1) (2) (3) (4)

  2

  2 ) Penduduk Kepadatan Penduduk Tiap Km

  Kecamatan Luas Wilayah (Km

  batas-batas sebagai berikut. (i) Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten

  katoneng ini, adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara memiliki

  Kabupaten Karo sebagai wilayah asal yang menjadi fokus kajian katoneng-

  17 Barusjahe 128,04 22 097 172,58 Jumlah/Total 2010 2 127,25 350 960 165,98 Langkat dan Kabupaten Deli Serdang, (ii) sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Samosir, (iii) sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun, dan (iv) sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Nangroe Aceh Darusalam (NAD).

  Walaupun berdasarkan administratif, etnik Karo bermukim di wilayah Kabupaten Karo, akan tetapi sejak awal mereka telah menempati beberapa wilayah kabupaten lainnya di Provinsi Sumatera Utara, terutama di kabupaten yang berbatasan langsung dengan kabupaten Karo seperti: Kabupaten Langkat, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Dairi, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Simalungun, Kota Medan dan ke sebelah barat Kabupatan Karo yaitu Kabupaten Aceh Tenggara Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD).

  Berdasarkan perbedaan wilayah domisili, pada akhirnya memunculkan sebutan atau julukan bagi masyarakat Karo karena telah membaur dengan kebudayaan etnik lain di kawasan pemukimannya. Kemudian etnik Karo dikenal dengan berbagai julukan seperti, Karo Kenjulu, Karo Singalor Lau,

  Karo Baluren, Karo Langkat, Karo Timur, dan Karo Dusun. Selain wilayah

  pemukiman etnik Karo di luar Kabupaten Karo tersebut, masih terdapat wilayah yang dianggap penting yang menjadi tempat tinggal atau domisili orang Karo yaitu wilayah Kota Medan. Biasanya orang-orang karo yang tinggal di Medan tidak memiliki sebutan tertentu sebagaimana dikemukakan di atas.

2.2 Sistem Kekerabatan

  Setiap suku bangsa mempunyai sistem kekerabatan sendiri dan merupakan ciri khas dari setiap suku bangsa. Setiap upacara adat tidak terlepas dari sistem kekerabatan yang ada. Begitu juga dengan suku Batak Karo yang juga memiliki sistem kekerabatan sendiri. Kerabat (kade-kade) memiliki pengertian yang sangat luas, baik atas dasar hubungan darah maupun hubungan yang disebabkan oleh terjadinya sebuah pernikahan, sehingga terjadilah hubungan kekerabatan baik antara pihak wanita dan pihak pria yang menikah.

  Menurut Pritchard (1986:154) tiap-tiap masyarakat, walaupun dalam bentuk yang sederhana sekali, akan dapat menemui suatu bentuk kehidupan keluarga, pengakuan mengenai ikatan kekeluargaan, sistem ekonomi dan politik, status sosial, ibadah agama, cara menyelesaikan konflik dan hukuman terhadap penjahat dan lain-lain disamping kebudayaan material, suatu kumpulan pengerahuan mengenai alam semesta, teknik dan tradisi. Demikian halnya dengan masyarakat Karo memiliki memiliki sistem kekerabatan yang diwariskan secara turun-temurun yang mencakup bentuk ikatan kekeluargaan, sistem sosial dan politik, penyelesaian konflik, dan berbagai hal yang terkait dengan sistem kekerabatan.

  Setiap individu pada masyarakat Karo baik yang bermukim di kawasan kabupaten Karo maupun di luar kabupaten Karo kendati telah membaur dengan etnik lain di sekitarnya, pada umumnya mengetahui sistem kekerabatan yang berlaku yang menjadi pedoman dari sistem kekerabatan.

  Paling tidak setiap individu mengetahui posisi dirinya sebagai salah satu dari kelompok merga (istilah kelompok klen bagi masyarakat Karo).

  Kelompok merga tersebut terdiri dari lima merga induk yaitu, (1) Karo-karo. (2) Ginting, (3) Tarigan, (4) Sembiring, dan (5) Perangin-angin,.

  5. Kaban

  14. Sinukaban

  13. Sinuhaji

  12. Sinubulan

  11. Samura

  10. Purba

  9. Ketaren

  8. Kemit

  7. Karosekali

  6. Kacaribu

  4. Jung

  Kelima merga induk ini disebut, merga silima. Setiap merga terdiri dari cabang- cabang merga. Istilah merga merupakan sebutan pada laki-laki, dan beru untuk perempuan. Kelima-lima merga dalam peradaban masyarakat karo tersebut dibentuk oleh merga-merga kecilnya, yang sepenuhnya dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini.

  3. Gurusinga

  2. Bukit

  1. Barus

  Karo-Karo

  Manik 11. Munte 12. Pase 13. Seragih 14. Sinusinga 15. Sugihen 16. Suka 17. Tumangger II.

  Ajar Tambun 2. Babo 3. Beras 4. Capah 5. Garamata 6. Gurupatih 7. Jadibata 8. Jawak 9. Juhar 10.

  Ginting 1.

  Induk Merga Sub Merga I.

  Tabel 2.2: Induk Merga dan Sub Merga dalam Konteks Merga Silima

  15. Sinuraya

  16. Sinulingga

  17. Sitepu

  18. Surbakti

III. Perangin-angin

  1. Bangun

  2. Benjerang

  3. Kacinambun

  4. Keliat

  5. Laksa

  6. Mano

  7. Namohaji

  8. Pencawan

  9. Penggarun

  10. Perbesi

  11. Pinem

  12. Sebayang

  

13. Singarimbun

  14. Sinurat

  15. Sukatendel

  16. Tanjung

  17. Ulujandi

  18. Uwir

  IV. Sembiring 1.

  Brahmana 2. Bunuhaji 3. Busuk 4. Colia 5. Depari 6. Gurukinayan 7. Keling 8. Keloko 9. Kembaren 10.

  Maha 11. Meliala 12. Muham 13. Pandebayang 14. Pandia 15. Pelawi 16. Sinukapar 17. Sinulaki 18. Sinupayung 19. Tekang

  V. Tarigan

  1. Bondong

  2. Gana-gana

  3. Gerneng

  4. Gersang

  5. Jompang

  6. Pekan

  7. Purba

  8. Sibero

  9. Silangit

  10. Tambak

  11. Tambun

  12. Tegur

  13. Tua

  Sumber: informasi yang diperoleh dari para narasumber (2014) Selanjutnya, hubungan yang lebih luas dari perwujudan merga-merga pada masyarakat Karo adalah rakut sitelu (ikat yang tiga). Rakut sitelu ini mirip dengan pengertian dalihan natolu pada masyarakat Batak Toba dan Mandailing- Angkola. Rakut sitelu pada masyarakat Karo merupakan suatu istilah untuk menyatakan sistem kekerabatan yang saling mengikat antara sesama anggota masyarakat. Sistem tersebut didapat melalui kelahiran dan perkawinan. Rakut

  sitelu dapat dipandang sebagai pembagian kelompok berdasarkan adat istiadat Karo.

  Adapun kelompok-kelompok tersebut adalah (a) senina, (b) anak beru, dan (c) kalimbubu. Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa masyarakat Karo masing-masing sadar dan mengetahui poisisinya dalam sistem kekerabatan dalam adat-istiadat Karo dalam kaitannya antara merga silima dengan rakut

  sitelu. Sehingga dalam pelaksanaan sebuah upacara adat masing-masing

  individu (keluarga) telah mengetahui posisinya sebagai bagian dari upacara tersebut.

  Pemahaman mengenai sistem kekerabatan ini oleh masing-masing individu terutama pada usia yang beranjak dewasa pada masyarakat Karo, didapat dari para orang tua yang kesehariannya cenderung menjelaskan sistem kekerabatan tersebut kepada generasi yang lebih muda pada berbagai kesempatan, misalnya ketika berkumpul di warung sambil minum kopi, atau di celah pembicaraan lainnya. Kalangan orang tua pada masyarakat Karo pada umumnya khawatir dan malu jika anaknya atau generasi yang lebih muda tidak memahami sistem kekerabatan. Oleh karena itu selalu disarankan agar para remaja yang menjelang dewasa supaya rajin mendengar cerita-cerita orang tua yang menyangkut nasihat dan sistem kekerabatan.

  Bahwa orang tua akan merasa malu jika anaknya tidak memahami sistem kekerabatan yang menyangkut merga silima dan rakut sitelu. Jika hal ini tidak diwariskan secara lebih dini, maka dikhawatirkan generasi penerus tidak memahami dengan jelas tentang merga silima dan rakut sitelu yang penerapannya sangat jelas terlihat pada berbagai upacara adat dimana setiap keluarga harus memahami posisinya apakah ia berada pada kelompok senina,

  anak beru , atau kalimbubu.

  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di kalangan orang tua pada masyarakat Karo pada umumnya merasa khawatir jika anak-anak mereka sebagai generasi penerus, tidak tahu atau tidak memahami sistem kekerabatan masyarakat Karo sebagai sebuah identitas yaitu, mengetahui posisi klennya dalam konteks merga silima, dan posisinya saat pelaksanaan sebuah ritual adat dalam pemahaman rakut sitelu.

  Selain merga dan beru, setiap individu dalam etnik Karo juga sekaligus mewarisi beru dari ibu kandungnya yang disebut dengan bere-bere atau bebere. Dengan demikian sistem kekerabatan pada etnik Karo mengikuti garis-garis keturunan merga ayah dan beru ibu sekaligus. Dengan demikian etnik Karo tidak murni menganut sistem patrineal (garis keturunan ayah) melainkan parental (bilatreral) yang merupakan percampuran dari sistem

  patrineal dan matrilineal yaitu menarik garis keturunan ayah dan garis keturunan ibu sekaligus (Bangun, 1989).

  Sistem kekerabatan masyarakat Karo juga mengenal istilah rakut sitelu atau daliken sitelu, yang mengandung pengertian adanya tiga unsur kelengkapan hidup dalam suatu keluarga luas. Adapun ketiga unsur dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

  1. Senina, adalah hubungan bersaudara antara orang-orang yang berasal dari satu merga (clan) yang sama tetapi tupang atau sub merga yang berbeda.

  Contohnya: Ginting Suka dengan Ginting Jawak. Tetapi di samping itu hubungan seseorang dengan orang lain dapat menjadi senina atau ersenina sekalipun clan atau merga berbeda, hal itu karena: isterinya adik beradik; suaminya adik beradik; ataupun ibunya adik beradik.

  2. Anak beru, adalah kelompok/golongan penerima anak dara atau wife

  taker . Kelompok anakberu mempunyai kedudukan penting sebagai pembawa

  kerukunan dan kedamaian dalam keluarga kalimbubu. Dalam pelaksanaan upacara-upacara adat anak beru yang memegang peranan sangat penting, baik menyangkut menyiapkan keperluan-keperluan pelaksanaan upacara adat, melakukan musyawarah dan pembicaraan-pembicaraan mengenai pelaksanaan upacara adat, sampai kepada pertanggungjawaban pelaksanaan upacara adat. Dalam pelaksanaan upacara adat, salah seorang anak beru bertugas sebagai

  protokol ; yang tugasnya lebih luas daripada tugas juru acara di dalam sesebuah acara yang bersifat formal.

  3. Kalimbubu, adalah pihak pemberi anak dara; merupakan kelompok yang harus dihormati. Karena unsur kalimbubu dianggap sebagai sumber kehidupan dan berkat. Masyarakat Karo menyebut kalimbubu sebagai dibata ni

  idah yang secara harafiah mengandungi pengertian tuhan yang nampak. Di

  dalam pelaksanaan adat, kalimbubu merupakan pihak yang selalu menjadi

  penggurun (yang dimintai pendapatnya, yang diikuti). Apabila pihak kalimbubu

  melihat ada sesuatu yang berlaku tidak sepatutnya, maka kalimbubu berhak ngembarisa (meluruskannya, memperbaikinya).

  

Rakut si telu dalam ego adalah senina (saudara kandung atau saudara

semerga ), kalimbubu (saudara laki-laki dari ibu), anak beru (saudara perempuan

  dari ayah). Dengan demikian, setiap ego orang Karo akan mempunyai senina,

  kalimbubu, dan anak beru. Selanjutnya, dalam suatu kegiatan adat atau upacara

  adat ketiga unsur rakut si telu tersebut mengacu kepada orang yang melaksanakan kegiatan adat yang dikenal dengan istilah sukut. Sukut juga dapat disebut sebagai ego, namun dalam satu kegiatan adat, sukut tidak hanya satu orang atau satu ego merupakan keluarga, dan sukut juga terdiri dari dua kelompok. Sebagai contoh dalam adat perkawinan, yang menjadi sukut adalah ayah ibu dan saudara kandung ayah kedua penganten (laki-laki dan wanita), dan dalam upacara tersebut terdapat dua sukut yakni sukut sinereh (kelompok pengantin wanita) dan sukut si empo (kelompok pengantin laki-laki). Jadi, rakut

  si telu dalam upacara adat mengacu pada kedua hal tersebut di atas. Jadi ketiga

  unsur dalam rakut si telu bermuara pada dua hal yakni pada diri atau ego dan kelompok dalam satu upacara adat yang disebut sukut.

  Berdasarkan uraian singkat diatas dapat dikatakan bahwa, setiap orang dalam masyarakat Karo memiliki kerabat sebagai senina, kalimbubu, dan anak

  beru secara permanen dalam keluarga karena peran tersebut lahir dari hubungan darah. Selanjutnya, setiap orang Karo juga secara otomatis mempunyai peran sebagai senina, kalimbubu, dan anak beru dari orang kerabatnya. Jadi rakut si telu dalam masyarakat karo berfungsi sebagai melingkar (sirkular). Sistem kekerabatan yang tercakup dalam rakut si telu tersebut selanjutnya berkembang menjadi delapan sub kekerabatan yang di sebut dengan tutur si waluh (kedudukan yang delapan) yaitu: (1) puang

  kalimbubu, (2) kalimbubu, (3) senina, (4) senina siparibanen, (5) senina sipemeren, (6) senina sipengalon sedalanen, (7) anak beru, dan (8) anak beru menteri.

  Jika merga dan beru disandingkan atau dicantumkan sekaligus di belakang nama bere-bere tidak pernah dicantumkan. Kendati demikian bere-

  bere juga berperan penting dalam sistem kekerabatan pada etnik Karo. Setiap

  perkenalan (ertutur) antara sesame etnik Karo senantiasa menanyakan dan menyebut merga/beru dan bere-bere.

  Dalam kehidupan masyarakat Karo ada beberapa prinsip atau dasar yang merupakan landasan kehidupan adat yang disebut dengan, palas kegeluhen

  ibas adat. Landasan ini menggambarkan karakteristik kehidupan masayarakat

  Karo yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yang mencakup aspek-aspek adat.

  Bagan 2.1: Hubungan Rakut Sitelu, Merga Silima, dan

  Tutur Siwaluh dalam Kebudayaan Karo

  Sistem kekerabatan etnik Karo dan sistem interaksi sosial yang dibangun berdasarkan filsafat yang dianut suku Karo seperti diuraikan di atas, juga diterapkan nilai-nilainya di dalam pelaksanaan upacara erpangir ku lau. Upacara ini tetap berlandas pada system kekerabatan. Mereka juga berbahasa Karo dan menerapkan tutur siwaluh bagi sesama pengikut upacara dan pemusik.

  Dengan demikian, upacara ini berdasar pada sistem kekerabatan etnik Karo, yang terus mereka pertahankan sampai saat ini.

2.3 Sistem Kepercayaan

  Kepercayaan yang paling tua di Tanah Karo adalah dinamisme dan animisme (roh). Dalam kepercayaan ini dilakukan pemujaan atau penyembahan kepada roh-roh yang dianggap suci dan berkuasa; pada tempat-tempat dan waktu-waktu tertentu (E.P. Ginting,1999).

  Dalam kepercayaan dinamisme dan animisme, hidup orang Karo dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan kosmis; ia memakai mitos-mitos untuk memahami hidup dan lingkungannya. Kepercayaan tradisional tersebut di atas disebut dengan perbegu. Karena istilah perbegu berkonotasi negatif, yang artinya orang yang berteman dengan begu (hantu), maka komunitas mereka menamai diri pemena, yang artinya kepercayaan paling awal; kepercayaan pemula.

  Masuknya pengaruh Hindu sejak zaman pra-historis memperkenalkan orang Karo kepercayaan kepada dibata. Kepercayaan tersebut percaya bahwa segala yang ada di dunia ini, yang tampak maupun yang tak tampak, diciptakan oleh dibata, yang biasa juga disebut dengan sebutan dibata kaci-kaci. Kaci-kaci adalah dewi wanita yang maha pengasih (H.G. Tarigan, 1998). Ianya menguasai seluruh wilayah kosmologi Karo.

  Menurut kosmologi Karo, wilayah dunia ini dibagi atas tiga wilayah, yaitu wilayah dunia atas, wilayah dunia tengah dan wilayah dunia bawah.

  Ketiga bagian dunia ini menjadi tempat kedudukan dibata. Setiap bagian wilayah diperintah oleh seorang dibata sebagai wakil dibata kaci-kaci.

  Wilayah dunia atas diperintah oleh seorang dibata yang disebut dibata

  ni atas yang dikenal dengan sebutan batara guru. Dibata ni atas menguasai alam semesta dan ruang angkasa. Wilayah dunia tengah atau bumi diperintah oleh dibata tengah yang digelari tuan padukah ni aji. Dibata tengah menguasai seluruh bumi yang didiami oleh manusia. Sedangkan wilayah dunia bawah atau bawah bumi diperintah oleh dibata ni teruh yang dikenal dengan sebutan tuan

  banua koling . Ketiga dibata yang merupakan satu kesatuan itu dalam bahasa Karo disebut dibata si telu (tuhan yang tiga).

  Di samping dibata si telu yang telah disebut di atas, masih terdapat dua unsur penguasa lain yang memberi kekuatan, yaitu: sindarmataniari dan si beru

  dayang . Sindarmataniari adalah penguasa yang bertempat tinggal di matahari; ianya mengikuti perjalanan matahari dari mulai terbit sehingga tenggelam.

  Sindarmataniari mempunyai kuasa memberi penerangan atau sinar yang sumbernya dari matahari; dan tugasnya adalah menjadi penghubung antara

  butara guru , tuan padukah ni aji dan tuan banua koling. Sindarmataniari bertugas menjaga agar keseimbangan kosmis tetap terjaga.

  Sedangkan si beru dayang adalah penguasa yang bertempat tinggal di bulan, yang tugasnya membuat agar dunia tengah tetap kuat serta tak dapat diterbangkan angin taufan. Si beru dayang juga dipercayai terlihat pada saat terjadinya pelangi. Menurut mitologi Karo, si beru dayang ini berasal daribegu (hantu, roh) seorang perempuan yang pernah berbuat cabul atau sumbang dengan ibu kandungnya sendiri.

  Agama Islam masuk ke Dataran Tinggi Karo melalui Nanggroe Aceh Darussalam dan pesisir pantai Sumatera. Sedangkan agama Nasrani diperkenalkan oleh misionaris Belanda yang bernama NZG (Nederlandch

  Zendeling Genooscapt ) pada orang Karo sejak tahun 1894 atas dukungan oleh

  J.T.H. Gremers, Direktur Perkebunan Tembakau Deli Maatschappij pada saat itu. Agama Nasrani masuk melalui desa Buluh Awar, kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara.

2.4 Sistem Pemerintahan Tradisional

  Seperti yang dituturkan oleh para orang tua,keadaan masyarakat Karo pada dahulu kala adalah tidak stabil. Keadaan ini disebut dengan ermusuh; yang mengandung arti berperang. Perang antara desa, antar urung, dan antar kelompok ini terjadi terus menerus dan berlangsung cukup lama. Keadaan ini membuat rakyat menderita karena hidup tanpa rasa aman. Dalam pada itu, banyak anggota masyarakat yang pergi merantau mencari ilmu-ilmu bela diri, dan kemudian kembali lagi ke desanya untuk membela desa maupun membela kelompoknya. Keadaan ini berlangsung sehingga kedatangan utusan Sultan Aceh yang dilengkapi dengan persenjataan ke Tanah Karo.

  Utusan Sultan Aceh selanjutnya kemudian menobatkan raja-raja atau

  sebayak di Karo. Raja-raja Karo yang dinobatkan ketika itu adalah sebayak

  Lingga; sebayak Suka; sebayak Sarinembah, sebayak Barus Jahe. Sedangkan

  sebayak Kutabuluh karena begitu terkenal dengan sendirinya diakui orang Karo sebagai sebayak.

  Tercatat dalam sejarah Karo bahwa pada akhirnya terdapat 5 (lima) kerajaan besar di dataran tinggi Karo. Ke lima kerajaan tersebut adalah: kerajaan Lingga yang berkedudukan di Lingga, kerajaan Barus Jaheberkedudukan di Barus Jahe, kerajaan Sarinembah di Sarinembah, kerajaan Suka berkedudukan di Suka, dan kerajaan Kutabuluh berkedudukan di Kutabuluh.

  Kerajaan-kerajaan tadi dipimpin oleh seorang raja atau sebayak. Sebuah kerajaan terdiri dari beberapa urung (daerah) yang dipimpin oleh seorang Raja

  Urung , sedangkan sebuah urung terdiri dari beberapa kuta (desa/kampung) yang masing-masing dipimpin oleh seorang pengulu kuta.

  Kerajaan Linggamempunyai 6 (enam) kerajaan urung, yaitu urungTelu Kuta berkedudukan di Lingga, urung Tigapancur di Tigapancur, urung Empat Teran di Naman, urung Lima Senina di Batu Karang, dan urung Tiganderket berkedudukan di Tiganderket.

  Kerajaan Barus Jahe mempunyai 2 (dua) kerajaan urung, yaitu urung Sipitu Kuta berkedudukan di Barusjahe, dan urung Sinaman Kuta berkedudukan di Sukanalu.

  Kerajaan Sarinembah mempunyai 4 (empat) kerajaan urung, yaitu urung Sepuluhpitu Kuta berkedudukan di Sarinembah, urung Perbesi di Perbesi, urung Juhar di Juhar, dan urung Kuta Bangun berkedudukan di Kuta Bangun.

  Kerajaan Suka mempunyai 4 (empat) kerajaan urung, yaituurung Suka di Suka, urung Sukapiring/Seberaya di Seberaya, urung Ajinembah di Ajinembah, dan urung Tongging berkedudukan di Tongging. Serta kerajaan Kuta Buluh mempunyai 2 (dua) kerajaan urung yaitu urung Namo Haji berkedudukan di Kutabuluh, dan urung Liang Melas di Samperaya.

  Sebelum kedatangan pemerintah kolonial Belanda ke Tanah Karo, 4 (empat) kerajaan di Tanah Karo kecuali kerajaan Kutabuluh, tunduk dibawah kekuasaan kerajaan Aceh. Demikian juga hal tersebut berlaku pada saat kedatangan pemerintah kolonial Belanda ke Tanah Karo pada tahun 1890. Raja berempat tertakluk di bawah kekuasaan Belanda. Sedangkan sebayak Kutabuluh tetap melakukan perlawanan terhadap Belanda, yang akhirnya sebayak tersebut ditangkap dan dibuang ke Batavia (Jakarta sekarang) (Darwan & Darwin Prinst: 1985).

  Ketika pendudukan Jepang di Tanah Karo pada tahun 1942, pemerintahan pribumi masih efektif, namun pengawalan administrasi dipegang oleh pemerintahan militer Jepang. Untuk wilayah Karolanden pemerintahan di kepalai pejabat militer dengan nama Gunseibu (Bunsyutyo) yang berkedudukan di Berastagi.

  Demikian juga setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada bulan Agustus 1945, pemerintahan pribumi Karo masih tetap diakui oleh pemerintahan pusat. Namun setelah revolusi sosial Karo pada bulan Maret 1946, pemerintahan pribumi dihapuskan dan diganti dengan pemerintahan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sekalipun kekuasaan sebayak tidak lagi eksis, namun kedudukan keluarga sebayak tetap dihormati masyarakat Karo.

2.5 Kesenian

  Masyarakat Karo mempunyai beberapa genre kesenian yang diwariskan oleh nenek moyang sejak dahulu kala. Jenis-jenis kesenian tersebut antara lain adalah: seni ukir/ornamen, seni drama, seni tari, dan seni musik. Jenis kesenian yang paling berkembang pada masyarakat Karo adalah seni musik; baik musik vocal maupun musik instrumental. Musik sangat diperlukan dalam berbagai aktivitas orang Karo; baik acara yang bersifat hiburan, seperti: pesta guro-guro

  aron (pesta muda-mudi); acara yang bersifat ritual, seperti: erpangir ku lau

  (membersihkan diri), maupun acara yang bersifat adat, seperti: acara cawir

  metua (kematian), mengket rumah mbaru (memasuki rumah baru), kerja erdemu bayu (pesta perkawinan), dan lain sebagainya.

2.5.1 Seni sastra

  Untuk menjadi perkolong-kolong yang profesional dan diberi kedudukan tersendiri di tengah-tengah masyarakat, sebagai seorang yang dipandang memiliki keahlian dan keterampilan dalam berkesenian, maka ia harus mempelajari seni sastra yang terdapat di dalam kebudayaan Karo. Perkolong-

  kolong ini kemudian menyajikannya secara musikal dalam berbagai bentuk seni

  suara termasuk di dalam penyajian katoneng-katoneng. Berikut ini dideskripsikan seni sastra tradisi yang terdapat di dalam kebudayaan Karo.

  Pada umumnya, dalam berkomunikasi dengan sesamanya orang Karo mempergunakan bahasa Karo. Dalam berkomunikasi atau pembicaraan sehari- hari, penggunaan bahasa Karo tidak memerlukan susunan yang teratur sekali, yang penting apa yang dikehendaki atau yang perlu disampaikan dapat difahami oleh yang mendengar. Namun untuk keperluan tertentu contohnya: ungkapan keluh kesah, pembicaraan adat, bersenandung (bernyanyi), dan lain sebagainya; dilakukan pemilihan kosa kata yang dianggap paling sesuai. Kosa kata tersebut adalah apa yang disebut oleh orang Karo sebagai cakap lumat (bahasa halus).

  Untuk memperindah dan membuat lebih menarik, pemakaian cakap lumat ini dapat dalam bentuk pepatah, perumpamaan, pantun dan gurindam. Pemakaian

  cakap lumat ini sering dipergunakan dalam upacara adat seperti perkawinan,

  memasuki rumah baru, maupun dalam pergaulan muda-mudi (ungkapan percintaan).

  Seni sastra Karo dapat dibedakan atas beberapa kategori, di antaranya adalah seperti yang diuraikan berikut ini.

1. Tabas-Tabas (mantra), adalah jenis mantera yang diucapkan atau dilantunkan yang berisikan mantera untuk mengobati orang yang sakit.

  Tabas biasanya diucapkan oleh seorang guru sibaso (bomoh). Contoh: Mari me kam ku iap, kupanggil, kukunci Alu beras telge-telge, tinaruh manuk, Belo raja mulia, belo sinuntum, Belo berkis-berkisen, tagan kinukut, Kalakati penjabat, cincin pijer.

  (Terjemahan: Marilah kamu ku lambai, ku panggil, ku kunci, dengan beras yang baik, telur ayam, sirih raja mulia, sirih yang rata, sirih yang berikat-ikatan, empat kapur istimewa, penjepit yang kuat, cincin yang baik. (H.G. Tarigan: 1988)) 2. Kuning-kuningan, adalah sejenis teka-teki yang dipergunakan oleh anak- anak, muda-mudi maupun orang tua di waktu-waktu luang sebagai permainan untuk mengasah otak. Contoh:

  Nguda-ngudana erbaju ratah, Tua-tuana erbaju gara, kai e ?

  [Terjemahan: Pada waktu muda berbaju hijau, pada waktu tua berbaju merah, Apakah itu?] (Sarjani Tarigan: 2008).

  Adi itaka jumpa kuling, itaka kuling jumpa tulan.

Itaka tulan jumpa jukut, itaka jukut jumpa lau, kai e ?

  [Terjemahan: Kalau dibelah jumpa kulit, dibelah kulit jumpa tulang, dibelah tulang jumpa daging, dibelah daging jumpa air, apakah itu? (Sarjani Tarigan, 2008).

  3. Ndung-dungen, yaitu sejenis pantun Karo yang terdiri dari empat baris. Dua baris terdiri dari sampiran, dan dua baris berikutnya merupakan isi. Contoh:

  Adi langge si Kuta Buluh, Pia-pia sanggar langge bakanta, Adi lalap kita la beluh, Sia-sia nggalar nande bapanta.

  [Terjemahan: Jika pohon keladi daripada Kutabuluh, rumput yang tinggi di dalam bakul kita.

  Jika kita tetap tidak pandai, sia-sia membayar ibu bapa kita] (H.G.Tarigan: 1988).

  Cike lambang bungana, Lada jera gula batuna,

  Ise pe lalit gunana, Sada kena nomor satuna.

  (Terjemahan:

  Cike simbol bunganya, lada jera gula batunya.

  Siapapun tidak ada gunanya, hanya engkaulah nomor satunya.) (H.G. Tarigan: 1988).

  4. Bilang-bilang adalah dendang duka yang merupakan ratapan seseorang yang mengalami duka nestapa. Contohnya karena teringat akan ibunya yang telah meninggal dunia; ataupun meratapi kekasih idaman hati yang telah meninggalkan dirinya, karena pergi merantau ke negeri orang. Contohnya sebagai berikut.

  Emaka hio kute ndube bilang-bilang kin pe, bilang-bilang anak Tarigan mergana, sinitubuhken nande beru Karo si melias lanai teralang, kuta Lingga Julu ... dan seterusnya.

  (Terjemahan: Sehingga hio kute dahulu bilang-bilang nya, bilang-bilang anak merga

  Tarigan, yang dilahirkan oleh ibu beru Karo yang sangat baik, di desa Lingga Julu ... dan seterusnya (Sarjani Tarigan, 1985) 5. Turi-turin, adalah cerita yang berbentuk prosa yang isinya tentang asal-usul marga, asal usul kampung, cerita tentang orang sakti, cerita lucu, dan lain sebagainya. Turi-turin biasanya diceritakan orang-orang tua kepada anak atau cucunya pada malam hari menjelang tidur. Beberapa contoh turi-turin berkenaan, antara lain: Beru Patimar dan PawangTernaler, Panglima

  

Cimpa Gabor-gabor, Gosing si Aji Bonar , Beru Rengga Kuning dan lain

sebagainya.

  Di dalam konteks katoneng-katoneng yang dinyanyikan oleh perkolong- kolong, termasuk dalam konteks upacara kematian cawir metua, maka bahasa yang digunakan para perkolong-kolong biasanya adalah bahasa Karo yang dikategorikan secara adat sebagai cakap lumat (bahasa halus). Artinya di dalam bahasa yang dinyanyikan perkolong-kolong tersebut mempunyai diksi tertentu dan tata aturan mengikuti sastra lisan Karo, yang penuh dengan nilai-nilai dan makna kebudayaannya.

2.5.2 Seni ukir

  Meskipun tradisi seni ukir dan patung di Tanah Karo sudah sangat lama hidup, namun perkembangannya tidak seperti yang diharapkan; khususnya seni patungnya. Hanya beberapa orang Karo saat ini yang menekuni hidupnya dalam bidang berkenaan diatas. Di antaranya yang masih hidup boleh dicatatkan disini, adalah : Pauzi Ginting di Lingga, Joker Barus di Barusjahe, Kora Sembiring di Seberaya, Bangun Tarigan di Kabanjahe, A.G. Sitepu di Medan, dan lainnya.

  Mereka yang dicatatkan disini hanya seorang saja yang menekuni bidang seni patung; yaitu A.G. Sitepu, selebihnya menggeluti seni ukir.

  Seni ukir tradisional Karo memiliki berbagai bentuk, yaitu berupa ragam hias dan benda-benda kerajinan. Beberapa dari jenis-jenis ragam hias yang terdapat di Karo, antara lain : Tapak Raja Sulaiman, Pengeretret, Embun

  Sikawiten, Keret-keret Ketadu , Anjak-Anjak beru Ginting dan lain sebagainya

  (A.G. Sitepu: 1980). Jenis ukiran berkenaan dapat ditemukan pada alat-alat upacara, perkakas rumah tangga, alat-alat musik, hiasan dinding, Ayorumah

   siwaluh jabu (dinding muka rumah adat Karo) dan lain sebagainya. Berupa

  benda-benda kerajinan antara lain adalah piso tumbuk lada (pisau khas Karo),

  sertali (perhiasan yang terbuat dari perak), kalakati penjabat (alat untuk membelah pinang) dan lain sebagainya.

  Sedangkan seni patung pada orang Karo disebutgana-gana. Patung yang sangat terkenal di Tanah Karo adalah gana-gana saringitgit. Bentuk gana-gana

  saringgitgit sangat menyeramkan sehingga orang yang menciptakannya pun

  menjadi takut melihatnya. Namun, dari penelusuran yang penulis sudah lakukan, seni patung Karo saat ini sudah tidak ditemukan lagi; baik itu di museum-museum pemerintah dan swasta, maupun di toko-toko yang menjual cenderamata dan benda-benda antik Karo.

2.5.3 Seni musik

2.5.3.1 Pengertian musik

  Musik pada masyarakat Karo diartikan sebagai gendang.Musik yang berkembang di kalangan kaum muda disebut dengan gendang si medanak (musik anak muda).Musik yang saat ini popular di tengah-tengah masyarakat dikatakan dengan gendang si gundari (musik yang popular sekarang ini).

  Sedangkan musik tradisional Karo yang menggunakan sarune (serunai) sebagai

2 Rumah si waluh jabu mengandungi erti rumah yang di dalamnya terdapat lapan ruang.

  Rumah jenis ini masih boleh dijumpai di beberapa desa Karo, diantaranya: desa Lingga, desa Dokan, desa Peceren, dan lain sebagainya. alat musik melodisnya disebut dengan gendang telu sendalanen lima sada perarih atau yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan gendang sarune.

2.5.3.2 Jenis-jenis musik

  Secara umum musik tradisional Karo berdasarkan sumber bunyinya dibagi atas dua bagian, yaitu musik vocal dan musik instrumental.Musik vocal adalah musik yang dihasilkan dari suara atau mulut manusia, sedangkan musik instrumental adalah musik yang dihasilkan oleh alat-alat musik tertentu.

2.5.3.2.1 Musik vokal

  Ada berbagai jenis musik vocal yang berkembang pada masyarakat Karo hingga saat ini.Dalam penyajiannya, musik vokal tersebut ada yang diiringi dengan alat musik tertentu, namun ada pula yang dimainkan tanpa iringan musik. Musik vocal yang diiringi dengan alat musik tertentu diantaranya adalah:

  kateneng-kateneng yaitu nyanyian yang dibawakan oleh perkolong-kolong

  (penyanyi dan penari professional Karo) dalam sebuah acara adat; ende-enden yaitu nyanyian yang dinyanyikan oleh seseorang (laki-laki atau perempuan) dalam sebuah acara. Sedangkan musik vocal tanpa diiringi alat musik adalah:

  mangmang yaitu nyanyian yang dibawakan oleh seorang guru (dukun) pada

  pelaksanaan sebuah upacara ritual; nendong yaitu nyanyian yang dibawakan oleh seorang guru (dukun) dalam sebuah proses pengobatan seseorang yang sedang sakit; didong doah yaitu nyanyian yang dibawakan oleh seorang

   perempuan dalam sebuah adat perkawinan; dan lain sebagainya .

2.5.3.2.2 Musik instrumental

  Musik instrumental Karo dihasilkan oleh alat musik solo (tunggal) maupun alat-alat musik yang tergabung dalam ensambel musik tertentu. Musik instrumental yang dimainkan dengan solo instrument, diantaranya: lebuh-lebuh; dilantunkan oleh surdam (alat musik tiup side blow); penganjak kuda si tajur; dimainkan oleh kulcapi (kecapi Karo), pingko-pingko; yang dimainkan dengan solo oleh alat musik belobat (alat musik tiup end blow), dan lain sebagainya.Musik instrumental yang dibawakan oleh ensambel tertentu biasanya tidak dinyanyikan tetapi hanya ditarikan, maupun hanya sekedar dilantunkan.Gendang perang 4 kali adalah musik yang hanya dilantunkan tanpa dinyanyikan maupun ditarikan.Gendang lima serangke (lima serangkai) adalah musik instrumental yang hanya ditarikan oleh penari khusus (biasanya oleh muda-mudi dengan cara berpasang-pasangan), dan lain sebagainya.

2.5.3.3 Ensembel Musik Tradisional Karo

2.5.4.4.1 Gendang Lima Sendalanen

  Gendang Telu Sendalanen Lima Sada Perarih, yang sering juga disebut

  gendang sarune , merupakan ensambel musik yang paling dikenal dalam

  khasanah musik tradisional Karo. Istilah gendang pada kasus ini dapat diartikan dengan alat musik, limaberarti jumlah kuantitatif sebanyak lima buah, dan 3 Dalam beberapa kasus, nyanyian didong doah juga tak jarang disisipkan musik sebagai iringannya.Hal itu terjadi atas inisiatif pemusik saja.

  sedalanen berarti sejalan. Dengan demikian gendang lima sedalanen

  mengandung pengertian lima buah alat musik, yaitu: sarune, gendang singanaki, gendang singindungi, penganak , dan gung.

  Gambar 2.2:

  Penarune Sumber: Perikuten Tarigan (2008:53)

  Masing-masing alat musik ini dimainkan oleh seorang pemain, dengan sebutan panarune untuk pemain sarune, penggual untuk sebutan pemain

  gendang singanaki dan gendang singindungi. Lebih spesifik lagi, pemain gendang singanaki disebut penggual singanaki dan pemain gendang singindungi disebut penggual singindungi.Orang yang memainkan penganak disebut simalu penganak, dan orang yang memainkan gung disebut simalu

  gung .Namun, pada saat sekarang ini, alat musik penganak dan gung sudah biasa dimainkan oleh hanya seorang pemain, dan sebutannya adalah simalu gung.

  Gambar 2.3: Pemain Musik Gendang Lima Sidalanen

  Sumber: Perikuten Tarigan (2005: 56)

  Ketika mereka bermain musik dalam satu upacara adat Karo, sebutan kepada mereka menjadi satu yaitu si erjabaten, yang artinya secara harfiah adalah orang yang memiliki jabatan.Sebutan penggual dan panarune tetap melekat pada diri mereka sepanjang mereka masih beraktivitas dalam bidang musik, sementara sebutan si erjabaten biasanya hanya muncul ketika mereka bermain dalam satu konteks upacara adat Karo. Ensembel Gendang Telu

  Sendalanen Lima Sada Perarih atau biasa juga disebut Gendang Lima Sendalanen terdiri dari:

  (i) Sarune, merupakan alat musik tiup yang memiliki lidah ganda

  (double reed aerophone).Tabung alat musik ini berbentuk konis, mirip dengan alat musik obo (oboe). Panjang sarune lebih kurang 30 cm. Instrumen ini terdiri dari lima bagian alat yang dapat dipisah-pisahkan serta terbuat dari bahan yang berbeda pula yaitu: anak-anak sarune, tongkeh, ampang-ampang, batang

  sarune , dan gundal. Anak-anak sarune (reeds) terbuat dari dua helai kecil daun

  kelapa yang telah dikeringkan.Kedua helai daun kelapa itu diikatkan pada katir (pipa kecil yang terbuat dari perak) sebagai penghubung anak-anak sarune kepada bagian berikutnya.Tongkeh terbuat dari timah, bentuknya seperti pipa kecil yang berfungsi sebagai penghubung antara anak-anak sarune dengan

  batang sarune.Ampang-ampang yakni sebuah lempengan berbentuk bundar

  yang terbuat dari kulit binatang baning (trenggiling) diletakkan di tengah

  tongkeh .Ampang-ampang ini berfungsi sebagai penahan bibir pemain sarune

  ketika sedang meniup alat tersebut.Batang sarune terbuat dari kayu selantam, yang harus dibentuk menjadi konis, dan bagian dalamnya juga dilobangi agar bentuknya menjadi konis juga.