BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Analisis Integrasi Dan Volatilitas Harga Beras Regional Asean Terhadap Pasar Beras Indonesia
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Liberalisasi perdagangan global yang ditandai dengan penghapusan bea masuk impor dan hambatan perdagangan lainnya akan membuat pasar pangan dunia dan pasar pangan domestik secara spasial semakin terintegrasi. Hal ini yang membuat kalangan pembuat kebijaksanaan khawatir sehingga seringkali muncul pertanyaan, yaitu: a) apakah dinamika harga di tingkat pasar dunia secara otomatis akan mempengaruhi naik turunnya harga di tingkat konsumen domestik, dan b) apakah pasar domestik secara otomatis akan menjadi pasar bagi komoditas pangan impor yang harganya relatif lebih murah (Purwoto, Rahman dan Suhartini, 2001).
Selanjutnya menurut Dewan Bimas Ketahanan Pangan (2001) didalam Purwoto, Rahman dan Suhartini (2001), munculnya kedua pertanyaan diatas adalah wajar. Justifikasinya, apabila dinamika harga di tingkat pasar dunia secara otomatis mempengaruhi naik turunnya harga di tingkat konsumen domestik maka berarti ketahanan pangan di tingkat rumah tangga rentan terhadap gejolak harga di pasar dunia. Padahal syarat kecukupan (sufficiency condition) terwujudnya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga/individu adalah bahwa harga pangan terjangkau daya beli masyarakat. Salah satu karakteristik yang harus dimiliki oleh harga tersebut sudah barang tentu adalah stabil. Demikian pula, apabila pasar domestik secara otomatis menjadi pasar bagi komoditas pangan impor maka berarti kemandirian pangan nasional menurun. Hal ini karena semakin tinggi persentase pangan impor terhadap ketersediaan pangan nasional berarti semakin rendah kemandirian pangan nasional. Padahal ketahanan pangan perlu diupayakan sebesar mungkin yang bertumpu pada produksi pangan domestik.
Bagi Indonesia berbagai kebijakan ekonomi di bidang perberasan selalu menjadi perhatian utama pemerintah. Disisi lain, penyediaan produksi beras domestik masih memiliki kendala, khususnya yang berkaitan dengan semakin terbatasnya kapasitas produksi nasional yang disebabkan antara lain oleh: (a) berlanjutnya konversi lahan pertanian ke nonpertanian, (b) menurunnya kualitas dan kesuburan lahan akibat kerusakan lingkungan, (c) semakin terbatas dan tidak pastinya ketersediaan air irigasi untuk mendukung kegiatan usahatani padi akibat dari perubahan iklim mikro, (d) kurangnya pemeliharaan jaringan irigasi sehingga sekitar 30 persen di antaranya mengalami kerusakan, (e) semakin meningkatnya persaingan pemanfaatan sumberdaya air dengan sektor pemukiman dan industri, dan (f) semakin tidak pastinya perilaku iklim akibat perubahan global (Suryana dan Kariyasa, 2008).
Produksi padi Asia Tenggara tahun 2012 diperkirakan sebesar 208,20 juta ton atau setara dengan 118,06 juta ton beras (konversi GKG ke beras 0,5671), meningkat dari 1,68 juta ton turun satu persen terhadap tahun sebelumnya (Tabel 1). Kenaikan produksi berasal dari peningkatan luas tanam maupun produksi.
Namun, peningkatan kurang dari satu persen sementara peningkatan hasil panen sekitar 3 persen yang merupakan kompensasi penurunan luas panen akibat kerusakan tanaman. Produksi mengalami peningkatan di Indonesia, Filipina dan Thailand. Dalam hal persentase, kenaikan tertinggi di Laos dan Brunei, sementara produksi padi Myanmar dan Vietnam mengalami penurunan karena faktor Cuaca yang tidak menguntungkan penyebab penurunan produksi di Myanmar dan Vietnam (Afsis, 2012).
Proyeksi produksi padi tahun 2013 di Asia Tenggara sebesar 211,9 juta ton atau setara dengan 120,16 juta ton beras, meningkat sekitar 3,76 juta ton atau sekitar 2 persen dari tahun 2012. Peningkatan produksi terjadi di Myanmar dan Indonesia, sedangkan produksi Thailand dan Malaysia diperkirakan turun.
Produksi Thailand diproyeksikan menurun sekitar satu persen karena penurunan luas tanam sebagai akibat dan dampak banjir sehingga beberapa wilayah tidak melakukan penanaman padi. Cuaca yang tidak menguntungkan merupakan faktor lain yang menyebabkan penurunan produksi (Afsis, 2012).
Tabel 1.1. Produksi Padi Negara-Negara Asia Tenggara Tahun 2011-2013Satuan: 1,000 Ton Perubahan Perubahan 1) Negara 2011 2012 2013
2012 vs 2011 2013 vs 2012 Jumlah (%) Jumlah (%)
Asia Tenggara 206.513,46 208.198,22 1.684,76 0,82 211.953,97 3.755,75 1,8
Brunei 2,15 2,38 0,23 10,91 2,62 0,24 10,21
Cambodia 8.249,45 8.416,94 167,49 2,03 8.521,00 104,06 1,24
Indonesia 65.760,95 68.594,07 2.833,12 4,31 69.844,51 1.250,44 1,82
Lao PDR 3.105,20 3.722,70 617,51 19,89 3.823,69 100,99 2,71
Malaysia 2.665,10 2.741,05 75,96 2,85 2.633,50 -107,55 -3,92
1 Myanmar / 32.064,43 28.680,59 -3.383,84 -10,55 30.700,00 2.019,41 7,04Philippines 16.684,06 17.809,79 1.125,73 6,75 18.066,96 257,17 1,44
- Singapore -
Thailand 35.583,64 36.669,20 1.085,57 3,05 36.139,44 -529,77 -1,44
Vietnam 42.398,50 41.561,50 -837 -1,97 42.222,25 660,75 1,59
Sumber: AFSIS report, (2012) 1 Keterangan : Angka tahun 2013 adalah angka ramalan oleh AFSIS
Beras merupakan komoditi yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia, baik sebagai makanan pokok maupun sebagai komoditi strategis.
Sebagai makanan pokok, diperkirakan lebih dari 95 persen masyarakat Indonesia mengonsumsi beras. Sebagai komoditi strategis, fluktuasi harga beras mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Fluktuasi harga yang terlalu tinggi, di satu sisi dapat memberatkan daya beli masyarakat, sementara di sisi lain dapat merugikan petani. Oleh karena itu hal yang diharapkan masyarakat terhadap suatu pemerintah adalah terpenuhinya kebutuhan pangan yang cukup dengan harga yang terjangkau (Amang dan Sawit, 1999).
Beras merupakan pangan pokok strategis bagi masyarakat yang tidak tergantikan dengan pangan lain khususnya di Asia. Negara penghasil utama beras di Asia adalah Thailand, Vietnam, India, Pakistan, Indonesia dan China, sedangkan negara yang mengalami surplus produksi dan menjadi eksportir utama beras dunia, diantaranya Thailand, Vietnam, dan India. Permasalahan perberasan di negara-negara Asia seringkali menimbulkan goncangan dan in-stabilitas, sehingga lahir berbagai kebijakan pemerintah dalam rangka melindungi petani dan konsumen.
Berdasarkan prediksi USDA (United States Department Agriculture) dalam
USDA Long-term Projections, February 2011, menyatakan bahwa Bangladesh,
Indonesia, Philipina dan Uni Eropa diperkirakan pada tahun 2020 akan menjadi negara pengimpor beras terbesar dunia, masing-masing sebesar 1,4 juta ton atau lebih. Negara-negara ini memiliki keterbatasan dalam meningkatkan produksi beras domestiknya. Pertumbuhan penduduk dan perubahan iklim menyebabkan banyak negara kesulitan dalam menyediakan pangan untuk kebutuhan domestiknya. Secara berkala dengan berbagai cara Food Agriculture Organization
(FAO) mengingatkan tentang situasi dan kondisi produksi pangan, harga dan
distribusi. Terkait dengan hal tersebut dunia menghadapi tantangan yang berat dalam mengatasi masalah pangan ini melalui pilar ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, akses, utilitas dan stabilitas pangan.
Berikut ini disajikan data negara-negara eksportir dan importir beras di Asia Tenggara:
(000 ton)
Tabel 1.2. Negara Eksportir Beras di Asia TenggaraTahun Negara 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012* Burma 388 130 190
47 31 541 1.052 445 750 750 Cambodia 10 300 200 350 450 500 800 1.000 1.000 1.000
Thailand 7.552 10.137 7.274 7.376 9.557 10.011 8.570 9.047 10.500 6.500
Vietnam 3.795 4.295 5.174 4.705 4.522 4.649 5.950 6.734 7.000 6.500
Total 11.745 14.862 12.838 12.478 14.560 15.701 16.372 17.226 19.250 14.750
World total 27.540 27.253 28.957 29.092 31.917 29.763 29.335 31.781 35.113 32.686
Persentase 42,6 54,5 44,3 42,9 45,6 52,8 55,8 54,2 54,8 45,1
Sumber: USDA, (2012) Keterangan : * data s.d 9 Maret 2012
Negara eksportir beras Asia Tenggara dengan volume terbesar adalah Thailand dan Vietnam, meskipun selama beberapa dekade terakhir kedua negara tersebut mendominasi, tetapi munculnya Cambodia lima tahun terakhir sebagai pemain baru dalam ekspor beras di Asia Tenggara akan membantu mengurangi tekanan akibat kebijakan pengurangan ekspor beras Thailand dalam upaya mengamankan stok dalam negerinya.
Tabel 1.3. Negara Importir Beras di Asia Tenggara (000 ton)Tahun Negara 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 1/
Indonesia 2.750 650 500 539 2.000 350 250 1.150 2.775 1.000
Malaysia 500 700 751 886 799 1.039 1.086 907 990 1.085
Philippines 1.300 1.100 1.890 1.791 1.900 2.500 2.000 2.400 1.200 1.500
Singapore 375 346 282 302 327 288 278 310 310 310
Total 4.925 2.796 3.423 3.518 5.026 4.177 3.614 4.767 5.275 3.895
World total 27.540 27.253 28.957 29.092 31.917 29.763 29.335 31.781 35.113 32.686
Persentase 17,9 10,3 11,8 12,1 15,7 14,0 12,3 15,0 15,0 11,9
Sumber: USDA, (2012) Keterangan : * data s.d 9 Maret 2012Indonesia dan Philipina merupakan negara importir beras terbesar di Asia Tenggara sangat mempengaruhi fluktuasi permintaan beras dunia, bahkan impor beras yang dilakukan Indonesia sangat mempengaruhi volatilitas atau fluktuasi harga beras dunia. Ekspor beras negara penghasil utama beras Asia Tenggara relatif mengalami kenaikan dari tahun ke tahun karena beberapa tahun belakangan Myanmar dan Cambodia menjadi negara eksportir baru. Sedangkan impor beras di Asia Tenggara relatif stabil, negara importir beras di kawasan ini adalah Indonesia, Philipina, Malaysia dan Singapura.
700,00 25.000 600,00 20.000 t) M
500,00 15.000
D/ S 400,00
U ( 10.000 rga 300,00 a H
5.000 200,00 100,00
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Ekspor Asean Impor Asean Rice Thai 5% ($/mt) Sumber : USDA dan Worldbank, (2012)
Gambar 1.1. Ekspor-Impor dan Harga Beras di Asia Tenggara Tahun 2003 -2011Dalam satu dekade terakhir terjadi peningkatan harga komoditas pangan di pasar Internasional dan cukup menarik untuk dikaji, baik integrasi pasar spasial Indonesia maupun internasional. Kenaikan harga komoditas pangan internasional yang tajam, pada saat yang sama merupakan kesempatan bagaimana memanfaatkan ekonomi sumberdaya alam yang melimpah seperti Indonesia, produsen dapat mengambil keuntungan dari kesempatan ini. Pertama, bagaimana hubungan intergrasi pasar Indonesia dengan pasar dunia, atau dengan kata lain bagaimana harga Indonesia bergerak secara bersama-sama dengan harga di pasar internasional. Kedua, bagaimana hubungan pasar antar provinsi. Intergrasi yang buruk juga berimplikasi buruk pada supply-demand Indonesia dan memberikan respon yang buruk terhadap harga komoditas pangan (Varela, Aldaz-Carrol dan Iacovone, 2012).
Rata-rata harga beras paritas internasional selama tahun 2012 sebesar Rp 6.928/kg untuk beras Thailand broken 5 persen dan Rp 6.752/kg untuk beras
Thailand broken 15 persen. Harga tertinggi beras terjadi pada bulan Juni 2012 dan
terendah terjadi pada bulan Februari 2012. Lonjakan kenaikan harga beras tertinggi terjadi pada bulan Mei 2012 mencapai 7,2 persen dibandingkan harga beras satu bulan sebelumnya. Kenaikan harga beras pada tahun 2012 tidak terlalu signifikan karena pasokan beras global cukup dan produksi beras global meningkat. Produksi beras global naik 0,9 juta ton mencapai 465,1 juta ton. Musim hujan memberikan dampak positif terhadap peningkatan produksi beras terutama di India dan di beberapa negara Asia lainnya. Peningkatan hasil panen terjadi juga di Australia, Mesir, Jepang dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat. Namun demikian, ada beberapa negara yang mengalami penurunan produksi beras antara lain di Uruguay dan di beberapa negara Afrika. Ekspor global beras naik 0,4 juta ton dengan kenaikan ekspor terjadi di India dan Mesir. Stok akhir tahun 2012 mencapai 102,0 juta ton turun 0,3 juta ton dari bulan Mei 2012, di bawah 3,5 juta ton pada periode yang sama tahun lalu. Hasil proyeksi stok akhir beras Banglades dan India diperkitakan turun sedangkan di Nigeria mengalami kenaikan (Afsis, 2012).
Harga beras periode tahun 2003 – 2007 mengalami kenaikan sekitar 100 USD/MT. Kemudian periode 2008 – 2011 harga beras dunia mengalami kenaikan yang cukup tajam akibat terjadinya krisis pangan di berbagai negara, juga disebabkan negara Thailand penghasil utama beras mengalami banjir terutama di daerah sentra penghasil beras. Kenaikan harga beras yang mencapai dua kali lipat dari periode sebelumnya menyebabkan terjadi gejolak politik diberbagai negara, akibatnya terjadi kerusuhan di beberapa negara Arab dan Afrika.
Perdagangan beras dunia semakin dinamis, permintaan dari negara-negara lain juga semakin meningkat khususnya dari Iran, Irak, Uni Eropa (UE).
Pengalaman Indonesia tahun 2011 lalu bahwa rencana impor beras 1 juta dari Thailand gagal dilakukan karena kebijakan pemerintah Thailand untuk mengamankan kebutuhan dalam negerinya pasca terjadinya banjir di wilayah penghasil beras utama. Akibatnya Indonesia mengalihkan impor beras dari Thailand ke India, Pakistan dan Vietnam. Lain lagi pengalaman Philipina, defisit beras negera ini beberapa tahun terakhir semakin tinggi, sehingga pemerintah Philipina berusaha untuk melakukan impor sebesar 500 ribu ton dari negara lainnya di Asia, akan tetapi dengan alasan kondisi stok yang semakin menipis di negara eksportir menyebabkan stok beras Philipina berada pada level terendah dan terjadi ancaman krisis pangan.
Kecenderungan negara-negara eksportir beras kedepan adalah lebih mengutamakan kepentingan beras dalam negerinya, atau dengan kata lain mengamankan stok dalam negeri terlebih dahulu, baru kemudian sisanya diekspor. Kondisi demikian menyebabkan terjadinya perdagangan pangan yang tidak fair (Unfair Food Trade). Kondisi ini terjadi karena luas lahan pertanian semakin berkurang, sementara kebutuhan beras semakin meningkat, juga disebabkan terjadinya kenaikan harga minyak mentah dunia disertai dengan terjadi krisis pangan di beberapa negara Arab dan Afrika yang menimbulkan gejolak sosial.
Liberalisasi perdagangan umumnya dan khususnya beras yang dimotori oleh World Trade Organization (WTO) dan munculnya berbagai organisasi di kawasan misalnya Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), Asia Pacific
Trade Area (AFTA), China ASEAN Free Trafe Area (CAFTA) , ASEAN Food Security Rice Reserved Board (AFSRB) , ASEAN+China, Japan and South Korea
(ASEAN+3) dan South East Asia Economic Community (SEAEC) mendorong terjadinya liberalisasi perdagangan di kawasan Asia dan global. Pada tanggal 1 Januari 2018 berdasarkan perjanjian AFTA, Indonesia harus mengeluarkan beras dari Highly Sensitive List, dengan demikian membuat pemerintah tidak dapat lagi melindungi dan mendukung petani, industri penggilingan padi, dan pedagang gabah melalui kebijakan tarif dan kebijakan nontariff (subsidi). Oleh karena itu, komoditas beras Indonesia harus mempunyai daya saing (Competitiveness and Comparative Advantage) dalam percaturan perdagangan komoditas global khususnya menghadapi pesaing utama dalam komoditas beras, yaitu India, China, Thailand, Vietnam, Kamboja, Myanmar dan Pakistan.
1.2. Perumusan Masalah
Dari uraian di atas dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan diteliti sebagai berikut : a. Apakah beras Indonesia mempunyai daya saing terhadap beras Asia
Tenggara.
b. Apakah terjadi integrasi pasar spatial antara pasar beras Indonesia dengan pasar beras Asia Tenggara.
c. Bagaimana volatilitas harga beras Indonesia dan harga beras Asia Tenggara.
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: a. Menganalisis daya saing beras Indonesia terhadap beras Asia Tenggara.
b. Menganalisis integrasi pasar spatial antara pasar beras Indonesia dengan pasar beras Asia Tenggara.
c. Menganalisis volatilitas harga beras Indonesia dan harga beras Asia Tenggara.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
a. Sebagai bahan masukan kebijakan bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan perberasan nasional.
b. Sebagai informasi bagi pemerintah daerah, pemerintah pusat dan stake holder terkait kondisi perberasan Indonesia dan internasional.