2.1 Pemahaman Konseling Multikultural - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mangantar: Menjembatani Proses Lamaran Menuju Pernikahan dalam Masyarakat Suku Lauje sebagai Pendekatan Pendampingan Prapernikahan

  

BAB II

KONSELING MULTIKULTURAL, PASTORAL BUDAYA DAN KONSELING

PRAPERNIKAHAN

Pada bab II ini penulis akan membahas mengenai landasan teori yang digunakan untuk

  menganalisa data. Teori tersebut ialah teori konseling multikultural dan teori konseling prapernikahan yang pembahasannya mencangkup pemahaman, karakteristik, dan tujuan.

2.1 Pemahaman Konseling Multikultural

  Masyarakat pada umumnya mengenal yang namanya budaya sebagai akibat dari interaksi antarindividu yang dipengaruhi oleh interaksi dalam keluarga, pendidikan dan masyarakat.

  Budaya juga dikenal pada tataran subkultur yang meliputi ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kebiasaan yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh

  1

  masyarakat. Setiap manusia pasti memiliki sikap yang berbeda karena situasi atau keadaannya, pengalamannya dan kepribadiannya yang unik. Dari pemahaman seperti ini, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan dianggap sebagai proses individual dalam masyarakat dan kelompok, sehingga tidak ada seseorang pun yang memiliki budaya yang sama dengan budaya individu

  2 lainnya.

  Pernyataan tentang tidak ada seseorang yang memiliki budaya yang sama dengan budaya individu lainnya, itu berarti bahwa masyarakat hidup dengan multikultural atau banyak budaya.

  Dalam budaya pada umumnya masyarakat memiliki kesamaan nilai-nilai yang diakui, dimana manusia berhak menentukan hidupnya sendiri, manusia mempunyai kebebasan, manusia anti dengan peperangan dan manusia mementingkan perdamaian. Nilai-nilai tersebut hanya dimiliki oleh masyarakat atau suku/etnis tertentu dan tentunya berbeda dari kelompok atau bangsa yang 1 2 J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 63.

  J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, 63.

  3

  lain. Nilai budaya yang dianut oleh masyarakat dianggap sebagai sebuah kebenaran yang mutlak dan mereka meyakini bahwa apa yang dianggap benar itu dapat dijadikan pegangan atau panutan dalam menjalani hidup sehari-hari. Selain itu, dari nilai budaya yang dimiliki tersebut diyakini dapat dipergunakan untuk membantu menyelesaikan masalah yang terjadi dalam satu kelompok

  4 suku/etnis.

  Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap individu dalam sebuah masyarakat memiliki

  5

  perbedaan kepribadian, ide, nilai, rasa, dan tujuan. Oleh karena itu, setiap individu tidak selalu cocok dengan individu lain dan itulah yang kerap kali menjadi pemicu timbulnya perpecahan atau konflik. Untuk menyelesaikan masalah di dalam masyarakat diperlukan konseling dengan mengunakan pendekatan konseling multikultural. Awal dari adanya gerakan konseling multikultural adalah dari munculnya kelompok budaya yang merasa terpinggirkan, seperti Afrika

6 Amerika, Asia, dan Indian Amerika. Kelompok-kelompok inilah yang dianggap perlu untuk

  mendapatkan kepedulian dari seorang konselor yang memiliki pengetahuan tentang nilai-nilai dan norma dari suatu budaya, yang tentu saja sangat mempengarui proses konseling.

  Pengetahuan yang dimaksud adalah bagaimana norma dan nilai-nilai suatu budaya dapat

  7 mempengarui kepribadian seseorang.

  Konseling merespon multikulturalisme dengan menggunakan dua cara, yaitu pendekatan konseling yang bersifat monokultural. Pendekatan ini didesain dan diaplikasikan dalam konteks masyarakat barat. Pada tahun 1960 dan 1970, konseling berusaha untuk bereaksi terhadap adanya tekanan politik, legislatif, dan personal yang bersumber dari gerakan persamaan kesempatan dan 3 4 J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, 65. 5 J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, 66. 6 J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, 66. 7 Multicultural and Social Justice Counseling Competencies: Guidelines for the Counseling Profession, 31.

  A National Survey on Multicultural Competence for Professional Counselors: A Replication Study, 203. perdebatan seputar rasisme dan persamaan hak untuk mengembangkan strategi demi membangun kesadaran yang lebih besar terhadap isu kultural dalam pendidikan dan praktis konseling.

  Tahapan ini kemudian menghasilkan banyak literatur dalam bidang pendekatan konseling

  8

  dan psikoterapi terhadap adanya isu silang budaya, transkultural dan interkultural. Respon yang pertama ini adalah usaha untuk menghubungkan dimensi budaya ke dalam konseling. Respon kedua muncul dari adanya kesadaran akan perbedaan kultur yang berjuang untuk membangun

  9

  pendekatan konseling dan menempatkan konsep kultur sebagai citra person nya. Inti dari konseling multikultural menurut Falicov adalah sensitivitas terhadap berbagai cara yang memungkinkan fungsi kultur dan interaksi terleburkan menjadi kepedulian tentang pengalaman

  10 kultural orang lain.

  Ramirez berpendapat bahwa konseling multikultural adalah tantangan untuk hidup dalam masyarakat multikultural. Tujuan utama dalam menghadapi klien yang berbeda etnis adalah mengembangkan fleksibilitas kultural. Kelompok etnis yang dominan merasakan ketidaksesuaian antara siapa diri kita dan apa yang diharapkan orang lain dari kita. Oleh karena itu pendekatan yang digunakan oleh Ramirez adalah penyesuaian gaya dan pemahaman kultural klien oleh konselor di pertemuan awal, kemudian mendorong untuk mencoba berbagai bentuk perilaku kultural. Pendekatan ini membutuhkan fleksibilitas kultural dan kesadaran diri tingkat tinggi dalam diri. Pendekatan penting lainnya adalah fokus pada hubungan antara persoalan personal dan realitas sosial/politik. Dalam hal ini klien tidak hanya dipandang dari segi psikologi

  8 9 John McLeod, Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus, (Jakarta: Kencana, 2006), 273-274. 10 John McLeod, Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus, 274.

  John McLeod, Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus, 275. murni, tetapi juga dipahami sebagai anggota aktif dari kultur, dimana pengalaman, perasaan dan

  11 identitas dari klien dibentuk oleh lingkungan kultur.

  Istilah konseling berasal dari bahasa Inggris to counsel, yang secara harafiah memiliki arti memberi arahan atau nasihat. Orang yang melakukan konseling disebut sebagai konselor.

  Dalam bahasa Inggris, konselor mempunyai arti penasihat dalam hubungan dengan tugas ahli-

  12

  ahli hukum. Konseling menempatkan konselor selalu bersentuhan dengan apa yang disebut relasi terhadap sesamanya. Relasi yang mendalam hanya dapat dibangun jika konselor memandang orang yang mengalami masalah itu sangat berharga. Dalam arti orang tersebut bukan hanya sekedar dikasihani, tetapi dicintai. Oleh sebab itu, konseling adalah proses pertolongan antara konselor dan konseli/klien dengan maksud bukan hanya untuk membantu

  13

  meringankan masalah dari konseli, tetapi memberdayakannya. Dalam proses konseling yang telah dibangun antara konselor dan konseli harus ada kasih sebagai satu dasar agar tercipta relasi

  14

  yang baik dan juga dapat menimbulkan nilai spiritual. Untuk mewujudkannya dibutuhkan rasa

  15 empati atau perasaan yang mendalam untuk memahami dunia orang lain.

  Konseling adalah suatu fungsi yang bersifat memperbaiki, yang dibutuhkan ketika orang mengalami krisis yang merintangi pertumbuhannya. Seseorang membutuhkan penggembalaan sepanjang hidupnya, tetapi mungkin orang hanya membutuhkan konseling ketika mengalami

  16

  krisis yang hebat. Konseling harus memberikan nuansa berbeda dari biasanya, dimana tidak hanya memampukan seseorang keluar dari masalahnya, tetapi dapat meyakinkan seseorang untuk mengembangkan dimensi spiritualnya, sehingga seseorang dapat lebih bertumbuh, 11 12 John McLeod, Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus, 286. 13 J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, 67. 14 J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 1. 15 J.D. Engel, Konseling suatu Fungsi Pastoral, (Salatiga: Tisara Grafika, 2007), 2. 16 J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 49.

  Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 32. berkembang dan kreatif. Melalui pengembangan spiritualnya seseorang dapat

  17 memperbaiki,membangun, dan membina hubungan dengan sesamanya.

  Pada saat ini yang menjadi hambatan konseling adalah salah satu kenyataan pengalaman yang menguatkan dugaan bahwa penerapan konseling tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan budaya yang berlangsung di masyarakat dan berujung pada benturan dan kesenjangan konseling dalam masyarakat plural. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor memahami kultur lama yang melekat pada karakter ilmu pengetahuan yang seringkali begitu saja diterapkan tanpa melihat falsafah, nilai-nilai darimana ilmu pengetahuan itu berasal, karena kemungkinan ada perbedaan atau bahkan bertentangan. Begitu juga dengan metode yang lebih menekankan pada paradigm berpikir psikologi, yaitu pemenuhan kebutuhan, kompetensi intrapersonal dan interpersonal

  18

  tanpa melihat individu sebagai makhluk berbudaya. Tanpa kita sadari pemahaman sosio- kultural sangat diperlukan dalam menyikapi dilema konseling terhadap dinamika masyarakat plural dengan nilai-nilai hidup yang dimilikinya dan perubahan sosial yang semakin cepat. Bisa dikatakan sebagai makhluk sosial dan berbudaya, setiap manusia dan komunitas pasti memiliki falsafah hidup dan nilai spiritual yang berkembang dalam keragaman potensi dan keunikan untuk

  19 membangun suatu pendekatan konseling yang kontekstual.

2.1.1. Karakteristik Konseling Multikultural

  Menurut Van Beek konseling diartikan sebagai seorang yang berusaha menolong orang lain melalui pendekatan psikologis dengan maksud untuk meringankan penderitaan konseli atau orang yang ditolong. Pendapat Beek ini didukung juga dengan adanya pendapat dari Adhiputra yang mempertegas adanya hubungan antar budaya yang beragam. Konseling melibatkan 17 18 J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 10. 19 J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, 14.

  J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, 16. konselor dan konseli yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan dapat memicu terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor sehingga proses konseling menjadi tidak efektif.

  Jika konseling ingin berjalan dengan efektif, maka karakteristik yang dibutuhkan oleh konselor adalah : a.

  Memiliki kepekaan terhadap budaya dan keterampilan-keterampilan yang responsif

  20

  secara budaya. Menurut penulis, sekalipun konselor dan konseling berbeda budaya, tetapi proses konseling harus tetap berjalan. Karena jika kita mau menolong konseli, latar belakang budaya bukanlah sesuatu yang penting untuk dipertanyakan atau dipermasalahkan. Justru kitalah yang harus peka dengan budaya konseli agar proses konseling dapat menjadi perjumpaan budaya.

  b.

  Selanjutnya perlu adanya pemahaman yang tepat atas nilai-nilai budaya yang telah menjadi keyakinan dan menjadi pola perilaku individu. Dalam konseling sendiri penemuan dan pemahaman konselor dan konseli terhadap akar budaya menjadi sangat penting. Karena dengan cara seperti ini mereka dapat melakukan evaluasi diri masing- masing sehingga terjadi pemahaman terhadap identitas dan keunikan cara pandang

  21 masing-masing.

  c.

  Kunci keberhasilan konseling adalah kemampuan yang tepat terhadap pengalaman- pengalaman budaya tradisional sebagai suatu sumber perkembangan pribadi. Budaya yang dimaksud adalah segala pengalaman yang memfasilitasi individu berkembang baik secara sadar ataupun tidak. Hal yang dimaksudkan tidak disadari menurut Jung adalah

  20 21 J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, 67-68.

  J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, 69. ketidaksadaran kolektif, yaitu nilai-nilai budaya yang diturunkan dari generasi ke

  22 generasi.

  d.

  Untuk melakukan proses konseling multikultural dalam konteks masyarakat yang multibudaya, maka diperlukan strategi dan pola pendekatan yang terstruktur serta

  23 konstruktif agar dapat menolong konseli menjalani kehidupannya.

  Berdasarkan karakteristik di atas, tidak bisa dihindarkan bahwa budaya memainkan peran yang sangat penting dalam membentuk pengertian kita tentang diri dan identitas. Budaya memiliki pengaruh yang besar dalam konteks kehidupan manusia. Perbedaan budaya terbentuk didasarkan pada sistem dan aturan kehidupan yang dijalani oleh manusia atau kelompok orang dalam komunitasnya, lingkungan tempat tinggal dan sifatnya sendiri sebagai atributnya, maupun oleh perilaku, pikiran dan perasaan di masa lalu serta perilaku, pikiran dan perasaan di masa

  24

  depan. Menurut penulis konseling multikultural merupakan sebuah pendekatan yang baru dalam pelayanan konseling pastoral dan ini menjadi sesuatu yang unik. Dikatakan unik karena pendekatan ini melibatkan beberapa ilmu, seperti antropologi budaya, psikologi, dan sosiologi.

2.1.2 Tujuan Konseling Multikultural

  Bentuk dari konseling didasarkan pada konseling yang bersifat one to one atau tatap muka, dimana orang yang terlibat di dalamnya hanyalah konselor dan klien. Bentuk konseling seperti ini masih mempertahankan kemurniannya yang prinsip serta prosesnya telah

  

25

  teridentifikasi dan terdokumentasi dengan baik. Seiring berjalannya waktu muncullah bentuk- bentuk konseling yang lain antara lain, konseling kelompok, konseling telepon, konseling online, dll. Berbagai bentuk inilah yang menimbulkan banyak tantangan dan mengharuskan mereka 22 23 J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, 70. 24 J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, 72. 25 J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, 73.

  John McLeod, Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus, 485. mengikuti perkembangan jaman. Apapun bentuk konseling yang dilakukan, tentunya memiliki tujuan yang ingin dicapai, antara lain : a.

  Untuk memampukan dan memberdayakan konseli agar dapat beradaptasi dengan situasi dan lingkungan, serta berapa banyak hal yang harus dilakukannya untuk mengubah keadaan. Tujuan ini ingin membawa konseli memasuki konteks baru, sehingga fokus

  26 pada dasar-dasar orientasi atau tujuan hidup.

  b.

  Pemahaman. Memiliki pemahaman terhadap akar dan perkembangan emosional serta mengarah kepada peningkatan kapasitas untuk lebih memilih kontrol rasional ketimbang perasaan dan tindakan.

  c.

  Berhubungan dengan orang lain. Menjadi lebih mampu membentuk dan mempertahankan hubungan yang bermakna dan memuaskan dengan orang lain, misalnya dalam keluarga atau tempat kerja.

  d.

  Kesadaran diri. Menjadi lebih peka terhadap pemikiran dan perasaan yang selama ini ditahan dan ditolak atau mengembangkan perasaan yang lebih akurat berkenaan dengan bagaimana penerimaan orang lain terhadap diri.

  e.

  Penerimaan diri. Pengembangan sikap positif terhadap diri, yang ditandai oleh kemampuan menjelaskan pengalaman yang selalu menjadi subjek kritik diri dan penolakan.

  f.

  Aktualisasi diri atau individuasi. Pergerakan ke arah pemenuhan potensi atau penerimaan integrasi bagian diri yang sebelumnya saling bertentangan.

  g.

  Pencerahan. Membantu klien mencapai kondisi kesadaran spiritual yang lebih tinggi.

26 J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, 74.

  h.

  Pemecahan masalah. Menemukan pemecahan problem tertentu yang tak bisa dipecahkan seorang diri. i.

  Pendidikan psikologi. Membuat klien mampu menangkap ide dan teknik untuk memahami dan mengontrol tingkah laku. j.

  Memiliki keterampilan sosial. Mempelajari dan menguasai keterampilan sosial dan interpersonal seperti mempertahankan kontak mata, tidak menyela pembicaraan dan pengendalian amarah. k.

  Perubahan kognitif. Modifikasi atau mengganti kepercayaan yang tak rasional atau pola pemikiran yang tidak dapat beradaptasi, yang diasosiasikan dengan tingkah laku penghancuran diri. l.

  Perubahan tingkah laku. Modifikasi atau mengganti pola tingkah laku yang rusak. m.

  Perubahan sistem. Memperkenalkan perubahan dengan cara beroperasinya system sosial. n.

  Penguatan. Berkenaan dengan keterampilan, kesadaran dan pengetahuan yang akan membuat klien mampu mengontrol kehidupannya. o.

  Restitusi. Membantu klien membuat perubahan kecil terhadap perilaku yang merusak. p.

  Reproduksi dan aksi sosial. Menginspirasikan dalam diri seseorang hasrat dan kapasitas untuk peduli terhadap sesama, membagi pengetahuan dan menyalurkan kebaikan bersama melalui kesepakatan politik dan kerja komunitas.

  27 Tujuan yang dipaparkan di atas terbagi atas dua, yaitu yang berfokus pada diri sendiri dan

  juga yang berfokus pada klien. Dari beberapa tujuan diatas tentunya ada hasil yang ingin dicapai, baik untuk diri sendiri maupun untuk klien.

27 John McLeod, Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus, 13-14.

2.2 Pemahaman Pastoral Budaya Pastoral menurut Jacob merupakan suatu upaya untuk memanusiakan sesama manusia.

  Dalam upaya memanusiakan itulah terkandung makna pemberdayaan yang menjadi tujuan utama

  28

  suatu proses pendampingan dan konseling dilakukan. Jadi, pastoral bisa dipahami sebagai suatu proses pertolongan yang membuat orang diberdayakan untuk hidup yang menghidupkan serta memanusiakan sesama. Hal ini berarti bahwa pastoral tidak sekedar membawa orang keluar dari keterpurukan dan penderitaan hidupnya, tetapi mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya untuk memberdayakan dirinya dan orang lain.

  Pendapat lainnya muncul dari Van Beek, yang mengatakan bahwa pastoral berasal dari

  29

  bahasa latin pastore. Dalam bahasa Yunani disebut poimen yang berarti gembala. Dari kedua pendapat tokoh ini menurut penulis, untuk memanusiakan dan memberdayakan manusia tentunya membutuhkan peran dari seorang gembala untuk mendampingi setiap proses pastoral yang dilakukan. Clinebell berpendapat bahwa mendampingi dalam hal ini adalah bagaimana seorang gembala menjalankan fungsinya untuk membimbing, merawat, melindungi, menolong

  30 dan memperbaiki relasi yang terputus dengan diri sendiri, orang lain dan Allah.

  Istilah “pendampingan” berasal dari kata kerja mendampingi sebagai suatu kegiatan menolong, karena suatu sebab perlu didampingi. Interaksi yang terjadi dalam proses pendampingan membuat pendampingan memiliki arti bahu membahu, menemani, berbagi dengan tujuan untuk saling menumbuhkan dan mengutuhkan. Pendampingan yang berhasil menurut Van Beek adalah bagaimana menempatkan baik pendamping maupun yang didampingi

  28 29 J.D. Engel, Materi Kuliah Pastoral Masyarakat, 10 Mei 2017. 30 J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 2.

  J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 2.

  31 dalam kedudukan yang seimbang dan dalam hubungan timbal balik yang serasi serta harmonis.

  Bila pendampingan seperti ini terus-menerus dilakukan maka, individu akan merasa bahwa dirinya sangat dihargai, bahkan dari situlah muncul kepercayaan diri untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya dan menemukan makna hidup. Krisetya mengemukakan bahwa pendampingan pastoral berhubungan dengan manusia tidak peduli kepercayaannya, kedudukan sosialnya, atau kemampuannya. Pendampingan pastoral ditujukan pada kebutuhan-kebutuhan

  32

  manusia dalam perjalanan hidup ini. Jadi, ada saja kemungkinan bahwa pelayanan pastoral itu selalu dibutuhkan, karena pendampingan pastoral merupakan panggilan yang harus dilakukan oleh siapa pun, tidak harus orang-orang tertentu.

  Pendampingan pastoral harus dijadikan sebagai jawaban terhadap kebutuhan setiap orang yang menginginkan kehangatan, perhatian penuh, dan dukungan. Kebutuhan ini biasanya terjadi ketika tekanan dalam diri memuncak dan kekacauan sosial terjadi. Pendampingan pastoral adalah ungkapan yang bersifat memperbaiki dan berusaha untuk membawa kesembuhan bagi orang

  33

  yang membutuhkan. Pendampingan pada hakikatnya adalah memberi pertolongan psikologis dengan tujuan untuk meringankan beban penderitaan dari seseorang, sehingga pendamping/gembala menjalankan fungsi pendampingan. Perlu diketahui bahwa pendampingan pastoral bukan sekedar meringankan beban masalah, tetapi bagaimana menempatkan orang dalam relasi dengan Tuhan dan sesama dalam pengertian menumbuhkan dan mengutuhkan orang dalam kehidupan spiritualnya untuk membangun dan membina hubungan dengan sesamanya,

  31 32 J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 2. 33 J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 2-3.

  Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, 59-60. mengalami penyembuhan dan pertumbuhan serta memulihkan orang dalam hubungan dengan

34 Tuhan.

  Pendapat yang sama juga ikut dikemukakan oleh Totok, menurutnya pendampingan pastoral tidak hanya memusatkan diri pada tindakan penyembuhan, melainkan juga pencegahan,

  35

  peningkatan, pemulihan, dan pemberdayaan. Oleh sebab itu, pendamping/gembala/konselor harus mampu membantu menghilangkan perasaan susah, terkejut, bingung, tertekan, dan putus asa yang dialami. Melalui proses ini diharapkan kedepannya orang yang mengalami masalah dapat menolong dirinya apabila permasalahan kembali datang dan dia dapat menjadi penolong bagi orang lain. Jadi dapat dikatakan bahwa ketika kita telah mendapatkan pendampingan pastoral dari orang lain, itulah yang mendorong kita agar ketika masalah yang baru datang kita sudah mampu menolong diri kita sendiri dan kita juga bisa menjadi penolong untuk orang lain. Inilah yang dimaksudkan dengan pemberdayaan dalam proses pastoral.

  Setelah membahas beberapa teori mengenai pastoral timbul pertanyaan, bagaimana bila pastoral dalam hal ini pendampingan dan konseling pastoral dikaitkan dengan budaya ? Konseling pastoral dalam analisa budaya membuka cakrawala berpikir kita untuk memiliki kemampuan mengkaji falsafah dan nilai-nilai hidup dalam kearifan lokal budaya dan kemudian mentransformasi, menginternalisasi, memodifikasi, dan mengintegrasikan teori-teori konseling pastoral Barat ke dalam falsafah hidup dan nilai-nilai kearifan lokal menjadi suatu teori konseling pastoral yang kontekstual dan berpusat pada budaya. Terakhir, mengaplikasikan bidang keahlian dalam konseling pastoral dengan memanfaatkan nilai-nilai spiritual dalam ritus dan simbol-simbol budaya untuk menyelesaikan masalah. 34 35 J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 4.

  

Totok S. Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral, (Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia, 2014), 80.

2.2.2 Fungsi Pastoral

  Sehubungan dengan fungsi pendampingan dan konseling pastoral, Van Beek mengartikan fungsi sebagai kegunaan atau manfaat yang dapat diperoleh dari pekerjaan pendampingan dan konseling dengan tujuan yang hendak dicapai dalam memberikan pertolongan. Beberapa fungsi

  36

  pendampingan dan konseling pastoral, yaitu: a.

  Fungsi bimbingan (guiding) Fungsi ini menurut Clebsch dan Jaekle membantu konseli yang berada dalam kebingungan untuk menentukan pilihan-pilihan dan pengambilan keputusan yang pasti, jika pilihan dan keputusan demikian dipandang sebagai yang mempengaruhi keadaan jiwanya sekarang dan yang akan datang. Fungsi ini dibutuhkan ketika terjadi perubahan- perubahan dalam hidup konseli agar tidak terjadi kebingungan dan tertekan antara pikiran dan tindakan.

  b.

  Fungsi penopangan (sustaining) Fungsi menopang membantu konseli yang sakit atau terluka agar dapat bertahan dan mengatasi suatu kejadian yang terjadi pada waktu lampau. Fungsi ini menolong konseli untuk dapat melewati masa-masa sulit dan menerima kenyataan sebagaimana adanya, mandiri dalam keadaan yang baru, serta bertumbuh secara penuh dan utuh. Clebsch dan Jaekle membedakan fungsi menopang dalam empat tugas. Pertama adalah penjagaan (preservation) untuk mendukung orang yang telah mengalami kehilangan agar ia tidak tenggelam lebih jauh dan kesedihan sedapatnya mungkin dapat diatasi. Kedua, tugas penghiburan (consolation) sejauh penderita terbuka terhadapnya. Ketiga, tugas 36 pemantapan (consolidation) yang berusaha mengerahkan dan menyusun kembali sisa J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 4-9. tenaga agar konseli menangani situasinya secara mandiri. Keempat, tugas pemulihan (redemption) bila konseli mulai membangun rancangan hidup baru, agar berpangkal pada situasi yang baru, mengusahakan pembaruan semaksimal mungkin. Dari beberapa pemikiran di atas, fungsi menopang dapat diartikan menolong konseli menghadapi keadaan sekarang sebagaimana adanya, dan menerima kenyataan pahit yang dialami, serta tetap berjuang untuk menjalani hidup dengan baik.

  c.

  Fungsi penyembuhan (healing) Fungsi penyembuhan menurut Abineno merupakan pelayanan pastoral secara holistik, lahir dan batin, jasmani dan rohani, tubuh, dan jiwa. Fungsi ini menuntun konseli mengungkapkan perasaan hatinya yang terdalam. Sebab bukan tidak mungkin secara fisik merupakan akibat dari sebuah tekanan secara psikis emosional. Melalui interaksi yang terbuka konseli dibawa pada hubungan dengan Tuhan baik melalui doa, pembacaan firman Tuhan dan percakapan pastoral. Menurut Clebsch dan Jeakle penyembuhan merupakan fungsi pastoral yang bertujuan mengatasi beberapa kerusakan, mengembalikan orang itu kepada kondisi sebelumnya.

  d.

  Fungsi memulihkan/memperbaiki hubungan (reconciling) Fungsi memulihkan berarti membantu konseli memperbaiki kembali hubungan yang rusak antara dirinya dan orang lain. Fungsi ini menolong konseli memaafkan kesalahan yang telah dilakukan orang dan memberi mereka pengampunan. Dengan mengampuni, hubungan konseli dan sesama yang telah rusak diperbaiki kembali. Selain itu, Clebsch dan Jeakle berpendapat bahwa fungsi pemulihan juga merupakan usaha membangun kembali hubungan-hubungan yang telah rusak antara manusia dengan Tuhan dan sesamanya. Karena itu, pendampingan pastoral tidak hanya memulihkan relasi komunikasi dengan sesama, tetapi juga mengembangkan spiritualitasnya dalam hubungan dengan Tuhan.

  e.

  Fungsi memelihara/mengasuh (nurturing) Fungsi memelihara atau mengasuh memampukan konseli untuk mengembangkan potensi-potensi yang diberikan Tuhan kepadanya. Potensi tersebut dilihat sebagai sesuatu yang bisa ditumbuhkembangkan dan dijadikan sebagai kekuatan dalam menjalankan kehidupannya, sehingga mereka didorong ke arah pertumbuhan dan perkembangan secara holistik. Dengan demikian, pendampingan dan konseling pastoral melaksanakan fungsi penggembalaan dengan tujuan utama mengutuhkan kehidupan manusia dalam segala aspek kehidupannya, yakni fisik, sosial, mental dan spiritual serta membantu menemukan makna hidupnya.

2.2.3 Tujuan Pastoral

  Dalam setiap proses konseling pastoral ada tujuan yang ingin dicapai, sehingga

  37

  mendorong konselor untuk melakukan proses ini. Adapun tujuannya ialah: a.

  Membantu konseli mengalami pengalamannya dan menerima kenyataan tentang apa yang sedang terjadi atas dirinya secara penuh dan utuh. Ini berarti dalam dan melalui proses ini, konselor memfasilitasi konseli sedemikian rupa sehingga konseli bersedia dan mampu mengalami pengalaman dan perasaan-perasaannya secara penuh dan utuh.

  Termasuk memahami kekuatan dan kelemahan yang ada dalam dirinya serta kesempatan dan tantangan yang dihadapi di luar dirinya. Mengalami pengalamannya sendiri

37 Totok S. Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral, (Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia, 2014), 97-105..

  merupakan pondasi yang paling kukuh bagi pertumbuhan secara utuh, penuh dan berkelanjutan.

  Menurut Kubler Ross, konseli harus melewati gejala-gejala yang penuh duri sebelum mencapai penerimaan, yaitu penolakan, terkejut, pengharapan, kesendirian, kecewa, marah, tawar-menawar, depresi, dan akhirnya penerimaan. Konselor pada dasarnya membantu konseli untuk mencapai tingkat kedewasaan dan kepribadian yang penuh dan utuh seperti diharapkan sehingga dia tidak mempunyai kepribadian yang terpecah dan mampu mengintegrasikan diri dalam segala aspek kehidupan secara utuh, selaras, serasi, dan seimbang. Begitu pula melalui konseling pastoral, konselor membantu konseli untuk menyadari bahwa dirinya mempunyai sumber-sumber untuk mengatasi permasalahan yang sedang dihadapinya dan bertumbuh.

  b.

  Membantu konseli mengungkapkan diri secara penuh dan utuh. Melalui konseling pastoral, konseli dibantu agar dapat secara spontan, kreatif, dan efektif mengekspresikan perasaan, keinginan, dan aspirasinya. Dengan demikian, konseli dapat secara penuh dan utuh dapat mengungkapkan perasaan yang sebenarnya.

  c.

  Membantu konseli berubah, bertumbuh, dan berfungsi maksimal. Dalam proses ini konselor secara berkesinambungan memfasilitasi konseli menjadi agen perubahan bagi dirinya dan lingkungannya. Pada hakikatnya, konseli adalah agen utama perubahan dan konselor dapat disebut mitra perubahan bagi agen perubahan utama. Dengan begitu konseli tidak berhenti pada titik penerimaan, melainkan maju selangkah lagi sehingga berani dan bersedia mengubah diri, bertumbuh serta berfungsi secara maksimal.

  d.

  Membantu konseli menciptakan komunikasi yang sehat. Karena berbagai sebab, banyak orang dalam kehidupan ini tidak mampu berkomunikasi secara sehat dengan lingkungannya. Hal ini memunculkan berbagai persoalan baik dalam diri seseorang atau lingkungannya. Oleh sebab itu, konseling pastoral dapat membantu orang untuk menciptakan komunikasi yang sehat. Konseling pastoral juga dapat dipakai sebagai media pelatihan bagi konseli untuk berkomunikasi dengan lebih baik pada lingkungannya.

  e.

  Membantu konseli bertingkah laku baru. Konseling pastoral dapat dipakai sebagai media untuk menciptakan dan berlatih tingkah laku baru yang lebih sehat. Tujuan ini sangat penting bagi konseli untuk menghentikan semua kebiasaan buruk yang ada dalam dirinya.

  f.

  Membantu konseli bertahan dalam situasi baru. Dalam hal ini konseli dapat bertahan pada kondisinya pada masa kini sebagaimana adanya dan akhirnya menerima keadaan itu dengan lapang dada dan mengatur kembali kehidupannya yang baru. Hal ini dilakukan apabila keadaan konseli tidak mungkin dapat dikembalikan pada keadaan yang sama sebelum dia mengalami krisis.

  g.

  Membantu konseli menghilangkan gejala-gejala yang mengganggu sebagai akibat dari krisis. Konseling diharapkan dapat mengurangi atau memperkecil gejala ketidaknormalan, mungkin bisa secara patologis, sehingga dapat berfungsi secara normal kembali.

2.3. Pemahaman Konseling Prapernikahan

  Pernikahan merupakan bagian penting dari proses perjalanan hidup manusia. Melalui sebuah pernikahan terbentuklah kehidupan rumah tangga, yang di dalamnya terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Kehidupan rumah tangga perlu untuk mendapat pembinaan agar dapat berperan aktif untuk mencapai cita-cita kehidupan keluarga yang sejahtera jasmani dan rohani.

  Secara personal, kebahagiaan dan penderitaan kita ditentukan oleh dan di dalam keluarga. Manusia bisa saja memiliki segalanya dalam hidup, akan tetapi kalau kehidupan keluarganya hancur, pastinya ia akan menderita. Sebaliknya, jika keluarga itu biasa-biasa saja, tetapi kehidupan keluarganya harmonis dan bertumbuh sehat, keluarga itu pasti tidak jauh dari kebahagiaan. Kita tidak bisa memungkiri bahwa semua orang menginginkan agar melalui

  38 pernikahannya dapat dibina sebuah keluarga yang utuh.

  Pernikahan sebenarnya tidak pernah gagal, yang bisa gagal adalah orang-orang yang ada dalam pernikahan tersebut. Oleh karena itu, agar tidak mudah gagal maka perlu untuk belajar banyak tentang nilai-nilai yang paling penting melalui pengalaman di lingkungan keluarga dan di sekitar kita, karena keluarga sangat berpengaruh dalam membentuk dan menetapkan nilai-nilai moral, etis, dan spiritualitas, bahkan nilai-nilai yang sudah ada dalam keluarga itu sendiri, sehingga dapat saling melengkapi.

  Selain itu, kita harus ingat bahwa setiap orang memiliki latar belakang pengalaman hidup, status sosial, budaya, nilai-nilai, karakter dan pendidikan yang berbeda-beda. Untuk menyatukan itu semua dibutuhkan proses yang cukup panjang dan bila proses ini dipahami tidak benar-benar dipahami secara mendalam dan tidak disadari oleh calon pasangan masing-masing,

  39

  maka akan terjadi masalah besar dalam perjalanan pernikahan mereka. Menyikapi semua permasalahan ini, maka seharusnya sebelum memasuki kehidupan pernikahan, penting untuk dilakukan konseling prapernikahan bagi calon pasangan. Konseling prapernikahan dapat

  40

  dijadikan sebagai media untuk mengurangi perceraian dan mempererat hubungan keluarga 38 Yvonne D. Taroreh-Loupatty, Kawin, Siapa Takut ! Langkah Awal Membentuk Keluarga Bahagia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017), 1-2. 39 40 Yvonne D. Taroreh-Loupatty, Kawin, Siapa Takut ! Langkah Awal Membentuk Keluarga Bahagia, 2-3.

  Carlos E. Valiente, Catherine J. Belanger,and Ana U. Estrada. Helpful and Harmful Expectations of Premarital Interventions, Journal of Sex & Marital Therapy, 2002, 28:71 –77. Pada pertengahan tahun 1930 di Amerika Serikat Ernest Groves mempelopori dengan membuka kursus pertama yang modern mengenai pernikahan. Kursus ini awalnya bersifat akademik saja, tetapi sekarang kebanyakan telah bersifat fungsional dan dirancang untuk

  41

  penyesuaian hidup. Di Negara-negara maju konseling prapernikahan sudah banyak dipraktikan oleh para pendeta dan imam. Bagi orang-orang Katolik sejak bangku SLTA telah diajarkan liku-

  42 liku pernikahan dengan menggunakan bahan-bahan dari Catholic Marriage Advisory Council.

  Pengertian konseling harus ditempatkan pada kedudukan yang tepat, sebelum seseorang berbicara tentang konseling prapernikahan. Pada dasarnya konseling prapernikahan dan konseling pernikahan memang tidak ada yang berbeda, baik tentang metodenya maupun issunya. Dalam konseling pernikahan isue yang dibicarakan sedang dan sudah terjadi, sedangkan dalam

  43

  konseling prapernikahan isue yang dibicarakan sedang dan akan terjadi. Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Loekmono yang mengatakan bahwa konseling prapernikahan berkaitan erat dengan konseling pernikahan. Lobby menilai bahwa adalah baik untuk menolong orang mengatasi kesulitan-kesulitan itu sebelum kesulitannya timbul. Gagasan untuk menolong seseorang mempersiapkan pernikahannya memang baik karena ibaratnya kita tidak mungkin meninggalkan kapal terbang tinggal landas sebelum dicek untuk memastikan bahwa kapal itu layak terbang. Orang-orang muda yang memutuskan untuk menikah mulai berpikir berapa banyak perceraian yang terjadi. Oleh sebab itu, mereka tidak ingin mengalami nasib yang sama,

  44 dan mulai memiliki prinsip lebih baik mencegah daripada mengobati.

  Konseling prapernikahan merupakan bentuk konseling yang menitikberatkan perhatian pada hal-hal atau permasalahan seputar hubungan antar pribadi seorang pria dan wanita pada 41 42 J.T. Lobby Loekmono, Konseling Pernikahan, (Salatiga: Pusat Bimbingan UKSW, 1989), 22. 43 Mesach Krisetya, Konseling Pernikahan dan Keluarga, (Salatiga: Katalog Dalam Terbitan, 1999), 17. 44 Mesach Krisetya, Konseling Pernikahan dan Keluarga, 17-18.

  J.T. Lobby Loekmono, Konseling Pernikahan, 23. tahap-tahap sebelum mereka menjadi suami-istri. Melalui konseling ini, pasangan dibantu untuk menilai hubungan mereka serta diperkenalkan kepada cara-cara mengusahakan pernikahan yang bahagia dan berhasil. Dalam konseling prapernikahan, berbagai kesulitan yang biasa muncul dalam hubungan suami istri dibicarakan secara konkrit dengan memperhatikan keunikan pribadi masing-masing.

  Konseling ini memberikan kesempatan terbuka bagi pasangan untuk membicarakan diri mereka, teman hidup atau keluarga mereka. Tidak banyak orang memiliki peluang untuk membicarakan masalah-masalah psikologis yang penting dalam pengambilan keputusan untuk keluarga. Konseling dapat menjadi pelepasan untuk mengatasi kesulitan seperti itu. Melalui konseling prapernikahan pasangan mendapatkan kesempatan untuk tumbuh secara emosional dan pribadi sehingga mereka ditolong dalam membentuk dasar yang teguh dalam kehidupan pernikahan. Selain itu, pasangan juga dibantu untuk memahami dan mengetahui apakah mereka

  45 sudah matang untuk menikah dan apakah kita memang harus menikah.

  Ada tiga pendekatan yang bisa dilakukan dalam proses konseling prapernikahan, yang pertama pendidikan prapernikahan. Melalui pendidikan pranikah banyak informasi yang bisa didapatkan tentang lika-liku pernikahan dan keluarga. Dalam pendidikan prapernikahan bahan- bahan tentang pernikahan dan keluarga bisa diberikan melalui percakapan. Informasi yang dibutuhkan meliputi bidang-bidang seperti, latar belakang perkawinan dan keluarga ditinjau dari sisi agama dan sejarah, tempat dan fungsi keluarga dalam masyarakat dan budaya yang berubah- ubah, pengertian tentang peranan laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan pekerjaan, prinsip-prinsip keuangan, pengertian tentang seksualitas, hubungan dengan mertua dan kemampuan menyelesaikan masalah. 45 J.T. Lobby Loekmono, Konseling Pernikahan, 28-29.

  Kedua, bimbingan prapernikahan. Bimbingan bisa dikatakan sebagai instruksi secara individual, dimana seorang individu atau pasangan mengikuti prinsip-prinsip yang telah digariskan dan mengembangkan suatu rencana atau program mereka sendiri. Bimbingan harus selalu berorientasi kepada kebutuhan khusus dan sumber potensi pasangan tersebut.

  Ketiga, konseling prapernikahan. Konseling ini dibutuhkan pada saat ada kecemasan, keragu-raguan, perasaan salah, kekerasan atau emosi-emosi yang negatif yang menyebabkan ketegangan dan ketidakpastian.

46 Jadi, bisa disimpulkan bahwa pendidikan dilakukan pada saat

  informasi dibutuhkan, bimbingan diberikan pada saat rencana yang khusus perlu untuk diselesaikan atau dikerjakan dan konseling dilakukan ketika ada masalah muncul, rasa stress yang berat atau pada saat ada hal-hal yang perlu diatasi.

  Dalam pelaksanaan proses konseling prapernikahan ada manfaat yang bisa kita petik, antara lain:

  47 a.

  Proses pertolongan yang berhubungan dengan usaha mempengaruhi perubahan tingkah laku calon pasangan dan memungkinkan mereka betul-betul dapat mengerti serta mengenal apa yang sebenarnya terjadi pada diri mereka, juga tujuan ke depan yang mereka dambakan, sehingga mereka tidak saja melihat tujuan hidup mereka dalam tanggung jawab pasangan, tetapi juga terutama tanggung jawab dan relasi mereka dengan Tuhan, serta mencapai tujuan itu dengan kekuatan dan kemampuan.

  b.

  Pelayanan konseling adalah pertolongan yang memiliki perspektif bersedia untuk merawat, menolong, memelihara, mengobati, dan melindungi calon pasangan.

  46 Mesach Krisetya, Konseling Pernikahan dan Keluarga, 18-19. 47 Yvonne D. Taroreh-Loupatty, Kawin, Siapa Takut ! Langkah Awal Membentuk Keluarga Bahagia. 7-9. c.

  Dalam pelayanan konseling ada sumbangan ilmu pengetahuan lainnya, khususnya psikologi yang dapat kita terima, sehingga kita memperoleh informasi yang melatarbelakangi tingkah laku manusia yang normal dalam hidupnya atau gejala-gejala kejiwaan yang dapat dikategorikan sebagai abnormalitas.

  d.

  Pelayanan konseling yang memberikan sumbangan tentang teknik-teknik pendekatan terhadap calon pasangan, sehingga mereka dapat mengembangkan potensi-potensi positif yang ada dalam diri mereka dan mengurangi hal-hal negatif dalam diri mereka, agar tidak menjadi masalah dikemudian hari dalam pernikahan mereka.

  e.

  Memiliki pandangan ke depan yang lebih terarah.

  f.

  Mempermudah penyatuan visi dan misi termasuk membantu memahami kedua keluarga masing-masing pasangan. Ketika memasuki pernikahan, masing-masing harus berkomitmen untuk membangun relasi yang baik dengan keluarga pasangan dan seiring berjalannya waktu ini juga akan mempengaruhi ketika sudah memiliki anak-anak.

  g.

  Mengulas isu finansial dengan lebih terarah. Isu ini merupakan hal penting untuk didiskusikan sebelum menikah.

  h.

  Mengasah kemampuan berkomunikasi. Hubungan yang sehat berangkat dari komunikasi yang baik. Kemampuan mendengarkan penting dimiliki oleh pasangan yang akan menikah, jika ingin memiliki hubungan yang lebih kuat. i.

  Meningkatkan kepuasan pernikahan. Konseling prapernikahan membantu pasangan mengomunikasikan, mengidentifikasi kekhawatiran mereka, hasrat, keyakinan, nilai, mimpi-mimpi, kebutuhan dan beban hidup lainnya yang kebanyakan dihindari atau diabaikan. Cara ini membantu meningkatkan stabilitas pernikahan, kebersamaan dan kepercayaan, sehingga pasangan yang akan menikah mampu melewati masa-masa sulit setiap harinya. j.

  Memiliki kemampuan menyelesaikan konflik. Pasangan bisa belajar cara berkomunikasi yang baik dan meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik.

  Dari beberapa manfaat konseling prapernikahan yang bisa kita dapatkan, tentunya tidak terlepas oleh adanya peran dari seorang konselor. Karena konselor merupakan orang pertama yang konseli cari untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan kehidupan mereka dan keluarga.

2.2.1. Karakteristik Konseling Prapernikahan

  Sebagai seorang konselor yang melakukan konseling prapernikahan, maka konselor perlu untuk memahami karakteristik dari calon pasangan yang sedang bergumul. Pemahaman ini tentunya akan membantu konselor dalam menilai hubungan antar laki-laki dan perempuan sebelum mereka memasuki jenjang pernikahan. Ada beberapa karakteristik yang perlu dipahami

  48

  oleh konselor, antara lain: a.

  Pasangan secara emosional sudah matang, artinya mereka mempunyai kondisi jasmani yang sehat dan berasal dari keluarga yang bahagia dimana mereka telah membuat penyesuaian diri yang baik, baik secara emosional maupun secara sosial. Konselor membantu mereka untuk semakin memperkuat hubungan mereka.

  b.

  Pasangan mengalami salah penyesuaian dalam berbagai hal atau seringkali mereka tidak matang/dewasa dan emosi belum stabil. Oleh karena itu, konselor harus siap menghadapi kasus seperti ini, sekalipun harus meragukan keberhasilan dari pernikahan mereka. 48 Konseling harus membantu mereka untuk menjadi realistis dalam menghadapi J.T. Lobby Loekmono, Konseling Pernikahan, 29-32. perbedaan-perbedaan serta konflik-konflik yang ada pada diri mereka. Melalui konseling juga mereka harus dibantu untuk menerima diri mereka yang tidak bisa diubah lagi.

  Konseling yang baik mungkin saja membawa perubahan berarti pada aspek-aspek kepribadian mereka.

  c.

  Perkembangan mengenai keadaan fisik perlu diperhatikan oleh konselor dalam proses konseling prapernikahan. Konselor dapat membantu masing-masing menerima cacat salah satu pihak dan mengembangkan kerjasama antar mereka dalam mengarungi hidup bersama.

  d.

  Individu yang neutotik (gangguan mental ringan) dan psikotik (halusinasi) perlu untuk mendapat pendampingan, karena kita tahu bahwa bila salah satu dari pasangan mengalami hal tersebut maka mereka tidak akan mampu memikul tanggung jawab dalam kehidupan pernikahan dan menjalankan tugas sebagai orang tua. Disinilah konselor harus mampu mengenali individu semacam ini dan membawanya ke psikolog atau psikiater untuk memperoleh pertolongan khusus. Dalam kelompok ini juga termasuk mereka yang kecanduan alkohol atau obat bius serta mereka tingkah laku mereka yang terlihat antisosial.

  e.

  Pasangan dapat memahami pentingnya spiritualitas dalam pernikahan yang menolong mereka untuk meningkatkan kesadaran dan bagaimana membangun relasi serta