BAB II LANDASAN TEORI A. PERILAKU PROSOSIAL 1. Definisi Perilaku Prososial - Hubungan Tipe Kepribadian Extroversion dan Agreeableness dengan Kecenderungan Perilaku Prososial Suku Batak Toba

BAB II LANDASAN TEORI A. PERILAKU PROSOSIAL

1. Definisi Perilaku Prososial

  Perilaku prososial merupakan tindakan sukarela yang dimaksudkan untuk membantu dan menguntungkan individu atau kelompok individu lain (Mussen, 1989). Paul Henry Mussen (1989) menyatakan bahwa perilaku prososial dilakukan secara sukarela dan bukan karena paksaan. Meskipun perilaku prososial ditujukan untuk memberikan konsekuensi positif (bantuan) bagi orang lain, perilaku prososial dapat dilakukan untuk berbagai alasan.

  Baron, dkk (2006) mendefinisikan perilaku prososial sebagai suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan tersebut, dan bahkan mungkin memberikan risiko bagi orang yang menolong.

  Menurut Shaffer (2005) perilaku prososial adalah segala tindakan yang menguntungkan orang lain, seperti berbagi dengan orang-orang yang kurang beruntung dari pada kita, menghibur atau menolong orang yang sedih, bekerjasama dengan atau menolong seseorang untuk mencapai suatu tujuan, atau contoh sederhana seperti menyapa dan memberikan pujian.

  Menurut Batson (1998 dalam Taylor, 2009) perilaku prososial merupakan kategori yang sangat luas, yang mencakup setiap tindakan yang membantu atau dirancang untuk membantu orang lain, terlepas dari motif si penolong.

  Dividio et al. (2006 dalam Franzoi, 2009) mengungkapkan bahwa perilaku prososial adalah perilaku yang dengan sukarela bertujuan untuk menolong orang lain. Perilaku prososial juga dikatakan lebih mendasar, yang artinya tindakan tersebut bermaksud untuk memperbaiki situasi si penerima pertolongan, tindakan tersebut tidak dimotivasi oleh penyempurnaan tanggung jawab profesional, dan penerima adalah orang dan bukan organisasi (Bierhoff, 2002).

  Kenrick (2010) mengungkapkan bahwa perilaku prososial merupakan suatu tindakan yang menguntungkan orang lain yang mana hal ini juga berlaku ketika si penolong memiliki tujuan untuk menguntungkan diri sendiri. Kenrick mengemukakan beberapa tujuan dari tindakan prososial, yaitu meningkatkan kesejahteraan tiap individu, menaikkan status sosial, mengatur self-image, serta mengatur mood dan emosi. diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial merupakan tindakan menolong atau memberikan bantuan yang ditujukan untuk menguntungkan orang lain (tanpa mengharapkan imbalan) atau menguntungkan diri sendiri, tanpa ada unsur paksaan.

2. Faktor-faktor Penentu Perilaku Prososial

  Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial, antara lain (Baron, 2006): a.

  Faktor internal, terdiri dari guilt dan mood b. Faktor eksternal, terdiri dari social norms, number of bystanders, time

  pressures , dan similarity c.

  Faktor karakteristik penolong (helpers’ dispositions), terdiri dari personality trait, gender, dan religious faith.

  Para peneliti kepribadian mengemukakan 3 hal penting (Baron, 2006), yakni:

  a) Adanya individual differences dalam perilaku menolong, dan menunjukkan bahwa perilaku menolong tersebut bertahan lama atau menetap dan dapat diamati oleh orang lain. Orang-orang yang dapat dipercaya cenderung lebih suka menolong.

  b) Para peneliti mengumpulkan bukti-bukti sebagai network of traits

  (kumpulan trait yang berhubungan) yang menunjukkan kecenderungan seseorang untuk memberikan pertolongan. Trait yang tinggi dalam hal emosi positif, empati, dan self-efficacy adalah yang paling mendapatkan perhatian dan dapat dikategorikan suka menolong.

  Kepribadian mempengaruhi bagaimana orang-orang merespon pada situasi-situasi tertentu. Self-monitoring yang tinggi disesuaikan dengan harapan orang lain disebut sebagai „suka menolong‟ jika mereka berpikir bahwa pertolongan yang mereka berikan tersebut akan mendapatkan

  reward secara sosial.

  Staub (1978) mengkategorikan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya perilaku prososial ke dalam:

  a.

   The Situation

  Pengaruh sosial merupakan elemen yang sangat penting dari sebuah situasi. Orang-orang saling memberi pengaruh yang kuat satu sama lain. Salah satu unsur dari faktor situasi ini adalah sifat stimulus untuk perilaku prososial. Stimulus tersebut dapat berbeda pada beberapa dimensi. Unsur lainnya dari faktor ini adalah sifat dari kondisi di sekitar stimulus.

  b.

   Temporary States of Potential Helpers

  Faktor lain yang mempengaruhi perilaku prososial adalah bagaimana perasaan orang-orang yang berada dalam posisi untuk membantu melihat orang lain yang membutuhkan bantuan. Apakah mereka merasa baik atau buruk, kompeten atau tidak kompeten. Apakah sesaat harga diri mereka tinggi atau rendah. Apakah perhatian dan kepedulian mereka sangat terfokus pada diri mereka sendiri, atau merek a “bebas” untuk mengurus orang lain.

  c.

   Relationship to Potential Recipients of Help

  Hubungan seseorang dengan orang lain mungkin sangat penting dalam menentukan apakah seseorang tersebut akan membantunya. Mempertimbangkan pada masing-masing pihak atau tidak.

  d.

   Personality Characteristics

  Segala jenis karakteristik kepribadian adalah penting dalam menentukan perilaku prososial, terutama yang dihubungkan dengan faktor situasi. Selain dari faktor situasi, orang-orang cukup sering mencari kesempatan untuk terlibat dalam tindakan prososial ini. Faktor penentu perilaku ini juga penting untuk dipertimbangkan.

  e.

   Psychological Processes

  Pemahaman kita mengenai penentuan perilaku sosial secara positif, kemampuan kita untuk memprediksi perilaku tersebut, dan kapasitas kita untuk menerapkan praktik sosialisasi yang akan mendorong keinginan orang lain untuk berperilaku prososial, apabila kita tahu mengapa pada kondisi tertentu seseorang akan atau tidak akan (kurang) berperilaku prososial. Menurut Sears (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial, antara lain: a.

  Faktor situasi, terdiri dari: 1)

  Kehadiran orang lain Kehadiran orang lain terkadang dapat menghambat usaha untuk menolong, karena orang yang begitu banyak menyebabkan terjadinya penyebaran tanggung jawab.

  2) Kondisi lingkungan

  Kondisi lingkungan disebut juga sebagai keadaan fisik, mempengaruhi tingkat kebisingan.

  3) Tekanan waktu

  Dalam penelitian Darley dan Batson (dalam Sears, 1994) membuktikan bahwa kadang-kadang seseorang berada dalam keadaan tergesa untuk menolong.

  Keadaan ini menekan individu untuk tidak melakukan tindakan menolong, karena memperhitungkan keuntungan dan kerugian.

  b.

  Faktor karakteristik penolong, terdiri dari: 1)

  Kepribadian Kepribadian setiap individu berbeda-beda, salah satunya adalah kepribadian individu yang mempunyai kebutuhan tinggi untuk dapat diakui oleh lingkungannya. Kebutuhan ini akan memberikan corak yang berbeda dan memotivasi individu untuk memberikan pertolongan.

  2) Suasana hati

  Suasana hati yang buruk menyebabkan kita memusatkan perhatian pada diri kita sendiri yang menyebabkan mengurangi kemungkinan untuk membantu orang lain. Pada situasi seperti ini, apabila kita beranggapan bahwa dengan melakukan tindakan menolong dapat mengurangi suasana hati yang buruk dan membuat kita merasa lebih baik mungkin kita akan cenderung melakukan tindakan menolong.

  3) Rasa bersalah

  Rasa bersalah merupakan perasaan gelisah yang timbul bila kita melakukan sesuatu yang kita anggap salah. Keinginan untuk mengurangi rasa menghilangkannya dengan melakukan tindakan yang lebih baik.

  4) Distress diri dan rasa empati

  Distress diri adealah reaksi pribadi terhadap penderitaan orang lain, perasaan cemas, prihatin, tidak berdaya, atau perasaan apapun yang dialami.

  Empatik adalah perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagi pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain.

  c.

  Faktor orang yang membutuhkan pertolongan, terdiri dari: 1)

  Menolong orang yang disukai Individu yang mempunyai perasaan suka terhadap orang lain dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti daya tarik fisik atau adanya kesamaan antar individu.

  2) Menolong orang yang pantas ditolong

  Individu lebih cenderung melakukan tindakan menolong apabila individu tersebut yakin bahwa penyebab timbulnya masalah berada di luar kendali orang tersebut.

3. Aspek-aspek Perilaku Prososial

  Aspek-aspek perilaku prososial menurut Mussen (1989), meliputi: a.

  Sharing (berbagi), yaitu kesediaan berbagi perasaan dengan orang lain baik dalam suasana suka maupun duka. Berbagi dilakukan apabila penerima menunjukkan kesukaan sebelum ada tindakan melalui dukungan verbal dan fisik.

  Cooperating (bekerjasama), yaitu kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain demi tercapainya suatu tujuan. Kerja sama biasanya mencakup hal-hal yang saling menguntungkan, saling memberi, saling menolong, dan menenangkan.

  c.

  Helping (menolong), yaitu kesediaan untuk menolong orang lain yang sedang dalam kesusahan. Menolong meliputi membantu orang lain, memberi informasi, menawarkan bantuan kepada orang lain, atau melakukan sesuatu yang menunjang berlangsungnya kegiatan orang lain. d.

  Donating (memberi atau menyumbang), yaitu kesediaan berderma, memberi secara suka rela sebagian barang miliknya untuk yang membutuhkan.

  e.

  Honesty (kejujuran), yaitu kesediaan untuk tidak berbuat curang terhadap orang lain.

B. KEPRIBADIAN BERDASARKAN TEORI BIG FIVE

1. Definisi Kepribadian Berdasarkan Teori Big Five

  Pervin (2010) menyebutkan bahwa kepribadian adalah karakteristik seseorang yang menyebabkan munculnya konsistensi perasaan, pemikiran, dan perilaku. Menurt Allport, trait adalah karakteristik yang kontinum berbeda

  • –beda pada setiap orang untuk memandu perilaku setiap orang. Menurut Catteel, reaksi kepribadian permanen. Dan menurut Eysenk trait merupakan habitual response yang bersifat konsisten dan saling berhubungan satu sama lain. Eysenck dan Cattel sama-sama mengakui bahwa trait adalah unit dasar kepribadian, yang merupakan kecenderungan umum untuk merespon dengan cara tertentu (dalam Pervin dkk, 2010).

  Teori kepribadian Big Five merupakan kesimpulan dari definisi para tokoh tersebut. McCrae dan Costa (dalam Pervin, 2010) membagi ke dalam 5 besar faktor atau dimensi kepribadian, yaitu Openness, Conscientiousness, Extroversion, Agreeableness , dan Neuroticism (OCEAN).

2. Dimensi Kepribadian Berdasarkan Teori Big Five

  Berdasarkan teori Big Five terdapat 5 tipe dalam kepribadian. McCrae dan Kosta (dalam Pervin, 2005) menggambarkan kelima tipe tersebut sebagai berikut:

1) Neuroticism (N).

  Tipe ini mengidentifikasi individu yang rentan terhadap distress psikologis yaitu yang mudah mengalami rasa sedih, takut dan cemas yang berlebihan, memiliki dorongan yang berlebihan dan memiliki coping respon yang maladaptif atau tidak sesuai. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Neuroticism VS

  Emotional Stability. Neuroticism dikarakteristikkan dengan kekhawatiran, cemas,

  emosional, merasa tidak nyaman, kurang penyesuaian, kesedihan yang tak beralasan. Sedangkan, Emotional Stability dikarakteristikkan dengan sifat yang tenang, santai, tidak emosional, tabah, nyaman, puas terhadap diri sendiri.

  Extroversion (E). Tipe ini melihat kuantitas dan intensitas interaksi interpersonal yang dimiliki individu yaitu tingkat aktivitas, kebutuhan akan stimulasi dan kemampuan bersenang

  • –senang individu. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah

  Introversion VS Extroversion. Introversion dikarakteristikkan dengan tidak ramah, tenang, tidak periang, menyendiri, task-oriented, pemalu, dan pendiam.

  Sedangkan, extroversion dikarakteristikkan dengan mudah bergaul, aktif, banyak bicara, person-oriented, optimis, menyenangkan, penuh kasih sayang, dan bersahabat.

  3) Openness (O). Tipe ini melihat keterbukaan individu untuk mencari, menghargai dan mengeksplorasi pengalaman baru. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah

  Closedness VS Openness . Closedness dikarakteristikkan dengan mengikuti apa

  yang sudah ada, down to earth, tertarik hanya pada satu hal, tidak memiliki jiwa seni, dan kurang analitis. Sedangkan, openness dikarakteristikkan dengan rasa ingin tahu yang tinggi, ketertarikan luas, kreatif, original, imajinatif, tidak „ketinggalan jaman‟.

  4) Agreeableness (A). Tipe ini melihat kualitas orientasi personal individu, perasaan dan perbuatan yang penuh kasih sayang hingga yang antagonis. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Antagonism VS Agreeableness. Antagonism dikarakteristikkan mudah marah, dan manipulatif. Sedangkan, agreeableness dikarakteristikkan dengan berhati lembut, baik, suka menolong, mudah percaya, mudah memaafkan, mudah untuk dimanfaatkan dan berterus terang.

  5) Conscientiousness (C). Tipe ini melihat motivasi, pendirian serta kemampuan mengorganisasikan sesuatu dalam mencapai suatu tujuan. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Lack dikarakteristikkan dengan

  of Direction VS Conscientiousness. Lack of Direction

  tidak bertujuan tidak dapat dipercaya, malas, kurang perhatian, lalai, sembrono, tidak disiplin, keinginan lemah, dan suka bersenang-senang. Sedangkan,

  Conscientiousness dikarakteristikkan dengan teratur, dapat dipercaya, pekerja keras, disiplin, tepat waktu, teliti, rapi, ambisius, dan tekun.

  Berdasarkan kelima tipe kepribadian tersebut, terdapat beberapa tipe yang berkaitan dengan perilaku prososial ditinjau dari aspek-aspek perilakunya, yaitu tipe extroversion dan agreeableness. Extroversion, di mana individu lebih menyukai dan dominan melakukan segala kegiatan bersama-sama dengan individu lain (Pervin, 2005), memiliki kesamaan / keterkaitan dengan aspek

  cooperating dalam perilaku prososial. Sifat ini dimaknai dengan adanya keinginan

  untuk bekerjasama dengan orang lain (Mussen, 1989). Pada tipe agreeableness, individu cenderung melakukan tindakan yang penuh kasih sayang yang dicirikan dengan perilaku yang suka menolong, mempercayai orang lain sehingga cenderung mudah untuk dimanfaatkan sesamanya, mudah memaafkan, dan jujur dengan hampir semua aspek perilaku prososial yaitu sharing, helping, donating, dan honesty.

C. SUKU BATAK TOBA

  Batak Toba adalah sebuah suku di Pulau Sumatera, Indonesia. Sejak masuknya penginjil I. L. Nomensen ke tanah Batak, mayoritas orang Batak Toba beragama Kristen. Batak Toba merupakan salah satu sub suku Batak yang berada di Sumatera Utara yang terdiri dari Batak Toba, Batak Karo, Batak Mandailing, Batak Pakpak, dan Batak Simalungun. Secara geografis, sub suku Batak Toba cukup banyak berdiam di Kabupaten Tapanuli Utara yang wilayahnya meliputi Ajibata (berbatasan dengan Parapat), Pulau Samosir, Pakkat, serta Sarulla (Sagala, 2008).

  Menurut Bayral Hamidy Harahap dan Hotman Siahaan (Sitanggang, 2009), terdapat 9 nilai budaya utama suku Batak Toba yang menjadi falsafah hidup mereka, yaitu :

  1. Kekerabatan Mencakup hubungan primordial suku, kasih sayang atas dasar hubungan darah, kerukunan unsur-unsur Dalihan Na Tolu (Hula-hula, Dongan Tubu, dan

  Boru ) Pisang Raut (Anak Boru dari Anak Boru), Hatobangon (Cendekiawan)

  serta segala yang ada kaitannya dengan hubungan kekerabatan karena pernikahan dan solidaritas marga.

  2. Religi yang datang kemudian, yang mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta hubungannya dengan manusia dan lingkungan hidupnya.

  3. Hagabeon

  Mencakup keyakinan akan keberhasilan dalam segala hal, atau secara spesifik keyakinan untuk memiliki banyak keturunan dan panjang umur.

  4. Uhum (Hukum) Mencakup patik dohot uhum (aturan dan hukum). Nilai patik dohot uhum merupakan nilai yang kuat disosialisasikan orang Batak. Budaya menegakkan kebenaran dan berkecimpung dalam hukum merupakan dunia orang Batak.

  5. Hamajuon

  Mencakup kemajuan yang diraih melalui merantau dan menuntut ilmu. Nilai budaya hamajuon ini sangat mendorong orang Batak bermigrasi ke seluruh pelosok tanah air.

  6. Hamoraon

  Kaya raya merupakan salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong orang Batak Toba, untuk mencari harta benda yang banyak.

  Hamoraon dalam kehidupan sehari-hari orang Batak merupakan misi budaya yang menonjol. Hagabeon pada dasarnya adalah upaya mencapai hamoraon.

  7. Hasangapon

  Mencakup kemuliaan, kewibawaan, dan kharisma yang merupakan nilai utama yang memberi dorongan yang kuat untuk meraih kejayaan. Hasangapon diperoleh setelah memenuhi Hagabeon dan Hamoraon, serta dibarengi dengan 8.

  Konflik Sumber konflik pada orang Batak Toba tidak hanya kehidupan kekerabatan melainkan lebih luas lagi karena menyangkut perjuangan meraih hasil nilai budaya lainnya, antara lain hamoraon yang merupakan sumber konflik yang abadi bagi suku Batak Toba.

  9. Pengayoman Kehadiran pengayom, pelindung, dan pemberi kesejahteraan umumnya hanya diperlukan dalam keadaan yang mendesak.

  Berkaitan dengan falsafah pertama, suku Batak Toba sangat mahir dalam memaparkan hubungan kekerabatan yang dikaitkan dengan marga-marga. Solidaritas marga yang sangat kuat pada suku Batak Toba sudah dikenal secara luas (Sianipar, 2008).

  Jan Pieter Sitanggang (2009) mengungkapkan 2 istilah yang berkaitan dengan sistem sosial atau falsafah kekerabatan masyarakat Batak Toba.

  Marsiadapari atau istilah untuk berkumpulnya orang-orang Batak, merupakan sebuah kegiatan yang berupa arisan kerja dan bagian dari sistem gotong-royong.

  Ada juga istilah lainnya yang serupa dengan marsiadapari namun terkadang masih dibedakan penggunaannya, yaitu mangarumpa. Mangarumpa adalah kegiatan di mana seseorang atau kelompok memberikan bantuan umum yaitu bantuan yang diberikan oleh siapa saja, misalnya dalam bertetangga ketika pembangunan rumah, pemasangan atap rumah, atau kegiatan lain yang membutuhkan banyak tenaga. ada yang secara suka rela membantu dan ada pula yang dengan keinginan agar dirinya diketahui sebagai penentu keberhasilan perkumpulan tersebut (Sitanggang, 2009).

D. HUBUNGAN TIPE EXTROVERSION DAN AGREEABLENESS DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA SUKU BATAK TOBA

  Suku Batak Toba adalah salah satu sub suku Batak yang berada di Sumatera Utara (Sagala, 2008). Suku Batak Toba sangat mahir dalam memaparkan hubungan kekerabatan, secara khusus yang telah dikenal secara luas yaitu solidaritas marga yang sangat kuat pada suku Batak Toba (Sianipar, 2008). Sisi solidaritas tersebut diterapkan dalam berbagai jenis kegiatan dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya marsiadapari dan mangarupa yang merupakan kegiatan memberikan bantuan kepada siapa saja yang memerlukan banyak tenaga, serta pada acara adat pernikahan, kematian, dan acara-acara adat lainnya (Sitanggang, 2009).

  Kegiatan-kegiatan dalam sistem sosial tersebut merupakan bagian dari perilaku prososial, yang mana mencakup suatu tindakan yang menguntungkan orang lain dan hal ini juga berlaku ketika si penolong memiliki tujuan untuk menguntungkan diri sendiri (Kenrick, 2010). Perilaku prososial mencakup kategori yang sangat luas, yang merupakan setiap tindakan membantu atau dirancang untuk membantu orang lain, terlepas dari motif si penolong (Taylor, 2009).

  sharing (berbagi), cooperating (bekerjasama), helping (menolong), donating

  (memberi atau menyumbang), dan honesty (kejujuran). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku prososial (Baron, 2006), dapat berupa faktor internal (terdiri dari rasa bersalah dan mood), eksternal (terdiri dari norma sosial, jumlah pengamat, tekanan waktu dan similarity), dan karakteristik penolong (terdiri dari

  personality trait , gender, religious faith).

  Kepribadian merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku prososial individu. Kepribadian dapat diartikan sebagai karakteristik seseorang yang menyebabkan munculnya konsistensi perasaan, pemikiran, dan perilaku (Pervin, 2010). Hal-hal penting yang berkaitan dengan perilaku sosial dan kepribadian di antaranya ialah: (a) ada perbedaan pada masing-masing individu dalam perilaku menolong (individual differences), (b) adanya hubungan trait-trait tertentu yang dapat menunjukkan kecenderungan seseorang untuk memberikan pertolongan, dan (c) kepribadian mempengaruhi bagaimana orang-orang merespon pada situasi-situasi tertentu (Baron, 2006).

  Berdasarkan teori Big Five, kepribadian digambarkan ke dalam 5 besar tipe, yaitu Openness, Conscientiousness, Extroversion, Agreeableness, dan

  Neuroticism (OCEAN). Dua di antaranya memiliki keterkaitan dengan perilaku

  prososial, yaitu extroversion dan agreeableness. Kedua tipe kepribadian ini memiliki kesamaan karakteristik dengan aspek-aspek perilaku prososial, sedangkan ketiga tipe lainnya tidak memenuhi unsur-unsur dari aspek perilaku prososial. Tipe extroversion memiliki kesamaan dengan aspek cooperating pada orang lain. Sedangkan tipe agreeableness memiliki kesamaan dengan aspek

  sharing , donating, helping, dan honesty pada perilaku prososial, yakni individu

  cenderung bersikap jujur, bersedia berbagi perasaan dengan orang lain serta membantu individu lainnya dengan ikhlas hati (Mussen, 1989).

E. HIPOTESA

  Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas, maka hipotesa penelitian adalah : H

  1 : Ada hubungan positif antara tipe kepribadian extroversion dan agreeableness dengan perilaku prososial pada suku Batak Toba. H

  2 : Ada hubungan positif antara tipe kepribadian extroversion dengan perilaku prososial pada suku Batak Toba.

  H

  3 : Ada hubungan positif antara tipe kepribadian agreeableness dengan perilaku prososial pada suku Batak Toba.

  Semakin tinggi extroversion dan agreeableness, maka kecenderungan perilaku prososial juga semakin tinggi, begitu juga sebaliknya.

F. KERANGKA BERPIKIR

  Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial : o Internal (guilty & mood) o Eksternal (social norms, number of bystanders,

  

time pressures , dan similarity)

  o Karakteristik penolong (personality trait, gender, dan religious faith)

  Kepribadian berdasarkan teori Big Five :

  • Extroversion

  Agreeableness Suku Batak

  Toba memiliki Sistem Sosial : perilaku prososial

  Dipengaruhi oleh Memiliki hubungan dengan aspek- aspek perilaku prososial