Krisis Keuangan Internasional Tahun 2008

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat telah berkembang menjadi masalah
serius. Gejolak tersebut mulai mempengaruhi stabilitas ekonomi global di beberapa kawasan.
Menurut perspektif ekonomi, perdagangan antar satu negara dengan negara lain saling berkaitan,
misalnya melalui aliran barang dan jasa. Impor suatu negara merupakan ekspor bagi negara lain.
Dalam hubungan yang sedemikian, dimungkinkan resesi di satu negara akan menular dan
mempengaruhi secara global, karena penurunan impor di satu tempat menyebabkan tertekannya
ekspor di tempat lain. Saat ini hampir semua negara-negara di dunia menganut sistem pasar
bebas sehingga terkait satu sama lain. Aliran dana bebas keluar masuk dari satu negara ke negara
lain dengan regulasi moneter tiap negara yang beragam. Akibatnya setiap negara memiliki risiko
terkena dampak krisis. Penanganan dampak krisis membutuhkan regulasi yang cepat dan tepat.
Di setiap negara cara penanganannya dapat dipastikan akan berbeda, sebagaimana dampak krisis
ekonomi yang juga berbeda. Secara umum, negara yang paling rentan terhadap dampak krisis
adalah negara yang fundamental ekonomi domestiknya tidak kuat. Lemahnya fundamental
ekonomi sebuah negara salah satunya dapat disebabkan oleh kebijakan yang tidak tepat. Salah
satunya berkaitan dengan posisi bank sentral yang memiliki kewajiban mengatur kebijakan
moneter. Bank sentral tentu akan memiliki kekuatan intervensi dalam mengatasi berbagai
permasalahan ekonomi, misalnya kredit macet ataupun gelembung subprime.
Krisis keuangan global yang bermula dari krisis kredit perumahan di Amerika Serikat

memang membawa implikasi pada kondisi ekonomi global secara menyeluruh. Hampir di setiap
negara, baik di kawasan Amerika, Eropa, maupun Asia Pasifik, merasakan dampak akibat krisis
keuangan global tersebut. Dampak tersebut terjadi karena tiga permasalahan, yaitu adanya
investasi langsung, investasi tidak langsung, dan perdagangan. Pemerintah Indonesia optimistis
akan mampu mengatasi dampak krisis keuangan dunia. Pertumbuhan ekonomi sebesar enam
persen dan keberhasilan penerapan kebijakan di bidang ekonomi yang lain serta pemberantasan
korupsi diyakini sebagai fundamental perekonomian negara yang kuat. Pemerintah juga telah
mengeluarkan tiga peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu), yaitu: Perpu No
2/2008 berisi tentang Perubahan Kedua UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU
tentang Bank Indonesia. Kedua, Perpu No 3/2008 berisi mengubah nilai simpanan yang dijamin
Lembaga Penjamin Simpanan. Dan ketiga, Perpu No 4/2008 berisi tentang Jaring Pengaman
Sistem Keuangan (JPSK) Ketiga peraturan darurat tersebut dikeluarkan untuk mengantisipasi
ancaman krisis keuangan global.
Berbagai upaya juga telah diambil. Mulai dari pencairan anggaran belanja departemen
untuk membantu likuiditas keuangan di masyarakat, dan mengutamaka program untuk rakyat

dengan melindungi atas kemungkinan dampak krisis. Caranya dengan memastikan semua
program pengentasan kemiskinan tersalurkan dan meningkatkan program-program untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam menghadapi krisis keuangan dan resesi ekonomi
global, memang dibutuhkan ketenangan semua pihak agar dapat senantiasa berpikir rasional

untuk mencarikan jalan dan solusi. Meskipun tidak seluruh masalah berada di jangkauan wilayah
kebijakan dan wewenang pemerintah, partisipasi dan peran serta semua pihak dalam mengatasi
dampak krisis keuangan global mutlak dibutuhkan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana efek domino krisis yang terjadi di amerika serikat ?
2. Bagaimana dampak krisis dari di beberapa kawasan dunia dan antisipasinya ?
1.3 Tujuan
1. Memenuhi tugas indvidu mata kuliah ekonomi politik internasional.
1.4 Manfaat
1. Memahami serta menambah wawasan mengenai terjadinya fenomena krisis global
tahun 2008.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Efek Domino Krisis Keuangan Amerika Serikat
Krisis keuangan global telah terjadi. Berbagai pihak mengaitkannya dengan kondisi
perekonomian negara Amerika Serikat. Ketika kondisi perekonomian sebuah negara adidaya
berubah dan mengalami goncangan, dapat dipastikan akan membawa konsekuensi yang luas
pada perekonomian dunia. Media massa di berbagai belahan dunia dengan gencar memberitakan

krisis keuangan Amerika Serikat yang telah mempengaruhi tatanan sistem keuangan berbagai
negara di benua Amerika, Eropa, Asia Pasifik, Asia Selatan, bahkan Timur Tengah.
Bermula dari Subprime Mortgage Sejak tahun 1925, di Amerika Serikat sudah ada
Undang-undang Mortgage. Peraturan yang berkaitan dengan sektor properti, termasuk kredit
pemilikan rumah. Semua warga AS asalkan memenuhi syarat tertentu-- bisa mendapatkan
kemudahan kredit kepemilikan properti, seperti KPR. Kemudahan pemberian kredit terjadi
ketika harga properti di AS sedang naik. Kegairahan pasar properti membuat spekulasi di sektor
ini meningkat. Para penyedia kredit properti memberikan suku bunga tetap selama tiga tahun.
Hal itu membuat banyak orang membeli rumah dan berharap bisa menjual dalam tiga tahun
sebelum suku bunga disesuaikan.
Permasalahannya, banyak lembaga keuangan pemberi kredit properti di Amerika Serikat
menyalurkan kredit kepada penduduk yang sebenarnya tidak layak mendapatkan pembiayaan.
Mereka adalah orang dengan latar belakang non-income non-job non-activity (NINJA) yang
tidak mempunyai kekuatan ekonomi untuk menyelesaikan tanggungan kredit yang mereka
pinjam. Situasi tersebut memicu terjadinya kredit macet di sektor properti (subprime mortgage).
Selanjutnya, kre-dit macet di sektor properti mengakibatkan efek domino ambruknya lembagalembaga keuangan besar di Amerika Serikat. Pasalnya, lembaga pembiayaan sektor properti pada
umumnya meminjam dana jangka pendek dari pihak lain, termasuk lembaga keuangan. Jaminan
yang diberikan perusahaan pembiayaan kredit properti adalah surat utang, mirip subprime
mortgage securities, yang dijual kepada lembaga-lembaga investasi dan investor di berbagai
negara. Padahal, surat utang itu ditopang oleh jaminan debitor yang kemampuan membayar

KPR-nya rendah.
Dengan banyaknya tunggakan kredit properti, perusahaan pembiayaan tidak bisa
memenuhi kewajibannya kepada lembaga-lembaga keuangan, baik bank investasi maupun asset
management. Hal itu mempengaruhi likuiditas pasar modal maupun sistem perbankan. Setelah
itu, terjadi pengeringan likuiditas lembaga-lembaga keuangan akibat tidak memiliki dana aktiva
untuk membayar kewajiban yang ada. Ketidakmampuan bayar kewajiban tersebut membuat
lembaga keuangan lain yang memberikan pinjaman juga terancam bangkrut. Kondisi yang
dihadapi lembaga-lembaga keuangan besar di Amerika Serikat juga mempengaruhi likuiditas
lembaga keuangan lain, yang berasal dari Amerika Serikat maupun di luar Amerika Serikat.
Terutama lembaga yang menginvestasikan uangnya melalui instrumen lembaga keuangan besar
di Amerika Serikat. Di sinilah krisis keuangan global bermula. Untuk menghindari meluasnya
krisis subprime mortgage dan membawa dampak buruk terhadap perekonomian Amerika Serikat,

pemerintah Amerika Serikat dan Bank Sentral Amerika (The Fed) mengeluarkan kebijakan untuk
membantu beberapa lembaga-lembaga keuangan besar tersebut. Upaya tersebut sekaligus
dikemas dalam kebijakan moneter untuk menekan angka inflasi serta menstabilkan nilai tukar
mata uang dolar Amerika Serikat. Rangkaian tindakan antisipasi di Amerika Serikat telah
dimulai pada tanggal 5 September. Saat itu, pemerintah AS mengambil alih perusahaan
pembiayaan Fannie Mae dan Freddie Mac untuk penyehatan arus kas dua perusahaan tersebut.
Selanjutnya, pada tanggal 16 September The Fed mengucurkan pinjaman USD 85 miliar

ke American International Group untuk mengambil alih 80 persen saham perusahaan asuransi
tersebut. Pada tanggal 18 September 2008, Pemerintah AS meminta Kongres untuk menyetujui
paket penyelamatan ekonomi, berupa dana talangan pemerintah (bailout) USD 700 miliar.
Presiden George Bush menyatakan perekonomian AS dalam bahaya jika Kongres tidak
menyetujui rencana bailout. Meskipun demikian, tanggal 29 September 2008, Kongres AS
menolak rencana bailout. Akibatnya, Indeks Dow Jones merosot 778 poin, posisi yang terbesar
dalam sejarah pasar saham di Amerika Serikat. Akhirnya tanggal 3 Oktober 2008, Kongres menyetujui bailout. Selanjutnya, Presiden Bush menandatangani UU Stabilisasi Ekonomi Darurat
2008. Undang-undang yang memuat rencana pengucuran dana talangan pemerintah (bailout)
sebesar USD 700 miliar untuk mengambil alih beberapa perusahaan dan lembaga keuangan yang
merugi di pasar modal AS.
2.2 Krisis Keuangan AS yang Mengglobal
Masalah subprime mortgage di Amerika Serikat sebenarnya sudah mulai terlihat sejak
Agustus 2007. Hal itu sudah ditengarai akan menjadi gelembung subprime (bubble), akan tetapi
pemerintah Amerika Serikat terus mengucurkan uang dan menurunkan suku bunga untuk
mengangkat sektor industri teknologi yang mengalami penurunan. Usaha Pemerintah AS dengan
mengucurkan dana talangan pemerintah sebesar USD 700, hanya sementara saja dapat meredam
gejolak pasar. Pasalnya, mayoritas investor di seluruh dunia terpaksa menjual portofolio saham
yang dimiliki secara besar-besaran untuk menutupi kebutuhan likuiditas sehingga mengakibatkan
terhempasnya pasar modal dunia.
Secara khusus di Wall Street, mayoritas investor yang mengalami kerugian pada saat

indeks saham jatuh 777,7 poin akibat penolakan bailout oleh House of Representative, ikut juga
menjual portofolio yang ditanam di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Pada tanggal 10
Oktober, indeks bursa berbagai negara kembali jatuh, sehingga sepuluh bank sentral dari
berbagai negara menurunkan suku bunga agar beban utang para investor yang merugi tidak
semakin besar. Hingga Agustus 2008, dampak krisis mengakibatkan jumlah penganggur di
Inggris melejit menjadi 1,79 juta orang atau 5,7 persen dari angkatan kerja. Menurut
International Labour Organization, inilah tingkat pengangguran terparah sejak Juli 1991.
Semua sinyal itu menunjukkan perekonomian Inggris sedang mengarah ke resesi. Dana
Moneter Internasional (IMF) meramalkan pertumbuhan ekonomi negeri Ratu Elizabeth itu tahun

depan bakal minus 0,1 persen. Gelombang krisis ekonomi juga telah melanda negara-negara
Eropa Timur. Kredit yang dulu begitu mudah didapatkan di pasar keuangan sekarang sudah
mulai susah didapatkan. Ukraina sudah mengajukan proposal pinjaman ke Dana Moneter
Internasional sebesar USD 14 miliar untuk menjaga likuiditas perbankan. Hungaria bahkan
sudah memiliki utang dari Bank Sentral Eropa USD 6,7 miliar. Sementara itu, Dana Moneter
Internasional memperkirakan Estonia dan Latvia akan menjadi korban terparah. Pertumbuhan
ekonomi Estonia tahun ini diperkirakan minus 1,5 persen dan tahun depan 0,5 persen. Ekonomi
Latvia, negara di Laut Baltik, tahun ini bakal minus 0,9 persen dan pada 2009 minus 2,2 persen.
Beberapa negara lain yang mengandalkan pendapatan dari minyak bumi atau gas, seperti Rusia,
juga terpukul akibat kejatuhan harga komoditas tersebut. Melihat situasi tersebut di atas, krisis

keuangan yang menimpa Amerika Serikat dengan cepat merembet ke seluruh dunia. Setiap
pemerintahan berusaha mencegah agar krisis tidak semakin dalam melumpuhkan perekonomian
negara masing-masing.
2.3 Dampak Krisis di Beberapa Kawasan
Dampak krisis ekonomi berbeda di setiap negara akan berbeda karena perbedaan
kebijakan yang diambil dan fundamental ekonomi negara bersangkutan. Tentunya, negara yang
paling rentan adalah negara yang fundamental ekonomi domestiknya tidak kuat. Kuatnya
dampak krisis ini pun telah menyebabkan Bank Dunia dan IMF mengoreksi proyeksi tingkat
pertumbuhan ekonomi berbagai negara dan dunia. Perekonomian AS, misalnya, diprediksi akan
melemah menjadi tumbuh sebesar 1,3 persen pada 2008 dari sebelumnya sebesar 2,7 persen pada
2007. Demikian pula, negara-negara di kawasan Eropa, diprediksi akan melemah dari 2,6 persen
pada 2007 menjadi 1,4 persen pada 2008. Adapun laju pertumbuhan Indonesia diperkirakan
turun dari 6,5 persen 2007 menjadi sekitar 6,0 persen pada 2008 (IMF, 2008).
A. Kawasan Eropa
Salah satu negara yang terkena dampak krisis finansial AS cukup parah adalah Islandia.
Sebelumnya, Islandia berada di tingkat ke 4 negara termakmur dengan GNP per kapita sekitar
USD60,000 (IMF, 2008). Setelah krisis mata uang Islandia, Krona, terdepresiasi hingga 30
persen. Sementara itu, bank sentral Islandia tidak mampu menjamin simpanan masyarakat
disebabkan utang luar negeri perbankan swasta yang besarnya 11 kali lipat dari PDB negara itu.
Sebelum krisis, Bank Sentral Islandia menjalankan kebijakan inflation targeting yaitu menaikkan

suku bunga apabila inflasi di atas target dan menurunkannya di saat inflasi berada di bawah
target. Kebijakan tersebut umumnya berhasil diterapkan pada negara-negara besar, tapi tidak
tepat untuk negara kecil seperti Islandia. Selama kebijakan tersebut berlangsung, tingkat inflasi
berada di atas rata-rata target inflasi dengan suku bunga yang mencapai lebih dari 15 persen.

B. Kawasan Asia Pasifik

Sistem pasar bebas membuat negara-negara di kawasan Asia Pasifik pun terkena dampak
krisis keuangan global tersebut. Salah satu dampak tersebut bisa muncul melalui financial
market. Cadangan devisa USD 1 triliun tak menjamin Jepang bebas dari krisis finansial global.
Pasar saham di Negeri Matahari Terbit itu juga terkena dampak krisis keuangan global. Ketika
investor panik, akhirnya indeks saham Nikkei turun hingga 11,4 persen, penurunan terbesar sejak
1987. Sejak awal Oktober 2008, indeks saham di Negeri Sakura sudah terkoreksi sekitar 20
persen. Hal yang sama juga terjadi di hampir semua pasar modal di Asia. Selama sepekan, indeks
Hang Seng Hong Kong sudah turun 10,78 persen. Indeks Strait Times Singapura terkoreksi 9,53
persen dan Indeks Kospi Korea turun 8,37 persen.
Dampak lain yang bisa dilihat adalah anjloknya nilai ekspor negara-negara Asia. Contoh
paling dekat adalah perekonomian Singapura dan Hongkong. Singapura dan Hongkong dapat
terpengaruh besar, karena dua negara itu menjadi salah satu pusat beroperasinya raksasa-raksasa
keuangan dunia. Sedangkan Tiongkok akan terpengaruh karena daya beli rakyat AS akan sangat

menurun, yang berarti banyak barang buatan Tiongkok yang tidak bisa dikirim secara besarbesaran ke Amerika Serikat Laporan kuartal IV-2007, ekonomi Singapura yang biasanya tumbuh
sekitar 9 persen, anjlok ke 6 persen. Itu menunjukkan kemerosotan ekonomi Amerika berdampak
terhadap negara-negara Asia lainnya. Bahkan ekonomi Cina, yang dianggap memiliki kekebalan
terhadap resesi negara lain, juga terkena imbas. Indeks Shanghai anjlok dan mulai
mengantisipasi penurunan ekspornya ke AS dengan mengalihkan ke pasar regional tentunya
termasuk Indonesia. Tentu dibutuhkan kebijakan yang tepat bagi kita untuk mempertahankan
pertumbuhan ekspor. Di samping itu, bagi negara-negara lain, perlu juga mewaspadai adanya
kemungkinan membanjirnya produk Cina akibat tidak terpenuhinya pasar ekspor mereka di
Amerika Serikat.
2.4 Kebijakan Berbagai Negara Mengatasi Dampak Krisis Global
Saat itu hampir semua negara-negara di dunia menganut sistem pasar bebas. Aliran dana
bebas keluar masuk dari satu negara ke negara lainnya, dengan regulasi moneter yang bervariasi
dari satu pemerintah ke pemerintah lainnya. Karena semua negara terkait satu sama lainnya
dalam ekonomi global yang terintegrasi, semua pun berisiko untuk terimbas krisis. Krisis
keuangan Amerika terjadi karena banyak pembeli perumahan tidak dapat membayar kewajiban
kepada lembaga pembiayaan perumahan. Baik, karena kenaikan suku bunga pinjaman Bank
Sentral Amerika (The Fed), ataupun karena tidak memenuhi syarat sebagai pengguna kredit
sektor properti. Padahal, lembaga pembiayaan perumahan tersebut memiliki kewajiban
mencairkan subprime mortgage securities yang diperjualbelikan dengan pihak ke tiga (lembaga
keuangan lain). Akibat tidak mampu membayar kewajiban, maka perusahaan pembiayaan

perumahan tersebut dinyatakan bangkrut.
Untuk menjaga likuiditas keuangannya, lembaga keuangan yang memiliki investasi
portofolio dalam bentuk subprime mortgage securities, juga melepas portofolio yang dimiliki.
Tentu saja, pelepasan portofolio tersebut akan dipilih dalam bentuk instrumen investasi yang

mudah dicairkan. Aksi jual portofolio dalam jumlah yang besar itulah yang mengakibatkan
kepanikan pasar modal di berbagai negara. Sebab, transaksi yang dilakukan jelas te-rekam dan
tercatat dalam pasar modal. Seiring terjadinya kepanikan dalam pasar modal, pasar uang juga
mulai bergejolak. Gejolak itu lebih disebabkan karena kebutuhan terhadap mata uang tertentu
untuk menjaga likuiditas keuangan. Lembaga-lembaga keuangan yang telah melepas
portofolionya di pasar modal, melakukan aksi beli. Terjadinya flukstuasi kurs mata uang di pasar
uang regional, lambat laun mengakibatkan pertambahan laju inflasi di beberapa negara, karena
terjadinya ketidak-setabilan harga komodi-komoditi tertentu. Pada akhir-nya laju inflasi yang
tidak terkontrol akan mengakibatkan resesi dalam suatu negara, akibat runtuhnya sendi-sendi
perekonomian negara tersebut.
2.5 Antisipasi Dampak Krisis Ekonomi Global
A. Amerika Serikat
Beberapa langkah kebijakan yang diambil pemerintah AS dalam mengatasi dampak krisis
keuangan adalah memberikan dana talangan (bailout) sebesar USD700 miliar. Dana ini ditujukan
untuk menyelamatkan institusi keuangan dan perbankan demi mencegah krisis ekonomi yang

berkepanjangan. Bailout dilakukan dalam bentuk pembelian surat utang subprime mortgage yang
macet dari investor. Langkah berikutnya yang diambil Bank Sentral adalah menurunkan suku
bunga 0,5 persen menjadi 1,5 persen. Hal tersebut dilakukan agar dana-dana masyarakat tidak
mengendap di bank dan bisa menggerakkan sektor riil. Selain itu, pemerintah juga berjanji
membeli surat berharga jangka pendek USD900 miliar. Adapun Bank Sentral Amerika (Federal
Reserve) juga mengumumkan rencana radikal untuk menutup sejumlah besar utang jangka
pendek yang bertujuan menciptakan terobosan dalam kemacetan kredit yang mengakibatkan
krisis finansial global.
B. Kawasan Eropa ( Islandia )
Untuk mengatasi dampak krisis keuangan global, Pemerintah Islandia menasionalisasi
Bank Glitnir yang bangkrut. Kemudian memecat Dewan Direksi Landsbanki, bank terbesar di
negeri tersebut yang juga mengalami kebangkrutan serta memberikan suntikan dana pada bankbank bermasalah. Dalam mestabilkan nilai tukar mata uang Krona, yang diperdagangkan hingga
202 Krona per Euro 1 (satu Euro), pemerintah mematok kurs Krona Eslandia setara dengan 131
Krona per Euro 1. Setelah otoritas moneter Islandia tidak mampu lagi menjamin aset-aset bank,
Rusia memberikan suntikan dana USD 37 miliar ke bank-bank besar Islandia, demikian juga
Swedia ikut turun tangan memberikan suntikan dana sebesar USD 702 juta. Pemerintah Islandia
optimis dalam jangka panjang akan bisa recovery karena memiliki potensi cadangan gas alam
dan sumber daya manusia yang handal.
C. Kawasan Asia Pasifik
China

Untuk mengantisipasi dampak krisis ekonomi People’s Bank of China (PBOC) sebagai
otoritas moneter menurunkan suku bunga dari 7,2 persen menjadi 6,93 persen. Selanjutnya,
Pemerintah China berjanji membantu AS dalam mengatasi krisis.
Korea Selatan
Pemerintah Korea Selatan meminta teknokrat ekonomi menyiapkan rencana-rencana
darurat dalam mengantisipasi dampak terburuk krisis keuangan AS dan mengusulkan koordinasi
dengan Menteri Keuangan Cina dan Jepang. Pemerintah juga meminta otoritas perbankan
menjamin kebutuhan dana perusahaan lokal, termasuk kebutuhan terhadap dolar AS.
Thailand
Federasi Industri Thailand mengajukan langkah-langkah kepada menteri keuangan untuk
melakukan:
1.
2.
3.
4.

Penurunan bea masuk impor
Peningkatan keyakinan konsumen
Penurunan pajak korporasi
Meminta otoritas moneter untuk mengawasi produk-produk investasi asing yang
dapat memperburuk kondisi keuangan Thailand.

Krisis finansial dunia yang berdampak terhadap bank-bank komersial, memukul mata
uang, menekan ekspor, dan mengganggu produksi saat ini sudah mempengaruhi bisnis properti
di sejumlah negara. Di China, penutupan pabrik sudah mulai terjadi. Merespons krisis keuangan
global, umumnya bank sentral di berbagai negara memangkas suku bunga. Sebagian besar
negara menjamin penuh seluruh dana masyarakatnya. Sementara itu, di sektor pasar saham, guna
menghindari berbagai transaksi dan penurunan harga saham terjadi karena irasionalitas pemodal.
Kebanyakan otoritas di berbagai negara melakukan pendekatan komprehensif, sistematis, dan
serius untuk memastikan sektor tersebut tidak jauh terpuruk melalui berbagai instrumen
kebijakan moneter dan yang sejenisnya. Lembaga pemeringkat kredit internasional Standard &
Poor’s (S&P) menyebutkan, sebagian besar negara Asia Pasifik akan menghadapi tantangan dari
efek babak pertama resesi Amerika Serikat (AS). Tetapi, kawasan ini diperkirakan mampu
menepis dampak buruk resesi AS. Dalam laporannya, lembaga itu mengungkapkan implikasiimplikasi dampak resesi bagi fundamental ekonomi dan kredit sejumlah pemerintahan di
kawasan Asia Pasifik. Menurut S&P, permintaan domestik dan perdagangan antarkawasan
diperkirakan mampu mengatasi dampak langsung merosotnya permintaan impor AS. Meskipun
demikian, negara-negara Asia Pasifik juga harus bertarung mengantisipasi risiko-risiko lain yang
disebabkan melonjaknya harga-harga sumber energi dan makanan, ketatnya likuiditas global,
serta kemungkinan melemahnya pertumbuhan ekonomi negara-negara Eropa. Sebagian besar
negara di kawasan Asia Pasifik, pada dasarnya dapat mengatasi dampak krisis keuangan global,
karena tingginya prospek pertumbuhan ekonomi di kawasan secara keseluruhan, kapasitas

kebijakan fiskal dan moneter untuk memitigasi efek buruk resesi, dan solidnya dukungan dana
bagi negara-negara yang kurang maju.
2.6 Ketahanan Ekonomi Indonesia Di Pusaran Krisis Global
Fundamental ekonomi di Indonesia saat ini cukup kuat dalam menghadapi efek domino
krisis keuangan global. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa indikator. Pertumbuhan ekonomi
Indonesia meningkat dari 5,5 persen di tahun 2006 menjadi 6,3 persen pada tahun 2008. Angka
tersebut merupakan angka tertinggi sejak krisis tahun 1998. Ekonomi Indonesia masih tumbuh
sekitar 6.4% pada semester I 2008 (yoy), dengan tiga sektor yang mengalami pertumbuhan tinggi
(qoq) adalah sektor pertanian 5.1%, sektor pengangkutan dan komunikasi 4,1% dan sektor listrik,
gas dan air bersih 3.6%. Pertumbuhan tersebut didorong oleh pertumbuhan konsumsi yang
meningkat dari 3,2 persen pada tahun 2006 menjadi 5,0 persen pada tahun 2007 dan
diprediksikan akan terus meningkat di tahun 2008 dan 2009. Demikian juga pembentukan modal
tetap bruto yang meningkat tajam dari 2,5 persen di tahun 2006 menjadi 9,2 persen (2007).
Sementara itu pengeluaran pemerintah menurun dari 9,6 persen menjadi 3,9 persen.
Pertumbuhan sektor pertanian meningkat dari 3,4 persen (2006) menjadi 3,5 persen (2007).
Sektor ekonomi domestik ini tetap kuat di tengah perlambatan perekonomian global. Indikator
lain tampak dari terkendalinya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika (USD), laju inflasi yang
relatif terkendali, menurunnya suku bunga (BI Rate), dan penerimaan dalam negeri (pajak) terus
meningkat.
Secara regional, inflasi di negara-negara Asia juga merupakan gejolak global yang
hampir dialami oleh semua negara berkembang. Inflasi Indonesia YoY sekitar 12,14% pada
September 2008 yang lebih disebabkan oleh faktor seasonality yaitu Bulan Puasa dan Lebaran
disamping karena imported inflation, sedangkan inflasi tertinggi dialami oleh negara Vetnam
sekitar 27.90% dan diikuti oleh Myanmar sekitar 21.40%. Ke depan inflasi Indonesia akan
terjaga dimana seiring dengan menurunnya goncangan ekonomi domestik dan fundamental
ekonomi Indonesia yang semakin kuat (Aksa, 2008).
2.7 Dampak Krisis Keuangan Global
Krisis keuangan di AS mengakibatkan pengeringan likuiditas sektor perbankan dan
institusi keuangan non-bank yang disertai berkurangnya transaksi keuangan. Pengeringan
likuiditas akan memaksa para investor dari institusi keuangan AS untuk melepas kepemilikan
saham mereka di pasar modal Indonesia untuk memperkuat likuiditas keuangan institusi mereka.
Aksi tersebut akan menjatuhkan nilai saham dan mengurangi volume penjualan saham di pasar
modal Indonesia. Selain itu, beberapa perusahaan keuangan Indonesia yang menginvetasikan
dananya di instrumen investasi lembaga keuangan di AS juga mendapat imbas atas kejatuhan
nilai saham tersebut.
Krisis keuangan di AS yang merambah ke beberapa negara lainnya juga akan mengancam
perdagangan beberapa produk ekspor Indonesia di pasar AS, Jepang, dan kawasan Uni Eropa

yang telah berlangsung sejak lama. Hal ini sangat berbahaya mengingat produk eks-por
Indonesia sangat bergantung pada negara-negara tersebut, sedangkan di dalam negeri produkproduk tersebut kalah bersaing dengan produk impor China yang lebih murah. Krisis keuangan
AS berdampak kepada kondisi keuangan semua negara tidak terkecuali untuk negara-negara Asia
dan emerging market lainnya. Nilai tukar mata uang negara-negara Asia mengalami depresiasi
terhadap mata uang dolar AS, namun apabila melihat kondisi Rupiah dibandingkan yang lainnya
masih menunjukkan kondisi yang lebih baik. Selama 1 Jan- 10 Oktober 2008, Rupiah hanya
terdepresiasi sekitar 3%, jauh dibawah nilai mata uang Philipina (16%) dan juga Thailand (17%).
Hal ini menunjukkan bahwa, ekonomi kita masih terjaga menghadapi krisis ekonomi.
Dengan demikian krisis keuangan global memberikan dampak langsung ataupun tidak
langsung terhadap perkembangan ekonomi Indonesia. Dampak langsung yang terjadi adalah
kerugian pada sebagian kecil investor yang memiliki exposure atas aset-aset yang terkait
langsung dengan institusi-institusi keuangan Amerika Serikat yang bermasalah, misalnya
lembaga keuangan Indonesia yang menanam dana dalam instrumen Lehman Brothers.
Sedangkan dampak tidak langsung krisis finansial global, antara lain;
1. Mempengaruhi momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam bentuk
pengeringan likuiditas, lonjakan suku bunga, anjloknya harga komoditas, dan
melemahnya pertumbuhan sumber dana.
2. Menurunnya tingkat kepercayaan konsumen, investor, dan pasar terhadap
berbagai institusi keuangan yang ada.
3. Flight to quality, pasar modal Indonesia terkoreksi akibat indikasi melemahnya
mata uang rupiah dan yang paling mengkhawatirkan apabila para investor yang
saat ini masih memegang aset keuangan likuid di Indonesia mulai melepas asetaset tersebut karena alasan kejatuhan nilai saham akibat faktor tertentu.
4. Kurangnya pasokan likuiditas di sektor keuangan karena kebangkrutan berbagai
institusi keuangan global khususnya bank-bank investasi akan berdampak pada
cash flow sustainability perusahaan-perusahaan besar di Indonesia. Akibatnya,
pendanaan ke capital market dan perbankan global akan mengalami kendala dari
aspek pricing (suku bunga) dan availability (ketersediaan dana).
5. Menurunnya tingkat permintaan dan harga komoditas utama ekspor Indonesia
tanpa diimbangi peredam-an laju impor secara signifikan akan menyebabkan
defisit perdagangan yang semakin melebar dalam beberapa waktu mendatang.
6. Selanjutnya defisit perdagangan tersebut akan menyulitkan penggalangan capital
inflow dalam jumlah besar untuk menutup defisit itu sendiri seiring dengan
keringnya likuiditas pasar keuangan global.
7. Krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa yang berdampak
negatif terhadap negara-negara lainnya, tidak berimbas terlalu besar bagi
Indonesia. Hal ini disebabkan net ekspor Indonesia ke luar ne geri hanya 10
persen dari total produk domestik bruto (PDB).

8. Pasar ekspor utama Indonesia adalah Jepang dan Singapura, kedua negara
tersebut sangat merasakan dampaknya dari krisis keuangan global itu. Namun,
pemerintah memahami bahwa upaya mengamankan sistem ekonomi secara
menyeluruh harus terus dilakukan, khususnya menjaga kekuatan sektor riil

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tahun 2005 sesungguhnya Indonesia mengalami permasalahan. Kurs terguncang, saham,
devisa, tetapi dengan cekatan pemerintah dan semua pihak mengambil langkah antisipasi. Guna

berkelit dari krisis dibutuhkan kejelian dan kecerdasan untuk menangkap peluang. Konsekuensi
logis dari krisis global yang bermula di Amerika Serikat akan membuat pasar di Amerika dan
Eropa akan lebih tertutup. Oleh karena itu, diperlukan kecerdasan untuk mencari peluang sasaran
ekspor lain atau membuat produk ekspor yang lebih kompetitif dibandingkan produk negaranegara lain. Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) menyiapkan benteng berlapis untuk
memperkuat posisi industri keuangan Indonsia dalam menghadapi situasi krisis sekarang ini.
Pertama, Pemerintah dan BI berupaya mengantisipasi dampak krisis keuangan global terhadap
nasabah perbankan melalui penaikan batas maksimum nilai simpanan yang berhak ikut program
penjaminan dengan menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang/Perpu. Kedua,
pemerintah menerbitkan Perpu tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK). Hal itu
dilakukan untuk memberikan dasar hukum bagi pemerintah, BI dan LPS dalam melakukan reaksi
secara cepat andai saja krisis keuangan merebak. Ketiga, masih berkaitan dengan pengamanan
bank. BI akan mengizinkan bank memindahkan portofolio Surat Utang Negara (SUN) dari
kategori diperdagangkan ke kategori dimiliki sampai jatuh tempo. Aturan ini jelas mengamankan
perbankan dari kerugian karena ada penurunan nilai surat utang di pasar. Selain itu, keempat, BI
menurunkan setoran Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan, dari total 9,08 persen menjadi 7,5
persen. Kelima, pemerintah meminta BUMN yang memiliki finansial kuat untuk membeli
kembali sahamnya. Keenam, pemerintah akan menjaga likuiditas keuangan domestik melalui
belanja anggaran pemerintah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa
kewajiban pemerintah mengeluarkan regulasi, iklim dan insentif agar sektor riil tetap bergerak.
Kita semua memang harus bekerja sama, dan Presiden pun meyakinkan bahwa insyaallah
Indonesia tidak akan mengalami krisis ekonomi seperti yang terjadi pada 10 tahun yang lalu

Referensi
Arahan Presiden dalam Sidang Kabinet untuk Menghadapi Krisis Global. Pidato. Jakarta, 6
Oktober 2008
Bappenas. 2004. Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur Berskala
Besar. Jakarta: Bappenas.

Erwin Aksa. 2008. Dunia Usaha Indonesia dalam Jaringan Kerjasama Bisnis Global
Kuncoro, Mudrajad. 2008. Strategi Pengembangan UMKM di Tengah Krisis Keuangan Global,
Oktober 2008
Purna, Ibnu dan Yanuar Agung. 2008 Menyelamatkan Perekonomian Indonesia Dari Krisis
Finansial.
BBC
Indonesia
.
IMF
keluarkan
laporan
tahunan
.2008
http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2008/04/printable/080409_imfreport.shtml diakses
pada 25 maret 2016

Dokumen yang terkait

Analisis Pengaruh Pengangguran, Kemiskinan dan Fasilitas Kesehatan terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia di Kabupaten Jember Tahun 2004-2013

21 388 5

PENGALAMAN KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA DENGAN GANGGUAN JIWA (SKIZOFRENIA) Di Wilayah Puskesmas Kedung Kandang Malang Tahun 2015

28 256 11

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Peningkatan keterampilan menyimak melalui penerapan metode bercerita pada siswa kelas II SDN Pamulang Permai Tangerang Selatan Tahun Pelajaran 2013/2014

20 223 100

Pengaruh kualitas aktiva produktif dan non performing financing terhadap return on asset perbankan syariah (Studi Pada 3 Bank Umum Syariah Tahun 2011 – 2014)

6 101 0

Peranan Hubungan Masyarakat (Humas) Mpr Ri Dalam Mensosialisasikan Empat Pilar Bangsa Tahun 2014

4 126 93

Perancangan Sistem Informasi Akuntansi Laporan Keuangan Arus Kas Pada PT. Tiki Jalur Nugraha Ekakurir Cabang Bandung Dengan Menggunakan Software Microsoft Visual Basic 6.0 Dan SQL Server 2000 Berbasis Client Server

32 174 203