Ekonomi Politik Aksi Bela Islam Pluralis

Pengelola

Penanggung Jawab

Ahmad Syafii Maarif
Jeffrie Geovanie
Rizal Sukma

Pemimpin Umum
Pemimpin Redaksi
Wakil Pemimpin Redaksi

Fajar Riza Ul Haq
Ahmad Imam Mujadid Rais
Muhd. Abdullah Darraz

Redaktur Tamu

Zainal Abidin Bagir

Dewan Redaksi


Ahmad Najib Burhani
Ahmad–Norma Permata
Clara Juwono
Haedar Nashir
Hilman Latief
Luthfi Assyaukanie
M. Amin Abdullah

Sekretaris Redaksi

M. Supriadi

Redaktur Pelaksana

Khelmy K. Pribadi, Ahmad Imam Mujadid Rais
Pipit Aidul Fitriyana

Design Layout


Deni Murdiani, Harhar Muharam

Keuangan

Henny Ridhowati

Sirkulasi

Awang Basri, Pripih Utomo

Alamat Redaksi

MAARIF Institute for Culture and Humanity
Jl. Tebet Barat Dalam II No. 6, Jakarta 12810
Telp +62-21 8379 4554 Fax +62-21 8379 5758
website : www.maarifinstitute.org
email : jurnal@maarifinstitute.org
mujadid.rais@gmail.com
darrazophy@yahoo.com
Donasi dapat disalurkan melalui rekening :

Yayasan A. Syafii Maarif
BNI MH. Thamrin (Wisma Nusantara)
0114179273

Terbit Perdana Juni 2003
Redaksi mengundang para cendekiawan, agamawan, peneliti, dan aktivis untuk mengirimkan tulisan, baik berupa
hasil penelitian maupun gagasan, sesuai dengan visi dan misi MAARIF Institute for Culture and Humanity.
Tulisan merupakan hasil karya sendiri, belum pernah dipublikasikan, penulisan mengacu standar
ilmiah yang telah ditetapkan oleh redaksi dengan panjang tulisan minimal 4000 kata (10 halaman, 1 spasi,
A4) dengan batas makismal 6000 kata (15 halaman). Redaksi berhak menyeleksi dan mengedit tulisan tanpa
mengurangi atau menghilangkan substansi. Jurnal MAARIF terbit 2 kali setahun (Juni dan Desember).

1

Rizky Alif Alvian

Ekonomi-Politik Aksi Bela Islam:
Pluralisme dalam Krisis?
Rizky Alif Alvian


Abstrak
Artikel ini berusaha memahami kemunculan Aksi Bela Islam (ABI) dengan
meletakkannya dalam konteks ekonomi-politik yang lebih luas di Indonesia.
Artikel ini berargumen bahwa keberhasilan ABI dapat dipahami sebagai efek
dari “dislokasi” narasi pluralisme di Indonesia. Pertama, dislokasi ini tumbuh
seiring dengan ketidakmampuan narasi tersebut untuk menjelaskan perluasan
ketimpangan, kesulitan hidup, dan kerentanan di dalam masyarakat. Kedua,
narasi ini juga tidak dapat memberi kelompok-kelompok rentan tersebut dengan
kosakata yang memadai untuk menyuarakan kesulitan yang mereka alami.
Kecenderungan narasi pluralisme untuk memberi penekanan yang kuat terhadap
politik rekognisi tetapi cenderung mengesampingkan politik redistribusi menjadi
sumber utama dari dislokasi ini. Kemunculan ABI bisa dipahami sebagai
keberhasilan narasi populisme sayap-kanan untuk mengisi celah dislokasi ini
sekaligus menandai kegagalan narasi-narasi alternatif untuk mengisi celah yang
ditinggalkan oleh narasi pluralisme.

Pendahuluan
Artikel ini berusaha untuk mempelajari kemunculan rentetan Aksi Bela
Islam (ABI) sepanjang tahun 2016 dengan cara meletakkannya dalam konteks
ekonomi-politik yang lebih luas di Indonesia. Pembacaan terhadap fenomena

ABI selama ini lebih banyak didominasi oleh pembacaan yang berusaha
meletakkan ABI sebagai suatu penyimpangan terhadap norma kewargaan,
demokrasi, dan pluralisme di Indonesia. Meski analisis semacam ini tak bisa

53

Ekonomi-Politik Aksi Bela Islam: Pluralisme dalam Krisis?

diabaikan, pembacaan-pembacaan ini beresiko mereduksi ABI sebagai suatu
fenomena yang berdiri sendiri alih-alih meletakkannya sebagai efek dari kondisikondisi sosial tertentu. Berangkat dari latar ini, artikel ini berusaha mempelajari
kondisi-kondisi sosial apa yang memungkinkan ABI muncul serta apa implikasi
yang dibawa ABI terhadap lanskap ekonomi-politik di Indonesia.
Terdapat sejumlah studi yang berusaha mempelajari hubungan antara
pertumbuhan gerakan Islam di Indonesia pasca-reformasi dengan lanskap
ekonomi-politik yang melingkupinya. Hadiz (2014) berpendapat bahwa gerakan
Islam di Indonesia pasca-reformasi dicirikan dengan adanya perluasan basis
sosial dari gerakan-gerakan tersebut. Gerakan Islam yang seringkali disokong
oleh kelas pedagang, borjuasi kecil, atau kelas menengah terdidik kini didukung
oleh sebuah aliansi besar yang bersifat lintas-kelas. Dalam kondisi ini, gerakan
Islam menggunakan retorika ummah untuk mempengaruhi dan mengubah

lanskap ekonomi-politik yang ada sedemikian rupa sehingga sumber daya dapat
mengalir lebih banyak bagi elemen-elemen gerakan tersebut. Sementara itu,
dalam studinya terhadap kelompok vigilantis Islam di Jakarta, Wilson (2011)
berpendapat bahwa seiring dengan jatuhnya Suharto, elit politik mendekati
kelompok vigilantis dalam rangka meraih dukungan, khususnya dari kalangan
Islam konservatif. Hal ini membuat kelompok vigilantis tak lagi semata
menjadi klien dari elit politik seperti yang mereka alami selama Orde Baru.
Kelompok vigilantis menjadi aktor yang mapan dalam arena politik Indonesia
serta dibutuhkan oleh elit politik untuk membuat kekuasaan mereka terjaga.
Pada titik ini, retorika moralitas Islam hadir untuk melegitimasi keberadaan
kelompok vigilantis tersebut dalam arena politik. Dalam posisi ini, kelompok
vigilantis jadi memiliki keleluasaan untuk mengalirkan sumber daya bagi diri
mereka maupun kelompok yang mereka representasikan (bdk. Bakker, 2016;
Telle, 2014).
Argumentasi-argumentasi di atas menggambarkan bagaimana hubungan antara
gerakan Islam dan formasi ekonomi-politik di Indonesia selama ini dipahami.
Studi-studi di atas meletakkan gerakan Islam sebagai usaha dari kelompokkelompok tertentu di dalam masyarakat untuk menggerakkan sumber daya
ke arah mereka. Narasi keislaman digunakan gerakan ini untuk melegitimasi
tindakan tersebut sekaligus menciptakan solidaritas di antara berbagai
kelompok berbeda yang disatukan di bawah nama ummah. Dengan kata lain,

narasi keislaman cenderung dipahami sebagai sesuatu yang nyaris instrumental
bagi gerakan-gerakan tersebut. Narasi identitas keislaman yang muncul dalam
gelanggang politik Indonesia dipahami sebagai refleksi dari pergulatan sumber
daya yang berlangsung di baliknya.

54

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

Rizky Alif Alvian

Artikel ini mengusung argumentasi yang sedikit berbeda. Menguatnya narasi
keislaman dalam gelanggang politik Indonesia bukan hanya merefleksikan
usaha untuk mengubah pembagian sumber daya di dalam masyarakat. Lebih
dari itu, menguatnya narasi ini merefleksikan kerapuhan narasi pluralisme
di tengah meluasnya ketimpangan dan ketidakpastian di dalam masyarakat.
Ketidakmampuan narasi pluralisme untuk mengintegrasikan kesulitan hidup
masyarakat ke dalam sistematika penjelasannya mengenai dunia menciptakan
apa yang disebut Laclau dan Mouffe sebagai “dislokasi”. Pada momen ini—
ketika timbul jarak antara pengalaman sehari-hari masyarakat dengan narasi

yang berusaha mengkerangkai pengalaman itu—narasi-narasi lain dapat masuk
dan mengisi celah yang ditinggalkan oleh narasi pluralisme. Populisme sayapkanan—yang diusung utamanya oleh aktor-aktor seperti Front Pembela Islam
(FPI), Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI),
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), hingga elemen-elemen di dalam Nahdlatul
Ulama (NU) dan Muhammadiyah—meraih banyak dukungan dan memuncak
dalam bentuk ABI karena ia diartikulasikan pada momen krisis ini. Kehadiran
populisme sayap-kanan karenanya tak semata-mata bersifat instrumental bagi
kepentingan kelompok yang mengusungnya. Menguatnya narasi tersebut juga
dimungkinkan oleh proses transformasi yang mendahuluinya. Narasi ABI
memberikan masyarakat kosakata untuk menyuarakan keresahan mereka
sambil di saat yang sama membantu mereka memahami pengalaman keseharian
mereka.
Meski demikian, dampak ketimpangan dan kemiskinan tidak terdistribusi
secara merata di dalam masyarakat. Sementara kekayaan berkumpul di kelas
atas, kemiskinan dan kesulitan hidup dirasakan oleh mereka yang berada di
bawah struktur sosial masyarakat. Belakangan, seiring dengan berkembangnya
kapitalisme, kerapuhan sosial ini meluas hingga menyentuh segmen-segmen
kelas menengah. Argumentasi Hadiz (2014) menjadi penting dalam konteks
ini. Populisme sayap-kanan—juga ABI—merupakan aliansi luas dari berbagai
kelas sosial yang berbeda. Karenanya, faktor kesulitan hidup tak bisa dijadikan

determinan utama yang memungkinkan kehadiran ABI. Argumentasi yang
lebih moderat—bahwa meluasnya kesulitan hidup merupakan faktor yang turut
berperan dalam membentuk ABI—jadi lebih bisa diterima. Artikel ini karenanya
tak berniat menyuguhkan suatu penjelasan yang menyeluruh atas kemunculan
ABI. Artikel ini berusaha mencari titik-titik temu antara kemunculan ABI dan
konteks ekonomi-politik yang melatarinya tanpa berusaha mereduksinya ke
dalam satu sama lain.

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

55

Ekonomi-Politik Aksi Bela Islam: Pluralisme dalam Krisis?

Ekonomi-Politik Fundamentalisme
Bagian ini berusaha untuk mengurai kerangka teoritik yang akan digunakan
oleh artikel ini untuk memahami kemunculan rentetan ABI di Indonesia
selama tahun 2016. Bagian ini khususnya berusaha menguraikan bagaimana
hubungan antara dinamika ekonomi-politik dan kemunculan gerakan Islam
dapat dipahami. Untuk itu, mula-mula, artikel ini mesti menunda penilaian

moral terhadap narasi populisme sayap-kanan. Populisme sayap-kanan tak bisa
serta merta dinilai sebagai efek dari kekeliruan individu dalam menafsirkan
ajaran agama, rendahnya intelegensi dan tingkat pendidikan individu, atau
paradigma yang diskriminatif dalam memandang perbedaan. Mereka yang
memercayai narasi populisme sayap-kanan tak bisa juga begitu saja diletakkan
sebagai individu yang irasional dan dekaden. Posisi-posisi ini—yang disebut
Toscano (2010) sebagai “anti-fanatisme”—perlu dihindari karena ia meletakkan
fenomena populisme sayap-kanan yang hendak dikaji sebagai suatu fenomena
yang berdiri sendiri dan terisolasi dari konteks sosial-politik yang menaunginya.
Apa yang luput dari posisi-posisi ini adalah tidak adanya analisis terhadap
fenomena populisme sayap-kanan yang berusaha meletakkannya dalam lanskap
ekonomi-politik yang lebih luas. Posisi-posisi ini tidak berusaha mengidentifikasi
apa proses-proses di dalam struktur masyarakat yang memungkinkan populisme
sayap-kanan meluas, berkembang, dan meraih dukungan.
Terdapat setidaknya dua corak analisis berbeda yang berusaha menautkan
kemunculan populisme sayap-kanan—khususnya gerakan Islam fundamentalis—
dan dinamika ekonomi-politik yang terjadi di dalam masyarakat. Analisis
pertama melihat narasi populisme sayap-kanan sebagai produk dari konfigurasi
kepentingan di antara berbagai kelas berbeda di dalam masyarakat. Narasi
populisme sayap-kanan, hingga derajat tertentu, bisa dibaca sebagai strategi

yang digunakan oleh kelas-kelas tertentu untuk memajukan kepentingannya.
Sementara itu, analisis kedua membaca narasi populisme sayap-kanan sebagai
efek dari krisis yang terjadi di dalam institusi yang saat ini mapan dan dominan.
Analisis Harvey bisa menjadi salah satu representasi dari corak analisis
pertama. Harvey menjangkarkan argumentasinya pada teorinya mengenai
mobilitas kapital. Dalam rangka menjaga tingkat profit, kapital akan terusmenerus bergerak dari daerah dengan tingkat profit yang rendah menuju
daerah dengan tingkat profit yang lebih tinggi. Bagi Harvey, rendahnya tingkat
profit di suatu daerah terjadi melalui apa yang ia sebut sebagai “devaluasi”.
Devaluasi adalah momen ketika tingkat produksi kapital melampaui

56

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

Rizky Alif Alvian

ketersediaan kesempatan investasi yang menguntungkan di wilayah tersebut.
Pada titik itu, kapital mengalami devaluasi karena ia jadi tak bernilai seiring
dengan minimnya kesempatan untuk melakukan investasi dengannya secara
menguntungkan. Pada titik inilah kapital mulai bergerak untuk menuju daerah
lain yang belum jenuh dengan konsentrasi kapital. Meski demikian, pergerakan
kapital ini menimbulkan efek serius bagi daerah yang ditinggalkannya. Selain
dengan memburuknya perekonomian karena perginya industri, kapital juga
meninggalkan begitu saja berbagai infrastruktur—Harvey menyebutnya “fixed
capital”—yang semula dibuat untuk mendukung proses operasinya. Di lain sisi,
kehadiran kapital di daerah lain akan diiringi dengan tumbuhnya perekonomian
dan pembangunan infrastruktur sebelum, pada akhirnya, kembali memudar
seiring dengan perginya kapital dari daerah itu menuju daerah lain yang
lebih menguntungkan. Karenanya, bagi Harvey, kapitalisme tidak dapat
menimbulkan pembangunan dan kemajuan yang merata. Kapitalisme secara
inheren menciptakan ketimpangan secara terus-menerus (Harvey, 2001, 2005,
2006).
Pembacaan Harvey terhadap kemunculan populisme sayap-kanan dapat
diletakkan di atas teorinya mengenai mobilitas kapital di atas. Bagi Harvey,
populisme sayap-kanan cenderung muncul dalam momen-momen mobilitas
kapital. Pertama, populisme sayap-kanan dapat muncul ketika kapital
mengalami devaluasi. Dalam kondisi ini, kelas dominan dan kelas subordinat
dapat menciptakan suatu aliansi yang dikerangkai oleh narasi populisme sayapkanan tersebut. Aliansi ini bertujuan untuk menahan kepergian kapital, baik
melalui kekuatan negara maupun melalui penciptaan iklim investasi yang
lebih kondusif. Kedua, populisme sayap-kanan juga dapat hadir ketika suatu
daerah berusaha menarik kapital kepada dirinya. Pada momen itu, populisme
sayap-kanan lagi-lagi hadir untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan
kapital tertarik untuk datang ke daerah itu. Argumentasi Harvey ini karenanya
cenderung memahami populisme sayap-kanan sebagai strategi yang digunakan
untuk mengendalikan arus mobilitas kapital dalam lanskap ekonomi global.
Akan tetapi, meski populisme sayap-kanan seringkali didukung oleh jalinan luas
dari berbagai kelas sosial, Harvey turut menggarisbawahi bahwa pada akhirnya,
populisme sayap-kanan adalah strategi yang menguntungkan kelas berkuasa.
Pasalnya, operasi kapital selalu menciptakan polarisasi di antara kelas dominan
dan kelas subordinat. Eksploitasi kelas dominan terhadap kelas subordinat
berlangsung secara obyektif dan menjadi prasyarat dasar bagi akumulasi kapital
yang dilakukan kelas dominan (Harvey, 1996, 2000, 2001 2009; Smith, 2008).

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

57

Ekonomi-Politik Aksi Bela Islam: Pluralisme dalam Krisis?

Sementara itu, pemikiran Ernesto Laclau dapat diletakkan sebagai representasi
corak analisis kedua. Laclau berangkat dari asumsi bahwa realitas tak hadir
begitu saja kepada manusia. Sebaliknya, realitas dimengerti oleh manusia karena
manusia menatanya sedemikian rupa dalam cara tertentu. Melalui penataan
ini—atau dalam terminologi psikoanalisis, “simbolisasi”—realitas memperoleh
koherensinya. Realitas menjadi sesuatu yang sistematis dan bisa dipahami oleh
manusia. Realitas tak lagi menjadi rangkaian informasi berserak yang tak saling
berhubungan. Ia kini memiliki suatu “aturan diskursif”, suatu “narasi”. Akan
tetapi, proses formasi realitas ini tak hanya membuat manusia memperoleh
realitas yang koheren di hadapannya. Lebih dari itu, aturan diskursif juga
memberi manusia pengetahuan tentang siapa dirinya di dalam realitas tersebut.
Dengan kata lain, narasi yang mengatur, membentuk, dan mensistematisasi
realitas juga memberi manusia identitas tentang siapa dirinya (Laclau dan
Mouffe, 2001; Zizek, 1989; Stavrakakis, 1999; Homer, 2005).
Laclau menggarisbawahi bahwa narasi yang menata realitas tak pernah stabil.
Sebaliknya, narasi yang membentuk realitas bisa datang silih berganti seiring
dengan terjadinya pergulatan di dalam masyarakat tentang bagaimana realitas
semestinya dipotret. Laclau menjelaskan bahwa narasi hegemonik mengenai
realitas mulai memperoleh ketidakstabilan ketika suatu “peristiwa” (event)
muncul. Peristiwa adalah momen yang berada di luar jangkauan penjelasan
narasi hegemonik. Ia adalah sesuatu yang tak bisa diintegrasikan ke dalam
sistematika penjelasan tentang realitas, sesuatu yang berada di luar kemampuan
aturan diskursif untuk menjelaskannya, dan karenanya mengganggu koherensi
realitas maupun identitas manusia yang semula berada dalam naungan
realitas itu. Pada titik ini, muncul sebuah “dislokasi”. Narasi yang selama ini
menstrukturkan realitas kehilangan kemampuannya untuk menjelaskan.
Pada momen inilah narasi alternatif atas realitas masuk dan mengisi celah
yang ditinggalkan oleh kegagalan narasi terdahulu (Laclau, 2007; Zizek, 1989;
Mouffe, 1992, 2000, 2005).
Berpijak dari kerangka berpikir di atas, Laclau menjelaskan bahwa populisme
hadir tepat ketika sistem yang mapan mengalami dislokasi dan berubah menjadi
tak stabil karena kemunculan peristiwa. Populisme mengisi celah yang hadir
tatkala muncul jarak antara bagaimana realitas dinarasikan dan bagaimana
peristiwa dialami oleh manusia. Usaha populisme untuk mengisi celah yang
ditinggalkan oleh narasi lama tak pelak membuat narasi ini menyimpan
ambiguitas. Meski di satu sisi berusaha menanggalkan narasi lama, narasi baru
ini seringkali menciptakan realitas baru dengan menggunakan bahan-bahan

58

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

Rizky Alif Alvian

yang disediakan oleh narasi lama. Laclau menulis: “[P]opulism presents itself
both as subversive of the existing state of things and as the starting point for a
more or less radical reconstruction of a new order whenever the previous one
has been shaken” (Laclau, 2007: 177).
Sejumlah pembacaan mengenai kemunculan gerakan Islam di Indonesia
berpijak di atas asumsi-asumsi yang dibangun oleh analisis pertama.
Populisme sayap-kanan hadir sebagai efek dari strategi kelas berkuasa untuk
mempertahankan kekuasaannya. Dalam beberapa kesempatan, kelas bawah
bergabung dengan kelas berkuasa karena terdapat irisan kepentingan di antara
kedua kelas tersebut, setidaknya dalam jangka pendek. Artikel ini tak menolak
teknik analisis ini dan justru berpendapat bahwa analisis tersebut mengandung
kebenaran. Meski demikian, penjelasan ini cenderung meletakkan sisi politik
identitas dari fenomena ini semata-mata sebagai problem sekunder: identitas
keislaman yang menguat dalam kemunculan populisme sayap-kanan di
Indonesia semata-mata merupakan efek dari strategi kelas-kelas yang ada
untuk membangun solidaritas internal atau malah alat yang yang digunakan
untuk melegitimasi aktivitas dan kepentingan politik dari aktor-aktor tertentu.
Sisi yang cenderung luput dari analisis ini adalah fakta bahwa mereka yang
memajukan agenda-agenda populisme sayap-kanan seringkali tak hanya
menggunakan Islam sebagai alat politik, tetapi juga sebagai basis bagi identitas
kedirian mereka. Mereka tak sedang dengan sengaja menafsirkan Islam dengan
cara yang menguntungkan mereka. Sebaliknya, mereka percaya bahwa tafsiran
Islam memang sungguh demikian, bahwa Islam secara esensial memang selalu
memberi mereka keuntungan sejauh mereka percaya pada Islam.
Di titik ini, corak analisis kedua bisa memberikan tambahan bagi analisis
pertama. Dalam skema kedua, narasi populisme sayap-kanan hadir untuk
mengisi celah yang ditinggalkan narasi lain. Narasi populisme sayap-kanan
datang untuk memberi masyarakat narasi tentang realitas serta identitas baru
yang tak lagi bisa diberikan oleh narasi yang sebelumnya hegemonik. Artikel ini
berargumen bahwa salah satu dislokasi muncul seiring dengan kegagalan narasi
pluralisme untuk menjelaskan mengapa marjinalisasi terus terasa, khususnya
bagi mereka yang mesti menghadapi kesulitan terus-menerus dalam kehidupan
mereka.
Corak pembacaan ini akan memiliki setidaknya dua keuntungan. Pertama,
pembacaan ini terhindar dari determinisme identitas maupun ekonomi.
Pembacaan ini memungkinkan kita untuk menautkan dinamika ekonomi-

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

59

Ekonomi-Politik Aksi Bela Islam: Pluralisme dalam Krisis?

politik dan tumbuhnya identitas dalam masyarakat tanpa terburu-buru
mengatakan bahwa identitas tak lebih dari sekadar cerminan kepentingan
ekonomi-politik, maupun mengatakan bahwa dinamika ekonomi-politik tak
ada sangkut-pautnya dengan menguatnya identitas. Kedua, pembacaan ini
juga memungkinkan kita untuk mempelajari tindakan massa pada dirinya
sendiri alih-alih meletakkannya sebagai buah ketidaktahuan, kebodohan, atau
provokasi dari elit yang mengendalikan mereka—ringkasnya, suatu “kesadaran
palsu”. Pembacaan ini memungkinkan kita menggeser fokus dari elit ke massa.

Populisme Sayap-Kanan: Narasi
Bagian ini berusaha menguraikan bagaimana narasi populisme sayap-kanan
yang dominan dalam ABI berusaha untuk menyusun realitas dan menunjukkan
bahwa narasi ini hadir dalam usahanya untuk membedakan diri dari apa yang
disebut artikel ini sebagai narasi pluralisme.
Narasi populisme sayap-kanan menyimpan suatu ambiguitas penting. Di satu
sisi, narasi ini berusaha mengkritik dan menanggalkan narasi pluralisme—
tentang perlunya toleransi, demokrasi, pengakuan terhadap perbedaan,
aturan hukum, dan menjaga kesatuan Indonesia. Narasi tersebut selama ini
diusung oleh berbagai aktor yang merentang dari Jaringan Islam Liberal (JIL),
elemen-elemen dalam NU dan Muhammadiyah, hingga aktor negara seperti
Kementrian Agama dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Di sisi lain, narasi ini melakukan afirmasi terhadap ideal-ideal yang diajukan
oleh narasi pluralisme. Ambiguitas ini menjadi penanda penting bahwa narasi
populisme sayap-kanan hadir dalam rangka mengkonstruksi realitas baru
sembari melakukan subversi terhadap narasi pluralisme yang hegemonik.
Ambiguitas ini menggambarkan bahwa narasi populisme sayap-kanan datang
untuk mengeksploitasi celah yang ditinggalkan narasi pluralisme ketika narasi
itu belum sepenuhnya luntur, tetapi mulai menghadapi krisis yang tak dapat
dijelaskannya.
Ada setidaknya tiga ambiguitas di dalam narasi populisme sayap-kanan dalam
ABI (Hasibuan dan Alvian, 2016; Wilson, 2014). Pertama, ABI memiliki posisi
yang ambigu terhadap toleransi di antara berbagai etnis dan umat beragama
berbeda. Bertentangan dengan pandangan yang mengatakan bahwa ABI
merupakan ekspresi dari kekuatan yang menentang toleransi, narasi yang
dibangun ABI sebetulnya mengafirmasi toleransi sebagai suatu ideal yang
hendak dicapai. Dalam sejumlah narasi yang berusaha dibangunnya, ABI

60

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

Rizky Alif Alvian

berusaha mengatakan bahwa dirinya merupakan gerakan yang sebetulnya
berusaha mewujudkan toleransi yang sesungguhnya di Indonesia. Tindakan
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dianggap menistakan Islam dipandang
ABI sebagai suatu tindakan intoleran. Tindakan ABI yang meminta agar Ahok
diadili oleh karena itu justru merupakan usaha untuk mengafirmasi toleransi
alih-alih menolaknya.
Kedua, ambiguitas posisi ABI juga terekspos dalam sikapnya terhadap demokrasi.
Meski berbagai pandangan mengatakan bahwa ABI merupakan bahaya
terhadap demokrasi, ABI sebetulnya justru melakukan afirmasi terhadap ideal
demokrasi. Pertama, ABI merupakan protes yang diletakkan sebagai ekspresi
hak konstitusional warga negara maupun hak asasi manusia seseorang. Kedua,
ABI juga diselenggarakan secara damai, nyaris tanpa sedikitpun kekerasan
maupun perusakan fasilitas publik. Fenomena ini mengindikasikan setidaknya
bahwa ABI mengafirmasi semangat demokrasi untuk menyuarakan perbedaan
pandangan tanpa kekerasan serta menaati aturan hukum yang berlaku dalam
menyampaikan pendapat. Meski demikian, walau terdapat afirmasi-afirmasi
ini, ABI menyuarakan gagasan yang seringkali dipandang tak demokratis. ABI
berusaha menyalurkan gagasan yang kuat dengan nuansa sektarian ke dalam
ruang publik melalui cara-cara yang selaras dengan demokrasi.
Ketiga, ABI juga memiliki posisi yang ambigu terhadap isu persatuan nasional.
Di satu sisi, ABI mengafirmasi ide persatuan nasional. Di lain sisi, ABI juga
mengusung gagasan yang tak bisa dengan mudah diselaraskan dengan gagasan
persatuan nasional. ABI, misalnya, berargumentasi bahwa usaha melawan
penistaan agama yang dilakukan Ahok merupakan usaha untuk menjaga
persatuan bangsa yang sudah lebih dahulu diancam oleh kata-kata Ahok yang
tak sensitif. Dalam sejumlah kesempatan, ABI juga berusaha mengatakan
bahwa gagasan Islam yang mereka pegang sepenuhnya selaras dengan gagasan
keindonesiaan. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa Indonesia akan
memperoleh kejayaan dan kesejahteraan apabila Indonesia mau menerapkan
gagasan Islam mereka sepenuhnya.
Tiga ambiguitas di atas seringkali diabaikan oleh berbagai pembacaan. Pasalnya,
argumentasi-argumentasi yang diajukan oleh ABI dilihat semata-mata sebagai
retorika yang berfungsi untuk menutupi kepentingan ABI yang sesungguhnya.
Meski demikian, kerangka analisis Laclau menuntut kita untuk memperhatikan
ambiguitas-ambiguitas itu. Argumentasi yang disuguhkan ABI tak bisa dibaca
sebagai retorika yang menutupi kepentingan “sesungguhnya”. Sebaliknya,

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

61

Ekonomi-Politik Aksi Bela Islam: Pluralisme dalam Krisis?

argumentasi itu menandai horizon realitas dari mereka yang mengatakan
dan memercayainya. Melalui ketiga ambiguitas di atas—juga ambiguitas lain
yang tak dibicarakan artikel ini—ABI mengekspos posisinya terhadap narasi
pluralisme yang ia berusaha tolak. Ambiguitas-ambiguitas tersebut menandai
usaha ABI untuk memasukkan tafsiran baru atas realitas dan menggantikan
realitas sebelumnya yang dibangun di atas aturan diskursif narasi pluralisme.
Ambiguitas-ambiguitas di atas juga menggambarkan bagaimana narasi
populisme sayap-kanan berusaha untuk membentuk ulang realitas. Dalam
narasi ini, ABI meletakkan umat Islam sebagai kelompok yang rentan baik
secara ekonomi maupun politik. Umat Islam juga terus memperoleh stigmatisasi
yang tak semestinya mereka peroleh. Tindakan ABI yang mengafirmasi ideal
toleransi, demokrasi, dan persatuan nasional sebetulnya mengindikasikan
upaya mereka untuk melampaui eksklusi yang mereka alami selama ini.
Kelompok Islam fundamentalis dipandang bukan sebagai subyek politik yang
sah untuk memasuki gelanggang politik karena dirasa tak toleran, demokratis,
serta mengancam kesatuan nasional. Melalui afirmasi-afirmasi tersebut, ABI
berusaha untuk melewati garis batas eksklusi dan menunjukkan bahwa stigmastigma tersebut tak tepat sasaran. Meski demikian, di saat yang sama, ABI
juga berusaha mengatakan bahwa marjinalisasi dan stigmatisasi terjadi karena
musuh Islam berusaha mencegah umat Islam meraih kemajuan dan kekuatan
serta karena tidak adanya penerapan aturan Islam dalam kehidupan. Penerapan
Islam dalam kehidupan masyarakat dirasa dapat menyelesaikan permasalahan
yang saat ini mendera umat Islam.
Meskipun kemunculan rentetan ABI terasa mendadak, narasi yang diusung
oleh ABI sama sekali tidak baru (Azca, 2011; Hassan, 2005; Subkhan, 2007).
Maka, pertanyaan penting yang perlu dijawab pada momen ini adalah mengapa
narasi populisme sayap-kanan meraih dukungan yang begitu luas? Bagian
selanjutnya berusaha mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan jawaban atas
pertanyaan ini.

Dislokasi Narasi Pluralisme
Salah satu konstituen utama dari aktivisme Islam fundamentalis berasal
dari segmen masyarakat yang, dalam terminologi Marxis, disebut sebagai
“lumpenproletariat”. Sejumlah studi menyebutnya juga sebagai “pekerja
informal” atau “surplus pekerja”. Dalam operasi kapitalisme, surplus pekerja
hadir seiring dengan usaha kelas pemodal untuk meningkatkan keuntungan.

62

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

Rizky Alif Alvian

Agar keuntungan meningkat, kapitalisme dapat melakukan sejumlah inisiatif
seperti menurunkan tingkat upah atau, hingga derajat tertentu, melakukan
mekanisasi. Di luar itu, kapitalisme juga bekerja dengan cara menciptakan
pengangguran dalam skala besar. Hadirnya pengangguran ini—Marx
menyebutnya sebagai “industrial reserve army”—membuat tingkat permintaan
dan penawaran dalam pasar buruh menjadi tak seimbang. Secara ekonomis,
hal ini akan menurunkan tingkat upah buruh. Secara politis, kelas pemodal
memiliki fleksibilitas yang tinggi untuk menekan buruh. Ketika buruh
melakukan protes, pemodal bisa melakukan pemecatan dan mengubah surplus
pekerja menjadi pekerja. Pemodal juga bisa menggunakan surplus pekerja itu
sendiri sebagai basis untuk membatasi pergerakan buruh. Terlepas dari isu
tersebut, surplus pekerja bisa dibilang sebagai elemen yang paling rapuh dari
masyarakat. Mereka terpaksa bekerja pada sektor informal tanpa ada kepastian
mengenai masa depan, tanpa jaminan sosial, dengan tingkat kesejahteraan yang
minimal dan sensitif terhadap gejolak ekonomi. Mereka juga tersebar nyaris
tanpa memiliki organisasi yang mampu memperjuangkan kepentingan mereka
(Harvey, 2006; Marx, 1981).
Dalam lanskap yang lebih luas, menyebarnya ketidakpastian seiring dengan
berubahnya teknik operasi kapitalisme. Dalam pembacaannya terhadap
perubahan kapitalisme, Harvey menunjukkan bahwa “fleksibilitas” telah
menjadi salah satu karakter utama kapitalisme hari ini. Agar bisa terus-menerus
melakukan akumulasi modal, kapital mesti memiliki keleluasaan semaksimal
mungkin untuk melakukan penyesuaian yang memungkinkannya terusmenerus meraih profit. Sejumlah gejala menandai perubahan ini: meningkatnya
fleksibilitas pasar buruh melalui meluasnya pekerjaan alih-daya; tumbuhnya
sektor ekonomi informal; makin lemahnya hak-hak pekerja, khususnya yang
berada di luar sektor formal; serta bertambahnya apa yang disebut Harvey
sebagai pekerja “periferi”. Konsep pekerja periferi memiliki kemiripan dengan
konsep surplus pekerja di atas. Namun, pekerja periferi tumbuh seiring dengan
keinginan kapital untuk mempertahankan sesedikit mungkin pekerja “inti”,
yakni pekerja dengan keterampilan yang tak mudah untuk digantikan begitu saja.
Sementara pekerja periferi mengalami ketidakpastian, pekerja inti memperoleh
lebih banyak keamanan dalam kehidupannya. Argumentasi ini menggambarkan
kecenderungan meluasnya ketidakpastian di dalam masyarakat, melampaui
sekat-sekat yang selama ini dianggap memisahkan “lumpenproletariat” dari
segmen masyarakat yang lain (Harvey, 1989).

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

63

Ekonomi-Politik Aksi Bela Islam: Pluralisme dalam Krisis?

Gagasan di atas memiliki resonansi dengan apa yang terjadi di Indonesia.
Telaah Habibi (2016) menggambarkan bagaimana surplus pekerja terus
tumbuh dalam arena ekonomi-politik Indonesia. Tanpa kepastian dan jaminan
hak yang memadai, surplus pekerja berada dalam keadaan yang begitu rapuh.
Pembacaan van Klinken et. al. (2016) menyepakati gagasan ini sekaligus
memberi gambaran yang lebih utuh. Baginya, ketidakpastian yang dihadapi
masyarakat miskin membuat mereka terpaksa menautkan diri kepada patron
politik yang bisa memberikan sumber daya bagi mereka untuk bertahan hidup.
Di lain sisi, keinginan untuk memperoleh kepastian ekonomi membuat posisiposisi yang stabil di dalam masyarakat menjadi bahan perebutan serius di
antara berbagai kelompok. Sementara mereka yang terlempar dari persaingan
ini mesti menghadapi kehidupan yang lebih sulit, mereka yang memperoleh
posisi-posisi itu perlahan berubah menjadi “elit” yang bisa sedikit mengatur
arah sumber daya. Tetapi, mereka sesungguhnya hanya bisa mengendalikan
kemana rente dari sumber daya itu mengalir sementara sumber daya itu sendiri
tak pernah menjadi milik mereka. Menurut van Klinken, “elit” ini seringkali
juga berangkat dari keinginan untuk memperoleh kepastian. Sumber daya yang
ada pada akhirnya berada di tangan elit sesungguhnya yang relatif tak punya
kedekatan langsung dengan masyarakat miskin (Robison dan Hadiz, 2004).
Sejumlah catatan ini menggambarkan bagaimana ketidakpastian dan kesulitan
telah meluas ke dalam berbagai segmen masyarakat, mulai dari mereka yang
berada di lapis terbawah hingga mereka yang selama ini secara longgar disebut
sebagai “kelas menengah”.
Dalam iklim inilah narasi ABI bisa menemukan tempat. Narasi ABI memiliki
resonansi dengan pengalaman keseharian masyarakat yang seringkali dihinggapi
oleh ketidakpastian dan kesulitan. Meski demikian, hadirnya narasi populisme
sayap-kanan sebagai suatu cerita mengenai dunia hanya dimungkinkan sejauh
narasi pluralisme yang hegemonik menemui batasnya.
Sebagai suatu narasi yang kompleks, narasi pluralisme—yang dijalin oleh narasi
lebih kecil tentang perlunya menghargai perbedaan, menjaga demokrasi,
mengakui hak asasi, dan melindungi persatuan nasional—memiliki setidaknya
dua celah krusial. Pertama, narasi ini menyimpan kesulitan untuk menjelaskan
bagaimana ketimpangan redistribusi kesejahteraan terjadi. Dalam skema narasi
ini, ketertinggalan paling jauh bisa dipahami sebagai efek dari perlakuanperlakuan diskriminatif yang dialami oleh suatu kelompok—seringkali
minoritas—sehingga membuat mereka tak dapat mengakses berbagai sumber
kesejahteraan. Di luar hal ini, narasi pluralisme lebih sering meletakkan problem

64

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

Rizky Alif Alvian

ketimpangan sebagai sesuatu yang tak diperhatikan dan tak terjelaskan. Kedua,
narasi ini juga sukar menjelaskan minimnya akses yang dimiliki suatu kalangan
terhadap arena politik. Narasi ini kesulitan menjelaskan mengapa suara
seseorang tak terdengar dan tak berpengaruh. Skema narasi ini lagi-lagi akan
memahami pertanyaan tersebut dalam kerangka pergulatan politik pengakuan
identitas di dalam suatu masyarakat. Solusinya, stigma yang melandasi tindakan
diskriminasi mesti dihapuskan.
Di saat yang sama, kedua celah ini bertemu dengan salah satu ciri mendasar
dari narasi pluralisme kontemporer: “interpelasi” identitas (Laclau dan Mouffe,
2001; Althusser, 2014; Zizek, 1989; bdk. Foucault, 1982, 1990). Seperti yang
sudah diuraikan pada dua bagian sebelumnya, narasi bekerja bukan hanya
dengan cara membentuk realitas, melainkan juga dengan memberi identitas
kepada manusia yang hidup di dalam realitas itu. Argumentasi Brown (2008)
menjadi penting dalam konteks ini. Menurutnya, narasi pluralisme menuntut
seseorang untuk memahami dirinya berdasarkan identitas kultural yang
dimilikinya: ras, gender, agama, etnis, dan lain sebagainya. Aspek ini merupakan
bagian fundamental yang memungkinkan narasi pluralisme bekerja. Untuk
bisa menoleransi seorang Nasrani, seseorang mula-mula mesti menyadari
bahwa dirinya Islam dan bahwa orang lain adalah Nasrani. Tanpa menyadari
identitas kultural masing-masing dan melihat diri sendiri dalam lensa itu, tak
akan ada perbedaan apapun yang bisa ditoleransi (Fiala, 2005; Forst, 2006;
Mendus, 1988; McKinnon, 2006; lihat juga Forst dan Brown, 2014). Oleh
karenanya, agenda politik rekognisi memiliki dua sisi. Meski agenda ini
memungkinkan adanya penghormatan terhadap identitas seseorang, hegemoni
agenda rekognisi juga membelah masyarakat berdasarkan identitas kultural
mereka (Fraser, 1987, 1995, 2000). Dalam kondisi ini, muncul apa yang kerap
disebut sebagai “kulturalisasi politik”. Seiring dengan terkulturalisasinya
politik, kontestasi terjadi di antara berbagai kelompok yang masing-masing
menggunakan identitas kultural sebagai basis kediriannya. Politik menjadi tak
lebih dari sekadar pertentangan di antara berbagai perbedaan cara hidup di
antara kultur-kultur berbeda (Zizek, 2009; Brown, 2008; lihat juga Zizek, 2002;
Wolff et. al. 1970; Marcuse, 1991).
Hal ini tak pelak menciptakan kesulitan yang lebih serius di dalam narasi
pluralisme. Di satu sisi, seperti yang disinggung di atas, narasi pluralisme
kesulitan untuk menjelaskan mengapa seseorang—yang tak berasal dari identitas
yang mestinya menjadi target diskriminasi—mengalami kesulitan akses terhadap
sumber daya ekonomi maupun politik. Di lain sisi, narasi pluralisme menuntut

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

65

Ekonomi-Politik Aksi Bela Islam: Pluralisme dalam Krisis?

seseorang untuk terus melihat dirinya sendiri dalam kacamata identitas kultural
yang dimilikinya--‘Islam’, ‘pribumi’, ‘Betawi’, dan seterusnya—serta berpolitik
dalam kerangka itu. Padahal, permasalahan ketimpangan yang dihadapi
oleh masyarakat tak dapat diselesaikan dalam kerangka politik kultural yang
dipromosikan oleh narasi pluralisme. Kerentanan seringkali tersebar di dalam
masyarakat tanpa mengikuti alur pembelahan identitas kultural. Kerentanan
itu sebagian besar juga tak diciptakan oleh adanya suatu agenda ekonomi-politik
yang berangkat dari diskriminasi identitas. Di Indonesia, kerentanan menguat
seiring dengan tercerabutnya masyarakat dari akses terhadap sumber daya—
khususnya tanah—sementara di sisi lain tidak terdapat cukup lapangan kerja yang
bisa menyediakan jaminan kesejahteraan bagi mereka. Oleh karenanya, sebagai
narasi yang hegemonik dalam gelanggang politik Indonesia, narasi pluralisme
tak dapat membuat dirinya menjadi relevan dalam isu redistribusi kesejahteraan.
Narasi pluralisme tak bisa mengintegrasikan fenomena kerentanan ke dalam
skema penjelasannya mengenai realitas dan, konsekuensinya, menjadikan
pengalaman atas kerentanan sebagai sebuah peristiwa, sebagai sesuatu yang
tak sepenuhnya terjelaskan. Meskipun permasalahan ini barangkali tak
akan timbul dalam masyarakat yang tidak mempunyai masalah ketimpangan,
meluasnya kesulitan untuk memperoleh kesejahteraan akan membuat narasi
ini rapuh dan terbuka terhadap kemungkinan dislokasi.
Narasi populisme sayap-kanan yang meruncing dalam rentetan kemunculan
ABI dimungkinkan oleh meluasnya kesulitan dan ketidakpastian di dalam
masyarakat, terdislokasinya narasi pluralisme yang hegemonik, serta masuknya
narasi populisme sayap-kanan untuk mengisi celah itu. Meluasnya kesulitan
yang dihadapi oleh masyarakat memberi narasi pluralisme tantangan serius.
Dengan keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya, narasi pluralisme tak
bisa menjelaskan mengapa mereka yang berasal dari identitas dominan
justru mengalami ketidakpastian dan kesulitan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebaliknya, pertanyaan mengenai minimnya akses ekonomi dan politik bagi
kalangan ini justru bisa dikerangkai oleh narasi yang hadir dalam ABI. Bagi
mereka yang secara rutin dilupakan dan disisihkan oleh pranata distribusi
sumber daya ekonomi dan politik, narasi populisme sayap-kanan ABI memberi
penjelasan kepada mereka tentang mengapa kehidupan mereka berjalan seperti
ini dan mengapa tak mudah untuk mengubah kehidupan tersebut meski
kerja keras terus dilakukan setiap hari. Keberadaan musuh-musuh Islam yang
berusaha menghambat kemajuan umat, kebodohan yang mendera penguasa
akibat buruknya akhlak mereka, atau mundurnya moralitas masyarakat akibat

66

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

Rizky Alif Alvian

dilupakannya syariat menjadi sejumlah penjelasan yang justru hadir untuk
mengurai pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sementara narasi populisme sayapkanan ini menemui banyak resonansi dengan pengalaman keseharian mereka
yang diwarnai dengan ketidaksetaraan, ketidakberdayaan, dan ketertinggalan,
narasi pluralisme tak punya banyak hal untuk dikatakan.

Kesimpulan
Artikel ini berusaha mengatakan bahwa kemunculan rentetan ABI bisa dipahami
sebagai efek dari dislokasi yang dialami narasi pluralisme, khususnya di kalangan
kelas sosial yang paling rapuh di dalam masyarakat. Narasi pluralisme tak dapat
memberikan penjelasan tentang mengapa kesulitan hidup enggan menghilang
sembari di saat yang sama tak mampu melengkapi mereka dengan bahasa
yang mampu membantu mereka menyuarakan kepentingan mereka. Narasi
populisme sayap-kanan hadir untuk mengisi celah yang ditinggalkan oleh narasi
pluralisme ini. Di tengah minimnya data primer mengenai ABI, argumentasi
ini tentu saja lebih tepat diperlakukan sebagai suatu perkiraan yang kasar atas
fenomena ABI, alih-alih sebagai suatu argumentasi yang sepenuhnya presisi.
Satu hal penting yang belum dieksplorasi oleh artikel ini adalah ketiadaan
agenda alternatif selain narasi pluralisme dan populisme sayap-kanan yang
dapat mengisi celah narasi pluralisme. Masuknya narasi populisme sayap-kanan,
selain dimungkinkan oleh melemahnya narasi pluralisme, juga dimungkinkan
oleh ketiadaan narasi alternatif yang bukan hanya bisa memberikan jawaban
bagi keresahan yang meluas, tetapi juga cukup kuat untuk bersaing dan menjadi
hegemonik dalam arena politik.
Pada akhirnya, artikel ini berpendapat bahwa kehadiran ABI paling tepat
dipahami sebagai sebuah gejala dari proses lebih besar yang melatarinya. Meski
isu rekonfigurasi elit politik merupakan isu penting yang tak bisa disisihkan dari
arena perdebatan, artikel ini berargumen bahwa fenomena ABI justru menjadi
penanda penting mengenai keberadaan sebuah krisis di dalam masyarakat.
ABI hadir sebagai titik puncak dari ketidakmampuan kita untuk memastikan
kesetaraan akses ekonomi dan politik di dalam masyarakat; menciptakan
arena ekonomi dan politik yang inklusif; mengarus-utamakan suara keresahan
masyarakat mengenai kehidupan keseharian mereka; membangun kedekatan
dengan mereka yang tersisih dalam pergulatan ekonomi-politik; serta
menciptakan agenda politik yang punya tautan dengan kehidupan seharihari masyarakat, terutama mereka yang tersisih dalam pergulatan ekonomi-

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

67

Ekonomi-Politik Aksi Bela Islam: Pluralisme dalam Krisis?

politik. Hal ini tak serta-merta membuat agenda politik pluralisme menjadi tak
bermakna dan mesti ditinggalkan. Pertanyaan yang mesti diurai justru adalah
bagaimana menautkan “politik kesejahteraan” dengan “politik pengakuan”;
antara kesetaraan sumber daya dan kesetaraan identitas. Berbagai jawaban
telah berusaha disodorkan untuk menjawab pertanyaan ini (lihat, misalnya,
Fraser (1995, 2000) dan Harvey (2000)). Menemukan jawaban yang tepat bagi
pertanyaan ini akan menentukan kemana masyarakat Indonesia akan bergerak
di masa depan.

vwv

Daftar Pustaka
Althusser, Louis. On the Reproduction of Capitalism: Ideology and Ideological State
Apparatuses. London ; New York: Verso, 2014.
Azca, Najib. “After Jihad: A Biographical Approach Toward Passionate Politics
in Indonesia,.” Ph.d thesis. Amsterdam Institute for Social Science
Research, 2011.
Bakker, Laurens. “Organized Violence and the State: Evolving Vigilantism in
Indonesia.” Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the
Humanities and Social Sciences of Southeast Asia 172.2–3 (2016): 249–277.
Brown, Wendy. Regulating Aversion: Tolerance in the Age of Identity and Empire.
Princeton, N.J.; Woodstock: Princeton University Press, 2008.
_____. The Power of Tolerance: A Debate. New York: Columbia University Press,
2014.
Fiala, Andrew. Tolerance and the Ethical Life. London: Continuum, 2007.
Forst, Rainer. Toleration in Conflict: Past and Present. Cambridge ; New York:
Cambridge University Press, 2013.
Foucault, Michel. The Archaeology of Knowledge. New York, NY: Pantheon Books,
1982.
_____. The History of Sexuality. Vintage Books ed. New York: Vintage Books,
1990.
Fraser, Nancy. “From Redistribution to Recognition: Dilemma of Justice in
Post-Socialist Age.” New Left Review 212 (1995): 68–93.
_____. “Rethinking Recognition.” New Left Review 3 (2000): 107–120.
_____. “Women, Welfare and The Politics of Need Interpretation.” Hypatia 2.1
(1987): 103–121.
Habibi, Muhtar. Surplus Pekerja Di Kapitalisme Pinggiran: Relasi Kelas, Akumulasi,
Dan Proletariat Informal Di Indonesia Sejak 1980an. Tangerang Selatan:
Marjin Kiri, 2016.

68

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

Rizky Alif Alvian

Hadiz, Vedi R. “The Organizational Vehicles of Islamic Political Dissent: Social
Bases, Genealogies and Strategies.” Between Dissent and Power. Ed. Khoo
Boo Teik, Vedi R. Hadiz, and Yoshihiro Nakanishi. London: Palgrave
Macmillan UK, 2014. 42–65.
Harvey, David. Cosmopolitanism and the Geographies of Freedom. New York:
Columbia University Press, 2009.
Harvey, David. Justice, Nature, and the Geography of Difference. Cambridge, Mass:
Blackwell Publishers, 1996.
_____. Spaces of Capital: Towards a Critical Geography. New York: Routledge,
2001
_____. Spaces of Hope. Berkeley: University of California Press, 2000.
_____. The Condition of Postmodernity: An Enquiry into the Origins of Cultural
Change. Oxford Cambridge: Blackwell, 1989.
_____. The Limits to Capital. New York: Verso, 2006.
_____. The New Imperialism. Oxford; New York: Oxford University Press, 2005.
Hasibuan, Dana, and Rizky Alvian. “Citizenship and the Politics of Space in
Indonesia: Reflections on the Politics of Pluralism in DI Yogyakarta.”
Yogyakarta, Indonesia: KITLV-UGM, 2016.
Hassan, Noorhaidi. “Laskar Jihad: Islam, Identity, and the Quest for Identity.”
Ph.d thesis. Utrecht University, 2005.
Homer, Sean. Jacques Lacan. London ; New York: Routledge, 2005.
Klinken, Gerry van, and Ward Berenschot. In search of Middle Indonesia: kelas
menengah di kota-kota menengah. Jakarta: KITLV-Jakarta dan Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2016. .
Laclau, Ernesto. On Populist Reason. London: Verso, 2007.
Laclau, Ernesto, and Chantal Mouffe. Hegemony and Socialist Strategy: Towards a
Radical Democratic Politics. 2nd ed. London ; New York: Verso, 2001.
Marcuse, Herbert. One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced
Industrial Society. Boston: Beacon Press, 1991.
Marx, Karl, Ben Fowkes, and David Fernbach. Capital: A Critique of Political
Economy. London ; New York, N.Y: Penguin Books in association with
New Left Review, 1981. .
McKinnon, Catriona. Toleration: A Critical Introduction. London ; New York:
Routledge, 2006.
Mendus, Susan. Justifying Toleration: Conceptual and Historical Perspectives. N.p.,
1988.
Mouffe, Chantal, ed. Dimensions of Radical Democracy: Pluralism, Citizenship,
Community. London ; New York: Verso, 1992.

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

69

Ekonomi-Politik Aksi Bela Islam: Pluralisme dalam Krisis?

_____. On the Political. London ; New York: Routledge, 2005.
_____. The Democratic Paradox. London ; New York: Verso, 2000.
Robison, Richard, and Vedi R. Hadiz. Reorganising Power in Indonesia: The Politics
of Oligarchy in an Age of Markets. London ; New York: RoutledgeCurzon,
2004.
Smith, Neil. Uneven Development: Nature, Capital, and the Production of Space. 3rd
ed. Athens: University of Georgia Press, 2008.
Stavrakakis, Yannis. Lacan and the Political. London ; New York: Routledge,
1999. Thinking the Political.
Subkhan, Imam. Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme Di Yogya: City of Tolerance.
Yogyakarta, Indonesia: Penerbit Kanisius : Impulse, 2007.
Telle, Kari. “Vigilante Citizenship: Sovereign Practices and the Politics of Insult
in Indonesia.” Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the
Humanities and Social Sciences of Southeast Asia 169.2–3 (2013): 183–212.
Toscano, Alberto. Fanaticism: On the Uses of an Idea. London ; New York: Verso,
2010.
Wilson, Ian. “Reconfiguring Rackets: Racket Regimes, Protection and the State
in Post-New Order Jakarta.” The State and Illegality in Indonesia. Brill,
2011. 239–259.
Wilson, Ian. “Resisting Democracy: Front Pembela Islam and Indonesia’s 2014
Elections.” ISEAS Perspective 10 (2014)
Wolff, Robert Paul, Barrington Moore, and Herbert Marcuse. A Critique of Pure
Tolerance. 5th ing. Boston: Beacon Press, 1970.
Žižek, Slavoj. “A Plea for Leninist Intolerance.” Critical Inquiry 28.2 (2002):
542–566.
_____. The Sublime Object of Ideology. London ; New York: Verso, 1989.
_____. Violence: Six Sideways Reflections. London: Profile Books, 2009.

70

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016