Tiga Tesis Mengapa PRP Berpeluang Menjad
Tiga Tesis Mengapa PRP Berpeluang Menjadi Partai
Kelas Pekerja
13/12/2012
Share on Facebook Tweet on Twitter
Partai Rakyat Pekerja
Partai Rakyat Pekerja
Pidato Politik Pimpinan Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja
Nomor: 432/PI/KP-PRP/i/XI/12
(Disampaikan pada Pembukaan Kongres III Perhimpunan Rakyat Pekerja)
Tiga Tesis Mengapa PRP Berpeluang Menjadi Partai Kelas Pekerja
Garut, 22 Nopember 2012
“Hanya politik Sosialisme yang akan dapat menggerakkan rakyat Indonesia
mencapai kemerdekaannya untuk memerintah negaranya sendiri
dan membagi secara adil pendapatan Negara”
(Semaoen)
Kawan-kawan seperjuangan,
Pada hari ini kader-kader PRP akan berkongres sampai 25 Nopember 2012.
Sebagai kader PRP kita patut berbangga hati, di tengah cibiran yang mengira
perjuangan kelas bukan zamannya lagi, kita telah menjadi perhimpunan yang
mempersiapkan partai kelas pekerja Sekalipun di tengah cibiran bahwa menjadi
anggota perhimpunan hanya membuang waktu, hanya investasi keringat-pikirandana tanpa prospek, tanpa status sosial, tanpa pangkat dan kekayaan, ternyata kita
dapat menyelenggarakan Kongres III. Sedari lahirnya pada 2004 sampai Kongres III
pada 2012, hanya kader yang memiliki kesabaran dan kesetiaan, yang berpikir
ilmiah, yang tidak bermental budak, yang kritis membaca perkembangan dan
perubahan, yang masih bertahan di PRP.
Keadaan kader kita saat ini, hanya sedikit jumlah perempuannya, karena sekali pun
mereka aktivis, dapat terkilir daya tahan perjuangannya. Memang tidak mudah bagi
perempuan untuk berjuang di dalam Perhimpunan Rakyat Pekerja, karena ia harus
berjuang ganda untuk feminisme dan perjuangan kelas pekerja. Dua perjuangan
ganda yang secara umum kurang mendapat perhatian dari kader rakyat pekerja.
Adapun kader laki-laki karena dituntut sebagai pencari nafkah utama, maka menjadi
kader PRP bukan pilihan yang tepat, jika kader itu telah terbawa ke dalam logika
keluarga kapitalis. Keluarga kapitalis menuntut kepemilikan pribadi berdasarkan
standar konsumtif, dan runyamnya, norma sosial mensyaratkan hal itu sebagai
ukuran keberhasilan. Sedangkan menjadi kader PRP saat ini adalah tidak menyerah
dalam tawanan kepemilikan pribadi versi standar kapitalis. Maka yang sampai saat
ini masih setia sebagai kader tentulah manusia pilihan, manusia yang setia
terhadap azas organisasi, yang kokoh terhadap prinsip politik dan ideologi, serta
yang berhasil membangun keluarga perjuangan.
Itulah keadaan kita. Kita patut bersyukur telah melampaui rongrongan dari kader
yang menghambat prinsip politik dan ideologi, serta berbagai tindak indisipliner.
Sedangkan perjuangan kita pada dewasa ini dan ke depan dalam perkembangan
politik nasional yang liberal-konservatif dan sebagai NIC (new industrial country)
yang berbasis konsumsi. Kita berada di tengah berbagai ilusi demokrasi, ilusi
hedonisme, tetapi juga ilusi heroisme sebagai pejuang rakyat. Hidup kita sebagai
kader digempur oleh krisis dan ilusi, sedangkan perhimpunan kita masih rapuh
untuk membangun daya ofensif-aktif, sehingga taktik bertahan kita masih pada
tahap defensif-aktif.
Kawan-kawan seperjuangan,
Mari, kita pelajari terlebih dahulu bagaimana situasi akumulasi-kapital saat ini. Kita
tahu bahwa sentral akumulasi-kapital yang berada di kawasan tertentu Eropa dan
Amerika Serikat sedang mengalami krisis. Apakah krisis mereka ini? Barangkali
secara awam kita membayangkan akumulasi-kapital merupakan kekayaan yang tak
terbatas. Tetapi tidak begitu, menurut Karl Marx, akumulasi-kapital mempunyai
batas-batasnya. Ketika terjadi keberlebihan-akumulasi-kapital, justru akan
menimbulkan krisis. Keadaan itu yang dialami Amerika Serikat dan Eropa yang
meledak pada tahun 2008. Sebab, keberlebihan-akumulasi-kapital itu berasal dari
cabang produksi tertentu, seperti properti dan manufaktur, namun terjadi tanpa
proporsional. Tanpa proporsional artinya, terjadi pertumbuhan penawaran (supply)
yang terlampau cepat dan berkelebihan untuk cabang produksi tertentu dibanding
dengan cabang produksi lainnya. Hal ini mengakibatkan terjadinya perkembangan
kekuatan produksi dan nilai profit yang tidak merata pula. Semakin tinggi
pertumbuhan penawaran, semakin rendah nilai profit yang diperoleh.Paradoksnya,
keseimbangan akumulasi-kapital memerlukan tingkat pertumbuhan penawaran
yang tinggi, tetapi justru hal itu menurunkan tingkat profit. Sedangkan nilai profit
merupakan jaminan bagi terselenggaranya proses reproduksi kapitalis, jaminan bagi
kelestarian akumulasi-kapital. Jika nilai keuntungan ini mengalami penurunan, maka
proses reproduksi itu mengalami goncangan, sehingga nilai kapital harus
didevaluasi (penurunan nilai uang), demi merestorasi nilai profit. Maka Dollar-AS
dan Euro pun mengalami devaluasi sehingga angka pertumbuhannya saat ini hanya
mencapai 2% untuk Amerika Serikat, dan 0,1% untuk Eropa.
Betapa benar pendapat Kawan Marx, dan berulangkali terbukti benar. Dengan
adanya krisis ini, Amerika Serikat bukan lagi negara adikuasa, demikian juga
sebagian negara-negara Eropa. Sedangkan dari Asia Timur telah bangkit China
dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 7,4% dan sanggup menalangi defisit yang
dihadapi sentral kapitalis. Kini, China berupaya membangun blok ekonomi, dimana
Indonesia diajak serta, untuk menanggapi pembentukan blok ekonomi Amerika
Serikat yang disebut Trans Pacific-Partnership (TPP) dan tidak menyertakan China.
Usaha Amerika Serikat untuk melanggengkan penjajahan terhadap kawasan
satelitnya, kini menghadapi persaingan yang kuat. Ini artinya, Indonesia bakal tidak
sepenuhnya menjadi satelit Amerika Serikat-Eropa, karena ada China. Lalu sebagai
geografi eksploitasi bagi pembangunan akumulasi kapital Amerika Serikat-Eropa,
justru kini Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3%. Pemerintah
Indonesia yang diwajibkan blok sentral-kapitalis untuk menyediakan tenaga kerja,
pembangunan infrastruktur fisik untuk investasi dan perdagangan bebas, malahan
memperoleh peningkatan profit. Kontradiksi sentra versus satelit kapitalis ini berkat
sumbangan sektor jasa dan konsumsi manufaktur yang dipasok oleh barang dari
China.
Tetapi apa lacur. Peningkatan profit itu justru menaikkan hasrat belanja konsumsi
manufaktur dan jasa yang semakin tinggi. Golongan menengah-atas dari Indonesia
berduyun-duyun sebagai turis yang membuang uang di negara-negara sentral
kapitalis. Sedangkan pengobatan krisis di sentral kapitalis memang membutuhkan
suntikan belanja konsumsi yang tinggi, yang hal ini dipenuhi oleh golongan
menengah-atas dari Indonesia. Peningkatan profit ini juga diserap oleh birokrat dan
politisi borjuasi, baik individu, kolektif, maupun institusi, untuk berkompetisi
memperoleh atau mempertahankan jabatan politik. Pembongkaran oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap skandal korupsi yang saat ini melibatkan
politisi Partai Demokrat dan Kepolisian menandakan, bagaimana dana-dana dijarah
untuk politik suap atau membeli suara konstituen. Sedangkan politisi pengusaha
yang mengusai bisnis televisi setiap hari bersaing mengkonstruksi berita sesuai
dengan kepentingan politiknya.
Malang benar rakyat pekerja. Terjadinya peningkatan profit ini tak setetes pun
diserapnya. Malahan terjadi pengekangan terhadap upah, pengambil-alihan tanah,
pengusiran petani dari dakuan (klaim) perusahaan perkebunan dan tambang,
penghancuran tanamam pangan menjadi komoditas industri besar, penghancuran
pantai dan pengambil-alihan laut. Demi penghancuran dan pengambil-alihan ini
dibuatlah berbagai rancangan undang-undang, seperti Rancangan Undang-Undang
(RUU) Organisasi Massa (Keormassan), RUU Keamanan Nasional (Kamnas), RUU
Keamanan Nasional (Kamnas), RUU KUHP, UU Penanganan Konflik Sosial, UU
Intelijen, UU BPJS, dan UU Pengadaan Tanah.
Memang demikianlah. Kaum borjuasi di dalam satelit kapitalis bertugas untuk
menjaga proses keberlangsungan akumulasi-kapital, sekalipun mereka mencurinya
pula. Adalah tugasnya pula untuk melanggengkan prinsip bahwa kemenjadian
sistem kapitalis karena harus ada pada susunan kelas proletar dan tenaga kerja
upahan. Karena itu buruh dan laskar cadangan (yang sewaktu-waktu dibutuhkan
bagi produksi kapitalis) tidak akan pernah mendapat keuntungan dari pertumbuhan
ekonomi nasional.
Terang sudah. Indonesia yang menyatakan diri sebagai negara industri baru (new
industrial country) hanya ilusi yang dinyanyikan pemimpin politik borjuasi kepada
rakyat pekerja!
Kawan-kawan seperjuangan,
Benderang sekali apa yang telah dan bakal kita hadapi di masa depan. Bukan
maksud kita untuk membuat hidup rakyat pekerja tidak bisa tidur, tidak bahagia,
murung dan apatis. Bukan pula maksud kita untuk menghancurkan semangat juang
yang kini mengalami kemajauan-kemajuan radikal. Sungguh tidak! Kita justru
hendak mengajak rakyat pekerja secara rasional dapat menilai apa yang selalu
dihadapi dalam perkembangan ekonomi-politik. Rakyat pekerja dapat menganalisa
serta menyusun strategi dan taktik dalam perjuangan kelas pekerja.
Mari kita pelajari trend kesadaran politik massa secara umum. Telah kita sampaikan
di atas, bahwa kelas borjuasi nasional sebagai terwakil dari partai politik, sedang
menjarah profit pertumbuhan ekonomi untuk politik elektoral hingga tahun 2014.
Dalam penjarahan profit ini terjadi kompetisi antara aliansi borjuasi nasional versus
aliansi borjuasi regional/lokal, yang runyamnya, dimutasikan pada masalah SARA
(Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan) di kalangan rakyat pekerja. Perang antarkampung, bantai- membantai, dan bakar-membakar diantara rakyat pekerja,
dengan korban nyawa dan harta-benda yang tidak murah, adalah contoh mutasi
konflik tersebut. Sungguh mengenaskan. Pesta profit dinikmati pembuat konflik,
yang penderitaannya ditanggung rakyat pekerja.
Adapun kesadaran politik golongan menengah mencapai bentuk ketidakpercayaan
terhadap politisi borjuasi dan partai politiknya. Sikap itu ditunjukkan dengan, pada
mulanya, mereka bersikap ‘golput’ dalam proses elektoral, lalu setelah Pemilu 2004
wacana untuk mengusung calon independen dari kalangan aktivis mengemuka, dan
setelah Pemilu 2009 terwujud untuk mencari karakter pemimpin yang populis.
Proses elektoral untuk Gubernur Jakarta pada tahun ini, yang dimenangkan oleh
pasangan Jokowi-Ahok adalah penanda pergeseran dari ‘golput’ ke figur populis.
Kemenangan figur populis terhadap antek politik kartel, telah membangun
selangkah keyakinan terhadap tesis bahwa partai politik tidak penting. Karena
kemenangan Jokowi-Ahok, bukanlah kerja sistematis mesin partai politik
pengusungnya, melainkan karena gerakan moral warga –baik di kampung maupun
media sosial. Preseden ini kiranya akan menggelinding dalam proses elektoral
eksekutif di tempat lainnya. Memilih pemimpin populis pada peran eksekutif kini
dipandang lebih strategis ketimbang memilih pemimpin legislatif. Figur populis
adalah pemimpin yang tidak menggunakan alat politik borjuasi, sekalipun JokowiAhok didukung oleh partai politik borjuasi, namun kemenangannya didukung oleh
mayoritas kaum urban miskin dan golongan menengah yang menderita
keprihatinan sosial-politik. Semakin figur populis mengalami ‘penganiayaan’ dari
lawannya, semakin besar dukungan massa terhadapnya. Kemenangan Megawati
pada masa Orde Baru adalah karena ia dianiaya, seperti halnya Sukarno ayahnya,
dan kini Jokowi-Ahok.
Trend terhadap pemimpin populis saat ini memang membawa angin segar dalam
tradisi demokrasi elektoral yang pro-borjuasi. Tetapi, dapat berbahaya, karena
karakter pendukung yang fanatik cenderung melakukan pemujaan di luar batas,
sehingga justru menciptakan relasi patron-klien, suatu bentuk relasi yang feodal.
Apalagi, jika para pendukung yang fanatik ini tidak percaya kepada partai politik,
sedangkan pemimpin populis itu berbasiskan partai politik borjuasi.
Betapa rentannya gerakan moral populis ini. Karena berlandaskan pada moralitas
dan mempercayai bahwa kekuatannya yang tak terorganisasi secara politik akan
mampu mengontrol figur pemimpin populisnya. Pandangan ini seperti
mengandaikan datangnya Ratu Adil yang bakal membawa perubahan ke arah
gemah ripah loh jinawi, yakni kemakmuran dan kedamaian. Pandangan ini
merupakan ilusi terhadap kepemimpinan figur orang dan bukan pada organisasi
politik. Sedangkan kita merindukan kepemimpinan organisasi politik dengan
penciptaan sistem dan program-program yang memungkinkan rakyat pekerja
memberikan kepemimpinannya.
Namun begitu, material kesadaran politik massa, terutama dari golongan
menengah ini tetap kita apresiasi sebagai perkembangan maju. Sebagaimana
halnya kita mengapresiasi tumbuhnya radikalisasi politik dari serikat-serikat buruh
dan perlawanan lokal petani. Sikap keduanya terhadap elektoral dapat kita pindai
seperti ini:
Pertama, yang bersikap menitip diri sendiri atau menjadi utusan organisasi untuk
berkongkalikong (engagement) dengan partai politik borjuasi, terutama pada pemilu
legislatif. Sikap seperti ini ada pada golongan menengah aktivis dan beberapa
pimpinan serikat buruh. Terbukti sejak proses elektoral tahun 1999, pola
engagement dengan partai borjuasi tidak mengubah formasi politik kartel borjuasi.
Sikap seperti ini malahan tetap akan dipergunakan berapa pimpinan gerakan buruh
dalam rangka go politic pada Pemilu 2014. Adapun golongan menengah aktivis,
atas pengalaman kegagalan mengikuti pemili legislative, individu-individu itu masuk
ke dalam tubuh partai borjuasi.
Kedua, yang bersikap antipartai politik borjuasi dan partai kelas, baik yang ikut
elektoral maupun tidak, melainkan memilih sebagai atom bebas (individu) tanpa
partai dan tanpa organisasi massa. Individu ini cukup aktif dalam berbagai aksi
gerakan moral dan kian menjadi kecenderungan sikap umum golongan menengah
intelektual maupun aktivis.
Ketiga, yang anti-elektoral, anti partai borjuasi, anti-pemimpin populis, namun
berilusi revolusi akan terjadi ‘besok lusa’. Sikap ini banyak menjangkiti aktivis yang
merasa progresif-revolusioner tetapi tidak melakukan pembangunan partai politik
kelas pekerja untuk menciptakan dan memimpin revolusi. Mereka cukup aktif
melakukan agitasi sembari menunggu datangnya momentum revolusi. Sikap ini
serupa juga dengan menunggu datangnya Ratu Adil dari ruang angkasa, meyakini
asas “sesuatu datangnya dari ruang dan waktu yang tak terduga”.
Ketiga sikap politik itu sama-sama menonjol saat ini. Alhasil semakin menciptakan
kemenjadian barisan individu yang sadar politik dan kebebasan negatif, yakni yang
tidak terikat oleh kewajiban dan tanggung jawab organisasional. Karena
partisipasinya semata dilandasi oleh kerelawanan, keprihatinan, dan waktu luang
yang dimilikinya. Trend golongan menengah ini merupakan buah dari keberhasilan
politik liberal dalam bangunan demokrasi saat ini. Trend “individu-politik” ini
kontradiktif dengan kesadaran politik kelas pekerja yang teroganisir dalam satuansatuan serikat buruh, tani, nelayan, dan perempuan di dalamnya. Alhasil, trend
“individu-politik” ini akan mendukung kokohnya kontradiksi kelas dengan kesadaran
politik kelas pekerja.
Inilah perkembangan perkembangan kesadaran politik massa setelah pemilu 2009.
Kawan-kawan seperjuangan,
Dengan membaca (1) perkembangan krisis di pusat-akumulasi-kapital, (2)
perkembangan politik elektoral, dan (3) kesadaran politik massa, kita menemukan
kekhususan kontradiksi di dalamnya. Dalam akumulasi-kapital, kita menemukan
kontradiksi penurunan profit di pusat kapital dengan kenaikan profit di satelit
kapital. Kenaikan profit di satelit kapital menjadi modal borjuasi politik kartel untuk
berkompetisi elektoral sampai tahun 2014. Dalam politik elektoral kita menemukan
kontradiksi antara pemimpin dari politik kartel dengan pemimpin populis yang
menyimpang (deviasi) dari kartel politiknya. Dalam kesadaran politik massa kita
menemukan kontradiksi antara golongan menengah yang “individu-politik” dengan
kelas pekerja yang beroganisasi serikat. Untuk melawan keumuman kontradiksi,
yakni borjuasi (kapitalis) dengan kelas pekerja, kita membutuhkan partai politik
kelas pekerja untuk memimpin perubahan-perubahan segi pokok dalam kekhususan
kontradiksi tersebut. Dalam kesadaran politik massa, partai politik kelas pekerja
diperlukan untuk memimpin kesadaran politik kelas menjadi segi pokok. Dalam
politik elektoral, partai politik kelas diperlukan untuk mengubah dominasi politik
kartel borjuasi. Dalam krisis di pusat-akumulasi-kapital, kita memerlukan partai
kelas untuk memimpin satelit-akumulasi-kapital memperoleh kemenangan
penguasaan kapital oleh kelas pekerja untuk membangun sistem yang Sosialis.
Itulah argumentasi mengapa kita membutuhkan partai kelas pekerja! Mengapa
Partai kelas pekerja tetap relevan dan signifikan pada zaman sekarang? Tanpa
adanya partai kelas pekerja, siapa yang akan memimpin satuan-satuan organisasi
massa buruh, serikat tani, serikat nelayan, dan kaum perempuan di dalamnya,
untuk membangun persatuan kelas, untuk menciptakan syarat perjuangan kelas?
Partai kelas pekerja memperjuangkan kekuasaan politik kelas pekerja dengan
kepemimpinan kelas pekerja yang terorganisir, dan ideologi kelas pekerja yang
memberikan panduan bagi tindakan-tindakan politik kelas pekerja. Kekuasaan
politik kelas pekerja menuju pada proyek terwujudnya rezim Sosialisme untuk
menggantikan rezim kapitalisme-neoliberal, yang saat ini menindas dan menghisap
rakyat demi kepentingan dan keberlanjutan sistem kapitalisme.
Dalam Kongres II telah dimandatkan PRP akan menjadi sebuah partai kelas pekerja.
Kini dalam usianya perjalanannya yang mencapai 8 tahun lebih, dapatkah PRP
meningkatkan status Perhimpunan Rakyat Pekerja menjadi Partai kelas pekerja? Kita
telah memimiliki modal: pengalaman mempraktikkan ideologi-politik-organisasi
(IPO), pun pemimpin dari kelas pekerja kini telah bermunculan.
Lalu apakah yang kita maksud tentang sebuah Partai kelas pekerja?
Partai kelas pekerja adalah partai kader, yang terdiri dari keanggotaan individu,
yang memiliki struktur teritorial, yang memiliki konstitusi, dan norma disipliner.
Tugas kader di dalam Partai kelas pekerja adalah melakukan perluasan teritorial,
rekrutmen anggota, melakukan propaganda, menyelenggarakan pendidikan kader,
memberikan kepemimpinan terhadap satuan-satuan organisasi massa kelas
pekerja, dan menciptakan persatuan di dalam kekhususan kontradiksi, di dalam
kesadaran massa secara bersyarat. Apa yang disebut syarat persatuan kesadaran
politik massa adalah kecocokan dalam menentukan musuh utama kelas pekerja,
yakni kapitalisme dalam berbagai bentuknya. Karena itu kesadaran politik massa ini
kita sebut kesadaran rakyat pekerja. Golongan menengah pun adalah rakyat
pekerja, tetapi mereka bukan kelas buruh, petani, dan nelayan. Selama golongan
menengah mempunyai kecocokan dengan politik kelas pekerja untuk melawan
musuh utama, mereka adalah rakyat pekerja yang memungkinkan menjadi anggota
Partai kelas pekerja.
Adalah tugas kita dalam Kongres III ini untuk menjadikan PRP sebagai Partai kelas
pekerja. Adalah tugas kita dalam Kongres ini untuk menyusun taktik dan strategi
lebih rinci serta operasional dalam memperkuat PRP sebagai Partai kelas pekerja.
Adalah tugas kita untuk mengkaji sejarah Partai kelas pekerja dan perjuangannya,
bukan untuk gagah-gagahan dan meromantisirnya, melainkan untuk mempelajari
keadaan-keadaannya, kegagalan dan keberhasilannya. Adalah tugas kita untuk
menciptakan sosok segar Partai kelas pekerja dan perjuangan kelasnya di Indonesia.
Inilah tantangan Kongres III PRP. Tantangan untuk mampu menanggapi
perkembangan situasi ekonomi-politik abad ke-21, dan keadaan negeri kita yang
dikuasai politik liberal-konservatif. Liberal terhadap kapitalisme, namun konservatif
terhadap dinamika perubahan kesadaran politik rakyat pekerja. Tantangan untuk
menciptakan program-program politik yang bersiku-sudut dengan politik elektoral
dan kesadaran politik massa yang majemuk.
Tetapi tugas kader tak cukup membangun partai kelas..
Masih ada problem yang menghambat perkembangan ruang dan aspirasi Sosialisme
dalam situasi sekarang, karena kelas pekerja masih absen dalam proses elektoral.
Kita telah absen di ruang elektoral selama kurang lebih 14 tahun, alhasil
membiarkan partai politik borjuasi sukses melakukan kooptasi. Sebaliknya, tumbuh
kecenderungan rendah diri di kalangan rakyat pekerja untuk memajukan
perjuangan politiknya yang strategis dan otonom.
Jadi, tugas kader partai kelas pekerja ialah memenangkan kelas pekerja sebagai
segi pokok di dalam kontradiksi politik elektoral. Sebagai catatan, kita tidak anti
terhadap pemimpin populis, tetapi pemimpin populis tidaklah memiliki kesatuanideologi-politik dengan kelas pekerja. Oleh karena itu, kita memerlukan partai politik
elektoral, yakni persatuan perjuangan dengan partai politik rakyat pekerja untuk
berpartisipasi dalam proses elektoral. Sebagai persatuan perjuangan, partai ini
berupa payung dari partai-partai politik rakyat pekerja, tanpa menghilangkan
eksistensi masing-masing partai tersebut. Adalah tantangan Kongres ini untuk
merancang rute perjalanan menuju persatuan politik rakyat pekerja. Rancangan
yang harus disertai penghitungan waktu yang tepat.
Jelaslah, tugas kader Partai kelas pekerja adalah untuk memenangkan segi pokok
dalam kontradiksi kesadaran politik massa. Sedangkan tugas partai persatuan
rakyat pekerja yang berpartisipasi dalam proses elektoral adalah memenangkan
segi pokok dalam kontradiksi politik elektoral.
Kawan-kawan seperjuangan,
Jangan pernah lupa, bahwa setiap gerak akan menciptakan kekhususan
kontradiksinya. PRP sebagai Partai kelas pekerja pun memiliki kontradiksi di
dalamnya. Kontradiksi itu yang selama ini kita kenal sebagai relasi organisasi politik
(orpol) dengan organisasi massa (ormas). Masalah ini tetap akan membayangi
dalam praktik kesatuan ideologi-politik-organisasi (IPO) kita. Kawan Lenin pun telah
mengingatkan, bahwa dalam setiap gerak IPO kita terkandung sepasang hal yang
bertentangan. Tantangan ini harus terus menerus hidup dalam kesadaran kita
sebagai kader PRP, dan kita menyediakan metode kritik-otokritik untuk memelihara
kesatuan ideologi-politik-organisasi kita.
Apapun, pada usianya yang ke-8 ini, orpol kita telah berhasil mematahkan mitos
bahwa sektor manufaktur dan non-manufaktur tak dapat disatukan dalam sebuah
ormas. Nyatanya mitos itu telah tumbang. Namun demikian, janganlah kita cepat
puas. Ormas kelas pekerja harus lebih maju lagi dalam merancang program,
menentukan orientasi dan arah perkembangan kerja organisasinya. Kader-kader
ormas harus belajar lebih sabar, giat dan cermat dalam membuat penilaian
(assessment) yang berbasis analisis situasi. Agar seperti ormas buruh, contohnya,
dapat membangun pewadahan untuk menggarap jumlah buruh yang tidak
teorganisir atau masih lemah organisasinya.
Tentu kita masih banyak kelemahan menciptakan relasi orpol dengan ormas. Tetapi
bukan berarti mengurungkan perubahan perhimpunan menjadi Partai kelas pekerja.
Sebagai penutup, kita boleh mengapresiasi Konfederasi Serikat Nasional (KSN) yang
gencar memperjuangkan Trikosum (tolak privatisasi, union busting, outsourcing, dan
upah murah), antara lain melalui metode pemogokan serikat pabrik/perusahaan,
pengajuan kasus ke Pengadilan Hukum Industrial, dan sebagainya. KSN merupakan
terobosan baru yang berhasil membangun persatuan organisasi buruh perkebunanmanufaktur-badan usaha milik negara-kertas dan pulp. Kita patut mengapresiasi
Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) yang berhasil merajut persatuan
berbagai sektor organisasi kelas dan rakyat pekerja. Kita pun berharap
perkembangan ini juga dicapai oleh serikat nelayan, serikat perempuan, serikat
miskin kota dan pedagang asongan.
Pada akhirnya, selamat berkongres!
Jangan lelah memperjuangkan Sosialisme!
Sosialisme, Jalan Sejati Pembebasan Rakyat Pekerja!
Sosialisme, Solusi Bagi Krisis Kapitalisme Global!
Bersatu, Bangun Partai Kelas Pekerja!
Jakarta, 22 Nopember 2012
Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja (KP-PRP)
Ketua Nasional
ttd.
(Anwar Ma’ruf)
Sekretaris Jenderal
ttd.
(Rendro Prayogo)
Kelas Pekerja
13/12/2012
Share on Facebook Tweet on Twitter
Partai Rakyat Pekerja
Partai Rakyat Pekerja
Pidato Politik Pimpinan Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja
Nomor: 432/PI/KP-PRP/i/XI/12
(Disampaikan pada Pembukaan Kongres III Perhimpunan Rakyat Pekerja)
Tiga Tesis Mengapa PRP Berpeluang Menjadi Partai Kelas Pekerja
Garut, 22 Nopember 2012
“Hanya politik Sosialisme yang akan dapat menggerakkan rakyat Indonesia
mencapai kemerdekaannya untuk memerintah negaranya sendiri
dan membagi secara adil pendapatan Negara”
(Semaoen)
Kawan-kawan seperjuangan,
Pada hari ini kader-kader PRP akan berkongres sampai 25 Nopember 2012.
Sebagai kader PRP kita patut berbangga hati, di tengah cibiran yang mengira
perjuangan kelas bukan zamannya lagi, kita telah menjadi perhimpunan yang
mempersiapkan partai kelas pekerja Sekalipun di tengah cibiran bahwa menjadi
anggota perhimpunan hanya membuang waktu, hanya investasi keringat-pikirandana tanpa prospek, tanpa status sosial, tanpa pangkat dan kekayaan, ternyata kita
dapat menyelenggarakan Kongres III. Sedari lahirnya pada 2004 sampai Kongres III
pada 2012, hanya kader yang memiliki kesabaran dan kesetiaan, yang berpikir
ilmiah, yang tidak bermental budak, yang kritis membaca perkembangan dan
perubahan, yang masih bertahan di PRP.
Keadaan kader kita saat ini, hanya sedikit jumlah perempuannya, karena sekali pun
mereka aktivis, dapat terkilir daya tahan perjuangannya. Memang tidak mudah bagi
perempuan untuk berjuang di dalam Perhimpunan Rakyat Pekerja, karena ia harus
berjuang ganda untuk feminisme dan perjuangan kelas pekerja. Dua perjuangan
ganda yang secara umum kurang mendapat perhatian dari kader rakyat pekerja.
Adapun kader laki-laki karena dituntut sebagai pencari nafkah utama, maka menjadi
kader PRP bukan pilihan yang tepat, jika kader itu telah terbawa ke dalam logika
keluarga kapitalis. Keluarga kapitalis menuntut kepemilikan pribadi berdasarkan
standar konsumtif, dan runyamnya, norma sosial mensyaratkan hal itu sebagai
ukuran keberhasilan. Sedangkan menjadi kader PRP saat ini adalah tidak menyerah
dalam tawanan kepemilikan pribadi versi standar kapitalis. Maka yang sampai saat
ini masih setia sebagai kader tentulah manusia pilihan, manusia yang setia
terhadap azas organisasi, yang kokoh terhadap prinsip politik dan ideologi, serta
yang berhasil membangun keluarga perjuangan.
Itulah keadaan kita. Kita patut bersyukur telah melampaui rongrongan dari kader
yang menghambat prinsip politik dan ideologi, serta berbagai tindak indisipliner.
Sedangkan perjuangan kita pada dewasa ini dan ke depan dalam perkembangan
politik nasional yang liberal-konservatif dan sebagai NIC (new industrial country)
yang berbasis konsumsi. Kita berada di tengah berbagai ilusi demokrasi, ilusi
hedonisme, tetapi juga ilusi heroisme sebagai pejuang rakyat. Hidup kita sebagai
kader digempur oleh krisis dan ilusi, sedangkan perhimpunan kita masih rapuh
untuk membangun daya ofensif-aktif, sehingga taktik bertahan kita masih pada
tahap defensif-aktif.
Kawan-kawan seperjuangan,
Mari, kita pelajari terlebih dahulu bagaimana situasi akumulasi-kapital saat ini. Kita
tahu bahwa sentral akumulasi-kapital yang berada di kawasan tertentu Eropa dan
Amerika Serikat sedang mengalami krisis. Apakah krisis mereka ini? Barangkali
secara awam kita membayangkan akumulasi-kapital merupakan kekayaan yang tak
terbatas. Tetapi tidak begitu, menurut Karl Marx, akumulasi-kapital mempunyai
batas-batasnya. Ketika terjadi keberlebihan-akumulasi-kapital, justru akan
menimbulkan krisis. Keadaan itu yang dialami Amerika Serikat dan Eropa yang
meledak pada tahun 2008. Sebab, keberlebihan-akumulasi-kapital itu berasal dari
cabang produksi tertentu, seperti properti dan manufaktur, namun terjadi tanpa
proporsional. Tanpa proporsional artinya, terjadi pertumbuhan penawaran (supply)
yang terlampau cepat dan berkelebihan untuk cabang produksi tertentu dibanding
dengan cabang produksi lainnya. Hal ini mengakibatkan terjadinya perkembangan
kekuatan produksi dan nilai profit yang tidak merata pula. Semakin tinggi
pertumbuhan penawaran, semakin rendah nilai profit yang diperoleh.Paradoksnya,
keseimbangan akumulasi-kapital memerlukan tingkat pertumbuhan penawaran
yang tinggi, tetapi justru hal itu menurunkan tingkat profit. Sedangkan nilai profit
merupakan jaminan bagi terselenggaranya proses reproduksi kapitalis, jaminan bagi
kelestarian akumulasi-kapital. Jika nilai keuntungan ini mengalami penurunan, maka
proses reproduksi itu mengalami goncangan, sehingga nilai kapital harus
didevaluasi (penurunan nilai uang), demi merestorasi nilai profit. Maka Dollar-AS
dan Euro pun mengalami devaluasi sehingga angka pertumbuhannya saat ini hanya
mencapai 2% untuk Amerika Serikat, dan 0,1% untuk Eropa.
Betapa benar pendapat Kawan Marx, dan berulangkali terbukti benar. Dengan
adanya krisis ini, Amerika Serikat bukan lagi negara adikuasa, demikian juga
sebagian negara-negara Eropa. Sedangkan dari Asia Timur telah bangkit China
dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 7,4% dan sanggup menalangi defisit yang
dihadapi sentral kapitalis. Kini, China berupaya membangun blok ekonomi, dimana
Indonesia diajak serta, untuk menanggapi pembentukan blok ekonomi Amerika
Serikat yang disebut Trans Pacific-Partnership (TPP) dan tidak menyertakan China.
Usaha Amerika Serikat untuk melanggengkan penjajahan terhadap kawasan
satelitnya, kini menghadapi persaingan yang kuat. Ini artinya, Indonesia bakal tidak
sepenuhnya menjadi satelit Amerika Serikat-Eropa, karena ada China. Lalu sebagai
geografi eksploitasi bagi pembangunan akumulasi kapital Amerika Serikat-Eropa,
justru kini Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3%. Pemerintah
Indonesia yang diwajibkan blok sentral-kapitalis untuk menyediakan tenaga kerja,
pembangunan infrastruktur fisik untuk investasi dan perdagangan bebas, malahan
memperoleh peningkatan profit. Kontradiksi sentra versus satelit kapitalis ini berkat
sumbangan sektor jasa dan konsumsi manufaktur yang dipasok oleh barang dari
China.
Tetapi apa lacur. Peningkatan profit itu justru menaikkan hasrat belanja konsumsi
manufaktur dan jasa yang semakin tinggi. Golongan menengah-atas dari Indonesia
berduyun-duyun sebagai turis yang membuang uang di negara-negara sentral
kapitalis. Sedangkan pengobatan krisis di sentral kapitalis memang membutuhkan
suntikan belanja konsumsi yang tinggi, yang hal ini dipenuhi oleh golongan
menengah-atas dari Indonesia. Peningkatan profit ini juga diserap oleh birokrat dan
politisi borjuasi, baik individu, kolektif, maupun institusi, untuk berkompetisi
memperoleh atau mempertahankan jabatan politik. Pembongkaran oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap skandal korupsi yang saat ini melibatkan
politisi Partai Demokrat dan Kepolisian menandakan, bagaimana dana-dana dijarah
untuk politik suap atau membeli suara konstituen. Sedangkan politisi pengusaha
yang mengusai bisnis televisi setiap hari bersaing mengkonstruksi berita sesuai
dengan kepentingan politiknya.
Malang benar rakyat pekerja. Terjadinya peningkatan profit ini tak setetes pun
diserapnya. Malahan terjadi pengekangan terhadap upah, pengambil-alihan tanah,
pengusiran petani dari dakuan (klaim) perusahaan perkebunan dan tambang,
penghancuran tanamam pangan menjadi komoditas industri besar, penghancuran
pantai dan pengambil-alihan laut. Demi penghancuran dan pengambil-alihan ini
dibuatlah berbagai rancangan undang-undang, seperti Rancangan Undang-Undang
(RUU) Organisasi Massa (Keormassan), RUU Keamanan Nasional (Kamnas), RUU
Keamanan Nasional (Kamnas), RUU KUHP, UU Penanganan Konflik Sosial, UU
Intelijen, UU BPJS, dan UU Pengadaan Tanah.
Memang demikianlah. Kaum borjuasi di dalam satelit kapitalis bertugas untuk
menjaga proses keberlangsungan akumulasi-kapital, sekalipun mereka mencurinya
pula. Adalah tugasnya pula untuk melanggengkan prinsip bahwa kemenjadian
sistem kapitalis karena harus ada pada susunan kelas proletar dan tenaga kerja
upahan. Karena itu buruh dan laskar cadangan (yang sewaktu-waktu dibutuhkan
bagi produksi kapitalis) tidak akan pernah mendapat keuntungan dari pertumbuhan
ekonomi nasional.
Terang sudah. Indonesia yang menyatakan diri sebagai negara industri baru (new
industrial country) hanya ilusi yang dinyanyikan pemimpin politik borjuasi kepada
rakyat pekerja!
Kawan-kawan seperjuangan,
Benderang sekali apa yang telah dan bakal kita hadapi di masa depan. Bukan
maksud kita untuk membuat hidup rakyat pekerja tidak bisa tidur, tidak bahagia,
murung dan apatis. Bukan pula maksud kita untuk menghancurkan semangat juang
yang kini mengalami kemajauan-kemajuan radikal. Sungguh tidak! Kita justru
hendak mengajak rakyat pekerja secara rasional dapat menilai apa yang selalu
dihadapi dalam perkembangan ekonomi-politik. Rakyat pekerja dapat menganalisa
serta menyusun strategi dan taktik dalam perjuangan kelas pekerja.
Mari kita pelajari trend kesadaran politik massa secara umum. Telah kita sampaikan
di atas, bahwa kelas borjuasi nasional sebagai terwakil dari partai politik, sedang
menjarah profit pertumbuhan ekonomi untuk politik elektoral hingga tahun 2014.
Dalam penjarahan profit ini terjadi kompetisi antara aliansi borjuasi nasional versus
aliansi borjuasi regional/lokal, yang runyamnya, dimutasikan pada masalah SARA
(Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan) di kalangan rakyat pekerja. Perang antarkampung, bantai- membantai, dan bakar-membakar diantara rakyat pekerja,
dengan korban nyawa dan harta-benda yang tidak murah, adalah contoh mutasi
konflik tersebut. Sungguh mengenaskan. Pesta profit dinikmati pembuat konflik,
yang penderitaannya ditanggung rakyat pekerja.
Adapun kesadaran politik golongan menengah mencapai bentuk ketidakpercayaan
terhadap politisi borjuasi dan partai politiknya. Sikap itu ditunjukkan dengan, pada
mulanya, mereka bersikap ‘golput’ dalam proses elektoral, lalu setelah Pemilu 2004
wacana untuk mengusung calon independen dari kalangan aktivis mengemuka, dan
setelah Pemilu 2009 terwujud untuk mencari karakter pemimpin yang populis.
Proses elektoral untuk Gubernur Jakarta pada tahun ini, yang dimenangkan oleh
pasangan Jokowi-Ahok adalah penanda pergeseran dari ‘golput’ ke figur populis.
Kemenangan figur populis terhadap antek politik kartel, telah membangun
selangkah keyakinan terhadap tesis bahwa partai politik tidak penting. Karena
kemenangan Jokowi-Ahok, bukanlah kerja sistematis mesin partai politik
pengusungnya, melainkan karena gerakan moral warga –baik di kampung maupun
media sosial. Preseden ini kiranya akan menggelinding dalam proses elektoral
eksekutif di tempat lainnya. Memilih pemimpin populis pada peran eksekutif kini
dipandang lebih strategis ketimbang memilih pemimpin legislatif. Figur populis
adalah pemimpin yang tidak menggunakan alat politik borjuasi, sekalipun JokowiAhok didukung oleh partai politik borjuasi, namun kemenangannya didukung oleh
mayoritas kaum urban miskin dan golongan menengah yang menderita
keprihatinan sosial-politik. Semakin figur populis mengalami ‘penganiayaan’ dari
lawannya, semakin besar dukungan massa terhadapnya. Kemenangan Megawati
pada masa Orde Baru adalah karena ia dianiaya, seperti halnya Sukarno ayahnya,
dan kini Jokowi-Ahok.
Trend terhadap pemimpin populis saat ini memang membawa angin segar dalam
tradisi demokrasi elektoral yang pro-borjuasi. Tetapi, dapat berbahaya, karena
karakter pendukung yang fanatik cenderung melakukan pemujaan di luar batas,
sehingga justru menciptakan relasi patron-klien, suatu bentuk relasi yang feodal.
Apalagi, jika para pendukung yang fanatik ini tidak percaya kepada partai politik,
sedangkan pemimpin populis itu berbasiskan partai politik borjuasi.
Betapa rentannya gerakan moral populis ini. Karena berlandaskan pada moralitas
dan mempercayai bahwa kekuatannya yang tak terorganisasi secara politik akan
mampu mengontrol figur pemimpin populisnya. Pandangan ini seperti
mengandaikan datangnya Ratu Adil yang bakal membawa perubahan ke arah
gemah ripah loh jinawi, yakni kemakmuran dan kedamaian. Pandangan ini
merupakan ilusi terhadap kepemimpinan figur orang dan bukan pada organisasi
politik. Sedangkan kita merindukan kepemimpinan organisasi politik dengan
penciptaan sistem dan program-program yang memungkinkan rakyat pekerja
memberikan kepemimpinannya.
Namun begitu, material kesadaran politik massa, terutama dari golongan
menengah ini tetap kita apresiasi sebagai perkembangan maju. Sebagaimana
halnya kita mengapresiasi tumbuhnya radikalisasi politik dari serikat-serikat buruh
dan perlawanan lokal petani. Sikap keduanya terhadap elektoral dapat kita pindai
seperti ini:
Pertama, yang bersikap menitip diri sendiri atau menjadi utusan organisasi untuk
berkongkalikong (engagement) dengan partai politik borjuasi, terutama pada pemilu
legislatif. Sikap seperti ini ada pada golongan menengah aktivis dan beberapa
pimpinan serikat buruh. Terbukti sejak proses elektoral tahun 1999, pola
engagement dengan partai borjuasi tidak mengubah formasi politik kartel borjuasi.
Sikap seperti ini malahan tetap akan dipergunakan berapa pimpinan gerakan buruh
dalam rangka go politic pada Pemilu 2014. Adapun golongan menengah aktivis,
atas pengalaman kegagalan mengikuti pemili legislative, individu-individu itu masuk
ke dalam tubuh partai borjuasi.
Kedua, yang bersikap antipartai politik borjuasi dan partai kelas, baik yang ikut
elektoral maupun tidak, melainkan memilih sebagai atom bebas (individu) tanpa
partai dan tanpa organisasi massa. Individu ini cukup aktif dalam berbagai aksi
gerakan moral dan kian menjadi kecenderungan sikap umum golongan menengah
intelektual maupun aktivis.
Ketiga, yang anti-elektoral, anti partai borjuasi, anti-pemimpin populis, namun
berilusi revolusi akan terjadi ‘besok lusa’. Sikap ini banyak menjangkiti aktivis yang
merasa progresif-revolusioner tetapi tidak melakukan pembangunan partai politik
kelas pekerja untuk menciptakan dan memimpin revolusi. Mereka cukup aktif
melakukan agitasi sembari menunggu datangnya momentum revolusi. Sikap ini
serupa juga dengan menunggu datangnya Ratu Adil dari ruang angkasa, meyakini
asas “sesuatu datangnya dari ruang dan waktu yang tak terduga”.
Ketiga sikap politik itu sama-sama menonjol saat ini. Alhasil semakin menciptakan
kemenjadian barisan individu yang sadar politik dan kebebasan negatif, yakni yang
tidak terikat oleh kewajiban dan tanggung jawab organisasional. Karena
partisipasinya semata dilandasi oleh kerelawanan, keprihatinan, dan waktu luang
yang dimilikinya. Trend golongan menengah ini merupakan buah dari keberhasilan
politik liberal dalam bangunan demokrasi saat ini. Trend “individu-politik” ini
kontradiktif dengan kesadaran politik kelas pekerja yang teroganisir dalam satuansatuan serikat buruh, tani, nelayan, dan perempuan di dalamnya. Alhasil, trend
“individu-politik” ini akan mendukung kokohnya kontradiksi kelas dengan kesadaran
politik kelas pekerja.
Inilah perkembangan perkembangan kesadaran politik massa setelah pemilu 2009.
Kawan-kawan seperjuangan,
Dengan membaca (1) perkembangan krisis di pusat-akumulasi-kapital, (2)
perkembangan politik elektoral, dan (3) kesadaran politik massa, kita menemukan
kekhususan kontradiksi di dalamnya. Dalam akumulasi-kapital, kita menemukan
kontradiksi penurunan profit di pusat kapital dengan kenaikan profit di satelit
kapital. Kenaikan profit di satelit kapital menjadi modal borjuasi politik kartel untuk
berkompetisi elektoral sampai tahun 2014. Dalam politik elektoral kita menemukan
kontradiksi antara pemimpin dari politik kartel dengan pemimpin populis yang
menyimpang (deviasi) dari kartel politiknya. Dalam kesadaran politik massa kita
menemukan kontradiksi antara golongan menengah yang “individu-politik” dengan
kelas pekerja yang beroganisasi serikat. Untuk melawan keumuman kontradiksi,
yakni borjuasi (kapitalis) dengan kelas pekerja, kita membutuhkan partai politik
kelas pekerja untuk memimpin perubahan-perubahan segi pokok dalam kekhususan
kontradiksi tersebut. Dalam kesadaran politik massa, partai politik kelas pekerja
diperlukan untuk memimpin kesadaran politik kelas menjadi segi pokok. Dalam
politik elektoral, partai politik kelas diperlukan untuk mengubah dominasi politik
kartel borjuasi. Dalam krisis di pusat-akumulasi-kapital, kita memerlukan partai
kelas untuk memimpin satelit-akumulasi-kapital memperoleh kemenangan
penguasaan kapital oleh kelas pekerja untuk membangun sistem yang Sosialis.
Itulah argumentasi mengapa kita membutuhkan partai kelas pekerja! Mengapa
Partai kelas pekerja tetap relevan dan signifikan pada zaman sekarang? Tanpa
adanya partai kelas pekerja, siapa yang akan memimpin satuan-satuan organisasi
massa buruh, serikat tani, serikat nelayan, dan kaum perempuan di dalamnya,
untuk membangun persatuan kelas, untuk menciptakan syarat perjuangan kelas?
Partai kelas pekerja memperjuangkan kekuasaan politik kelas pekerja dengan
kepemimpinan kelas pekerja yang terorganisir, dan ideologi kelas pekerja yang
memberikan panduan bagi tindakan-tindakan politik kelas pekerja. Kekuasaan
politik kelas pekerja menuju pada proyek terwujudnya rezim Sosialisme untuk
menggantikan rezim kapitalisme-neoliberal, yang saat ini menindas dan menghisap
rakyat demi kepentingan dan keberlanjutan sistem kapitalisme.
Dalam Kongres II telah dimandatkan PRP akan menjadi sebuah partai kelas pekerja.
Kini dalam usianya perjalanannya yang mencapai 8 tahun lebih, dapatkah PRP
meningkatkan status Perhimpunan Rakyat Pekerja menjadi Partai kelas pekerja? Kita
telah memimiliki modal: pengalaman mempraktikkan ideologi-politik-organisasi
(IPO), pun pemimpin dari kelas pekerja kini telah bermunculan.
Lalu apakah yang kita maksud tentang sebuah Partai kelas pekerja?
Partai kelas pekerja adalah partai kader, yang terdiri dari keanggotaan individu,
yang memiliki struktur teritorial, yang memiliki konstitusi, dan norma disipliner.
Tugas kader di dalam Partai kelas pekerja adalah melakukan perluasan teritorial,
rekrutmen anggota, melakukan propaganda, menyelenggarakan pendidikan kader,
memberikan kepemimpinan terhadap satuan-satuan organisasi massa kelas
pekerja, dan menciptakan persatuan di dalam kekhususan kontradiksi, di dalam
kesadaran massa secara bersyarat. Apa yang disebut syarat persatuan kesadaran
politik massa adalah kecocokan dalam menentukan musuh utama kelas pekerja,
yakni kapitalisme dalam berbagai bentuknya. Karena itu kesadaran politik massa ini
kita sebut kesadaran rakyat pekerja. Golongan menengah pun adalah rakyat
pekerja, tetapi mereka bukan kelas buruh, petani, dan nelayan. Selama golongan
menengah mempunyai kecocokan dengan politik kelas pekerja untuk melawan
musuh utama, mereka adalah rakyat pekerja yang memungkinkan menjadi anggota
Partai kelas pekerja.
Adalah tugas kita dalam Kongres III ini untuk menjadikan PRP sebagai Partai kelas
pekerja. Adalah tugas kita dalam Kongres ini untuk menyusun taktik dan strategi
lebih rinci serta operasional dalam memperkuat PRP sebagai Partai kelas pekerja.
Adalah tugas kita untuk mengkaji sejarah Partai kelas pekerja dan perjuangannya,
bukan untuk gagah-gagahan dan meromantisirnya, melainkan untuk mempelajari
keadaan-keadaannya, kegagalan dan keberhasilannya. Adalah tugas kita untuk
menciptakan sosok segar Partai kelas pekerja dan perjuangan kelasnya di Indonesia.
Inilah tantangan Kongres III PRP. Tantangan untuk mampu menanggapi
perkembangan situasi ekonomi-politik abad ke-21, dan keadaan negeri kita yang
dikuasai politik liberal-konservatif. Liberal terhadap kapitalisme, namun konservatif
terhadap dinamika perubahan kesadaran politik rakyat pekerja. Tantangan untuk
menciptakan program-program politik yang bersiku-sudut dengan politik elektoral
dan kesadaran politik massa yang majemuk.
Tetapi tugas kader tak cukup membangun partai kelas..
Masih ada problem yang menghambat perkembangan ruang dan aspirasi Sosialisme
dalam situasi sekarang, karena kelas pekerja masih absen dalam proses elektoral.
Kita telah absen di ruang elektoral selama kurang lebih 14 tahun, alhasil
membiarkan partai politik borjuasi sukses melakukan kooptasi. Sebaliknya, tumbuh
kecenderungan rendah diri di kalangan rakyat pekerja untuk memajukan
perjuangan politiknya yang strategis dan otonom.
Jadi, tugas kader partai kelas pekerja ialah memenangkan kelas pekerja sebagai
segi pokok di dalam kontradiksi politik elektoral. Sebagai catatan, kita tidak anti
terhadap pemimpin populis, tetapi pemimpin populis tidaklah memiliki kesatuanideologi-politik dengan kelas pekerja. Oleh karena itu, kita memerlukan partai politik
elektoral, yakni persatuan perjuangan dengan partai politik rakyat pekerja untuk
berpartisipasi dalam proses elektoral. Sebagai persatuan perjuangan, partai ini
berupa payung dari partai-partai politik rakyat pekerja, tanpa menghilangkan
eksistensi masing-masing partai tersebut. Adalah tantangan Kongres ini untuk
merancang rute perjalanan menuju persatuan politik rakyat pekerja. Rancangan
yang harus disertai penghitungan waktu yang tepat.
Jelaslah, tugas kader Partai kelas pekerja adalah untuk memenangkan segi pokok
dalam kontradiksi kesadaran politik massa. Sedangkan tugas partai persatuan
rakyat pekerja yang berpartisipasi dalam proses elektoral adalah memenangkan
segi pokok dalam kontradiksi politik elektoral.
Kawan-kawan seperjuangan,
Jangan pernah lupa, bahwa setiap gerak akan menciptakan kekhususan
kontradiksinya. PRP sebagai Partai kelas pekerja pun memiliki kontradiksi di
dalamnya. Kontradiksi itu yang selama ini kita kenal sebagai relasi organisasi politik
(orpol) dengan organisasi massa (ormas). Masalah ini tetap akan membayangi
dalam praktik kesatuan ideologi-politik-organisasi (IPO) kita. Kawan Lenin pun telah
mengingatkan, bahwa dalam setiap gerak IPO kita terkandung sepasang hal yang
bertentangan. Tantangan ini harus terus menerus hidup dalam kesadaran kita
sebagai kader PRP, dan kita menyediakan metode kritik-otokritik untuk memelihara
kesatuan ideologi-politik-organisasi kita.
Apapun, pada usianya yang ke-8 ini, orpol kita telah berhasil mematahkan mitos
bahwa sektor manufaktur dan non-manufaktur tak dapat disatukan dalam sebuah
ormas. Nyatanya mitos itu telah tumbang. Namun demikian, janganlah kita cepat
puas. Ormas kelas pekerja harus lebih maju lagi dalam merancang program,
menentukan orientasi dan arah perkembangan kerja organisasinya. Kader-kader
ormas harus belajar lebih sabar, giat dan cermat dalam membuat penilaian
(assessment) yang berbasis analisis situasi. Agar seperti ormas buruh, contohnya,
dapat membangun pewadahan untuk menggarap jumlah buruh yang tidak
teorganisir atau masih lemah organisasinya.
Tentu kita masih banyak kelemahan menciptakan relasi orpol dengan ormas. Tetapi
bukan berarti mengurungkan perubahan perhimpunan menjadi Partai kelas pekerja.
Sebagai penutup, kita boleh mengapresiasi Konfederasi Serikat Nasional (KSN) yang
gencar memperjuangkan Trikosum (tolak privatisasi, union busting, outsourcing, dan
upah murah), antara lain melalui metode pemogokan serikat pabrik/perusahaan,
pengajuan kasus ke Pengadilan Hukum Industrial, dan sebagainya. KSN merupakan
terobosan baru yang berhasil membangun persatuan organisasi buruh perkebunanmanufaktur-badan usaha milik negara-kertas dan pulp. Kita patut mengapresiasi
Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) yang berhasil merajut persatuan
berbagai sektor organisasi kelas dan rakyat pekerja. Kita pun berharap
perkembangan ini juga dicapai oleh serikat nelayan, serikat perempuan, serikat
miskin kota dan pedagang asongan.
Pada akhirnya, selamat berkongres!
Jangan lelah memperjuangkan Sosialisme!
Sosialisme, Jalan Sejati Pembebasan Rakyat Pekerja!
Sosialisme, Solusi Bagi Krisis Kapitalisme Global!
Bersatu, Bangun Partai Kelas Pekerja!
Jakarta, 22 Nopember 2012
Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja (KP-PRP)
Ketua Nasional
ttd.
(Anwar Ma’ruf)
Sekretaris Jenderal
ttd.
(Rendro Prayogo)