2014 Esai Untuk Teto Arsitek Keju ruan

Untuk Teto Arsitek Keju
“serius? ada tulisan fasis neolib begini [konteks], masak orang miskin dibilang cecunguk? gile
beneeer… mendingan nulis di Ruang17 ..” Tulis Andrea Fitrianto dalam komentar di page
FB ruang17.

Berikut ini tulisan Andrea Fitrianto yang ditulis untuk dimuat di ruang17, sebagai
tanggapan untuk tulisan Farid Rakun yang dimuat di [konteks]
***

1 Depan rumah di Bukit Duri, Jakarta.
Dear Teto, makasih sudah nulis panjang lebar untukku. Aku sudah sampai di
Rotterdam. Perjalanan dengan pesawat rasanya sebentar sekali kalau duduk sebelahan
dengan arsitek Belanda yang ganteng ^_^ Kami sama-sama suka isu informalitas di
Selatan Global, lalu kami bicara tentang gerakan arsitek komunitas trans-nasional.
Menarik sekali! Sekarang aku bisa positif dan produktif, gak bakal cengeng lagi… Teto,
plis deh jangan panggil aku bohay karena aku kaum terpelajar seperti kamu, bukan
cuma objek seks!
Kenapa setelah pulang dari misi kemanusiaan di Aceh pasca tsunami aku pergi sekolah

ke Belanda? Humanisme tidak bisa lepas dari sejarah Barat/Eropa. Setahuku, ada
beberapa sebab dibalik kelahiran pandangan atau pemikiran ini. Abad pertengahan di

Eropa ditandai dengan inkuisisi oleh Gereja terhadap para ilmuwan dan penemu, lalu
ada serangkaian perang atas nama agama, atau singkatnya Gereja terlalu dominan dalam
politik dan peri-kehidupan masyarakat. Lalu di akhir abad kegelapan lahir Renaisans,
masa pencerahan yang tidak hanya menawarkan penemuan-penemuan ilmiah baru
tetapi juga kegiatan seni budaya yang cemerlang. Saat itu pengaruh Gereja menurun,
sehingga akhirnya Gereja mereformasi diri. Sejak saat itu individu diyakini mempunyai
potensi yang penuh pada dirinya, a priori tanpa perlu pengaruh kekuatan religius dan
status keningratan.
Pencerahan, Revolusi Perancis, lahirnya kapitalisme klasik dan kekuatan kolonialis,
lahirnya Palang Merah, Perang Dunia I-II, adalah tonggak-tonggak sejarah yang telah
merevolusi bahasan tentang filsafat, sosiologi, dan teori politik yang kita tahu. Pada
tingkat praksis lahir juga sosialisme, komunisme, hak asasi manusia, dan kegiatan
kemanusiaan. Sementara itu pengetahuan mulai disebarkan dan diajarkan di universitas
dalam bentuk disiplin; sosiologi, ekonomi, antropologi, sejarah, teknik, kedokteran,
arsitektur, dsb. Disiplin-disiplin tersebut disebar-luaskan mengikuti keyakinan zaman
baru, zeitgeist, zaman yang bebas dari penindasan agama dan feodalisme; zaman
modern. Semangat yang sama melandasi pendirian sejumlah perguruan tinggi pionir di
Indonesia.
Teto,
dulu Bung Hatta juga belajar ekonomi disini, di Rotterdam. Lalu pulang membawa

konsep ekonomi kerakyatan bagi bangsa yang baru merdeka. Belajarlah dari Barat, tapi
jangan jadi peniru, jadilah murid Timur yang cerdas, Hatta sudah menjalankan seruan
Tan Malaka itu. Tapi, lantas kehidupan bernegara dibawah kepemimpinan Bung Karno
kental oleh slogan politik adalah panglima. Kemandirian dan identitas bangsa diserukan
lewat semangat anti-kolonialisme dan gerakan Non-blok. Sementara kesenjangan
ekonomi masih kentara, akibat penjajahan selama tiga-setengah abad maupun akibat halhal lain.
Meski masih dalam gerakan Non-blok, sejak Oktober 1965 negara ini bersanding
dengan Blok Barat. Maka, pemerintah adalah pembuka gerbang utama bagi eksploitasi
sumberdaya alam dan marjinalisasi masyarakat setempat. Bagi the smiling
generalSuharto ekonomi adalah panglima, tentu maksudnya ekonomi bagi keluarga dan
kroni dia. Obsesi Orde Baru ada pada keteraturan dan ketertiban, yang diperoleh lewat
todongan senjata. Maka, untuk mendirikan pondasi kekuasaan dan sekian mercusuar,
jutaan rakyat menjadi korban piramidal Suharto. Gerakan mahasiswa yang bermuara

pada Reformasi tahun 1998 berhasil menggulingkan Suharto, sekaligus memberi
harapan baru bagi kesejahteraan sosial dan penegakan hak asasi di indonesia. Namun
kenyataannya, sistim ekonomi pasar atau kapitalisme-akhir saat ini masih menyertakan
model penindasan baru, yang terjadi di kota-kota terutama terhadap mereka yang
digusur dan tak-bertanah. Maka, komitmen sarjana dan profesional di awal zaman
modern tentang nilai-nilai kemanusiaan dan dihapusnya penindasan sudah saatnya

didefinisi ulang.
Ngomong-ngomong, kamu sendiri kenapa pergi sekolah ke Belanda? Emang pernah
mimpi jadi Starchitect seperti Rem Koolhaas?
Misalnya saja tentang kami yang mendapat beasiswa. Pada tahun 2007 ada hampir
duaratus sarjana birokrat dan profesional muda dikirim untuk belajar lebih lanjut di
Belanda melalui beasiswa StuNed dari Kerajaan Belanda. Kebanyakan dari mereka
adalah PNS dari pemerintahan maupun akademik, lalu pegawai swasta dalam lingkup
akademik dan media massa, sisanya adalah pekerja LSM. Ada benang merah diantara
serangkaian profesi lintas sektor ini, mereka semua punya akses terhadap masyarakat
dan maka dari itu berkaitan dengan kebijakan publik. Sektor birokrasi dan pendidikan
tinggi adalah sendi-sendi utama dalam masyarakat dan dengan demikian perlu
“diselaraskan” dengan ekonomi politik pasar yang dianut negara pemberi beasiswa.
Maka, beasiswa dari pemerintah asing tidak netral dan tidak bebas nilai. Institusi
birokrasi dan pendidikan tinggi perlu diwarnai oleh sarjana lulusan Barat agar institusi
tersebut mengadopsi Barat sebagai model; sebut saja structural adjustment! Tentu ada
pengecualian dan kasus-kasus kecil dimana terjadi keseimbangan dalam transaksi ini.
Namun demikian, sekian kopi hasil penelitian yang tinggal di kampus-kampus di Barat
adalah informasi yang luar biasa kaya tentang wilayah dan penduduk negara asal
penerima beasiswa. Dan itu semua secara eksklusif milik kampus di Barat. Kalau dulu
Barat memerlukan catatan perjalanan dari Dias, da Gama, Columbus, Cook, atau

Magellan sebelum merencanakan penaklukan dan lalu Hurgronje memuluskan
kolonisasi, kini peran penjelajah pionir dan penyusup tidak diperlukan lagi; cukup
dengan menyelenggarakan beasiswa pendidikan tinggi. Pengecualian dan keseimbangan
transaksi dapat didekati dan dicapai hanya jika yang bersangkutan mengamalkan apa yang
pernah dia teliti sehinga memberi manfaat praktis bagi masyarakat objek penelitiannya.
Aku setuju, bahwa di zaman ini segala sesuatu harus dibeli dengan uang. Maka itu
banyak orang habis waktunya untuk mencari uang. Tapi, ada juga yang tidak betah kalau
hidupnya terbatas sekitar kegiatan cari uang dan belanja. Harta benda tidak menjamin
kebahagiaan dan ketenangan batin, begitu bunyi kalimat klisenya. Maka, sebagian arsitek
berhenti mencari klien orang kaya, keluar dari patronase arus utama, lalu menganut

nilai-nilai yang lebih fundamental; kemanusiaan dan kesetaraan dan menemukan
ketentraman berkarya, untuk itu bahkan ada yang sampai hilang nyawa.
Teto yang higienis dan estetis, testis kaleee….
Slum atau kampung miskin kota sudah ada sejak permulaan zaman industri pada abad18, zaman Ratu Victoria di Inggris. Kita mengenal istilah Dickensian untuk narasi tentang
kampung miskin kota yang tidak hanya kumuh dan dijangkiti penyakit tapi juga menjadi
sarang penyakit sosial sehingga menjadi situs bagi pembunuhan, pemerkosaan, bahkan
lebih jauh mereka menuduh slum sebagai lambang keruntuhan moral. Mitos diciptakan
untuk mengendalikan perilaku. Moralis borjuis Victorian main otak-atikgathukmengaitkan kemiskinan di kota dengan kejatuhan moral hanya untuk
menjustifikasi dan melanggengkan dominasi kelas penguasa. Disamping itu, kaum

industrial adalah kaum yang pertama kali menciptakan polusi masif sehingga membuat
punah satu spesies kupu-kupu. Begitu sejarah mencatat, kalau kita mau bicara tentang
etika, moral, dan tanggung-jawab kelas maupun individu.

2. Warga Pakuncen, Membangun Balai, Yogyakarta.
Setelah lebih dari dua abad, kita tahu bahwa kaum penguasa pun sering mencuri,
membunuh, memperkosa bahkan secara sistematis dan masal melalui tangan-tangan
kekuasaaan, seperti dilakukan pemerintah kita tahun 1965. Pengetahuan dan abad
informasi membuat jelas, bahwa kondisi ekonomi tidak mutlak menentukan derajat
moral manusia. Maka, kini hanya kaum neo-konservatif saja yang mencemooh warga
miskin dan memanggil mereka dengan nama binatang, seperti pada judul film Danny
Boyle di tahun 2008 Slumdog Millionaire. Awalnya para ahli biologi seperti Darwin yang
mengajarkan taksonomi, rantai konsumsi, kompetisi; survival of the fittest. Tetapi,
bisakah kita tinggalkan semua itu dalam biologi saja? Cukup sudah korban praktek
ekonomi predatorial; para petani-nelayan gurem dan pekerja informal kota yang malang.
Sebelum bicara tentang integrasi pasar, kamu tau kalau lebih dari 80% tenaga kerja
Indonesia berada di sektor informal dan tradisional? Di kota mereka ada di kaki-lima, di

sekitar pabrik, dan di kampung-kampung miskin. Pemerintah bukannya enggan
menyertakan segenap rakyat angkatan kerjanya ke sektor formal tapi memang tak

mampu! Tidak ada kapasitas kelembagaan dan dukungan infrastruktur untuk
menyelenggarakan itu. Paham ekonomi pasar menganjurkan pemerintah yang ramping.
Yang penting ada aturan dan hukum. Tetapi, Indonesia tidak punya keduanya,
birokratnya gemuk dan tidak efisien, aturannya lentur dihadapan uang, hukumnya tajam
kebawah tapi tumpul keatas. Bank memang ambisius untuk menyertakan segenap
populasi pada pasar reguler meski pemerintah tak siap, karena hanya melalui cara itu
bank punya lahan hidup.
Pada dasarnya, ekonomi pasar bersendi pada individualisme dan kapitalisme, kedua
unsur ini yang membentuk liberalisme. Kepemilikan pribadi dilindungi a.l. lewat hak
cipta/paten, dan merek dagang. Kaum pemodal diuntungkan dalam perdagangan,
darimana modal mereka berawal? Paling gampang dari harta warisan atau dari teman
bankir! Ini hukum ekonomi yang berlaku berabad-abad di Amerika Serikat. Hasilnya,
kini pemerintah federal dan beberapa kota seperti Detroit jatuh bangkrut. Walaupun
begitu, kaum super-kaya menguasai sekian aset di dalam dan luar negeri. Lewat lobi,
angkatan bersenjata AS bisa diperalat untuk menyerang pemerintah-pemerintah yang
menguasai kekayaan alam dan lokasi strategis, geopolitik. Dari pengalaman lokal
maupun global, ekonomi pasar tidak menjanjikan apa-apa selain kerusakan alam dan
lalu kepunahan ras manusia. Tapi, aku percaya ekonomi pasar saat ini sedang
mereformasi diri, tidak bisa lagi business as usual.
Kamu juga pasti sudah tau kalau…

klub sepakbola Inter Milan itu punya orang Indonesia. Volvo, yang pernah menjadi
pembayar pajak terbesar bagi Swedia di tahun 1970an, kini milik orang Cina. Lalu apa
relevansi kategori lokal / luar negeri serta urusan dukung-mendukung antar negara? Tak
ada! Korporasi sudah sejak lama bersifat trans-nasional, sejak pasar modal tersambung
secara elektronik. Tetapi, institusi sosial, hukum, dan kenegaraan masih merujuk batasbatas teritorial. Masyarakat setempat tetap terfragmen sebagai kelas-kelas; ada preman,
centeng, satpol PP, dan polisi untuk urusan ke(tidak)amanan dan ketertiban umum
dalam spektrum infromal dan formal; ada komunitas yang digusur dan tak-bertanah
misalnya di pedalaman Amazon, di perbatasan Syria, perbatasan Myanmar, yang digusur
kebun sawit di Sumatra, atau oleh isu banjir di waduk Pluit. Maka, trans-nasionalisme
tidak hanya relevan bagi korporasi tapi juga untuk jaringan rakyat dan advokasi. Maka
akhir-akhir ini ada gerakan Occupy, Indignados, dan Arab Spring. Untuk warga miskin
kota, mengenai hak bermukim di kota, sejak sebelumnya sudah ada HIC (Habitat
International Coalition), SDI (Slum/Shack Dwellers International), dan ACHR (Asian
Coalition for Housing Rights).

Lalu apa urusan arsitek dan perencana kota terhadap perkara-perkara tersebut? Banyak
sekali, karena arsitek berurusan dengan pembangunan fisik yang melibatkan lahan,
bahan, tenaga, sumberdaya, lewat masa perencanaan, konstruksi, maupun sepanjang
masa hidup karya arsitekturnya. Setelah terwujud, mobilitas dan interaksi pengguna,
penghuni, dan warga pun diartikulasi oleh arsitektur dan tata ruang kota. Menurut le

Corbusier ruang memproduksi sosial , menurut Lefebvre sosial memproduksi ruang;
sama saja, visa versa.
Adalah pengerdilan tiada-tara oleh mereka yang menganggap karya Mangunwijaya di
Kali Code adalah semata-mata urusan cat warna-warni, lantas sekonyong-konyong karya
tersebut mendapat penghargaan prestisius Aga Khan. Betul, bahwa sekian mahasiswa
Seni Rupa ikut mewarnai permukiman tepi kali itu. Tapi, bukankah arsitektur di Kali
Code dengan bahan organik kayu dan bambu sudah sejak sebelumnya dirancang,
dibangun, dan dihuni oleh warga berikut sang arsitek? Pengecatan warna warni itu
memperkuat rasa memiliki terhadap kampung sudah terbangun lewat proses partisipatif,
ia bukan cause célèbre.
Mangunwijaya juga tidak pernah disebut sebagai Bapak Arsitektur Modern Indonesia
seperti halnya Silaban, Soejoedi, dkk. Karena isu dominan tahun 1980-90an sudak tidak
lagi soal proyek besar modernisasi Indonesia, tapi ekses-ekses pembangunan dan
modernitas; urbanisasi, kesenjangan, penggusuran, kebuntuan saluran aspirasi politik,
dsb. Maka itu, saat diminta untuk mengomentari kiprah AMI (Arsitek Muda Indonesia)
yang pada ‘90an sudah “dicap” sebagai Posmodernisme, Mangunwijaya bilang, “Ah,
posmo kuno itu!” Terang saja, karena bagi Mangunwijaya posmodernitas utamanya
adalah tentang poskolonialisme, regionalisme kritis, demokrasi yang relevan dan
pembangunan yang adil bagi rakyat di Dunia-ketiga. Dan dengan demikian bukannya
Post-Mo sebagai permainan bahasa seperti dijelaskan dan dipromosikan oleh Jencks

dan Venturi. Maka, bagi Mangunwijaya arsitektur adalah keadilan sosial dan demokrasi,
bukan seperti pada wacana Arsitektur Barat arus utama yang formalistik, dengan sikap
fanatik terhadap pasar ortodoks; arsitektur yang bergantung pada patron, investasi,
proyek, dsb.
Hunian atau rumah adalah fungsi arsitektural dengan ragam tipologi yang paling kaya.
Sebut saja rumah Aceh, rumah Minang, rumah Jawa, rumah Pondok Indah, rumah
susun, kentara sekali beda masing-masing. Masing-masing merepresentasi fungsi,
konstruk, nilai-nilai, cara-hidup, estetika, yang etnosentris; satu konsep hunian tidak bisa
ditukarkan untuk digunakan dan dihuni oleh yang lain. Konsep rumah modern kota,
rusun, ruko, ditawarkan sebagai solusi one size fits all, lantas berapa banyak yang bisa
mengadopsi itu? Kecil sekali, tidak signifikan di dalam populasi. Tetapi sayang, hanya ini
utamanya yang diajarkan di kampus-kampus arsitektur. Arsitektur arus besar tidak

mengakui kebhinekaan.

3. Balai warga pakuncen, Yogyakarta.
Dalam rangka memahami yang liyan dan menyerap aspirasi dalam dunia permukiman
rakyat/sosial dan perencanaan kota dikenal istilah partisipasi. Kata ini adalah konsep
besar yang mudah disebut tapi jarang dijalankan. Seringkali arsitek perlu pencarian
bertahun-tahun diluar comfort zone untuk memanifestasikan konsep ini dalam karya.

Bagi John Turner, yang begitu lulus bekerja di Peru hingga transenden dari belenggu
formalisme arsitektur, ia berarti adalah tentang kemerdekaan membangun. Sedangkan
bagi Hassan Fathy di Mesir, arsitektur bagi kaum papa adalah kubah-kubah lempung di
Gourna itu. Lantas, karya Fathy digolongkan dalam kategori regionalisme dalam wacana
teori arsitektur yang teknis formalistik. Maka, isu sosial-politis seperti konteks kritis poskolonialisme dan hak terhadap akses bahan dan teknologi hilang ditelan proses
historiografi arsitektur Barat yang reduktivis dan orientalistik, seperti yang dijelaskan oleh
Edward Said.
Ada hal yang lebih relevan untuk dibahas selain trinitas arsitek ortodoks; bentuk, wujud,
dan rupa. Kini kita perlu bicara tentang energi, bahan, dan konstruksi, lalu tentang
bagaimana melestarikan modal sosial, gotong-royong, pada masa non-krisis dan pada
masa krisis; bencana alam dan penggusuran. Di wilayah arus besar, sebagian besar

investor kini tidak perlu lagi arsitek karena semakin tersedianya template, bank data,
dandrafter. Maka, sudah saatnya para arsitek meninggalkan comfort zone memberi
kontribusi sosial yang nyata kalau tidak mau kehilangan patron, pamor, hingga lenyap
ditelan zaman, dilupakan masyarakat.
Terakhir, kenapa kamu tulis surat putus emangnya kita pernah jadian? Malu tauk, jalan
sama kamu yang hobi nyengir … without a cause :p
Salam hangat,
-Atik

***