Perkembangan Pers Pada Masa Orde Lama

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pers menjadi bagian penting dalam perjalanan sebuah bangsa, sejak awal masa Kolonial
Belanda Pers telah member warna tersendiri kepada bangsa Indonesia, bahkan pada masa
pergerakan Pers digunakan sebagai sarana untuk penentangan terhadap penguasa kolonial dan
untuk menyuarakan cita-cita Indonesia Merdeka. Demikian pula di masa Indonesia Revolusi Fisik
Pers telah menjadi sebuah alat perjuangan yang demikian besar pengaruhnya, sebab melalui pers
semua kehendak dapat disalurkan kepada khalayak ramai.
Pers pada masa sebelum masa Orde Lama merupakan sebuah alat propaganda yang efektif
bagi para pejuang untuk cita-cita Indonesia, hampir seluruh organisasi pergerakan Nasional pada
masa itu menggunakan Pers sebagai sarana untuk menarik pendapat umum serta untuk
menumbuhkan rasa nasionalisme di kalangan masyarakat. Bahkan Pers kemudian banyak
mengalami pemberedelan karena keberaniannya dalam mengungkapkan suatu hal yang dianggap
membahayakan bagi penjajah Belanda atau Jepang.
Kemudian memasuki masa Pemerintahan Orde Lama Pers mengalami peranan yang berbeda
bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. pada masa Orde Lama ini Pers dibagi ke dalam
dua masa yaitu masa Demokrasi Liberal dan masa Demokrasi Terpimpin. Perkembangan Pers
pada masa orde lama ini akan dikemukakan dalam makalah ini.
Pada bagian pertama kami akan membahas perkembangan Pers pada masa Orde Lama, yaitu
dalam kurun waktu masa Demokrasi Liberal dan fungsi Pers pada masa ini. Kemudian pada

bagian kedua kami akan membahas mengenai peranan Pers pada masa Demokrasi Terpimpin serta
pada bagian ketiga akan membahas etika pers pada masa orde Lama
1.2 Rumusan Masalah
a) Bagaimana Perkembangan Pers pada masa Ode Lama terutama masa Demokrasi Liberal ?
b) Bagaimana Perkembangan Pers pada masa Orde Lama terutama pada masa Demokrasi
aaaaaaaaTerpimpin ?
c) Bagaimana Peranan Pers pada masa Orde Lama ?
1

d) Bagaimana Etika Pers Pada masa Ode Lama ?

2

BAB II
PEMBAHASAN
2. Pers Masa Orde Lama
2.1 Pers Masa Orde Lama
Masa ini merupakan masa pemerintahan parlementer atau masa demokrasi liberal. Pada
masa demokrasi liberal, banyak didirikan partai politik dalam rangka memperkuat sistem
pemerintah parlementer. Pers, pada masa itu merupakan alat propaganda dari Par-Pol. Beberapa

partai politik memiliki media/koran sebagai corong partainya. Pada masa itu, pers dikenal sebagai
pers partisipan1.
Keberadaan pers pada masa ini dilandasi oleh konstitusi Indonesia Serikat dan UUDS.
Dalam konstitusi RIS pasal 19 disebutkan setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan
mengeluarkan pendapat. Kemudian isi pasal ini kembali dicantumkan dalam UUDS 1950
mencerminkan meskipun terjadi pasang surut kehidupan pilitik, namun kebebasan pers dalam
berpendapat seharusnya tetap ada dalam konstitusi2.
Pemerintah juga menetapkan kebijakan dibidang pers yang sifatnya positif. Pemerintah
membentuk dewan pers yang terdiri dari orang-orang persurat kabaran, cendekiawan, serta
pejabat-pejabat pemerintah. Adapun dewan ini mempunyai tugas yaitu :
1. Pengertian undan-undang pers colonial.
2. pemberian dasar social ekonomis yang lebih kuat pada pers Indonesia.
3. Peningkatan mutu jurnalisme Indonesia3.
Pers pada masa orde lama terbagi menjadi dua periode, yakni Periode Demokrasi Liberal
dan Periode Demokrasi Terpimpin. Seiring dengan kembalinya bentuk negara dari negara federal
menjadi negara kesatuan, maka dimulailah pada masa ini sistem Demokrasi Liberal di Indonesia 4.
Pers pada masa Demokrasi Liberal ini merupakan suatu masa dimana Pers di Indonesia
mengalami masa kebebasan yang begitu besar, setiap orang asalkan memiliki modal dapat

1


Hasan, Pengertian dan Sejarah Pers. http://hasangunawan23-pers.blogspot.co.id/ diunduh
24-09-2015
2

Ibid.
Ibid.
4
Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia di Indonesia (Triyinco:Jakarta, 1976).
hlm. 46
3

3

memiliki sebuah surat kabar, sehingga ia bisa memiliki kebebasan untuk mengeluarkan
pendapatnya, tanpa harus terlebih dahulu mengurus perizinan.
Pada masa Demokrasi Liberal ini dapat digambarkan sebagai suatu lembaran hitam dalam
sejarah pers kita, karena untuk memperoleh pengaruh dan dukungan pendapat umum, pers kita
yang pada umumnya mewakili aliaran-aliaran politik yang saling bertentangan menyalahgunakan
“freedom of the press”, kadangala melampaui batas-batas kesompanan. Malahan mendekati caracara yang biasanya dilakukan oleh pers di negara-negara liberal seperti Amerika Serikat.5

Para Wartawana kita dalam masa Liberal ini banyak yang dihinggapi oleh jiwa liberalistis
dan penyakit sinisme. Presiden Sukarn sendiri menkonstatir di masa ini timbulnya lima macam
krisis dalam masyarakat kita, yaitu krisis kewibawaan, krisis politik, krisis pandangan dalam
Angkatang Bersenjata dan krisis moril6.
Pada masa Demokasi Liberal ini Koran-koran sangat banyak bermunculan mulai dari
surat kabar Belanda , seperti Java Bode, de Locomotief, Algemeen Indisch Dagblad de Preanger
Bode, Nieuwgier dan Nieuwe Courant. Koran-koran Belanda tersebut diberikan kebebasan untuk
mengeluarkan segala macam pendapat, seperti dalam masalah Irian Barat banyak surat kabar
Belanda, mendukung kebijaksanaan Pemerintah Belanda.
Selain itu pada masa ini surat kabar mengalami oplah yang cukup besar, namun demikian
oplah yang cukup besar ini adalah bukan oplah surat kabar dalam bidang politik, ekonomi, dll.
Namun ternyata ialah surat kabar yang berlatar belakang surat kabar berbau porno, seks, dll.
Sementara Surat Kabar politik, hukum, dan ekonomi kalah telak7.
Karena pada masa itu masyarakat lebih tertarik pada hal yang berbau sensualitas dan seks,
akibat ialah banyak surat kabar yang mengalami kelesuan dan banyak yang kemudian mengalami
gulung tikar.
Pada zaman Demokrasi Liberal ini juga ada gejala-gejala atau pertanda yang
menunjukkan bahwa waktu itu pers banyak dibuat membuat fitnah, mencaci maki, menjatuhkan
martabat seseorang atau keluarga, tanpa memikirkan ukuran-ukuran sopan-santun dan tatakrama.
5


Said Tribuana. Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila. (Jakarta:CV Haji
Masagung, 1988) hlm. 86
6
I.N.H Soebagijo. Sejarah Pers Indonesia. (Jakarta:Dewan Pers, 1977). hlm. 97
7
Ibid. hlm. 98

4

Justru karenanya, orangpun lalu saling menanya sampai dimana kebebasan pers dapat
dilaksanakan, dan bila tidak ada btasnya, niscaya akan merupakan anarki8.
Hingga Tahun 1957 Pers Indonesia mengalami periode kebebasan Pers, namun setelah
Pemberontakan PRRI dan Permesta, serta kegagalan Konstituante merancang Undang-Undang
Dasar baru, dan dekrit Presiden Soekano. Maka kemudian mulai muncul beberapa pembredelan
terhadap beberapa majalah yang dinilai berbahaya. Dengan latar belakang kondisi politik dan
keamanan di atas berdasarkan ketentuan SOB, penindakan keras yang meningkat terhadap pers
dengan sendirinya tidak dapat dihindarkan. Pada bulan September 1957, tidak kurang dari 13
pnerbitan pers di Jakarta terkena pembredelan sekaligus. Mereka adalah Harian Rakyat,
Pedoman, Indonesia Raya, Bintang Timur, Keng Po, Djiwa Baru, Merdeka, Pemuda, Jawa Bode,

Abadi, dan Kantor Berita Antara INPS serta Aneta9.
Pada bulan April 1958, Pemerintah melarang semua Koran-koran berbahasa China. Di
Medan, Koran-koran yang ditutup adalah The Sumatra Times, New China Times, Sumatra Bin
Poh, Hwa Choa Jit Poh, dan Democratic Daily News. Di Ujung Pandang, terdapat empat surat
kabar : Kuo Min-Tang, Chiao Seng Phao, Daily Chronicle dan Daily Telegraph. Puncaknya ialah
keluarnya Dekrit Presiden oleh Presiden Soekarno.
Pada masa Demokrasi Liberal Pers memiliki beberapa fungsi,
2.1.1

Pers sebagai Organ Partai

Setelah pengakuan kedaulatan, sruktur pers di Indonesia merupakan kelanjutan masa
sebelumnya, terdiri dari pers nasional, surat-surat kabar Belanda dan China 10. Koran-koran
Belanda yang hadir sebelum masa kemerderkaan dibolehkan hadir oleh pemerintah dan dianggap
sebagai Koran Tamu. Koran-koran tamu itu mempunyai percetakan sendiri, lengkap dengan
peralatannya yang serba modern. Dan merekapun mendapat privilege yang sama dengan Korankoran Belanda ini dibenarkan menulis apa saja yang mereka kehendaki, dan kantor beritanya pun
masih tetap pula dibenarkan menyiarkan berita yang sesuai dengan selara mereka sendiri11.

8


Said Tribuana. Op. Cit. hlm. 87
I.N.H Soebagio Op.Cit. hlm 98
10
Ibid. hlm. 99
11
Ibid. hlm. 99
9

5

Namun secara ekonomi organ pers pribumi mengalami kelesuan dalam keuangan
terutama dibandingkan dengan organ pers Belanda atau China yang didukung oleh capital besar 12,
sebaliknya Pers pribumi tidak mengalami kapital yang besar. Pers Pribumi yang dapat bertahan
ialah pers yang tercatat sebagai organ Partai seperti harian pedoman, abadi, yang nota bene
adalah harian milik partai politik13.
Menurut catatan tahun 1954, di Jakarta tercatat sebanyak 27 surat kabar dengan jumlah
oplah hampir 50% dari jumlah oplah untuk seluruh Indonesia. Koran-koran yang mencatat oplah
besar umumnya merupakan organ atau pendukung partai, Harian Rakyat (PKI) 55.000 eksemplar,
Pedoman (PSI) 48.000 eksemplar, Suluh Indonesia 40.000 eksemplar, dan Abadi (Masyumi)
34.000 Eksemplar14. Selain surat-surat kabar di atas di Jakarta terbit harian Pemandangan,

Merdeka, Bintang Timur (organ Partindo), Duta Masyarakat (organ Nahdatul Ulama), Sin Po
(China, Komunis), Keng Po (Cina nonkomunis)15.
Pada masa ini Pers digunakan oleh Partai Politik terutama sebagai sebuah alat propaganda
politik terutama menjelang Pemilu 1955, oplah dan penerbitan surat kabar mengalami
peningkatan yang demikian pesat, dibandingkan periode sebelumnya. hal ini disebabkan para
politikus menggunakan Pers sebagai sarana untuk menarik perhatian umum dan dukungan
Umum.
Menurut Hatta, surat kabar yang telah menjadi suara golongan politik tertentu tidak
mengurangi kedudukannya sebagai bagian dari masyarakat. Sebagai suatu kesatuan, pers adalah
suara dari rakyat yang merdeka, yang bebas mengeluarkan pendapat yang berlainan tentang
masalah-masalah negara dan masyarakat. Tetapi tambahnya, dalam proses pembangunan,
kedudukan dan peranan pers nasional tidak semata-mata menjadi “anggota perasaan umum” atau
terompet perasaan umum, melainkan mendorong perasaan umum itu untuk menginsafi dasardasar perekonomian negara dan masyarakat16.
Namun-namun kemudian hasil-hasil yang terjadi ketika partai menjadi organ politik partai
politik ialah, praktek-praktek dimana pemerintah memberikan dukungan kepada pers yang
12
13
14
15
16


Tribuana Said. Loc. Cit. hlm. 95
Ibid. hlm. 98
Ibid. hlm. 99
Taufik. Loc. Cit. hlm. 96
Ibid. 101

6

menyokonngnya di satu pihak, dan menghambat mereka yang menentangnya. Surat-surat kabar
yang mendukung suatu kabinet biasanya akan memperoleh pesanan besar dari kantor-kantor
pemerintah, mendapat kredit untuk membeli perangkat keras, dan lebih disukai bila ada undangan
untuk ikut delegasi-delegasi ke luar negeri, sebaliknya wartawan-wartawan Koran lawan akan
mendapat larangan terbit17.
Kebijaksanaan pemerintah terhadap pers di zaman Indonesia merdeka mengalami
beberapa kali perubahan. Hal itu disebabkan beberapa kali pula terjadi perubahan dalam corak
pemerintahan.
Kebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda terhadap pers yang tertuang dalam Pers
breidel Ordonnantie, secara formal belum diganti pada awal pemerintahan Republik Indonesia.
Baru pada tahun 1954, tanggal 2 Agustus, berlakulah pencabutan Pers breidel Ordonnantie itu.

(UU No.23 tahun 1954, Lembaran Negara 54-77)18.
Penghapusan Pers breidel Ordonnantie itu antara lain diperjuangkan oleh Persatuan
Wartawan Indonesia yang didirikan di Sala 9 Februari 1953. Dalam kongresnya ke-7 di Denpasar
bulan Agustus 1953 misalnya, PWI mengeluarkan keputusan: Menurut kepada pemerintah
supaya segera mengeluarkan Undang-Undang Pers yang bersumber pada hak kemerdekaan
berfikir dan kebebasan mempunyai serta mengeluarkan pendapat, sesuai dengan pasal 18 dan 19
Undang-Undang Dasar Sementara. Dalam kaitan ini kongres memutuskan pula untuk membentuk
panitia, yang sama-sama dengan Pengurus Pusat PWI memperjuangkan segera dikeluarkannya
UU Pers yang mencakup hak ingkar, larangan terhadap persasing dan penghapusan Pers breidel
Ordonnantie19.
Sebelum UU Pokok Pers akhirnya disahkan pada tanggal 12 Desember 1966, pers
Indonesia masih menghadapi peraturan-peraturan yang dirasa menekan oleh para wartawan.
Perkembagan politik besar peranannya dalam melahirkan peraturan-peraturan itu20.

17

Tim LSPP. Media Sadar Publik. (Jakarta : Lembaga Studi dan Pembangunan, 2005). Hlm.
176
18
Ibid. hlm. 178

19
Ibid. hlm 178
20
Ibid. hlm.179

7

Diantara peraturan-peraturan tersebut, dapat dikemukakan antara lain peraturan yang
dikeluarkan oleh Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Militer pada 14 September 1956
(Peraturan KSAD selaku Penguasa Militer No.PKM/001/0/1956)21.
Pasal 1 peraturan itu menegaskan larangan untuk cetak, menerbitkan dan menyebarkan
serta memiliki tulisan-tulisan, gambar-gambar, klise atau lukisan-lukisan yang memuat atau
mengandung kecaman, persangkaan atau penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden,
sesuatu kekuasaan atau majelis umum atau “seorang pegawai negeri pada waktu itu atau sebab
menjalankan pekerjaan dengan sah”22.
Larangan itu berlaku juga bagi tulisan-tulisan, yang dinilai “memuat atau mengandung
pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antaranya atau terhadap golongangolongan penduduk”. Dilarang pula “tulisam-tulisan yang memuat berita-berita atau
pemberitahuan-pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat”23.
Ketentuan tersebut, yang sangat mirip dengan isi Haatzaai Artikelen, mendapat protes
keras dari surat-surat kabar dan PWI mulai dari Pusat sampai ke cabang-cabang.Serikat
Perusahaan Surat kabar (SPS) Pusat menolak dan mengecam peraturan ini. PWI cabang Besuki
bahkan menganjurkan rekan-rekannya mem-blok out semua berita tentang ketentaraan kalau
peraturan Kasad tetap berlaku. (178)
Peraturan yang ditandatangani oleh KSAD Mayor Jenderal A.H. Nasution itu akhirnya
dicabut pada 28 November 1956. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa pembredelan, sensor
dan tindakan-tindakan terhadap para wartawan tidak terjadi lagi. Faktanya akan dikemukakan
dalam bagian berikut.
Pembatasan-pembatasan terhadap pers justru semakin terasa, setelah diumumkan Keadaan
Perang pada 14 Maret 1957. Perlu dicatat adanya usaha-usaha, baik dari pihak para wartawan,
Kementrian Penerangan maupun Penguasa Militer untuk menyelesaikan masalah-masalah pers
yang timbul, sebaik mungkin24.

21
22
23
24

Taufik. Loc. Cit. hlm. 179
Ibid. 180
Ibid. 190
Tim LSPP. Loc. Cit. hlm. 180

8

Sebagai hasil pertemuan-pertemuan antara berbagai pihak itu, disepakati antara lain
membentuk “Badan Kontak”, baik di Pusat maupun di daerah-daerah. Badan kontak antara
pemerintah-penguasa militer di satu pihak itu dimaksudkan untuk menampung persoalanpersoalan yang timbul di antara pers dan pemerintah umumnya juga terhadap tindakan-tindakan
yang diambil.
Sebelum Badan Kontak itu dibentuk, Sekjen Departemen Penerangan di kala itu (1957),
R.M. Harjoto, diterima sebagai perantara antara penguasa militer dengan pers.Bandan Kontak itu,
tidak saja diusahakan terbentuk di Pusat, tetapi juga di daerah-daerah.Di kala itu penguasa militer
di daerah masing-masing sering membuat peraturan-peraturan sendiri dan melakukan tindakantindakan sendiri terhadap persatuan pun wartawan.
Itulah sebabnya Kepala Staf Angkatan Darat yang juga menjadi Penguasa Militer Pusat,
Mayor Jenderal A.H Nasution, mengeluarkan instruksi kepada para penguasa militer di daerah
tertanggal 4 Desember 1957, yang isinya sebagai berikut: Semua peraturan mengenai pembatasan
pemasukan surat-surat kabar dan sensor preventif yang dibuat oleh masing-masing Penguasa
Militer Daerah25, supaya dicabut.
Penguasa Militer Daerah Jakarta Raya akhirnya mengeluarkan juga ketenuan menegnai
permintaan izin terbit bagi harian-harian dan majalah-majalah di Jakarta. Ini terjadi tanggal 1
oktober 195826. Pemerintah Hindia Belanda dalam ketentuan-ketentuan yang mengenai pers tidak
mengadakan izin terbit, meskipun masalah lisensi atau izin terbit ini pernah menjadi masalah
hangat dikalangan penguasa colonial. Ketentuan mengenai izin terbit bagi per situ baru kemudian
diadakan oleh Pemerintah Balatentara Jepang dan di zaman Republik Indonesia, dimulai sewaktu
berlakunya SOB tersebut sampai sekarang27.
Suatu ketentuan yang menarikdanbarupertama kali terjadi dalam sejarah pers di
Indonesia, ialah berlakunya ketentuan mengenai jumlah iklan yang maksimal boleh dimuat oleh
sebuah surat kabar. Para pemimpin surat kabar diminta untuk membuatiklan tidak lebih dari
sepertiga ruangan atau halaman-halaman yang tersedia.

25
26
27

Ibid. 179
Ibid. 180
Ibid. 190

9

Setelah pengakuan kedaulatan, sruktur pers di Indonesia merupakan kelanjutan masa
sebelumnya, terdiri dari pers nasional, surat-surat kabar Belanda dan China 28. Koran-koran
Belanda yang hadir sebelum masa kemerderkaan dibolehkan hadir oleh pemerintah dan dianggap
sebagai Koran Tamu. Koran-koran tamu itu mempunyai percetakan sendiri, lengkap dengan
peralatannya yang serba modern. Dan merekapun mendapat privilege yang sama dengan Korankoran Belanda ini dibenarkan menulis apa saja yang mereka kehendaki, dan kantor beritanya pun
masih tetap pula dibenarkan menyiarkan berita yang sesuai dengan selara mereka sendiri29.
Namun secara ekonomi organ pers pribumi mengalami kelesuan dalam keuangan
terutama dibandingkan dengan organ pers Belanda atau China yang didukung oleh capital besar 30,
sebaliknya Pers pribumi tidak mengalami kapital yang besar. Pers Pribumi yang dapat bertahan
ialah pers yang tercatat sebagai organ Partai seperti harian pedoman, abadi, yang nota bene
adalah harian milik partai politik31.
Menurut catatan tahun 1954, di Jakarta tercatat sebanyak 27 surat kabar dengan jumlah
oplah hampir 50% dari jumlah oplah untuk seluruh Indonesia. Koran-koran yang mencatat oplah
besar umumnya merupakan organ atau pendukung partai, Harian Rakyat (PKI) 55.000
eksemplar, Pedoman (PSI) 48.000 eksemplar, Suluh Indonesia 40.000 eksemplar, dan Abadi
(Masyumi) 34.000 Eksemplar32. Selain surat-surat kabar di atas di Jakarta terbit harian
Pemandangan, Merdeka, Bintang Timur (organ Partindo), Duta Masyarakat (organ Nahdatul
Ulama), Sin Po (China, Komunis), Keng Po (Cina nonkomunis)33.
Pada masa ini Pers digunakan oleh Partai Politik terutama sebagai sebuah alat propaganda
politik terutama menjelang Pemilu 1955, oplah dan penerbitan surat kabar mengalami
peningkatan yang demikian pesat, dibandingkan periode sebelumnya. hal ini disebabkan para
politikus menggunakan Pers sebagai sarana untuk menarik perhatian umum dan dukungan
Umum.
Menurut Hatta, surat kabar yang telah menjadi suara golongan politik tertentu tidak
mengurangi kedudukannya sebagai bagian dari masyarakat. Sebagai suatu kesatuan, pers adalah
28
29
30
31
32
33

Said Tribuana. Loc. Cit. hlm 112
Ibid. hlm. 113
Ibid. hlm. 113
Taufik. Loc. Cit. hlm. 130
Ibid. hlm. 190
Ibid. 179

10

suara dari rakyat yang merdeka, yang bebas mengeluarkan pendapat yang berlainan tentang
masalah-masalah negara dan masyarakat. Tetapi tambahnya, dalam proses pembangunan,
kedudukan dan peranan pers nasional tidak semata-mata menjadi “anggota perasaan umum” atau
terompet perasaan umum, melainkan mendorong perasaan umum itu untuk menginsafi dasardasar perekonomian negara dan masyarakat34.
Namun-namun kemudian hasil-hasil yang terjadi ketika partai menjadi organ politik partai
politik ialah, praktek-praktek dimana pemerintah memberikan dukungan kepada pers yang
menyokonngnya di satu pihak, dan menghambat mereka yang menentangnya. Surat-surat kabar
yang mendukung suatu kabinet biasanya akan memperoleh pesanan besar dari kantor-kantor
pemerintah, mendapat kredit untuk membeli perangkat keras, dan lebih disukai bila ada undangan
untuk ikut delegasi-delegasi ke luar negeri, sebaliknya wartawan-wartawan Koran lawan akan
mendapat larangan terbit35.
2.2 Pers Masa Demokrasi Terpimpin
Akibat kegagalan Konstituante menyusun Undang-undang dasar baru, maka kemudian
Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 1959, maka kemudian Indonesia memasuki
era-baru yaitu era Demokrasi Terpimpin. Media Massa harus diarahkan untuk mendorong aksi
massa revolusioner di seluruh Indonesia. Rakyat harus didorong untuk memiliki keyakinan yang
teguh tentang sosialisme agar dukungan bagi kelangsung Revolusi dan peranannya dalam
pembangunan nasional dapat terwujud.
Pers di era orde lama dan orde baru dapat dikategorikan ke dalam periode kedua di mana
kontrol Negara terhadap pers – meski di masa-masa awal berkuasanya rezim, hubungan harmoni
masih dapat terlihat – sangat besar sehingga mematikan dinamika pers. Setelah penyerahan
kedaulatan Jepang pada 15 Agustus 1945, wartawan Indonesia mengambil alih semua fasilitas
percetakan surat kabar dari tangan Jepang dan berupaya menerbitkan surat kabar sendiri. Surat
kabar pertama yang terbit di masa republik itu bernama Berita Indonesia yang terbit di Jakarta
sejak 6 September 1945.
Kondisi perpolitikan di Indonesia dalam tahun-tahun 1945-1958 dapat dikatakan masih
sangat panas. Pertikaian dengan Belanda ataupun Jepang belum lagi tuntas, dan pergolakan di
34
35

Ibid. 170
Ibid. 170

11

beberapa tempat dengan pihak Belanda ataupun Jepang yang belum menarik diri masih terjadi.
Sebagai upaya serangan balik terhadap propaganda anti Belanda yang dilancarkan oleh surat
kabar-surat kabar republik, maka Belanda juga menerbitkan surat kabar berbahasa Indonesia,
diantaranya Fadjar (Jakarta), Soeloeh Rakyat (Semarang), Pelita Rakyat (Surabaya), serta
Padjajaran dan Persatoean (Bandung). Pada masa itu, sebagian besar surat kabar terbit dalam
empat halaman, dikarenakan kurangnya pendanaan dan percetakan yang masih minim. Pada
Desember 1948 di Indonesia telah terbit 124 surat kabar dengan total tiras 405.000 eksemplar.
Tetapi pada April 1949, jumlah surat kabar berkurang menjadi hanya 81 dengan tiras 283.000
eksemplar. Ini diakibatkan oleh Agresi Militer Belanda Kedua yang terjadi pada Desember 1948.
Sementara, jangkauan tiras berubah dari 500 menjadi 5.000 eksemplar. Sepanjang periode ini,
pers Indonesia semakin memperkuat semangat kebangsaan, mempertajam teknik berpolemik, dan
mulai memperlihatkan peningkatan semangat partisan36.
Akhirnya, pada tahun 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959
yang mengakhiri masa Demokrasi Liberal dan kembali menjadikan UUD 1945 sebagai dasar
negara. Masa ini dikatakan sebagai masa Demokrasi Terpimpin. Pada masa ini, pers nasional
menganut sistem otoriter. Pers dijadikan sebagai corong penguasa yang harus mendukung
kedudukan presiden dan mendoktrin manipol. Pers berfungsi sebagai alat penggerak aksi massa
dalam memberikan informasi dan mendorong masyarakat agar mau mendukung pelaksanaan
manipol dan setiap kebijakan pemerintah37.
Penguasa melakukan rekayasa terhadap pers melalui sistem regulasi represif. Dalam upaya
mengkonsolidasi kekuasaannya, Soekarno dengan ketat mengontrol pers dan berusaha membuat
pers menjadi jinak dan penurut. Pada tanggal 12 Oktober 1960, dalam kapasitasnya sebagai
Penguasa Perang Tertinggi (Peperti), Soekarno mengeluarkan dekrit bahwa setiap penerbitan pers
harus mendaftarkan diri terlebih dahulu untuk mendapatkan SIT (Surat Ijin Terbit) 38. Agar ijin
tersebut diperoleh, pers harus memenuhi persyaratan tertentu seperti, loyal kepada manifesto
politik Soekarno, serta turut berjuang menentang imperialisme, kolonialisme, liberalisme,
federalisme, dan separatisme. Para penerbit dan pemimpin redaksi diharuskan menandatangani
dokumen berisi 19 pasal tentang janji-janji pemenuhan kewajiban untuk setia pada program

36
37
38

Semma, Pers di Indonesia. (Jakarta:LP3ES, 2008). Hlm. 113
Ibid. hlm. 114
Ibid. hlm. 105

12

manipol, pemerintah dan Soekarno sendiri. Tujuannya ialah menjadikan pers sebagai alat
pendukung, pembela, dan penyebar manifesto politik Soekarno39.
Akibatnya, pers Indonesia merasa berada dalam pengepungan manipol Soekarno. Wartawan
Indonesia kala itu menamakan sistem pers demokrasi terpimpin sebagai pers manipol. Setelah
harian Indonesia Raya dilarang terbit pada tahun 1961, Mochtar Lubis, sang editor dipenjara di
Madiun bersama PM Sutan Sjahrir, Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung, Sultan Hamid,
dan Soebadio Sastrosatomo. Semua tahanan tersebut dinilai sebagai oposan oleh Presiden
Soekarno
Soekarno kemudian menempatkan percetakan swasta di bawah pengawasan pemerintah
berdasarkan Peraturan Administrasi Militer Tertinggi no.2/1961. Pada tanggal 15 Mei 1963,
Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden tentang pemberian wewenang kepada Menteri
Penerangan untuk menangani pedoman pers. Lalu, pada tanggal 12 September 1962, kantor berita
Antara dinasionalisasikan dengan Dekrit Presiden no.307/196240.
Kantor berita Antara selanjutnya berada dalam pengaruh kaum komunis, seiring dengan
semakin meningkatnya pengaruh PKI di pemerintahan. Kondisi ini kemudian sampai pada taraf
kritis karena lebih dari separuh berita yang diterbitkan bersifat pro-komunis. Surat kabar milik
PKI, yaitu harian Rakyat, tirasnya meningkat menjadi 75.000 eksemplar pada tahun 1964 dan
terus meningkat menjadi 85.000 eksemplar pada tahun 1965. Hal ini kemudian mendorong para
wartawan dari 10 surat kabar yang tergabung dalam BPS (Barisan Pendukung Soekarno) gigih
menentang PKI. Pertentangan ini terlihat jelas pada isi berita harian Rakyat milik PKI melawan
harian Merdeka milik B.M. Diah. Namun, Soekarno ternyata lebih memihak PKI karena
menganggap PKI lebih dapat diandalkan sebagai landasan kekuasaan daripada kaum nasionalis.
Sehingga pada bulan Februari dan Maret tahun 1965, 17 surat kabar yang tergabung dalam BPS
dilarang terbit.
Tak menyerah, pada tahun 1965, Angkatan Bersenjata menerbitkan surat kabar Berita
Yudha. Pada bulan Maret 1965, Menteri Penerangan mengeluarkan Peraturan Nomor 29 yang
menegaskan bahwa surat kabar harus berasal dari 9 partai politik yang ada. Aturan tersebut
merupakan upaya Soekarno untuk mengintegrasikan surat kabar agar partai-partai politiklah yang
pertama mengontrol surat kabar. Karena itulah, Frans Seda dari Partai Katholik ingin
menerbitkan surat kabar Katholik. PK Ojong dan rekannya Jakob Oetama kemudian ditunjuk
39
40

Ibid. hlm. 106
Ibid. hlm. 106

13

sebagai pemimpin redaksi dan editor. Pada tanggal 28 Juli 1965, harian Kompas terbit pertama
kali. Surat kabar Indonesia mengalami peningkatan oplah, dari yang awalnya hanya berjumlah
692.500 eksemplar pada tahun 1961, empat tahun kemudian, pada tahun 1965, surat kabar di
Indonesia berjumlah 114 dengan oplah 1.469.350 eksemplar41.
Pada masa ini pula, muncul saluran televisi Indonesia yang pertama, yaitu TVRI yang
awalnya digunakan untuk menyiarkan tayangan Asian Games IV. Namun, setelah menayangkan
acara tersebut, TVRI belum dapat meneruskan siarannya, karena tidak adanya studio khusus dan
keterlambatan persediaan film. Lalu, atas desakan Yayasan Gelora Bung Karno, pemerintah
membangun studio darurat sebagai studio operasional TVRI yang memungkinkan siaran TVRI
selama satu jam setiap harinya, hingga akhirnya jam siaran TVRI terus bertambah dan pada
tanggal 12 November 1962, TVRI mulai mengudara secara reguler setiap hari. TVRI berperan
sentral

dalam

proses

komunikasi

politik

pemerintah.

TVRI adalah

medium

untuk

mempromosikan program-program pemerintah, memperteguh konsensus nasional tentang budaya
nasional, pentingnya pembangunan, tertib hukum, dan menjaga kemurnian identitas bangsa.
TVRI lebih banyak diperlakukan sebagai alat propaganda pemerintah untuk propaganda politik
ke dalam dan ke luar negeri, serta medium konsolidasi kekuasaan dan monopoli informasi oleh
pemegang kekuasaan42.
Maka kemudian Pers, Radio, dan Film harus digerakkan sebagai satu kesatuan terpadu secara
terpimpinm berencana dan terus menerus kea rah kesadaran mengenai sosialisme Indonesia dan
Pancasila. Maka kemudian ditentukan langkah-langkah untuk menciptakan pers Manipol menuju
tercapainya pers sosialis ialah,
a) Mendirikan kantor berita nasional yang kuat dan lengkap
b) Membantu organisasi penerbitan pers menyelenggarakan seminar-seminar pers
c) Mengadakan pendidikan dan latihan bagi para pelaksana pers
d) Mengadakan pendidikan wartawan
e) Mendirikan pusat pers
f) Membantu penyedian kertas Koran
g) Menyelenggarakan kunjungan kerja oleh wartawan ke proyek-proyek pembangunan

41
42

Ibid. hlm. 107
Sudibyo. Loc. Cit. hlm. 279

14

h) Menyiapkan undang-undang pers yang mencangkup antara lain : penjabaran fungsi-fungsi
pers dalam rangka melaksanakan Manipol demi kelangsungan revolusi dan pembanguan
semesta berencana ; penjabaran hak-hak dan kewajiban-kewajiban pers; serta penjabaran
kebebasan pers, terutama peredaranya di kalangan pekerja
i) Membangun pabrik-pabrik kertas agar impor kertas Koran tidak diperlukan lagi
j) Meningkatkan kesejahtraan pekerja-pekerja pers43
Pada masa ini juga pemerintah melarang penerbitan surat-surat kabar yang tidak
menggunakan huruf latin. Hal ini berarti melarang penerbitan pers yang menggunakan aksara
Cina. Antara Tahun 1960 hingga 1965, peredaran pers di Indonesia tidak menunjukkan
perkembangan yang stabil sebagai pencerminan keadaan secara umum. Jumlah surat kabar dan
oplah pada tahun 1960 hampir tidak berbeda dengan tahun sebelumnya. pada tahun 1959, oplah
94 surat kabar harian mencapai 1.036.500 lembar sedang oplah 273 jenis penerbitan lainnya
berjumlah sedikir di atas tiga juta lembar. Pada tahun 1960, jumah surat kabar harian mencapai
97 dengan oplah sebanyak 1.0905000, sedang jumlah berbagai jenis penerbitan lainnya adalah
230 penerbitan dengan oplah sebanyak 3.350.000 lembar per terbit44.
Masalah utama dalam masa Demokrasi Terpimpin ini ialah keterbelakangan dalam sektor
pembanguan percetakan pers, dimana sejak tahun 1952 hingga 1964 Pemerintah hanya
mendirikan beberapa perusahaan percetakan. Karena kebanyakan mesin cetak yang ada ialah
peninggalan Belanda dan juga Jepang45.
masa Demokrasi Terpimpin ini Pemerintah Soekarno mulai cenderung condog untuk
bersahabat dengan negara-negara Komunis atau negara-negara blok Timur. Maka akibatnya
Partai Komunis Indonesia (PKI) mengalami masa kedigdayaan karena senantiasa disokong oleh
Pemerintah. Organ-organ Pers PKI dan pendukungnya seperti Harian Rakyat, Bintang Timur,
Warta Bhakti di Jakarta, kemudian ditambah dengan Gelora Indonesia dan Kebudayaan Baru
yang juga terbit di Ibukota, belum terhitung sejumlah mingguan Trompet Masyarakat di
Surabaya; Harian Harapan dan Gotong Royong di Medan; dan di berbagai kota lainnya, dengan
sendirinya ikut memanaskan dan mematangkan sistuasi revolusioner46.
43

I.N.S Soebagiyo. Loc. Cit. hlm. 78
Ibid. hlm. 78
45
Ibid. hlm 78
46
Tribuana Said. Loc. Cit. hlm. 89
44

15

Taktik ofensif PKI yang radikan semakin membuatnya dekat dengan Presiden Soekarno
seperti dalam Masalah Irian Barat serta Konfrontasi dengan Federasi Malaysia, ketegangan
dengan Amerika Serikat telah dimanfaatkan benar oleh PKI untuk mendapatkan dukungan
umum47. selain itu di desa-desa , anggota PKI melancarkan aksi agitasi dan propaganda
memerangi tujuh setan desa, akibatnya dibeberapa tempat sering terjadi kerusuhan diantara
rakyat dan ABRI serta orang-orang yang terhasut oleh PKI48.
Taktik PKI ofensif PKI juga mendapat perlawanan dari kalangan Pers Anti PKI.
Perlawanan terhadap PKI tersebut berkisar pada lahirnya Manifesto Kebudayaan, aksi boikot
film-film barat, dan masalah penyederhanaan Partai. Pada waktu itu juga terjadi pula polemic
sengit antara Berita Indonesia dan Merdeka serta Koran-kora anti-PKI lainnya dengan Harian
Rakyat dan penyokongnya bermula dari pandangan Presiden yang menyatakan tidak puas dengan
sistem kepartaiaan yang ada dan menginginkan rektruiasasi. Khwatir dengan hal itu PKI
menyerang pihak-pihak yang enyatakan setuju dengan usulan itu.
Pertentangan dalam jajaran pers Indonesia meluaskan sorotann dan kesadaran masyarakat
terhadap ofensif PKI di berbagai bidang, termasuk pers. Penyusupan PKI dan penyokongnya di
organisas-organisasi pers seperti PWI, SPS, Antara dan lain-lain menimbulkan kecemasan di
kalangan luas. Setelah Pemerintah menutup sejumlah Koran anti-PKI, PKI justru memperbesar
jaringan penerangan dan propagandannya dengan menerbitkan Koran-kora baru49.
Sementara itu membendung taktif ofensif PKI maka pada 1 September 1964 didirikan
Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS) di lingkungan surat kabar, radio dan televisi, angotaanggota BPS adalah Hismawara Darmawati, Joenoes Lubis, Asnawi idris dll. Koran-koran yang
merupakan simpatisan PKI terdiri dari Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Tempo, Waspada,
Mimbar Umum, dll.
Pemerintah di waktu itu, telah mendapat tekanan dari orang-orang Komunis yang duduk
dalam pemerintahan, sehingga memutuskan untuk dalam bulan Februari 1965, melarang semua
aktifitas dan mencabut izin terbit Koran-koran penyokong BPS, namun demikian golongan-

47
48
49

Taufik. Loc. Cit. hlm 105
Ibid. hlm. 106
Semma. Loc. Cit. hlm. 109

16

golongan anti BPS tetap belum puas mereka menuntut diadilinya gembong-gembong BPS karena
merupakan gembong-gembong CIA.
Adapun lawan politik BPS adalah Koran-koran PKI/PNI seperti Harian Rakyat, Bintang
Timur, Suluh Indonesia, dll. Sepanjang tahun 1964, saling menyerang di dalam pers nasional
terjadi antara Merdeka yang mengecam front Nasional dan Suluh Indonesia yang mendukung
Front Nasional50. Selain itu muncul juga fitnahan bahwa anggota BPS adalah agen CIA akibatnya
BPS kemudian dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada 17 Desember 1964, akibatnya para
wartawan yang masuk ke dalam BPS dipecat dari keanggotan mereka dalam Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI), kemudian surat-surat kabar yang bergabung ke dalam BPS dibekukan51.
Wartawan-wartawan Anggota BPS diproses di kejaksaan seperti Sumantoro, Joenoes
Lubis, Sajuti Melik, Asnawi Idris, Zein Effendi. Namun demikian keadaan berubah drastis
setelah terjadi peristiwa G30/S PKI, hal yang terjadi justru mulai sebaliknya. Orang-orang PKI
mulai banyak yang kemudian dibunuh atau dipenjara. Sejak saat itu mulai masuk kepada masa
baru yaitu, masa orde baru.
Mengenai izin terbit, pada tahun 1960 lebih terperinci lagi syarat-syaratnya. Pada
permintaan izin terbit harus menyetujui dan menandatangani kesanggupan 19 pasal. Kesembilan
belas pasal itu mencerminkan kebijaksanaan pemerintah waktu itu. Peraturan Peperti No. 10/1960
ini bersama dengan Penpers No.6/1963 bisa disebut tulang punggung kebijaksanaan pemerintah
di bidang pers sesudah tahun 1959 sampai dengan lahirnya Orde Baru 1965. Khususnya sampai
dengan lahir UU No. 11/1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers52.
Di samping Surat Izin Terbit (SIT), sejak pecahnya Gerakan 30 September 1965 berlaku
pula Surat Izin Cetak (SIC), yang dikeluarkan oleh Pelaksana Khusus (Laksus) Komanda Operasi
Penulisan Keamanan dan ketertiban Derah (Kopkamtibda)53.
Dengan adanya SIC itu, Laksusda berhak penuh melakukan pemanggilan kepala
wartawan yang dinilai melakukan kesalahan atau yang dianggap perlu dimintai keterangan.

50
51
52
53

Tribuana Said. Ibid. hlm 79
Ibid. hlm 80
Tim LSPP. Loc. Cit. hlm 183
Ibid. 189

17

Nomor Izin Cetak harus dicantumkan pada setiap penerbitan pers, seperti halnya Nomor Izin
Terbit yang dikeluarkan oleh Menteri Penerangan54.
Ketentuan mengenai SIT dalam UU Pokok Per situ diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Menteri Penerangan No.03/Per/Menpen/1969, tanggal 27 Mei 1969. Di dalam peraturan ini
dikemukakan secara terperinci syarat-syarat untuk mendapatkan SIT beserta acara-caranya.
Di samping SIT danSIC, sebenarnya masih ada yang disebut Surat Izin Pembagian Kertas
(SIPK). Izin ini dia akan sejak soal kertas Koran merupakan masalah. Persoalan kertas Koran ini
memang rumit, dan diatur secara khusus oleh Departemen Keuangan.
Masalah kertas koran yang masih impor ini bisa dijadikan “senjata” untuk menghambat
perkembangan pers. Meskipun sekarang sejumlah surat kabar bisa melakukan impor kertas
sendiri, tetapi itu tidak berarti mereka terbatas dari ketentuan-ketentuan yang bisa “dipukulkan”
terhadap mereka55.
Dari kebijaksanaan pemerintah terhadap pers, baik di zaman Belanda, Jepang maupun RI,
nyatalah betapa wewenang untuk membredel pers merupakan salah satu ciri yang menonjol. Dan
dasar dari wewenang itu selalu: “untuk menjaga ketertiban umum”56.
Meskipun Pers breidel Ordonnantie dari tahun 1931 sudah dicabut pada tahun 1954 di
zaman pemerintahan RI, tetapi masih adanya lembaga SIT praktis berarti kuatnya wewenang
penguasa untuk melakukan pembredelan atau untuk menentukan boleh-tidaknya seorang warga
negara mengusahakan penerbitan pers57.
Dalam praktik, jika salah satu dari ketentuan itu masih berlaku, efeknya terhadap pers
masih tetap sama saja. Dengan meniadakan Persbredel Ordonnantie pada tahun 1954, penegasan
tiadanya sensor serta pembredelan dalam UU Pokok Pers 1966 (pasal 4) dan tidak perlunya SIT
(pasal 8), pada hakikatnya Pemerintah RI pun mengakui bahwa pembredelan pers dan izin
penertiban surat kabar tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar kita bernegara58.

54
55
56
57
58

Ibid. 190
Taufik. Loc. Cit. hlm. 190
Ibid. 190
Tim LSPP. Loc. Cit. hlm 190
Ibid. hlm. 191

18

Selain pembredelan pers sekarang masih berlaku, ketentuan UU zaman Belanda yang
sampai kini juga belum dihapus adalah HaatzaaiArtikelen. Itu sebabnya dalam sidang parlemen
23 Juni 1954 yang membicarakan RUU Pencabutan Persbreidel Ordonnantie, banyak anggota
yang menyetujui usulan mandemen Tan PoGoan. Dalam usul ini dikemukakan, agar pencabuan
Pers breide lOrdonnantie dibarengi juga dengan pencabutan pula pasal 11 SOB (Peraturan dalam
Keadaan Perang dan Darurat Perang)59.
Meskipun gagasan pencabutan pasal 207 dan 208 KUHP serta pasal 11 SOB pada
prinsipnya disetujui oleh sidang untuk memisahkan gagasan itu menjadi usul inisiatif tersendiri
yang akan dibicarakan dalam rapat-rapat bagian. Dalam sidang tanggal 23 Juni 1954 itu akhirnya
hanya disetujui RUU tentang Pencabutan PersbredelOrdonnantie60.
2.3 Etika Pers masa Orde Lama
Jika dilihat dari sejarah perkembangan pers masa orde lama dari awal tahun 1945 hingga
tahun 1966, terjadi pergeseran dari pers perjuangan yang awalnya berperan besar dalam
membentuk nasionalisme rakyat Indonesia dan mampu menggerakkan rakyat dalam merebut
kemerdekaan, menjadi pers simpatisan yang hanya menjadi corong partai politik tertentu. Sejak
masa demokrasi liberal hingga demokrasi terpimpin, pers Indonesia semakin terkekang dan
mengalami hubungan yang tidak harmonis dengan pemerintah Indonesia. Pemerintah berusaha
mengontrol dan membatasi pers dengan mengeluarkan SIT (Surat Ijin Terbit) yang wajib dimiliki
setiap usaha penerbitan pers dan setiap pemimpin redaksi yang masih ingin menerbitkan surat
kabarnya diwajibkan menandatangani dokumen kontroversial berisi 19 pasal kewajiban pers
untuk patuh dan mendukung manipol Soekarno61.
Disinilah, etika jurnalistik para pekerja pers dipertanyakan. Apakah mereka lebih memilih
untuk mempertahankan ideologi mereka sendiri dan menolak menandatangani dokumen itu, yang
artinya mereka harus siap untuk diasingkan, surat kabar mereka diberangus dan dibreidel?
Ataukah mereka memilih untuk menandatangani dokumen tersebut demi kelangsungan surat
kabar dan hidup mereka? Sebagian wartawan dan editor, seperti Mochtar Lubis memilih menolak
menyetujui dokumen tersebut hingga akhirnya dipenjara selama 9 tahun dari tahun 1957 hingga
tahun 1966. Namun, kisah lain ditorehkan Rosihan Anwar, pemimpin redaksi harian Pedoman,
59
60
61

Ibid. hlm 190
I.G.N Soebagio. Loc. Cit. hlm. 76
Semma. Loc. Cit. hlm. 105

19

salah satu surat kabar terkemuka pada masa itu. Rosihan Anwar terpaksa menandatangani
dokumen yg kontroversial ini agar surat kabarnya bisa tetap hidup. Namun ironisnya, tak berapa
lama kemudian, pada bulan Januari tahun 1961, harian Pedoman dilarang terbit karena dianggap
lebih memihak partai lain selain PKI yang berkuasa pada masa itu. Mochtar Lubis yang saat itu
sedang menjalani masa penahanan dan merupakan orang yang paling menentang keberadaan
dokumen tersebut kemudian memberikan informasi kepada International Press Institute (IPI)
bahwa Rosihan Anwar telah menandatangani dokumen tersebut. Akibatnya, Rosihan Anwar
untuk sementara waktu dikeluarkan dari keanggotaaan IPI. Dalam surat penjelasan kepada IPI,
Rosihan berkilah bahwa itulah cara terbaik untuk tetap menjadi wartawan, mendobrak
penghalang dan tetap menjaga agar kepercayaan rakyat terhadap demokrasi tetap hidup62.
Jika ditinjau dari pendekatan etika komunikasi, sanksi yang diberikan IPI kepada Rosihan
Anwar termasuk harian yang dipimpinnya, yaitu harian Pedoman, merupakan hal yang dipelajari
dalam pendekatan makro etika komunikasi. Hal itu karena etika yang dikenakan merupakan etika
komunikasi antar institusi jurnalistik. Kebebasan pers era orde lama dapat dibedah dari empat
bahan pembentuk etika komunikasi63.
Pertama, berdasarkan standar moral, pada era orde lama, dapat dilihat bahwa standar moral
atau code of conduct yang berlaku spesifik untuk profesi jurnalis belum terbentuk. Pada masa itu,
kode etik jurnalistik maupun undang-undang pers memang belum dirumuskan. Sehingga, para
jurnalis di masa orde lama mengalami pergolakan batin yang cukup hebat. Di satu sisi mereka
ingin karya jurnalistiknya diterbitkan sesuai idealisme mereka masing-masing dan kebebasan
pers yang terjamin. Namun, di sisi lain, dengan adanya SIT yang mengontrol isi materi
jurnalistik, jurnalis tidak lagi leluasa menjalankan kebebasan berpendapat mereka atau
mengungkapkan kebenaran sesungguhnya kepada publik.
Kedua, melalui teori normatif sebagai perangkat yang menganalisis pola hubungan antar
institusi, kita dapat melihat bahwa pola hubungan negara dengan media massa di Indonesia pada
masa orde lama bersifat otoriter, dimana etika komunikasi ditentukan dan tunduk pada
pemerintah. Ketiga, nilai sosial yang terinternalisasi dalam diri jurnalis sebagai bagian dari etika
komunikasi muncul dari nilai-nilai dalam komunitasnya. Nilai-nilai sosial yang muncul pada
masa itu bisa jadi merupakan rasa takut pada pemerintah. Terutama karena adanya ancaman
kehilangan pekerjaan dan dipenjara bagi para jurnalis. Namun, nilai-nilai sosial itu juga bisa
62
63

Ibid. hlm. 106
Ibid. hlm. 106

20

berupa sikap kritis dengan mental kuat dimana para jurnalis berusaha sekuat tenaga untuk
mempertahankan ideologinya walaupun itu bertentangan dengan pemerintah. Terakhir,
berdasarkan nilai filsafat, yang muncul dari kesadaran intelektual dan pendidikan karakter,
jurnalis dapat memilih prinsip hidupnya untuk patuh pada kekangan pemerintah atau menolak
otoritas pemerintah tersebut64.

64

Ibid.hlm. 106

21

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pers merupakan suatu lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang menjalankan
kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan berbagai jenis media dan saluran yang tersedia.
Sejarah pers bangsa Indonesia pada masa orde lama sangatlah panjang dan banyak sekali
peristiwa-peristiwayang terjadi didalamnya. Setelah penyerahan kedaulatan Jepang pada tanggal
15 Agustus 1945, wartawan Indonesia mengambil alih semua fasilitas percetakan surat kabar dari
tangan Jepang dan berusaha menerbitkan surat kabar sendiri. Surat kabar pertama Indonesia pada
masa itu adalah surat kabar Berita Indonesia yang diterbitkan di Jakarta pada tanggal 6
September 1945. Selanjutnya berturut-turut muncul surat kabar Merdeka pada tanggal 1 Oktober
1945, harian Indonesia Merdeka pada tanggal 4 Oktober 1945, harian Pedoman oleh Rosihan
Anwar pada tanggal 29 November 1948 dan harian Indonesia Raya pada tanggal 29 Desember
1949 di Jakarta.
Setelah berhasil mempertahankan kemerdekaannya, pada tahun 1950 hingga tahun 1959,
Indonesia menetapkan menganut paham demokrasi liberal. Sesuai namanya, pada masa ini, pers
nasional sangat menikmati kebebasan pers yang dimilikinya, terutama bagi wartawan politik.
Pada masa ini pers nasional mengalami perubahan fungsi dari pers perjuangan menjadi pers
partisan yang menjadi corong partai politik.

22

Daftar Pustaka
I.N.H, Seobagio. 1977. Sejarah Pers Indonesia. Jakarta: Dewan Pers
Said, Tribuana. 1998. Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers dan Pancasila. Jakarta: CV
Haji Masagung
Semma. 2008. Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta:LP3ES
Sudibyo. 2004. Perkembangan Pers di Indonesia. Jakarta
Taufik. 1977. Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia. Jakarta: PT TRIYINCO.
Tim LSPP.2005. Media Sadar Publik. Jakarta:Lembaga Studi dan Pembangunan
Internet
Hassan. Pengertian dan Sejarah Pers. http://hasangunawan23-pers.blogspot.co.id/. Diunduh 2409-2015

23

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52