Laporan Praktikum Dan Genetika Butawarna

LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA

BUTAWARNA

Disusun oleh:
Nama

: Rahmayani Uswatun Hasanah

NIM

: 13304244023

Kelas

: Pendidikan Biologi C

Kelompok

:5


JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2015

A. Topik 11
Butawarna.

B. Tujuan
Mengetahui cara melakukan pengujian test butawarna.

C. Tinjauan Pustaka
Butawarna adalah suatu kelainan yang disebabkan ketidakmampuan selsel kerucut mata untuk menangkap suatu spektrum warna tertentu akibat faktor
genetis sehingga penderita butawarna tidak mampu membedakan warna-warna
dasar tertentu. Butawarna merupakan kelainan genetik yang diturunkan dari
orang tua kepada anaknya, kelainan ini sering juga disebut sex linked, karena
kelainan ini dibawa oleh kromosom X. Artinya kromosom Y tidak membawa
faktor butawarna. Hal inilah yang membedakan antara penderita butawarna
pada laki-laki dan wanita. Hal ini menujukkan ada satu kromosom X yang
membawa sifat butawarna. Wanita dengan pembawa sifat, secara fisik tidak

mengalami kelalinan butawarna sebagaimana wanita normal pada umumnya.
Tetapi wanita dengan pembawa sifat berpotensi menurunkan faktor butawarna
kepada anaknya kelak. Apabila pada kedua kromosom X mengandung faktor
butawarna maka seorang wanita tersebut menderita butawarna (Suryo, 2008 :
191-193).
Butawarna dapat terjadi secara congenital atau didapat akibat penyakit
tertentu. Butawarna yang diturunkan tidak bersifat progresif dan tidak dapat
diobati. Pada kelainan makula (retinitis sentral dan degenerasi makula sentral),
sering terdapat kelainan pada penglihatn warna biru dan kuning, sedang pada
kelainan saraf optik akan terlihat gangguan penglihatan warna merah dan hijau.
Butawarna umumnya dianggap lebih banyak terdapat pada laki-laki dibanding
perempuan dengan perbandingan 20:1 (Kartika, 2014: 269).
Butawarna dikenal dalam beberapa bentuk, yaitu:
1. Trikromatik, yaitu keadaan pasien mempunyai 3 pigmen kerucut yang
mengatur fungsi penglihatan. Pasien butawarna jenis ini dapat melihat
berbagai warna, tetapi dengan interpretasi berbeda dari normal. Bentuk
defisiensi yang paling sering ditemukan:

a. Deuteranomali, yaitu apabila yang rusak atau lemah adalah bagian mata
yang sensitif terhadap warna hijau.

b. Protanomali, yaitu apabila yang rusak atau lemah adalah bagian mata
yang sensitif terhadap warna merah.
c. Tritanomali, yaitu apabila yang rusak atau lemah adalah bagian mata yang
sensitif terhadap warna biru.
2. Dikromatik, yaitu pasien mempunyai 2 pigmen kerucut, akibatnya sulit
membedakan warna tertentu.
a. Protanopia, yaitu tidak adanya sel kerucut warna merah sehingga
kecerahan warna merah dan perpaduannya berkurang.
b. Deuteranopia, yaitu tidak adanya sel kerucut yang peka terhadap hijau.
c. Tritanopia (tidak kenal biru), terdapat kesulitan membedakan warna biru
dari kuning.
3. Monokromatik (akromatopsia atau buta warna total), hanya terdapat satu jenis
pigmen sel kerucut, sedangkan dua pigmen lainnya rusak.
a. Monokromatisme sel batang, seluruh komponen pigmen warna kerucut
tidak normal akibat kelainan sentral sehingga terdapat gangguan
penglihatan warna total.
b. Monokromatisme sel kerucut, hanya terdapat satu tipe pigmen sel kerucut.
(Kartika, 2014: 270).
Untuk mengetahui apakah seseorang menyandang butawarna atau tidak
maka dapat dilakukan tes dengan menggunakan buku Ishihara’s Tests yang terdiri

dari plat atau lembaran yang di dalamnya terdapat titik-titik dengan berbagai
warna dan ukuran. Titik tersebut membentuk lingkaran, warna titik tersebut
dibuat sedemikian rupa sehingga orang butawarna tidak akan melihat perbedaan
warna seperti yang dilihat orang normal. Terdapat batas waktu dalam pembacaan
tiap-tiap plat pada tes butawarna yaitu selama 3 detik, dengan menghitung jumlah
jawaban yang benar dari seseorang, maka dapat ditentukan apakah seseorang
tersebut menyandang butawarna atau tidak, serta mengetahui jenis kebutaan
warna dan penyebab kebutaan warna tersebut. Terdapat hal-hal yang sangat
penting untuk diperhatikan dalam penyimpanan buku Ishihara’s Tests. Buku
Ishihara’s Test harus disimpan dalam keadaan tertutup kecuali saat digunakan,
karena paparan sinar matahari yang berlebihan dapat menyebabkan warna dari
plat-plat tersebut memudar (Murti, 2011: 160).

D. Alat & Bahan
Buku test butawarna (Ishihara's Tests)

E. Cara Kerja
Praktikan diuji untuk melihat kemampuan membedakan warna
dengan menulis apa yang terlihat pada buku test butawarna pada
kertas yang disediakan.


Mencocokkan hasil yang diperoleh dengan angka atau gambar yang
sebenarnya.

Menghitung berapa persen kesalahan yang dibuat dalam test
butawarna tersebut.

F. Hasil Pengamatan
1. Hasil
Tabel 1. Data tes butawarna
No Gambar

Angka / Gambar yang terlihat

1

12

2


8

3

5

4

29

5

74

6

7

7


45

8

2

9

Pola

10

16

11

Pola

12


35

13

96

14

Pola

2. Pembahasan
Praktikum kali ini mengenai butawarna yang bertujuan untuk mengetahui
cara melakukan pengujian tes butawarna. Pengujian tes butawarna menggunakan
buku Ishihara’s Tests yaitu buku uji butawarna yang dikembangkan oleh Dr.
Shinobu Ishihara dan dipublikasikan sejak tahun 1917 di Jepang. Buku Ishihara
Test terdiri dari plat atau lembaran yang di dalamnya terdapat titik-titik dengan
berbagai warna dan ukuran. Titik tersebut membentuk lingkaran, warna titik
tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga orang butawarna tidak akan melihat
perbedaan warna seperti yang dilihat orang normal (Murti, 2011: 160).
Pada praktikum ini praktikan (saya) menuliskan apa yang terlihat pada

buku tes butawarna, dan pada masig-masing plat hanya dalam waktu kurang lebih
3 detik. Hasil yang diperoleh dicocokkan dengan kunci jawaban pada buku tes
Ishihara kemudian menghitung persentase kesalahan yang dibuat dalam tes
butawarna tersebut.
Buku tes Ishihara yang digunakan pada praktikum ini adalah buku
Ishihara’s Tests dengan 14 plat, berikut penjelasan dari masing-masing plat
tersebut:
Nomor 1 Setiap subjek, baik dengan penglihatan warna normal atau cacat akan
membaca dengan benar angka 12. Plat ini digunakan terutama untuk penjelasan
awal dari proses tes bagi subjek.

Nomor 2 Subjek normal akan membaca 8 dan mereka yang mengalami
gangguan penglihatan merah-hijau akan membaca 3.

Nomor 3 Subjek normal akan membaca 5 dan mereka yang mengalami
gangguan penglihatan merah-hijau akan membaca 2.

Nomor 4 Subjek normal akan membaca 29 dan mereka yang mengalami
gangguan penglihatan merah-hijau akan membaca 70.


Nomor 5 Subjek normal akan membaca 74 dan mereka yang mengalami
gangguan penglihatan merah-hijau akan membaca 21.

Nomor 6-7 Dapat dipahami secara tepat oleh subjek normal, namun tidak atau
sulit terbaca bagi mereka yang mengalami gangguan penglihatan merah-hijau.

Nomor 8 Tampak angka 2 secara jelas bagi subjek normal tetapi tidak jelas bagi
mereka yang mengalami gangguan penglihatan merah-hijau.

Nomor 9 Subjek normal tidak dapat membacanya, tetapi kebanyakan dari
mereka yang mengalami gangguan penglihatan merah-hijau melihat angka 2 di
dalamnya.

Nomor 10 Subjek normal biasanya dapat membaca angka 16 , tetapi kebanyakan
dari mereka yang mengalami gangguan penglihatan merah-hijau tidak dapat
membacanya.

Nomor 11 Dalam menelusuri garis berkelok-kelok antara dua x, subjek normal
menelusuri garis hijau kebiruan, namun sebagian besar orang-orang dengan
gangguan penglihatan warna tidak dapat mengikuti garis sebagaimana pada

subjek normal.

Nomor 12 Subjek normal dan orang-orang dengan gangguan penglihatan merahhijau mudah melihat angka 35, tetapi penderita protanopia dan protanomalia kuat
akan membaca 5 saja, dan penderita deuteranopia dan deuteranomalia kuat hanya
melihat angka 3 saja.

Nomor 13 Subjek normal dan orang-orang dengan gangguan penglihatan merahhijau mudah melihat angka 96, tetapi penderita protanopia dan protanomalia kuat
akan membaca 6 saja, dan penderita deuteranopia dan deuteranomalia kuat hanya
melihat angka 9 saja.

Nomor 14 Dalam menelusuri garis berkelok-kelok antara dua x, subjek normal
menelusuri sepanjang garis ungu dan merah.
Pada penderita protanopia dan protanomalia kuat hanya garis ungu yang
ditelusuri, dan pada kasus protanomalia ringan kedua garis ditelusuri tetapi garis
ungu lebih mudah untuk diikuti.
Pada penderita deuteranopia dan deuteranomalia kuat hanya garis merah yang
ditelusuri, dan pada kasus deuteranomalia ringan kedua garis ditelusuri tetapi
garis merah lebih mudah untuk diikuti.

Analisis hasil pembacaan plat pada buku Ishihara’s Tests tersebut yakni,
penilaian terhadap pembacaan plat 1-11 adalah unutuk menentukan normalitas
atau tingkat kecacatan penglihatan warna. Jika 10 atau lebih plat dibaca normal,
maka penglihatan warna dianggap normal. Jika hanya 7 atau kurang dari 7 plat
dibaca normal, maka penglihatan warna dapat dianggap mengalami gangguan.
Namun, pada plat nomor 9, hanya mereka yang membaca plat tersebut sebagai

angka 2 dan yang membacanya lebih mudah daripada plat nomor 8 lah yang
dianggap mengalami gangguan penglihatan atau abnormal (Ishihara: 2009).
Pada hasil tes tersebut, persentase kesalahan yang diperoleh adalah 0 %
karena praktikan (saya) dapat menuliskan jawaban semua plat dengan tepat.
Awalnya praktikan ragu-ragu pada saat menuliskan jawaban plat nomor 9 karena
pada plat tersebut tidak tampak adanya angka mupun pola, namun praktikan tetap
mengisinya dengan jawaban “pola”. Berdasarkan teori sebelumnya, pada plat
nomor 9 orang normal tidak dapat membacanya, tetapi orang yang mengalami
gangguan penglihatan merah-hijau akan melihat angka 2 di dalamnya. Dari
penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa praktikan tidak mengalami butawarna
(normal).
Berdasarkan hasil tes butawarna tersebut juga

dapat diketahui

kemungkinan genotip dan fenotip kedua orangtua praktikan (saya) yaitu:


P

Y

><

(normal)


(normal)

Gamet
Y
F1

= normal
Y = normal
Berdasarkan diagram pedigri tersebut, apabila seorang laki-laki normal

menikah dengan wanita normal maka seluruh anaknya baik laki-laki maupun
perempuan juga normal. Sehingga dapat diketahui pula genotip praktikan (saya)
yaitu

.

G. Diskusi
1. Mungkinkah seorang wanita menderita butawarna? Apapun jawaban anda,
bagaimana keturunannya kalau wanita tersebut kawin dengan laki-laki yang
butawarna?
Jawab:
Mungkin. Seorang wanita memiliki kemungkinan menderita butawarna yaitu
apabila wanita tersebut memiliki genotip homozigot resesif. Dan apabila
wanita butawarna tersebut menikah dengan laki-laki yang juga butawarna
maka keturunannya baik laki-laki maupun perempuan akan mengalami

butawarna. Namun, apabila seorang wanita memiliki genotip heterozigot atau
carrier (pembawa sifat butawarna) maka apabila wanita tersebut menikah
dengan laki-laki butawarna maka keturunannya adalah 50% anak laki-laki
menderita butawarna begitu juga dengan anak perempuannya 50% akan
menderita butawarna.

2. Mengapa butawarna banyak terdapat pada laki-laki?
Jawab:
Butawarna banyak terdapat pada laki-laki karena butawarna merupakan
penyakit genetik yang disebabkan oleh gen resesif yang terdapat pada
kromosom X. Laki-laki hanya memiliki satu kromosom X maka apabila
seorang laki-laki memiliki kromosom X resesif ia akan menderita butawarna,
sedangkan perempuan memiliki dua kromosom X maka apabila ada salah satu
kromosom X tersebut resesif ia masih normal dan hanya bersifat carrier atau
pembawa sifat butawarna.

3. Dapatkah suami - istri yang normal menghasilkan keturunan yang butawarna?
Jawab:
Ya. Suami – istri yang normal masih memiliki kemungkinan menghasilkan
keturunan yang butawarna. Hal ini dapat terjadi apabila istri tersebut bersifat
carrier atau pembawa sifat butawarna, pada kasus ini hanya keturunan lakilakinya saja yang memiliki kemungkinan menderita butawarna jika ia
memperoleh gen resesif dari ibunya. Sedangkan keturunan perempuan tetap
normal dan hanya bersifat carrier.

4. Apabila dua anak bersaudara kandung, laki-laki dan perempuan, semuanya
butawarna, bagaimanakah fenotip dan genotip kedua orang tuanya?
Jawab:
Kemungkinan fenotip kedua orang tuanya adalah ayah dan ibu butawarna
atau ayah butawarna dan ibu carrier. Untuk genotip kedua orang tua dapat
dilihat melalui diagram pedigri berikut:
a. Ayah dan ibu butawarna.
P
Gamet



Y

><



Y
F1

= butawarna
= butawarna
Y = butawarna
Y = butawarna

b. Ayah butawarna dan ibu carrier.
P



Y

><



Gamet
Y
F1

= normal carrier
= butawarna
Y = normal
Y = butawarna

5. Ciri khas pewarisan gen terangkai pada kromosom X adalah Criss-cross
inheritance. Apa maksudnya?
Jawab:
Maksudnya adalah perkawinan yang menyilangkan sifat yang dibawa oleh
suatu individu jantan atau betina ke keturunan yang berjenis kelamin yang
berbeda. Misal suatu sifat yang dibawa oleh individu betina akan diturunkan
kepada keturunannya yang berjenis kelamin jantan, atau sebaliknya. Sifat
keturunan butawarna diwariskan secara silang, sifat yang dimiliki ibu
diwariskan kepada keturunan laki-laki dan sifat yang dimiliki ayah
diwariskan kepada keturunan perempuan. Criss-cross inheritance yang
merupakan ciri khas bagi sifat-sifat keturunan yang ditentukan oleh gen-gen
terpaut dalam kromosom X disebut juga cara mewariskan bersilang.

H. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan
bahwa penyakit butawarna merupakan penyakit genetik yang disebabkan oleh
gen resesif yang terdapat pada kromosom X dan untuk mengetahui apakah
seseorang menderita butawarna atau tidak dapat dilakukan tes dengan
menggunakan buku tes butawarna Ishihara (Ishihara's Tests).

I. Saran
Untuk praktikum selanjutnya, sebaiknya praktikan lebih memperhatikan
penggunaan dan perawatan buku Ishihara’s Tests agar kualitas warna pada
masing-masing plat tetap baik dan tidak pudar sehingga uji butawarna yang
dilakukan memperoleh hasil yang valid.

Daftar Pustaka
Ishihara, Shinobu. 2009. Ishihara’s Test for Colour Blindness. Tokyo: Kanehara
Trading Inc.
Kartika, dkk. 2014, "Patofisiologi dan Diagnosis Butawarna". Jurnal CDK-215.
Volume.
41,
No.
4,
http://www.kalbemed.com/Portals/6/10_215Patofi%20siologi%20dan%20
Diagnosis%20Buta%20Warna.pdf , 30 Maret 2015.
Murti, Hari dkk. Juli 2011, “Aplikasi Pendiagnosa Kebutaan Warna dengan
Menggunakan Pemrograman Borland Delphi”. Jurnal Teknologi
Informasi
DINAMIK.
Volume.
16,
No.
2,
http://www.unisbank.ac.id/ojs/index.php/fti1/article/view/363 , 30 Maret
2015.
Suryo. 2008. Genetika Manusia. Yogyakarta: Graha Ilmu.