Teori flexitime akibat gap antara kepent
10
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Burnout
1. Defenisi Burnout
Burnout merupakan sindrom kelelahan, baik secara fisik maupun mental yang
termasuk di dalamnya berkembang konsep diri yang negatif, kurangnya konsentrasi
serta perilaku kerja yang negatif (Pines & Maslach, 1993). Keadaan ini membuat
suasana di dalam pekerjaan menjadi dingin, tidak menyenangkan, dedikasi dan
komitmen menjadi berkurang, performansi, prestasi pekerja menjadi tidak maksimal.
Hal ini juga membuat pekerja menjaga jarak, tidak mau terlibat dengan
lingkungannya. Burnout juga dipengaruhi oleh ketidak sesuaian antara usaha dengan
apa yang di dapat dari pekerjaan.
Menurut Pines dan Aronson (1989), burnout merupakan kelelahan secara
fisik, emosional, dan mental yang disebabkan keterlibatan jangka panjang dalam
situasi yang penuh dengan tuntutan emosional. Schaufelli (1993) mendefenisikan
burnout sebagai sindrom psikologis yang terdiri atas tiga dimensi yaitu kelelahan
emosional, depersonalisasi, dan penurunan pencapaian prestasi pribadi. Selanjutnya,
Beberapa penelitian melihat burnout sebagai bagian dari stress (Luthans, 2005).
Menurut Izzo (1987) burnout menyebabkan seseorang tidak memiliki tujuan dan
tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam bekerja. Sementara itu, Freudenberger
10
11
(1991) menyatakan burnout merupakan kelelahan yang terjadi karena seseorang
bekerja terlalu intens tanpa memperhatikan kebutuhan pribadinya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa burnout adalah sindrom
psikologis yang disebabkan adanya rasa kelelahan yang luar biasa baik secara fisik,
mental, maupun emosional, yang menyebabkan seseorang terganggu dan terjadi
penurunan pencapaian prestasi pribadi.
2. Dimensi Burnout
Leiter & Maslach (1997) menyebutkan ada tiga dimensi dari burnout, yaitu;
a. Exhaustion
Exhaustion merupakan dimensi burnout yang ditandai dengan kelelahan yang
berkepanjangan baik secara fisik, mental, maupun emosional. Ketika pekerja
merasakan kelelahan (exhaustion), mereka cenderung berperilaku overextended baik
secara emosional maupun fisikal. Mereka tidak mampu menyelesaikan masalah
mereka. Tetap merasa lelah meski sudah istirahat yang cukup, kurang energi dalam
melakukan aktivitas.
b. Cynicism
Cynicism merupakan dimensi burnout yang ditandai dengan sikap sinis,
cenderung menarik diri dari dalam lingkungan kerja. Ketika pekerja merasakan
cynicism (sinis), mereka cenderung dingin, menjaga jarak, cenderung tidak ingin
terlibat dengan lingkungan kerjanya. Cynism juga merupakan cara untuk terhindar
12
dari rasa kecewa. Perilaku negatif seperti ini dapat memberikan dampak yang serius
pada efektivitas kerja.
c. Ineffectiveness
Ineffectiveness merupakan dimensi burnout yang ditandai dengan perasaan
tidak berdaya, merasa semua tugas yang diberikan berat. Ketika pekerja merasa tidak
efektif, mereka cenderung mengembangkan rasa tidak mampu. Setiap pekerjaan
terasa sulit dan tidak bisa dikerjakan, rasa percaya diri berkurang. Pekerja menjadi
tidak percaya dengan dirinya sendiri dan orang lain tidak percaya dengannya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dimensi burnout terdiri dari burnout yaitu
exhaustion (gabungan dari physical exhaustion, emotional exhaustion, mental
exhaustion), cynicism, dan ineffectiveness.
3. Dampak Burnout pada Pekerja
Adapun dampak dari burnout menurut Leiter & Maslach (2005) adalah:
a. Burnout is Lost Energy
Pekerja yang mengalami burnout akan merasa stress, overwhelmed, dan
exhausted. Pekerja juga akan sulit untuk tidur, menjaga jarak dengan lingkungan. Hal
ini akan mempengaruhi keinerja performa dari pekerja. Produktivitas dalam bekerja
juga semakin menurun.
13
b. Burnout is Lost Enthusiasm
Keinginan dalam bekerja semakin menurun, semua hal yang berhubungan
dengan pekerjaan menjadi tidak menyenangkan. Kreatifitas, ketertarikan terhadap
pekerjaan semakin berkurang sehingga hasil yang diberikan sangat minim.
c. Burnout is Lost Confidence
Tanpa adanya energi dan keterlibatan aktif pada pekerjaan akan membuat
pekerja tidak maksimal dalam bekerja. Pekerja semakin tidak efektif dalam bekerja
yang semakin lama membuat pekerja itu sendiri merasa ragu dengan kemampuannya.
Hal ini akan memberikan dampak bagi pekerjaan itu sendiri.
4. Faktor-Faktor Penyebab Burnout
Menurut Leiter & Maslach (1997) burnout biasanya terjadi karena adanya
ketidaksesuaian antara pekerjaan dengan pekerja. Ketika adanya perbedaan yang
sangat besar antara individu yang bekerja dengan pekerjaannya akan mempengaruhi
performasi kerja. Leiter & Maslach (1997) membagi beberapa faktor yang
mempengaruhi munculnya burnout, yaitu:
a. Work Overloaded
Work overload kemungkinan terjadi akibat ketidaksesuaian antara pekerja
dengan pekerjaannya. Pekerja terlalu banyak melakukan pekerjaan dengan waktu
yang sedikit. Overload terjadi karena pekerjaan yang dikerjaan melebihi kapasitas
kemampuan manusia yang memiliki keterbatasan. Hal ini dapat menyebabkan
14
menurunnya kualitas pekerja, hubungan yang tidak sehat di lingkungan pekerjaan,
menurunkan kreativitas pekerja, dan menyebabkan burnout.
b. Lack of Work Control
Semua orang memiliki keinginan untuk memiliki kesempatan dalam membuat
pilihan, keputusan, menggunakan kemampuannya untuk berfikir dan menyelesaikan
masalah, dan meraih prestasi. Adanya aturan terkadang membuat pekerja memiliki
batasan dalam berinovasi, merasa kurang memiliki tanggung jawab dengan hasil yang
mereka dapat karena adanya kontrol yang terlalu ketat dari atasan.
c. Rewarded for Work
Kurangnya apresiasi dari lingkungan kerja membuat pekerja merasa tidak
bernilai. Apresiasi bukan hanya dilihat dari pemberian bonus (uang), tetapi hubungan
yang terjalin baik antar pekerja, pekerja dengan atasan turut memberikan dampak
pada pekerja. Adanya apresiasi yang diberikan akan meningkatkan afeksi positif dari
pekerja yang juga merupakan nilai penting dalam menunjukkan bahwa seseorang
sudah bekerja dengan baik.
d. Breakdown in Community
Pekerja yang kurang memiliki rasa belongingness terhadap lingkungan
kerjanya (komunitas) akan menyebabkan kurangnya rasa keterikatan positif di tempat
kerja. Seseorang akan bekerja dengan maksimal ketika memiliki kenyamanan,
15
kebahagiaan yang terjalin dengan rasa saling menghargai, tetapi terkadang
lingkungan kerja melakukan sebaliknya. Ada kesenjangan baik antar pekerja maupun
dengan atasan, sibuk dengan diri sendiri, tidak memiliki quality time dengan rekan
kerja. Terkadang teknologi seperti handphone, computer membuat seseorang
cenderung menghilangkan social contact dengan orang disekitar. Hubungan yang
baik seperti sharing, bercanda bersama perlu untuk dilakukan dalam menjalin ikatan
yang kuat dengan rekan kerja. Hubungan yang tidak baik membuat suasana di
lingkungan kerja tidak nyaman, full of anger, frustasi, cemas, merasa tidak dihargai.
Hal ini membuat dukungan sosial menjadi tidak baik, kurang rasa saling membantu
antar rekan kerja.
e. Treated Fairly
Perasaan tidak diperlakukan tidak adil juga merupakan faktor terjadinya
burnout. Adil berarti saling menghargai dan menerima perbedaan. Adanya rasa saling
menghargai akan menimbulkan rasa keterikatan dengan komunitas (lingkungan
kerja). Pekerja merasa tidak percaya dengan lingkungan kerjanya ketika tidak ada
keadilan. Rasa ketidakadilan biasa dirasakan pada saat masa promosi kerja, atau
ketika pekerja disalahkan ketika mereka tidak melakukan kesalahan.
f. Dealing with Conflict Values
Pekerjaan dapat membuat pekerja melakukan sesuatu yang tidak sesuai
dengan nilai mereka. Misalnya seorang sales terkadang harus berbohong agar produk
16
yang ditawarkan bisa terjual. Namun hal ini dapat menyebabkan seseorang
menurunkan performa, kualitas kerjanya karena tidak sesuai dengan nilai yang
dimiliki. Seseorang akan melakukan yang terbaik ketika melakukan apa yang sesuai
dengan nilai, belief, menjaga integritas dan self respect.
Selanjutnya, Sullivan (1989) menjelaskan beberapa faktor yang dapat
menyebabkan burnout sebagai berikut :
a. Environmental Factor
Faktor lingkungan merupakan faktor yang berkaitan dengan konflik peran,
beban kerja yang berlebihan, kurangnya dukungan sosial, keterlibatan terhadap
pekerjaan, tingkat fleksibilitas waktu kerja. Dalam keluarga, faktor lingkungan
termasuk dalam jumlah anak, keterlibatan dalam keluarga serta, kualitas hubungan
dengan anggota keluarga.
b. Individual Factor
Faktor individu meliputi faktor demografik seperti jenis kelamin, etnis, usia,
status perkawinan, latar belakang pendidikan; faktor kepribadian seperti tipe
keperibadian introvert atau extrovert, konsep diri, kebutuhan, motivasi, kemampuan
dalam mengendalikan emosi, locus of control.
c. Social Cultural Factor
Faktor social cultural berkaitan dengan nilai, norma, kepercayaan yang dianut
dalam masyarakat yang berkaitan dengan pelayanan sosial.
17
Berdasarkan uraian di atas maka faktor-faktor yang menjadi penyebab
burnout adalah work overload, lack of work, rewarded for work, breakdown in
community, treated fairly, dealing with conflict values, environmental factor,
individual factor, dan social factor.
Work family conflict merupakan bagian dari environmental factor. Seperti
yang dikemukakan Kinnunen, Vermulst, Gerris & Makikangas (2003) bahwa work
family conflict terjadi akibat tekanan lingkungan kerja (tipe dari pekerjaan,
keterlibatan kerja, fleksibilitas waktu kerja) dan lingkungan keluarga (jumlah anak,
keterlibatan dalam keluarga, kualitas hubungan dengan anggota keluarga).
B. Work Family Conflict
1. Defenisi Work Family Conflict
Howard (2008) mengemukakan work family conflict terjadi ketika ada ketidak
sesuaian antara peran yang satu dengan peran lainnya (inter-role conflict) dimana
terdapat tekanan yang berbeda antara peran di keluarga dan di pekerjaan. Sejalan
dengan hal tersebut, Greenhaus & Beautell (1985) mendefensikan work family
conflict sebagai suatu inter-role conflict yang terjadi dimana tekanan peran dari
keluarga dan pekerjaan berbeda. Work family conflict terjadi ketika adanya harapan
yang bertentangan yang dirasakan oleh individu terhadap peran-peran yang
dimilikinya sehingga pemenuhan kebutuhan sulit untuk dipenuhi (Newcomb, 1981).
Netmeyer, Mc Murrian & Boles (1996) mengemukakan terdapat pertentangan
tanggung jawab peran dari pekerjaan dan keluarga yang menyebabkan konflik. Work
18
family conflict memiliki hubungan dengan dampak yang negatif terhadap pekerjaan
dalam hal kepuasan kerja, burnout kerja, dan turnover (Greenhaus, Parasuraman &
Collins, 2001; Howard, Donfrio, & Boles, 2004) yang juga berhubungan dengan
distress kerja, kehidupan, dan kepuasan pernikahan (Kinnunen & Mauno 1998).
Work family conflict dapat terlihat dari gejala psikologis seperti gelisah,
cemas, merasa bersalah, dan frustasi (Burke & Greenglass, 1986). Kahn (1964)
mendefensikan inter-role conflict sebagai tekanan yang terjadi akibat dua peran atau
lebih menyebabkan seseorang sulit untuk memenuhi kebutuhannya. Menurut Biddle
& Thomas (1996), semakin banyak peran yang dimiliki seseorang maka semakin siap
pula ia dalam menghadapi masalah kehidupan sosialnya.
Meyer & Rowan (1977) menyatakan work family conflict terjadi ketika
seseorang harus memenuhi dua tuntutan peran yang berbeda dalam waktu yang
bersamaan. Menurut Sudibyo (1993), work family conflict terjadi ketika dua atau
lebih peran memiliki harapan yang berbeda dan tidak harmonis satu dan yang lainnya.
Konflik ini juga dapat timbul karena adanya harapan yang tidak pasti. Defenisi work
family conflict yang dijelaskan diatas sudah digunakan oleh banyak peneliti mengenai
work family conflict (Gutek, Searle & Klepa, 1991; Frone 1992; Huang, Neal &
Perrin, 2004).
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa work family conflict adalah
konflik yang terjadi pada individu yang memiliki dua peran atau lebih yang
menyebabkan ketidakseimbangan pada kedua peran sehingga tidak mampu
memenuhi kebutuhan, tuntutan dari masing-masing peran.
19
2. Dimensi Work Family Conflict
Menurut Greenhaus & Beutell (1985), peran ganda bersifat bi-directional,
artinya keluarga dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan pekerjaan (family work
conflct), dan pekerjaan dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan keluarga (work
family conflict). Selanjutnya, Greenhaus & Beutell (1985) juga menjelaskan
mengenai multidimensi dari peran ganda, dimana baik family work conflict maupun
work family conflict masing-masing memiliki 3 dimensi yang sifatnya 1 arah pada
time based conflict, strain based conflict, dan behavior based conflict. Berikut
penjelasan mengenai 3 dimensi tersebut :
a. Time-based conflict
Time-based conflict terjadi ketika waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan
salah satu tuntutan (keluarga atau pekerjaan) dapat mengurangi waktu untuk
menjalankan tuntutan yang lainnya (keluarga atau pekerjaan). Misalnya ketika ada
pertemuan orangtua murid di sekolah yang waktunya bersamaan dengan meeting di
kantor sehingga menimbulkan konflik, pekerja yang karena kesibukannya dalam
bekerja telat menjemput anaknya. Menurut Buck, Lee, MacDermid dan Smith (2000),
time-based conflict terjadi karena energi manusia yang terbatas. Nordenmark (2002)
menyatakan konflik ini dapat menyebabkan kemungkinan timbulnya tekanan pada
pekerja. Menurut Greenhaus dan Beutell (1985), time-based conflict terjadi akibat 1)
pekerja baik secara fisik maupun waktu tidak dapat memenuhi tuntutan peran lainnya,
20
2) pekerja hanya fokus disalah satu peran, namun tetap hadir secara fisik diperan
lainnya untuk memenuhi tuntutan.
b. Strain-based conflict
Strain-based conflict terjadi ketika tuntutan dari satu peran mempengaruhi
kinerja peran lainnya. Hal ini dapat menyebabkan pekerja mengalami ketidakpuasan,
ketegangan, kecemasan, fatigue (Greenhaus & Beutell, 1985; Edwards & Rothbard,
2000). Selanjutnya, Edwars dan Rothbard (2000) berpendapat, pekerja menghabiskan
banyak energi karena adanya tekanan fisik dan psikologis sehingga mempengaruhi
kinerja. Adanya tekanan psikologis yang negatif mengakibatkan seseorang cenderung
menghabiskan lebih banyak waktu dan kemampuan pada satu peran sehingga tidak
dapat memuaskan peran lainnya.
c. Behavior-based conflict
Behavior-based conflict terjadi ketika adanya ketidaksesuaian antara perilaku
dengan yang diinginkan oleh kedua bagian (keluarga atau pekerjaan). Misalnya
perilaku agresif, konfrontasi, asertif yang dibutuhkan dalam pekerjaan tidak sesuai
dengan yang dibutuhkan dalam keluarga dimana lebih menekankan pada kehangatan,
pengertian, rasa saling menyayangi dan mengasihi (Greenhaus & Beutell, 1985;
Edwards & Rothbard, 2000). Edwards & Rothbard (2000) juga menyatakan bahwa
21
adanya perilaku yang ditampilkan disalah satu peran akan mempengaruhi perilaku di
peran lainnya.
3. Konsep Work Family Conflict
Konsep konflik peran ganda dapat dibagi ke dalam dua bentuk (Frone, 1992;
Adekola, 2010), yaitu:
a. Konflik Pekerjaan (Work Interference with Family)
Konflik yang terjadi ketika aktivitas pekerjaan mengganggu tanggung jawab
individu dalam lingkungan keluarga. Misalnya, individu membawa pulang pekerjaan
dan berusaha untuk menyelesaikannya dengan mengorbankan waktu keluarga (Noor,
2003). Efek mood dan stress yang dialami di lingkungan pekerjaan juga membuat
individu tidak fokus dalam menyelesaikan tuntutan perannya di lingkungan keluarga
(Williams & Alliger, 1994; Adekola, 2010). Selain itu, pertumbuhan karir individu
dalam pekerjaannya akan menyebabkan individu meningkatkan komitmennya dalam
memenuhi tuntutan pekerjaan sehingga tuntutan keluarga tidak terpenuhi secara
maksimal (Hall, 1972; Adekola, 2010).
22
b. Konflik Keluarga (Family Interference with Work)
Konflik yang terjadi ketika peran dan tanggung jawab dalam keluarga
mengganggu aktivitas pekerjaan. Misalnya, individu yang membatalkan rapat penting
karena anaknya sedang sakit (Noor, 2004). Selain itu, disebutkan bahwa perbedaan
gender juga merupakan hal yang berpengaruh terhadap kemunculan konflik keluarga.
Mengingat bahwa mengasuh anak biasanya dilakukan oleh wanita, maka keberadaan
istri yang bekerja dapat lebih memicu terjadinya konflik keluarga (Voydanoff, 1988;
Adekola, 2010).
C. Dosen Wanita
1. Pengertian Dosen
Menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 mengenai Guru dan Dosen
dijelaskan bahwa dosen adalah pendidik professional dan ilmuan yang memiliki tugas
untuk mentranformasi, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat.
2. Tugas-tugas Dosen
Dosen dalam menjalankan tugas profesionalnya diharapkan memiliki
pengetahuan, keterampilan yang dikuasai dengan baik (Pedoman Beban Kerja Dosen
(BKD) dan Evaluasi Pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi bagi Dosen di
23
Lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), 2010). Tugas utama dosen
adalah melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi yang meliputi pendidikan/
pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat.
a. Pendidikan/ Pengajaran
Tugas pendidikan dan pengajaran adalah kegiatan yang wajib dilakukan oleh
setiap dosen pada jenjang strata 1. Dosen yang sudah meraih jabatan akademik
tertinggi sebagai guru besar atau profesor tetap harus melakukan tugas pendidikan
dan pengajaran pada jenjang Strata1.
b. Penelitian
Merupakan kegiatan yang wajib dilakukan oleh dosen, baik secara perorangan
maupun berkelompok, dibiayai secara mandiri maupun oleh lembaga. Tugas
penelitian dan pengembangan ilmu yang wajib dilakukan dosen dengan bentuk
kegiatan seperti menghasilkan karya penelitian, menerjemahkan buku ilmiah,
menyunting karya ilmiah, membuat rancangan, karya teknologi dan karya seni,
menyampaikan orasi ilmiah, dan sebagai pembicara seminar.
c. Pengabdian Masyarakat
Kegiatan yang dilakukan dosen dalam bentuk pengabdian masyarakat seperti
melaksanakan pengembangan hasil pendidikan dan penelitian yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat, memberi penyuluhan atau ceramah kepada
24
masyarakat, memberi pelayanan secara langsung kepada masyarakat, menulis karya
pengabdian kepada masyarakat.
3. Dosen Wanita
Dosen wanita merupakan wanita yang merupakan pendidik profesional dan
ilmuwan
dengan
tugas
utama
mentransformasikan,
mengembangkan,
dan
menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Sholichin, 2011).
4. Peran Wanita dalam Keluarga dan Pekerjaan
Saat ini, dengan semakin tingginya tingkat pendidikan wanita dan kebutuhan
ekonomi keluarga maka semakin banyak pula wanita yang memilih untuk berperan
ganda sebagai pekerja dan istri/ ibu dalam keluarga. Terjadi pergeseran nilai dari
single career family dimana dalam sebuah rumah tangga hanya pria (suami) yang
bekerja menjadi dual career family, dimana pria (suami) maupun wanita (istri) samasama bekerja (Alteza & Hidayati, 2011).
Salah satu pilihan pekerjaan yang menarik bagi wanita adalah bekerja sebagai
dosen.
Profesi dosen dianggap sebagai profesi yang ideal, memiliki fleksibiltas
waktu, tuntutan yang tidak terlalu tinggi dan kesejahteraan yang memadai sehingga
akan lebih mudah bagi wanita untuk menjalankan peran ganda (Saptari & Holzner,
1997). Peran ganda wanita dapat menimbulkan implikasi positif dan negatif dimana
25
wanita dapat mengaktualisasikan dirinya secara penuh di lingkungan pekerjaan,
namun disisi lain tetap harus menjalankan peran sebagai istri dan ibu rumah tangga.
D. Dinamika Work Family Conflict dan Burnout dikalangan Dosen Wanita
Banyaknya tuntutan yang harus dipenuhi wanita dengan peran ganda
menimbulkan konflik yang menyebabkan tekanan (Greenhaus & Beutell). Tekanan
yang muncul akibat dari konflik berkelanjutan dapat menimbulkan ketidaknyamanan.
Wood (1981) menyatakan bahwa, pengajar (dosen) mengalami konflik keluargapekerjaan dengan permasalahan yang berbeda saat di rumah dengan peran sebagai
suami/ istri atau ayah/ ibu, dan dilingkungan pekerjaan/sekolah.
Leiter & Maslach (1997) menyatakan konflik terjadi akibat tuntutan dari
keluarga dan pekerjaan harus dipenuhi dalam waktu yang bersamaan. Tidaklah
mudah bagi wanita untuk berperan ganda disebabkan tanggung jawab sebagai istri,
ibu dan pekerja cukup besar dan kadangkala menimbulkan konflik. Tuntutan yang
harus dipenuhi baik di dalam keluarga maupun pekerjaan membuat seseorang dapat
mengalami kelelahan baik secara fisik, emosional, maupun mental yang jika dialami
dalam waktu yang lama dapat menyebabkan burnout (Pines & Maslach, 1993).
Menurut Jackson, Schuler dan Schwab (1986) mengemukakan burnout terjadi
akibat adanya kesenjangan antara harapan dengan kenyataan. Berdasarkan perspektif
teori belajar, burnout muncul akibat pengharapan yang salah terhadap reinforcement,
outcome, dan efficacy (Schaufelli & Buunk, 1996). Dengan kata lain, burnout dapat
26
dikatakan sebagai respon dari tekanan (Leatz & Stolar, 1996; Stanley, 2004).
Penelitian yang dilakukan oleh Amalia (2008) menyatakan bahwa wanita yang
memiliki peran ganda lebih sering mengalami tekanan dibandingkan dengan wanita
yang hanya memiliki satu peran.
Menurut Greenhause dan Butell (1985) konflik yang terjadi pada wanita yang
bekerja adalah konflik antar peran (inter-role conflict). Konflik ini terjadi ketika
pekerjaan dan keluarga sama-sama membutuhkan perhatian, tuntutan pada keluarga
dan pekerjaan sama-sama harus dipenuhi. Work family conflict yang terjadi juga
dikarenakan tanggung jawab peran dari keluarga dan pekerjaan bertentangan,
sehingga akan sulit bagi untuk memenuhi tuntutan (Netmeyer, Mc Murrian & Boles,
1996). Selain itu work family conflict terjadi karena waktu yang dihabiskan pada satu
peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi kebutuhan peran lainnya (Greenhaus
& Beutell, 1985). Waktu yang dihabiskan untuk peran tertentu dapat memberikan
efek negatif bagi keluarga atau pekerjaan.
Carlson dan Kacmar (2000) pekerja yang lebih terlibat di dalam keluarga akan
mengalami tekanan yang lebih tinggi. Greenhaus, Parasuraman, dan Collins (2001)
menunjukkan adanya hubungan positif antara keterlibatan dalam keluarga dan work
family conflict. Bagi wanita yang sudah menikah, fokus pada pertumbuhan anak
cenderung mengalami masa sulit dalam bekerja (Greenberger & O’Neal, 1990).
27
Menurut Widyarini (1998) burnout yang terjadi pada ibu yang bekerja dapat
menurunkan kesehatan fisik dan mental. Hal ini dapat mempengaruhi kinerjanya baik
di keluarga maupun di pekerjaan. Pekerja professional memiliki tekanan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan pekerja non professional (Duxbury & Higgins, 2003).
Valdez dan Gutek (1987) menyatakan ibu yang bekerja dengan status professional
dan manajerial mempunyai tekanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan status
pekerjaan yang lebih rendah. Tenaga kerja professional termasuk tenaga pengajar
perguruan tinggi atau dosen.
E. Hipotesa Penelitian
1. Ada pengaruh positif work family conflict terhadap burnout, dimana work family
conflict berpengaruh terhadap peningkatan burnout dikalangan dosen wanita.
2. Ada peranan time based conflict, strain based conflict, dan behavior based conflict
terhadap burnout dikalangan dosen wanita.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Burnout
1. Defenisi Burnout
Burnout merupakan sindrom kelelahan, baik secara fisik maupun mental yang
termasuk di dalamnya berkembang konsep diri yang negatif, kurangnya konsentrasi
serta perilaku kerja yang negatif (Pines & Maslach, 1993). Keadaan ini membuat
suasana di dalam pekerjaan menjadi dingin, tidak menyenangkan, dedikasi dan
komitmen menjadi berkurang, performansi, prestasi pekerja menjadi tidak maksimal.
Hal ini juga membuat pekerja menjaga jarak, tidak mau terlibat dengan
lingkungannya. Burnout juga dipengaruhi oleh ketidak sesuaian antara usaha dengan
apa yang di dapat dari pekerjaan.
Menurut Pines dan Aronson (1989), burnout merupakan kelelahan secara
fisik, emosional, dan mental yang disebabkan keterlibatan jangka panjang dalam
situasi yang penuh dengan tuntutan emosional. Schaufelli (1993) mendefenisikan
burnout sebagai sindrom psikologis yang terdiri atas tiga dimensi yaitu kelelahan
emosional, depersonalisasi, dan penurunan pencapaian prestasi pribadi. Selanjutnya,
Beberapa penelitian melihat burnout sebagai bagian dari stress (Luthans, 2005).
Menurut Izzo (1987) burnout menyebabkan seseorang tidak memiliki tujuan dan
tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam bekerja. Sementara itu, Freudenberger
10
11
(1991) menyatakan burnout merupakan kelelahan yang terjadi karena seseorang
bekerja terlalu intens tanpa memperhatikan kebutuhan pribadinya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa burnout adalah sindrom
psikologis yang disebabkan adanya rasa kelelahan yang luar biasa baik secara fisik,
mental, maupun emosional, yang menyebabkan seseorang terganggu dan terjadi
penurunan pencapaian prestasi pribadi.
2. Dimensi Burnout
Leiter & Maslach (1997) menyebutkan ada tiga dimensi dari burnout, yaitu;
a. Exhaustion
Exhaustion merupakan dimensi burnout yang ditandai dengan kelelahan yang
berkepanjangan baik secara fisik, mental, maupun emosional. Ketika pekerja
merasakan kelelahan (exhaustion), mereka cenderung berperilaku overextended baik
secara emosional maupun fisikal. Mereka tidak mampu menyelesaikan masalah
mereka. Tetap merasa lelah meski sudah istirahat yang cukup, kurang energi dalam
melakukan aktivitas.
b. Cynicism
Cynicism merupakan dimensi burnout yang ditandai dengan sikap sinis,
cenderung menarik diri dari dalam lingkungan kerja. Ketika pekerja merasakan
cynicism (sinis), mereka cenderung dingin, menjaga jarak, cenderung tidak ingin
terlibat dengan lingkungan kerjanya. Cynism juga merupakan cara untuk terhindar
12
dari rasa kecewa. Perilaku negatif seperti ini dapat memberikan dampak yang serius
pada efektivitas kerja.
c. Ineffectiveness
Ineffectiveness merupakan dimensi burnout yang ditandai dengan perasaan
tidak berdaya, merasa semua tugas yang diberikan berat. Ketika pekerja merasa tidak
efektif, mereka cenderung mengembangkan rasa tidak mampu. Setiap pekerjaan
terasa sulit dan tidak bisa dikerjakan, rasa percaya diri berkurang. Pekerja menjadi
tidak percaya dengan dirinya sendiri dan orang lain tidak percaya dengannya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dimensi burnout terdiri dari burnout yaitu
exhaustion (gabungan dari physical exhaustion, emotional exhaustion, mental
exhaustion), cynicism, dan ineffectiveness.
3. Dampak Burnout pada Pekerja
Adapun dampak dari burnout menurut Leiter & Maslach (2005) adalah:
a. Burnout is Lost Energy
Pekerja yang mengalami burnout akan merasa stress, overwhelmed, dan
exhausted. Pekerja juga akan sulit untuk tidur, menjaga jarak dengan lingkungan. Hal
ini akan mempengaruhi keinerja performa dari pekerja. Produktivitas dalam bekerja
juga semakin menurun.
13
b. Burnout is Lost Enthusiasm
Keinginan dalam bekerja semakin menurun, semua hal yang berhubungan
dengan pekerjaan menjadi tidak menyenangkan. Kreatifitas, ketertarikan terhadap
pekerjaan semakin berkurang sehingga hasil yang diberikan sangat minim.
c. Burnout is Lost Confidence
Tanpa adanya energi dan keterlibatan aktif pada pekerjaan akan membuat
pekerja tidak maksimal dalam bekerja. Pekerja semakin tidak efektif dalam bekerja
yang semakin lama membuat pekerja itu sendiri merasa ragu dengan kemampuannya.
Hal ini akan memberikan dampak bagi pekerjaan itu sendiri.
4. Faktor-Faktor Penyebab Burnout
Menurut Leiter & Maslach (1997) burnout biasanya terjadi karena adanya
ketidaksesuaian antara pekerjaan dengan pekerja. Ketika adanya perbedaan yang
sangat besar antara individu yang bekerja dengan pekerjaannya akan mempengaruhi
performasi kerja. Leiter & Maslach (1997) membagi beberapa faktor yang
mempengaruhi munculnya burnout, yaitu:
a. Work Overloaded
Work overload kemungkinan terjadi akibat ketidaksesuaian antara pekerja
dengan pekerjaannya. Pekerja terlalu banyak melakukan pekerjaan dengan waktu
yang sedikit. Overload terjadi karena pekerjaan yang dikerjaan melebihi kapasitas
kemampuan manusia yang memiliki keterbatasan. Hal ini dapat menyebabkan
14
menurunnya kualitas pekerja, hubungan yang tidak sehat di lingkungan pekerjaan,
menurunkan kreativitas pekerja, dan menyebabkan burnout.
b. Lack of Work Control
Semua orang memiliki keinginan untuk memiliki kesempatan dalam membuat
pilihan, keputusan, menggunakan kemampuannya untuk berfikir dan menyelesaikan
masalah, dan meraih prestasi. Adanya aturan terkadang membuat pekerja memiliki
batasan dalam berinovasi, merasa kurang memiliki tanggung jawab dengan hasil yang
mereka dapat karena adanya kontrol yang terlalu ketat dari atasan.
c. Rewarded for Work
Kurangnya apresiasi dari lingkungan kerja membuat pekerja merasa tidak
bernilai. Apresiasi bukan hanya dilihat dari pemberian bonus (uang), tetapi hubungan
yang terjalin baik antar pekerja, pekerja dengan atasan turut memberikan dampak
pada pekerja. Adanya apresiasi yang diberikan akan meningkatkan afeksi positif dari
pekerja yang juga merupakan nilai penting dalam menunjukkan bahwa seseorang
sudah bekerja dengan baik.
d. Breakdown in Community
Pekerja yang kurang memiliki rasa belongingness terhadap lingkungan
kerjanya (komunitas) akan menyebabkan kurangnya rasa keterikatan positif di tempat
kerja. Seseorang akan bekerja dengan maksimal ketika memiliki kenyamanan,
15
kebahagiaan yang terjalin dengan rasa saling menghargai, tetapi terkadang
lingkungan kerja melakukan sebaliknya. Ada kesenjangan baik antar pekerja maupun
dengan atasan, sibuk dengan diri sendiri, tidak memiliki quality time dengan rekan
kerja. Terkadang teknologi seperti handphone, computer membuat seseorang
cenderung menghilangkan social contact dengan orang disekitar. Hubungan yang
baik seperti sharing, bercanda bersama perlu untuk dilakukan dalam menjalin ikatan
yang kuat dengan rekan kerja. Hubungan yang tidak baik membuat suasana di
lingkungan kerja tidak nyaman, full of anger, frustasi, cemas, merasa tidak dihargai.
Hal ini membuat dukungan sosial menjadi tidak baik, kurang rasa saling membantu
antar rekan kerja.
e. Treated Fairly
Perasaan tidak diperlakukan tidak adil juga merupakan faktor terjadinya
burnout. Adil berarti saling menghargai dan menerima perbedaan. Adanya rasa saling
menghargai akan menimbulkan rasa keterikatan dengan komunitas (lingkungan
kerja). Pekerja merasa tidak percaya dengan lingkungan kerjanya ketika tidak ada
keadilan. Rasa ketidakadilan biasa dirasakan pada saat masa promosi kerja, atau
ketika pekerja disalahkan ketika mereka tidak melakukan kesalahan.
f. Dealing with Conflict Values
Pekerjaan dapat membuat pekerja melakukan sesuatu yang tidak sesuai
dengan nilai mereka. Misalnya seorang sales terkadang harus berbohong agar produk
16
yang ditawarkan bisa terjual. Namun hal ini dapat menyebabkan seseorang
menurunkan performa, kualitas kerjanya karena tidak sesuai dengan nilai yang
dimiliki. Seseorang akan melakukan yang terbaik ketika melakukan apa yang sesuai
dengan nilai, belief, menjaga integritas dan self respect.
Selanjutnya, Sullivan (1989) menjelaskan beberapa faktor yang dapat
menyebabkan burnout sebagai berikut :
a. Environmental Factor
Faktor lingkungan merupakan faktor yang berkaitan dengan konflik peran,
beban kerja yang berlebihan, kurangnya dukungan sosial, keterlibatan terhadap
pekerjaan, tingkat fleksibilitas waktu kerja. Dalam keluarga, faktor lingkungan
termasuk dalam jumlah anak, keterlibatan dalam keluarga serta, kualitas hubungan
dengan anggota keluarga.
b. Individual Factor
Faktor individu meliputi faktor demografik seperti jenis kelamin, etnis, usia,
status perkawinan, latar belakang pendidikan; faktor kepribadian seperti tipe
keperibadian introvert atau extrovert, konsep diri, kebutuhan, motivasi, kemampuan
dalam mengendalikan emosi, locus of control.
c. Social Cultural Factor
Faktor social cultural berkaitan dengan nilai, norma, kepercayaan yang dianut
dalam masyarakat yang berkaitan dengan pelayanan sosial.
17
Berdasarkan uraian di atas maka faktor-faktor yang menjadi penyebab
burnout adalah work overload, lack of work, rewarded for work, breakdown in
community, treated fairly, dealing with conflict values, environmental factor,
individual factor, dan social factor.
Work family conflict merupakan bagian dari environmental factor. Seperti
yang dikemukakan Kinnunen, Vermulst, Gerris & Makikangas (2003) bahwa work
family conflict terjadi akibat tekanan lingkungan kerja (tipe dari pekerjaan,
keterlibatan kerja, fleksibilitas waktu kerja) dan lingkungan keluarga (jumlah anak,
keterlibatan dalam keluarga, kualitas hubungan dengan anggota keluarga).
B. Work Family Conflict
1. Defenisi Work Family Conflict
Howard (2008) mengemukakan work family conflict terjadi ketika ada ketidak
sesuaian antara peran yang satu dengan peran lainnya (inter-role conflict) dimana
terdapat tekanan yang berbeda antara peran di keluarga dan di pekerjaan. Sejalan
dengan hal tersebut, Greenhaus & Beautell (1985) mendefensikan work family
conflict sebagai suatu inter-role conflict yang terjadi dimana tekanan peran dari
keluarga dan pekerjaan berbeda. Work family conflict terjadi ketika adanya harapan
yang bertentangan yang dirasakan oleh individu terhadap peran-peran yang
dimilikinya sehingga pemenuhan kebutuhan sulit untuk dipenuhi (Newcomb, 1981).
Netmeyer, Mc Murrian & Boles (1996) mengemukakan terdapat pertentangan
tanggung jawab peran dari pekerjaan dan keluarga yang menyebabkan konflik. Work
18
family conflict memiliki hubungan dengan dampak yang negatif terhadap pekerjaan
dalam hal kepuasan kerja, burnout kerja, dan turnover (Greenhaus, Parasuraman &
Collins, 2001; Howard, Donfrio, & Boles, 2004) yang juga berhubungan dengan
distress kerja, kehidupan, dan kepuasan pernikahan (Kinnunen & Mauno 1998).
Work family conflict dapat terlihat dari gejala psikologis seperti gelisah,
cemas, merasa bersalah, dan frustasi (Burke & Greenglass, 1986). Kahn (1964)
mendefensikan inter-role conflict sebagai tekanan yang terjadi akibat dua peran atau
lebih menyebabkan seseorang sulit untuk memenuhi kebutuhannya. Menurut Biddle
& Thomas (1996), semakin banyak peran yang dimiliki seseorang maka semakin siap
pula ia dalam menghadapi masalah kehidupan sosialnya.
Meyer & Rowan (1977) menyatakan work family conflict terjadi ketika
seseorang harus memenuhi dua tuntutan peran yang berbeda dalam waktu yang
bersamaan. Menurut Sudibyo (1993), work family conflict terjadi ketika dua atau
lebih peran memiliki harapan yang berbeda dan tidak harmonis satu dan yang lainnya.
Konflik ini juga dapat timbul karena adanya harapan yang tidak pasti. Defenisi work
family conflict yang dijelaskan diatas sudah digunakan oleh banyak peneliti mengenai
work family conflict (Gutek, Searle & Klepa, 1991; Frone 1992; Huang, Neal &
Perrin, 2004).
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa work family conflict adalah
konflik yang terjadi pada individu yang memiliki dua peran atau lebih yang
menyebabkan ketidakseimbangan pada kedua peran sehingga tidak mampu
memenuhi kebutuhan, tuntutan dari masing-masing peran.
19
2. Dimensi Work Family Conflict
Menurut Greenhaus & Beutell (1985), peran ganda bersifat bi-directional,
artinya keluarga dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan pekerjaan (family work
conflct), dan pekerjaan dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan keluarga (work
family conflict). Selanjutnya, Greenhaus & Beutell (1985) juga menjelaskan
mengenai multidimensi dari peran ganda, dimana baik family work conflict maupun
work family conflict masing-masing memiliki 3 dimensi yang sifatnya 1 arah pada
time based conflict, strain based conflict, dan behavior based conflict. Berikut
penjelasan mengenai 3 dimensi tersebut :
a. Time-based conflict
Time-based conflict terjadi ketika waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan
salah satu tuntutan (keluarga atau pekerjaan) dapat mengurangi waktu untuk
menjalankan tuntutan yang lainnya (keluarga atau pekerjaan). Misalnya ketika ada
pertemuan orangtua murid di sekolah yang waktunya bersamaan dengan meeting di
kantor sehingga menimbulkan konflik, pekerja yang karena kesibukannya dalam
bekerja telat menjemput anaknya. Menurut Buck, Lee, MacDermid dan Smith (2000),
time-based conflict terjadi karena energi manusia yang terbatas. Nordenmark (2002)
menyatakan konflik ini dapat menyebabkan kemungkinan timbulnya tekanan pada
pekerja. Menurut Greenhaus dan Beutell (1985), time-based conflict terjadi akibat 1)
pekerja baik secara fisik maupun waktu tidak dapat memenuhi tuntutan peran lainnya,
20
2) pekerja hanya fokus disalah satu peran, namun tetap hadir secara fisik diperan
lainnya untuk memenuhi tuntutan.
b. Strain-based conflict
Strain-based conflict terjadi ketika tuntutan dari satu peran mempengaruhi
kinerja peran lainnya. Hal ini dapat menyebabkan pekerja mengalami ketidakpuasan,
ketegangan, kecemasan, fatigue (Greenhaus & Beutell, 1985; Edwards & Rothbard,
2000). Selanjutnya, Edwars dan Rothbard (2000) berpendapat, pekerja menghabiskan
banyak energi karena adanya tekanan fisik dan psikologis sehingga mempengaruhi
kinerja. Adanya tekanan psikologis yang negatif mengakibatkan seseorang cenderung
menghabiskan lebih banyak waktu dan kemampuan pada satu peran sehingga tidak
dapat memuaskan peran lainnya.
c. Behavior-based conflict
Behavior-based conflict terjadi ketika adanya ketidaksesuaian antara perilaku
dengan yang diinginkan oleh kedua bagian (keluarga atau pekerjaan). Misalnya
perilaku agresif, konfrontasi, asertif yang dibutuhkan dalam pekerjaan tidak sesuai
dengan yang dibutuhkan dalam keluarga dimana lebih menekankan pada kehangatan,
pengertian, rasa saling menyayangi dan mengasihi (Greenhaus & Beutell, 1985;
Edwards & Rothbard, 2000). Edwards & Rothbard (2000) juga menyatakan bahwa
21
adanya perilaku yang ditampilkan disalah satu peran akan mempengaruhi perilaku di
peran lainnya.
3. Konsep Work Family Conflict
Konsep konflik peran ganda dapat dibagi ke dalam dua bentuk (Frone, 1992;
Adekola, 2010), yaitu:
a. Konflik Pekerjaan (Work Interference with Family)
Konflik yang terjadi ketika aktivitas pekerjaan mengganggu tanggung jawab
individu dalam lingkungan keluarga. Misalnya, individu membawa pulang pekerjaan
dan berusaha untuk menyelesaikannya dengan mengorbankan waktu keluarga (Noor,
2003). Efek mood dan stress yang dialami di lingkungan pekerjaan juga membuat
individu tidak fokus dalam menyelesaikan tuntutan perannya di lingkungan keluarga
(Williams & Alliger, 1994; Adekola, 2010). Selain itu, pertumbuhan karir individu
dalam pekerjaannya akan menyebabkan individu meningkatkan komitmennya dalam
memenuhi tuntutan pekerjaan sehingga tuntutan keluarga tidak terpenuhi secara
maksimal (Hall, 1972; Adekola, 2010).
22
b. Konflik Keluarga (Family Interference with Work)
Konflik yang terjadi ketika peran dan tanggung jawab dalam keluarga
mengganggu aktivitas pekerjaan. Misalnya, individu yang membatalkan rapat penting
karena anaknya sedang sakit (Noor, 2004). Selain itu, disebutkan bahwa perbedaan
gender juga merupakan hal yang berpengaruh terhadap kemunculan konflik keluarga.
Mengingat bahwa mengasuh anak biasanya dilakukan oleh wanita, maka keberadaan
istri yang bekerja dapat lebih memicu terjadinya konflik keluarga (Voydanoff, 1988;
Adekola, 2010).
C. Dosen Wanita
1. Pengertian Dosen
Menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 mengenai Guru dan Dosen
dijelaskan bahwa dosen adalah pendidik professional dan ilmuan yang memiliki tugas
untuk mentranformasi, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat.
2. Tugas-tugas Dosen
Dosen dalam menjalankan tugas profesionalnya diharapkan memiliki
pengetahuan, keterampilan yang dikuasai dengan baik (Pedoman Beban Kerja Dosen
(BKD) dan Evaluasi Pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi bagi Dosen di
23
Lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), 2010). Tugas utama dosen
adalah melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi yang meliputi pendidikan/
pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat.
a. Pendidikan/ Pengajaran
Tugas pendidikan dan pengajaran adalah kegiatan yang wajib dilakukan oleh
setiap dosen pada jenjang strata 1. Dosen yang sudah meraih jabatan akademik
tertinggi sebagai guru besar atau profesor tetap harus melakukan tugas pendidikan
dan pengajaran pada jenjang Strata1.
b. Penelitian
Merupakan kegiatan yang wajib dilakukan oleh dosen, baik secara perorangan
maupun berkelompok, dibiayai secara mandiri maupun oleh lembaga. Tugas
penelitian dan pengembangan ilmu yang wajib dilakukan dosen dengan bentuk
kegiatan seperti menghasilkan karya penelitian, menerjemahkan buku ilmiah,
menyunting karya ilmiah, membuat rancangan, karya teknologi dan karya seni,
menyampaikan orasi ilmiah, dan sebagai pembicara seminar.
c. Pengabdian Masyarakat
Kegiatan yang dilakukan dosen dalam bentuk pengabdian masyarakat seperti
melaksanakan pengembangan hasil pendidikan dan penelitian yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat, memberi penyuluhan atau ceramah kepada
24
masyarakat, memberi pelayanan secara langsung kepada masyarakat, menulis karya
pengabdian kepada masyarakat.
3. Dosen Wanita
Dosen wanita merupakan wanita yang merupakan pendidik profesional dan
ilmuwan
dengan
tugas
utama
mentransformasikan,
mengembangkan,
dan
menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Sholichin, 2011).
4. Peran Wanita dalam Keluarga dan Pekerjaan
Saat ini, dengan semakin tingginya tingkat pendidikan wanita dan kebutuhan
ekonomi keluarga maka semakin banyak pula wanita yang memilih untuk berperan
ganda sebagai pekerja dan istri/ ibu dalam keluarga. Terjadi pergeseran nilai dari
single career family dimana dalam sebuah rumah tangga hanya pria (suami) yang
bekerja menjadi dual career family, dimana pria (suami) maupun wanita (istri) samasama bekerja (Alteza & Hidayati, 2011).
Salah satu pilihan pekerjaan yang menarik bagi wanita adalah bekerja sebagai
dosen.
Profesi dosen dianggap sebagai profesi yang ideal, memiliki fleksibiltas
waktu, tuntutan yang tidak terlalu tinggi dan kesejahteraan yang memadai sehingga
akan lebih mudah bagi wanita untuk menjalankan peran ganda (Saptari & Holzner,
1997). Peran ganda wanita dapat menimbulkan implikasi positif dan negatif dimana
25
wanita dapat mengaktualisasikan dirinya secara penuh di lingkungan pekerjaan,
namun disisi lain tetap harus menjalankan peran sebagai istri dan ibu rumah tangga.
D. Dinamika Work Family Conflict dan Burnout dikalangan Dosen Wanita
Banyaknya tuntutan yang harus dipenuhi wanita dengan peran ganda
menimbulkan konflik yang menyebabkan tekanan (Greenhaus & Beutell). Tekanan
yang muncul akibat dari konflik berkelanjutan dapat menimbulkan ketidaknyamanan.
Wood (1981) menyatakan bahwa, pengajar (dosen) mengalami konflik keluargapekerjaan dengan permasalahan yang berbeda saat di rumah dengan peran sebagai
suami/ istri atau ayah/ ibu, dan dilingkungan pekerjaan/sekolah.
Leiter & Maslach (1997) menyatakan konflik terjadi akibat tuntutan dari
keluarga dan pekerjaan harus dipenuhi dalam waktu yang bersamaan. Tidaklah
mudah bagi wanita untuk berperan ganda disebabkan tanggung jawab sebagai istri,
ibu dan pekerja cukup besar dan kadangkala menimbulkan konflik. Tuntutan yang
harus dipenuhi baik di dalam keluarga maupun pekerjaan membuat seseorang dapat
mengalami kelelahan baik secara fisik, emosional, maupun mental yang jika dialami
dalam waktu yang lama dapat menyebabkan burnout (Pines & Maslach, 1993).
Menurut Jackson, Schuler dan Schwab (1986) mengemukakan burnout terjadi
akibat adanya kesenjangan antara harapan dengan kenyataan. Berdasarkan perspektif
teori belajar, burnout muncul akibat pengharapan yang salah terhadap reinforcement,
outcome, dan efficacy (Schaufelli & Buunk, 1996). Dengan kata lain, burnout dapat
26
dikatakan sebagai respon dari tekanan (Leatz & Stolar, 1996; Stanley, 2004).
Penelitian yang dilakukan oleh Amalia (2008) menyatakan bahwa wanita yang
memiliki peran ganda lebih sering mengalami tekanan dibandingkan dengan wanita
yang hanya memiliki satu peran.
Menurut Greenhause dan Butell (1985) konflik yang terjadi pada wanita yang
bekerja adalah konflik antar peran (inter-role conflict). Konflik ini terjadi ketika
pekerjaan dan keluarga sama-sama membutuhkan perhatian, tuntutan pada keluarga
dan pekerjaan sama-sama harus dipenuhi. Work family conflict yang terjadi juga
dikarenakan tanggung jawab peran dari keluarga dan pekerjaan bertentangan,
sehingga akan sulit bagi untuk memenuhi tuntutan (Netmeyer, Mc Murrian & Boles,
1996). Selain itu work family conflict terjadi karena waktu yang dihabiskan pada satu
peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi kebutuhan peran lainnya (Greenhaus
& Beutell, 1985). Waktu yang dihabiskan untuk peran tertentu dapat memberikan
efek negatif bagi keluarga atau pekerjaan.
Carlson dan Kacmar (2000) pekerja yang lebih terlibat di dalam keluarga akan
mengalami tekanan yang lebih tinggi. Greenhaus, Parasuraman, dan Collins (2001)
menunjukkan adanya hubungan positif antara keterlibatan dalam keluarga dan work
family conflict. Bagi wanita yang sudah menikah, fokus pada pertumbuhan anak
cenderung mengalami masa sulit dalam bekerja (Greenberger & O’Neal, 1990).
27
Menurut Widyarini (1998) burnout yang terjadi pada ibu yang bekerja dapat
menurunkan kesehatan fisik dan mental. Hal ini dapat mempengaruhi kinerjanya baik
di keluarga maupun di pekerjaan. Pekerja professional memiliki tekanan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan pekerja non professional (Duxbury & Higgins, 2003).
Valdez dan Gutek (1987) menyatakan ibu yang bekerja dengan status professional
dan manajerial mempunyai tekanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan status
pekerjaan yang lebih rendah. Tenaga kerja professional termasuk tenaga pengajar
perguruan tinggi atau dosen.
E. Hipotesa Penelitian
1. Ada pengaruh positif work family conflict terhadap burnout, dimana work family
conflict berpengaruh terhadap peningkatan burnout dikalangan dosen wanita.
2. Ada peranan time based conflict, strain based conflict, dan behavior based conflict
terhadap burnout dikalangan dosen wanita.