PERBEDAAN STATUS GIZI ANAK PENDERITA TALASEMIA DENGAN ANAK NON-TALASEMIA

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran NUROTUS SANIYAH

G0008148

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan ridho-Nya skripsi dengan judul “Perbedaan Status Gizi Anak Penderita Talaemia dan Anak Non- Talasemia” dapat terselesaikan.

Penelitian ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini tidaklah dapat terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu:

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp. PD-KR-FINASIM, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

2. Annang Giri Muelyo, dr., Sp. A., M.Kes, selaku pembimbing utama atas segala bimbingan, masukan, dan jalan keluar dari permasalahan yang timbul dalam proses penyusunan skripsi ini.

3. Drs. Widardo, M. Sc ., selaku pembimbing pendamping atas segala bimbingan dan masukan mulai dari awal penyusunan hingga akhir penelitian skripsi ini.

4. Ganung Harsono, dr., Sp. A (K) selaku penguji utama atas segala masukan dan koreksi untuk berbagai kekurangan dalam skripsi ini.

5. Yoseph Indrayanto, dr., M.S., Sp. And., S.H. selaku anggota penguji atas masukan dan koreksi untuk berbagai kekurangan dalam skripsi ini.

6. Muthmainah, dr., M.Kes, selaku Ketua Tim Skripsi beserta Staf Bagian Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

7. H. Abu Amar, Khusnul Hidayati, dr., Qumi Nahril Ula, S.kom., Atika Rahma, Nurul Arifah, serta seluruh keluarga tercinta yang telah memberi dukungan dan selalu mendoakan untuk terselesaikannya skripsi ini.

8. Semua sahabat-sahabat tersayang yang selalu memberi dukungan dan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini, Cahyaning Gusti A., Siti Okti A., Yuniarida Dwijayanti, Wella Manovia, Adelia Kartikasari, Della K. P., Dewi Ayu A. P., Hida Fitriana R. P., dan Taniar Rachma P.

9. Pasien Talasemia Mayor di RSUD Dr. Moewardi serta siswa SDN Kandang Sapi dan TK Gaya Baru Surakarta yang telah bersedia ikut dalam penelitian.

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk perbaikan di masa datang. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Surakarta, 21 September 2011

Nurotus Saniyah

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kategori dan Ambang Status Gizi dan Pertumbuhan Anak Berdasarkan Indeks.. ............................................................................ 24 Tabel 2. Distribusi Jenis Kelamin Sampel Penderita Talasemia di RSUD Dr.

Moewardi Surakarta dan Sampel Non-Talasemia di SDN Kandang Sapi Surakarta dan TK Gaya Baru 3 Surakarta ........................................... 37

Tabel 3. Distribusi Umur Sampel Penderita Talasemia di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dan Sampel Non-Talasemia di SDN Kandang Sapi Surakarta dan TK Gaya Baru 3 Surakarta............................................ 38

Tabel 4. Distribusi Interpretasi BB/U Sampel Penderita Talasemia di RSUD Dr.

Moewardi Surakarta dan Sampel Non-Talasemia di SDN Kandang Sapi Surakarta dan TK Gaya Baru 3 Surakarta dalam Z-Score..................... 39

Tabel 5. Distribusi Nilai BB/U Sampel Penderita Talasemia di RSUD Dr.

Moewardi Surakarta dan Sampel Non-Talasemia di SDN Kandang Sapi Surakarta dan TK Gaya Baru 3 Surakarta dalam Z-Score………. 40

Tabel 6. Perbandingan Rata-Rata Nilai Z-Score BB/U Sampel Anak di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, SDN Kandang Sapi Surakarta dan TK Gaya Baru 3 Surakarta Menggunakan Uji Independent t-Test Sample .................................................................................................. 41

Tabel 7. Distribusi Interpretasi TB/U Penderita Talasemia di RSUD Dr.

Moewardi Surakarta dan Sampel Non-Talasemia di SDN Kandang Sapi Surakarta dan TK Gaya Baru 3 Surakarta…………...................... 42

Tabel 8. Distribusi Nilai TB/U Sampel Penderita Talasemia di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dan Sampel Non-Talasemia di SDN Kandang Sapi Surakarta dan TK Gaya Baru 3 Surakarta dalam Z-Score............. 43

Tabel 9. Perbandingan Rata-Rata Nilai Z-Score TB/U Sampel Anak di RSUD

Dr. Moewardi Surakarta, SDN Kandang Sapi Surakarta dan TK Gaya Baru 3 Surakarta Menggunakan Uji Independent t-Test Sample........... 45

Tabel 10. Distribusi Interpretasi IMT/U Sampel Penderita Talasemia di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dan Sampel Non-Talasemia di SDN Kandang Sapi Surakarta dan TK Gaya Baru 3 Surakarta…...…..…… 46

Tabel 11. Distribusi Nilai IMT/U Sampel Penderita Talasemia di RSUD Dr.

Moewardi Surakarta dan Sampel Non-Talasemia di SDN Kandang Sapi Surakarta dan TK Gaya Baru 3 Surakarta dalam Z-Score ........... 57

Tabel 12. Perbandingan Rata-Rata Nilai Z-Score IMT/U Sampel Anak di

RSUD Dr. Moewardi Surakarta, SDN Kandang Sapi Surakarta dan TK Gaya Baru 3 Surakarta Menggunakan Uji Independent T-Test Sample .................................................................................................. 59

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Pemikiran .......................................................................... 27 Gambar 2. Rancangan Penelitian ........................................................................ 31

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Hasil Penelitian

Lampiran 2. Hasil Uji Distribusi Menggunakan One-Sample Kolmogorov-Smirnov

Test

Lampiran 3. Hasil Analisis Statistik dengan t-Test

Lampiran 4. Surat Izin Penelitian dan Pengambilan Sampel dari Pihak Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Lampiran 5. Surat Pengantar Penelitian dari RSUD Dr.Moewardi Surakarta Lampiran 6. Surat Keterangan Selesai Penelitian dari RSUD Dr. Moewardi

Surakarta

Lampiran 7. Surat Keterangan SD Negeri Kandangsapi

Lampiran 8. Surat Keterangan Taman Kanak-Kanak Gaya Baru III

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, September 2011

Nurotus Saniyah NIM. G0008148

Skripsi dengan judul : Perbedaan Status Gizi Anak Penderita Talasemia dengan Anak Non-Talasemia

Nurotus Saniyah, G0008148, Tahun 2011

Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Ujian Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada Hari , Tanggal 2011

Pembimbing Utama Penguji Utama

Annang Giri Muelyo, dr., Sp. A, M. Kes Ganung Harsono, dr., Sp. A (K)

NIP. 19730410200501 1 001 NIP. 140087353

Pembimbing Pendamping Anggota Penguji

Drs. Widardo, M. Sc Yoseph Indrayanto, dr., M.S., Sp.And., S.H.

NIP. 19631216 199003 1002 NIP. 19560815198403 1 001

Tim Skripsi

Annang Giri Muelyo, dr., Sp. A, M. Kes

NIP: 19730410200501 1 001

Skripsi dengan judul : Perbedaan Status Gizi Anak Penderita Talasemia dengan Anak Non-Talasemia

Nurotus Saniyah, NIM : G0008148, Tahun : 2011

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada Hari Kamis, Tanggal 29 Oktober 2011

Pembimbing Utama

Nama : Annang Giri Muelyo, dr., Sp. A., M. Kes NIP

Pembimbing Pendamping

Nama : Widardo, Drs., M. Sc NIP

Penguji Utama

Nama : Ganung Harsono, dr., Sp. A (K) NIP

Anggota Penguji

Nama : Yoseph Indrayanto,dr.,M.S.,Sp.And.,S.H. NIP

Surakarta,

Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS

Muthmainah, dr.,M.Kes. Prof.Dr.Zainal Arifin Adnan,dr.,Sp.PD-KR-FINASIM

NIP. 19660702 199802 2 001 NIP. 19510601 197903 1 002

Talasemia dengan Anak Non-Talasemia Tujuan : Penderita talasemia mayor umumnya menunjukkan gejala klinis yang

berat, berupa anemia, hepatosplenomegali, pertumbuhan yang terhambat serta gizi kurang sampai gizi buruk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan status gizi anak penderita talasemia dengan anak non-talasemia yang diperoleh berdasarkan indikator berat badan menurut umur, tinggi badan menurut umur, dan indeks massa tubuh menurut umur.

Metode : Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel diambil dengan menggunakan teknik total sampling pada anak penderita talasemia berumur 0-9 tahun di Poliklinik Talasemia Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Moewardi dan dilakukan matching menurut jenis kelamin dan umur sampel non-talasemia di SDN Kandang Sapi Surakarta, dan TK Gaya Baru 3 Surakarta. Penelitian ini dilakukan selama bulan Juni-Juli 2011. Analisis data penelitian menggunakan uji t dengan batas kemaknaan dengan rentang kepercayaan 95% dan p <0,05.

Hasil : Pada penelitian diperoleh 23 sampel penderita talasemia di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dan 23 sampel non-talasemia di SDN Kandang Sapi Surakarta dan TK Gaya Baru 3 Surakarta. Dari penelitian status gizi berdasarkan berat badan menurut umur didapatkan 23 orang sampel penderita talasemia maupun sampel non-talasemia memiliki berat badan normal (t hitung = -1,801; p = 0,079). Status gizi berdasarkan tinggi badan menurut umur anak penderita talasemia didapat 11 tergolong pendek dan 12 anak tergolong normal, sedangkan anak non-talasemia didapat 22 anak tergolong normal dan 1 anak tergolong tinggi (t hitung = -3,306; p = 0,002). Status gizi berdasarkan indeks massa tubuh menurut umur anak penderita talasemia didapat 4 anak tergolong kurus, 17 anak tergolong normal, dan 2 anak tergolong gemuk, sedangkan anak non-talasemia didapat 1 anak tergolong kurus dan 22 anak tergolong normal (t hitung = 0,950; p = 0,347.).

Simpulan : Terdapat perbedaan yang signifikan status gizi berdasarkan Tinggi badan menurut umur anak penderita talasemia dan non-talasemia. Sedangkan berdasarkan indikator berat badan menurut umur dan indeks massa tubuh menurut umur tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara anak penderita talasemia dan non-talasemia.

Kata Kunci : talasemia, non-talasemia, status gizi

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Talasemia adalah suatu kelainan hemoglobin yang diturunkan secara autosomal resesif akibat terganggunya sintesis rantai globin dan menyebabkan anemia hemolitik yang kronis (Permono, 2005). Kasus talasemia pertama kali ditemukan oleh dokter Cooley pada tahun 1925 pada penduduk Amerika keturunan Italia. Talasemia banyak ditemukan pada orang-orang yang berasal dari Laut Tengah, Timur Tengah dan Asian (Rudolph dkk, 2002).

Berdasarkan data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa setiap tahunnya terdapat lebih dari 332.000 kehamilan dan kelahiran yang memiliki kelainan hemoglobin. Sekitar 56.000 diantaranya mengalami talasemia mayor, termasuk paling sedikit 30.000 anak yang membutuhkan transfusi darah rutin untuk dapat bertahan hidup dan 50 anak yang meninggal saat proses kelahiran dikarenakan talasemia α mayor (Modell dkk, 2008). Sementara itu di Indonesia Frekuensi gen talasemia di Indonesia berkisar 3-10 %. Berdasarkan angka ini, diperkirakan lebih 2000 penderita baru dilahirkan setiap tahunnya di Indonesia (Permono, 2006).

Berdasarkan manifestasi klinisnya talasemia dibagi menjadi tiga

Penderita talasemia mayor umumnya menunjukkan gejala klinis yang berat, berupa anemia, hepatosplenomegali, pertumbuhan yang terhambat dan gizi kurang sampai gizi buruk. Penderita talasemia mayor memerlukan transfusi darah terus-menerus. Gejala anemia bahkan sudah dapat terlihat pada usia kurang dari satu tahun. Bentuk heterozigot biasanya secara klinis sukar dikenal karena tidak memperlihatkan gejala klinis yang nyata dan umumnya tidak memerlukan pengobatan. Wahidiyat (2003) mendapatkan 22,7 % penderita talasemia tergolong dalam gizi baik, 64,1 % gizi kurang dan 13,2 % gizi buruk. Gangguan pertumbuhan pada penderita talasemia disebabkan oleh banyak faktor, antara lain faktor hormonal akibat hemokromatosis pada kelenjar endokrin, hipoksia jaringan akibat anemia, serta adanya defisiensi mikronutrien terutama defisiensi seng. Faktor lain yang berperan pada pertumbuhan penderita talasemia adalah faktor genetik dan lingkungan. Nutrisi merupakan faktor lingkungan yang penting dalam mempengaruhi tumbuh kembang anak. Beratnya anemia dan hepatosplenomegali menyebabkan nafsu makan menurun, sehingga asupan makanan berkurang, berakibat terjadinya gangguan status gizi (Arijanty, 2005).

Pada penelitian yang dilakukan Smith, Johnston, dan Logolhetis juga didapatkan hasil bahwa penderita talasemia mayor memiliki berat badan dan tinggi badan di bawah normal standart. Smith (1960) menyebutkan bahwa

memperbaharui konsep tersebut dengan menyebutkan bahwa pertumbuhan normal anak penderita talasemia adalah sampai 4 tahun. Setelah 4 tahun, anak penderita talasemia akan mengalami gangguan pertumbuhan. Pada tahun 1972, Logolhetis mendapatkan hasil bahwa penderita talasemia mayor mengalami gangguan pertumbuhan tinggi dan berat badan setelah usia 4 tahun, tapi tidak ditemukan gangguan pada pertumbuhan lingkar kepala. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa pada penderita yang telah mendapatkan terapi transfusi, tingkat anemia mempunyai sedikit korelasi terhadap gangguan pertumbuhan, sedangkan peningkatan kelainan sistemik yang berhubungan dengan talasemia yang diderita, seperti hepatomegali, hemosiderosis, dan deformitas tulang menunjukkan korelasi yang lebih tinggi terhadap gangguan pertumbuhan, terutama tinggi badan (Logolhetis, 1972).

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai perbedaan status gizi anak penderita talasemia dengan status gizi anak non-talasemia guna mengetahui adanya gangguan gizi maupun gangguan pertumbuhan penderita talasemia anak.

B. Perumusan Masalah

Apakah terdapat perbedaan status gizi anak penderita talasemia dengan anak non-talasemia?

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan status gizi anak penderita talasemia dengan anak non-talasemia.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang perbedaan status gizi anak penderita talasemia dengan status gizi anak non-talasemia dan sebagai acuan penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat luas dan pemerintah akan pentingnya peningkatan status gizi guna meminimalkan gangguan pertumbuhan yang terjadi pada anak penderita talasemia.

BAB II LANDASAN TEORI

A. TINJAUAN PUSTAKA

A. Talasemia

1. Definisi

Talasemia adalah kelainan genetik yang terjadi akibat gangguan sintesis rantai globin spesifik. Penyakit ini diturunkan secara autosomal resesif. Pada penyakit talasemia terdapat mutasi gen globin alfa atau gen globin beta, sehingga produksi rantai globin pun akan berkurang dan menyebabkan sel-sel eritrosit memiliki umur lebih pendek dari eritrosit normal. Penyakit ini pertama kali dipublikasikan oleh Cooley pada tahun 1925 dan ditemukan pada penduduk di Daerah Laut Tengah. Secara demografis juga banyak ditemukan di Daerah Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Secara klinis talasemia diklasifikasikan menjadi tiga grup yaitu talasemia mayor, talasemia minor/karier, dan talasemia intermedia (Wahidiyat, 2003; Bakta, 2007).

Secara genetik talasemia dibedakan menjadi talasemia- α (gangguan pembentukan rantai α), talasemia-β (gangguan pembentukan rantai β), talasemia-β-δ (gangguan pembentukan rantai β dan δ yang letak Secara genetik talasemia dibedakan menjadi talasemia- α (gangguan pembentukan rantai α), talasemia-β (gangguan pembentukan rantai β), talasemia-β-δ (gangguan pembentukan rantai β dan δ yang letak

2. Manifestasi Klinis

Pada dasarnya semua talasemia memiliki gejala yang mirip, tetapi beratnya bervariasi, tergantung jenis rantai asam amino yang hilang dan jumlah kehilangannya (mayor atau minor). Hampir seluruh kasus talasemia β menunjukkan gejala sejak lahir. Penderita tampak pucat, lemah, mudah terkena infeksi, sulit makan, dan gagal tumbuh. Sebagian besar penderita mengalami anemia yang ringan, khususnya anemia hemolitik. Namun pada bentuk yang lebih berat, khususnya pada talasemia β mayor, penderita dapat mengalami anemia berat karena kegagalan pembentukan sel darah. Dapat juga ditemukan splenomegali dan hepatomegali akibat anemia yang berat dan lama sehingga perut tampak membuncit. Bila mendapatkan transfusi yang cukup maka pertumbuhannya dapat normal sampai usia pubertas, dengan risiko kelebihan zat besi/hemosiderosis bila tidak mendapatkan terapi pengikat besi. Efek penimbunan zat besi mulai tampak pada akhir dekade pertama terutama pada hati, jantung, dan endokrin. Penyebab mortalitas utama Pada dasarnya semua talasemia memiliki gejala yang mirip, tetapi beratnya bervariasi, tergantung jenis rantai asam amino yang hilang dan jumlah kehilangannya (mayor atau minor). Hampir seluruh kasus talasemia β menunjukkan gejala sejak lahir. Penderita tampak pucat, lemah, mudah terkena infeksi, sulit makan, dan gagal tumbuh. Sebagian besar penderita mengalami anemia yang ringan, khususnya anemia hemolitik. Namun pada bentuk yang lebih berat, khususnya pada talasemia β mayor, penderita dapat mengalami anemia berat karena kegagalan pembentukan sel darah. Dapat juga ditemukan splenomegali dan hepatomegali akibat anemia yang berat dan lama sehingga perut tampak membuncit. Bila mendapatkan transfusi yang cukup maka pertumbuhannya dapat normal sampai usia pubertas, dengan risiko kelebihan zat besi/hemosiderosis bila tidak mendapatkan terapi pengikat besi. Efek penimbunan zat besi mulai tampak pada akhir dekade pertama terutama pada hati, jantung, dan endokrin. Penyebab mortalitas utama

Penderita talasemia anak yang tidak mendapatkan transfusi dalam jumlah cukup mengalami gangguan tumbuh kembang dan splenomegali progresif yang memperburuk keadaan anemianya. Terjadi perluasan sumsum tulang yang menyebabkan deformitas kepala, penonjolan tulang zigoma, dengan gambaran khas mongoloid. Secara radiologis, perubahan struktur tulang ini memberikan gambaran khas, penipisan dan trabekulasi tulang panjang, dan hair on end pada tulang tengkorak. Karena peningkatan proses eritropoiesis yang tidak efektif, penderita sering mengalami demam, mudah terkena infeksi, dan gagal tumbuh. Kebutuhan folat meningkat, dan kekurangan zat ini memperburuk anemia. Pada gambaran darah tepi ditemukan anemia berat tipe mikrositik hipokromik, anisositosis, poikilositosis, dan sel target. Pada sumsum tulang ditemukan adanya hyperplasia tipe normoblastik. Dapat ditemukan gangguan perdarahan akibat trombositopenia, ataupun kegagalan fungsi hati. Tanpa transfusi, penderita dapat meninggal karena infeksi berulang. Perawakan pendek disebabkan kekurangan gizi dan anemia kronis. (Weatherall, 2003;Aessopos dkk, 2005;Permono, 2005).

3. Diagnosis

Menurut National Heart Lung and Blood (2010) diagnosis talasemia dilakukan dengan menggunakan tes darah, termasuk tes darah lengkap dan tes Hemoglobin elektroforesis. Dengan tes darah lengkap akan didapatkan informasi tentang jumlah Hemoglobin dan berbagai jenis sel dalam darah. Orang dengan talasemia memiliki lebih sedikit sel darah merah yang sehat dan Hemoglobin dibandingkan dengan orang normal. Sedangkan tes Hemoglobin elektroforesis digunakan untuk melihat kegagalan pembentukan rantai globin spesifik sekaligus menentukan tipe talasemia yang diderita. Pemeriksaan ini merupakan diagnosis pasti untuk talasemia. Tes Hemoglobin elektroforesis sebaiknya juga dilakukan pada kedua orangtua penderita untuk menentukan gen varian pembawa talasemia dan menentukan prognosis penderita. Selain itu pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah tes untuk menguji jumlah kadar besi dalam darah untuk menyingkirkan diagnosis banding anemia defisiensi besi (Waterbury, 2001; Bakta, 2007).

4. Penatalaksanaan

Hingga sekarang belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan talasemia, namun dengan terapi yang adekuat, kualitas hidup penderita talasemia dapat diperbaiki. Penatalaksanaan untuk penderita talasemia terdiri atas: Hingga sekarang belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan talasemia, namun dengan terapi yang adekuat, kualitas hidup penderita talasemia dapat diperbaiki. Penatalaksanaan untuk penderita talasemia terdiri atas:

b. Pemberian asam folat secara teratur (misal 5 mg/hari per oral) jika asupan diet buruk.

c. Pemberian terapi kelasi besi untuk mengatasi penimbunan zat besi (hemosiderosis) akibat transfusi pada organ tubuh seperti jantung, ginjal, hati, otak, dan paru. Jumlah zat besi plasma darah dinilai dengan pemeriksaan feritin. Nilai normal feritin adalah 10-300 ng/mL. terapi kelasi besi yang diberikan yaitu deferoksamin secara intravena, subkutan, atau per oral pada setiap kali transfusi darah. Deferoksamin diberikan bila kadar feritin > 1000 ng/mL. efek samping pemberian intravena dan subkutan adalah nyeri lokal dan infeksi. Toksisitas timbul pada pemberian dosis melebihi 50 mg/kg berupa ketulian sensorineural, kelainan retina, dan gangguan pertumbuhan tinggi badan.

d. Diet rendah besi juga diperlukan untuk mengurangi hemosiderosis akibat transfusi darah berulang.

e. Pemberian vitamin C (200 mg perhari) untuk meningkatkan ekskresi besi yang disebabkan oleh deferoksamin.

f. Splenektomi mungkin perlu dilakukan untuk mengurangi kebutuhan darah. Splenektomi harus ditunda sampai penderita berusia > 6 tahun karena tingginya risiko infeksi yang berbahaya pasca splenektomi.

g. Terapi endokrin diberikan sebagai terapi pengganti akibat kegagalan organ akhir atau untuk merangsang hipofisis bila pubertas terlambat. Misal penderita diabetes memerlukan terapi insulin.

h. Kesembuhan permanen dapat dilakukan dengan transplantasi sumsum tulang. Tingkat kesuksesannya lebih dari 80 % pada pasien muda yang mendapat kelasi secara baik tanpa disertai adanya fibrosis hati atau hepatomegali. Namun mengingat biaya yang dikeluarkan sangat tinggi untuk melakukan transplantasi ini, maka sangat jarang dilakukan di Indonesia (Pudjiaji, 1993; Honig, 2000; Hoffbrand dkk, 2005; Bakta, 2007).

B. Pertumbuhan Anak

Pertumbuhan adalah bertambahnya jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh) (Soetjiningsih, 1995;Abdoerrachman, 2007).

Ada berbagai faktor yang mempengaruhi pertumbuhan, pada garis besarnya adalah:

1. Faktor genetik Faktor genetik merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang anak. Melalui instruksi genetik yang terkandung di dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan. Ditandai dengan intensitas dan kecepatan pembelahan, derajat sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas dan berhentinya pertumbuhan tulang. Termasuk faktor genetik adalah berbagai faktor bawaan yang normal dan patologik, jenis kelamin, suku bangsa atau bangsa.

2. Faktor lingkungan Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai atau tidaknya potensi bawaan. Lingkungan yang cukup baik akan memungkinkan tercapainya potensi bawaan, sedangkan yang kurang baik akan menghambatnya. Faktor lingkungan secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu: faktor lingkungan yang mempengaruhi anak pada waktu masih di dalam kandungan (faktor pranatal) dan faktor lingkungan yang mempengaruhi anak setelah lahir (faktor postnatal) (Soetjiningsih, 1995;Abdoerrachman, 2007).

a. Faktor lingkungan prenatal

1) Gizi ibu pada waktu hamil Gizi ibu yang jelek sebelum kehamilan maupun pada masa kehamilan lebih sering menghasilkan bayi BBLR atau lahir mati dan kadang menyebabkan cacat bawaan. Di samping itu dapat pula menyebabkan hambatan pertumbuhan otak janin, anemia pada bayi baru lahir, bayi baru lahir mudah terkena infeksi, abortus, dan sebagainya.

2) Mekanis Trauma dan cairan ketuban yang kurang dapat menyebabkan kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan. Demikian pula pada posisi janin dalam uterus dapat menyebabkan talipes, dislokasi panggul, tortikolis kongenital, palsi fasialis, atau kranio tabes.

3) Toksin atau zat kimia Masa organogenesis adalah masa yang sangat peka terhadap zat- zat teratogen. Misalnya obat-obatan seperti thalidomide, phenitoin, methadion, obat-obat anti kanker, dan lain sebagainya dapat menyebabkan kelainan bawaan. Demikian pula dengan ibu hamil yang perokok berat atau peminum alkohol kronis. Sering melahirkan bayi berat badan lahir rendah, lahir mati, cacat, atau retardasi mental. Keracunan logam berat pada ibu hamil, misalnya karena makan ikan yang terkontaminasi merkuri dapat 3) Toksin atau zat kimia Masa organogenesis adalah masa yang sangat peka terhadap zat- zat teratogen. Misalnya obat-obatan seperti thalidomide, phenitoin, methadion, obat-obat anti kanker, dan lain sebagainya dapat menyebabkan kelainan bawaan. Demikian pula dengan ibu hamil yang perokok berat atau peminum alkohol kronis. Sering melahirkan bayi berat badan lahir rendah, lahir mati, cacat, atau retardasi mental. Keracunan logam berat pada ibu hamil, misalnya karena makan ikan yang terkontaminasi merkuri dapat

4) Endokrin Hormon-hormon yang mungkin berperan pada pertumbuhan janin adalah somatotropin, hormon plasenta, hormon tiroid, hormon insulin, dan peptida-peptida lain dengan aktifitas mirip insulin (insulin-like growth factor/IGFs).

5) Radiasi Radiasi pada janin sebelum umur kehamilan 18 minggu dapat menyebabkan kematian janin, kerusakan otak, mikrosefali, atau cacat bawaan lainnya.

6) Infeksi Infeksi intrauterine yang sering menyebabkan cacat bawaan adalah Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, dan Herpes Simplex (TORCH).

7) Stres Stres yang dialami ibu pada saat hamil dapat mempengaruhi tumbuh kembang janin, antara lain cacat bawaan, kelainan kejiwaan, dan lain-lain.

8) Imunitas Rhesus atau ABO inkomtabilitas sering menyebabkan abortus, hidrops fetalis, kern ikterus, atau lahir mati.

9) Anoksia embrio Menurunnya oksigenasi janin melalui gangguan pada plasenta atau tali pusat, menyebabkan berat badan lahir rendah.

b. Faktor lingkungan postnatal

1) Lingkungan biologis, antara lain:

a) Ras/suku bangsa Pertumbuhan somatik juga dipengaruhi oleh ras/suku bangsa. Bangsa kulit putih/ras Eropa mempunyai pertumbuhan somatik lebih tinggi daripada bangsa Asia.

b) Jenis kelamin

c) Umur Umur yang paling rawan adalah masa balita, oleh karena pada masa itu anak mudah sakit dan mudah terjadi kurang gizi. Di samping itu masa balita merupakan dasar pembentukan kepribadian anak. Sehingga diperlukan perhatian khusus.

d) Gizi Di antara faktor lingkungan, asupan gizi merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan. Kebutuhan gizi individu bervariasi sesuai dengan perbedaan genetik dan metabolik. Namun, untuk anak, tujuan dasar adalah pertumbuhan yang memuaskan dan mencegah keadaan d) Gizi Di antara faktor lingkungan, asupan gizi merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan. Kebutuhan gizi individu bervariasi sesuai dengan perbedaan genetik dan metabolik. Namun, untuk anak, tujuan dasar adalah pertumbuhan yang memuaskan dan mencegah keadaan

Pada masa bayi, terutama bayi muda jumlah air yang dianjurkan

untuk

diberikan

sangat penting, dibandingkan dengan bayi yang lebih tua dan golongan umur selanjutnya, karena air merupakan nutrient yang menjadi medium untuk nutrient lainnya. Kekurangan air bisa berakibat kematian dalam beberapa hari. Kandungan air pada bayi relatif lebih tinggi (75-80 % dari berat badan) daripada kandungan orang dewasa (55-60 % dari berat badan). (Pudjiaji, 1993; Barness, 2000; Abdoerrachman, 2007).

(2) Energi

Kebutuhan energi bagi anak ditentukan oleh metabolisme basal, umur, aktivitas fisik, suhu lingkungan, serta kesehatannya. Unit panas dalam metabolisme adalah kalori dengan C besar atau kilokalori (1 Cal = 1 Kcal). Zat-zat gizi yang mengandung energi disebut makronutrien dan terdiri

dari protein, lemak, dan karbohidrat. Tiap gram protein maupun karbohidrat memberi energi sebanyak empat kilokalori, sedangkan tiap gram lemak member energi sebanyak sembilan kilokalori. Dianjurkan supaya jumlah energi yang diperlukan didapati dari 50-60 % karbohidrat, 25-35 % lemak, dan selebihnya protein (10-15 %). Besarnya kalori yang dibutuhkan seseorang perhari telah tercantum dalam tabel angka kecukupan gizi 2004 (tabel 2.2) bagi orang indonesia (Pudjiaji, 1993; Barness, 2000; Abdoerrachman, 2007).

(3) Protein

Protein merupakan zat gizi yang menghasilkan berbagai polipeptida dan asam amino yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan, pemeliharaan jaringan dan pengaturan kerja alat-alat tubuh. Protein membentuk sekitar 20 % berat badan orang dewasa. Dikenal tiga macam asam amino dari berbagai pangan, yaitu asam amino esensial, asam amino semi esensial, dan asam amino non-esensial. Protein hewani pada umum mengandung lebih banyak asam amino dibandingkan protein

nabati.

Kekurangan

protein akan mengakibatkan kelemahan, pembesaran perut, udem, protein akan mengakibatkan kelemahan, pembesaran perut, udem,

(4) Vitamin dan Mineral

Selain makronutrien manusia juga memerlukan mikronutrien, yaitu zat gizi yang dibutuhkan manusia dalam jumlah sedikit (mikrogram atau miligram perhari), untuk pertumbuhan dan perkembangan. Mikronutrien tersebut berupa vitamin dan mineral. Vitamin dibagi menjadi dua kelompok yaitu vitamin yang larut dalam air (water soluble), misalnya vitamin

B dan vitamin C, dan vitamin yang larut dalam lemak (fat soluble), yaitu vitamin A, D, E, dan K. masing- masing vitamin memiliki fungsi yang berbeda-beda dalam tubuh manusia. Peranannya dalam proses metabolisme sangat menentukan sehingga bila tubuh mengalami kekurangan vitamin akan menimbulkan gangguan fisiologis yang bila berlanjut akan mengakibatkan

gangguan

anatomis (Pudjiaji,

1993;Suhardjo, 2010). Mineral diperlukan terutama untuk membangun jaringan dan mengatur serta memelihara kerja organ- organ tubuh. Beberapa mineral yang diperlukan tubuh antara lain adalah kalsium, fosfor, magnesium, yodium, seng, selenium, dan besi. Mineral yang penting pada penderita dengan talasemia adalah besi. Semua sel mengandung besi, akan tetapi hemoglobin pada sel darah merah dan mioglobin dalam otot mempunyai konsentrasi yang tertinggi. Kekurangan zat besi dapat mengakibatkan anemia defisiensi besi. Sedangkan kelebihan zat besi akan berakibat hemosiderosis yang biasa terjadi pada penderita talasemia. Besarnya vitamin dan mineral yang dibutuhkan seseorang perhari telah tercantum dalam tabel angka kecukupan gizi 2004 (tabel 2.2) bagi orang indonesia (Pudjiaji, 1993; Barness, 2000; Suhardjo, 2010).

e) Perawatan kesehatan

f) Kepekaan terhadap penyakit Dengan memberikan imunisasi, maka diharapkan anak terhindar dari penyakit-penyakit yang sering menyebabkan cacat atau kematian. Disamping imunisasi, gizi juga f) Kepekaan terhadap penyakit Dengan memberikan imunisasi, maka diharapkan anak terhindar dari penyakit-penyakit yang sering menyebabkan cacat atau kematian. Disamping imunisasi, gizi juga

g) Penyakit kronis Anak yang menderita penyakit menahun akan terganggu tumbuh kembangnya dan pendidikannya, disamping itu anak juga mengalami stress yang berkepanjangan akibat dari penyakitnya.

h) Fungsi metabolisme

i) Hormon Hormon-hormon yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang antara lain adalah : growth hormone, hormone tiroid, hormone seks, hormone insulin, IGFs (Insulin-like growth factors ), dan hormone yang dihasilkan kelenjar adrenal.

2) Faktor fisik, antara lain: cuaca, musim, dan keadaan geografis suatu daerah, sanitasi, keadaan rumah, seperti struktur bangunan, ventilasi, cahaya, dan kepadatan hunian, dan radiasi.

3) Faktor psikososial, antara lain: stimulasi, motivasi belajar, ganjaran atau hukuman yang wajar, teman sebaya, stres, sekolah, cinta dan kasih sayang, dan kualitas interaksi anak- orang tua.

istiadat, antara lain: pekerjaan/pendapatan keluarga, pendidikan orang tua, jumlah saudara, jenis kelamin dalam keluarga, stabilitas rumah tangga, kepribadian ayah dan ibu, adat istiadat, agama, urbanisasi, dan kehidupan politik dalam masyarakat yang mempengaruhi prioritas kepentingan anak, anggaran, dan lain-lain (Soetjiningsih, 1995;Abdoerrachman, 2007).

Jadi faktor genetik menentukan potensi bawaan anak, namun faktor lingkungan menentukan tercapai tidaknya potensial tersebut (Soetjiningsih, 1995;Abdoerrachman, 2007).

Penilaian pertumbuhan perlu dilakukan untuk menentukan apakah tumbuh kembang seorang anak berjalan normal atau tidak, baik dilihat dari segi medis maupun statistik. Anak yang sehat akan menunjukkan pertumbuhan yang optimal apabila diberikan lingkungan bio-fisiko- psikososial yang adekuat. Untuk mengetahui pertumbuhan fisik anak sering digunakan ukuran-ukuran antropometrik yang dibedakan menjadi 2 kelompok yang meliputi: (a) Tergantung Umur (age dependence), yaitu:

Berat Badan (BB) terhadap Umur

Berat badan merupakan hasil peningkatan maupun penurunan semua jaringan yang ada dalam tubuh, antara lain tulang, otot, lemak, dan cairan tubuh. Berat badan dipakai sebagai indikator Berat badan merupakan hasil peningkatan maupun penurunan semua jaringan yang ada dalam tubuh, antara lain tulang, otot, lemak, dan cairan tubuh. Berat badan dipakai sebagai indikator

ii Tinggi Badan (TB) terhadap Umur Tinggi badan merupakan ukuran antropometrik kedua terpenting. Keuntungan pengukuran tinggi badan ini adalah obyektif dan dapat diulang, alat dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa, merupakan indikator yang baik untuk gangguan pertumbuhan fisik yang sudah lewat (stunting), sebagai perbandingan terhadap perubahan-perubahan relatif, seperti terhadap nilai berat badan dan lingkar lengan atas (Needlman, 2000; Soetjiningsih, 1995).

iii Lingkar Kepala (LK) menurut Umur

Lingkar kepala mencerminkan volume intrakranial. Dipakai untuk menaksir pertumbuhan otak. Manfaat pengukuran kepala terbatas pada 6 bulan pertama sampai umur 2 tahun karena terjadi pertumbuhan otak yang pesat (Needlman, 2000; Soetjiningsih, 1995).

iv Lingkar Lengan Atas (LLA) menurut Umur Lingkar lengan atas mencerminkan tumbuh kembang jaringan lemak dan otot yang tidak terpengaruh banyak oleh keadaan iv Lingkar Lengan Atas (LLA) menurut Umur Lingkar lengan atas mencerminkan tumbuh kembang jaringan lemak dan otot yang tidak terpengaruh banyak oleh keadaan

(b) Tidak tergantung umur i

Berat Badan (BB) terhadap tinggi Badan (TB)

ii Lingkar Lengan Atas (LLA) terhadap Tinggi Badan (TB)

iii Lain-lain: Lingkar Lengan Atas (LLA) dibandingkan dengan standar, lipatan kulit pada trisep, subskapular, abdominal dibandingkan dengan baku (Soetjiningsih, 1995). Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

nomor: 1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, menyebutkan bahwa penilaian terhadap status gizi anak mengacu pada Standar World Health Organisation (WHO 2005). Ukuran antropometri yang digunakan dalam penilaian status gizi tersebut adalah:

1) Berat Badan menurut Umur (BB/U) Berat badan adalah salah satu parameter antropometri yang sangat labil, sehingga indeks berat badan menurut umur digunakan untuk menggambarkan status gizi seseorang saat ini (Supariasa, 2002; Nurdin, 2011).

2) Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) atau Panjang Badan menurut Umur (PB/U)

Pertumbuhan tinggi badan, tidak seperti berat badan, relatif kurang Pertumbuhan tinggi badan, tidak seperti berat badan, relatif kurang

3) Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) atau Berat Badan menurut Panjang Badan (BB/PB)

Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini. Keuntungan memakai indeks berat badan menurut umur ini karena tidak memerlukan data umur dan dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal, atau kurus) (Supariasa, 2002; Nurdin, 2011).

4) Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) Pengukuran status gizi anak dapat juga dilakukan dengan indeks antropometri menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut umur. Rumus Indeks Massa Tubuh adalah sebagai berikut (Supariasa, 2002; Nurdin, 2011):

IMT = BB(kg) : TB 2 (m)

Tabel 1. Kategori dan Ambang Status Gizi dan Pertumbuhan Anak

Berdasarkan Indeks

Indeks

Kategori Status Gizi

Ambang Batas (Z-Score)

Berat Badan menurut Umur (BB/U)

Berat Badan Sangat Kurang

<-3 SD

Berat Badan Kurang

-3 SD sampai dengan <-2 SD

Berat Badan Normal

-2 SD sampai dengan 2 SD

Berat Badan Lebih

>2 SD

Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)

Sangat pendek

<-3 SD

Pendek

-3 SD sampai dengan <-2 SD

Normal

-2 SD sampai dengan 2 SD

Tinggi

>2 SD

Berat Badan menurut Panjang Badan (BB/PB) atau Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)

Sangat Kurus

<-3 SD

Kurus

-3 SD sampai dengan <-2 SD

Normal

-2 SD sampai dengan 2 SD

Gemuk

>2 SD

Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U)

Sangat Kurus

<-3 SD

Kurus

-3 SD sampai dengan <-2 SD

Normal

-2 SD sampai dengan 2 SD

Gemuk

>2 SD

Sumber: WHO, 2005

C. Pertumbuhan Anak Penderita Talasemia Secara umum semua penderita talasemia memiliki gejala yang mirip, tetapi beratnya bervariasi. Manifestasi klinis yang dialami penderita talasemia antara lain adalah tampak pucat, lemah, mudah terkena infeksi, sulit makan, dan pertumbuhan yang terhambat (Permono, 2005;Weatherall, 2003). Dalam penelitian yang dilakukan Wahidiyat (2003) juga disebutkan bahwa terdapat gangguan status gizi yang terjadi pada penderita talasemia. Dari penelitian tersebut didapatkan 13,2 % penderita talasemia tergolong dalam gizi buruk, 64,1 % gizi kurang, dan hanya 22,7 % yang tergolong dalam gizi baik. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan anak adalah asupan gizi. Pada penderita yang menderita talasemia, terjadi anemia kronis yang dapat menyebabkan nafsu makan menurun, sehingga asupan gizi juga berkurang, berakibat terjadinya gangguan pertumbuhan dan gangguan status gizi yang ditandai dengan menurunnya status antropometri penderita dibanding anak normal (Arijanty, 2005).

Menurut penelitian yang dilakukan Logolhetis (1972), komplikasi sistemik yang terjadi pada penderita talasemia seperti hepatomegali, hemosiderosis, dan deformitas tulang juga mempunyai pengaruh terhadap gangguan pertumbuhan terutama yang terjadi pada penderita talasemia anak. Komplikasi sistemik tersebut dipengaruhi oleh umur penderita, yang berpengaruh pada lama talasemia yang diderita. Semakin lama talasemia yang diderita maka kemungkinan untuk terjadi gangguan sistemik tersebut Menurut penelitian yang dilakukan Logolhetis (1972), komplikasi sistemik yang terjadi pada penderita talasemia seperti hepatomegali, hemosiderosis, dan deformitas tulang juga mempunyai pengaruh terhadap gangguan pertumbuhan terutama yang terjadi pada penderita talasemia anak. Komplikasi sistemik tersebut dipengaruhi oleh umur penderita, yang berpengaruh pada lama talasemia yang diderita. Semakin lama talasemia yang diderita maka kemungkinan untuk terjadi gangguan sistemik tersebut

4 tahun. Hasil tersebut juga didapatkan dari penelitian yang dilakukan Logolhetis (1972). Logolhetis juga menambahkan bahwa gangguan yang terjadi pada anak penderita talasemia meliputi tinggi dan berat badan, tapi tidak ditemukan pada pertumbuhan lingkar kepala.

B. Kerangka Pikiran

Keterangan:

: mempengaruhi secara tidak langsung

: subyek yang akan diteliti

Asupan gizi Kadar besi meningkat berkurang

Transfusi berulang

Kelainan sistemik (hepatomegali, hemosiderosis, dan deformitas

tulang)

Nafsu makan berkurang

Status antropometri

U mur

Talasemia

Anemia kronis

Variabel luar terkendali:

1. Umur

2. Jenis Kelamin

Variabel luar tak terkendali:

1. Faktor genetik

2. Asupan makanan

C. Hipotesis

Terdapat perbedaan status gizi anak penderita talasemia dengan status gizi anak non-talasemia.

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan studi observasional analitik dengan pendekatan cross sectional (potong lintang).

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNS/RSUD Dr. Moewardi Surakarta, SDN Kandang Sapi, dan TK Gaya Baru 3 Surakarta.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Anak penderita talasemia yang didapat dari penderita talasemia anak yang berobat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Moewardi Surakarta dengan kriteria sebagai berikut:

a. Kriteria Inklusi

1) Datang untuk mendapatkan pengobatan di Poliklinik Talasemia Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Moewardi dalam kurun waktu penelitian.

3) Berumur 0-9 tahun.

b. Kriteria Eksklusi

1) Terdiagnosis memiliki kelainan kongenital (diagnosis oleh dokter spesialis anak).

2) Menderita penyakit kronis lain saat penelitian dilakukan.

2. Anak non-talasemia yang didapat dari siswa TK Gaya Baru 3 Surakarta dan Siswa SDN Kandangsapi Surakarta dengan kriteria sebagai berikut:

a. Kriteria Inklusi

1) Mendapat izin dari guru/wali kelas untuk ikut serta dalam penelitian ini.

2) Dalam usia dan jenis kelamin yang sama dengan sampel penderita talasemia anak.

b. Kriteria Eksklusi

1) Menderita penyakit kronis pada saat penelitian dilakukan.

2) Terdiagnosis memiliki kelainan kongenital (diagnosis oleh dokter spesialis anak).

D. Teknik Sampling

Sampel anak penderita talasemia diambil dengan menggunakan teknik total sampling, yakni seluruh populasi yang ditemui saat penelitian dan memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi akan menjadi sampel penelitian.

dengan menggunakan purposive sampling sesuai dengan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.

E. Rancangan Penelitian

Populasi anak talasemia (N)

Sampel

Hitung Status gizi (Z-skor)

Uji Statistik

BB/U

TB/U IMT/U

Populasi anak non-talasemia (N)

Sampel

2. Variabel terikat : Status gizi, yang meliputi:

4) Berat Badan menurut Umur (BB/U).

5) Tinggi Badan atau Panjang Badan menurut Umur (TB/U atau PB/U).

6) Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U)

3. Variabel Luar :

a. Terkendali

: Umur, jenis kelamin.

b. Tak terkendali

: Faktor genetik, asupan makanan.

G. Definisi Operasional Variabel

1. Variabel bebas

a. Anak penderita talasemia adalah anak yang memiliki kelainan hemoglobin yang diturunkan secara autosomal resesif akibat terganggunya sintesis rantai globin dan menyebabkan anemia hemolitik yang kronis (Permono, 2005). Diagnosis talasemia dilakukan oleh dokter spesialis anak. Sampel yang dipakai dalam penelitian adalah pasien talasemia berusia 0-9 tahun.

b. Anak non-talasemia adalah anak yang tidak terdiagnosis menderita talasemia. Sampel yang dipakai dalam penelitian adalah anak yang memiliki usia dan jenis kelamin yang sama dengan sampel anak penderita talasemia.

pengukuran status antropometri. Antropometri adalah pengetahuan yang menyangkut pengukuran tubuh manusia khususnya dimensi tubuh. Ukuran antropometri yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Berat Badan menurut Umur (BB/U)

Indeks berat badan menurut umur digunakan untuk menggambarkan status gizi seseorang saat ini (Supariasa, 2002). Berat badan diukur secara langsung menggunakan timbangan dengan ketelitian 0,1 kg. Umur adalah waktu yang dihitung sejak kelahiran bayi atau anak sampai saat penelitian dilakukan. Umur dinyatakan dalam bulan (Departemen Kesehatan RI, 2007). Ambang batas hasil pengukuran disajikan dengan cara standar deviasi unit (SD) atau disebut juga Z- skor dan disesuaikan dengan standart baku WHO. Skala pengukuran

: Rasio

b. Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) atau Panjang Badan menurut

Umur (PB/U) Indeks ini menggambarkan status gizi masa lampau (supariasa, 2002). Pada bayi usia < 2 tahun dilakukan pengukuran panjang badan dengan menggunakan meteran dengan ketelitian 0,1 cm dalam posisi tidur. Sedangkan pada anak usia ≥ 2 tahun pengukuran dilakukan dalam posisi berdiri. Pengukuran dilakukan secara langsung dari ujung kepala sampai tumit menggunakan mikrotoise Umur (PB/U) Indeks ini menggambarkan status gizi masa lampau (supariasa, 2002). Pada bayi usia < 2 tahun dilakukan pengukuran panjang badan dengan menggunakan meteran dengan ketelitian 0,1 cm dalam posisi tidur. Sedangkan pada anak usia ≥ 2 tahun pengukuran dilakukan dalam posisi berdiri. Pengukuran dilakukan secara langsung dari ujung kepala sampai tumit menggunakan mikrotoise

: Rasio

c. Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U)

Merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini dan dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal, atau kurus) (Supariasa, 2002; Nurdin, 2011). (Nurdin, 2011;Supariasa, 2002). Ambang batas hasil pengukuran disajikan dengan cara Standar Deviasi unit (SD) atau disebut juga Z-skor dan disesuaikan dengan standar baku WHO. Skala pengukuran

: Rasio

Rumus perhitungan Z-Skor (Arisman, 2004) :

H. Instrumentasi Penelitian

Pengumpulan data dilakukan dengan:

1. Timbangan dengan ketelitian 0,1 kg.

2. Mikrotoise antropometri dengan ketelitian 0,1 cm.

3. Pita pengukur (meteran) yang tidak molor dengan ketelitian 0,1 cm.

Z-skor = Nilai Individu Subjek – Nilai Median Baku Rujukan

Nilai Simpang Baku Rujukan

Moewardi, TK Gaya Baru 3 Surakarta, dan SDN Kandangsapi Surakarta dan memilih sampel penderita talasemia, balita dan siswa yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebagai sampel.

2. Meminta izin dari orangtua/wali atau guru/wali kelas untuk ikut serta dalam penelitian ini (informed consent).

3. Pengambilan data dengan melakukan pengukuran Berat Badan (BB), Tinggi Badan atau Panjang Badan (TB/PB), dan umur.

4. Menghitung Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan atau Panjang Badan menurut Umur (TB/U atau PB/U), dan Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) dan dinyatakan dalam Z-skor.

5. Setelah diperoleh data, dilakukan analisis dengan analisis statistik uji t menggunakan Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17 for Windows.

J. Teknik dan Analisis Data

Untuk menguji perbedaan status gizi anak penderita talasemia dengan anak non-talasemia digunakan analisis statistik uji t diolah dengan Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17 for Windows untuk mengetahui perbedaan antara keduanya pada batas kemaknaan dengan taraf kepercayaan

95 % dan p < 0,05.

BAB IV HASIL PENELITIAN

Pengambilan sampel dilakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, SDN Kandang Sapi Surakarta, dan TK Gaya Baru 3 Surakarta dengan menggunakan data primer pada bulan Juni-Juli 2011. Selama kurun waktu tersebut didapatkan sampel yang representatif untuk penelitian ini. Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta didapatkan

23 anak yang menderita talasemia, kemudian dilakukan matching sampel non- talasemia sesuai jenis kelamin dan umur di SDN Kandang Sapi Surakarta dan TK Gaya Baru 3 Surakarta.

Tabel 2. Distribusi Jenis Kelamin Sampel Penderita Talasemia di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dan Sampel Non-Talasemia di SDN Kandang Sapi Surakarta dan TK Gaya Baru 3 Surakarta

Jenis Kelamin

Sampel Talasemia

Sampel Non-talasemia

Sumber : Data Primer, 2011