PERBANDINGAN KEJADIAN ANAK Down Syndrome DARI IBU USIA TUA DENGAN IBU USIA MUDA DI SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

DARI IBU USIA TUA DENGAN IBU USIA MUDA DI SURAKARTA SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran CHARINA SITUMORANG G.0007051 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Proposal Penelitian / Skripsi dengan judul: Perbandingan Kejadian Anak Down Syndrome dari Ibu Usia Tua dengan Ibu Usia Muda di Surakarta

Charina Situmorang, G0007051, Tahun 2010

Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Validasi Proposal Penelitian/Tim Ujian Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada Hari , Tanggal 2010

Pembimbing Utama

Abdurrahman Laqif, dr., Sp.OG(K)

NIP: 19680121 199903 1 004

Penguji Utama

Prof. Dr. J.B. Dalono, dr., Sp.OG(K)

NIP: 19410504 197004 1 001

Pembimbing Pendamping

Prof. Bhisma Murti, dr., MPH, M.Sc, Ph.D

NIP: 19551021 199412 1 001

Anggota Penguji

Slamet Riyadi, dr., M.Kes

NIP: 19600418 199203 1 001

Tim Skripsi

Annang Giri Moelyo, dr., Sp.A., M.Kes

NIP: 19730410 200501 1 001

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, November 2010

Charina Situmorang NIM. G0007051

Charina Situmorang, G0007051, 2010. Perbandingan Kejadian Anak Down Syndrome dari Ibu Usia Tua dengan Ibu Usia Muda di Surakarta, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Tujuan Penelitian: Studi mengenai keterkaitan usia ibu terhadap kejadian anak Down Syndrome memang sangat menarik. Data yang didapat memperlihatkan peningkatan kejadian Down Syndrome seiring dengan peningkatan usia ibu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan kejadian anak Down Syndrome dari ibu usia tua dengan ibu usia muda di Surakarta.

Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik, dengan pendekatan kasus kontrol. Pengambilan sampel dilakukan secara fixed- disease sampling . Penelitian ini menggunakan 60 sampel yang terdiri dari 20 sampel ibu dengan anak Down Syndrome sebagai kelompok kasus dan 40 sampel ibu dengan anak normal sebagai kelompok kontrol. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis regresi logistik ganda.

Hasil Penelitian: Rerata (mean) usia ibu yang melahirkan anak Down Syndrome lebih tinggi daripada yang melahirkan anak normal. Rerata usia ibu dengan anak Down Syndrome adalah 37.8 tahun, sedangkan ibu dengan anak normal adalah

28.6 tahun. Perbedaan rerata usia ibu kedua kelompok secara statistik signifikan (p<0.001). Ibu usia ≥35 tahun memiliki risiko untuk melahirkan anak dengan Down Syndrome sebelas kali lebih besar daripada usia <35 tahun, dan hubungan itu secara statistik signifikan (OR= 11.0; CI95% 3.1 hingga 38.7). Hasil ini telah memperhitungkan pengaruh faktor perancu tingkat pendidikan ibu, pendapatan keluarga, dan lingkungan.

Simpulan Penelitian: Kejadian anak Down Syndrome dari ibu usia tua ( ≥35 tahun) lebih banyak dibanding dengan ibu usia muda (<35 tahun).

Kata kunci: Down Syndrome; usia ibu

Charina Situmorang, G0007051, 2010. The comparison study of Down Syndrome number from old mothers and young mothers in Surakarta, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta.

Objectives: The study about relevance of maternal age and Down Syndrome occurence was very interesting. The data shows that the number of Down Syndrome increases along with the advancing of maternal age. The aim of this research is to know the comparison number of children with Down Syndrome from old mothers with young mothers in Surakarta.

Method: This research is an analytical observational study with case control approach. The samples were collected by fixed-disease sampling technique. This research used 60 samples which consists of 20 samples mothers of child with Down Syndrome as the case-grouped and 40 samples mothers of normal child as the control-grouped. The data was analyzed using regression binary logistic analysis.

Result: Mean score of maternal age at birth of Down Syndrome child is higher than at birth of normal child. Mean score of maternal age with Down Syndrome child is 37.8 years old, while for the mother of normal child is 28.6 years old. The difference of mean score in the two groups was statistically significant (p < 0.001). Mothers aged 35 and over have risk eleven times bigger than aged under

35 to deliver children with Down Syndrome, and this relevance is statisticaly significant (OR= 11.0; CI95% 3.1 to 38.7). This result has considered the ambigous effect of mother’s education level, family income, and environment.

Conclusion: The number of children with Down Syndrome from old mothers are greater than from young mothers.

Keywords: Down Syndrome; maternal age

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Perbandingan Kejadian Anak Down Syndrome dari Ibu Usia Tua dengan Ibu Usia Muda di Surakarta”.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas dukungan baik moril maupun materiil yang telah diberikan selama pelaksanaan dan penyusunan laporan penelitian ini kepada:

1. Prof. DR. AA Subijanto, dr., M.S, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah banyak membantu bagi kelancaran penyusunan skripsi ini.

3. Abdurrahman Laqif, dr., Sp.OG (K) selaku pembimbing utama yang telah berkenan meluangkan waktu untuk mengarahkan serta memberikan masukan kepada penulis.

4. Prof. Bhisma Murti, dr., MPH., M.Sc., Ph.D selaku pembimbing pendamping yang telah memberikan arahan, kritik dan saran demi sempurnanya penulisan skripsi ini.

5. Prof. Dr. J.B. Dalono, dr., Sp.OG (K) selaku penguji utama yang telah berkenan menguji dan memberikan masukan bagi penulis.

6. Slamet Riyadi, dr., M.Kes selaku anggota penguji yang telah berkenan menguji dan memberikan masukan bagi penulis.

7. Staf Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kandungan dan Kebidanan Fakultas Kedokteran UNS/RSUD. Dr. Moewardi Surakarta yang telah membantu penulis dalam memperlancar penyusunan skripsi.

8. Balai Kota Surakarta, DIKPORA Surakarta, SLB C Setya Darma Surakarta, SLB C-1 YSSD Surakarta, SLB C YPSLB Kerten Surakarta, SLB Negeri Surakarta, dan SLB C Karang Anyar. Terima kasih atas ijin dan semua bantuan yang telah diberikan.

9. Ayahanda Oloan Situmorang dan Ibunda Sri Setyaningsih yang senantiasa memberikan dukungan baik moril maupun materiil kepada penulis.

10. Teman-teman penulis yang telah memberi bantuan dalam penyusunan skripsi.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, oleh karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan dalam penyempurnaan skripsi ini di masa yang akan datang.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca serta menjadi sumbangan bagi ilmu kedokteran selanjutnya.

Surakarta, November 2010

Charina Situmorang

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN...............................................................

57

A. Simpulan ........................................................................................

57

B. Saran...............................................................................................

58

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................

59 LAMPIRAN

Tabel 1. Interpretasi Odds Ratio .................................................................

Tabel 2. Distribusi Sampel Kasus Berdasarkan Riwayat Usia Ibu Saat

Kehamilan dan Pendapatan Keluarga ..........................................

Tabel 3. Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pendidikan .....................

Tabel 4. Distribusi Sampel Berdasarkan Lingkungan .................................

Tabel 5. Hasil Uji t Test Beda Mean Usia Ibu antara Anak dengan

Down Syndrome dan Tanpa Down Syndrome ..............................

Tabel 6. Hasil Analisis Regresi Logistik Ganda tentang Perbandingan

Kejadian Anak Down Syndrome dari Ibu Usia Tua dengan Ibu Usia Muda dengan Mengontrol Variabel Perancu dan Tanpa Mengontrol Variabel Perancu. ...........................................

Gambar 1. Kariotipe Penderita Down Syndrome ......................................... 24 Gambar 2. Boxplot Rata-Rata Usia Ibu yang Melahirkan Anak Normal

dan Down Syndrome .................................................................

44

Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3

Lembar Penjelasan Lembar Persetujuan (Informed Consent) Kuesioner Penelitian

Lampiran 4 Data Primer Hasil Penelitian Lampiran 5 Penetapan Kriteria Lingkungan Kumuh Lampiran 6 Skema Proses Mitosis dan Meiosis Lampiran 7 Skema Proses Trisomi Lampiran 8 Translokasi Robertsonian Lampiran 9 Persentase Penduduk menurut Kelompok Umur, Daerah Tempat

Tinggal, dan Jenis Kelamin

Lampiran 10

Lampiran 11 Lampiran 12

Output SPSS untuk Uji t Tidak Berpasangan (Independent t-Test) dan Uji Homogenitas Varians (Levene’s Test) Output SPSS untuk Explore Usia Ibu Saat Mengandung Output SPSS untuk Analisis Bivariat antara Usia Ibu dengan Status Penyakit Anak Output SPSS untuk Analisis Bivariat antara Pendidikan Terakhir Ibu dengan Status Penyakit Anak Output SPSS untuk Analisis Bivariat antara Lingkungan Rumah dengan Status Penyakit Anak Output SPSS untuk Analisis Bivariat antara Pendapatan Keluarga

dengan Status Penyakit Anak

Lampiran 17 Lampiran 18

Lampiran 19 Lampiran 20 Lampiran 21

Output SPSS untuk Analisis Regresi Logistik (Crude Analysis)

Output SPSS untuk Explore dan Frequencies Karakteristik Variabel Penelitian Surat Ijin Penelitian Surat Keterangan Penelitian Surat Kelaikan Etik (Ethical Clearance)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Down Syndrome merupakan bentuk kelainan kongenital yang ditandai dengan berlebihnya jumlah kromosom nomor 21 yang seharusnya dua buah menjadi tiga buah sehingga jumlah seluruh kromosom mencapai 47 buah. Pada manusia normal jumlah kromosom sel mengandung 23 pasangan kromosom.

Down Syndrome pertama kali dideskripsikan dan dipublikasikan oleh John Langdon Down pada tahun 1866. Tetapi sebelumnya Esquirol pada tahun 1838 dan Seguin pada tahun 1846 telah melaporkan seorang anak yang mempunyai tanda-tanda mirip dengan Down Syndrome (Soetjiningsih, 1995).

Down Syndrome merupakan kelainan kromosom yang paling sering terjadi. Diperkirakan angka kejadiannya terakhir adalah 1,0-1,2 per 1000 kelahiran hidup (Soetjiningsih, 1995). Kothare et al. (2002) melaporkan angka kejadian Down Syndrome sekitar 1 dari 650-1000 kelahiran hidup. Kurang lebih 4.000 anak dilahirkan dengan Down Syndrome setiap tahunnya di Amerika, atau sekitar 1 dari 800-1000 kelahiran hidup (Idris, 2006; Nicolaidis, 1998). Sedangkan di Indonesia prevalensinya lebih dari 300 ribu jiwa. Meskipun orangtua dari segala usia mempunyai kemungkinan untuk mendapat anak yang menderita Down Syndrome, tetapi kemungkinannya lebih besar untuk ibu yang usianya di atas 35 tahun (Idris, 2006).

Syndrome ini memang sangat menarik. Data yang didapat memperlihatkan peningkatan kejadian Down Syndrome seiring dengan peningkatan usia ibu (Beiguelman, 1996; Kothare et al., 2002; Crane, 2006; Girirajan, 2009). Statistik menunjukkan bahwa di antara kaum wanita berusia 20 tahun, hanya

1 dari 2.300 kelahiran yang menderita cacat ini. Pada wanita berusia 30 hingga 34 tahun, rata-rata 1 dari 750, sedangkan pada wanita berusia 39 tahun, angka statistik naik secara drastis sampai 1 dari 280 kelahiran. Pada wanita berusia 40 sampai 44, kembali angka statistik naik hingga 1 dari 13 kelahiran. Akhirnya pada wanita berusia lebih dari 45 tahun, 1 dari 65 kelahiran akan menderita cacat ini (Lidyana, 2004). Walaupun belum diketahui secara pasti pengaruh usia ibu terhadap kejadian Down Syndrome, namun non-disjunction yang terjadi pada oosit ibu yang tua banyak dilaporkan (Kothare et al., 2002; Coad dan Melvyn, 2007; Girirajan, 2009).

Menurut penelusuran pustaka yang dilakukan penulis, setidaknya pada tahun 2010 di Surakarta belum pernah dilakukan penelitian mengenai keterkaitan usia ibu terhadap kejadian anak Down Syndrome. Berdasarkan uraian tersebut, penulis ingin membuktikan keterkaitan usia ibu dengan kejadian anak Down Syndrome dengan membandingkan kejadian anak Down Syndrome dari ibu usia tua dengan ibu usia muda di Surakarta.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Apakah ada perbandingan kejadian anak Down Syndrome dari ibu usia tua dengan ibu usia muda di Surakarta?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum Untuk membuktikan adanya hubungan antara usia ibu dengan kejadian anak Down Syndrome.

2. Tujuan Khusus Untuk mengetahui perbandingan kejadian anak Down Syndrome dari ibu usia tua dengan ibu usia muda di Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan masukan data bagi peneliti lain dalam bidang kedokteran khususnya bagian Obstetri dan Ginekologi.

b. Untuk membuktikan adanya faktor risiko usia ibu terhadap kejadian anak Down Syndrome melalui pendekatan dalam populasi di Surakarta.

2. Manfaat Aplikatif

a. Memberi informasi dan wawasan kepada wanita untuk menghindari kemungkinan hamil pada usia yang berisiko melahirkan anak Down a. Memberi informasi dan wawasan kepada wanita untuk menghindari kemungkinan hamil pada usia yang berisiko melahirkan anak Down

b. Memberi informasi tambahan kepada masyarakat terutama wanita yang hamil pada usia berisiko tentang pentingnya pemeriksaan antenatal sebagai diagnosis pranatal.

c. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi tahap penelitian lebih lanjut untuk melihat pengaruh usia ibu terhadap kejadian anak Down Syndrome secara sitogenetik.

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Genetika Reproduksi

a. Kromosom Kromosom manusia merupakan struktur kompleks yang terdiri atas asam deoksiribonukleat (DNA), asam ribonukleat (RNA), dan protein. Setiap heliks tunggal dari DNA terikat dengan telomer pada masing-masing ujungnya, dan memiliki sentromer di suatu tempat di sepanjang kromosom. Telomer melindungi ujung kromosom selama replikasi DNA. Pemendekan telomer berhubungan dengan penuaan. Sentromer merupakan tempat di mana gelendong mitosis akan melekat dan penting untuk segregasi kromosom yang sesuai selama pembelahan sel. Sentromer membagi kromosom menjadi dua lengan, disebut lengan p (petit) untuk lengan yang pendek dan q untuk lengan yang panjang (Suryo, 2003; Heffner; 2008a).

Panjang kromosom ditambah dengan posisi sentromernya digunakan untuk mengidentifikasi kromosom suatu individu dalam 22 autosom dan satu pasang kromosom seks. Kromosom diberi nomor dalam urutan menurun sesuai ukuran; 1 merupakan yang terbesar. Terdapat pengecualian terhadap peraturan ini adalah kromosom 21 dan

22: kromosom 22 lebih besar dari kromosom 21. Hal ini disebabkan oleh 22: kromosom 22 lebih besar dari kromosom 21. Hal ini disebabkan oleh

Kariotipe merupakan gambaran kromosom yang tersusun dari 1 sampai 22 ditambah dengan kromosom seks, dengan setiap kromosom disesuaikan sehingga lengan p berada di atas. Wanita memiliki kariotipe 46XX dan pria kariotipe 46XY (Heffner, 2008a; Suryo. 2003).

b. Mitosis dan meiosis Mitosis dan meiosis merupakan dua tipe pembelahan sel yang berbeda, dengan beberapa ciri sama (skema lihat lampiran). Yang pertama adalah perlunya duplikasi seluruh isi kromosom sel sebelum pembelahan. Keduanya juga menggunakan mesin sel dari sel induk untuk membuat DNA, RNA, dan protein-protein baru yang akan terlibat dalam pembelahan sel. Yang terakhir, kedua proses ini bergantung pada penggunaan gelendong mitosis untuk memisahkan kromosom menjadi dua kutub sel yang nantinya akan menjadi turunan dari sel tersebut (Heffner, 2008a; Sadler, 2000; Suryo, 2003).

Selama interfase yang terjadi sebelum pembelahan sel, DNA pada setiap kromosom diduplikasi menjadi 4n sehingga setiap kromosom mengandung dua kromatid identik yang bergabung pada sentromer.

Pada mitosis, pertama-tama kromosom memendek dan menebal, kemudian nukleolus dan membran nukleus memisahkan diri (profase). Selama metafase, gelendong-gelendong mitosis terbentuk di antara dua

pada setiap kromosom membelah dan satu kromatid dari setiap kromosom berpindah ke ujung kutub gelendong mitosis (anafase). Akhirnya, pada tahap telofase, nukleolus dan membran nukleus yang baru terbentuk, sel induk membelah menjadi dua sel anak, dan gelendong mitosis saling terpisah. Dua sel yang identik secara genetik kini menggantikan sel induk. Mitosis diperkirakan merupakan bentuk reproduksi nonseksual atau vegetatif (Heffner, 2008a; Sadler, 2000; Suryo, 2003).

Meiosis meliputi dua pembelahan sel yang berurutan, yang kembali dimulai dengan DNA 4n yang diproduksi pada tahap interfase. Pada tahap profase dari pembelahan yang pertama (profase I), terjadi beberapa peristiwa yang spesifik dan dapat dikenali. Pada tahap leptoten, kromosom menjadi hampir tidak terlihat di sepanjang struktur ini. Pasangan kromosom homolog kemudian terletak berdampingan di sepanjang kromosom, membentuk tetrad (tahap zigoten). Kromosom kemudian menebal dan memendek, seperti yang terjadi pada profase mitosis (tahap pakiten); akan tetapi, pasangan yang terbentuk pada tahap zigoten memungkinkan terjadinya sinapsis, pindah silang, dan pertukaran kromatid. Pada tahap diploten/diakinesis, kromosom semakin memendek (Coad dan Melvyn, 2007).

Adanya pasangan kromosom homolog menunjukkan bukti adanya penyilangan dan pertukaran kromatid, yang menggambarkan ciri kiasma Adanya pasangan kromosom homolog menunjukkan bukti adanya penyilangan dan pertukaran kromatid, yang menggambarkan ciri kiasma

I dari meiosis, membran nukleus terpisah dan pasangan kromosom homolog yang bergabung berbaris ekuator pada aparatus gelendong. Satu dari setiap pasang kromosom homolog kemudian bergerak ke ujung sel masing-masing di sepanjang gelendong (anafase I).

Membran nukleus dapat menghasilkan dua sel anak haploid dengan 23 kromosom 2n pada telofase I. Pada pembelahan meiosis yang kedua, sel-sel haploid ini membelah seperti pada mitosis. Pembelahan kedua ini menghasilkan empat sel haploid yang masing-masing mengandung 23 kromosom 1n. Tidak seperti sel-sel yang diproduksi pada mitosis, sel-sel germinal anak ini secara genetik unik dan berbeda dari sel-sel induk karena adanya pertukaran genetik pada tahap diploten. Sel germinal haploid akan terlibat dalam reproduksi seksual di mana sel sperma dan oosit bersatu membentuk zigot diploid baru (Heffner, 2008a; Sadler, 2000; Suryo, 2003).

c. Nondisjungsi Keadaan ini merupakan kegagalan pasangan kromosom untuk memisahkan diri selama meiosis, baik pada meiosis 1 maupun 2, juga bisa terjadi pada fase mitosis (post zygotic non-disjunction) (Heffner, 2008a). Aneuploidi sebagian besar disebabkan oleh nondisjungsi kromosom bivalen pada pembelahan meiosis pertama dan berkaitan dengan keguguran atau retardasi mental apabila janinnya bertahan hidup.

tinggi dalam produk pembuahannya. Hal ini menghasilkan zigot dan mudigah yang jumlah kromosomnya abnormal, misalnya Down Syndrome dengan 47 kromosom (Coad dan Melvyn, 2007).

Down Syndrome adalah salah satu contoh komplemen kromosom yang masih memungkinkan janin bertahan hidup; contoh lain juga sama seringnya, tetapi mungkin menyebabkan kegagalan implantasi atau kegagalan perkembangan in utero (Coad dan Melvyn, 2007). Monosomi

X atau sindrom Turner, embrio monosomi biasanya akan mengalami keguguran. Sebagian besar janin trisomi juga akan mengalami keguguran; hanya 3 (trisomi 13, 18 dan 21) yang dilaporkan lahir hidup (Heffner, 2008a).

Nondisjungsi pada fase mitosis, tergantung atas fasenya yaitu pada sel pertama zigot atau setelah terjadi mitosis zigot maka jenis kelainan kromosom bisa mosaik sel dengan kromosom trisomi dan monosomi bila terjadi pada sel pertama, atau mosaik sel dengan kromosom normal (diploid) (Heffner, 2008a; Sadler, 2000; Suryo, 2003).

2. Fertilisasi dan Terjadinya Kehamilan

Menurut Federasi Obstetri Ginekologi Internasional, kehamilan didefinisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan dari spermatoza dan ovum dan dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi (Adriaansz, 2008). Untuk

(fertilisasi), dan nidasi hasil konsepsi (Rachimhadhi, 2008).

a. Sel Telur Pertumbuhan embrional oogonium yang kelak menjadi ovum terjadi di genital ridge. Menurut usia wanita, jumlah oogonium adalah (Mochtar, 1998) : Bayi baru lahir : 750.000 Usia 6-15 tahun : 439.000 Usia 16-25 tahun : 159.000 Usia 26-35 tahun : 59.000 Usia 35-45 tahun : 34.000 Masa menopause : semua hilang

Urutan pertumbuhan ovum (oogenesis) : (1) oogonia, (2) oosit pertama (primary oocytes), (3) primary ovarian follicle, (4) liquor foliculi , (5) pematangan pertama ovum, (6) pematangan kedua ovum pada waktu sperma membuahi ovum (Mochtar, 1998).

Oosit primer, yang diploid, memulai meiosis selama janin, tetapi kemudian terhenti setelah beberapa pembelahan meiosis pertama. Hal ini terjadi pada stadium pembelahan meiosis pertama yang disebut “stadium diploten” profase 1. Selama stadium ini terjadi pertukaran bahan inti sel antara kromosom di dalam germinal vessels di nukleus. Hal ini dicapai dengan terbentuknya daerah fusi (disebut kiasmata) Oosit primer, yang diploid, memulai meiosis selama janin, tetapi kemudian terhenti setelah beberapa pembelahan meiosis pertama. Hal ini terjadi pada stadium pembelahan meiosis pertama yang disebut “stadium diploten” profase 1. Selama stadium ini terjadi pertukaran bahan inti sel antara kromosom di dalam germinal vessels di nukleus. Hal ini dicapai dengan terbentuknya daerah fusi (disebut kiasmata)

Materi genetik yang diduplikasi dalam oosit terdapat dalam bentuk berpasangan dengan kromosom homolognya selama 10-50 tahun sebelum sel tersebut dipanggil untuk pembelahan. Semakin lama oosit mengalami imobilisasi pada profase I, semakin besar kegagalan pemisahan kromosom homolog. Karena alasan ini, sel telur lebih mudah mengalami kelainan kromosom dibandingkan sperma (Suryo, 2003; Coad dan Melvyn, 2007; Heffner, 2008a; Girirajan, 2009).

Kelainan genetika sering muncul sebagai bahan genetika tambahan yang dimasukkan ke dalam genom. Apabila terjadi insersi kromosom tambahan, keadaan yang terjadi disebut trisomi (Coad dan Melvyn, 2007).

Siklus meiosis dimulai kembali saat terjadi ovulasi setelah pubertas sebagai respon terhadap FSH dan LH serta sekresi dari sel granulosa (Coad dan Melvyn, 2007). Sel telur tertahan pada metafase pembelahan meiosis kedua, kemudian akan dilanjutkan hingga selesai setelah fertilisasi (Girirajan, 2009).

Sel telur dikelilingi oleh lingkaran proteinaseosa yang disebut zona pelusida (Guyton, 1997). Sel granulosa yang menempel pada permukaan zona pelusida dan dikeluarkan bersama sel telur dari ovarium tetap menempel sebagai kumulus. Sperma yang akhirnya membuahi sel telur terlebih dahulu harus melewati lapisan-lapisan di Sel telur dikelilingi oleh lingkaran proteinaseosa yang disebut zona pelusida (Guyton, 1997). Sel granulosa yang menempel pada permukaan zona pelusida dan dikeluarkan bersama sel telur dari ovarium tetap menempel sebagai kumulus. Sperma yang akhirnya membuahi sel telur terlebih dahulu harus melewati lapisan-lapisan di

b. Sperma Saat koitus, jutaan sperma terdeposit pada vagina bagian atas. Sebagian besar tidak pernah sampai pada tempat fertilisasi. Hanya sebagian kecil sperma yang masuk ke dalam serviks yang akan ditemukan dalam hitungan menit setelah koitus. Di sini sperma dapat bertahan di dalam kriptus epitel selama beberapa jam. Sperma tidak dapat melewati serviks menuju rongga uterus bila mukosa serviks tidak dalam keadaan siap. Keadaan ini didapatkan pada pertengahan siklus ketika kadar estrogen tinggi dan kadar progesteron rendah. Estrogen melunakkan stroma serviks dan membuat sekret serviks menjadi tipis dan encer. Progesteron menimbulkan efek sebaliknya, yaitu suatu keadaan yang tidak cocok untuk spermatozoa (Sadler, 2000; Heffner, 2008b; Rachimhadhi, 2008).

Pada kondisi yang paling baik, sperma membutuhkan 2-7 jam untuk bergerak melewati uterus menuju tempat fertilisasi di dalam saluran telur. Transpor sperma ini disebabkan oleh adanya dorongan dari sperma itu sendiri, dibantu oleh cambukan silia pada sel yang melapisi dinding uterus. Biasanya hanya beberapa ratus sperma yang mencapai saluran telur, di mana sperma akan tetap hidup sampai terjadi ovulasi. Setelah ovulasi, spermatozoa akan mengalami reaktivasi dan Pada kondisi yang paling baik, sperma membutuhkan 2-7 jam untuk bergerak melewati uterus menuju tempat fertilisasi di dalam saluran telur. Transpor sperma ini disebabkan oleh adanya dorongan dari sperma itu sendiri, dibantu oleh cambukan silia pada sel yang melapisi dinding uterus. Biasanya hanya beberapa ratus sperma yang mencapai saluran telur, di mana sperma akan tetap hidup sampai terjadi ovulasi. Setelah ovulasi, spermatozoa akan mengalami reaktivasi dan

c. Fertilisasi Fertilisasi (pembuahan) adalah penyatuan ovum (oosit sekunder) dan spermatozoa yang biasanya berlangsung di ampula tuba. Fertilisasi meliputi penetrasi spermatozoa ke dalam ovum, fusi spermatozoa dan ovum, diakhiri dengan fusi materi genetik. Hanya satu spermatozoa yang telah mengalami proses kapasitasi mampu melakukan penetrasi membran sel ovum (Rachimhadhi, 2008).

Untuk mencapai ovum, spermatozoa harus melewati korona radiata (lapisan sel diluar ovum) dan zona pelusida (suatu bentuk glikoprotein ekstraseluler), yaitu dua lapisan yang menutupi dan mencegah ovum mengalami fertilisasi lebih dari satu spermatozoa (Rachimhadhi, 2008). Penetrasi zona pelusida memungkinkan terjadinya kontak antara spermatozoa dan membran oosit. Membran sel germinal segera berfusi dan sel sperma berhenti bergerak. Inti sel sperma kemudian memasuki sitoplasma sel telur (Heffner, 2008b).

Setelah masuk ke dalam sel telur, sitoplasma sperma bercampur dengan sitoplasma sel telur dan membran inti (nukleus) sperma pecah. Membran yang baru terbentuk di sekeliling kromatin sperma membentuk pronukleus pria. Membran inti oosit yang baru juga terbentuk di sekeliling pronukleus wanita. Kedua pronukleus dekat Setelah masuk ke dalam sel telur, sitoplasma sperma bercampur dengan sitoplasma sel telur dan membran inti (nukleus) sperma pecah. Membran yang baru terbentuk di sekeliling kromatin sperma membentuk pronukleus pria. Membran inti oosit yang baru juga terbentuk di sekeliling pronukleus wanita. Kedua pronukleus dekat

Pada manusia terdapat 46 kromosom, ialah 44 kromosom autosom dan 2 kromosom kelamin; pada seorang laki-laki satu X dan satu Y. Sesudah pembelahan kematangan, maka ovum matang mempunyai 22 kromosom autosom serta 1 kromosom X, dan suatu spermatozoa mempunyai 22 kromosom autosom serta 1 kromosom Y. Zigot sebagai hasil pembuahan yang memiliki 44 kromosom autosom serta 2 kromosom X akan tumbuh sebagai janin perempuan, sedang yang 44 kromosom autosom serta 1 kromosom X dan 1 kromosom Y akan tumbuh sebagai janin laki-laki (Suryo, 2003; Heffner, 2008b).

d. Pembentukan Kehamilan Setelah terjadi fertilisasi, kehamilan yang berhasil harus berimplantasi di dalam dinding uterus dan memberikan informasi kepada ibu terhadap terjadinya berbagai adaptasi akibat kehamilan (Heffner, 2008b).

Zigot yang terbentuk sebagai hasil dari fertilisasi selanjutnya mengalami pembelahan. Kadangkala, nondisjungsi kromosom 21 terjadi pada mitosis (nondisjunction mitosis) pada sel embrio/zigot tersebut selama berlangsungnya pembelahan-pembelahan sel permulaan. Pada kasus-kasus semacam itu terjadilah mosaikisme, yang ditandai dengan beberapa sel mempunyai jumlah kromosom abnormal Zigot yang terbentuk sebagai hasil dari fertilisasi selanjutnya mengalami pembelahan. Kadangkala, nondisjungsi kromosom 21 terjadi pada mitosis (nondisjunction mitosis) pada sel embrio/zigot tersebut selama berlangsungnya pembelahan-pembelahan sel permulaan. Pada kasus-kasus semacam itu terjadilah mosaikisme, yang ditandai dengan beberapa sel mempunyai jumlah kromosom abnormal

Zigot yang sedang membelah mengapung di dalam saluran telur sekitar 1 minggu, berkembang dari tahap 16 sel melalui tahap morula yang padat menjadi tahap blastokista yang memiliki 32-64 sel. Tahap yang terakhir ini memerlukan pembentukan rongga blastokista yang berisi cairan. Pada tahap blastokista inilah hasil konsepsi akan masuk ke dalam uterus (Heffner, 2008b; Rachimhadhi, 2008).

Setelah 2 hari di dalam uterus, blastokista akan melepas dari zona pelusida, dan berdiferensiasi menjadi sel trofoblas. Blastokista menempel dan menginvasi dinding uterus. Endometrium mengalami perubahan biokimia dan morfologis yang hebat yang disebut desidualisasi, suatu proses yang dimulai saat terjadinya penempelan dan menyebar dalam bentuk gelombang konsentris dari tempat implantasi (Sadler, 2000; Heffner, 2008b).

Implantasi terjadi sekitar 7-10 hari setelah ovulasi. Jika hasil konsepsi terus bertahan hidup lebih dari 14 hari setelah ovulasi, korpus luteum ovarium akan terus mensekresi progesteron (Sadler, 2000; Rachimhadhi, 2008).

Bila dihitung dari saat fertilisasi hingga lahirnya bayi, kehamilan normal akan berlangsung dalam waktu 40 minggu atau 10 bulan lunar atau 9 bulan menurut kalender internasional. Kehamilan terbagi dalam Bila dihitung dari saat fertilisasi hingga lahirnya bayi, kehamilan normal akan berlangsung dalam waktu 40 minggu atau 10 bulan lunar atau 9 bulan menurut kalender internasional. Kehamilan terbagi dalam

3. Down Syndrome

a. Definisi Dari sudut genetik disebut Mongolis-G trisomi-trisomi 21 dengan jumlah kromosom 47 (Mochtar, 1998). Anak dengan Down Syndrome adalah individu yang dapat dikenali fenotipnya dan mempunyai kecerdasan yang terbatas, yang terjadi akibat adanya jumlah kromosom 21 yang berlebih (Soetjiningsih, 1995).

b. Insidensi Sindrom ini ditemukan di seluruh dunia di antara semua suku bangsa (Sutejo, 1981). Diperkirakan angka kejadiannya terakhir adalah 1,0-1,2 per 1000 kelahiran hidup (Soetjiningsih, 1995). Kothare et al. (2002) melaporkan angka kejadian Down Syndrome sekitar 1 dari 650-1000 kelahiran hidup. Ditemukan sebanyak 10% di antara penderita-penderita retardasi mental (Sutejo, 1981).

Kurang lebih 4.000 anak dilahirkan dengan Down Syndrome setiap tahunnya di Amerika, atau sekitar 1 dari 800-1000 kelahiran hidup (Idris, 2006; Nicolaidis, 1998). Sedangkan di Indonesia prevalensinya lebih dari 300 ribu jiwa. Meskipun orangtua dari segala

Down Syndrome, tetapi kemungkinannya lebih besar untuk ibu yang usianya di atas 35 tahun (Idris, 2006; Sutejo, 1981; Mochtar, 1998).

c. Etiologi Down Syndrome disebabkan karena adanya kelebihan jumlah kromosom 21 akibat nondisjungsi, translokasi dan mosaik. Faktor- faktor yang memegang peranan dalam terjadinya kelainan kromosom tersebut, antaralain :

1) Genetik Diperkirakan terdapat faktor predisposisi genetik terhadap non- disjunction . Bukti yang mendukung teori ini adalah berdasarkan atas hasil penelitian epidemiologi yang menyatakan adanya peningkatan risiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan Down Syndrome (Soetjiningsih, 1995).

2) Radiasi Radiasi dikatakan merupakan salah satu penyebab terjadinya non- disjunctional pada Down Syndrome ini. Uchida 1981 menyatakan bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan Down Syndrome , pernah mengalami radiasi di daerah perut sebelum terjadinya konsepsi. Sedangkan peneliti lain tidak mendapatkan adanya hubungan antara radiasi dengan penyimpangan kromosom (Soetjiningsih, 1995).

Infeksi juga dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya Down Syndrome . Sampai saat ini belum ada peneliti yang mampu memastikan bahwa virus dapat mengakibatkan terjadinya non- disjunction (Soetjiningsih, 1995).

4) Autoimun Faktor lain yang juga diperkirakan sebagai etiologi Down Syndrome adalah autoimun. Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan dengan tiroid. Penelitian Fialkow 1966 secara konsisten mendapatkan adanya perbedaan autoantibodi tiroid pada ibu yang melahirkan anak dengan Down Syndrome dengan ibu kontrol yang usianya sama (Soetjiningsih, 1995).

5) Usia ibu Apabila usia ibu diatas 35 tahun, risiko terjadinya kelainan jumlah kromosom akibat nondisjungsi fase miosis tinggi. Beberapa studi telah menjelaskan pengaruh usia ibu terhadap kejadian Down Syndrome . Girirajan (2009) menyatakan peningkatan biological ageing pada ovarium merupakan faktor utama terjadinya kondisi aneuploidi pada wanita. Hal ini mendasari berbagai perubahan yang terjadi pada ibu usia tua, termasuk perubahan hormonal yang dapat menyebabkan nondisjungsi pada kromosom (Soetjiningsih, 1995; Sutejo, 1981).

6) Usia ayah 6) Usia ayah

7) Pemaparan Fluor Kasus Down Syndrome terdapat pula di antara bayi yang dilahirkan ibu-ibu yang meminum air dengan kadar Fluor tinggi. Dilaporkan bahwa kasus Down Syndrome di antara ibu-ibu yang air minumnya mengandung Fluor sebanyak 0,0-0,1 ppm didapat sebanyak 23,6 per 100.000 orang sedangkan mereka yang air

minumnya mengandung Fluor sebanyak 1,0-2,6 ppm menunjukkan kasus Down Syndrome sebanyak 71,6 per 100.000 orang. Selain itu, penelitian di antara penderita Down Syndrome didapat banyak kasus keracunan Fluor (fluorosis gigi), dan relatif terhadap populasi normal, insidens caries dentis di antara mereka sangat rendah (Slamet, 1996).

8) Pengaruh eksternal lain yang dapat mengganggu meiosis, misalnya penyalahgunaan alkohol, kemoterapi, dan merokok (Coad dan Melvyn, 2007).

Diagnosa klinis Down Syndrome dapat ditegakkan dengan melihat penampilan anak tersebut. Tanda-tanda fisik : tubuh pendek, lengan atau kaki kadang-kadang bengkok, kepala lebar, wajah membulat, lipatan kelopak mata ke atas dan ke luar, lipatan kulit di atas canthus medius, jarak lebar antara kedua mata, iris mata kadang-kadang berbintik yang disebut bintik-bintik “Brushfield”, lingkar kepala kecil, puncak kepala datar, lidah menjulur dan berfisura, ujung lidah besar, hidung lebar dan datar, kedua lubang hidung terpisah lebar, kulit kering, hipotoni otot, tangan dan kaki kelihatan lebar dan tumpul, telapak tangan memiliki garis tangan yang khas abnormal yaitu hanya mempunyai sebuah garis mendatar saja, kelingking kecil dan melengkung ke dalam (Mochtar, 1998; Soetjiningsih, 1995; Speirs, 1992; Suryo, 2003).

Mata, hidung, dan mulut biasanya tampak kotor serta gigi rusak. Hal ini disebabkan karena anak Down Syndrome tidak sadar untuk menjaga kebersihan dirinya sendiri. IQ rendah yaitu antara 25-75, kebanyakan kurang dari 40. Biasanya mempunyai kelainan pada jantung dan tidak resisten terhadap penyakit (Suryo, 2003).

e. Diagnosis Diagnosis dari Down Syndrome berdasarkan atas adanya gejala- gejala klinis yang khas, serta ditunjang oleh pemeriksaan kromosom. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan radiologi pada kasus yang tidak e. Diagnosis Diagnosis dari Down Syndrome berdasarkan atas adanya gejala- gejala klinis yang khas, serta ditunjang oleh pemeriksaan kromosom. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan radiologi pada kasus yang tidak

Pemeriksaan kariotiping pada semua penderita Down Syndrome adalah untuk mencari adanya translokasi kromosom. Kalau ada, maka kedua ayah-ibunya harus diperiksa. Kalau dari salah satu ayah/ibunya karier, maka keluarga lainnya juga perlu diperiksa, hal ini sangat berguna untuk pencegahan. Kemungkinan terulangnya kejadian Down Syndrome yang disebabkan translokasi kromosom adalah 5-15%, sedangkan kalau trisomi hanya 1% (Soetjiningsih, 1995).

Diagnosis antenatal dengan pemeriksaan cairan amnion atau vili korionik (Ucar et al., 2005), dapat dilakukan secepatnya pada kehamilan 3 bulan. Pada pemeriksaan cairan amnion didapatkan kadar fetoprotein alfa rendah. Diperkirakan hal ini mungkin disebabkan oleh menetapnya coelom ekstraembrionik atau berkaitan dengan kadar reseptor interferon (Coad dan Melvyn, 2007).

Pemeriksaan plasenta berupa pengukuran estriol adalah bagian dari uji Bart (tripel) untuk Down Syndrome. Kadar estron dan estriol meningkat sekitar 100 kali dan kadar estradiol sekitar 1000 kali selama kehamilan (Coad dan Melvyn, 2007).

Dengan kultur jaringan dan kariotiping 99% Down Syndrome dapat didiagnosis antenatal. Diagnosis antenatal perlu pada ibu hamil yang Dengan kultur jaringan dan kariotiping 99% Down Syndrome dapat didiagnosis antenatal. Diagnosis antenatal perlu pada ibu hamil yang

Pemeriksaan Down Syndrome secara klinis pada bayi seringkali meragukan, maka pemeriksaan dermatoglifik (sidik jari, telapak tangan dan kaki) pada Down Syndrome menunjukkan adanya gambaran yang khas. Dermatoglifik ini merupakan cara yang sederhana, mudah dan cepat, serta mempunyai ketepatan yang cukup tinggi dalam mendiagnosis Down Syndrome (Soetjiningsih, 1995).

f. Sitologi

Gambar 1. Kariotipe Penderita Down Syndrome (sumber: Department of Health and Senior Services, 2010) Gambar 1. Kariotipe Penderita Down Syndrome (sumber: Department of Health and Senior Services, 2010)

1) Trisomi 21 Trisomi 21 (nondisjunction) disebabkan oleh adanya kesalahan dalam proses pembelahan sel yang mengakibatkan bayi mempunyai 3 kromosom nomor 21 (gambar lihat lampiran). Sebelum atau pada saat pembuahan, sepasang kromosom 21 yang terdapat di sel telur atau sel sperma gagal membelah dengan normal. Kromosom tambahan ini direplikasi di setiap sel dalam tubuh. Sebanyak 95% dari penderita Down Syndrome mempunyai pola ini (Hall, 2000; Sadler, 2000; Suryo, 2003; Idris, 2006; Setianingsih, 2008).

2) Translokasi Pada Down Syndrome translokasi juga didapati 3 buah kromosom nomor 21. Namun, satu dari kromosom 21 tersebut menempel atau tertranslokasi pada kromosom lainnya, biasanya pada kromosom nomor 13, nomor 14, atau nomor 15 (Faradz, 2004) (gambar lihat lampiran). Tiga sampai 4 persen dari anak-anak penderita Down Syndrome memiliki 46, bukan 47 kromosom, disebabkan oleh translokasi Robertsonian (Coad dan Melvyn, 2007) (gambar lihat lampiran).

Sekitar satu pertiga sampai separuh dari translokasi diwariskan dari salah satu orang tua. Ketika hal itu terjadi, orang tua pembawa Sekitar satu pertiga sampai separuh dari translokasi diwariskan dari salah satu orang tua. Ketika hal itu terjadi, orang tua pembawa

3) Mosaik Mosaik, digunakan untuk melukiskan adanya lebih dari satu tipe sel pada seseorang, biasanya dalam bentuk persentase, contoh: ketika seorang bayi terlahir dengan Down Syndrome, dokter akan mengambil sampel darah untuk memeriksa kromosomnya. Biasanya,

20 jenis sel yang berbeda akan dianalisis. Bila 5 sel metafase dari 20 sel metafase adalah normal (46 kromosom), sedangkan 15 sel metafase lainnya mempunyai kromosom nomor 21 tambahan (47 kromosom), bayi tersebut akan disebut sebagai penderita Down Syndrome mosaik. Oleh karena persentase sel-sel yang memiliki kromosom tambahan adalah 15 dari 20, tingkat mosaik dari bayi tersebut adalah 75%. Persentase ini dapat berbeda-beda di bagian tubuh yang satu dengan yang lain.

Persentase sel yang mengalami trisomi pada otot dapat berbeda-beda di bagian tubuh yang satu dengan yang lain. Persentase sel yang mengalami trisomi pada otot dapat berbeda dengan persentase

kulit. Secara klinis, bayi yang dilahirkan dengan Down Syndrome mosaik dapat memiliki ciri-ciri dan masalah kesehatan yang sama dengan bayi lainnya yang dilahirkan dengan trisomi 21 atau Down Syndrome translokasi. Adanya sel-sel yang mempunyai jumlah kromosom yang normal (46) menghasilkan penampakan yang tidak begitu parah, atau lebih sedikit munculnya ciri-ciri dari Down Syndrome yang diderita seseorang, bagian yang penting dari kromosom

21 ada di seluruh atau sebagian sel-sel mereka (Idris, 2006; Hall, 2000; Sadler, 2000; Setianingsih, 2008; Suryo, 2003).

4. Hubungan Usia Ibu dengan Kejadian Anak Down Syndrome

Telah lama diketahui bahwa ada hubungan antara usia ibu dengan kejadian Down Syndrome, seperti yang dinyatakan oleh Lionel Penrose pada tahun 1933 dimana risiko untuk melahirkan anak Down Syndrome meningkat seiring dengan peningkatan usia ibu (Penrose, 1933). Banyak studi dan penelitian yang dilakukan selanjutnya juga menguatkan hal tersebut. Data laporan penelitian menunjukkan hasil yang konsisten (Irving et al., 2008).

Pada wanita usia tua produksi dan fungsi ovum mengalami penurunan tidak seperti pada usia muda. Hal tersebut ikut memberi pengaruh untuk terjadinya nondisjungsi pada kromosom 21 (Kothare et Pada wanita usia tua produksi dan fungsi ovum mengalami penurunan tidak seperti pada usia muda. Hal tersebut ikut memberi pengaruh untuk terjadinya nondisjungsi pada kromosom 21 (Kothare et

Penuaan ovarium yang terjadi pada usia tua berhubungan dengan keterbatasan kemampuan produksi dan penurunan fungsi oosit untuk fertilisasi (Girirajan, 2009). Penurunan fungsi oosit ini juga berkaitan dengan berapa lamanya siklus meiosis terhenti yang dialami oleh oosit tersebut, yang akhirnya mempengaruhi kualitas dari ovum. Seperti yang telah diketahui bahwa seorang perempuan lahir dengan semua oosit yang pernah dibentuknya. Semua oosit tersebut berada dalam keadaan istirahat pada profase I dari meiosis sejak sebelum seorang perempuan lahir sampai mengadakan ovulasi. Dengan demikian maka suatu oosit dapat tinggal dalam keadaan istirahat untuk 12-45 tahun. Selama waktu yang panjang itu, oosit dapat mengalami nondisjungsi (Suryo, 2003).

Pada ibu usia tua, ovum yang dikeluarkan pada saat ovulasi merupakan hasil dari oosit yang cenderung telah berada dalam siklus meiosis yang terhenti cukup lama (Girirajan, 2009). Fase meiosis yang terhenti lama pada ovum memudahkan terjadinya akumulasi berbagai efek toksik sebagai dampak dari lingkungan, juga terjadi degradasi dari mesin meiosis yang menyebabkan kesalahan meiosis I dan meiosis II (Girirajan, 2009). Pengamatan pada pembuahan in vitro membuktikan bahwa gelendong meiosis manusia bersifat tidak stabil dan juga sangat peka Pada ibu usia tua, ovum yang dikeluarkan pada saat ovulasi merupakan hasil dari oosit yang cenderung telah berada dalam siklus meiosis yang terhenti cukup lama (Girirajan, 2009). Fase meiosis yang terhenti lama pada ovum memudahkan terjadinya akumulasi berbagai efek toksik sebagai dampak dari lingkungan, juga terjadi degradasi dari mesin meiosis yang menyebabkan kesalahan meiosis I dan meiosis II (Girirajan, 2009). Pengamatan pada pembuahan in vitro membuktikan bahwa gelendong meiosis manusia bersifat tidak stabil dan juga sangat peka

Usia ibu yang tua meningkatkan risiko terjadinya nondisjungsi pada ovum (Erickson, 1978; Kothare et al., 2002). Henderson dan Edwards (1968) menyatakan bahwa pada usia tua terjadi penuaan ovarium secara intrinsik yang merupakan faktor predisposisi nondisjungsi. Ovarium yang tidak berfungsi optimal akibat penuaan menyebabkan ketidakseimbangan hormon (Girirajan, 2009). Adanya perubahan hormonal (Penrose, 1954) dan metabolik pada usia tua, seperti penyakit tiroid (Fialkow et al., 1965), juga mempengaruhi kejadian aneuploidi (Kothare et al., 2002).

Perubahan hormonal yang terjadi pada ibu usia tua secara umum diperkirakan dapat menyebabkan nondisjungsi pada kromosom. Perubahan endokrin, seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar hidroepiandosteron, menurunnya konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormon, dan peningkatan secara tajam kadar Luteinizing Hormon (LH) dan Follicular Stimulating Hormon (FSH) secara tiba-tiba sebelum dan selama menopause, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya nondisjungsi (Soetjiningsih, 1995; Sutejo, 1981).

: Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti

: Mempengaruhi

C. Hipotesis

Kejadian anak Down Syndrome dari ibu usia tua lebih banyak dibanding dengan ibu usia muda.

1. Nondisjungsi +/- (Free trisomi 21)

2. Translokasi +/-

3. Mosaik +/-

Usia Ibu

< 35 tahun ≥ 35 tahun

Down Syndrome +/- Down Syndrome +/-

Kehamilan

ovum

sperma ovum

sperma

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan studi kasus kontrol yang menggunakan data retrospektif, untuk mempelajari seberapa jauh faktor risiko mempengaruhi terjadinya efek (Taufiqurrahman, 2004).

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di SLB C Surakarta dan lingkungan tempat tinggal penderita.

C. Subjek Penelitian

1. Populasi Penelitian Kasus

: Ibu dengan anak Down Syndrome di SLB C Surakarta Kontrol : Ibu dengan anak sehat tanpa Down Syndrome di

lingkungan tempat tinggal anak Down Syndrome

2. Kriteria Sampel Penelitian Sampel penelitian diambil dari populasi sumber yang memenuhi kriteria-kriteria berikut :

1) Kasus : ibu yang memiliki anak dengan tanda-tanda klinis Down Syndrome (+) Kontrol :

a) Ibu yang memiliki anak sehat dengan tanda-tanda klinis Down Syndrome (-)

b) Tinggal dalam lingkungan yang sama dengan anak Down Syndrome

c) Anak memiliki usia yang sama dengan anak Down Syndrome yang diteliti di daerah tersebut

2) Bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani informed consent.

b. Kriteria Eksklusi : Tidak bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani informed consent

D. Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara fixed-disease sampling yakni prosedur pencuplikan berdasarkan status penyakit subjek, sedang status paparan subjek bervariasi mengikuti status penyakit subjek yang sudah “fixed”(Murti, 2006). Fixed-disease sampling memastikan jumlah subjek penelitian yang cukup dalam kelompok-kelompok berpenyakit (=kasus) dan tak berpenyakit (=kontrol) (Murti, 2006).

sehingga ukuran sampel yang digunakan :

(15 - 20) x jumlah Confounding Factor = (15 - 20) x 4 = 60 – 80 sampel

Berdasarkan penghitungan ukuran sampel di atas, maka pada penelitian ini akan menggunakan 60 sampel yang terbagi atas 20 sampel kasus dan 40 sampel kontrol.

E. Rancangan Penelitian

Populasi anak Down Syndrome

Populasi anak sehat

Sampel anak Down Syndrome

di SLB C

Sampel anak sehat tetangga anak Down Syndrome

Status :

1. Usia ibu

2. Pendapatan keluarga

3. Lingkungan keluarga

4. Pendidikan Ibu

Status :

1. Usia ibu

2. Pendapatan keluarga

3. Lingkungan keluarga

4. Pendidikan Ibu

Analisis Regresi Logistik Ganda

1. Variabel bebas

: Usia ibu

2. Variabel terikat

: Kejadian anak Down Syndrome

3. Variabel perancu : Pendidikan ibu, pendapatan keluarga, lingkungan

G. Definisi Operasional Variabel

1. Usia ibu

a. Definisi : Usia ibu adalah selisih usia ibu saat ini dengan usia anak saat ini.

1) Kasus : usia ibu saat hamil anak Down Syndrome

2) Kontrol : usia ibu saat hamil anak anak tanpa Down Syndrome

b. Sumber data : data primer

c. Alat ukur : kuesioner/wawancara

d. Skala pengukuran : kategorikal (dikotomi), terdiri dari usia tua ( ≥ 35 tahun ) dan usia muda ( < 35 tahun ).