BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Peran Dari Persepsi Ancaman Terhadap Perilaku Menghindari Suku Laut Oleh Suku Melayu Di Kepulauan Riau

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kepulauan Riau adalah sebuah provinsi di Indonesia. Kepulauan Riau

  mempunyai sejarah yang panjang sebagai wilayah yang menarik perhatian karena posisinya yang berada tepat di tengah-tengah pergerakan budaya dan perdagangan antara India, Asia Tenggara, dan China. Perpindahan penduduk dari berbagai etnis ke wilayah ini, dan daya tarik ekonomi dan politik telah menjadi fenomena sejak zaman kerajaan dan kolonial (Lenhart, 1997).

  Provinsi Kepulauan Riau berbatasan dengan Vietnam dan Kamboja di sebelah utara; Malaysia dan provinsi Kalimantan Barat di timur; provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Jambi di selatan; Negara Singapura, Malaysia dan provinsi Riau di sebelah barat. Provinsi Kepulauan Riau terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 2002 merupakan Provinsi ke-32 di Indonesia yang mencakup Kota Tanjungpinang, Kota Batam, Kabupaten Bintan, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, dan Kabupaten Lingga. Secara keseluruhan Wilayah Kepulauan Riau terdiri dari empat Kabupaten dan dua Kota, 42 Kecamatan serta 256 Kelurahan/Desa dengan jumlah 2.408 pulau besar dan kecil dimana 40% belum bernama dan berpenduduk. Adapun luas wilayahnya sebesar 252.601 Km2, di mana 95% - nya merupakan lautan dan hanya 5% merupakan wilayah darat. Ibukota provinsi Kepulauan Riau berkedudukan di Tanjung Pinang dan didiami oleh

  1 berbagai suku bangsa diantaranya adalah Melayu, Bugis, Suku Laut, Jawa, Arab, Tionghoa, Padang, Batak, Sunda dan Flores.

  Secara budaya dan sejarah, Kepulauan Riau selalu menjadi milik dari alam melayu yang didasari pada silsilah keturunan kerajaan. Wilayah ini telah menjadi daerah kekuasaan dari kesultanan melaka-johor yang dikuasai oleh dinasti melayu yang bertempat tinggal di semenanjung melayu (1400-1699) yang kemudian menjadi pusat kekuasaan dari kesultanan Riau-Lingga yang diatur oleh koalisi dari dinasti melayu dan bugis yang berkedudukan di Kepulauan Riau (1722-1911). Hal ini menjelaskan asal mula kemelayuan, yaitu sebuah kategori afiliasi budaya yang pada dasarnya diasosiasikan dengan ketaatan pada islam, bahasa melayu, dan adat-adat kebiasaan melayu (Lenhart, 1997).

  Budaya dan sejarah memperlihatkan bahwa suku melayu merupakan suku asli yang mendiami Kepulauan Riau sejak abad ke-15. Namun, suku melayu bukanlah satu-satunya suku asli di daerah Kepulauan Riau ini. Suku Orang Laut atau yang lebih dikenal dengan sebutan Orang Laut merupakan salah satu suku asli yang mendiami Kepulauan Riau. Suku laut adalah kelompok etnik berkarakter pengembara yang hidup dan menetap pada perairan di beberapa pulau dalam wilayah Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Suku bangsa ini merupakan satu varian dari berbagai macam kelompok suku Laut yang bermukim di Asia Tenggara. Keberadaan mereka di Provinsi Riau menurut Chou (2003) tersebar di Pulau Bertam, Pulau Galang, Pulau Mapor, Pulau Mantang, Pulau Barok, dan beberapa pulau lain.

  Suku Orang Laut adalah kelompok etnis dalam jumlah kecil di tengah mayoritas masyarakat Melayu. Mereka hidup di pulau-pulau di perairan Provinsi Kepulauan Riau. Asal-usul kedatangan Orang Suku Laut di Kepulauan Riau diperkirakan sekitar tahun 2500

  —1500 SM sebagai bangsa proto Melayu (Melayu tua) dan kemudian menyebar ke Sumatra melalui Semenanjung Malaka. Pasca-1500 SM terjadi arus besar migrasi bangsa deutro Melayu yang mengakibatkan terdesaknya bangsa proto Melayu ke wilayah pantai (daratan pesisir). Kelompok yang terdesak inilah yang kini dikenal sebagai Orang Suku Laut (Lenhart, 1997).

  Secara historis, Orang Laut dulunya adalah perompak, namun berperan penting dalam Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Malaka dan Kesultanan Johor.

  Suku laut merupakan bagian integral dari populasi kerajaan melaka-Johor dan kesultanan Riau-Lingga, dan merupakan bagian dari hierarki kehidupan di Kepulauan Riau. Mereka menjaga selat-selat, mengusir bajak laut, memandu para pedagang ke pelabuhan kerajaan-kerajaan tersebut, dan mempertahankan hegemoni mereka di daerah tersebut (Lenhart, 1997). Orang suku laut tidak pernah hidup terpencil. Karena mobilitas lokalnya tergolong tinggi, sehingga mereka selalu melakukan kontak (hubungan) dengan kelompok etnik lain dalam kawasan tersebut. Hubungan antara orang suku laut dengan warga kelompok etnik lain hanyalah berlangsung dalam batas transaksi ekonomi seperti ketika mereka menjual hasil tangkapan ikan mereka. Kontak yang lebih jauh dari itu akan mereka hindari (Yusuf, 2008).

  Kontak antara orang laut dengan anggota dari kelompok etnik yang lainnya tidak bisa didiskusikan tanpa melihat Kepulauan Riau sebagai daerah yang sedang menghadapi perubahan ekonomi dan teknologi yang sangat cepat. Perubahan-perubahan secara langsung berakibat terhadap alam dan lingkungan sosial-budaya mereka. Proses pembangunan ekonomi mempengaruhi kawasan yang menjadi tempat tinggal orang laut dan mengubah struktur demografi yang berdampak pada ciri utama kehidupan orang laut berupa kelompok yang kecil dan hidup dalam kelompok yang bergerak. Perhatian terhadap perubahan ini mendesak kebutuhan untuk berasimilasi dengan masyarakat luas. Desakan untuk mulai meninggalkan cara hidup tradisional yang nomaden menjadi menetap mulai dibutuhkan (Yusuf, 2008).

  Dalam kontak antar etnik, orang melayu sebagai penduduk mayoritas yang bertempat tinggal di daerah ini merupakan penduduk yang dilihat secara budaya dan historis amat dekat dengan Orang Suku Laut. Di sisi lain, orang melayu merupakan kelompok yang menghindari kontak sosial dari suku laut (Yusuf, 2008). Dalam pandangan mereka, orang suku laut merupakan masyarakat tanpa agama dan kebudayaan, bahkan mereka seringkali dianggap kotor atau najis. Pandangan ini berakar pada pemahaman mereka tentang pola hidup orang Suku Laut yang hidup berdesak-desakan dalam sebuah sampan kecil dan kebiasaan mereka memburu babi liar dan memakan dagingnya, minum alkohol dan memelihara anjing (Lenhart, 1997), seperti yang diungkapkan oleh salah seorang warga suku melayu di Kepulauan Riau:

  “...orang laut tu banyak tinggal di tepi pantai. Diantara mereka ada yang tak punya agama. Tapi, kalau orang lebaran, orang tu ikut juga lebaran, imlek pun ikut imlek juga. Kalau orang itu cakap, bahase dia

  tu kasar, dialeknya laen dari dialek orang melayu. Kalau jumpe dengan

  orang-orang tu, takot karna mereka berwajah agak seram. Jadi kalau tak sengaje jumpa dengan orang itu, sebisa mungkin aku menjaoh dari mereka. kalau tak pun aku pura-pura tak nampak aje. Selain tu, bau mereka amis. Mungkin karna orang tu tiap hari di laut” (E, Komunikasi personal, 4 Juli 2012).

  Selain pada perbedaan pola hidup pada suku Orang Laut, suku Melayu juga takut pada ilmu hitam yang dimiliki oleh orang suku laut (Lenhart, 1997).

  Ilmu hitam yang dimiliki oleh orang suku laut menjadi penyebab utama penghindaran kontak yang dilakukan oleh suku melayu. Ketakutan-ketakutan akan ancaman ilmu hitam yang dimiliki oleh orang suku laut membuat orang melayu sebisa mungkin menghindari kontak langsung dengan orang suku laut untuk menghindari masalah yang mungkin muncul akibat dari ilmu hitam yang dimiliki oleh mereka (Lenhart, 1997).

  “...tak usah macam-macam dengan orang itu, nanti kena dukun baru tau... orang suku laut tu tak boleh sedikit aje salah cakap, bise tersinggung, trus marah. Bahaye

  ...” (M, Komunikasi personal, 10 Juli 2012) Secara normal, orang suku laut sendiri menolak berhubungan dengan orang yang bukan orang suku laut. Mereka mengetahui argumen-argumen yang menantang mereka dan mereka juga sering mengalami pengalaman negatif dari perilaku yang berlandaskan sikap tersebut. Namun, mereka sendiri memperkuat ketakutan orang luar yang berada di sekeliling mereka dengan aura ilmu hitam yang menakutkan (Lenhart, 1997). Asumsi bahwa orang suku laut memiliki ilmu hitam berakar dari kepercayaan yang dianut oleh suku laut. Dalam kepercayaan mereka, masyarakat suku laut masih menganut animisme-shamanisme. Walaupun beberapa diantara mereka sudah ada yang memeluk agama islam, islam yang dianut oleh mereka masih bercampur dengan kepercayaan nenek moyang mereka. Sebagian besar dari mereka juga bahkan masih mempercayai tentang kekuatan supernatural yang diturunkan dari nenek moyang mereka kepada penghulu-penghulu (pemimpin) mereka. Selain itu, mereka sangat mempercayai takhayul tentang keramatnya suatu benda atau daerah sehingga upacara tradisional yang bersifat ritual masih sering mereka lakukan (Chou, 2003). Kepercayaan inilah yang seringkali dikaitkan oleh orang melayu sebagai ilmu hitam. Paham animisme dan shamanisme yang dianut oleh masyarakat suku laut ini dianggap berbahaya bagi mereka sehingga orang melayu cenderung takut lalu menjauhi dan menghindari mereka.

  Suku laut adalah suku yang memiliki tingkat kolektivitas yang tinggi. Dalam komunitas mereka, orang laut memandang prinsip berbagi dan membantu sebagai hal yang sangat penting. Walaupun suku laut tidak memperlihatkan solidaritas antara sesama mereka, mereka mempunyai sense

  

of group unity yang tinggi (Chou, 2003). Hal ini tampak pada pernyataan yang

  diungkapkan salah satu warga suku melayu di Kepulauan Riau: “...Sebenarnya tak semua mereka itu jahat dan terbelakang, ada juga yang punya pikiran yang maju. Saya ada kawan sekolah orang suku laut, dan dia itu tak kasar macam orang laut lainnya. Saya juga dekat dengan dia sampai-sampai dia pernah bilang kalau ada orang yang ganggu saya, lapor ke dia biar dia yang hajar. Nah, inilah mungkin yang sama dengan orang-orang suku laut lainnya, mereka tu setia kawan. Kalau ada salah satu dari mereka yang terluka, bisa satu kampung ikut kelahi. Jadi, jangan sampailah ada buat masalah dengan mereka” (R.A, Komunikasi personal, 9 Oktober 2012)

  Sense of group unity yang tinggi ini memperkuat kecenderungan

  individu untuk membagi dunia sosial mereka menjadi dua kategori yang jelas, yaitu ‘orang kita’ (kita/insider) dan ‘orang lain’ (mereka/outsider), yang kemudian mempengaruhi pola-pola relasi di antara mereka sendiri (Chou, 2003).

  Ketika individu telah membagi dunia sosial mereka menjadi kita versus mereka, perasaan kompetisi antar kelompok akan muncul (Tajfel, dkk dalam Withley & Kite, 2010). Ketika perasaan ini muncul, seorang individu akan mengembangkan rasa curiga dan kecemasan sebagai cara untuk melindungi diri dan kelompoknya dari kemungkinan bahaya yang ditimbulkan dari luar (dalam hal ini ancaman dan kecemasan yang dialami oleh suku melayu terhadap suku laut).

  Stephan dan Stephan (dalam Stephan, Ybarra & Morrison, 2009) berpendapat bahwa persepsi ancaman merupakan salah satu penyebab konflik yang muncul dalam kaitannya dengan hubungan antar kelompok. Ketika individu berada dalam situasi yang bisa menimbulkan konflik, respon utama yang muncul adalah menghadapi atau menghindari konflik tersebut. Seperti yang telah dijelaskan, suku melayu cenderung memilih untuk tidak atau seminimal mungkin berkontak dengan suku orang laut. Respon menghindar yang dilakukan oleh suku melayu terhadap suku laut merupakan salah satu upaya untuk menghadapi konflik yang disebabkan oleh persepsi ancaman pada individu.

  Berdasarkan fenomena dan penjelasan di atas, terlihat bahwa terdapat respon menghindar yang dilakukan oleh suku melayu terhadap suku laut.

  Persepsi ancaman adalah persepsi dimana individu merasa bahwa kelompok luar menimbulkan ancaman pada dirinya. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk melihat peran persepsi ancaman terhadap perilaku menghindar yang dilakukan oleh suku melayu terhadap suku laut di Kepulauan Riau.

  B. RUMUSAN MASALAH

  Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah 1.

  Bagaimana gambaran persepsi ancaman dan perilaku menghindari pada suku melayu di Kepulauan Riau

  2. Apakah persepsi ancaman berperan terhadap perilaku menghindari suku laut yang dilakukan oleh suku melayu di Kepulauan Riau

  3. Seberapa besar persepsi ancaman dan aspek – aspek dari persepsi ancaman berperan terhadap perilaku menghindari suku laut yang dilakukan oleh suku melayu di Kepulauan Riau

  C. TUJUAN PENELITIAN

  Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui peran persepsi ancaman terhadap perilaku menghindar pada suku laut yang dilakukan oleh suku melayu di Kepulauan Riau.

D. MANFAAT PENELITIAN 1.

  Manfaat Teoritis a.

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang Psikologi Sosial dalam rangka perluasan teori, terutama yang berkaitan dengan interaksi antara etnis.

  b.

  Penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya literatur dalam bidang Psikologi Sosial, sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan penunjang penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Praktis

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat umum mengenai bagaimana persepsi ancaman bisa mempengaruhi interaksi sosial antar etnis sehingga nantinya bisa dijadian wacana untuk memperkecil jurang pemisah antar etnis

E. SISTEMATIKA PENULISAN

  Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

  Bab I : Pendahuluan Bab ini berisi latar belakang masalah yang akan dibahas, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.

  Bab II : Landasan Teori Bab ini berisi landasan teori yang menjadi acuan peneliti dalam membahas masalah. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori persepsi ancaman, teori perilaku menghindar, dan penjelasan mengenai suku Melayu dan Suku Orang Laut yang akan diteliti.

  Bab III : Metode Penelitian Bab ini berisi metode-metode dasar dalam penelitian, yaitu identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional variabel penelitian, populasi dan sampel penelitian, dan metode analisa data yang akan digunakan.

  Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan Bab ini berisi analisa data penelitian, berupa gambaran subjek penelitian dan deskripsi data penelitian; hasil penelitian berupa uji asumsi dan uji hipotesa penelitian; dan pembahasan mengenai hasil penelitian.

  Bab V : Kesimpulan dan Saran Bab ini berisi kesimpulan dari penelitian yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya dan saran penelitian yang memuat saran-saran dari peneliti untuk masalah dalam penelitian juga saran untuk penyempurnaan penelitian yang selanjutnya.