Peran Dari Persepsi Ancaman Terhadap Perilaku Menghindari Suku Laut Oleh Suku Melayu Di Kepulauan Riau

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

R. ZALIA GUSTIANA

061301026

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GANJIL, 2012/2013


(2)

SKRIPSI

PERAN DARI PERSEPSI ANCAMAN

TERHADAP PERILAKU MENGHINDARI SUKU LAUT

OLEH SUKU MELAYU DI KEPULAUAN RIAU

Dipersiapkan dan disusun oleh:

R. Zalia Gustiana 061301026

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Tanggal 30 Januari 2013

Mengesahkan Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Meutia Nauly M.Si, Psikolog Penguji I/Pembimbing NIP. 196711272000032001


(3)

Peran Dari Persepsi Ancaman

Terhadap Perilaku Menghindari Suku Laut Oleh Suku Melayu Di Kepulauan Riau

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas ssuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan didalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku

Medan, Januari 2013

R. Zalia Gustiana NIM : 061301026


(4)

Peran dari persepsi ancaman terhadap perilaku menghindari suku laut oleh suku melayu di kepulauan riau

R. Zalia Gustiana dan Meutia Nauly

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran persepsi ancaman terhadap perilaku menghindari suku laut yang dilakukan oleh suku melayu di Kepulauan Riau. Sebagaimana halnya suku melayu, suku laut merupakan salah satu suku asli yang mendiami Kepulauan Riau. Namun, hal ini tidak membuat suku laut dan Melayu lepas dari konflik etnisitas antar suku. Konflik antar etnis ini tampak dari perilaku menghindar yang dilakukan oleh suku melayu. Respon menghindar yang dilakukan oleh suku melayu terhadap suku laut merupakan salah satu upaya untuk menghadapi konflik yang disebabkan oleh persepsi ancaman yang muncul dari perbedaan kepercayaan dan cara hidup pada suku laut.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan 107 orang partisipan yang berasal dari suku melayu di Kepulauan Riau. Partisipan dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik insidental sampling. Hasil analisa penelitian yang diperoleh mendukung hipotesa penelitian bahwa persepsi ancaman memiliki peranan dalam perilaku menghindar yang dilakukan terhadap suku laut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan persepsi ancaman ancaman memiliki peranan yang sangat signifikan terhadap munculnya perilaku menghindar pada individu. Kecemasan antar kelompok adalah variabel yang paling mempengaruhi perilaku menghindar, diikuti oleh ancaman simbolik dan ancaman realistik.

Kata kunci: persepsi ancaman, perilaku menghindar, suku laut, suku melayu


(5)

R. Zalia Gustiana and Meutia Nauly

ABSTRACT

This research aimed to examine the role of perceive threat against avoidance behavior toward Orang Laut conducted by Malay in Kepulauan Riau. As well as Malay, Orang Laut is one of the original tribes who inhabit the Riau Archipelago. However, this does not make the both of them loose from ethnicity conflict. The ethnic conflicts can be seen from the avoidance behavior that conducted by suku melayu. Avoidance response that conducted by suku melayu against orang laut is one of conflict management that caused by perceived threat that arises from different in beliefs and way of life of orang laut.

This research used a quantitative approach involving 107 participant from Malay people in Kepulauan Riau. Participant in this research were selected using incindental sampling. The result that obtained from this research supported the hypothesis that perceive threat have a role against avoidance behavior toward Sea Tribe. This research demonstrated that as a set, threats have a signficantr role of the variance in avoidance behavior. Intergroup anxiety was most strongly tied to avoidance behavior, followed by Symbolic threat and realistic threat


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Peran dari persepsi ancaman terhadap perilaku menghindari suku laut oleh suku melayu di Kepulauan Riau”, guna memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Untuk kedua orang tua penulis R. M. Zahid dan Sri Mulyati, penulis mengucapkan terima kasih yang begitu besar atas segala perhatian, dukungan baik secara moril dan materil serta doa yang tiada henti-hentinya kepada penulis. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada adik penulis, R. Arif Ramoza, atas segala dukungan, motivasi, dan juga semangat yang diberikan.

Penelitian ini juga tidak akan selesai tanpa bantuan dari banyak pihak, oleh karena itu penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, Psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi USU yang juga merupakan pembimbing akademis, yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama masa perkuliahan di Fakultas Psikologi USU.


(7)

ini.. Terima kasih juga atas segala kesabaran ibu dalam membimbing penulis selama proses pengerjaan dan penyelesaian penelitian ini.

3. Bapak Omar Khalifa Burhan, M.Sc, selaku dosen penguji yang juga merupakan dosen pembimbing. Terima kasih ya bang atas kesediaannya meluangkan waktu untuk bimbingan dan saran dalam proses pengerjaan dan penyelesaian penelitian ini.

4. Ibu Juliana Irmayanti Saragih, M.Psi, Psikolog selaku dosen penguji. Terima kasih ya kak atas kesediaannya menguji dan memberikan kritik serta saran yang sangat berarti demi kesempurnaan penyelesaian ini. 5. Untuk para partisipan penelitian yang telah rela meluangkan waktu dan

bersedia untuk membantu penelitian.

6. Sahabat-sahabat penulis mulai dari masa perkuliahan hingga saat ini, yang selalu ada ketika senang maupun susah, Dini, Sari, Mirna, Sasha dan Vivi. Terima kasih ya atas semua dukungan, doa, perhatian, canda tawa, serta kenangan-kenangan yang sangat berarti selama masa perkuliahan. Semoga kita semua diberi kelancaran dan kemudahan untuk kedepannya. Amin. 7. Buat teman-teman angkatan 2006 yang tak henti-hentinya memberi

semangat dan dorongan hingga akhirnya saya bisa menyusul kalian semua menyelesaikan studi di Psikologi ini.


(8)

8. Seluruh keluarga besar Fakultas Psikologi USU, yang telah membantu dan mempermudah segala urusan yang berkaitan dengan administrasi, baik saat masa perkuliahan maupun yang berhubungan dengan penelitian. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karenanya, penulis mengharapkan adanya masukan dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak, guna menyempurnakan penelitian ini agar menjadi lebih baik lagi. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Medan, Januari 2013


(9)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang ... 1

B. Rumusan masalah ... 8

C. Tujuan penelitian ... 8

D. Manfaat penelitian ... 9

E. Sistematika penulisan ... 9

BAB II LANDASAN TEORI A. Persepsi ancaman ... 11

1. Definisi ... 11

2. Tipe-tipe persepsi ancaman ... 12

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi ancaman ... 14

4. Konsekuensi dari ancaman ... 15

B. Perilaku menghindar ... 17

1. Definisi perilaku menghindar ... 17


(10)

C. Suku melayu ... 18

D. Suku laut ... 20

E. Peran persepsi ancaman terhadap perilaku menghindar pada suku laut yang dilakukan oleh suku melayu di Kepulauan Riau ... 22

F. Hipotesis penelitian ... 26

BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi variabel penelitian ... 27

B. Definisi operasional variabel penelitian ... 27

1. Perilaku menghindar ... 27

2. Persepsi ancaman ... 28

C. Populasi, sampel, dan teknik pengambilan sampel ... 28

1. Populasi ... 28

2. Sampel dan teknik pengambilan sampel ... 29

3. Jumlah sampel penelitian ... 29

D. Validitas dan reliabilitas alat ukur ... 30

1. Validitas alat ukur ... 30

2. Uji reliabilitas ... 32

E. Prosedur penelitian ... 33

1. Tahap persiapan ... 33


(11)

3. Uji multikolinieritas ... 36

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. Analisa Data ... 37

1. Gambaran Umum Partisipan Penelitian ... 37

2. Deskripsi data penelitian ... 37

B. Hasil Penelitian ... 39

1. Hasil Uji Asumsi ... 39

2. Hasil Utama Penelitian ... 44

C. Pembahasan ... 48

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ... 52

2. Saran ... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 55


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Hasil Uji Reliabilitas Alat Ukur ... 32

Tabel 2. Perbandingan skor empirik dan hipotetik ... 38

Tabel 3. Normalitas sebaran variabel perilaku menghindar, kecemasan antar kelompok, ancaman simbolik, dan ancaman realistik ... 40

Tabel 4. Linieritas hubungan antar variabel ... 42

Tabel 5. Multikolinieritas hubungan antar variabel ... 42

Tabel 6. Hasil Analisis Regresi ... 45

Tabel 7. Koefisien regresi ... 46

Tabel 8. Korelasi parsial pada variabel perilaku menghindar dan persepsi ancaman ... 48


(13)

Lampiran 2 Reliabilitas alat ukur Lampiran 3 Output SPSS

Lampiran 4 Aitem skala penelitian peran persepsi ancaman terhadap perilaku menghindar


(14)

Peran dari persepsi ancaman terhadap perilaku menghindari suku laut oleh suku melayu di kepulauan riau

R. Zalia Gustiana dan Meutia Nauly

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran persepsi ancaman terhadap perilaku menghindari suku laut yang dilakukan oleh suku melayu di Kepulauan Riau. Sebagaimana halnya suku melayu, suku laut merupakan salah satu suku asli yang mendiami Kepulauan Riau. Namun, hal ini tidak membuat suku laut dan Melayu lepas dari konflik etnisitas antar suku. Konflik antar etnis ini tampak dari perilaku menghindar yang dilakukan oleh suku melayu. Respon menghindar yang dilakukan oleh suku melayu terhadap suku laut merupakan salah satu upaya untuk menghadapi konflik yang disebabkan oleh persepsi ancaman yang muncul dari perbedaan kepercayaan dan cara hidup pada suku laut.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan 107 orang partisipan yang berasal dari suku melayu di Kepulauan Riau. Partisipan dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik insidental sampling. Hasil analisa penelitian yang diperoleh mendukung hipotesa penelitian bahwa persepsi ancaman memiliki peranan dalam perilaku menghindar yang dilakukan terhadap suku laut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan persepsi ancaman ancaman memiliki peranan yang sangat signifikan terhadap munculnya perilaku menghindar pada individu. Kecemasan antar kelompok adalah variabel yang paling mempengaruhi perilaku menghindar, diikuti oleh ancaman simbolik dan ancaman realistik.

Kata kunci: persepsi ancaman, perilaku menghindar, suku laut, suku melayu


(15)

R. Zalia Gustiana and Meutia Nauly

ABSTRACT

This research aimed to examine the role of perceive threat against avoidance behavior toward Orang Laut conducted by Malay in Kepulauan Riau. As well as Malay, Orang Laut is one of the original tribes who inhabit the Riau Archipelago. However, this does not make the both of them loose from ethnicity conflict. The ethnic conflicts can be seen from the avoidance behavior that conducted by suku melayu. Avoidance response that conducted by suku melayu against orang laut is one of conflict management that caused by perceived threat that arises from different in beliefs and way of life of orang laut.

This research used a quantitative approach involving 107 participant from Malay people in Kepulauan Riau. Participant in this research were selected using incindental sampling. The result that obtained from this research supported the hypothesis that perceive threat have a role against avoidance behavior toward Sea Tribe. This research demonstrated that as a set, threats have a signficantr role of the variance in avoidance behavior. Intergroup anxiety was most strongly tied to avoidance behavior, followed by Symbolic threat and realistic threat


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kepulauan Riau adalah sebuah provinsi di Indonesia. Kepulauan Riau mempunyai sejarah yang panjang sebagai wilayah yang menarik perhatian karena posisinya yang berada tepat di tengah-tengah pergerakan budaya dan perdagangan antara India, Asia Tenggara, dan China. Perpindahan penduduk dari berbagai etnis ke wilayah ini, dan daya tarik ekonomi dan politik telah menjadi fenomena sejak zaman kerajaan dan kolonial (Lenhart, 1997).

Provinsi Kepulauan Riau berbatasan dengan Vietnam dan Kamboja di sebelah utara; Malaysia dan provinsi Kalimantan Barat di timur; provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Jambi di selatan; Negara Singapura, Malaysia dan provinsi Riau di sebelah barat. Provinsi Kepulauan Riau terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 2002 merupakan Provinsi ke-32 di Indonesia yang mencakup Kota Tanjungpinang, Kota Batam, Kabupaten Bintan, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, dan Kabupaten Lingga. Secara keseluruhan Wilayah Kepulauan Riau terdiri dari empat Kabupaten dan dua Kota, 42 Kecamatan serta 256 Kelurahan/Desa dengan jumlah 2.408 pulau besar dan kecil dimana 40% belum bernama dan berpenduduk. Adapun luas wilayahnya sebesar 252.601 Km2, di mana 95% -


(17)

berbagai suku bangsa diantaranya adalah Melayu, Bugis, Suku Laut, Jawa, Arab, Tionghoa, Padang, Batak, Sunda dan Flores.

Secara budaya dan sejarah, Kepulauan Riau selalu menjadi milik dari alam melayu yang didasari pada silsilah keturunan kerajaan. Wilayah ini telah menjadi daerah kekuasaan dari kesultanan melaka-johor yang dikuasai oleh dinasti melayu yang bertempat tinggal di semenanjung melayu (1400-1699) yang kemudian menjadi pusat kekuasaan dari kesultanan Riau-Lingga yang diatur oleh koalisi dari dinasti melayu dan bugis yang berkedudukan di Kepulauan Riau (1722-1911). Hal ini menjelaskan asal mula kemelayuan, yaitu sebuah kategori afiliasi budaya yang pada dasarnya diasosiasikan dengan ketaatan pada islam, bahasa melayu, dan adat-adat kebiasaan melayu (Lenhart, 1997).

Budaya dan sejarah memperlihatkan bahwa suku melayu merupakan suku asli yang mendiami Kepulauan Riau sejak abad ke-15. Namun, suku melayu bukanlah satu-satunya suku asli di daerah Kepulauan Riau ini. Suku Orang Laut atau yang lebih dikenal dengan sebutan Orang Laut merupakan salah satu suku asli yang mendiami Kepulauan Riau. Suku laut adalah kelompok etnik berkarakter pengembara yang hidup dan menetap pada perairan di beberapa pulau dalam wilayah Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Suku bangsa ini merupakan satu varian dari berbagai macam kelompok suku Laut yang bermukim di Asia Tenggara. Keberadaan mereka di Provinsi Riau menurut Chou (2003) tersebar di Pulau Bertam, Pulau Galang, Pulau Mapor, Pulau Mantang, Pulau Barok, dan beberapa pulau lain.


(18)

3

Suku Orang Laut adalah kelompok etnis dalam jumlah kecil di tengah mayoritas masyarakat Melayu. Mereka hidup di pulau-pulau di perairan Provinsi Kepulauan Riau. Asal-usul kedatangan Orang Suku Laut di Kepulauan Riau diperkirakan sekitar tahun 2500—1500 SM sebagai bangsa proto Melayu (Melayu tua) dan kemudian menyebar ke Sumatra melalui Semenanjung Malaka. Pasca-1500 SM terjadi arus besar migrasi bangsa deutro Melayu yang mengakibatkan terdesaknya bangsa proto Melayu ke wilayah pantai (daratan pesisir). Kelompok yang terdesak inilah yang kini dikenal sebagai Orang Suku Laut (Lenhart, 1997).

Secara historis, Orang Laut dulunya adalah perompak, namun berperan penting dalam Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Malaka dan Kesultanan Johor. Suku laut merupakan bagian integral dari populasi kerajaan melaka-Johor dan kesultanan Riau-Lingga, dan merupakan bagian dari hierarki kehidupan di Kepulauan Riau. Mereka menjaga selat-selat, mengusir bajak laut, memandu para pedagang ke pelabuhan kerajaan-kerajaan tersebut, dan mempertahankan hegemoni mereka di daerah tersebut (Lenhart, 1997). Orang suku laut tidak pernah hidup terpencil. Karena mobilitas lokalnya tergolong tinggi, sehingga mereka selalu melakukan kontak (hubungan) dengan kelompok etnik lain dalam kawasan tersebut. Hubungan antara orang suku laut dengan warga kelompok etnik lain hanyalah berlangsung dalam batas transaksi ekonomi seperti ketika mereka menjual hasil tangkapan ikan mereka. Kontak yang


(19)

Kontak antara orang laut dengan anggota dari kelompok etnik yang lainnya tidak bisa didiskusikan tanpa melihat Kepulauan Riau sebagai daerah yang sedang menghadapi perubahan ekonomi dan teknologi yang sangat cepat. Perubahan-perubahan secara langsung berakibat terhadap alam dan lingkungan sosial-budaya mereka. Proses pembangunan ekonomi mempengaruhi kawasan yang menjadi tempat tinggal orang laut dan mengubah struktur demografi yang berdampak pada ciri utama kehidupan orang laut berupa kelompok yang kecil dan hidup dalam kelompok yang bergerak. Perhatian terhadap perubahan ini mendesak kebutuhan untuk berasimilasi dengan masyarakat luas. Desakan untuk mulai meninggalkan cara hidup tradisional yang nomaden menjadi menetap mulai dibutuhkan (Yusuf, 2008).

Dalam kontak antar etnik, orang melayu sebagai penduduk mayoritas yang bertempat tinggal di daerah ini merupakan penduduk yang dilihat secara budaya dan historis amat dekat dengan Orang Suku Laut. Di sisi lain, orang melayu merupakan kelompok yang menghindari kontak sosial dari suku laut (Yusuf, 2008). Dalam pandangan mereka, orang suku laut merupakan masyarakat tanpa agama dan kebudayaan, bahkan mereka seringkali dianggap kotor atau najis. Pandangan ini berakar pada pemahaman mereka tentang pola hidup orang Suku Laut yang hidup berdesak-desakan dalam sebuah sampan kecil dan kebiasaan mereka memburu babi liar dan memakan dagingnya, minum alkohol dan memelihara anjing (Lenhart, 1997), seperti yang diungkapkan oleh salah seorang warga suku melayu di Kepulauan Riau:


(20)

5

“...orang laut tu banyak tinggal di tepi pantai. Diantara mereka ada yang tak punya agama. Tapi, kalau orang lebaran, orang tu ikut juga lebaran, imlek pun ikut imlek juga. Kalau orang itu cakap, bahase dia tu kasar, dialeknya laen dari dialek orang melayu. Kalau jumpe dengan orang-orang tu, takot karna mereka berwajah agak seram. Jadi kalau tak sengaje jumpa dengan orang itu, sebisa mungkin aku menjaoh dari mereka. kalau tak pun aku pura-pura tak nampak aje. Selain tu, bau mereka amis. Mungkin karna orang tutiap hari di laut”

(E, Komunikasi personal, 4 Juli 2012).

Selain pada perbedaan pola hidup pada suku Orang Laut, suku Melayu juga takut pada ilmu hitam yang dimiliki oleh orang suku laut (Lenhart, 1997). Ilmu hitam yang dimiliki oleh orang suku laut menjadi penyebab utama penghindaran kontak yang dilakukan oleh suku melayu. Ketakutan-ketakutan akan ancaman ilmu hitam yang dimiliki oleh orang suku laut membuat orang melayu sebisa mungkin menghindari kontak langsung dengan orang suku laut untuk menghindari masalah yang mungkin muncul akibat dari ilmu hitam yang dimiliki oleh mereka (Lenhart, 1997).

“...tak usah macam-macam dengan orang itu, nanti kena dukun baru tau... orang suku laut tu tak boleh sedikit aje salah cakap, bise tersinggung, trus marah. Bahaye...”

(M, Komunikasi personal, 10 Juli 2012)

Secara normal, orang suku laut sendiri menolak berhubungan dengan orang yang bukan orang suku laut. Mereka mengetahui argumen-argumen yang menantang mereka dan mereka juga sering mengalami pengalaman negatif dari perilaku yang berlandaskan sikap tersebut. Namun, mereka sendiri memperkuat ketakutan orang luar yang berada di sekeliling mereka dengan


(21)

Asumsi bahwa orang suku laut memiliki ilmu hitam berakar dari kepercayaan yang dianut oleh suku laut. Dalam kepercayaan mereka, masyarakat suku laut masih menganut animisme-shamanisme. Walaupun beberapa diantara mereka sudah ada yang memeluk agama islam, islam yang dianut oleh mereka masih bercampur dengan kepercayaan nenek moyang mereka. Sebagian besar dari mereka juga bahkan masih mempercayai tentang kekuatan supernatural yang diturunkan dari nenek moyang mereka kepada penghulu-penghulu (pemimpin) mereka. Selain itu, mereka sangat mempercayai takhayul tentang keramatnya suatu benda atau daerah sehingga upacara tradisional yang bersifat ritual masih sering mereka lakukan (Chou, 2003). Kepercayaan inilah yang seringkali dikaitkan oleh orang melayu sebagai ilmu hitam. Paham animisme dan shamanisme yang dianut oleh masyarakat suku laut ini dianggap berbahaya bagi mereka sehingga orang melayu cenderung takut lalu menjauhi dan menghindari mereka.

Suku laut adalah suku yang memiliki tingkat kolektivitas yang tinggi. Dalam komunitas mereka, orang laut memandang prinsip berbagi dan membantu sebagai hal yang sangat penting. Walaupun suku laut tidak memperlihatkan solidaritas antara sesama mereka, mereka mempunyai sense of group unity yang tinggi (Chou, 2003). Hal ini tampak pada pernyataan yang diungkapkan salah satu warga suku melayu di Kepulauan Riau:

“...Sebenarnya tak semua mereka itu jahat dan terbelakang, ada juga yang punya pikiran yang maju. Saya ada kawan sekolah orang suku laut, dan dia itu tak kasar macam orang laut lainnya. Saya juga dekat dengan dia sampai-sampai dia pernah bilang kalau ada orang yang ganggu saya, lapor ke dia biar dia yang hajar. Nah, inilah mungkin


(22)

7

kawan. Kalau ada salah satu dari mereka yang terluka, bisa satu kampung ikut kelahi. Jadi, jangan sampailah ada buat masalah dengan mereka”

(R.A, Komunikasi personal, 9 Oktober 2012)

Sense of group unity yang tinggi ini memperkuat kecenderungan individu untuk membagi dunia sosial mereka menjadi dua kategori yang jelas, yaitu ‘orang kita’ (kita/insider) dan ‘orang lain’ (mereka/outsider), yang kemudian mempengaruhi pola-pola relasi di antara mereka sendiri (Chou, 2003).

Ketika individu telah membagi dunia sosial mereka menjadi kita versus mereka, perasaan kompetisi antar kelompok akan muncul (Tajfel, dkk dalam Withley & Kite, 2010). Ketika perasaan ini muncul, seorang individu akan mengembangkan rasa curiga dan kecemasan sebagai cara untuk melindungi diri dan kelompoknya dari kemungkinan bahaya yang ditimbulkan dari luar (dalam hal ini ancaman dan kecemasan yang dialami oleh suku melayu terhadap suku laut).

Stephan dan Stephan (dalam Stephan, Ybarra & Morrison, 2009) berpendapat bahwa persepsi ancaman merupakan salah satu penyebab konflik yang muncul dalam kaitannya dengan hubungan antar kelompok. Ketika individu berada dalam situasi yang bisa menimbulkan konflik, respon utama yang muncul adalah menghadapi atau menghindari konflik tersebut. Seperti yang telah dijelaskan, suku melayu cenderung memilih untuk tidak atau


(23)

upaya untuk menghadapi konflik yang disebabkan oleh persepsi ancaman pada individu.

Berdasarkan fenomena dan penjelasan di atas, terlihat bahwa terdapat respon menghindar yang dilakukan oleh suku melayu terhadap suku laut. Persepsi ancaman adalah persepsi dimana individu merasa bahwa kelompok luar menimbulkan ancaman pada dirinya. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk melihat peran persepsi ancaman terhadap perilaku menghindar yang dilakukan oleh suku melayu terhadap suku laut di Kepulauan Riau.

B. RUMUSAN MASALAH

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah

1. Bagaimana gambaran persepsi ancaman dan perilaku menghindari pada suku melayu di Kepulauan Riau

2. Apakah persepsi ancaman berperan terhadap perilaku menghindari suku laut yang dilakukan oleh suku melayu di Kepulauan Riau

3. Seberapa besar persepsi ancaman dan aspek – aspek dari persepsi ancaman berperan terhadap perilaku menghindari suku laut yang dilakukan oleh suku melayu di Kepulauan Riau

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui peran persepsi ancaman terhadap perilaku menghindar pada suku laut yang dilakukan oleh suku melayu di Kepulauan Riau.


(24)

9

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang Psikologi Sosial dalam rangka perluasan teori, terutama yang berkaitan dengan interaksi antara etnis. b. Penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya literatur dalam bidang Psikologi Sosial, sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan penunjang penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat umum mengenai bagaimana persepsi ancaman bisa mempengaruhi interaksi sosial antar etnis sehingga nantinya bisa dijadian wacana untuk memperkecil jurang pemisah antar etnis

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan

Bab ini berisi latar belakang masalah yang akan dibahas, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.


(25)

Bab II : Landasan Teori

Bab ini berisi landasan teori yang menjadi acuan peneliti dalam membahas masalah. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori persepsi ancaman, teori perilaku menghindar, dan penjelasan mengenai suku Melayu dan Suku Orang Laut yang akan diteliti.

Bab III : Metode Penelitian

Bab ini berisi metode-metode dasar dalam penelitian, yaitu identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional variabel penelitian, populasi dan sampel penelitian, dan metode analisa data yang akan digunakan. Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini berisi analisa data penelitian, berupa gambaran subjek penelitian dan deskripsi data penelitian; hasil penelitian berupa uji asumsi dan uji hipotesa penelitian; dan pembahasan mengenai hasil penelitian.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan dari penelitian yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya dan saran penelitian yang memuat saran-saran dari peneliti untuk masalah dalam penelitian juga saran untuk penyempurnaan penelitian yang selanjutnya.


(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. PERSEPSI ANCAMAN

1. Definisi

Persepsi ancaman adalah sebuah sebuah keadaan dimana individu mempersepsikan sebuah situasi sebagai situasi yang negatif dan merasakan perlunya melindungi diri (redmond, 2012). Terdapat dua tipe ancaman yang bisa muncul pada individu, yaitu ancaman personal (personal threat) dan ancaman antar kelompok (intergroup threat). Ancaman personal adalah ancaman yang terjadi ketika individu berfikir bahwa dirinya merasa terancam. Jenis ancaman ini terkadang disebut self-directed threat.

Ancaman antar kelompok secara umum sama dengan ancaman personal, yang membedakannya adalah bahwa ancaman yang dirasakan oleh individu berhubungan dengan kelompoknya. Sebuah ancaman terhadap kelompok dialami ketika anggota dari sebuah kelompok merasakan bahwa kelompok yang lain akan membahayakan mereka (Redmond, 2012). Dalam konteks intergroup threat theory, Stephan, Ybarra dan Morrison (2009) mendefinisikan ancaman antar kelompok sebagai pengalaman dimana seorang individu mempersepsikan bahwa kelompok lain akan membahayakan diri/kelompok mereka.


(27)

2. Tipe-tipe persepsi ancaman

Berdasarkan Stephan, Ybarra dan Morrison (2009), persepsi ancaman memiliki berberapa tipe, yaitu:

a. Ancaman Realistik (Realistic Threat)

Pada awalnya, ancaman realistik adalah sebuah konsep yang dikembangkan oleh Levine & Campbell dan dikenal dengan realistic group conflict theories (RGCT). Persepsi terhadap ancaman realistik bisa terjadi dalam dua level, yaitu level individu (personal) dan level kelompok. Pada level personal, ancaman realistik mengacu kepada ancaman yang berhubungan dengan fisik atau material yang nyata dan membahayakan individu seperti rasa sakit, siksaan, atau kematian, juga kerugian dalam bidang ekonomi, dan ancaman terhadap kesehatan dan keselamatan individu. Pada level kelompok, individu melihat ancaman sebagai sesuatu yang dapat membahayakan keberadaan kelompok. b. Ancaman Simbolik (Symbolic Threat)

Ancaman simbolik adalah ancaman yang berhubungan dengan agama, nilai-nilai, kepercayaan, ideologi, falsafah, moralitas, juga identitas sosial dan harga diri dari individu atau kelompok. Persepsi terhadap ancaman simbolik adalah bagaimana ‘cara hidup’ dari individu/kelompok luar bisa mengancam individu atau kelompoknya.

Beberapa peneliti telah menghubungkan ancaman simbolik secara langsung dengan sikap antar kelompok. Esses, dkk (dalam Stephan & Stephan, 1996) berpendapat ketika nilai-nilai, kebiasaan, atau tradisi


(28)

13

dihalangi oleh kelompok luar (outgroup), individu akan cenderung bersikap negatif terhadap kelompok luar (outgroup).

c. Kecemasan Antar Kelompok (Intergroup Anxiety)

Kecemasan antar kelompok yang melibatkan antisipasi terhadap interaksi antar kelompok yang negatif awalnya awalnya merupakan jenis ancaman yang terpisah. Namun, berdasarkan revisi terakhir menurut Stephan, Ybarra dan Morrison (2009) kecemasan antar kelompok dikelompokkan sebagai sub bagian dari ancaman antar kelompok yang berpusat pada kekhawatiran pada interaksi dengan anggota outgroup. Kekhawatiran ini muncul dari berbagai sumber yang berbeda, termasuk diantaranya kekhawatiran bahwa outgroup akan memanfaatkan ingroup, dan kekhawatiran bahwa outgroup akan mempersepsikan ingroup berprasangka.

Tipe ancaman ini, berorientasi pada emosi, ia muncul dari kekhawatiran pada diri sendiri, baik karena individu takut terhadap konsekuensi perilaku atau psikologis, atau karena mereka takut terhadap evaluasi dari anggota ingroup atau outgroup (Stephan & Stephan, 1985).


(29)

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Ancaman

Berdasarkan Stephan, Ybarra & Morrison (2009), terdapat empat faktor yang dapat mempengaruhi persepsi ancaman

a. Hubungan antar kelompok (Intergroup relation)

Bagaimana hubungan antara kelompok yang satu dengan yang lain bisa mempengaruhi ancaman. Kekuatan kelompok, sejarah konflik, juga besar anggota kelompok merupakan faktor-faktor yang berperan dalam hubungan antar kelompok ini.

b. Dimensi budaya (Cultural dimension)

Dimensi budaya mengacu pada nilai-nilai, standar, peraturan, norma-norma, dan kepercayaan pada satu kelompok dengan kelompok yang lain. ketika perbedaan pada hal-hal tersebut semakin mencolok, maka ancaman yang muncul pada masing-masing kelompok akan semakin meningkat.

c. Faktor situasional (Situational factor)

Faktor-faktor situasional seperti setting dimana interaksi antar kelompok berlangsung, bagaimana interaksi terjadi, juga tingkat dimana norma-norma hadir diantara masing-masing kelompok, tujuan dari interaksi, dan situasi kooperatif atau kompetitif dari interaksi bisa mempengaruhi persepsi ancaman yang terjadi antar kelompok. Bagaimana tingkah laku individu ketika interaksi terjadi mempengaruhi hal ini.


(30)

15

d. Perbedaan individu (Individual differences)

Individu yang kurang memiliki kontak personal dan cenderung asing dengan kelompok luar juga memiliki self esteem yang rendah akan cenderung lebih merasa terancam ketika berinteraksi dengan kelompok luar.

4. Konsekuensi dari ancaman

Intergroup threat bisa menyebabkan munculnya konflik. Hal ini dikarenakan ancaman mempengaruhi perilaku, persepsi, dan emosi. Sebuah ancaman dapat membangkitkan emosi negatif yang kuat termasuk didalamnya rasa takut, marah, benci, frustasi, dan rasa tidak aman. Selain itu, persepsi ancaman bisa mengurangi rasa empati pada anggota dari kelompok luar. Stephan, Ybarra dan Morrison (2009) membagi respon individu terhadap ancaman menjadi tiga, yaitu:

a. Respon Kognitif (Cognitive response)

Respon kognitif terhadap ancaman mencakup perubahan persepsi pada kelompok luar, seperti perubahan dalam stereotip terhadap kelompok luar. Stereotip ini, seperti stereotip pada umumnya didasarkan pada atribut yang dipercayai oleh individu dimiliki oleh kelompok luar. Stereotip negatif terhadap kelompok luar ini akan meningkat seiring dengan sikap negatif yang dimiliki oleh ingroup terhadap outgroup.


(31)

b. Respon Emosional (Emotional response)

Respon emosional terhadap ancaman kemungkinan akan menjadi negatif. Individu akan menjadi takut, cemas, marah, dan benci. Individu akan menjadi gelisah dan canggung ketika berhadapan dengan kelompok luar karena adanya ketidakpastian tentang bagaimana seharusnya bersikap dihadapan mereka. semakin individu merasa cemas terhadap kelompok luar, semakin ia akan mengantisipasi reaksi negatif dari kelompok luar. Kecemasan emosional bahkan bisa terjadi ketika individu salah memprediksi respon kelompok luar. c. Respon perilaku (Behavioral response)

Respon perilaku yang muncul sebagai akibat dari ancaman berkisar dari menarik diri, diskriminasi, berbohong, menipu, mencuri, mengganggu, dan berbagai respon konflik lainnya. Reaksi behavioral yang muncul secara garis besar berorientasi kepada mendekati (approach) sumber ancaman (agresi) atau menghindari (avoidance) sumber ancaman.


(32)

17

B. PERILAKU MENGHINDAR

1. Definisi perilaku menghindar

Perilaku menghindar secara sederhana bisa diartikan sebagai sebuah perilaku dimana individu mengabaikan sebuah situasi dan kontak terhadap objek perilaku yang bisa memunculkan konflik (Leung, Brew, Zhang & Zhang, 2011). Perilaku menghindar adalah salah satu strategi menghadapi konflik, dimana individu menarik diri, memilih meninggalkan situasi konflik, baik secara fisik mapun psikologis (Pruitt & Robin, 2004).

Perilaku menghindar memiliki 3 bentuk, diantaranya adalah avoidance (perilaku menghindar yang melibatkan penghindaran secara keseluruhan dari suatu situasi yang mengancam), escape (perilaku menghindar yang meliputi meninggalkan situasi khusus yang mengancam), dan partial avoidance (perilaku menghindar yang digunakan dimana individu membatasi diri ketika melakukan atau menghadapi situasi yang mengancam).

2. Perilaku menghindar sebagai strategi menghadapi konflik

Deutsch (1973 dalam Roloff & Ifert, 2000) berpendapat bahwa konflik muncul ketika terdapat situasi yang bertentangan. Sebuah konflik melibatkan stimulus yang tidak diinginkan dan/atau tidak pantas. Dalam beberapa situasi, sebuah konflik seringkali tidak dihadapi secara langsung untuk menghindari munculnya perselisihan atau pertengkaran. Hal ini


(33)

seseorang mencoba untuk mencegah munculnya tindakan yang bisa menimbulkan sebuah masalah.

Budaya menunjukkan perbedaan cara dalam menghadapi perselisihan, dan penelitian menunjukkan bahwa orang asia akan cenderung menggunakan perilaku menghindar dalam menghadapi masalah. Sejalan dengan hal ini, Tjosvold dan Sun (2002) menemukan bahwa menghindari masalah dipersepsikan mampu melindungi hubungan interpersonal antara dua pihak yang bermasalah dan mengurangi terjadinya konflik diantara mereka.

C. SUKU MELAYU

Suku melayu merupakan etnis yang termasuk ke dalam rumpun ras austronesia. Suku melayu bermukim di sebagian besar Malaysia, pesisir timur Sumatera, sekeliling pesisir Kalimantan, Thailand Selatan, Mindanao, Myanmar Selatan, serta pulau-pulau kecil yang terbentang sepanjang Selat Malaka dan Selat Karimata. Di Indonesia, jumlah suku melayu berkisar sebanyak 3,4% dari seluruh populasi, yang sebagian besar mendiami propinsi Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Kalimantan Barat (Irdasyamsi, 2012).

Di Indonesia, yang dimaksud dengan suku bangsa melayu adalah yang mempunyai etika, tingkah laku, dan adat istiadat Melayu. Ketika Islam mulai menyebar didaerah Sumatera dan Semenanjung Melaka, keyakinan dan


(34)

19

ketaatan terhadap agama Islam menjadi salah satu ciri khas dari Orang Melayu (Irdasyamsi, 2012).

Imperium melayu adalah penyambung warisan Sriwijaya. Kedatangan Sriwijaya yang mula-mula sejak tahun 517-683 dibawah kekuasaan melayu, yang meliputi daerah Sumatera Tengan dan Selatan. Sriwijaya Syailendra bermula dari akhir abad ke-7 dan berakhir pada akhir abad ke-12. Kemaharajaan melayu dimulai dari Kerajaan Bintan-Tumasik pada abad 12-13 M dan kemudian memasukii periode Melayu Riau yaitu zaman Melaka pada abad 14-15 M, Zaman Johor-Kampar pada abad 16-17 M, dan Zaman Riau-Lingga pada abad 18-19 M (Wikipedia, 2013).

Bahasa melayu Riau mempunyai sejarah yang panjang. Bahasa yang menjadi dasar bahasa nasional di Indonesia ini sudah menjadi bahasa pengantar di berbagai kepulauan di Nusantara sejak Zaman Kerajaan Sriwijaya. Bahasa melayu, ketika terjadi perubahan kekuasaan kerajaan mendapat predikat yang berbeda pula sesuai dengan nama pusat kerajaan Melayu pada saat itu. Karena itu, bahasa melayu zaman Melaka terkenal dengan Melayu Melaka, bahasa melayu zaman Johor-Kampar terkenal dengan Melayu Johor dan bahasa Melayu Zaman Riau-Lingga hingga saat ini dikenal dengan bahasa Melayu Riau (Irdasyamsi (2012).


(35)

D. SUKU LAUT

Suku Laut atau sering juga disebut Orang Laut adalah suku bangsa yang menghuni Kepulauan Riau, Indonesia. Orang Suku Laut merupakan kelompok etnik berkarakter pengembara yang hidup dan menetap di perairan di beberapa pulau dalam wilayah Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Suku bangsa ini merupakan satu varian dari berbagai macam kelompok suku Laut yang bermukim di Asia Tenggara. Keberadaan mereka di Provinsi Riau menurut Chou (2003) tersebar di Pulau Bertam, Pulau Galang, Pulau Mapor, Pulau Mantang, Pulau Barok, dan beberapa pulau lain.

Orang Suku Laut memiliki bermacam penamaan. Penamaan ini muncul dari para peneliti ilmu sosial, masyarakat setempat (orang Melayu), maupun dari diri mereka sendiri. Di Indonesia, suku bangsa ini biasa dikenal sebagai ‘Orang Laut’ (sea people) atau ‘Suku Sampan’ (boat tribe/sampan tribe). Sedangkan dalam berbagai literatur berbahasa Inggris—biasanya dalam karya etnografi maupun ilmu sosial lain yang menaruh perhatian terhadap masyarakat kesukuan yang berdomisili di pesisir maupun kepulauan di kawasan Asia Tenggara, kita dapat temukan beberapa macam sebutan untuk suku bangsa ini, seperti ‘sea nomads’, ‘sea folk’, ‘sea hunters and gatherers’, ‘sea forager’, ‘sea gypsies’, dan ada yang menyebutnya sebagai ‘masyarakat laut’ (people of the sea) (Chou, 2003).

Meskipun terdapat beragam sebutan, oleh sebagian besar orang Melayu Riau daratan dan kepulauan, mereka dikenal dalam percakapan sehari-hari sebagai Orang Laut’ (Chou, 2003). Istilah Orang Laut yang disepakati Orang


(36)

21

Melayu ini bukan hanya berlaku bagi Orang Suku Laut sebagai masyarakat ‘pengembara’ lautan (sea nomads), melainkan juga diberikan kepada masyarakat yang tinggal di sepanjang garis atau pesisir pantai yang ada di Kepulauan Riau yang mana mereka ini memang awalnya merupakan bagian dari Suku Laut. Lenhart mencatat bahwa penamaan terhadap mereka ini juga didasari atas lokasi di mana kelompok kerabat (klan) Orang Laut berdomisili, seperti misalnya Orang Laut yang tinggal di Pulau Bertam lantas bernama Suku Bertam. Begitu juga dengan Orang Laut yang menetap di Pulau Galang, Pulau Mapor, Pulau Mantang disebut Orang Galang, Orang Mapor, Orang Mantang, dan seterusnya (Lenhart, 1997).

Asal-usul kedatangan Orang Suku Laut di Kepulauan Riau diperkirakan sekitar tahun 2500—1500 SM sebagai bangsa proto Melayu (Melayu tua) dan kemudian menyebar ke Sumatra melalui Semenanjung Malaka. Pasca-1500 SM terjadi arus besar migrasi bangsa deutro Melayu yang mengakibatkan terdesaknya bangsa proto Melayu ke wilayah pantai (daratan pesisir). Kelompok yang terdesak inilah yang kini dikenal sebagai Orang Suku Laut (Lenhart, 1997).

Ketika tanah Melayu diperintah oleh Kesultanan Riau-Lingga sekitar abad ke-18, Orang Suku Laut dilukiskan sebagai sekumpulan kelompok sukubangsa atau klan yang dibedakan berdasarkan teritori domisili mereka. Masing-masing klan ini terdiri dari berbagai nama, seperti Suku Tambus,


(37)

Ketika para klan itu bersatu, mereka disebut sebagai “orang kerahan” yang mengabdi kepada sultan untuk menjaga wilayah perairan kesultanan, berperang, serta menyediakan kebutuhan-kebutuhan laut bagi kesultanan. Selain suplai kebutuhan kerabat sultan, komoditas laut ini juga merupakan produk ekspor utama, terutama negeri Cina sebagai importir utamanya (Chou, 2003). Dari hubungan historis yang demikian, Orang Suku Laut saat ini memandang orang Melayu adalah kaum aristokrat dan pedagang.

sejarah Orang Suku Laut di kawasan Kepulauan Riau ini terbagi ke dalam lima periode kekuasaan, yakni masa Batin (kepala klan), Kesultanan Melaka-Johor dan Riau-Lingga, Belanda (1911-1942), Jepang (1942-1945), dan Republik Indonesia (1949 sampai sekarang) (Chou, 2003).

E. PERAN PERSEPSI ANCAMAN TERHADAP PERILAKU

MENGHINDAR PADA SUKU LAUT YANG DILAKUKAN OLEH SUKU MELAYU DI KEPULAUAN RIAU

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Didalamnya hidup berbagai macam suku adat dan budaya yang berbeda. Salah satunya adalah suku laut yang hidup disekitar perairan Kepulauan Riau.

Suku laut merupakan orang-orang yang mengandalkan laut sebagai sumber nafkah mereka. Kebanyakan dari mereka hidup dan berbudaya selama berabad-abad diatas lautan (Chou, 2003). Suku laut dulunya merupakan salah satu bagian dari kebudayaan melayu (Andaya, 2008). Sebagaimana halnya suku melayu, suku laut merupakan salah satu suku asli yang mendiami


(38)

23

Kepulauan Riau. Namun, hal ini tidak membuat suku laut dan Melayu lepas dari masalah isu etnisitas antar suku.

Masalah etnisitas di Indonesia tampak pada relasi antar etnis dalam kehidupan sehari-hari maupun antara kelompok minoritas dan mayoritas di wilayah tertentu. Pada relasi antar etnis suku laut dan suku melayu, penyebab utama isu etnisitas antar kelompok ini lebih mengacu pada perbedaan yang sangat mencolok pada kepercayaan dan cara hidup antara suku laut dan suku melayu. Masyarakat melayu yang secara historis maupun secara sosiologis memiliki nilai adat yang sangat lekat dengan warna islami memiliki kepercayaan yang sangat bertolak belakang dengan kepercayaan suku laut yang sebagian besar masih menganut kepercayaan animisme-shamanisme (Chou, 2003). Perbedaan kepercayaan inilah yang kemudian membentuk kesadaran diantara orang melayu dan orang laut untuk membagi dunia sosial mereka menjadi dua kategori yang jelas yaitu ‘orang kita’ (kita/insider) dan ‘orang lain’ (mereka/outsider), yang kemudian mempengaruhi pola-pola relasi diantara mereka sendiri (Chou, 2003).

Tajfel dan kolega (Tajfel, 1969; Tajfel dkk., 1971 dalam Withley & Kite, 2010) mengemukakan bahwa ketika individu mengidentifikasikan dirinya sebagai ingroup dan melihat orang lain sebagai bagian dari outgroup, mereka melihat anggota dalam ingroup lebih positif dibandingkan dengan outgroup. Proses kategorisasi ini berakibat pada munculnya perspektif ‘us vs them’ dan


(39)

Ketika perasaan kompetisi muncul, seseorang mengembangkan rasa curiga dan kecemasan terhadap orang yang asing sebagai cara untuk melindungi diri dan kelompoknya dari kemungkinan bahaya yang ditimbulkan dari luar. Kebutuhan akan keselamatan kelompok dan ketakutan pada kehancuran kelompok dirasakan sebagai ketakutan personal. Akibatnya, individu cenderung memperlakukan ingroup dengan lebih baik dan menampilkan rasa permusuhan kepada outgroup. Outgroup diperlakukan secara bermusuhan bukan karena mereka anggota dari kelompok luar, tapi lebih karena kelompok tersebut memiliki ancaman tertentu terhadap ingroup (Tajfel & Turner, 1986 dalam Stephan, Ybara & Morrison, 2009; Withley & Kite, 2010).

Stephan dan Stephan (1996) berpendapat bahwa threat (ancaman) merupakan salah satu penyebab konflik yang muncul dalam kaitannya dengan hubungan antar kelompok. Kelompok luar yang mempunyai kekuatan untuk merugikan atau berbuat jahat kepada anggota kelompok dari individu adalah ancaman bagi kelompok (Stephan, Ybara & Morrison, 2009).

Dalam hubungannya dengan konteks intergroup threat theory, intergroup threat dialami ketika anggota dari kelompok dirugikan oleh kelompok luar. Intergroup threat terjadi ketika tindakan, kepercayaan, atau karakteristik dari outgroup menentang tujuan atau keselamatan dari ingroup. Ancaman ini bisa berbentuk realistik ataupun simbolik (Riek dkk, 2010; Stephan, Ybara & morrison, 2009). Ancaman realistik adalah ancaman yang berhubungan dengan fisik atau material yang nyata dan membahayakan individu seperti rasa sakit, siksaan, atau kematian. Sementara ancaman simbolik adalah ancaman


(40)

25

yang berhubungan dengan agama, nilai-nilai, kepercayaan, ideologi, falsafah, moralitas, juga identitas sosial dan harga diri dari individu atau kelompok. Selain ancaman realistik dan simbolik, persepsi ancaman bisa berbentuk kecemasan. Kecemasan antar kelompok (intergroup anxiety), adalah ancaman yang berpusat pada perasaan cemas atau gelisah ketika individu berinteraksi dengan outgroup.

Bagi suku melayu, ketakutan terbesar dalam hidup mereka adalah terkena ilmu hitam dan mengikuti kepercayaan dan gaya hidup suku laut. Hal ini disebabkan karena berdasarkan hierarki kehidupan masyarakat melayu, suku laut merupakan suku dengan hierarki terendah dari struktur sosial-politik masyarakat melayu (Chou, 2003). Menurut Chou (2003) dan Lenhart (1997), bagi suku melayu, orang suku laut diposisikan di hierarki terendah dari rangking atau derajat sosial dalam ‘dunia melayu’. Hal ini disebabkan karena mereka dianggap bukanlah bagian dari apa yang disebut kaum aristokrat melayu sebagai ‘umat’ karena tidak menjalankan adat melayu, tidak memeluk agama islam, serta berpenampilan seperti lazimnya orang melayu.

Sebuah ancaman (threat) bisa menyebabkan munculnya konflik. Hal ini dikarenakan ancaman mempengaruhi perilaku, persepsi, dan emosi. Konflik adalah persepsi dan/atau ketidaksesuaian yang nyata dalam nilai, harapan, proses, atau hasil dari dua pihak atau lebih pada masalah (Han, 2008). Sebuah konflik melibatkan stimulus yang tidak diinginkan dan/atau tidak pantas.


(41)

lintas budaya. Dalam budaya barat seperti amerika, nilai keterbukaan dalam menghadapi konflik sangat di hargai. Konsep keterbukaan ini termanisfestasi dalam berbagai perilaku seperti diskusi terbuka, dan konfrontasi langsung sebagai cara yang efektif untuk menghadapi konflik. Sebaliknya, menghindar sebagai upaya untuk menghadapi konflik dianggap sebagai strategi yang berguna dalam menghadapi konflik pada banyak negara di asia (Morris, Williams, Leung, dkk 1998, Tjosvold & Sun; Han, 2008). Hal ini dikarenakan pada masyarakat yang bersifat kolektif seperti Indonesia, menghindari masalah dipersepsikan mampu melindungi hubungan interpersonal antara dua pihak yang bermasalah dan mengurangi terjadinya konflik diantara mereka.

F. HIPOTESIS PENELITIAN

Hipotesa penelitian yang akan diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa ‘terdapat peran pada persepsi ancaman terhadap perilaku menghindar pada suku laut yang dilakukan oleh suku melayu di kepulauan riau’.


(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan unsur penting dalam sebuah penelitian ilmiah sehingga metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah hasil penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan (Hadi, 2000).

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Berikut adalah variabel yang digunakan dalam penelitian ini: 1. Variabel tergantung : Perilaku menghindar

2. Variabel bebas : Persepsi ancaman

B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN

Definisi operasional variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Perilaku menghindar

Perilaku menghindar adalah sebuah tingkah laku dimana seseorang menolak atau menjauhi sebuah situasi yang tidak menyenangkan atau mengancam. Perilaku menghindar diukur dengan menggunakan menggunakan kuesioner yang diadaptasi dari penelitian yang dilakukan oleh Neumann, Hulsenbeck, Seibt (2003) yang mengukur perilaku


(43)

yang dilakukan oleh individu. Semakin tinggi total skor pada skala perilaku menghindar maka semakin tinggi pula perilaku menghindar yang dilakukan oleh individu, begitu juga sebaliknya.

2. Persepsi ancaman

Persepsi ancaman adalah persepsi dimana individu berfikir bahwa diri mereka berada terancam. Terdapat tiga tipe ancaman yang akan diukur dalam penelitian ini, yaitu kecemasan antar kelompok, ancaman simbolik, dan ancaman realistik. Persepsi ancaman dapat diukur dengan menggunakan tiga buah skala oleh Stephan & Stephan (2000) yang dikembangkan uktuk mengukur tiga tipe persepsi ancaman. Total skor yang dihasilkan skala persepsi ancaman menunjukkan sejauh mana individu mempersepsikan ancaman yang ditimbulkan oleh outgroup terhadap ingroup. Semakin tinggi total skor pada skala persepsi ancaman, maka akan semakin tinggi juga ancaman yang dirasakan oleh individu, begitu juga sebaliknya.

C. POPULASI, SAMPEL, DAN TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan individu yang akan diselidiki dan mempunyai minimal satu sifat yang sama atau ciri–ciri yang sama dan untuk siapa kenyataan yang diperoleh dari partisipan penelitian hendak digeneralisasikan (Hadi, 2000). Populasi dalam penelitian ini adalah individu yang tinggal di Kepulauan Riau.


(44)

29

2. Sampel dan teknik pengambilan sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi atau sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi dan harus memiliki paling sedikit satu sifat yang sama (Hadi, 2000). Teknik pengambilan sampel adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu agar diperoleh sampel yang bisa mewakili populasi.

Responden dalam penelitian ini diperoleh melalui teknik non probability sampling secara incidental yang berarti setiap anggota populasi tidak mendapat kesempatan yang sama untuk dapat terpilih menjadi anggota sampel. Pemilihan sampel dari populasi didasarkan pada faktor kebetulan dan kemudahan dijumpainya sampel yang sesuai dengan karakteristik tertentu (Hadi, 2000).

3. Jumlah sampel penelitian

Jumlah sampel yang cukup besar diperlukan untuk analisa multivariat. Sampel yang besar diperlukan karena korelasi yang digunakan untuk menghitung analisa statistik ini tidak akan stabil jika menggunakan sampel yang sedikit. Tabachnick & Fidell (dalam Bordens & Abott, 2005) mengajukan rumus untuk menghitung besar sampel yang diperlukan untuk penelitian model ini, yaitu: N≥50+8m. Dimana m adalah jumlah dari variabel bebas yang digunakan dalam penelitian. Berdasarkan hal ini,


(45)

yang digunakan dalam penelitian ini adalah 107 orang yang dilakukan pada masyarakat suku melayu dengan rentang usia 18-45 tahun.

D. VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT UKUR

Salah satu masalah utama dalam kegiatan penelitian sosial khususnya Psikologi adalah cara memperoleh data yang akurat dan objektif. Hal ini menjadi sangat penting, artinya kesimpulan penelitian hanya akan dapat dipercaya apabila didasarkan pada info yang juga dapat dipercaya (Azwar, 2001). Dengan memperhatikan kondisi ini, tampak bahwa alat pengumpulan data memiliki peranan penting. Baik atau tidaknya suatu alat pengumpulan data dalam mengungkap kondisi yang ingin diukur tergantung pada validitas dan reliabilitas alat ukur yang akan digunakan.

1. Validitas alat ukur

Pengujian validitas diperlukan untuk mengetahui apakah skala pada penelitian ini mampu menghasilkan data akurat sesuai dengan tujuan ukurnya. Validitas alat ukur yang dipakai dalam penelitian ini adalah validitas isi yaitu validitas yang menunjukkan sejauh mana aitem dalam skala mencakup keseluruhan isi yang hendak diungkap oleh tes tersebut. Hal ini berarti isi alat ukur tersebut harus komprehensif dan memuat isi yang relevan serta tidak keluar dari batasan alat ukur (Azwar, 2000). Validitas isi memiliki dua tipe yaitu validitas tampang dan validitas logik.


(46)

31

a. Validitas tampang

Validitas tampang adalah tipe validitas yang paling rendah signifikansinya karena hanya didasarkan pada penilaian pada format penampilan tes. Apabila penampilan tes telah meyakinkan dan memberikan kesan mampu mengungkap apa yang hendak diukur maka dapat dikatakan bahwa validitas tampang telah terpenuhi. Tes yang memiliki validitas tampang yang tinggi akan memancing motivasi individu yang dites untuk menghadapi tes tersebut dengan sungguh-sungguh (Azwar, 2000).

b. Validitas logik

Validitas logik disebut juga validitas sampling. Validitas tipe ini menunjuk pada sejauhmana isi tes merupakan representasi dari ciri-ciri atribut yang hendak diukur. Untuk memperoleh validitas logik yang tinggi, suatu tes harus dirancang sedemikian rupa sehingga benar-benar berisi aitem yang relevan dan perlu menjadi bagian tes secara keseluruhan. Suatu objek ukur yang yang hendak diungkap oleh tes haruslah dibatasi lebih dahulu kawasan perilakunya secara seksama dan konkret. Batas-batas perilaku yang kurang jelas akan menyebabkan terikutnya aitem-aitem yang tidak relevan dan tertinggalnya bagian penting dari tes yang bersangkutan (Azwar,2000). Penilaian validitas isi tergantung pada penilaian subjektif


(47)

melalui professional judgement (Azwar, 2004). Dalam penelitian ini, peneliti meminta professional judgement yaitu dosen pembimbing peneliti.

2. Uji reliabilitas

Reliabilitas sebenarnya mengacu kepada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur yang mengandung makna kecermatan pengukuran. Reliabilitas ini ditunjukkan oleh konsistensi skor yang diperoleh partisipan dengan memakai alat yang sama (Suryabrata, 2000).

Uji reliabilitas alat ukur menggunakan pendekatan konsistensi internal dengan prosedur hanya memerlukan satu kali penggunaan tes kepada sekelompok individu sebagai partisipan penelitian. Pendekatan ini dipandang ekonomis, praktis dan berefisiensi tinggi (Azwar, 2000). Teknik yang digunakan adalah teknik reliabilitas Alpha dari Cronbach.

Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxx’) yang angkanya berada dalam rentang dari 0 sampai dengan 1,00. Semakin tinggi koefisien reliabilitas mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi reliabilitasnya. Sebaliknya koefisien yang semakin rendah mendekati angka 0 berarti semakin rendahnya reliabilitas.

Tabel 1. Hasil Uji Reliabilitas Alat Ukur

Alat Ukur Koefisien Alpha

Perilaku Menghindar .901

Kecemasan Antar Kelompok .876

Ancaman Simbolik .734


(48)

33

E. PROSEDUR PENELITIAN

Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari 3 tahap. Ketiga tahap tersebut adalah tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap pengolahan data.

1. Tahap Persiapan

Pada tahapan ini, peneliti mempersiapkan dan menyusun alat ukur yang akan digunakan untuk mengukur variabel yang akan diteliti yaitu variabel perilaku menghindar dan variabel persepsi ancaman. Alat ukur yang kemudian akan digunakan terlebih dahulu dimodifikasi aitem-aitemnya agar sesuai dengan konteks yang akan diukur. Setelah dimodifikasi, aitem-aitem tersebut kemudian dianalisa dan dinilai bersama-sama dengan dosen pembimbing.

2. Tahap Pelaksanaan

Pelaksanaan penelitian dimulai dengan pengambilan data dengan memberikan alat ukur berupa skala perilaku menghindar, skala kecemasan antar kelompok, skala ancaman simbolik, dan skala ancaman realistik pada 107 orang partisipan penelitian yang dipilih secara incidental dan sesuai dengan karakteristik sampel untuk penelitian.

3. Tahap Analisa Data

Tahap analisa data ini menccakup pengecekan data, penomoran, input skoring, dan pengolahan data yang dilakukan secara komputerisasi dengan bantuan program SPSS version 16.0 for windows.


(49)

F. METODE ANALISIS DATA

Teknik statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian adalah dengan menggunakan analisis statistik deskriptif dan teknik analisa multiple regresi linier. Analisis deskriptif bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai partisipan penelitian berdasarkan data yang diperoleh dari kelompok partisipan yang diteliti (Azwar, 2009). Sementara itu, teknik analisa regresi bertujuan untuk membuat suatu deduksi logis tentang suatu konsep yang tidak dapat diobservasi secara langsung (Kapplan, 2001). Selain itu, analisis regresi berguna untuk membuat prediksi tentang nilai suatu variabel dari nilai variabel lain yang diketahui. Prediksi diperoleh melalui garis regresi yaitu membuat persamaan garis lurus untuk mengumpulkan titik pada diagram pancar (Kapplan, 2001).

Multiple linier regresi atau yang lebih dikenal dengan regresi linier ganda merupakan perluasan dari regresi linier sederhana. Pada penelitian yang bertujuan untuk melihat bentuk hubungan antar variabel dengan menggunakan lebih dari satu variabel bebas dan satu variabel terikat, maka teknik analisa yang akan digunakan adalah teknik multiple regresi (Aron & Aron, 2003). Namun, sebelum menguji hipotesis dengan menggunakan statistika parametrik, uji asumsi terlebih dahulu hasrus dilakukan.


(50)

35

Uji asumsi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah uji normalitas, uji linieritas, dan uji multikolinieritas.

1. Uji normalitas

Uji normalitas sebaran dimaksudkan untuk menguji apakah data yang dianalisis sudah terdistribusi sesuai dengan prinsip–prinsip distribusi normal agar dapat digeneralisasikan pada populasi. Uji normalitas sebaran pada penelitian ini dilakukan untuk membuktikan bahwa data semua variabel yang berupa skor–skor yang diperoleh dari hasil penelitian tersebar sesuai dengan kaidah normal. Kaidah normal yang digunakan adalah jika p ≥ 0,05 maka sebarannya dinyatakan normal dan sebaliknya jika p < 0,05 maka sebarannya dinyatakan tidak normal (Hadi, 2000)

2. Uji Linieritas

Uji linieritas dilakukan untuk mengetahui status linier tidaknya suatu distribusi data penelitian. Uji linieritas dilakukan dengan menggunakan korelasi pearson product moment. Korelasi pearson merupakan formula untuk mengetahui apakah data yang diujikan memiliki hubungan yang linier (Field, 2009).


(51)

3. Uji multikolinieritas

Multikolinieritas terjadi ketika variabel-variabel independen yang satu dengan yang lainnya mempunyai korelasi yang tinggi. Korelasi yang tinggi antar variabel independen berarti kedua variabel mengukur hal yang sama dan salah satu dari variabel tersebut sangat disarankan untuk dihilangkan dari alat ukur (Bordens & Abbot, 2005). Multikolinieritas dapat dilihat dari nilai r, jika r < 0.8 maka tidak terjadi multikolinieritas. Selain itu dapat juga diketahui dengan menggunakan VIF (Variance Inflance Factor) atau nilai toleransi. Jika nilai VIF < 10, maka tidak terjadi multikolinieritas.


(52)

37

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi uraian analisa data dan pembahasan yang sesuai dengan hasil data yang diperoleh. Bab ini akan diawali dengan pemberian analisa data pada partisipan penelitian, hasil penelitian, dan pembahasan data penelitian.

A. Analisa Data

1. Gambaran Umum Partisipan Penelitian

Partisipan pada penelitian ini adalah masyarakat suku melayu yang pernah melakukan kontak atau mengetahui keberadaan suku laut. Partisipan penelitian berjumlah 107 orang. Partisipan dalam penelitian ini terdiri dari 60 orang partisipan yang berjenis kelamin laki-laki dan 47 orang partisipan yang berjenis kelamin perempuan. Rentang usia yang dimiliki oleh partisipan penelitian bisa digambarkan dalam tiga rentang usia yaitu 18-22 tahun (18 orang), 23-35 tahun (53 orang), dan 36-45 tahun (36 orang).

2. Deskripsi data penelitian

Deskripsi data penelitian ditujukan untuk memperoleh gambaran mengenai perilaku menghindar dan persepsi ancaman berupa kecemasan antar kelompok, ancaman simbolik, dan acaman realistik pada partisipan-partisian penelitian. Data penelitian dapat dikategorikan berdasarkan mean hipotetik dan mean empirik. Mean hipotetik untuk melihat posisi relatif


(53)

dari subyek penelitian. Hasil perhitungan mean empirik dan mean hipotetik dapat dilihat pada tabel 4 dibawah ini

Tabel 2. Perbandingan skor empirik dan hipotetik

Variabel Skor empirik Skor Hipotetik

Min Maks Mean SD Min Maks Mean SD

Avoidance 15 76 39.29 13.87 15 90 52.5 12,5

Intergroup Anxiety 13 53 31.45 9.03 10 60 35 8,3

Symbolic Threat 11 46 31.68 6.91 8 48 28 5

Realistic Threat 18 50 34.12 7.71 9 54 31.5 7.5

Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa perilaku menghindar dan kecemasan antar kelompok memiliki mean empirik yang lebih kecil dari pada mean hipotetik. Melalui analisa one sample T-Test, diperoleh bahwa partisipan mempunyai perilaku menghindar (t=29.30, p=0.00) dan kecemasan antar kelompok (t=36.01, p=0.00) yang lebih rendah dari norma pada alat ukur. Hasil ini memperlihatkan bahwa suku melayu kurang memiliki kecenderungan untuk melakukan perilaku menghindar dan memiliki kecemasan yang rendah terhadap suku laut.

Sementara itu, ancaman simbolik dan ancaman realistik memiliki mean empirik yang lebih besar dari pada mean hipotetik dengan selisih. Analisa one sample T-Test menunjukkan bahwa partisipan memiliki ancaman simbolik (t=47.37, p=0.00) dan ancaman realistik (t=45.23) yang lebih tinggi dari norma pada alat ukur. Hasil ini memperlihatkan bahwa suku melayu memiliki kecenderungan untuk memandang keberadaan suku laut sebagai ancaman bagi keselamatan individu (ancaman realistik) dan norma-norma serta nilai-nilai pada suku melayu (ancaman simbolik).


(54)

39

B. Hasil Penelitian

Berikut ini adalah paparan hasil penelitian yang meliputi uji asumsi penelitian, dan hasil utama penelitian peran persepsi ancaman terhadap perilaku menghindari suku laut.

1. Hasil Uji Asumsi

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisa regresi. Namun, sebelum menguji hipotesis dengan menggunakan statistika parametrik, ada beberapa syarat yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan analisa data yaitu pengujian asumsi (Hadi, 2000). Uji asumsi yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu uji normalitas, uji linieritas, dan uji multikolinieritas. Uji asumsi ini dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS version 16.0 for windows.

a. Uji Normalitas

Uji normalitas variabel–variabel penelitian dilakukan dengan menggunakan metode statistik Kolmogorov-Smirnov test. Menurut Hadi (2000), data akan berdistribusi normal jika nilai signifikansi atau nilai probabilitas (p)>0,05. Sebaliknya, jika nilai signifikansi atau nilai probabilitas (p)<0,05 maka data penelitian tidak terdistribusi normal. Hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel 5 dibawah ini.


(55)

Variabel Z Sig (p)

1 Avoidance .959 .316

2 Intergroup Anxiety .836 .487

3 Symbolic Threat 1.189 .118

4 Realistic Threat .844 .474

Dari tabel diatas terlihat bahwa nilai Kolmogorov-Smirnov Z yang diperoleh dari masing-masing variabel yaitu variabel avoidance adalah sebesar 0,959 dengan nilai signifikansi (p) sebesar 0.316; variabel intergroup anxiety sebesar 0.836 dengan nilai signifikansi (p) sebesar 0.487; variabel symbolic threat sebesar 1.189 dengan nilai signifikansi (p) sebesar 0.118; dan variabel realistic threat dengan nilai signifikansi sebesar 0.844 dengan nilai signifikansi (p) sebesar 0.474. Dari hasil analisa data terlihat bahwa masing-masing variabel memiliki nilai signifikansi (p)> 0.05, yang berarti bahwa data dari masing-masing variabel terdistribusi secara normal.

Disamping menggunakan uji Kolmogorov-smirnov, analisis kenormalan data ini juga didukung dengan plot of regression standarized residual. Hasil uji normalitas dalam penelitian bisa dilihat pada gambar berikut ini:


(56)

41

Grafik P-P Plot diatas memperlihatkan titik-titik menyebar disekitar garis diagonal yang berarti bahwa regresi berdistribusi normal.

b. Uji Linieritas

Uji linieritas dilakukan untuk mengetahui apakah regresi bersifat linier atau tidak. Uji linieritas pada penelitian ini menggunakan formula pearson product moment. Hasil uji linieritas pada masing-masing variabel dapat dilihat pada tabel 4 dibawah ini:


(57)

Avoidance 0,773* 0,462* 0,530*

Anxiety 0,432* 0,540*

Symbolic 0,736*

* Korelasi signifikan di level 0,01

Tabel 6 diatas menunjukkan hubungan linieritas antar variabel yang memperlihatkan bahwa masing-masing variabel berhubungan dimana setiap perubahan yang terjadi pada satu variabel akan diikuti dengan perubahan pada variabel yang lainnya.

c. Uji multikolinieritas

Uji multikolinieritas dilakukan untuk melihat korelasi antar variabel independen. Uji multikolinieritas dilakukan terhadap variabel independen dengan menggunakan analisa pearson product moment dan menggunakan uji VIF (Variance Inflance Factor). Hasil uji VIF dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 5. Multikolinieritas hubungan antar variabel

Variabel Korelasi VIF

1 2 3

1. Intergroup Anxiety 1.000 .432 .540 1.417

2. Symbolic Threat 1.000 .736 2.193

3. Realistic Threat 1.000 2.518

Dari tabel diatas dapat terlihat bahwa nilai koefisien korelasi yang didapat pada variabel intergroup anxiety dan symbolic threat adalah sebesar 0,432; pada variabel intergroup anxiety dan realistic threat adalah sebesar 0,540; dan pada variabel symbolic threat dan realistic threat adalah sebesar 0,736. Nilai koefisien korelasi yang didapat pada masing-masing variabel < 0,8, yang berarti tidak terjadi kolinieritas.


(58)

43

Selain melihat korelasi antar variabel, analisis multikolinertas ini juga dianalisa dengan menggunakah VIF (Variance Inflance Factor). Dari tabel diatas terlihat bahwa nilai VIF yang didapat pada variabel intergroup anxiety adalah sebesar 1.417; pada variabel symbolic threat sebesar 2.193; dan pada variabel realistic threat sebesar 2.518. Nilai VIF yang didapat pada masing-masing variabel < 10, yang berarti bahwa tidak terjadi kolinieritas.

Nilai korelasi (r=0,736) dan VIF yang cukup tinggi antara symbolic threat dan realistic threat cukup mengkhawatirkan peneliti karena hal ini bisa menimbulkan munculnya masalah pada kolinieritas. Namun, hal ini telah diduga sebelumnya karena pengukuran realistic dan symbolic threat pada penelitian Stephan & stephan (2000) juga menunjukkan hubungan yang sangat tinggi.


(59)

Pada hasil uji normalitas data diatas, diperoleh bahwa data pada masing-masing variabel penelitian terdistribusi secara normal sehingga uji hipotesis menggunakan parametrik bisa terpenuhi. Pengujian hipotesis data penelitian dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi, taraf signifikansi, koefisien determinasi dan analisis regresi linier berganda.

Untuk mengetahui derajat pengaruh antara variabel-variabel pada persepsi ancaman terhadap variabel perilaku menghindar digunakan analisis koefisien korelasi dengan menggunakan analisa korelasi Product Moment Pearson. Perhitungan koefisien korelasi dilakukan dengan bantuan program SPSS 16.0.

Berdasarkan hasil perhitungan, didapat nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0.788 dengan p=0,000. Hipotesis nol dalam penelitian ini yaitu tidak ada peran persepsi ancaman terhadap perilaku menghindar. Kriteria penolakan Ho adalah jika p<α=0,05. Berdasarkan hasil perhitungan didapat nilai p(0,000), karena p(0,000) < α(0,05) maka Ho ditolak. Dapat disimpulkan bahwa persepsi ancaman memunyai peran terhadap perilaku menghindar.

Setelah diketahui adanya korelasi dan signifikansi antara variabel-variabel bebas dan variabel-variabel tergantung, selanjutnya digunakan analisis regresi. Metode yang digunakan dalam pemilihan variabel adalah metode enter. Semua variabel independen dimasukkan secara serentak tanpa melewati kriteria kemaknaan statistik untuk masuk kedalam model,


(60)

45

sampai semua variabel yang memenuhi kriteria masuk. Pengolahan data penelitian diperoleh dengan menggunakan bantuan program komputer SPSS version 16.0 for windows. Hasil analisa regresi dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 6. Hasil Analisis Regresi

R R Square Adjusted R

Square

Std. Error of

the Estimate F Sig

.788 .620 .609 .57816 56.064 .000

Nilai R pada tabel menunjukkan besarnya hubungan antara variabel persepsi ancaman terhadap variabel perilaku menghindar yaitu sebesar 0.788 dengan tingkat signifikansi koefisien korelasi (p) = 0.000. jika nilai p < 0.05 maka hubungan antara variabel signifikan.Dari hasil analisis dapat dilihat bahwa hubungan antara persepsi ancaman dengan perilaku menghindar sangat signifikan. Dari hasil korelasi Pearson, diketahui arah hubungannya adalah positif yang menunjukkan semakin tinggi persepsi ancaman, maka semakin tinggi pula perilaku menghindar pada subyek penelitian dan begitu pula sebaliknya.

Nilai R-square (koefisien determinasi) digunakan untuk menjelaskan seberapa besar persepsi ancaman mempengaruhi perilaku menghindar. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh hasil R Square sebesar 0,620 atau 62% yang berarti bahwa persepsi ancaman memberikan pengaruh sebesar 62% terhadap perilaku menghindar, sedangkan 38% persen sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain.


(61)

tersebut dapat dipakai untuk memprediksi terbentuknya variabel tergantung. Nilai F yang diperoleh adalah 56.064 dengan tingkat signifikansi (p)=0.000. nilai tersebut sangat signifikan, sehingga model regresi yang diperoleh dapat dipakai untuk memprediksi perilaku menghindar.

Untuk mengetahui apakah bentuk korelasi variabel-variabel persepsi ancaman dan perilaku menghindar bersifat prediktif atau tidak, maka akan dilakukan analisis koefisien regresi. Hasil perhitungan analisa regresi dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 7. Koefisien regresi Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients Partial Corellation

B Std. Error Beta

Konstan -.361 .284

Intergroup Anxiety .698 .074 .682 .681

Symbolic Threat .112 .096 .105 .114

Realistic Threat .092 .105 .084 .086

Dari tabel diatas persamaan regresi digambarkan untuk mengetahui nilai konstan dan uji hipotesis signifikansi koefisien regresi dengan persamaan sebagai berikut:

Y= a+bx1+bx2+bx3 Dimana:

Y = Avoidance

X1 = Intergroup Anxiety X2 = Symbolic Threat


(62)

47

X3 = Realistic Threat

a = nilai konstan dari unstandarized coefficients sebesar -0.361. b1 = nilai koefisien regresi Intergroup Anxiety sebesar 0.698 b2 = nilai koefisien regresi Symbolic Threat sebesar 0.112 b3 = nilai koefisien regresi Realistic Threat sebesar 0.092 maka persamaan yang diperoleh adalah

Y = -0.361 + 0.698X1 + 0.112X2 + 0.092X3

dari persamaan regresi dapat dilihat bahwa peningkatan satu variabel pada persepsi ancaman akan diikuti dengan peningkatan pada dua variabel lainnya. Nilai a = -0.361 menunjukkan arah garis regresi.

Untuk menentukan variabel yang paling dominan, maka dilihat dari nilai beta yang sudah terstandarisasi. Dari tabel diatas, terlihat bahwa variabel yang paling dominan berhubungan dengan perilaku menghindar adalah variabel intergroup anxiety (kecemasan antar grup). Hal ini menunjukkan bahwa kecemasan antar kelompok adalah variabel yang sangat mempengaruhi perilaku menghindar pada individu.

Selanjutnya, untuk melihat seberapa besar peran masing-masing aspek persepsi ancaman terhadap perilaku menghindar, maka akan dilihat dari korelasi parsial pada variabel perilaku menghindar dan masing-masing variabel dari persepsi ancaman, yaitu variabel kecemasan antar kelompok, ancaman simbolik, dan ancaman realistik. Korelasi parsial pada masing-masing variabel dapat dilihat pada tabel dibawah ini:


(63)

Variabel R R2

avoidance

Intergroup anxiety .681 .464

Symbolic threat .114 .013

Realistic threat .086 .007

Dari tabel diatas, dapat disimpulkan jika variabel ancaman simbolik dan ancaman realistik dikontrol, maka kecemasan antar kelompok akan mempengaruhi perilaku menghindar sebesar 46%; jika variabel kecemasan antar kelompok dan ancaman realistik di kontrol, maka ancaman simbolik mempengaruhi perilaku menghindar sebesar 1,3%; dan jika variabel kecemasan antar kelompok dan ancaman simbolik dikontrol, maka ancaman realistik mempengaruhi perilaku menghindar sebesar 0,7%.

C. Pembahasan

Pembahasan hasil penelitian dimaksudkan untuk memberikan penjelasan terhadap hasil penelitian baik hasil deskriptif maupun hasil pengujian hipotesis. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa variabel-variabel persepsi ancaman memberikan peran yang signifikan terhadap perilaku menghindar. Dengan demikian dapat diyakini bahwa kecemasan antar kelompok, ancaman simbolik, dan ancaman realistik dapat digunakan sebagai prediksi terhadap munculnya perilaku menghindar.

Hasil analisa deskriptif memperlihatkan perbandingan mean empirik dan mean hipotetik yang berbeda pada masing-masing variabel penelitian.


(64)

49

Perilaku menghindar dan kecemasan kelompok memiliki mean empirik yang lebih kecil dari mean hipotetik, sementara ancaman simbolik dan ancaman realistik memiliki mean empirik yang lebih besar dari mean hipotetik. Hal ini menunjukkan bahwa suku melayu memiliki perilaku menghindar dan kecemasan yang rendah terhadap suku laut akan tetapi mereka menganggap bahwa suku laut memiliki ancaman terhadap keselamatan dan norma-norma yang mereka miliki.

Hasil deskripsi penelitian pada ancaman simbolik dan realistik pada penelitian ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lenhart (1997) dan Chou (2003). Namun, tidak begitu halnya dengan deskripsi penelitian mengenai perilaku menghindar dan kecemasan antar kelompok yang bertolak bertolak belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lenhart dan Chou. Lenhart dalam penelitiannya mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, suku melayu memiliki kecenderungan untuk menghindari kontak dengan suku laut. Hal ini disebabkan oleh perbedaan yang sangat mencolok dalam pola hidup dan budaya serta agama yang dimiliki oleh masing-masing suku.

Sementara itu, Chou juga mengatakan bahwa terdapat ketakutan dan kecurigaan yang muncul pada masing-masing suku. Ketakutan dan kecurigaan ini menurut Chou disebabkan karena suku laut dianggap berbahaya, kotor, dan terbelakang yang kemudian juga berakibat pada adanya perilaku menghindar pada suku melayu terhadap suku laut.


(1)

c. Multikolinieritas

Coefficientsa

Model

Collinearity Statistics Tolerance VIF

1 AnxAv .706 1.417

SymbolicAv .456 2.193 RealisticAv .397 2.518 a. Dependent Variable: AvoidanceAv

2. Uji Hipotesa

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N

AvoidanceAv 2.6199 .92477 107

AnxAv 3.1458 .90348 107

SymbolicAv 3.9603 .86476 107

RealisticAv 3.6951 .84504 107

Correlations

AvoidanceAv AnxAv SymbolicAv RealisticAv Pearson Correlation AvoidanceAv 1.000 .773 .462 .530

AnxAv .773 1.000 .432 .540

SymbolicAv .462 .432 1.000 .736

RealisticAv .530 .540 .736 1.000

Sig. (1-tailed) AvoidanceAv . .000 .000 .000

AnxAv .000 . .000 .000

SymbolicAv .000 .000 . .000

RealisticAv .000 .000 .000 .

N AvoidanceAv 107 107 107 107

AnxAv 107 107 107 107

SymbolicAv 107 107 107 107

RealisticAv 107 107 107 107

Variables Entered/Removedb

Model Variables Entered Variables Removed Method 1 RealisticAv, AnxAv, SymbolicAva . Enter a. All requested variables entered.


(2)

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the

Estimate Durbin-Watson

1 .788a .620 .609 .57816 1.991

a. Predictors: (Constant), RealisticAv, AnxAv, SymbolicAv b. Dependent Variable: AvoidanceAv

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 56.221 3 18.740 56.064 .000a

Residual 34.430 103 .334

Total 90.651 106

a. Predictors: (Constant), RealisticAv, AnxAv, SymbolicAv b. Dependent Variable: AvoidanceAv

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) -.361 .284 -1.270 .207

AnxAv .698 .074 .682 9.436 .000

SymbolicAv .112 .096 .105 1.164 .247

RealisticAv .092 .105 .084 .876 .383

a. Dependent Variable: AvoidanceAv Partial Correlation

Avoidance & Intergroup Anxiety

Correlations

Control Variables AvoidanceAv AnxAv

SymbolicAv & RealisticAv AvoidanceAv Correlation 1.000 .681** AnxAv Correlation .681** 1.000 **. Correlation is significant at 0.01 level

Avoidance & Symbolic Threat

Correlations

Control Variables AvoidanceAv SymbolicAv AnxAv & RealisticAv AvoidanceAv Correlation 1.000 .114 SymbolicAv Correlation .114 1.000

Avoidance & Realistic Threat

Correlations

Control Variables AvoidanceAv RealisticAv AnxAv & SymbolicAv AvoidanceAv Correlation 1.000 .086 RealisticAv Correlation .086 1.000


(3)

Lampiran 4

Aitem skala penelitian peran persepsi ancaman terhadap perilaku menghindar

1. Skala Perilaku Menghindar 2. Skala Kecemasan antar kelompok 3. Skala Ancaman Simbolik


(4)

Skala 1: Perilaku Menghindar

Aitem Respon

Sejauh apa pernyataan-pernyataan berikut sesuai dengan diri anda? 1. Saya akan menghindari berjalan di dekat suku orang laut.

2. Saya akan tetap memasuki sebuah tempat yang ingin saya kunjungi walaupun tempat itu penuh dengan suku orang laut*. 3. Ketika ada orang suku orang laut mengajak saya berbicara, saya

akan menanggapinya dengan senang hati*.

4. Saya merasa kurang nyaman ketika berhubungan dengan orang suku laut.

5. Saya sering berpikir bahwa berhubungan dengan suku orang laut itu merepotkan.

6. Sebisa mungkin saya akan menghindar bila bertemu dengan orang suku orang laut.

7. Saya tidak mempunyai kesulitan untuk berkomunikasi orang suku orang laut*.

8. Saya merasa tidak perlu menghindari suku orang laut*. 9. Saya tidak ragu bergaul dengan suku orang laut*.

10. Saya tidak ragu untuk menyapa seorang suku orang laut yang sudah saya kenal sebelumnya*.

11. Bila bertemu dengan orang suku laut, saya akan menghindarinya. 12. Ketika melihat orang suku laut, saya akan mengalihkan perhatian

saya.

13. Saya tidak akan mencari masalah dengan orang suku laut.

14. Perbedaan budaya tidak menghalangi saya untuk berteman dengan orang suku laut*.

15. Kehadiran orang suku laut tidak akan menghalangi kegiatan saya*. 16. Saya rasa menghindari suku orang laut adalah pilihan yang paling

baik.

1= Sangat tidak sesuai


(5)

Skala 2: Kecemasan Antar Kelompok

Aitem Respon

Ketika bertemu atau berinteraksi dengan suku orang laut, sejauh apa anda merasakan perasaan-perasaan berikut:

1= Sama sekali tidak merasa 6= Sangat merasa 17. Terganggu

18. Senang* 19. Nyaman* 20. Gelisah 21. Tenang*

22. Gugup 23. Risih 24. Takut 25. Aman* 26. Kasihan*

Skala 3 : Ancaman Simbolik

Aitem Respon

Sejauh apa anda menyetujui pernyataan-pernyataan berikut?

27. Kepercayaan yang dianut oleh suku orang laut dapat merusak citra masyarakat secara umum.

28. Cara hidup suku orang laut dapat mengancam moral masyarakat secara umum.

29. Pemerintah seharusnya membuat program khusus untuk mengubah cara hidup suku orang laut.

30. Adat dan kepercayaan orang suku laut pada umumnya tidak sesuai dengan norma-norma masyarakat secara umum.

31. Saya khawatir jika saya berteman dengan orang suku laut, saya bisa terpengaruh dengan kepercayaan mereka.

32. Orang suku laut harusnya bisa mengikuti adat dan kebiasaan melayu.

33. Orang laut harus belajar untuk menyesuaikan diri dengan adat dan kebiasaan melayu.

34. Adat dan kepercayaan orang laut tidak sesuai dengan adat dan kebiasaan melayu.

35. Orang laut tidak bisa menerima kepercayaan melayu.

36. Bagi orang suku laut, tidak memiliki agama bukanlah sesuatu yang aneh.

1= Sangat tidak setuju


(6)

Skala 4: Ancaman Realistik

Aitem Respon

Sejauh apa anda menyetujui pernyataan-pernyataan berikut? 37. Demi keamanan masyarakat, orang suku laut seharusnya

dimukimkan di suatu tempat yang cukup jauh dari pemukiman masyarakat pada umumnya.

38. Saya khawatir masih banyak orang suku laut yang bisa menggunakan ilmu hitam.

39. Program pemerintah untuk membuat pemukiman orang suku laut hanya buang-buang uang saja.

40. Keberadaan orang suku laut dapat mengancam keselamatan saya. 41. Keberadaan suku orang laut seringkali mengancam keamanan dan

kenyamanan masyarakat.

42. Orang suku laut cenderung agresif.

43. Banyak orang suku laut yang tidak memperdulikan masalah kesehatan dirinya.

44. Cara berbicara orang suku laut cenderung kasar dan tidak sopan. 45. Bagi orang suku laut pendidikan bukanlah hal yang penting. 46. Banyak orang suku laut yang tidak menjaga kebersihan dirinya.

1= Sangat tidak setuju

6= Sangat Setuju

Keterangan : *