Eksistensi Grasi dalam Perspektif Hukum Pidana

(1)

EKSISTENSI GRASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi

Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

NIM : 080200050

LIMEY AGUS FAZLLI BANUREA

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

EKSISTENSI GRASI DALAM DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

LIMEY AGUS FAZLLI BANUREA 080200050

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Mengetahui :

Ketua Departemen Hukum Pidana

NIP: 195703261986011001 Dr. M. Hamdan, SH, MH

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Abul Khair, SH., M.Hum.

NIP: 196107021989031001 NIP: 197503072002122002 Dr. Marlina, SH.,M.Hum.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa yang baik sebab penulis menyadari hanya Karenna kemurahan dan kasihNya sehingga penulis diberi kekuatan, kesehatan dan kemampuan untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik dan tepat waktu.

Pada kesempatan ini, penulis dengan rendah hati mempersembahkan skripsi yang berjudul “Eksistensi Grasi Dalam Perspektif Hukum Pidana” kepada dunia pendidikan, guna menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan hukum. Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat kelulusan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengakui bahwa skripsi ini jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan yang harus di evaluasi. Hal ini karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan dari penulis serta bahan-bahan referensi yang berkaitan dengan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.

Terima kasih tak terhingga kepada seluruh keluargaku, Bapakku M.Banurea lelaki terhebat bagi kami anak-anaknya, dan motivasi yang memberiku kekuatan O. Tumangger dan Adik-adikku Gana, Lely, Elaai,serta seluruh keluarga besar Op. Benny Banurea.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :


(4)

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Syafruddin, S.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Mhd Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Syaiful Azam, S.H., selaku Dosen Penasehat Akademik selama penulis duduk di bangku pendidikan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Abul Khair, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Dr. Marlina., S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II, atas ketersediaan baik waktu maupun tenaga dan kesabarannya membimbing, memberi saran, arahan dan perbaikan untuk skripsi ini.

9. Seluruh Dosen Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, baik yang masih mengabdikan diri ataupun yang sudah pension;

10.Seluruh Staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; 11.Khusus Kepada Febrina Solin, Amd., Terima kasih atas semua bantuannya


(5)

12.Teman-teman seperjuangan Stambuk 2008 dan teman-teman Pecinta Departemen Hukum Pidana yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu; 13.Kepada Reinhard Jevon, Rolas, S.H., Rinaldi, S.H., Marhara, Saut Banu, Riko

dan kepada seluruh rekan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

14.Para penulis buku-buku dan artikel-artikel yang Penulis jadikan referensi data guna pengerjaan skripsi ini, dan

15.seluruh orang yang Penulis kenal dan mengenal Penulis.

Ada saatnya bertemu, ada juga saatnya berpisah. Terima kasih atas berbagai hal bermanfaat yang telah diberikan kepada Penulis. Semoga Tuhan senantiasa memberikan berkat dan perlindunganNya kepada kita semua.

Medan, 14 Januari 2013

Penulis


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI iv

ABSTRAKSI vii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang...1

B. Perumusan Masalah...13

C. Tujuan Dan manfaat Penulisan...14

1. Tujuan Penulisan...14

2. Manfaat Penulisan...14

D. Keaslian Penulisan...15

E. Tinjauan Kepustakaan...16

1. Pengertian Eksistensi...16

2. Pengertian Grasi...17

3. Pengertian Hukum Pidana...23

F. Metode Penelitian...26

G. Sistematika Penulisan...28

BAB II ATURAN HUKUM PEMBERIAN GRASI DI INDONESIA...31

A. Latar Belakang Grasi...31

B. Sejarah Grasi...34

C. Perkembangan Pengaturan Grasi...35

1. Standar Baku Permohonan Grasi...41

2. Pemberian Grasi Kepada Pihak Narkoba...55


(7)

4. Prosedur Pengajuan Grasi Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2002 Tentang

Grasi...59

BAB III EKSISTENSI PEMBERIAN GRASI DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA...62

A. Alasan Pemberian Grasi...62

B. Kewenangan Pemberian Grasi...71

1. Alasan Grasi Ditolak Presiden...76

2. Alasan Grasi Diterima Presiden...77

C. Keberadaan atau Eksistensi Pemberian Grasi di Indonesia...78

BAB IV UPAYA YAMG DILAKUKAN UNTUK MENGEKSISTENSIKAN GRASI TERHADAP NARAPIDANA ...91

A. Upaya Hukum Berupa Banding Terhadap Narapidana...91

B. Upaya Yang Dilakukan Agar Grasi Diterima...95

C. Berbagai Upaya Penghapusan Hukuman Mati Bagi Terpidana Narkoba...102

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...105

A. Kesimpulan...105

B. Saran...107

Daftar Pustaka Lampiran


(8)

ABSTRAK

ABUL KHAIR1

MARLINA2

LIMEY AGUS FAJLLI3

Berdasarkan data yang ada, kecenderungan penggunaan dan peredaran narkoba di Indonesia tak memperlihatkan kecenderungan turun, bahkan setiap tahun terus naik.Selama tahun 2012 ini setidaknya sudah tiga gembong narkoba yang diberikan grasi, yaitu terpidana narkotika asal Australia, Schapelle Leigh Corby, dari 20 tahun menjadi 15 tahun. Lainnya, dua gembong narkotika internasional Deni Satia Maharwan dan Meirika Franola yang seharusnya menjalani hukuman mati diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup. Pemberian grasi ini menimbulkan pertanyaan tentang keseriusan dan komitmen pemerintah dalam memerangi peredaran narkoba di Indonesia. Keseriusan ini juga dipertanyakan dengan mencuatnya kasus terpidana mati narkoba asal Nigeria, Adami Wilson alias Abu, beberapa waktu lalu yang dengan leluasa mengendalikan bisnis haram itu dari penjara Nusakambangan. Ini situasi yang berbahaya.Jadi, alasan hak asasi manusia yang dikemukakan

Penggunaan hak prerogatif oleh kepala negara hanya dalam kondisi teramat khusus. Hak prerogatif dalam bidang hukum adalah katup pengaman yang disediakan negara dalam bidang hukum. Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Kewenangan Presiden memberikn grasi terkait dengan hukum pidana dalam arti subyektif. Hukum pidana subyektif membahas mengenai hak negar untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana. Hak negara yang demikian ini merupakan hak negara yang besar, sehingga perlu dicari dasar pijakannya melalui teori pemidanaan. Presiden dalam memberikan grasi harus didasarkan pada teori pemidanaan.

Dilihat dari latar belakang tersebut, dalam skripsi ini penulis mencoba mengemukakan permasalahan bagaimana aturan hukum pemberian grasi di Indonesia, bagaimana eksistensi pemberian grasi ditinjau dari perspektif hukum pidana, serta upaya yang dilakukan untuk mengeksistensikan grasi terhadap narapidana. Skripsi ini merupakan penelitian normatif atau studi pustaka dengan menggunakan jenis data berupa Analisis data yang digunakan yakni dengan analisis secara kualitatif. Data sekunder yang diperoleh dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan dengan skripsi ini. Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research). Yaitu penelitian terhadap literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoretis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam penulisan skripsi. Tujuan penelitian kepustakaan (Library Research) ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku, situs internet, putusan pengadilan, maupun bacaan lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

1

Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU 2

Dosen Pembimbing II, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU 3


(9)

pemerintah patut dipertanyakan, karena dampak yang dilakukan para terpidana narkoba itu sangat hebat dalam menghancurkan dan membunuh masa depan kemanusiaan. Oleh karena itu ketentuan pasal 14 ayat (1) UUD 1945 tersebut tidak dapat dimaknai sebagai hak prerogatif, namun hanya sebatas hak konstitusional.Hasil penelitian menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasiadalah sudah tidak sesuai. Pemberian grasi kepada terpidana kasus narkoba merupakan preseden buruk terhadap gerakan pemberantasan penggunaan dan peredaran narkoba di Indonesia.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Undang-undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara Republik Indonesia itu suatu negara hukum (rechstsaat) dibuktikan dari ketentuan dalam Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan Undang-undang Dasar 19454

Amandemen Undang-undang Dasar 1945, teori equality before the law termaktub dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Teori dan konsep equality before the law seperti yang dianut oleh Pasal 27 ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945 tersebut menjadi dasar perlindungan bagi warga negara agar diperlakukansama di hadapan hukum dan pemerintahan. Cabang kekuasaan eksekutif adalah cabang kekuasaan yang memegang kewenangan administrasi negara yang tertinggi. Dalam hubungan ini, di dunia dikenal adanya tiga sistem Pemerintahan . Ide negara hukum, terkait dengan konsep the rule of law dalam istilah Inggris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey. Tiga ciri penting setiap negara hukum atau yang disebutnya dengan istilah the rule of law oleh A.V. Dicey, yaitu: 1) supremacy of law; 2) equality before the law; 3) due process of law.

4


(11)

Negara, yaitu: (i) sistem Pemerintahan Presidential, (ii) sistem Pemerintahan Parlementer atau sistem Kabinet, dan (iii) sistem Campuran.5

Sistem Pemerintahan Republik Indonesia menganut sistem Presidentil. Itu berarti Presiden dan wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat (Pasal 6A UUD 1945) dan tidak lagi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).6

Di negara dengan tingkat keanekaragaman penduduknya yang luas seperti Indonesia, sistem presidensiil ini efektif untuk menjamin sistem pemerintahan yang kuat dan efektif. Kuatnya otoritas yang dimilikinya, timbul persoalan berkenaan Dalam system Pemerintahan Presidentil ini terdapat hak prerogatif Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Namun, karena kuatnya otoritas yang dimiliki Presiden, timbul persoalan sehinga kecendrungan terlalu kuatnya otoritas dan kekuasaan di tangan Presiden diusahakan untuk dibatasi.

Pembatasan kekuasaan Presiden tersebut dilakukan dengan adanya Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dimana salah satu perubahan itu terjadi pada kekuasaan Presiden di bidang yudisial, berkaitan dengan kewenangan Presiden dalam pemberian Grasi. Grasi sebenarnya bukanlah upaya hukum, namun merupakan hak Kepala Negara untuk memberikan pengampunan kepada warganya yang dijatuhi putusan oleh pengadilan. Pemberian Grasi oleh Presiden selaku Kepala Negara bukan sebagai Kepala Pemerintahan (Eksekutif) atau yudikatif, tetapi merupakan hak prerogatif Presiden untuk memberikan pengampunan.

5

Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm 323

6

Sahetapy J.E, 2007, Yang Memberi Tauladan Dan Menjaga Nurani Hukum & Politik,Jakarta, Komisi Hukum Nasional RI, hlm 320


(12)

dengan dinamika demokrasi7

Ketentuan Pasal 14 UUD 1945 sebelum perubahan, Presiden mempunyai kewenangan untuk memberikan Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi. Setelah perubahan UUD 1945 yang pertama, ketentuan tersebut sedikit mengalami perubahan, yaitu dalam hal memberi Grasi dan Rehabilitasi, Presiden memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, dan dalam hal member Amnesti dan Abolisi, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR.”

. Perubahan Undang-undang Dasar 1945, kelemahan sistem presidensiil seperti kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan konsentrasi kekuasaan di tangan presiden, diusahakan untuk dibatasi.

8

Setiap permohonan Grasi harus disertai dengan pertimbangan Mahkamah Agung, karena Grasi mengenai atau menyangkut putusan hakim.9

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi yang dibentuk pada masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat, sehingga saat ini tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan Indonesia dan substansinya sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan tata hukum Indonesia.10

7

Ibid, hlm.164

8

Abdul Ghofar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 Dengan Delapan Negara Maju, Jakarta: kencana, 2009, hlm 104

9

Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta: FH UII Press, 2003, hlm 161 10

Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi: “Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.”


(13)

Penjelasan Undang-undang tersebut dikatakan, pemberian Grasi dapat merubah, meringankan, mengurangi atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan. Hal ini tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap pidana.11

Wacana pelaksanaan dan penerapan pidana mati berkembang pada enam tahun terakhir. Pidana mati justru populer di masa desakan perubahan sistem peradilan. Periode tahun 2000 beberapa ketentuan hukum baru justru mencantumkan pidana mati sebagai ancaman hukuman maksimal. Misalnya pada Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia, ataupun Undang-undang Nomor Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, “Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan Grasi kepada Presiden.” Ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi, menyebutkan: “Atas hukuman-hukuman yang dijatuhkanoleh keputusan kehakiman, baik militer maupun sipil, yang tidak dapat diubah lagi,orang yang dihukum atau pihak lain dapat mengajukan permohonan Grasi kepadaPresiden.”

Kedua Undang-Undang diatas yang lebih mengutamakan putusan pengadilan yang telah memperoleh keputusan yang tetap, tidak demikian halnya yang di atur dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1948 tentang Permohonan Grasi. Peraturan Pemerintah ini mengatakan bahwa permohonan Grasi yang dapat diajukan kepada Presiden adalah atas hukuman yang dijatuhkan di semua lingkungan peradilan pada waktu itu ditetapkan oleh Menteri Kehakiman.


(14)

15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan masih ada peraturan perundang-undangan lainnya.

KUHP Indonesia, dalam pidana pokoknya mencantumkan pidana mati dalam urutan pertama. Pidana mati di Indonesia merupakan warisan kolonial Belanda, yang sampai saat ini masih tetap ada. Sementara praktik pidana mati masih diberlakukan di Indonesia, Belanda telah menghapus praktik pidana mati sejak tahun 1870 kecuali untuk kejahatan militer. Tanggal 17 Febuari 1983, pidana mati dihapuskan untuk semua kejahatan12

4) aparat Kepolisian dan pemerintah yang tidak memadai

. Tentu saja hal ini merupakan hal yang sangat menarik. Diberlakukan di Indonesia melalui asas konkordansi, di negara asalnya Belanda ancaman pidana mati sudah dihapuskan.

Penjelasan pembentukan KUHP dinyatakan, bahwa alasan-alasan tetap memberlakukan ancaman pidana mati, karena adanya keadaan-keadaan khusus di Indonesia (sebagai jajahan Belanda). Keadaan-keadaan tersebut antara lain:

1) bahaya terganggunya ketertiban hukum yang lebih besar dan lebih mengancam;

2) Indonesia adalah negara kepulauan, sehingga komunikasi menjadi tidak lancar;

3) penduduk Indonesia heterogen, sehingga menimbulkan potensi bentrokan pada masyarakat;

13

12

Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka, 2003, hlm.459

13

Roeslan Saleh, Masalah Pidana Mati, Jakarta, Aksara Baru, 1978 .

Apabila kita bandingkan dengan keadaan sekarang, maka alasan-alasan tersebut perlu ditinjau kembali. Alasan- alasan tersebut sudah tidak cocok dengan keadaan dan perkembangan jaman.


(15)

KUHP Indonesia memuat 11 pasal kejahatan yang mengancam pidana mati. Pasal 104 tentang makar, Pasal 340 tentang pembunuhan berencana, Pasal 365 ayat (4) tentang pencurian dengan kekerasan, Pasal 444 tentang kejahatan pelayaran, dan lain-lain. Pidana mati dalam KUHP merupakan pidana pokok atau utama. Perkembangan yang terjadi di Indonesia dalam Konsep Rancangan KUHP Baru adalah menjadikan pidana mati sebagai pidana eksepsional dalam bentuk ‘pidana bersyarat’. Artinya, ancaman pidana mati tidak lagi dijadikan sebagai sarana pokok penanggulangan kejahatan, namun merupakan pengecualian. Ancaman pidana mati tetap tercantum dan diancamkan dalam KUHP, namun dalam penerapannya akan dilakukan secara lebih selektif.

Grasi, Amnesti & Abolisi merupakan ketentuan konstitusional dalam Bab kekuasaan pemerintah negara. Dalam UUD 1945 ditentukan bahwa "Presiden memberi Grasi, Amnesti dan Abolisi". Lebih rinci, dalam UUDS 1950, diatur bahwa "Amnesti dan Abolisi hanya dapat diberikan dengan Undang-Undang ataupun atas kuasa Undang-Undang, oleh Presiden sesudah meminta nasehat dari Mahkamah Agung". Sejarah ketatanegaraan kita, pada tahun 1954 sudah pernah dilaksanakan Amnesti dan Abolisi. Amnesti dan Abolisi itu diberikan kepada "semua orang yang telah melakukan sesuatu tindak pidana yang nyata akibat dari persengketaan politik antara Republik Indonesia (Jogyakarta) dan Kerajaan Belanda". Pelaksanaan ini dituangkan dalam Undang-Undang Darurat No. 11 tahun 1954. Grasi, Amnesti dan Abolisi adalah upaya-upaya (non) hukum yang luar biasa, sebab secara legalistik positivistik, suatu kasus setelah diputus oleh Pengadilan Negeri, melalui upaya hukum Banding diputus oleh Pengadilan Tinggi, kemudian dikasasi di Mahkamah Agung, dan jika putusan Mahkamah Agung sudah berkekuatan hukum pasti atau tetap (in kracht van gewijsde), maka hanya tinggal satu upaya hukum terakhir, yaitu


(16)

Peninjauan Kembali si terdakwa disalahkan dan dipidana, maka pertolongan terakhir yang sesungguhnya bukan merupakan alur hukum, dapat ditempuh dengan mengajukan grasi kepada Presiden.

Fungsi selaku figur can do no wrong kepala negara (bukan kepala pemerintahan) memiliki hak khusus atau hak istimewa yang tidak dimiliki oleh fungsi jabatan kenegaraan lain yakni hak prerogatif. Hak prerogatif adalah hak kepala negara untuk mengeluarkan putusan yang bersifat final, mengikat, dan memiliki kekuatan hukum tetap. Hak prerogatif adalah hak tertinggi yang tersedia dan disediakan oleh konstitusi bagi kepala negara. Bidang hukum, kepala negara, berhak mengeluarkan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Fungsi jabatan yang ‘terbebas dari kesalahan’ maka terhadap penggunaan hak atas pemberian grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi, diatur dalam ketentuan negara yang khusus ditujukan untuk hal tersebut (UUD).

Substansi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi adalah pengakuan atas keterbatasan manusia sebagai makhluk yang tidak sempurna. Manusia bisa khilaf, bahwa kesalahan adalah fitrah manusia, tidak terkecuali dalam memutus perkara. Yudikatif sebagaimana halnya Legislatif dan Eksekutif berada di wilayah ‘might be wrong’. Penggunaan hak prerogatif oleh kepala negara hanya dalam kondisi teramat khusus. Hak prerogatif dalam bidang hukum adalah katup pengaman yang disediakan negara dalambidang hukum’.

Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak menjatuhkan pidana mati. Catatan berbagai Lembaga Hak Asasi Manusia Internasional, Indonesia termasuk salah satu negara yang yang masih menerapkan ancaman hukuman mati pada sistem hukum pidananya (Retentionist Country). Retentionist maksudnya de jure secara


(17)

yuridis, de facto menurut fakta mengatur pidana mati untuk segala kejahatan. Tercatat 71 negara yang termasuk dalam kelompok ini. Salah satu negara terbesar di dunia yang termasuk dalam retentionist country ini adalah Amerika Serikat. Dari 50 negara bagian, ada 38 negara bagian yang masih mempertahankan ancaman pidana mati14

Angka orang yang dihukum mati di Indonesia, termasuk cukup tinggi setelah Cina, Amerika Serikat, Kongo, Arab Saudi, dan Iran. Di Indonesia sendiri, sejak 1982 hingga 2004, tidak kurang dari 63 yang berstatus sedang menunggu eksekusi, atau masih dalam proses upaya hukum di pengadilan lanjutan

. Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang paling besar gaungnya dalam menyerukan perlindungan hak asasi manusia di dunia. Kenyataannya masih tetap memberlakukan ancaman pidana mati, juga dalam hukum militernya.

15

Hasil sejumlah studi tentang kejahatan tidak menunjukkan adanya korelasi antara hukuman mati dengan berkurangnya tingkat kejahatan. Beberapa studi menunjukkan, mereka yang telah dipidana karena pembunuhan (juga yang berencana)

. Alasan yang banyak dikemukakan berkaitan dengan resistensi politik agar setiap negara menghormati pemikiran bahwa masalah sistim peradilan pidana merupakan persoalan kedaulatan nasional yang merupakan refleksi dari nilai-nilai kultural dan agama, dan menolak argumen bahwa pidana mati merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Terkecuali Cina dan Amerika Serikat, negara yang masih mempertahankan ancaman pidana mati adalah negara yang didominasi oleh penduduk muslim. Indonesia adalah negara yang notabene merupakan negara yang penduduknya juga didominasi oleh penduduk muslim.

14

Tim Imparsial, Sebuah Studi Kebijakan di Indonesia: Jalan Panjang Menghapus Praktik Hukuman Mati di Indonesia, Juni 2004

15


(18)

lazimnya tidak melakukan kekerasan di penjara. Setelah keluar penjara mereka tidak lagi melakukan kekerasan atau kejahatan yang sama. Sebaliknya sejumlah ahli mengkritik, suatu perspektif hukum tidak dapat menjangkau hukum kerumitan kasus-kasus kejahatan dengan kekerasan di mana korban bekerjasama dengan pelaku kejahatan, dimana individu adalah korban maupun pelaku kejahatan, dan dimana orang yang kelihatannya adalah korban dalam kenyataan adalah pelaku kejahatan16

(1) hukuman mati merupakan pidana tepat bagi pelaku pembunuhan (berencana) dan percaya pandangan retribution, atonement or vengeance, yang memiliki sifat khusus yang menakutkan;

.

Kalangan yang pro-hukuman mati berpendapat:

(2) idana mati masih tercantum dalam sejumlah perundang-undangan; (3) hukuman mati lebih ekonomis daripada hukuman seumur hidup.

Kalangan yang tidak setuju pidana mati berpendapat:

(1) ancaman pidana mati secara historis tidak bersumber pada pancasila, karena KUHP kita warisan Belanda, bahkan Belanda sendiri termasuk salah satu negara yang telah menghapuskan hukuman mati;

(2) hukuman mati (pada dasarnya pembunuhan berencana juga) merupakan sesuatu yang amat berbahaya bila yang bersangkutan tidak bersalah. Tidaklah mungkin diadakan suatu perbaikan apapun bila orang sudah dipidana mati; (3) mereka yang menentang hukuman mati menghargai nilai pribadi, martabat

kemanusiaan umumnya dan menghargai suatu pendekatan ilmiah untuk memahami motif-motif yang mendasari setiap tingkah laku manusia17

Dilihat dari dimensi dan kacamata HAM, dapat dicatat perkembangan instrumen-instrumen sebagai berikut:

.

(1) Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, pada Pasal 3 mengenai hak untuk hidup, jelas bertentangan dengan pidana mati;

16

Thomas Sunaryo, Hukuman Mati, Pelanggaran HAM dan Reformasi, Kompas, 25 Febuari 2003, hlm.1

17


(19)

(2) Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan politik (International Covenat on Civil and Political Rights- ICCPR). Hak untuk hidup (rights to life), yaitu pada Bagian III Pasal 6 (1), menyatakan bahwa setiap memusia berhak atas hak untuk hidup dan menyatakan perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu. Konvenan Internasional ini diadopsi pada 1966, dan berlaku (enter into force) sejak 1976. Hingga 2 November 2003, tercatat telah 151 negara melakukan ratifikasi/aksesi terhadap konvenan ini;

(3) Second Optional of ICCPR Aiming or The Abolition of Death Penalty, tahun 1990. protocol opsional ini bertujuan untuk menghapuskan pidana mati. Hingga saat ini, tercatat 50 negara telah meratifikasi;

(4) Protocol No.6 Europian Convention far The Protection Human Rights and Fundamental Freedom, tahun 1950 (berlaku mulai 1 Naret 1985). Instrumen ini bertujuan untuk menghapuskan pidana mati si kawasan Eropa;

(5) The Rome Statute of International Criminal Court, 17 Juli 1998. dalam Pasal 7 tidak mengatur pidana mati sebagai salah satu cara pemidanaan. Hingga saat ini, tercatat 94 negara telah meratifikasi instrument ini.18

Pro dan kontra atas penerapan pidana mati di Indonesia, jenis pidana ini masih tetap diterapkan bahkan tercantum dalam Konsep Rancangan KUHP Baru Indonesia. Dihubungkan dengan terpidana mati itu sendiri, terpidana mati berhak mengajukan upaya hukum, baik melalui penasihat hukumnya, keluarganya, atau dirinya sendiri. Upaya hukum itu mencakup banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Baik melalui dirinya sendiri, keluarga, atau kuasa hukumnya, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada presiden.

Kewenangan presiden memberikan grasi, disebut kewenangan presiden yang bersifat judicial, atau disebut juga sebagai kekuasaan presiden dengan konsultasi. Kekuasaan dengan kosultasi adalah kekuasaan yang dalam pelaksanaannya memerlukan usulan atau nasehat dari institusi-institusi yang berkaitan dengan materi kekuasaan tersebut. Grasi dan rehabilitasi, amnesti dan abolisi juga termasuk dalam kekuasaan presiden dengan konsultasi. Tercantum dalam Pasal 14 ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945, “Presiden memberikan amnesti dan abolisi atas pertimbangan DPR”.


(20)

Kewenangan Presiden memberikn grasi terkait dengan hukum pidana dalam arti subyektif. Hukum pidana subyektif membahas mengenai hak negar untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana. Hak negara yang demikian ini merupakan hak negara yang besar, sehingga perlu dicari dasar pijakannya melalui teori pemidanaan. Presiden dalam memberikan grasi harus didasarkan pada teori pemidanaan.

Masalah grasi mulai banyak diperbincangkan akhir-akhir ini, sejak pertengahan 2003 lalu presiden Megawati Soekarnoputri menolak permohonan grasi enam terpidana mati. Mereka adalah lima orang terlibat pembunuhan, dan satu orang dalam kasus narkoba19. Pemberian grasi pada masa Orde Baru bukan suatu hal yang baru. Grasi berupa perubahan status terpidana mati menjadi seumur hidup, pernah diberikan kepada Soebandrio dan Omar Dhani. Demikian pula terhadap sembilan terpidana lain (1980), setelah itu, tidak kurang dari 101 permohonan grasi diberikan oleh presiden Soeharto20

Tahun 1997, hakim Pengadilan Negeri Sekayu Sumatera Selatan menjatuhkan vonis pidana mati kepada Jurit Bin Abdullah dan seorang rekannya. Jurit dan rekannya didakwa telah melakukan pembunuhan berencana terhadap Soleh Bin Zaidan di Mariana, Banyuasin, Sumatera Selatan, lewat Putusan No 310/Pid B/1997 PN Sekayu. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan dengan Putusan No 30/Pid/PT, 21 April 1998, juga memvonis pidana mati kepada Jurit dan rekannya. Putusan ini sekaligus menguatkan putusan dari pengadilan sebelumnya. Mereka langsung mengajukan grasi, namun grasi ini ditolak oleh presiden. Permohonan Peninjauan Kembali Jurit terdaftar di Pengadilan Negeri Sekayu pada 17 Febuari . Tentu saja hal ini bukanlah jumlah yang sedikit, mengingat kekuasaan Orde Baru telah bertengger selama 32 tahun.

19

www.pikiran rakyat.com/cetak/0203/10/1514.htm (Dikunjungi 1 agustus 2012) 20


(21)

2003. Permohonan Peninjauan Kembali itu diajukan secara pribadi oleh Jurit melalui LP Kelas I Palembang, tempat dirinya menjalani hukuman. Permohonan Peninjauan Kembali ini juga ditolak.

Jurit juga didakwa dengan kasus pembunuhan yang lain. Yaitu pembunuhan terhadap Arpan Bin Cik Din pada 27 Agustus 1997 di Mariana, Banyuasin. Kasus ini hakim Pengadilan Negeri Palembang memvonis pidana penjara seumur hidup. Peninjauan Kembali yang diajukan dalam rangka kasus ini juga dinyatakan tidak dapat diterima.

Beberapa resiko yang dikhawatirkan sebagai akibat dari vonis yang dijatuhkan oleh hakim, khususnya untuk pidana maksimal seperti pidana mati, yaitu adanya kemungkinan terjadi eksekusi terhadap innocent people. Adanya kekhilafan dalam proses hukum, meliputi proses penuntutan, penangkapan yang salah, atau keterangan dari saksi yang tidak dapat dipercaya, bisa saja terjadi21

B. Perumusan Masalah

. Kata lain, grasi merupakan salah satu lembaga yang bisa mengkoreksi dan mengatasi resiko tersebut. Itulah sebabnya mengapa grasi berada di luar lingkup peradilan pidana. Hal ini memberikan indikasi bahwa, meskipun grasi merupakan kewenangan presiden yang berada dalam lingkup Hukum Tata Negara, hukum pidana juga memandang tentang keberadaan grasi dalam hal upaya dari terpidana untuk menghindarkan dari eksekusi putusan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk menuangkan tulisan ini dalam bentuk skripsi yang berjudul “EKSISTENSI GRASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA”.


(22)

Sehubungan dengan latar belakang pemilihan judul di atas, maka timbul permasalahan yang akan diangkat dalam penulisan skripsi ini, yaitu:

1. Bagaimanakah aturan hukum pemberian grasi di Indonesia?

2. Bagaimana eksistensi pemberian grasi ditinjau dari perspektif hukum pidana?

3. Upaya yang dilakukan untuk mengeksistensikan grasi terhadap narapidana?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini antara lain, yaitu:

a) untuk memaparkan bagaimana sesungguhnya prosedur pengajuan grasi kepada Presiden sampai akhirnya dibalas kembali oleh Presiden kepada terdakwa pada praktiknya dan membandingkannya dengan ketentuan tertulis yang mengatur prosedur pengajuan grasi tersebut;

b) untuk mengetahui hubungan pelaksanaan putusan hakim (eksekusi) dengan upaya hukum yang dilakukan terpidana terhadap putusan hakim, dalam hal ini grasi;

c) untuk mengetahui hal-hal apa sajakah yang harus dipenuhi untuk terlaksananya eksekusi terhadap putusan hakim terhadap terpidana mati, dikaitkan dengan realita yang terjadi terhadap terpidana mati saat ini.

2. Manfaat Penulisan

Tujuan sebagaimana telah diuraikan di atas, penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat yang optimal. Apakah itu sebagai sumbangan


(23)

pemikiran teoretis maupun manfaat secara praktis berkenaan dengan masalah penegakan hukum dan keadilan dalam kaitannya dengan pemenuhan hak-hak hukum terpidana mati dalam proses pengajuan grasi kepada Presiden

a) Manfaat teoretis

Untuk memberikan informasi, kontribusi pemikiran dan menambah khasanah dalam bidang pengetahuan ilmu pidana pada umumnya, sehingga dapat diharapkan skripsi ini dapat memperkaya perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah yang berkaitan dengan hal keberadaan grasi di Indonesia.

b) Manfaat Praktis

Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberi masukan dan menjadi suatu dorongan bagi aparat penegak hukum agar dapat menerapkan hukum dalam hal ini pemberian grasi kepada terpidana mati agar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangn yang berlaku dengan memperhatikan prinsip-prinsip keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi dengan judul “Eksistensi Grasi dalam Perspektif Hukum Pidana” dengan permasalahan bagaimanakah aturan pemberian grasi di Indonesia,bagaimana eksistensi pemberian grasi ditinjau dari perspektif hukum pidana dan upaya yang dilakukan untuk mengeksistensikan grasi terhadap narapidana, belum pernah dibahas ataupun ditulis mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Ada


(24)

a. Hanna Stephanie Tarigan/ 060200327, “Grasi Sebagai Permohonan Pengampunan Pelaksanaan Pidana menurut Undang-undang No.22 Tahun 2002” dengan masalah bagaimana grasi sebagai dipandang sebagai permohonan pengampunan menurut undang-undang Nomor 22 Tahun 2002.

b. Triana Putrie/ 080200 “Tinjauan Yuridis Mengenai Pemberian Grasi Terhadap Terpidana di Indonesia” dengan masalah bagaimana penerapan pemberian grasi terhadap terpidana di Indonesia dan bagaimana perkembangan grasi di Indonesia.

Permasalahan terhadap skripsi-skripsi tersebut berbeda, Penulis menyatakan bahwa skripsi “Eksistensi Grasi dalam Perspektif Hukum Pidana” adalah asli tulisan penulis. Bila dikemudian hari terdapat Skripsi yang sama, maka menjadi tangung jawab penulis sendiri.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Eksistensi

Kamus besar Bahasa Indonesia Eksistensi22 adalah adanya atau keberadaan, kehadiran yang mengandung unsur bertahan. Penggunaan kata eksistensi dimaksud pada judul adalah adanya permohonan grasi yang ditetapkan dalam Undang-undang Dasar 1945 yang diputuskan oleh Presiden.

22

J.S.Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1996, hlm.375


(25)

2. Pengertian Grasi

Grasi adalah wewenang dari Kepala Negara untuk memberikan pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim, berupa menghapus seluruhnya, sebagian atau mengubah sifat/bentuk hukuman itu. Kamus Besar Bahasa Indonesia, grasi sebagai ampunan yang diberikan Kepala Negara terhadap seseorang yang dijatuhi hukuman.

Pasal 1 Undang-Undang No. 22 Tahun 2002, Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Grasi bukan berupa upaya hukum, karena upaya hukum hanya terdapat sampai pada tingkat Kasasi ke Mahkamah Agung. Grasi merupakan upaya non hukum yang didasarkan pada hak prerogatif Presiden dan juga diputuskan berdasarkan pertimbangan subjektif Presiden. Grasi dibutuhkan dalam pemerintahan suatu negara karena dapat meminimalisasi beberapa resiko yang dikhawatirkan sebagai akibat dari vonis yang dijatuhkan oleh hakim, khususnya untuk pidana pidana mati yaitu adanya kemungkinan terjadi eksekusi terhadap innocent people. Adanya kekhilafan dalam proses hukum, meliputi proses penuntutan, penangkapan yang salah, atau keterangan dari saksi yang tidak dapat dipercaya. Grasi berada di luar lingkup peradilan pidana. Kita ketahui sebelumnya, grasi merupakan hak preogratif yang dimiliki oleh Presiden. Keputusan dari permohonan grasi ini, baik diitolak atau dikabulkan oleh Presiden, dasar keputusannya tetap didasarkan pada teori pemidanaan. Tidak berbeda dengan penjatuhan pidana yang dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku tindak pidana, yang juga didasarkan pada teori pemidanaan. Seseorang yang telah terbukti bersalah


(26)

melakukan suatu tindak pidana, dipidana dengan pidana berdasarkan Pasal 10 KUHP. Bentuk-bentuk pidana berdasarkan Pasal 10 KUHP, terdiri dari:

1) Pidana pokok, terdiri atas: a) Pidana mati; b) Pidana penjara; c) Pidana kurungan; d) Pidana denda;

e) Pidana tutupan (Undang-undang No.20 Tahun 1946). 2) Pidana tambahan, terdiri atas:

a) Pencabutan hak-hak tertentu; b) Pengumuman putusan hakim; c) Perampasan benda-benda tertentu.

Sedangkan bentuk-bentuk atau jenis-jenis pidana menurut Rancangan KUHP Nasional diatur dalam pasal 62 ayat (1) Tahun 1964 yang terdiri dari:

1) Pidana pokok, adalah: Ke-1 Pidana penjara Ke-2 Pidana tutupan Ke-3 Pidana pengawasan Ke-4 Pidana denda Ke-5 Pidana kerja sosial

2) Pidana tambahan dimuat di dalam pasal 64 ayat (1). Pidana tambahan adalah: Ke-1 Pencabutan hak-hak tetentu

Ke-2 Perampasan barang-barang tertentu dengan tagihan Ke-3 Pengumuman putusan hakim


(27)

Ke-4 Pembayaran ganti rugi Ke-5 Pemenuhan kewajiban adat.

Mulanya pemberian grasi atau pengampunan di jaman kerajaan absolute Eropa, adalah berupa anugerah dari raja (vortelijke gunst) yang memberikan pengampunan terhadap orang yang telah dipidana. Sifatnya sebagai kemurahan hati raja yang berkuasa. Setelah tumbuhnya negara-negara modern, dimana kekuasaan kehakiman telah terpisah dengan kekuasaan pemerintahan atas pengaruh dari paham trias politika, maka pemberian grasi berubah sifatnya menjadi koreksi terhadap putusan pengadilan khususnya mengenai pelaksanaannya

Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringatan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan Presiden (Pasal 1 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002). Hak mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang yang memutus parkara pada tingkat pertama. Jika pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan terpidana tidak hadir, hak terpidana sebagaimna dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama.

Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya diajukan kepada Presiden. Permohonan sebagaimana dimaksud dapat diajukan oleh keluarga terpidana, dengan persetujuan dari terpidana. Dalam hal terpidana dijatuhi hukuman, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana.

Pasal 7 UU Nomor 22 tahun 2002 tentang grasi,mengatakan:

1. Permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

2. Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibatasi oleh tenggang waktu tertentu.


(28)

Permohonan grasi dimaksud harus diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden. Salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung.

Kamus Besar Bahasa Indonesia amnesti23

Di Indonesia, amnesti merupakan salah satu hak presiden di bidang yudikatif sebagai akibat penerapan sistem pembagian kekuasaan. Hak Kepala Negara untuk memberikan pengampunan artinya bahwa tidak memberlakukan proses hukum terhadap warganegara yang telah melakukan kesalahan pada negara seperti pemberontakan bersenjata melawan pemerintahan yang sah untuk melepaskan diri dari negara, atau mendirikan negara baru secara sepihak, atau terhadap gerakan politik

adalah suatu pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam suatu tindak pidana untuk meniadakan suatu akibat hukum pidana yang timbul dari tindak pidana tersebut. Amnesti diberikan kepada orang-orang yang sudah ataupun yang belum dijatuhi hukuman, yang sudah ataupun yang belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak pidana tersebut.

Secara umum amnesti adalah sebuah tindakan hukum yang mengembalikan status tak bersalah kepada orang yang sudah dinyatakan bersalah secara hukum sebelumnya. Kamus Besar Bahasa Indonesia, amnesti merupakan pengampunan atau penghapusan hukuman yg diberikan kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yg telah melakukan tindak pidana tertentu. Amnesti ditujukan kepada orang banyak. Pemberian amnesti yang pernah diberikan oleh suatu negara diberikan terhadap delik yang bersifat politik seperti pemberontakan atau suatu pemogokan kaum buruh yang membawa akibat luas terhadap kepentingan negara. Amnesti merupakan hak prerogatif Presiden dalam tataran yudikatif.

23


(29)

untuk menggulingkan kekuasaan negara yang sah (kudeta, coup d’etat). Amnesti umumnya diberlakukan untuk kasus benuansa politik dan oleh karenanya umumnya bersifat masal (amnesti umum). Pertimbangan atau rekomendasi untuk dikeluarkan amnesti oleh Kepala Negara bisa datang dari, parlemen/legislatif, pakar-pakar hukum, tokoh politik, dan/atau tekanan internasional. Pemberian amnesti murni lahir dari presiden selaku kepala negara. Hak prerogatif ini sesuai dengan amanat undang-undang dasar kepada presiden selaku kepala negara. Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 tentang Amnesti dan Abolisi, kewenangan pemberian amnesti, mutlak berada di tangan presiden. Amendemen pertama UUD 1945 kemudian menambahkan bahwa dalam memberikan amnesti, presiden diharapkan memerhatikan pertimbangan lembaga legislatif meski tidak memengaruhi hak mutlak presiden. Selain Undang-Undang Dasar 1945, masalah amnesti dan abolisi di Indonesia belum diatur secara khusus. Indonesia hingga sekarang, masih memakai UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Sebenarnya pada masa Menteri Yusril Ihza Mahendra, ada rencana untuk membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Amnesti. Sampai sekarang rencana itu tidak terdengar lagi. Pasal 1 UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tersebut mengatur presiden atas kepentingan negara dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan suatu tindakan pidana. Tindak pidana yang dimaksud dalam pasal tersebut berlaku untuk persengketaan politik, yang kala itu antara pemerintah RI dan Kerajaan Belanda. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 2 UU darurat tersebut. Di samping kedua perundangan di atas, pengertian amnesti juga disinggung dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Amnesti dalam undang-undang ini merupakan pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memerhatikan pertimbangan


(30)

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemberian amnesti di Indonesia belakangan juga diatur hanya untuk aktivitas politik yang diancam ataupun divonis dengan pasal makar, bukan terpidana yang tersangkut kriminal.

Kamus Besar Bahasa Indonesia abolisi24

Kamus Besar Bahasa Indonesia, rehabilitasi

berarti penghapusan atau pembasmian. Istilah abolisi diartikan sebagai peniadaan tuntutan pidana. Artinya, Abolisi bukan suatu pengampunan dari Presiden kepada para terpidana. Tetapi merupakan sebuah upaya Presiden untuk menghentikan proses pemeriksaan dan penuntutan kepada seorang tersangka. Karena dianggap pemeriksaan dan penuntutan tersebut dapat mengganggu stabilitas pemerintahan.

25

3. Pengertian Hukum Pidana

adalah suatu tindakan Presiden dalam rangka mengembalikan hak seseorang yang telah hilang karena suatu keputusan hakim yang ternyata dalam waktu berikutnya terbukti bahwa kesalahan yang telah dilakukan seorang tersangka tidak seberapa dibandingkan dengan perkiraan semula atau bahkan ia ternyata tidak bersalah sama sekali. Kamus Besar Bahasa Indonesia secara singkat menterjemahkan rehabilitasi sebagai pemulihan kepada kedudukan (keadaan, nama baik) yg dahulu (semula). Fokus rehabilitasi ini terletak pada nilai kehormatan yang diperoleh kembali dan hal ini tidak tergantung kepada Undang-undang tetapi pada pandangan masyarakat sekitarnya.

Istilah “hukuman” merupakan istilah umum dan konvensional yang mempunyai arti yang luas dan dapat berubah ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam

24

Ibid, hlm. 46 25


(31)

bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari seperti di bidang moral, agama, dan lain sebagainya.

Dipergunakan istilah “pidana” yang merupakan istilah yang lebih khusus dan dianggap lebih tepat bila dibandingkan dengan istilah “hukuman”. Diperlukan pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas. Pidana berasal dari kata straf (Belanda). Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau diberikan oleh Negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (strafbaar feit)26

Memberikan gambaran yang lebih luas, berikut ini dikemukakan beberapa pendapat atau definisi dari para sarjana sebagai berikut

.

27

a. Sudarto

:

Yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu

b. Roeslan saleh

Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara pada pembuat delik itu.

c. Fizgerald.

Punishment is the outhoritative infliction of suffering for an offence. d. R. Soesilo

Hukum pidana adalah perasaan tidak enak / sengsara yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar Undang-undang hukum pidana.

e. Pompe

Hukum pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dijatuhi pidana dan apakah macamnya pidana itu. Hukum pidana itu sama halnya dengan

26

Adami Chazawi (2002). Pelajaran Pidana Bagian I Stelsel Pidana Tindak Pidana Teori-teori Pemidanaan 7 Batas Berlakunya Hukum Pidana. PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta, hal.24.

27


(32)

hukum tata Negara, hukum perdata dan lain-lain bagian dari hukum, biasanya diartikan sebagai suatu keseluruhan dari peraturan-peraturan yang sedikit banyak bersifat umum dan abstrahir dari keadaan-keadaan yang bersifat konkret.

f. D.Van Hamel

Hukum pidana adalah keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh negara dan kewajibannya untuk menegakkan hukum, yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum (onrecht) dan mengenakan suatu nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut g. C.S.T Kansil

Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.

h. G.WLG.Lemaire

Hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum pidana itu merupakan suatu system norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.

i. C. Simons

Hukum pidana adalah keseluruhan larangan atau perintah yang oleh negara diancam dengan nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati.

Beberapa definisi diatas dapatlah disimpulkan pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut :

a. pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;

b. pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh orang yang berwenang);

c. pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang;


(33)

Wujud-wujud penderitaan yang dapat dijatuhkan oleh negara telah ditetapkan dan diatur secara rinci, baik mengenai batas-batas dan cara menjatuhkannya serta dimana dan bagaimana cara menjalankannya. Mengenai wujud jenis penderitaan itu dimuat dalam pasal 10 KUHP. Batas-batas berat ringannnya dalam menjatuhkan penderitaan tersebut dimuat dalam rumusan mengenai masing-masing larangan dalam hukum pidana yang bersangkutan. Negara - negara tidak dapat dengan bebas memilih jenis-jenis pidana dalam pasal 10 KUHP tersebut. Berkaitan dengan fungsi hukum pidana sebagai pembatas kekuasaan negara dalam arti perlindungan hukum bagi warga dari tindakan negara dalam rangka negara menjalankan fungsi menegakkan hukum pidana.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan hukum yang berhubungan dengan permasalahan skripsi. Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, penelitian hukum normative mencangkup:

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum;

b. Penelitian terhadap sistematik hukum;

c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical dan horizontal;


(34)

e. Sejarah hukum.28

Sementara Ronny Hanitijo Soemitro, penelitian hukum normative juga meliputi penelitian pada poin (1), (2), dan (3) tersebut, namun dua bentuk penelitian lainnya berbeda, yaitu penelitian untuk menemuan hukum in concrito dan penelitian inventarisi hukum positif 29

a. Bahan hukum primer, yang terdiri dari: 2. Analisis Data

Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder yang diperoleh melalui :

1. Norma atau kaedah dasar 2. Peraturan Dasar

3. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberian grasi kepada terpidana oleh Presiden yakni UU No. 22 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi b. Bahan hukum sekunder berupa buu-buku dan artikel-artikel dari media

elektronik yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer yang berkaitan dengan tindak pidana pembunuhan, kasus narkoba, atau lainnya, bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencangkup bahan yang member petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan baku primer, bahan hukum sekunder seperti kamus umum, majalah, jurnal ilmiah serta bahan-bahan diluar bidang hukum yang relevan dan dapat

28

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum NormatifSuatu Tinjauan Singkat”, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 15.

29

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990, hal. 12


(35)

digunakan untukmelengkapi data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini.30

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research). Yaitu penelitian terhadap literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoretis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam penulisan skripsi. Tujuan penelitian kepustakaan (Library Research) ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku, situs internet, putusan pengadilan, maupun bacaan lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan yakni dengan analisis secara kualitatif.31

G. Sistematika Penulisan

Data sekunder yang diperoleh dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan dengan skripsi ini.

Gambaran isi dari tulisan ini diuraikan secara sistematis dalam bentuk sistematika bab-bab yang permasalahannya diuraikan secara tersendiri, tetapi antara satu dengan yang lain mempunyai keterkaitan (Komprehensif).

Sistematika penulisan yang baku, skripsi ini dibagi dalam Lima Bab yaitu:

BAB I Pendahuluan

30

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986, hal 52.


(36)

Bab ini merupakan pendahuluan skripsi yang berisi latar belakang pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan dan pemanfaatan tulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan gambaran isi.

BAB II Aturan Hukum Pemberian Grasi di Indonesia

Pada Bab ini dijelaskan bagaimana prosedur pengajuan grasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi). Didahului dengan pemaparan mengenai sejarah penerapan grasi, bagaimana eksistensi grasi saat ini dan bagaimana atau apa ketentuan yang dipenuhi sebagai standar baku permohonan grasi dikabulkan.

BAB III Eksistensi Pemberian Grasi Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana

Bab ini terdiri dari sub bab yaitu latar belakang grasi, syarat dan tata cara pengajuan permohonan grasi dan eksistensi grasi dalam perspektif hukum pidana, serta tahap lanjutan bilamana terpidana dijatuhi hukuman. Dan akhirnya bagaimana dengan pidana itu sendiri dengan tujuan pidana itu diterapkan, daya tekannya untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana.

BAB IV Upaya Yang Dilakukan Untuk Mengeksistensikan Grasi Terhadap Narapidana

Bab ini menerangkan tentang upaya - upaya apa saja yang harus dilakukan agar bagaimana grasi tersebut dikabulkan oleh presiden. Penulis juga mengambil dari beberapa kutipan literature yang berhubungan dari grasi beserta penjelasannya.


(37)

Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang merumuskan suatu kesimpulan dari penulis dari pembahasan permasalahan yang ada. Kemudian terhadap permasalahan tersebut dan kalau terjadi dimasa yang akan datang penulis memberikan beberapa saran yang diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna bagi para pembaca baik secara teori maupun dalam praktiknya.


(38)

BAB II

Aturan Hukum Pemberian Grasi di Indonesia

A. Latar Belakang Grasi

Permohonan grasi ini diajukan oleh yang dihukum bersalah kepada kepala negara atau presiden yang kedudukannya sebagai Kepala Negara yang mempunyai hak prerogatif. Pemberian grasi merupakan suatu hak, maka kepala negara tidak berkewajiban untuk mengabulkan semua permohonan grasi yang ditujukan kepadanya. Kedudukannya sebagai Kepala Negara, maka walaupun ada nasihat atau pertimbangan dari Mahkamah Agung, Grasi oleh Presiden pada dasarnya adalah bukan suatu tindakan hukum, melainkan suatu tindakan non-hukum berdasarkan hak preogratif seorang Kepala Negara. Dengan demikian Grasi bersifat pengampunan berupa mengurangi pidana (starfverminderend) atau memperingan pidana atau penghapusan pelaksanaan pidana yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung. Bisa juga Grasi itu ditolak oleh Presiden. Pemberian grasi oleh kepala negara kepada si terhukum pada umumnya dilatarbelakangi oleh hal-hal sebagai berikut; (a) Seandainya dipandang adanya kekurang layakan dalam penerapan hukum, maka pemberian grasi dalam hal ini adalah untuk memperbaiki penerapan hukum; (b)Seandainya dipandang bahwa para terhukum sangat dibutuhkan negara atau pada mereka terdapat penyesalan yang sangat mendalam, maka dalam hal ini pemberian grasi adalah demi kepentingan negara. Pertimbangan pemberian grasi kepada si terhukum lebih dititikberatkan pada memberi penilaian kembali terhadap putusan hakim. Putusan tersebut dinilai kembali apakah putusan tersebut telah sesuai dengan kesalahan yang terbukti dilakukan oleh si terhukum atau apakah putusan tersebut ternyata terlalu berat dibandingkan dengan keadaan atau situasi pada saat putusan


(39)

tersebut dijatuhkan. Pemberian grasi merupakan suatu koreksi atas putusan hakim dengan dasar alasan-alasan yang telah diketahui setelah hakim menjatuhkan putusannya.

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi (UU Permohonan Grasi), tidak disebutkan secara jelas mengenai pengertian grasi. Namun, pengertian grasi dapat kita simpulkan dari pasal 1 UU Permohonan Grasi yang berbunyi; “Atas hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman, baik militer maupun sipil, yang tidak dapat diubah lagi, orang yang dihukum atau pihak lain dapat memajukan permohonan grasi kepada Presiden.” Sebelum tahun 2002, pemberian grasi didasarkan pada Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 40) yang dikeluarkan pada masa Republik Indonesia Serikat, mengatur prosedur yang melibatkan beberapa instansi terkait, termasuk Mahkamah Agung yang diberi kewenangan untuk memberikan pertimbangan permohonan grasi. Jadi, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 yang tidak mendasarkan pada Undang-Undang-undang Dasar 1945 Pasal 14 dan Undang-undang Dasar 1945 beserta Perubahan Pertama, dengan sendirinya tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat, di samping prosedurnya yang terlalu panjang dengan melibatkan instansi penegak hukum yang tidak terkait lagi dengan pemberian grasi itu sendiri. Pertimbangan yang selama ini diberikan dengan melihat sistem peradilan pidana, tidak diperlukan lagi. Untuk itu, substansi Undang-undang mengatur proses pemberian grasi tanpa melalui pertimbangan yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana (criminal justice system) itu sendiri. Setelah tahun 2002 pemberian grasi didasarkan pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi). Ruang lingkup permohonan dan pemberian grasi menurut UU Permohonan Grasi


(40)

yaitu semua putusan pengadilan sipil maupun pengadilan militer yang telah berkekuatan hukum tetap. Ruang lingkup permohonan dan pemberian grasi menurut UU Grasi yaitu terhadap semua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Putusan tersebut adalah pidana mati, penjara seumur hidup atau penjara paling rendah dua tahun.

Berdasarkan bunyi pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa grasi merupakan pengampunan yang dapat diajukan kepada Presiden atas hukuman-hukuman yang dijatuhkan kepada si terhukum. Pasal 1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi) memberikan pengertian mengenai grasi yaitu sebagai pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Pada penjelasan pasal 2 UU Grasi dinyatakan bahwa putusan pengadilan yang dapat dimintakan grasi adalah putusan pengadilan sipil atau putusan pengadilan militer. Dengan demikian tidak ada perubahan yang menonjol dalam pengertian grasi menurut kedua UU tersebut. Grasi, pada dasarnya, pemberian dari Presiden dalam bentuk pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan putusan kepada terpidana. Dengan demikian, pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Kendati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.


(41)

B. Sejarah Grasi

Pada mulanya pemberian grasi atau pengampunan di zaman kerajaan absolut di Eropa, adalah berupa anugerah raja (vorstelijke gunst) yang memberikan pengampunan terhadap orang yang telah dipidana. Jadi sifatnya sebagai kemurahan hati raja yang berkuasa. Tetapi setelah tumbuhnya negara-negara modern, di mana kekuasaan kehakiman telah terpisah dengan kekuasan pemerintahan atas pengaruh dari paham trias politica, maka pemberian grasi berubah sifatnya menjadi upaya koreksi terhadap putusan pengadilan khususnya mengenai pelaksanannya.

Kamus Umum Bahasa Indonesia, eksistensi berarti adanya atau keberadaan32. Sedangkan grasi, dalam Kamus Hukum berarti wewenang dari kepala negara untuk memberi pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim untuk menghapuskan seluruhnya, sebagian, atau merobah sifat atau bentuk hukuman itu33

Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.22 Tahun 2002 tentang Grasi .

34

Sebelum berlakunya Undang-undang No.22 Tahun 2002 tentang Grasi, dua Konstitusi yang pernah berlaku yakni Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, juga memberikan dasar kepada Presiden untuk memberikan grasi. Dalam dua Konstitusi , menyebutkan bahwa “Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden”. Jadi, dapat disimpulkan bahwa grasi adalah hak presiden untuk menghapuskan hukuman keseluruhannya ataupun sebagian yang dijatuhkan oleh hakim, atau menukarkan hukuman itu dengan yang lebih ringan menurut urutan Pasal 10 KUHP.

32

J.S.Badudu Op.Cit, hlm.375

33


(42)

ini, rumusan mengenai grasi justru diatur lebih lengkap. Pasal 160 ayat (1) dan (2) Konstitusi RIS, merumuskan sebagai berikut:

(1) Presiden mempunyai hak memberi ampun dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman. Hak itu dilakukannya sesudah meminta nasihat dari Mahkamah Agung, sekedar dengan Undang-undang federal tidak ditunjuk pengadilan yang lain untuk memberi nasihat.

(2) Jika hukuman mati dijatuhkan, maka keputusan kehakiman itu tidak dapat dijalankan, melainkan sesudah presiden, menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang federal diberikan kesempatan untuk memberikan ampun.

UUDS 1950 yang diundangkan tanggal 15 Agustus 1950, pada Pasal 107 ayat (1) dan (2), dicantumkan pula tentang hak Presiden tersebut yang rumusannya senada dengan Pasal 160 ayat (1) dan (2) Konstitusi RIS tersebut. Yaitu sebagai berikut:

(1) Presiden mempunyai hak memberi grasi dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan pengadilan. Hak itu dilakukannya sesudah meminta nasihat dari Mahkamah Agung, sekedar dengan Undang-undang tidak ditunjuk pengadilan yang lain untuk memberi nasihat.

(2) Jika hukuman mati dijatuhkan, maka keputusan pengadilan itu tidak dapat dijalankan, melainkan sesudah Presiden, menurut aturan-aturan yang ditetapkan Undang-undang, diberikan kesempatan untuk memberikan grasi.

Berlakunya Kontitusi RIS 1949, diundangkan Undang-undang Darurat No.3 Tahun 1950 tentang Grasi pada 6 Juli 1950. Pada zaman Hindia Belanda, mengenai hukum acara grasi diatur dalam Gratieregeling (Stb. 1933 No.2). Setelah Proklamasi, dikeluarkan Peraturan Pemerintah RI No.67 Tahun 1948 tentang Permohonan Grasi. Keduanya kemudian dicabut oleh Undang-undang No.3 Tahun 1950 tentang Grasi (L.N. 1950 No. 40), yang juga dicabut oleh Undang-undang No.22 Tahun 2002 tentang Grasi (L.N. 2002 No.108).

Keterangan mengenai grasi di dalam KUHP, hanya terdapat dalam satu Pasal saja. Yaitu pada Pasal 33a, yang berbunyi:

“Jika orang yang ditahan sementara dijatuhi pidana penjara atau pidana kurungan, dan kemudian dia sendiri atau orang lain dengan persetujuannya mengajukan permohonan ampun, maka waktu mulai permohonan diajukan hingga ada putusan


(43)

presiden, tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana, kecuali jika presiden, dengan mengingat keadaan perkaranya, menentukan bahwa waktu itu seluruhnya atau sebagian dihitung sebagai waktu menjalani pidana”.

Pasal 33a tersebut tidak mengatur mengenai grasi secara lengkap. Namun hanya mengatur mengenai waktu menjalani hukuman bagi yang mengajukan permohonan grasi, dalam hal yang berkepentingan dijatuhi hukuman pidana penjara atau hukuman pidana kurungan.

Permohonan grasi kepada Presiden dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Artinya, setelah suatu perkara selesai diputus oleh hakim, barulah dapat diajukan permohonan grasi. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah putusan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, dan pidana penjara paling rendah selama 2 (dua) tahun. Namun, terpidana yang biasanya mengajukan permohonan grasi adalah terpidana yang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.

Hukuman pidana penjara dalam waktu tertentu maupun hukuman pidana penjara seumur hidup, eksekusinya dilakukan oleh jaksa yaitu dijalankan oleh terpidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan untuk pidana mati, menurut Pasal 11 KUHP, eksekusi dilakukan dengan cara digantung di tiang gantungan. Ketentuan Undang-undang No.11 Tahun 1964, eksekusi dilakukan oleh regu tembak.

Permohonan grasi sebagaimana dimaksud, hanya dapat diajukan satu kali, kecuali dalam hal:

a. terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu dua tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut; atau

b. terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup dan telah lewat waktu dua tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.


(44)

Permohonan grasi dapat diajukan oleh terpidana sendiri, kuasa hukumnya, atau keluarga terpidana dengan persetujuan terpidana. Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan dari terpidana. Permohonan grasi ini diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden.

Dalam permohonan grasi ini, Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan, setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 14 ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945, “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”. Pernyataan ini juga sejalan dengan isi Pasal 27 Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman35

a. Kewenangan yang bersifat eksekutif atau menyelenggarakan berdasarkan Undang-undang Dasar (to govern based on constitution). Bahkan, dalam sistim yang lebih ketat, semua kegiatan pemerintahan yang dilakukan oleh Presiden haruslah didasarkan atas perintah konstitusi dan peraturan , “Mahkamah Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum, kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta”. Oleh karenanya kewenangan Presiden memberikan grasi ini disebut kewenangan dengan konsultasi, maksudnya kewenangan yang memerlukan usulan atau nasihat dari institusi lain. Selain grasi, yang termasuk dalam kewenangan dengan konsultasi yaitu kewenangan memberikan amnesti dan abolisi, dan kewenangan memberikan rehabilitasi.

Adapun mengenai wewenang Presiden, biasanya dirinci secara tegas dalam Undang-ndang Dasar. Perincian kewenangan ini penting untuk membatasi sehingga Presiden tidak bertindak sewenang-wenang. Beberapa kewenangan Presiden yang biasa dirumuskan dalam Undang-undang Dasar berbagai negara, mencakup lingkup kewenangan sebagai berikut:

35


(45)

perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian kecenderungan yang biasa terjadi dengan apa yang disebut dengan discretionary power, dibatasi sesempit mungkin wilayahnya.

b. Kewenangan yang bersifat legislatif atau untuk mengatur kepentingan umum atau publik (to regulate public affairs based on the law and the constitution). Dalam sistim pemisahan kekuasaan (separation of power), kewenangan untuk mengatur ini dianggap ada di tangan lembaga perwakilan, bukan di tangan eksekutif. Jika lembaga eksekutif merasa perlu mengatur maka kewenangan mengatur di tangan eksekutif itu bersifat derivatif dari kewenangan legislatif. Artinya, Presiden tidak boleh menetapkan suatu, misalnya Keputusan Presiden tidak boleh lagi bersifat mengatur secara mandiri seperti dipahami selama ini.

c. Kewenangan yang bersifat judisial dalam rangka pemulihan yang terkait dengan putusan pengadilan, yaitu untuk mengurangi hukuman, memberikan pengampunan, ataupun menghapuskan tuntutan yang terkait erat dengan kewenangan pengadilan. Dalam sistim parlementer yang mempunyai Kepala Negara, ini biasanya mudah dipahami karena adanya peran simbolik yang berada di tangan Kepala Negara. Tetapi dalam sistim presidensiil, kewenangan untuk memberikan grasi, abolisi, dan amnesti itu ditentukan berada di tangan Presiden.

d. Kewenangan yang bersifat diplomatik, yaitu menjalankan perhubungan dengan negara lain atau subjek hukum internasional lainnya dalam konteks hubungan luar negeri, baik dalam keadaan perang maupun damai. Presiden adalah pucuk pimpinan negara, dan karena itu dialah yang menjadi simbol kedaulatan politik suatu negara dalam berhadapan dengan negara lain. Dengan persetujuan parlemen, dia jugalah yang memiliki kewenangan politik untuk menyatakan perang dan berdamai dengan negara lain.

e. Kewenangan yang bersifat administratif untuk mengangkat dan memberhentikan orang dalam jabatan kenegaraan dan jabatan-jabatan administrasi negara. Karena Presiden juga merupakan kepala eksekutif maka sudah semestinya dia berhak untuk mengangkat dan memberhentikan orang dalam jabatan pemerintahan atau jabatan administrasi negara36

Kelima jenis kewenangan di atas sangat luas cakupannya, sehingga perlu diatur dan ditentukan batas-batasnya dalam undang Dasar atau Undang-undang. Oleh karena itu, biasanya ditentukan:

.

a. Penyelengaraan pemerintahan oleh Presiden haruslah didasarkan atas Undang-undang Dasar;

b. Dalam sistem pemisahan pemisahan kekuasaan dan checks and balances, kewenangan regulatif bersifat derivatif dari kewenangan legislatif yang dimiliki oleh parlemen;

c. Dalam sistem pemerintahan parlementer, jabatan kepala pemerintahan biasanya dibedakan dan bahkan dipisahkan dari kepala pemerintahan. Kepala negara biasanya dianggap berwenang pula memberikan grasi,


(46)

abolisi, dan amnesti untuk kepentingan memulihkan keadilan. Namun, dalam sistem presidensiil kewenangan tersebut dianggap ada pada presiden yang merupakan kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Untuk membatasi kewenangan tersebut, presiden harus mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Agung atau Dewan Perwakilan Rakyat sebelum memberikan grasi, amnesti, dan abolisi; d. Dalam konteks hubungan diplomatik, puncak jabatan adalah presiden.

Untuk membatasi agar jangan sampai presiden mengadakan perjanjian yang merugikan kepentingan rakyat, maka setiap perjanjian internasional harus mendapat persetujuan lembaga perwakilan rakyat (parlemen). Begitu juga halnya mengenai pernyataan perang dengan negara lain; e. Kewenangan yang bersifat administratif, meliputi pengangkatan dan

pemberhentian pejabat publik, juga tetap harus diatur dan dibatasi37 Adanya peran serta Mahkamah agung dalam hal pertimbangan pemberian grasi ini, memberikan indikasi pembatasan terhadap otoritasi presiden. Sebagaimana kita ketahui, sistim presidensiil yang dianut oleh negara ini mempunyai kelemahan berupa kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan konsentrasi kekuasaan di tangan Presiden. Dan dengan pembatasan ini, hak preogratif presiden tidak lagi bersifat mutlak.

Permohonan grasi diajukan dalam jangka waktu yang bersamaan dengan permohonan peninjauan kembali atau jangka waktu antara kedua permohonan tersebut tidak terlalu lama, maka permohonan peninjauan kembali yang diputus terlebih dahulu. Selanjutnya, keputusan permohonan grasi ditetapkan paling lambat tiga bulan sejak salinan putusan peninjauan kembali diterima Presiden.

Hasil keputusan permohonan grasi yang dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden, dapat berupa penolakan atau penerimaan grasi. Penerimaan permohonan grasi dapat berupa:

.

1) Peringanan atau perubahan jenis pidana; 2) Pengurangan jumlah pidana;

3) Penghapusan pelaksanaan pidana.

37


(47)

C. Perkembangan Pengaturan Grasi

Setelah Indonesia merdeka, ketentuan dasar peniadaan pidana yang telah dibicarakan di atas diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Disamping itu diatur juga dalam konstitusi pasal 14 ayat (1) UUD RI Tahun 1945 yang menentukan Presiden memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Atas dasar ketentuan ini, pada tanggal 14 April 1947, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1947 yang memuat tata cara pelaksanaan permohonan ampun kepada Presiden. Pada tanggal 25 Juli 1947 keluar Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1947 yang memuat perubahan terhadap Peraturan Pemerintah sebelumnya. Masih pada tahun yang sama, pemerintah mengeluarkan lagi Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1947 yang isinya memuat perubahan terhadap peraturan sebelumnya.

Perubahan peraturan itu masih tetap berlanjut. Pada tahun 1948, pemerintah mengeluarkan empat kali Peraturan Pemerintah mengenai permohonan grasi ini, yakni Peraturan Pemerintah No. 3, No. S 1, No. 16, dan terakhir Peraturan Pemerintah No. 67 tahun 1948. Dan menarik, keempat Peraturan Pemerintah ini isinya kembali memuat perubahan terhadap peraturan sebelumnya tentang permohonan grasi.

Tanggal 27 Desember 1949 terbentuk negara Republik Indonesia Serikat. Konstitusi yang berlaku adalah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) 1949. Berkenaan dengan masalah grasi, konstitusi tersebut mengatur dalam pasal 160. Atas dasar ketentuan tersebut, pada tanggal 1 Juli 1950 dikeluarkan Undang-undang No. 3 tahun 1950 Tentang Permohonan Grasi, Lembaran Negara 1950 No. 40, yang mulai berlaku pada tanggal 6 Juli 1950. Undang-undang ini disebut pula Undang-undang Grasi. Materi muatan Undang-undang ini pada dasarnya tidak jauh


(48)

berbeda dengan Peraturan Pemerintah lainnya mengenai permohonan grasi yang dikeluarkan berdasarkan pasal 14 UUD 1945 sebelum amandemen.

Meskipun demikian, ada hal-hal yang baru dalam undang-undang grasi ini. Misalnya, tenggang waktu penundaan pelaksanaan hukuman penjara yang dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Presiden untuk mempertimbangkan grasi kepada terpidana tersebut sekalipun terpidana tidak mengajukan permohonan grasi. Dalam Undang-undang Grasi tenggang waktunya tiga puluh (30) hari, sementara dalam peraturan sebelumnya 14 hari.

Tanggal 15 Agustus 1950, Pemerintah Republik Indonesia Serikat mengeluarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1950 yang mengubah Konstitusi RIS untuk menjadi Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Undang-undang Dasar ini dikenal dengan sebutan UUDS 1950. Pasal 2 UU No. 7 tahun 1950 menyatakan, UUDS RI ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.

Berkenaan dengan grasi/pengampunan hukuman, pengaturannya tercantum dalam pasal 107 UUDS 1950. Ayat (1) pasal tersebut menetapkan, Presiden mempunyai hak memberi grasi atas hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan pengadilan. Pelaksanaan hak grasi tersebut didasarkan atas nasehat Mahkamah Agung. Ayat (2) mengatur penangguhan putusan terpidana untuk memberikan kesempatan kepada Presiden untuk menggunakan hak grasinya. Ayat (3) mengatur masalah amnesti dan abolisi.

Masa UUDS 1950, pengaturan tata cara pelaksanaan grasi masih tetap menggunakan UU Grasi tahun 1950 yang dikeluarkan pada masa RIS. Hal ini sesuai dengan perihal pasal 142 UUDS 1950 yang menentukan segala peraturan yang ada


(49)

tanggal 17 Agustus 1950 tetap berlaku selama peraturan-peraturan tidak dicabut, ditambah, diubah atas kuasa Undang-undang Dasar ini.

Masa ini, peraturan yang keluar berkenaan dengan grasi tercatat Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1954 tentang Kasasi dan Grasi. Pasal 2 peraturan ini menetapkan, seorang terpidana yang berada dalam tahanan dan mengajukan grasi sehingga ia tidak harus menjalani hukumannya. Jika terdapat alasan-alasan yang penting. Disamping itu keluar surat edaran Menteri Kehakiman No. J.G.2/135/5 tanggal 29 Agustus 1951 tentang Pelaksanaan Urusan Grasi. Surat Edaran ini ditujukan kepada ketua-ketua Pengadilan Negeri dan Kepala-kepala Kejaksaan Negeri, yang isinya antara lain, menjelaskan maksud dan pengertian tempo 14 hari sebagaimana tercantum dalam pasal 5 ayat (1) Undang-undang Grasi.

UUDS 1950 berlaku sampai dengan tanggal 5 Juli 1959. Presiden melalui Dekritnya tanggal 5 juli 1959 menetapkan berlakunya kembali UUD 1945. Berlakunya UUD 1945 mempengaruhi status hukum badan-badan kenegaraan dan peraturan-peraturan yang ada dan berlaku pada masa 5 Juli 1959. Namun hal ini dapat diatasi melalui pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menetapkan, segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. Peraturan yang ada dan berlaku sebelum 5 Juli 1959 dan masih tetap berlaku setelah keluarnya dekrit tersebut antara lain, UU Grasi No. 3 tahun 1950. Ketentuan-ketentuan yang terbit berkenaan dengan masalah grasi, misalnya Surat Edaran Menteri Kehakiman No. J.G.2/42/11, tanggal 5 Nopember 1969.

Di samping grasi menurut Undang-undang Grasi, ada pula grasi yang khusus yang didasarkan Keppres (Keputusan Presiden) No. 568 tahun 1961 hal ini berkaitan


(50)

dengan Keppres No. 449 tahun 1961 tanggal 17 Agustus 1961 tentang Pemberian Amnesti dan Abolisi kepada orang-orang yang tersangkut dalam pemberontakan.

Perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara merupakan wewenang Presiden. Dalam hal ini, berlaku UU Grasi No. 3 tahun 1950 (pasal 7). Mengenai tatacara perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara, Menteri Kehakiman mengeluarkan Keputusan No. M.03.HN.02.01 tahun 1988 tentang Tatacara Permohonan Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup menjadi Pidana Penjara Sementara berdasarkan Keppres No. 5 tahun 1987 tentang Pengurangan Masa Menjalani Pidana (Remisi).

Tatacara pengajuan permohonan perubahan pidana tersebut harus menggunakan tatacara yang diatur dalam UU Grasi tersebut karena mengajukan permohonan kepada Presiden untuk mengubah atau mengganti bentuk hukuman/pemidanaan dengan bentuk pemidanaan yang lebih ringan artinya sama dengan mengajukan grasi.

Setelah UU No. 3 tahun 1950 tentang Grasi tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan Indonesia yang berlaku pada saat ini dan substansinya sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat, maka lahirlah Undang-undang No. 22 tahun 2002 tentang Grasi, yang diberlakukan mulai tanggal 22 Oktober 2002, dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 108. Sejak saat itu UU No. 3 tahun 1950 tentang Grasi dinyatakan tidak berlaku lagi.

Penyesuaian dengan sistem ketatanegaraan Indonesiaan yang dimaksud adalah berhubungan dengan amandemen UUD 1945, yakni ketentuan pasal 14 ayat (1) yang menentukan bahwa Presiden memberikan grasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Tatacara pengajuan dan penyelesaian permohonan


(51)

grasi dalam undang-undang grasi yang lama menimbulkan celah yang selama ini menjadi permasalahan, antara lain megenai penundaan eksekusi karena permohonan grasi. Hal ini mengakibatkan penyalahgunaan permohonan grasi untuk menghindarkan diri dari eksekusi.

Seperti halnya dalam undang-undang grasi yang lama, seorang terpidana mati hanya dapat mengajukan grasi jika putusan pemidanaannya telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Jika terpidana masih dalam proses melakukan upaya hukum berupa banding atau kasasi maka tidak dapat mengajukan grasi, sebab putusan pidana mati pada saat tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Undang-undang ini putusan pemidanaan yang dapat diajukan grasinya selain pidana mati dan penjara seumur hidup adalah pidana penjara yang ditentukan lamanya paling rendah 2 (dua) tahun. Berbeda dengan undang-undang grasi lama yang tidak membatasi lamanya pidana penjara yang dapat dimohonkan grasi. Sehingga dimungkinkan terjadi proses pengajuan grasi lebih lama dari masa hukuman seorang terpidana. Selain itu, tidak adanya batasan tersebut menyebabkan banyaknya permohonan grasi yang harus diproses.

1. Standar Baku Permohonan Grasi

Grasi merupakan hak prerogatif dari Presiden, yang diberikan oleh konstitusi (UUD). Dewasa ini istilah prerogatif diartikan sebagai hak atau kekuasaan eksklusif atau istimewa yang berada pada sebuah badan atau pejabat karena menduduki suatu kedudukan resmi.

Menghadapi permohonan grasi dari terpidana, Presiden akan mengambil tindakan dengan pertimbangan dan kebijaksanaanya sendiri secara alternatif,


(52)

mengabulkan atau menolak permohonan grasi tersebut. Keputusan ini juga bersifat absolut, artinya, tindakan Presiden dalam kaitannya dengan pemberian atau penolakan grasi tidak dapat dikontrol atau dinilai oleh pengadilan.

Berkaitan dengan bagaimana permohonan grasi dapat dikabulkan atau bahkan ditolak oleh Presiden tidak ada keterangan secara tegas ataupun tersirat dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Oleh karena itu, Presiden dapat melaksanakan kekuasaan grasi tersebut untuk alasan apapun yang oleh dia pribadi dianggap pantas. Termasuk alasan kemanusiaan, keadilan, moral ataupun alasan politik.

Menurut Pompe38

1. adanya kekurangan di dalam perundang-undangan, yang di dalam suatu peradilan telah menyebabkan hakim terpaksa menjatuhkan suatu pidana tertentu, yang apabila kepada hakim itu telah diberikan suatu kebebasan yang lebih besar akan menyebabkan seseorang harus dibebaskan atau tidak akan diadili oleh pengadilan ataupun harus dijatuhi suatu tindak pidana yang lebih ringan. Dalam hal ini Pompe menunjuk antara lain pada penafsiran yang lebih luas dari pengertian overmacht di dalam arrest dari Hoge Raad ;

, terdapat keadaan-keadaan tertentu yang dapat dipakai sebagai alasan untuk memberikan grasi, yaitu:

2. adanya keadaan-keadaan yang telah tidak ikut diperhitungkan oleh hakim pada waktu menjatuhkan pidana, yang sebenarnya perlu diperhitungkan untuk meringankan atau untuk meniadakan pidana yang telah ia jatuhkan. Tentang hal ini Pompe telah meyebutkan beberapa contoh, yaitu misalnya keadaan terpidana yang sedang sakit atau keadaan terpidana yang tidak mampu untuk membayar pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim;

3. terpidana baru saja dibebaskan dari lembaga pemasyarakatan oleh Pompe telah dikatakan bahwa pasal 15 dari keputusan mengenai grasi yang berlaku di negeri Belanda itu telah selalu menunjuk kepada hal tersebut; 4. Pemberian grasi setelah terpidana selesai menjalankan suatu masa

percobaan, yang menyebabkan terpidana memang dapat dipandang sebagai pantas untuk mendapatkan pengampunan;

38

Pompe dalam P.A.F Lamintang, Hukum Penitentier Indonesia, CV. Armico, Bandung, 1984. hlm. 287-288


(53)

5. pemberian grasi yang dikaitkan dengan hari besar yang bersejarah. Menurut Pompe grasi seperti ini dapat membuat terpidana selalu ingat kepada hari bersejarah yang bersangkutan dan dapat membantu pemerintah dalam mencapai tujuannya apabila grasi seperti itu diberikan kepada orang-orang terpidana yang telah melakukan tindak pidana-tindak pidana yang bersifat politis.

Sedangkan menurut Van Hattum39

Undang-undang grasi sebelum UU No. 22 tahun 2002, prosedur penanganan grasi melibatkan beberapa komponen yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana

, alasan pemberian grasi antara lain:

“Naar huidige rechtstopvatting mag het instituut echter niet meer gehanteerd worden als vorstelijk guastbetoon, doch behoort het te worden aangewend als middel om onrecht zou moeten leiden. Ook redenen van staatsbelang kunnen aanleiding zijn tot gratieverlening.” Yang artinya:

“Menurut pandangan hukum dewasa ini, lembaga tersebut tidak boleh lagi dipergunakan sebagai kemurahan hati dari raja, melainkan ia harus dipergunakan sebagai alat untuk meniadakan ketidakadilan, yaitu apabila hukum yang berlaku di dalam pemberlakuannya dapat menjurus pada suatu ketidakadilan. Kepentingan negara itu juga dapat dipakai sebagai alasan pemberian grasi.”

Pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa yang dapat dijadikan alasan pemberian grasi oleh presiden antara lain faktor keadilan dan kemanusiaan. Faktor keadilan yakni jika ternyata karena sebab-sebab tertentu hakim pada lembaga peradilan telah menjatuhkan pidana yang dianggap “kurang adil” maka grasi dapat diberikan sebagai penerobosan untuk mewujudkan keadilan. Faktor kemanusiaan tersebut dilihat dari keadaan pribadi terpidana, misalnya jika terpidana dalam keadaan sakit atau telah membuktikan dirinya telah berubah menjadi lebih baik, maka grasi juga dapat diberikan sebagai suatu penghargaan terhadap kemanusiaan itu sendiri.


(1)

Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan.

Grasi tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim dan tidak dapat menghilangkan kesalahan terpidana..

B. Saran

Saran-saran yang dapat penulis kemukakan berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Setelah diperhatikan, peraturan mengenai grasi yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 dirasa perlu diperbaiki. Undang-undang tersebut tidak mengatur dengan jelas batasan waktu maksimal pengajuan grasi. Undang-undang grasi tersebut hanya menyebutkan grasi ke dua dapat diajukan dua tahun setelah grasi pertama. Grasi juga dapat diajukan oleh terpidana maupun keluarga. Sehingga jika grasi dari terpidana mati ditolak, keluarga bisa mengajukannya lagi dan itu bisa masing-masing dilaksanakan dua kali. Keadaan seperti ini memakan waktu yang sangat lama, dan dapat menunda pelaksanaan eksekusi bagi terpidana mati.

2. Para pihak yang berperan dibalik permohonan grasi seperti pengadilan pada tingkat pertama, Mahkamah Agung, bahkan sampai Presiden, agar dapat memproses permohonan grasi secara sungguh-sungguh. Sehingga grasi tidak hanya dijadikan alasan untuk menunda atau mengulur pelaksanaan eksekusi, khususnya dalam hal eksekusi pidana mati.


(2)

Meskipun sudah ada lembaga peninjauan kembali (herziening) yang dapat digunakan oleh terpidana, namun grasi yang berada diluar ranah hukum dan berada di luar sistim peradilan pidana ini, dapat dijadikan presiden sebagai sarana untuk mengkoreksi dan menunjukkan kearifan hukumnya. Di Amerika sebagai negara maju yang tingkat kehati-hatian dan kontrol terhadap pelaksana hukumnya sangat tinggi, terjadinya kekeliruan dalam hukum masih sangat tinggi pula. Hal seperti ini bisa saja terjadi di Indonesia. Menjadi tugas Presiden untuk mengobati keragu-raguan atas kelemahan hukum yang mungkin terjadi. Sehingga grasi dapat mencerminkan tingkat kearifan hukum Presiden dan juga masyarakat.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku:

Abdul Ghofar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 Dengan Delapan Negara Maju, Jakarta: kencana, 2009

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002

Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991

Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta: FH UII Press, 2003

Bambang Purnomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Terbitan Ketujuh, Jakarta,1994

E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Universitas, Bandung, 1965

Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Aksara Baru, Jakarta, 1981

Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2003

JCT. Simonangkir (et-al), Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,2004

Jimly Ashiddiqe, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006

________________, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011


(4)

J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, 1996

Martiman Prodjohamidjojo, Seri Pemerataan Keadilan: Upaya Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983

Pompe dalam P.A.F Lamintang, Hukum Penitentier Indonesia, CV. Armico, Bandung, 1984.

Roeslan Saleh, Masalah Pidana Mati, Aksara Baru, Jakarta, 1978

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990

Sahetapy J.E, Yang Memberi Tauladan Dan Menjaga Nurani Hukum & Politik, Jakarta, 2007

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 2001

______________ , Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986

Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Jakarta, 1981

B. Peraturan Perundang-undangan:

Amandemen Undang-undang Dasar 1945

KUHP


(5)

RKUHP

Undang-undang Darurat Nomor 3 Tahun 1950 tentang Grasi

Undang-undang Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnedti dan Abolisi

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komosi Kebenaran dan Rekonsiliasi

C. Dokumen Lainnya:

apakabar@clark.net,Mulyana W.Kusumah, Pengampunan Politk,MIM edisi 6 Agustus 1995

http://pn_raha.co.id-surat permohonan grasi (diakses pada tanggal 14 desember 2012

“Grasi Samarkan Hukuman Mati”. Suara pembaharuan Dally, http://www.suarapembaharuan.com di akses tanggal 16 Desember 2012.

http://bataviase.co.id/node/355561 di akses tanggal 17 Desember 2012

terhadap koruptor-tanda-sikap-kontraproduktif diakses tanggal 17 Desember 2012

2012


(6)

http//tempo.co/read/news/2012/lima-alasan-presiden-memberi-grasi-terpidana-narkoba diakses tanggal 17 Desember 2012

http://regional.kompasiana.com/2012/05/24/schapelle-corby-ratu-mariyuana-berhasil-intervensi-dapat-grasi-dari-sby-464749.html