BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIANPERIKATAN A. Pengertian PerjanjianPerikatan - Analsis Terhadap Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN/PERIKATAN A. Pengertian Perjanjian/Perikatan Perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst yang diterjemahkan
dengan menggunakan istilah perjanjian maupun persetujuan. Beberapa sarjana tidak menggunakan istilah perjanjian akan tetapi memakai istilah persetujuan.
Mereka berpendapat pemakaian istilah tersebut tidaklah merupakan persoalan yang mendasar, karena suatu perjanjian sebenarnya berasal dari adanya persetujuan para pihak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dalam
Pasal 1313 KUH Perdata memberikan rumusan tentang perjanjian bahwa : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Terhadap definisi Pasal 1313 KUH Perdata ini. Purwahid Patrik
3
menyatakan beberapa kelemahan, yaitu: a.
Definisi tersebut hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Hal ini dapat disimak dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Kata “mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua pihak. Sedangkan maksud perjanjian tersebut adalah para pihak saling mengikatkan diri, sehingga tampak kekurangannya yang seharusnya ditambah dengan rumusan “saling mengikatkan diri”; 3 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas dalam Kontrak b.
Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus/kesepakatan, termasuk perbuatan mengurus kepentingan orang lain (zaakwaarneming) dan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad). Hal ini menunjukkan makna “perbuatan” itu luas dan yang menimbulkan akibat hukum; c. Perlu ditekankan bahwa rumusan Pasal 1313 KUH Perdata mempunyai ruang lingkup di dalam hukum harta kekayaan (vermogensrecht).
Dari pasal 1313 KUH Perdata. Orang menafsirkan, bahwa yang dimaksud dengan perjanjian di sini adalah perjanjian obligatoir, perjanjian yang menimbulkan perikatan dan perikatan di sini merupakan hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan, dimana di satu pihak ada hak dan di lain pihak ada
4
kewajiban. Para sarjana memberikan rumusan mengenai perjanjian dengan penggunaan kalimat yang berbeda-beda, namun pada prinsipnya mengandung
5
unsur yang sama, yaitu: 1.
Ada pihak-pihak. Yang dimaksud dengan pihak disini adalah subyek perjanjian dimana sedikitnya terdiri dari dua orang atau badan hukum dan harus mempunyai wewenang melakukan perbuatan hukum sesuai yang ditetapkan oleh undang-undang;
2. Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap dan bukan suatu perundingan;
3. Ada tujuan yang akan dicapai. Hal ini dimaksudkan bahwa tujuan dari pihak hendaknya tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan 4 Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2001, hal. 173 5 Udin Sarumpaeng, "Hukum Perjanjian",
undang-undang; 4. Ada prestasi yang akan dilaksanakan. Hal ini dimaksudkan bahwa prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian; 5. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan. Hal ini berarti bahwa perjanjian biasa dituangkan secara lisan atau tertulis. Hal ini sesuai dengan ketentuan undang- undang yang menyebutkan bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan bukti kuat.
Undang-undang memberikan beberapa pedoman dalam penafsiran perjanjian, yaitu: a.
Jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran (Pasal 1342 KUH Perdata).
b.
Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, harus dipilihnya menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu, daripada memegang teguh arti kata-kata menurut huruf (Pasal 1343 KUH Perdata).
c.
Jika suatu janji dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilihnya pengertian yang sedemikian yang memungkinkan janji itu dilaksanakan, daripada memberikan pengertian yang tidak memungkinkan suatu pelaksanaan (Pasal 1344 KUH Perdata).
d.
Jika kata-kata dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian (Pasal 1345 KUH Perdata). e.
Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau di tempat, dimana perjanjian telah dibuat (Pasal 1346 KUH Perdata).
f.
Hal-hal yang, menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan (Pasal 1347 KUH Perdata).
g.
Semua janji yang dibuat dalam suatu perjanjian, harus diartikan dalam hubungan satu sama lain; tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya (Pasal 1348 KUH Perdata).
h.
Jika ada keragu-raguan, maka suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang telah meminta diperjanjikannya sesuatu hal, dan untuk keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu (Pasal 1349 KUH Perdata). i.
Meskipun bagaimana luasnya kata-kata dalam mana suatu perjanjian disusun, namun perjanjian itu hanya meliputi hal-hal yang nyata-nyata dimaksudkan oleh kedua belah pihak sewaktu membuat perjanjian (Pasal 1350 KUH Perdata). j.
Jika seorang dalam suatu perjanjian menyatakan suatu hal untuk menjelaskan perikatan, tak dapatlah ia dianggap bahwa dengan demikian hendak mengurangi maupun membatasi kekuatan perjanjian menurut hukum dalam hal-hal yang tidak dinyatakan (Pasal 1351 KUH Perdata).
Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu jadi dapat dibuat secara lisan dan andai kata dibuat secara tertulis maka ini bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan. Untuk beberapa perjanjian tertentu undang-undang menentukan suatu bentuk, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu adalah tidah sah. Dengan demikian bentuk tertulis tadi tidaklah hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja tetapi merupakan syarat untuk adanya perjanjian itu. Misalnya perjanjian mendirikan
6 perseroan Terbatas harus dengan akte notaries (Pasal 38 KUHD).
Perikatan dan perjanjian adalah suatu hal yang berbeda. Perikatan dapat lahir dari suatu perjanjian dan undang-undang. Suatu perjanjian yang dibuat dapat menyebabkan lahirnya perikatan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Perikatan adalah terjemahan dari istilah bahasa Belanda “verbintenis”.
Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literature hukum di Indonesia.
Ketentuan pasal 1233 KUH Perdata menyatakan bahwa “Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena suatu perjanjian, maupun karena undang- undang”. Jika kita coba rumuskan secara berlainan, maka dapat kita katakan bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber lahirnya perikatan. Dengan membuat perjanjian salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut mengikatkan dirinya untuk memenuhi kewajiban sebagaimana yang dijanjikan. Ini
7 berarti di antara para pihak yang membuat perjanjian lahirlah perikatan.
Definisi “perikatan” menurut doktrin (para ahli) adalah hubungan hukum dalam bidang harta kekayaan di antara dua orang atau lebih, di mana pihak yang satu (debitur) wajib melakukan suatu prestasi, sedangkan pihak yang lain
6 Mariam Darus Badrulzaman, Menuju Hukum Perikatan Indonesia, Alumni, Bandung, 1986, hal. 73 7 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, PT Raja Grafindo
8 (kreditor) berhak atas prestasi itu.
Dari rumusan yang diberikan di atas dapat diketahui bahwa suatu perikatan, sekurangnya membawa serta di dalamnya empat unsur, yaitu:
1. Bahwa perikatan itu adalah suatu hubungan hukum; 2.
Hubungan hukum tersebut melibatkan dua pihak atau lebih; 3. Hubungan hukum tersebut adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan;
4. Hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam perikatan.
Sebagaimana telah dikatakan, bahwa menurut Pasal 1233 KUH Perdata, hubungan hukum dalam perikatan dapat lahir karena kehendak para pihak, sebagai akibat persetujuan yang dicapai oleh para pihak, dan sebagai akibat perintah peraturan perundang-undangan. Dengan demikian berarti hubungan hukum ini dapat lahir sebagai akibat perbuatan hukum, yang disengaja ataupun tidak, serta dari suatu peristiwa hukum, atau bahkan dari suatu keadaan hukum. Peristiwa hukum yang melahirkan perikatan misalnya tampak dalam putusan pengadilan yang bersifat menghukum atau kematian yang mewariskan harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya. Setiap hubungan hukum yang tidak membawa pengaruh terhadap pemenuhan kewajiban yang bersumber dari harta kekayaan pihak yang berkewajiban tidaklah masuk dalam pengertian dan ruang lingkup batasan hukum perikatan. Kewajiban orang tua untuk mengurus anaknya bukanlah kewajiban dalam pengertian perikatan. 8
B. Syarat Sah Perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu: a.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian c. Mengenai suatu hal tertentu d. Suatu sebab yang halal.
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai perjanjian sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan, bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, si pembeli mengingini sesuatu barang si
9 penjual .
Syarat sah umum di luar Pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata yang terdiri dari: a.
Syarat itikad baik, b. Syarat sesuai dengan kebiasaan, c. Syarat sesuai dengan kepatuhan, d. Syarat sesuai dengan kepentingan umum.
9
Untuk syarat sah yang khusus yang dikemukakan oleh Munir Fuady terdiri dari: a.
Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu, b. Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu, c. Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu,
10 d.
Syarat izin dari yang berwenang.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman: Syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dapat dibedakan syarat subjektif, dan syarat objektif. dalam hal ini kita harus dapat membedakan antara syarat subjektif dengan syarat objektif. Syarat subjektif adalah kedua syarat yang pertama, sedangkan syarat objektif
11 kedua syarat yang terakhir.
Saliman menjelaskan tafsiran atas Pasal 1320 KUH Perdata yaitu:
a. Syarat subjektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontrak dapat dibatalkan, meliputi: 1). Kecakapan untuk membuat kontrak (dewasa dan tidak sakit ingatan) 2). Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.
b. Syarat objektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontraknya batal demi hukum meliputi: 1). Suatu hal (objek) tertentu
12 2). Sesuatu sebab yang halal (kausa).
Perjanjian atau kesepakatan dari masing-masing pihak itu harus dinyatakan dengan tegas, bukan diam-diam. Perjanjian itu juga harus diberikan bebas dari pengaruh atau tekanan yaitu paksaan.
10 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 34. 11 Mariam Darus Badrulzaman, II, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya , Alumni, Bandung, 1993, hal. 98. 12 Abdul R. Saliman, dkk. Esensi Hukum Bisnis Indonesia. Prenada Media. Jakarta, 2004.
Suatu kesepakatan dikatakan mengandung cacat, apabila kehendak- kehendak itu mendapat pengaruh dari luar sedemikian rupa, sehingga dapat mempengaruhi pihak-pihak bersangkutan dalam memberikan kata sepakatnya.
Misalnya karena ditodong, dipaksa atau karena kekeliruan mengenai suatu sifat dari pada benda yang diperjanjikan dan dapat pula karena penipuan. Pendek kata ada hal-hal yang luar biasa yang mengakibatkan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut telah memberikan perizinannya atau kata sepakatnya secara tidak bebas dengan akibat perizinan mana menjadi
13 pincang tidak sempurna.
Perjanjian yang diadakan dengan kata sepakat yang cacat itu dianggap tidak mempunyai nilai. Lain halnya dalam suatu paksaan yang bersifat relatif, dimana orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan apakah ia akan mengikuti kemauan orang yang memaksa atau menolaknya, sehingga kalau tidak ada perjanjian dari orang yang dipaksa itu maka jelas bahwa perjanjian yang telah diberikan itu adalah perjanjian yang tidak sempurna, yaitu tidak memenuhi syarat- syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Paksaan seperti inilah yang dimaksudkan undang-undang dapat dipergunakan sebagai alasan untuk menuntut batalnya perjanjian, yaitu suatu paksaan yang membuat perjanjian atau perizinan diberikan, tetapi secara tidak benar.
Tentang halnya kekeliruan atau kesilapan undang-undang tidak memberikan penjelasan ataupun pengertian lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan kekeliruan tersebut. Untuk itu harus dilihat pengertian yang mana telah memberikan pengertian terhadap kekeliruan itu, terhadap sifat-sifat 13 Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., hal. 23. pokok yang terpenting dari obyek perjanjian itu. Dengan perkataan lain bahwa kekeliruan itu terhadap unsur pokok dari barang–barang yang diperjanjikan yang apabila diketahui atau seandainya orang itu tidak silap mengenai hal-hal tersebut perjanjian itu tidak akan diadakan. Jadi sifat pokok dari barang yang diperjanjikan itu adalah merupakan motif yang mendorong pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan perjanjian.
Sesuatu kekeliruan atau kesilapan untuk dapat dijadikan alasan guna menuntut pembatalan perjanjian maka haruslah dipenuhi persyaratan bahwa barang-barang yang menjadi pokok perjanjian itu dibuat, sedangkan sebagai pembatasan yang kedua dikemukakan oleh adanya alasan yang cukup menduga adanya kekeliruan atau dengan kata lain bahwa kesilapan itu harus diketahui oleh lawan, atau paling sedikit pihak lawan itu sepatutnya harus mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang yang silap.
Misalnya si penjual lukisan harus mengetahui bahwa si pembelinya mengira bahwa lukisan itu adalah buah tangan asli dari Basuki Abdullah dan ia memberikan pembeli itu dalam kesilapannya. Atau dalam hal penyanyi yang mengetahui bahwa sang Direktur Operasi itu secara silap telah
14 mengadakan kontrak dengan penyanyi kesohor yang sama namanya.
Kekeliruan atau kesilapan sebagaimana yang dikemukakan di atas adalah kekeliruan terhadap orang yang dimaksudkan dalam perjanjian. Jadi orang itu mengadakan perjanjian justru karena ia mengira bahwa penyanyi tersebut adalah orang yang dimaksudkannya. Dalam halnya ada unsur penipuan pada perjanjian yang dibuat, maka pada salah satu pihak terdapat gambaran yang sebenarnya mengenai sifat-sifat pokok barang-barang yang diperjanjikan, 14 gambaran dengan sengaja diberikan oleh pihak lawannya. Dalam hal penipuan inipun dapat pula diajukan sanksi atas dasar perbuatan melawan hukum atau sebagaimana diatur Pasal 1365 KUH Perdata.
Perihal adanya penipuan itu harus dibuktikan, demikian hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1328 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat”. Untuk dapat dikatakan adanya suatu penipuan atau tipu muslihat tidak cukup kalau seseorang itu hanya melakukan kebohongan mengenai suatu hal saja, paling sedikit harus ada sesuatu rangkaian kebohongan. Karena muslihat itu, pihak yang tertipu terjerumus pada gambaran yang keliru dan membawa kerugian kepadanya.
Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian adalah, kecakapan para pihak. Untuk hal ini dikemukakan Pasal 1329 KUH Perdata, dimana kecakapan itu dapat dibedakan: a.
Secara umum dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian secara sah.
b.
Secara khusus dinyatakan bahwa seseorang dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian tertentu, misalnya Pasal 1601 KUH Perdata yang menyatakan batalnya suatu perjanjian perburuhan apabila diadakan antara suami isteri.
Sedangkan perihal ketidakcakapan pada umumnya itu disebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap sebagaimana yang diuraikan oleh Pasal 1330 KUH Perdata ada tiga, yaitu: a.
Anak-anak atau orang yang belum dewasa b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampunan c. Wanita yang bersuami
Ketidak cakapan ini juga ditentukan oleh undang-undang demi kepentingan curatele atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan itu sendiri.
Menurut Pasal 1330 KUH Perdata di atas wanita bersuami pada umumnya adalah tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, kecuali kalau ditentukan lain oleh undang-undang. Ia bertindak dalam lalu lintas hukum harus dibantu atau mendapat izin dari suaminya. Hal ini mengingat bahwa kekuasaan sebagai kepala rumah tangga adalah besar sekali, seperti yang kita kenal dengan istilah maritale macht.
Melihat kemajuan zaman, dimana kaum wanita telah berjuang membela haknya yang kita kenal dengan emansipasi, kiranya sudah tepatlah kebijaksanaan Mahkamah Agung yang dengan surat Edarannya No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 telah menganggap Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya sudah tidak berlaku lagi.
Dalam halnya perjanjian-perjanjian yang dibuat orang yang tergolong tidak cakap ini, pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan oleh orang yang dianggap tidak cakap itu sendiri, sebab undang-undang beranggapan bahwa perjanjian ini dibatalkan secara sepihak, yaitu oleh pihak yang tidak cakap itu sendiri, akan tetapi apabila pihak yang tidak cakap itu mengatakan bahwa perjanjian itu berlaku penuh baginya, maka konsekwensinya adalah segala akibat dari perjanjian yang dilakukan oleh para pihak yang tidak cakap dalam arti tidak berhak atau tidak berkuasa maka pembatalannya hanya dapat dimintakan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Pembatalan terhadap orang-orang tertentu dalam hal kecakapan membuat suatu perjanjian sebagaimana dikemukakan Pasal 1330 KUH Perdata tersebut, kiranya dapat diingat bahwa sifat dari peraturan hukum sendiri pada hakekatnya selalu mengejar dua tujuan yaitu rasa keadilan di satu pihak dan ketertiban hukum dalam masyarakat di pihak lain. Maka demikianlah bilamana dari sudut tujuan hukum yang pertama ialah mengejar rasa keadilan memang wajarlah apabila orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya terikat oleh perjanjian itu harus pula mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyapi akan tanggung- jawab yang harus dipikulkan dan tujuan yang satu inilah akan sulit diharapkan apabila orang-orang yang merupakan pihak dalam suatu perjanjian itu adalah orang-orang di bawah umur atau orang sakit ingatan atau pikiran yang pada umumnya dapat dikatakan sebagai belum atau tidak dapat menginsyapi apa sesungguhnya tanggung-jawab itu.
Pembatasan termaksud di atas itu kiranya sesuai apabila dipandang dari sudut tujuan hukum dalam masyarakat, yaitu mengejar ketertiban hukum dalam masyarakat, dimana seseorang yang membuat perjanjian itu pada dasarnya berarti juga mempertaruhkan harta kekayaannya. Maka adalah logis apabila orang-orang yang dapat berbuat itu adalah harus orang-orang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas terhadap harta kekayaannya itu. Dimana kenyataan yang demikian itu tidaklah terdapat dalam arti orang–orang yang sungguh tidak ditaruh di bawah pengampuan atau orang-orang yang tidak sehat pikirannya, karena sebab-sebab lainnya ataupun pada diri orang-orang yang masih di bawah umur.
Selanjutnya syarat yang ketiga untuk sahnya satu perikatan adalah adanya hal tertentu yang diperjanjikan maka ini berarti bahwa apa yang diperjanjikan harus cukup jelas dalam arti barang atau benda yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya sebagaimana diatur dalam
Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata dengan pengertian bahwa jumlahnya barang tidak menjadi syarat, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata berbunyi “Suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya”.
Syarat yang ketiga ini menjadi penting, terutama dalam hal terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, guna dapat menetapkan apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban dari pada pihak-pihak dalam perjanjian yang mereka buat itu. “Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat tidak dipenuhi
15 syarat ini, perjanjian itu batal demi hukum (voidneiting)”.
15
Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan sebagai syarat ke-empat ialah adanya suatu sebab yang halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian itu sendiri. Atau seperti dikemukakan R. Wirjono Prodjodikoro, yaitu: “Azas-azas hukum perjanjian, bahwa dengan pengertian causa adalah bukan hal yang mengakibatkan hal sesuatu keadaan belaka. Selanjutnya beliau mengatakan dalam pandangan saya, causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan
16 tujuan suatu persetujuan, yang menyebabkan adanya perjanjian itu”.
Suatu causa dalam perjanjian, haruslah berupa causa yang halal, dalam arti bahwa isi perjanjian itu harus bukan sesuatu hal yang terlarang.
“Sebagai contoh dari suatu perjanjian yang mengandung causa yang terlarang, adalah si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si pembeli berjanjin
17 membunuh orang”.
Sehubungan dengan perbedaan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah dikemukakan terlebih dahulu, yaitu syarat obyektif dan syarat subyektif, maka apabila syarat obyektif tersebut tidak dipenuhi, perjanjian itu dapat dikatakan batal demi hukum. Sedangkan dalam hal syarat subyektif yang tidak dipenuhi, maka terhadap perjanjian yang demikian itu salah satu pihak mempunyai hak untuk menuntut perjanjian yang telah dibuat menjadi batal.
Dengan perkataan lain, bahwa bila syarat subyektif tidak dipenuhi maka dapat dituntut pembatalannya, sedangkan bila syarat obyektif yang tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. 16 17 R. Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal. 36.
Subekti, Op.Cit., hal. 20.
C. Asas-Asas Perjanjian
Asas-asas hukum perjanjian mempunyai pengertian tersendiri, menurut Sudikno Mertokusumo, pengertian asas hukum adalah suatu pemikiran dasar yang bersifat umum yang melatarbelakangi pembentukan hukum positif. Dengan demikian asas hukum tersebut pada umumnya tidak tertuang di dalam peraturan yang konkret akan tetapi hanyalah merupakan suatu hal yang menjiwai atau melatarbelakangi pembentukannya. Hal ini disebabkan oleh sifat dari asas tersebut
18
yaitu abstrak dan umum. Adapun fungsi-fungsi asas hukum, antara lain: 1.
Pengundang-undangan harus mempergunakan asas-asas hukum sebagai pedoman bagi kerjanya;
2. Hakim melakukan interpretasi hukum berdasarkan kepada asas-asas hukum; 3.
Hakim perlu mempergunakan asas-asas hukum, apabila ia perlu mengadakan analogi;
4. Hakim dapat melakukan koreksi terhadap peraturan perundang-undangan, karena tidak dipakai terancam kehilangan maknanya.
Jika diperhatikan keempat fungsi asas-asas hukum tersebut di atas fungsi kedua, ketiga dan keempat diberikan kepada hakim sesuai dengan fungsi dan tugas menurut jabatannya.
Dalam hukum perjanjian dikenal lima asas penting, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda, asas iktikad baik dan asas kepribadian. Kelima asas itu disajikan sebagai berikut:
18 a.
Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Kebebasan berkontrak bersifat esensial, baik bagi individu untuk mengembangkan diri didalam kehidupan pribadi maupun didalam kehidupan bermasyarakat serta untuk mengindahkan kepentingan-kepentingan harta kekayaannya, maupun bagi masyarakatnya sebagai suatu kesatuan, sehingga hal-
19
hal tersebut oleh beberapa peneliti dianggap sebagai suatu hak dasar. Adapun asas kebebasan berkontrak merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan
20
kepada para pihak untuk: 1)
Membuat atau tidak membuat perjanjian; 2)
Mengadakan perjanjian dengan siapa pun; 3)
Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya, serta
4) Menetukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Kebebasan berkontrak pada dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia yang perkembangannya dilandasi semangat liberalisme yang mengagungkan kebebasan individu. Perkembangan ini seiring dengan penyusunan BW di negeri Belanda, dan semangat liberalisme ini juga dipengaruhi semboyan Revolusi Perancis “liberte, egalite et fraternite” (kebebasan, persamaan dan persaudaraan). Menurut paham individualisme setiap 19 Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia
Modern , PT Refika Aditama, Bandung, 2004, hal. 99 20 Salim, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), Sinar Grafika, Jakarta,
orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendaki, sementara itu di dalam
21 hukum perjanjian falsafah ini diwujudkan dalam asas kebebasan berkontrak.
Walau dunia barat telah terjadi pergeseran Hukum Perdata pada umumnya, hukum perjanjian pada khususnya yang tetap berada dalam sistem individualisme yang
22 merupakan unsur primair di dalam masyarakat adalah kepentingan individu.
Akan tetapi, dalam hukum perjanjian Nasional, asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab yang mampu memelihara keseimbangan ini tetap dipertahankan, yaitu “pengembangan kepribadian” untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir dan batin yang serasi, selaras dan seimbang dengan
23 kepentingan masyarakat.
b.
Asas Konsensualisme Konsensualisme berasal dari perkataan “consensus” yang berarti kesepakatan. Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai persesuaian kehendak. Dalam asas konsensualisme yang ditekankan adalah adanya persesuaian kehendak sebagai inti dari hukum kontrak.
Asas konsensualisme merupakan “roh” dari suatu perjanjian. Hal ini tersimpul dari kesepakatan para pihak, namun demikian pada situasi tertentu terdapat perjanjian yang tidak mencerminkan wujud kesepakatan yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan adanya cacat kehendak yang mempengaruhi timbulnya perjanjian.
21 22 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hal.109 23 Mariam Darus Badrulzaman, Menuju Hukum Perikatan Indonesia, Op.Cit, hal. 17
Dengan demikian, asas konsensualisme sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata angka 1, yang menyatakan bahwa perjanjian itu telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat, hendaknya tidak juga diinterpretasi semata-mata secara gramatikal. Pemahaman asas konsensualisme yang menekankan pada “sepakat” para pihak ini, berangkat dari pemikiran bahwa yang berhadapan dalam kontrak itu adalah orang yang menjunjung tinggi komitmen dan tanggung jawab serta orang yang beritikad baik, yang berlandaskan
24 pada “satunya kata satunya perbuatan”.
c.
Asas Pacta Sunt Servanda
Pacta sunt servanda berasal dari bahasa latin yang berarti “janji harus
ditepati”. Pacta sunt servanda merupakan asas atau prinsip dasar dalam sistem hukum civil law. Pada dasarnya asas ini berkaitan dengan perjanjian yang dilakukan diantara individu, yang mengandung makna bahwa: 1)
Perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya; 2)
Ingkar terhadap kewajiban yang ada pada perjanjian merupakan tindakan melanggar janji atau wanprestasi.
Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang- undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. 24
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.
d.
Asas Iktikad Baik
Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata menyatakan bahwa, “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Apa yang dimaksud dengan iktikad baik, perundang-undangan tidak memberikan definisi yang tegas dan jelas. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan iktikad adalah kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud, kemauan. Iktikad baik juga dibedakan dalam sifatnya yang nisbi dan mutlak. Pada iktikad baik yang nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada iktikad baik yang mutlak atau hal yang sesuai dengan akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran objektif untuk menilai keadaan sekitar perbuatan hukumnya.
25 Wirjono Prodjodikoro membagi iktikad baik menjadi dua macam, yaitu:
1) Iktikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Iktikad baik di sini biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa syarat- syarat yang diperlukan telah terpenuhi ketika dimulai hubungan hukum.
Dalam konteks ini hukum memberikan perlindungan kepada pihak yang beriktikad baik, sedang pihak yang beriktikad tidak baik harus bertanggung jawab dan menanggung resiko. Iktikad baik semacam ini dapat disimak dari ketentuan Pasal 1977 ayat (1) KUH Perdata dan Pasal 1963 KUH Perdata, 25 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata, Op.Cit, hal. 56 dimana terkait dengan salah satu syarat untuk memperoleh hak milik atas barang melalui daluwarsa. Iktikad baik ini bersifat subjektif dan statis.
2) Iktikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam hubungan hukum itu. Pengertian iktikad baik semacam ini sebagaimana diatur dalam pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata adalah bersifat objektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan hukumnya. Titik berat iktikad baik di sini terletak pada tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai pelaksanaan sesuatu hal.
e.
Asas Kepribadian Asas ini memberikan pengertian bahwa seseoarang yang akan melakukan atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini mengacu pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KH Perdata. Pasal 1315 menyatakan bahwa : “Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkan suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri”. Ini berarti bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian adalah untuk dirinya sendiri.
Selanjutnya Pasal 1340 menyatakan bahwa : “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya”. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana dalam pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan bahwa : “Lagi pun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkan suatu janji guna kepentingan seorang pihak ke tiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain, memuat suatu janji yang seperti itu”. Pasal ini menyebut bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan Pasal 1318 KUH Perdata, hanya mengatur perjanjian untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang- orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUH Perdata memiliki ruang lingkup yang luas.
Di samping kelima asas itu, di dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselengarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Dapartemen Kehakiman dari tanggal 17 sampai dengan tanggal 19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskan delapan asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asas tersebut,
26
yaitu: 1.
Asas Kepercayaan Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan di antara mereka di belakang hari.
2. Asas Persamaan Hukum Yang dimaksud dengan asas persamaan hukum adalah bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak dibeda-bedakan antara satu sama lain, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama dan ras.
3. Asas Keseimbangan Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk 26 menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik.
4. Asas Kepastian Hukum Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum.
Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
5. Asas Moral Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang yang tidak dapat menuntut haknya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela. Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan sebagai panggilan hati nuraninya.
6. Asas Kepatutan Asas kepatutan tertuang dalam pasal 1339 KUH Perdata. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.
7. Asas Kebiasaan Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.
8. Asas perlindungan
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur, karena pihak debitur berada pada pihak yang lemah.
Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari pihak dalam menetukan dan membuat kontrak.
D. Wanprestasi
Perikatan yang bersifat timbal balik senantiasa menimbulkan sisi aktif dan sisi pasif. Sisi aktif menimbulkan hak bagi kreditor untuk menuntut prestasi, sedangkan sisi pasif menimbulkan beban kewajiban bagi debitur untuk melaksanakan prestasinya. Namun pada perikatan tertentu prestasi tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga muncul peristiwa yang disebut wanprestasi. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang
27
telah ditentukan dalam perjanjian. Selanjutnya, terkait dengan wanprestasi tersebut Pasal 1243 KUH Perdata menyatakan, bahwa : “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya”. Adapun 27
28
bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu: 1.
Tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Sehubungan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam,
29
yaitu: 1)
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan; 2)
Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya; 3)
Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; 4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Wanprestasi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan somasi. Seorang debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh kreditur atau pejabat yang berwenang untuk itu. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan lalu 28 29 Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Putra Abadin, 1999, Jakarta, hal.18 Subekti, Op.Cit, hal. 43.
pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau tidak. Somasi adalah teguran dari si kreditur kepada debitur agar dapat memenuhi
30 prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara keduanya.
E. Onrechtmatige Daad
Onrechtmatige daad diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi
perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum ini sudah menjadi kebiasaan dalam praktik perkara perdata dan yang menjadi acuan dasar hukumnya yaitu Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Sebelum tahun 1919, Belanda mengartikan perbuatan melawan hukum sebatas melanggar peraturan-peraturan yang tertulis. Akan tetapi sejak kasus Lindenbaum versus Cohen tahun 1919, perbuatan melawan hukum tidak hanya melanggar perbuatan peraturan yang sifatnya tertulis, namun diartikan secara luas,
31
yakni: 1.
Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain; 2. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; 3. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan; 4. Perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan atau keharusan yang terdapat dalam masyarakat terhadap diri atau barang orang lain. 30 31 Salim, Op.Cit, hal. 9.
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 1-9 Sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum harus memenuhi unsur-unsur
32
sebagai berikut: a.
Perbuatan tersebut haruslah perbuatan yang melanggar hukum; b. Perbuatan tersebut membawa kerugian terhadap orang lain; c. Adanya unsur kesalahan dalam perbuatan yang merugikan tersebut.
Unsur kesalahan merupakan unsur mutlak berlakunya ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, jika unsur kesalahan tidak ditemukan, maka berlakulah ketentuan Pasal 1366 KUH Perdata yang menyatakan bahwa : Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya”.
Sedangkan dalam Rancangan Hukum Perikatan Nasional, rumusan
33
perbuatan melawan hukum sebagai berikut: 1)
Perbuatan melawan hukum adalah tiap pelanggaran hak orang lain dan perbuatan atau kelalaian yang bertentangan dengan kewajiban menurut undang-undang atau dengan suatu kepatutan yang harus diindahkan dalam masyarakat menurut hukum tertulis kecuali ada dasar yang membenarkan.
2) Barang siapa melakukan perbuatan melawan hukum, yang dipertanggungjawabkan kepadanya, diwajibkan memberi ganti rugi kepada pihak yang menderita akibat perbuatan itu.
3) Pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas suatu perbuatan melawan 32 33 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal. 42 Syamsul Arifin, Op.Cit, hal. 164-165 hukum, apabila hal itu adalah karena kesalahannya atau karena sesuatu sebab yang menurut undang-undang atau menurut pendapat yang berlaku dalam masyarakat adalah merupakan tanggungjawabnya.
Mengenai pertanggungjawaban di atas, Mahadi membedakannya menjadi tanggung jawab individual dan tanggung jawab kualitatif. Pada tanggung jawab individual yang dipertanyakan adalah siapa yang bersalah. Sedangkan, yang dipersoalakan pada tanggung jawab kualitatif adalah siapa yang bersalah dan siapa yang harus memikul resiko atas terjadinya perbuatan melawan hukum
34
tersebut. Adapun dasar hukum yang dipakai dalam tanggung jawab kualitatif diatur dalam Pasal 1367, 1368 dan 1369 KUH Perdata.
34