Analsis Terhadap Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan
ANALSIS TERHADAP PERJANJIAN KERJASAMA
OPERASIONAL MESIN HEMODYALISA DI RUMAH SAKIT
UMUM DAERAH Dr. PIRNGADI MEDAN
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum Oleh :
MASLIM NUR EVENDI SINAMBELA NIM : 100200360
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
(2)
ANALSIS TERHADAP PERJANJIAN KERJASAMA
OPERASIONAL MESIN HEMODYALISA DI RUMAH SAKIT
UMUM DAERAH Dr. PIRNGADI MEDAN
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
MASLIM NUR EVENDI SINAMBELA
NIM : 100200360
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
Dr. H. Hasim Purba, SH, M. Hum NIP. 196603031985081001
Pembimbing I Pembimbing II
Sunarto Adi Wibowo, SH, M.Hum Zulkifli Sembiring, SH, MH NIP. 195203301976011001 NIP. 196101181988031001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
(3)
KATA PENGANTAR Bismillahirahmanirrahim
Puji dan syukur kehadhirat Allah SWT atas limpahan rahmat, nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan tidak lupa shalawat beriring salam saya sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya kejalan yang di ridhoi Allah SWT.
Adapun skripsi ini berjudul : “Analsis Terhadap Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan” Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan di dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukkan dan saran yang bersifat membangun untuk dimasa yang akan datang.
Didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing, dan memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin,
(4)
SH. MH. DFM, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Dr. O. K. Saidin, SH. M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Dr. Hasim Purba, SH. M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
3. Ibu Rabiatul Syariah, SH. M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Sunarto Adi Wibowo, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan-arahan didalam penulisan skripsi ini.
5. Bapak Zulkifli Sembiring, SH, MH, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan-arahan dalam penulisan skripsi ini.
6. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
7. Kepada Ayahanda Abdul Halim Sinambela dan Ibunda Masrum Br.
Hutagaol yang selalu memberikan perhatian, dukungan moral dan materiil serta doa dan kasih sayangnya hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU.
8. Kepada Saudara Kandung Penulis, yaitu Iwan Jhon Frangki Sinambela, Syahputra Wondo Sinambela, Hajaruddin Sinambela, Herman Sinambela dan Romadan Sinambela yang memberikan perhatian dan semangat untuk penulis agar terus maju.
(5)
9. Kepada Puji Astuti yang Penulis sayangi serta sahabat-sahabat seperjuangan ku : Rendy, SH, Evan, SH, Josua, SH, Fadlan, SH, Agung, SH, Edward, SH, Budi, SH, Dekna, SH, kinan, SH, intan, SH, Leonard, SH. Terima kasih atas doa, dukungan dan bantuannya selama ini.
10.Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 11.Civitas Akademik Mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, khususnya stambuk 2010.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala keterbatasan, kesalahan dan kekurangan, saya bersedia untuk menerima teguran dan bimbingan. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Medan, April 2015
Hormat Penulis
(6)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAK ... vii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan... 4
C. Tujuan Penulisan ... 4
D. Manfaat Penulisan ... 5
E. Metode Penelitian... 6
F. Keaslian Penulisan ... 8
G. Sistematika Penulisan ... 8
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN/PERIKATAN ... 11
A. Pengertian Perjanjian/Perikatan ... 11
B. Syarat Sah Perjanjian ... 15
C. Asas-Asas Perjanjian ... 26
D. Wanprestasi ... 34
E. Onrechtmatige Daad ... 36
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG MESIN HEMODYALISA DI RUMAH SAKIT UMUM ... 39
A. Pengertian Rumah Sakit Umum ... 39
(7)
C. Pengertian Hemodyalisa... 47
D. Peranan Rumah Sakit Umum Dalam Penatalaksanaan Mesin Hemodyalisa ... 49
BAB IV PERJANJIAN KERJASAMA OPERASIONAL MESIN HEMODYALISA DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. PIRNGADI MEDAN ... 51
A. Proses Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan ... 51
B. Bentuk Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan ... 54
C. Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan ... 65
D. Bentuk Penyelesaian Sengketa Dalam Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan ... 73
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 78
A. Kesimpulan ... 78
B. Saran ... 79 DAFTAR PUSTAKA
(8)
ABSTRAK
* Sunarto Ady Wibowo, SH.M.Hum ** Zulkifli Sembiring, SH.MH
*** Maslim Nur Evendi S
Penelitian ini akan mengajukan judul penelitian yaitu “Analisis Terhadap Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan. Untuk membahas judul tersebut maka diajukan permasalahan tentang: Bagaimana proses perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan, bagaimana bentuk perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. pirngadi Medan, bagaimana akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan dan bagaimana bentuk Penyelesaian sengketa dalam perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan.
Penelitian ini bersifat deskripsif analisi yaitu menggambarkan, menelaah dan menjelaskan serta menganalisa peraturan-peraturan yang berlaku dihubungkan dengan pengaturan perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pringadi Medan. Sedangkan materi penelitian ini adalah berdasarkan data sekunder yaitu berdasarkan telaah teoritis.
Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan proses perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan adalah dengan terlebih dahulu adanya penawaran dari pihak PT. Mendjangan Jakarta kepada Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan. Penawaran yang dilakukan tersebut tentunya memiliki dasar yaitu untuk pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan. Bentuk perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. pirngadi Medan dilakukan secara tertulis yaitu ada hitam di atas putih, serta diberi judul "Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Antara RSUD Dr. Pirngadi Medan Dengan PT. Mendjangan Jakarta. Akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan maka apabila ada salah satu pihak melalaikan perjanjian atau tidak memenuhi isi perjanjian sebagaimana yang telah mereka sepakati bersama-sama, maka apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasi yang sudah disepakatinya pihak tersebut telah melakukan wanprestasi. Bentuk Penyelesaian sengketa dalam perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan maka kedua pihak memilih penyelesaian secara Musyawarah, bila masih belum tercapai kesepakatan maka Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permasalahannya kepada Panitia Arbitrase. Bilamana perselisihan diatas tidak dapat diselesaikan, maka penyelesaiannya melalui Pengadilan Negeri Medan. Kata Kunci: Perjanjian Kerjasama, Operasional, Mesin Hemodyalisa
* Dosen Pembimbing I Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU ** Dosen Pembimbing II Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU *** Mahasiswa Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU
(9)
ABSTRAK
* Sunarto Ady Wibowo, SH.M.Hum ** Zulkifli Sembiring, SH.MH
*** Maslim Nur Evendi S
Penelitian ini akan mengajukan judul penelitian yaitu “Analisis Terhadap Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan. Untuk membahas judul tersebut maka diajukan permasalahan tentang: Bagaimana proses perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan, bagaimana bentuk perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. pirngadi Medan, bagaimana akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan dan bagaimana bentuk Penyelesaian sengketa dalam perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan.
Penelitian ini bersifat deskripsif analisi yaitu menggambarkan, menelaah dan menjelaskan serta menganalisa peraturan-peraturan yang berlaku dihubungkan dengan pengaturan perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pringadi Medan. Sedangkan materi penelitian ini adalah berdasarkan data sekunder yaitu berdasarkan telaah teoritis.
Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan proses perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan adalah dengan terlebih dahulu adanya penawaran dari pihak PT. Mendjangan Jakarta kepada Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan. Penawaran yang dilakukan tersebut tentunya memiliki dasar yaitu untuk pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan. Bentuk perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. pirngadi Medan dilakukan secara tertulis yaitu ada hitam di atas putih, serta diberi judul "Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Antara RSUD Dr. Pirngadi Medan Dengan PT. Mendjangan Jakarta. Akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan maka apabila ada salah satu pihak melalaikan perjanjian atau tidak memenuhi isi perjanjian sebagaimana yang telah mereka sepakati bersama-sama, maka apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasi yang sudah disepakatinya pihak tersebut telah melakukan wanprestasi. Bentuk Penyelesaian sengketa dalam perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan maka kedua pihak memilih penyelesaian secara Musyawarah, bila masih belum tercapai kesepakatan maka Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permasalahannya kepada Panitia Arbitrase. Bilamana perselisihan diatas tidak dapat diselesaikan, maka penyelesaiannya melalui Pengadilan Negeri Medan. Kata Kunci: Perjanjian Kerjasama, Operasional, Mesin Hemodyalisa
* Dosen Pembimbing I Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU ** Dosen Pembimbing II Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU *** Mahasiswa Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU
(10)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Pelayanan kesehatan terdiri dari berbagai macam peralatan dengan kualitas yang berbeda dan selalu berkembang pesat dari waktu ke waktu baik dari segi jenis maupun prinsip kerjanya seiring dengan kemajuan teknologi. Peralatan kesehatan di dalam penggunaannya kepada penderita baik yang langsung maupun tidak langsung tujuan akhirnya adalah untuk menyelamatkan jiwa manusia. Kelancaran dan keamanan pengoperasian merupakan hal yang mutlak perlu pada peralatan kesehatan. Untuk itu perlu diperhatikan dalam menyediakan alat kesehatan yang merupakan unsur penting dalam operasional sebuah rumah sakit, tetapi disebabkan sifat umum rumah sakit menurut Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perseorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat, maka hal-hal lainnya seperti pengadaan alat kesehatan merupakan kerjasama dengan pihak lain.
Salah satu bentuk perjanjian yang merupakan kajian penelitian ini adalah perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa antara RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan PT. Mendjangan Jakarta. Perjanjian ini disebut perjanjian kerjasama karena meletakkan suatu sifat perbuatan pinjam pakai mesin hemodyalisa dalam kaitannya dengan pelaksanaan pelayanan kesehatan pasien di RSUD Dr. Pirngadi Medan.
(11)
Perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa termasuk dalam perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Buku III KUH Perdata. Secara garis besar, tatanan hukum perdata Indonesia memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk saling mengadakan perjanjian tentang apa saja yang dianggap perlu bagi tujuannya. Sebagaimana ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagaimana undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Menyikapi hal tersebut R. Subekti menjelaskan
Bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti undang-undang. Atau dengan perkataan lain, dalam soal perjanjian, kita diperbolehkan membuat undang-undang bagi kita sendiri. Pasal-pasal dari hukum perjanjian hanya berlaku, apabila atau sekedar kita tidak mengadakan aturan-aturan sendiri dalam perjanjian-perjanjian yang kita adakan itu.1
Dalam setiap perjanjian terdapat subyek dan obyek perjanjian. Subyek perjanjian adalah para pihak yang membuat perjanjian, baik orang maupun badan hukum, para pihak tersebut adalah kreditur dan debitur. Dalam hal ini kreditur berhak atas prestasi, sedangkan debitur mempunyai kewajiban untuk memenuhi prestasi. Apabila dalam suatu perjanjian terdapat lebih dari satu kreditur yang berhadapan dengan seorang debitur ataupun sebaliknya, maka perjanjian yang dibuat tersebut adalah tetap sah. Sekurang-kurangnya terdapat dua pihak yang terkait dalam suatu perjanjian. Apabila terjadi pengurangan jumlah kreditur, juga tidak mengurangi sahnya perjanjian tersebut. Sesuai dengan teori dan praktek hukum, kreditur dan debitur terdiri dari :
1
(12)
1. Individu sebagai person yang bersangkutan. a. Natuurlijk Persoon atau manusia tertentu. b. Rechts persoon atau badan hukum.
2. Seseorang atas keadaan tertentu mempergunakan kedudukan atau hak orang lain.
3. Person yang dapat diganti.
Identitas para pihak harus selalu diketahui oleh pihak-pihak walaupun telah dilakukan suatu penggantian karena suatu hak agar masing-masing dapat dengan mudah menuntut prestasinya.
Mengenai obyek perjanjian, Wirjono Prodjodikoro, SH mengatakan:
“… Obyek dalam suatu perjanjian dapat diartikan sebagai hal yang diperlukan oleh subyek itu berupa suatu hal yang penting dalam tujuan yang dimaksudkan dengan membentuk suatu perjanjian”.2
Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan obyek perjanjian adalah prestasi. Sesuai dengan Pasal 1234 KUH perdata bahwa prestasi yang diperjanjikan oleh para pihak dapat berupa:
1) Untuk memberikan sesuatu, 2) Berbuat sesuatu dan,
3) Tidak berbuat sesuatu.
Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini akan mengajukan judul penelitian yaitu “Analisis Terhadap Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin
2
R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur Bandung, Bandung, 1989, hal. 6-7.
(13)
Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan”.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa permasalahan yang akan menjadi batasan pembahasan dari penelitian ini nantinya, antara lain:
a. Bagaimana proses perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan?
b. Bagaimana bentuk perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. pirngadi Medan?
c. Bagaimana akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan?
d. Bagaimana bentuk Penyelesaian sengketa dalam perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Untuk mengetahui proses perjanjian kerjasama operasional mesin
hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan.
2. Untuk mengetahui bentuk perjanjian kerjasamao perasional mesin
(14)
3. Untuk mengetahui akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan.
4. Untuk Mengetahui Bentuk Penyelesaian jika terjadi sengketa dalam
perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari Penelitian yang dilakukan ini dibedakan dalam manfaat teoritis dan manfaat praktis yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis sebagai berikut: a. Memberikan manfaat dalam bentuk sumbang saran untuk perkembangan
ilmu hukum pada umumnya dan khususnya pada bidang hukum perjanjian kerjasama di bidang operasional alat kesehatan seperti hemodyalisa.
b. Menambaha khasanah perpustakaan. 2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis sebagai berikut: a. Sebagai masukan bagi instansi terkait seperti pemerintah dan juga pihak
kontaktor dalam kaitannya dengan pembuatan perjanjian kerjasama operasional alat kesehatan seperti hemodyalisa.
(15)
masyarakat tentang proses perjanjian kerjasama operasional alat kesehatan di sebuah rumah sakit.
c. Sebagai bahan masukkan bagi penyempurnaan perundang-undangan
nasional khususnya yang berhubungan dengan masalah perjanjian kerjasama dilingkungan rumah sakit.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari: 1. Sifat dan materi penelitian
Penelitian ini bersifat deskripsif analisi yaitu menggambarkan, menelaah dan menjelaskan serta menganalisa peraturan-peraturan yang berlaku dihubungkan dengan pengaturan perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pringadi Medan. Sedangkan materi penelitian ini adalah berdasarkan data sekunder yaitu berdasarkan telah teoritis.
Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk meneliti penerapan ketentuan-ketentuan perundang-undangan (hukum positif) dalam bidang perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan. Dengan demekian penelitian yang dilakukan merupakan penelitain hukum juridis normatif yaitu suatu penelitain dengan mengambil kerangka penelitian berdasarkan ketentuan pengaturan perundang-undangan, yang kemudian hasilnya akan dipaparkan dalam bentuk deskripsi berupa pemaparan hal-hal yang ditemukan dalam penelitian tersebut.
(16)
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini berasal dari :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni: 1) Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945,
2) Peraturan perundang-undangan yang terkait seperti KUH perdata, Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan serta Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 beserta perubahan-perubahannya Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan lain sebagainya.
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti : buku-buku, hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum dan sebagainya.
c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup :
1) Bahan-bahan yang member petunjuj-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder.
2) Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) di luar bidang hukum seperti kamus, insklopedia, majalah, koran, makalah dan sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.
3. Alat pengumpul data
(17)
melalui studi dokumen dan penelusuran kepustakaan yang merupakan alat pengumpul data dalam bentuk sekunder.
4. Analisis hasil penelitian
Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi dokumen, maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisa kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang teori-teori yang dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.
F. Keaslian Penulisan
Adapun penulisan skripsi yang membahas tentang Analisis Terhadap Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan ini merupakan luapan dari hasil pemikiran penulis sendiri. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggung jawabkan secara moral dan akademik.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa bab, dimana dalam bab terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian:
Bab I. Pendahuluan
Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitaian pada umumnya yaitu, Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan
(18)
Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penulisan, Keaslian Penulisan dan Sistematika Penulisan.
Bab II. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian/Perikatan
Dalam Bab ini akan diuraikan pembahasan tentang: Pengertian Perjanjian/Perikatan, Syarat Sah Perjanjian, Asas-asas Perjanjian, Wanprestasi, Onrechtmatige Daad.
Bab III. Tinjauan Umum Tentang Mesin Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum Dalam Bab ini akan diuraikan pembahasan tentang: Pengertian Rumah Sakit Umum, Sarana dan Prasarana Rumah Sakit Umum, Pengertian
Mesin Hemodyalisa, Peranan Rumah Sakit Umum Dalam
Penatalaksanaan Mesin Hemodyalisa.
Bab IV. Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan
Dalam Bab ini akan diuraikan pembahasan tentang: Proses Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan, Bentuk Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Pirngadi Medan, Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan, Bentuk Penyelesaian Sengketa Dalam Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pingadi Medan.
(19)
Bab V. Kesimpulan dan Saran
Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan diberikan kesimpulan dan saran.
(20)
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN/PERIKATAN
A. Pengertian Perjanjian/Perikatan
Perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst yang diterjemahkan dengan menggunakan istilah perjanjian maupun persetujuan. Beberapa sarjana tidak menggunakan istilah perjanjian akan tetapi memakai istilah persetujuan. Mereka berpendapat pemakaian istilah tersebut tidaklah merupakan persoalan yang mendasar, karena suatu perjanjian sebenarnya berasal dari adanya persetujuan para pihak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dalam Pasal 1313 KUH Perdata memberikan rumusan tentang perjanjian bahwa : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Terhadap definisi Pasal 1313 KUH Perdata ini. Purwahid Patrik menyatakan beberapa kelemahan, yaitu: 3
a. Definisi tersebut hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Hal ini dapat disimak dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Kata “mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua pihak. Sedangkan maksud perjanjian tersebut adalah para pihak saling mengikatkan diri, sehingga tampak kekurangannya yang seharusnya ditambah dengan rumusan “saling mengikatkan diri”;
3
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial), Kencana, Jakarta, 2011, hal. 17
(21)
b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus/kesepakatan, termasuk perbuatan mengurus kepentingan orang lain (zaakwaarneming) dan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad). Hal ini menunjukkan makna “perbuatan” itu luas dan yang menimbulkan akibat hukum;
c. Perlu ditekankan bahwa rumusan Pasal 1313 KUH Perdata mempunyai ruang lingkup di dalam hukum harta kekayaan (vermogensrecht).
Dari pasal 1313 KUH Perdata. Orang menafsirkan, bahwa yang dimaksud dengan perjanjian di sini adalah perjanjian obligatoir, perjanjian yang menimbulkan perikatan dan perikatan di sini merupakan hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan, dimana di satu pihak ada hak dan di lain pihak ada kewajiban.4 Para sarjana memberikan rumusan mengenai perjanjian dengan
penggunaan kalimat yang berbeda-beda, namun pada prinsipnya mengandung unsur yang sama, yaitu: 5
1. Ada pihak-pihak. Yang dimaksud dengan pihak disini adalah subyek
perjanjian dimana sedikitnya terdiri dari dua orang atau badan hukum dan harus mempunyai wewenang melakukan perbuatan hukum sesuai yang ditetapkan oleh undang-undang;
2. Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap dan bukan suatu perundingan;
3. Ada tujuan yang akan dicapai. Hal ini dimaksudkan bahwa tujuan dari pihak hendaknya tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan
4
Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 173
5
Udin Sarumpaeng, "Hukum Perjanjian", diakses pada tanggal 16 Maret 2015
(22)
undang-undang;
4. Ada prestasi yang akan dilaksanakan. Hal ini dimaksudkan bahwa prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian;
5. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan. Hal ini berarti bahwa perjanjian biasa dituangkan secara lisan atau tertulis. Hal ini sesuai dengan ketentuan undang-undang yang menyebutkan bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan bukti kuat.
Undang-undang memberikan beberapa pedoman dalam penafsiran perjanjian, yaitu:
a. Jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran (Pasal 1342 KUH Perdata). b. Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran,
harus dipilihnya menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu, daripada memegang teguh arti kata-kata menurut huruf (Pasal 1343 KUH Perdata).
c. Jika suatu janji dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilihnya pengertian yang sedemikian yang memungkinkan janji itu dilaksanakan, daripada memberikan pengertian yang tidak memungkinkan suatu pelaksanaan (Pasal 1344 KUH Perdata).
d. Jika kata-kata dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian (Pasal 1345 KUH Perdata).
(23)
e. Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau di tempat, dimana perjanjian telah dibuat (Pasal 1346 KUH Perdata).
f. Hal-hal yang, menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan (Pasal 1347 KUH Perdata).
g. Semua janji yang dibuat dalam suatu perjanjian, harus diartikan dalam hubungan satu sama lain; tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya (Pasal 1348 KUH Perdata).
h. Jika ada keragu-raguan, maka suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang telah meminta diperjanjikannya sesuatu hal, dan untuk keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu (Pasal 1349 KUH Perdata). i. Meskipun bagaimana luasnya kata-kata dalam mana suatu perjanjian disusun,
namun perjanjian itu hanya meliputi hal-hal yang nyata-nyata dimaksudkan oleh kedua belah pihak sewaktu membuat perjanjian (Pasal 1350 KUH Perdata).
j. Jika seorang dalam suatu perjanjian menyatakan suatu hal untuk menjelaskan perikatan, tak dapatlah ia dianggap bahwa dengan demikian hendak mengurangi maupun membatasi kekuatan perjanjian menurut hukum dalam hal-hal yang tidak dinyatakan (Pasal 1351 KUH Perdata).
Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu jadi dapat dibuat secara lisan dan andai kata dibuat secara tertulis maka ini bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan. Untuk beberapa perjanjian
(24)
tertentu undang-undang menentukan suatu bentuk, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu adalah tidah sah. Dengan demikian bentuk tertulis tadi tidaklah hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja tetapi merupakan syarat untuk adanya perjanjian itu. Misalnya perjanjian mendirikan perseroan Terbatas harus dengan akte notaries (Pasal 38 KUHD).6
Perikatan dan perjanjian adalah suatu hal yang berbeda. Perikatan dapat lahir dari suatu perjanjian dan undang-undang. Suatu perjanjian yang dibuat dapat menyebabkan lahirnya perikatan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Perikatan adalah terjemahan dari istilah bahasa Belanda “verbintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literature hukum di Indonesia.
Ketentuan pasal 1233 KUH Perdata menyatakan bahwa “Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena suatu perjanjian, maupun karena undang-undang”. Jika kita coba rumuskan secara berlainan, maka dapat kita katakan bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber lahirnya perikatan. Dengan membuat perjanjian salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut mengikatkan dirinya untuk memenuhi kewajiban sebagaimana yang dijanjikan. Ini berarti di antara para pihak yang membuat perjanjian lahirlah perikatan.7
Definisi “perikatan” menurut doktrin (para ahli) adalah hubungan hukum dalam bidang harta kekayaan di antara dua orang atau lebih, di mana pihak yang satu (debitur) wajib melakukan suatu prestasi, sedangkan pihak yang lain
6
Mariam Darus Badrulzaman, Menuju Hukum Perikatan Indonesia, Alumni, Bandung, 1986, hal. 73
7
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 42
(25)
(kreditor) berhak atas prestasi itu.8
Dari rumusan yang diberikan di atas dapat diketahui bahwa suatu perikatan, sekurangnya membawa serta di dalamnya empat unsur, yaitu:
1. Bahwa perikatan itu adalah suatu hubungan hukum;
2. Hubungan hukum tersebut melibatkan dua pihak atau lebih;
3. Hubungan hukum tersebut adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan;
4. Hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam perikatan.
Sebagaimana telah dikatakan, bahwa menurut Pasal 1233 KUH Perdata, hubungan hukum dalam perikatan dapat lahir karena kehendak para pihak, sebagai akibat persetujuan yang dicapai oleh para pihak, dan sebagai akibat perintah peraturan perundang-undangan. Dengan demikian berarti hubungan hukum ini dapat lahir sebagai akibat perbuatan hukum, yang disengaja ataupun tidak, serta dari suatu peristiwa hukum, atau bahkan dari suatu keadaan hukum. Peristiwa hukum yang melahirkan perikatan misalnya tampak dalam putusan pengadilan yang bersifat menghukum atau kematian yang mewariskan harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya. Setiap hubungan hukum yang tidak membawa pengaruh terhadap pemenuhan kewajiban yang bersumber dari harta kekayaan pihak yang berkewajiban tidaklah masuk dalam pengertian dan ruang lingkup batasan hukum perikatan. Kewajiban orang tua untuk mengurus anaknya bukanlah kewajiban dalam pengertian perikatan.
8
(26)
B. Syarat Sah Perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian c. Mengenai suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal.
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai perjanjian sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan, bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, si pembeli mengingini sesuatu barang si penjual .9
Syarat sah umum di luar Pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata yang terdiri dari:
a. Syarat itikad baik,
b. Syarat sesuai dengan kebiasaan, c. Syarat sesuai dengan kepatuhan,
d. Syarat sesuai dengan kepentingan umum.
9
(27)
Untuk syarat sah yang khusus yang dikemukakan oleh Munir Fuady terdiri dari:
a. Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu, b. Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu,
c. Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu,
d. Syarat izin dari yang berwenang. 10
Menurut Mariam Darus Badrulzaman:
Syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dapat dibedakan syarat subjektif, dan syarat objektif. dalam hal ini kita harus dapat membedakan antara syarat subjektif dengan syarat objektif. Syarat subjektif adalah kedua syarat yang pertama, sedangkan syarat objektif kedua syarat yang terakhir.11
Saliman menjelaskan tafsiran atas Pasal 1320 KUH Perdata yaitu:
a. Syarat subjektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontrak dapat dibatalkan, meliputi:
1). Kecakapan untuk membuat kontrak (dewasa dan tidak sakit ingatan) 2). Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.
b. Syarat objektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontraknya batal demi hukum meliputi:
1). Suatu hal (objek) tertentu
2). Sesuatu sebab yang halal (kausa).12
Perjanjian atau kesepakatan dari masing-masing pihak itu harus dinyatakan dengan tegas, bukan diam-diam. Perjanjian itu juga harus diberikan bebas dari pengaruh atau tekanan yaitu paksaan.
10
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 34.
11
Mariam Darus Badrulzaman, II, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, Alumni, Bandung, 1993, hal. 98.
12
Abdul R. Saliman, dkk. Esensi Hukum Bisnis Indonesia. Prenada Media. Jakarta, 2004. hal. 12-13.
(28)
Suatu kesepakatan dikatakan mengandung cacat, apabila kehendak-kehendak itu mendapat pengaruh dari luar sedemikian rupa, sehingga dapat mempengaruhi pihak-pihak bersangkutan dalam memberikan kata sepakatnya.
Misalnya karena ditodong, dipaksa atau karena kekeliruan mengenai suatu sifat dari pada benda yang diperjanjikan dan dapat pula karena penipuan. Pendek kata ada hal-hal yang luar biasa yang mengakibatkan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut telah memberikan perizinannya atau kata sepakatnya secara tidak bebas dengan akibat perizinan mana menjadi pincang tidak sempurna.13
Perjanjian yang diadakan dengan kata sepakat yang cacat itu dianggap tidak mempunyai nilai. Lain halnya dalam suatu paksaan yang bersifat relatif, dimana orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan apakah ia akan mengikuti kemauan orang yang memaksa atau menolaknya, sehingga kalau tidak ada perjanjian dari orang yang dipaksa itu maka jelas bahwa perjanjian yang telah diberikan itu adalah perjanjian yang tidak sempurna, yaitu tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Paksaan seperti inilah yang dimaksudkan undang-undang dapat dipergunakan sebagai alasan untuk menuntut batalnya perjanjian, yaitu suatu paksaan yang membuat perjanjian atau perizinan diberikan, tetapi secara tidak benar.
Tentang halnya kekeliruan atau kesilapan undang-undang tidak memberikan penjelasan ataupun pengertian lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan kekeliruan tersebut. Untuk itu harus dilihat pengertian yang mana telah memberikan pengertian terhadap kekeliruan itu, terhadap sifat-sifat
13
(29)
pokok yang terpenting dari obyek perjanjian itu. Dengan perkataan lain bahwa kekeliruan itu terhadap unsur pokok dari barang–barang yang diperjanjikan yang apabila diketahui atau seandainya orang itu tidak silap mengenai hal-hal tersebut perjanjian itu tidak akan diadakan. Jadi sifat pokok dari barang yang diperjanjikan itu adalah merupakan motif yang mendorong pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan perjanjian.
Sesuatu kekeliruan atau kesilapan untuk dapat dijadikan alasan guna menuntut pembatalan perjanjian maka haruslah dipenuhi persyaratan bahwa barang-barang yang menjadi pokok perjanjian itu dibuat, sedangkan sebagai pembatasan yang kedua dikemukakan oleh adanya alasan yang cukup menduga adanya kekeliruan atau dengan kata lain bahwa kesilapan itu harus diketahui oleh lawan, atau paling sedikit pihak lawan itu sepatutnya harus mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang yang silap.
Misalnya si penjual lukisan harus mengetahui bahwa si pembelinya mengira bahwa lukisan itu adalah buah tangan asli dari Basuki Abdullah dan ia memberikan pembeli itu dalam kesilapannya. Atau dalam hal penyanyi yang mengetahui bahwa sang Direktur Operasi itu secara silap telah mengadakan kontrak dengan penyanyi kesohor yang sama namanya.14
Kekeliruan atau kesilapan sebagaimana yang dikemukakan di atas adalah kekeliruan terhadap orang yang dimaksudkan dalam perjanjian. Jadi orang itu mengadakan perjanjian justru karena ia mengira bahwa penyanyi tersebut adalah orang yang dimaksudkannya. Dalam halnya ada unsur penipuan pada perjanjian yang dibuat, maka pada salah satu pihak terdapat gambaran yang sebenarnya mengenai sifat-sifat pokok barang-barang yang diperjanjikan,
14
(30)
gambaran dengan sengaja diberikan oleh pihak lawannya. Dalam hal penipuan inipun dapat pula diajukan sanksi atas dasar perbuatan melawan hukum atau sebagaimana diatur Pasal 1365 KUH Perdata.
Perihal adanya penipuan itu harus dibuktikan, demikian hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1328 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat”. Untuk dapat dikatakan adanya suatu penipuan atau tipu muslihat tidak cukup kalau seseorang itu hanya melakukan kebohongan mengenai suatu hal saja, paling sedikit harus ada sesuatu rangkaian kebohongan. Karena muslihat itu, pihak yang tertipu terjerumus pada gambaran yang keliru dan membawa kerugian kepadanya. Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian adalah, kecakapan para pihak. Untuk hal ini dikemukakan Pasal 1329 KUH Perdata, dimana kecakapan itu dapat dibedakan:
a. Secara umum dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian secara sah.
b. Secara khusus dinyatakan bahwa seseorang dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian tertentu, misalnya Pasal 1601 KUH Perdata yang menyatakan batalnya suatu perjanjian perburuhan apabila diadakan antara suami isteri.
(31)
Sedangkan perihal ketidakcakapan pada umumnya itu disebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap sebagaimana yang diuraikan oleh Pasal 1330 KUH Perdata ada tiga, yaitu:
a. Anak-anak atau orang yang belum dewasa
b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampunan c. Wanita yang bersuami
Ketidak cakapan ini juga ditentukan oleh undang-undang demi kepentingan curatele atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan itu sendiri. Menurut Pasal 1330 KUH Perdata di atas wanita bersuami pada umumnya adalah tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, kecuali kalau ditentukan lain oleh undang-undang. Ia bertindak dalam lalu lintas hukum harus dibantu atau mendapat izin dari suaminya. Hal ini mengingat bahwa kekuasaan sebagai kepala rumah tangga adalah besar sekali, seperti yang kita kenal dengan istilah maritale macht.
Melihat kemajuan zaman, dimana kaum wanita telah berjuang membela haknya yang kita kenal dengan emansipasi, kiranya sudah tepatlah kebijaksanaan Mahkamah Agung yang dengan surat Edarannya No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 telah menganggap Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya sudah tidak berlaku lagi.
Dalam halnya perjanjian-perjanjian yang dibuat orang yang tergolong tidak cakap ini, pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan oleh orang yang
(32)
dianggap tidak cakap itu sendiri, sebab undang-undang beranggapan bahwa perjanjian ini dibatalkan secara sepihak, yaitu oleh pihak yang tidak cakap itu sendiri, akan tetapi apabila pihak yang tidak cakap itu mengatakan bahwa perjanjian itu berlaku penuh baginya, maka konsekwensinya adalah segala akibat dari perjanjian yang dilakukan oleh para pihak yang tidak cakap dalam arti tidak berhak atau tidak berkuasa maka pembatalannya hanya dapat dimintakan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Pembatalan terhadap orang-orang tertentu dalam hal kecakapan membuat suatu perjanjian sebagaimana dikemukakan Pasal 1330 KUH Perdata tersebut, kiranya dapat diingat bahwa sifat dari peraturan hukum sendiri pada hakekatnya selalu mengejar dua tujuan yaitu rasa keadilan di satu pihak dan ketertiban hukum dalam masyarakat di pihak lain. Maka demikianlah bilamana dari sudut tujuan hukum yang pertama ialah mengejar rasa keadilan memang wajarlah apabila orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya terikat oleh perjanjian itu harus pula mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyapi akan tanggung-jawab yang harus dipikulkan dan tujuan yang satu inilah akan sulit diharapkan apabila orang-orang yang merupakan pihak dalam suatu perjanjian itu adalah orang-orang di bawah umur atau orang sakit ingatan atau pikiran yang pada umumnya dapat dikatakan sebagai belum atau tidak dapat menginsyapi apa sesungguhnya tanggung-jawab itu.
Pembatasan termaksud di atas itu kiranya sesuai apabila dipandang dari sudut tujuan hukum dalam masyarakat, yaitu mengejar ketertiban hukum dalam masyarakat, dimana seseorang yang membuat perjanjian itu pada dasarnya berarti
(33)
juga mempertaruhkan harta kekayaannya. Maka adalah logis apabila orang-orang yang dapat berbuat itu adalah harus orang-orang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas terhadap harta kekayaannya itu. Dimana kenyataan yang demikian itu tidaklah terdapat dalam arti orang–orang yang sungguh tidak ditaruh di bawah pengampuan atau orang-orang yang tidak sehat pikirannya, karena sebab-sebab lainnya ataupun pada diri orang-orang yang masih di bawah umur.
Selanjutnya syarat yang ketiga untuk sahnya satu perikatan adalah adanya hal tertentu yang diperjanjikan maka ini berarti bahwa apa yang diperjanjikan harus cukup jelas dalam arti barang atau benda yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata dengan pengertian bahwa jumlahnya barang tidak menjadi syarat, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.
Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata berbunyi “Suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya”.
Syarat yang ketiga ini menjadi penting, terutama dalam hal terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, guna dapat menetapkan apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban dari pada pihak-pihak dalam perjanjian yang mereka buat itu. “Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat tidak dipenuhi syarat ini, perjanjian itu batal demi hukum (voidneiting)”. 15
15
(34)
Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan sebagai syarat ke-empat ialah adanya suatu sebab yang halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian itu sendiri. Atau seperti dikemukakan R. Wirjono Prodjodikoro, yaitu: “Azas-azas hukum perjanjian, bahwa dengan pengertian causa adalah bukan hal yang mengakibatkan hal sesuatu keadaan belaka. Selanjutnya beliau mengatakan dalam pandangan saya, causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu persetujuan, yang menyebabkan adanya perjanjian itu”.16
Suatu causa dalam perjanjian, haruslah berupa causa yang halal, dalam arti bahwa isi perjanjian itu harus bukan sesuatu hal yang terlarang.
“Sebagai contoh dari suatu perjanjian yang mengandung causa yang terlarang, adalah si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si pembeli berjanjin membunuh orang”.17
Sehubungan dengan perbedaan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah dikemukakan terlebih dahulu, yaitu syarat obyektif dan syarat subyektif, maka apabila syarat obyektif tersebut tidak dipenuhi, perjanjian itu dapat dikatakan batal demi hukum. Sedangkan dalam hal syarat subyektif yang tidak dipenuhi, maka terhadap perjanjian yang demikian itu salah satu pihak mempunyai hak untuk menuntut perjanjian yang telah dibuat menjadi batal.
Dengan perkataan lain, bahwa bila syarat subyektif tidak dipenuhi maka dapat dituntut pembatalannya, sedangkan bila syarat obyektif yang tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.
16
R. Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal. 36.
17
(35)
C. Asas-Asas Perjanjian
Asas-asas hukum perjanjian mempunyai pengertian tersendiri, menurut Sudikno Mertokusumo, pengertian asas hukum adalah suatu pemikiran dasar yang bersifat umum yang melatarbelakangi pembentukan hukum positif. Dengan demikian asas hukum tersebut pada umumnya tidak tertuang di dalam peraturan yang konkret akan tetapi hanyalah merupakan suatu hal yang menjiwai atau melatarbelakangi pembentukannya. Hal ini disebabkan oleh sifat dari asas tersebut yaitu abstrak dan umum. Adapun fungsi-fungsi asas hukum, antara lain: 18
1. Pengundang-undangan harus mempergunakan asas-asas hukum sebagai
pedoman bagi kerjanya;
2. Hakim melakukan interpretasi hukum berdasarkan kepada asas-asas hukum; 3. Hakim perlu mempergunakan asas-asas hukum, apabila ia perlu mengadakan
analogi;
4. Hakim dapat melakukan koreksi terhadap peraturan perundang-undangan, karena tidak dipakai terancam kehilangan maknanya.
Jika diperhatikan keempat fungsi asas-asas hukum tersebut di atas fungsi kedua, ketiga dan keempat diberikan kepada hakim sesuai dengan fungsi dan tugas menurut jabatannya.
Dalam hukum perjanjian dikenal lima asas penting, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda, asas iktikad baik dan asas kepribadian. Kelima asas itu disajikan sebagai berikut:
18
(36)
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Kebebasan berkontrak bersifat esensial, baik bagi individu untuk mengembangkan diri didalam kehidupan pribadi maupun didalam kehidupan bermasyarakat serta untuk mengindahkan kepentingan-kepentingan harta kekayaannya, maupun bagi masyarakatnya sebagai suatu kesatuan, sehingga hal-hal tersebut oleh beberapa peneliti dianggap sebagai suatu hak dasar.19 Adapun
asas kebebasan berkontrak merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: 20
1) Membuat atau tidak membuat perjanjian; 2) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya, serta 4) Menetukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Kebebasan berkontrak pada dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia yang perkembangannya dilandasi semangat liberalisme yang mengagungkan kebebasan individu. Perkembangan ini seiring dengan penyusunan BW di negeri Belanda, dan semangat liberalisme ini juga dipengaruhi semboyan Revolusi Perancis “liberte, egalite et fraternite”
(kebebasan, persamaan dan persaudaraan). Menurut paham individualisme setiap
19
Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, PT Refika Aditama, Bandung, 2004, hal. 99
20
Salim, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 9
(37)
orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendaki, sementara itu di dalam hukum perjanjian falsafah ini diwujudkan dalam asas kebebasan berkontrak.21
Walau dunia barat telah terjadi pergeseran Hukum Perdata pada umumnya, hukum perjanjian pada khususnya yang tetap berada dalam sistem individualisme yang merupakan unsur primair di dalam masyarakat adalah kepentingan individu.22
Akan tetapi, dalam hukum perjanjian Nasional, asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab yang mampu memelihara keseimbangan ini tetap dipertahankan, yaitu “pengembangan kepribadian” untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir dan batin yang serasi, selaras dan seimbang dengan kepentingan masyarakat.23
b. Asas Konsensualisme
Konsensualisme berasal dari perkataan “consensus” yang berarti kesepakatan. Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai persesuaian kehendak. Dalam asas konsensualisme yang ditekankan adalah adanya persesuaian kehendak sebagai inti dari hukum kontrak. Asas konsensualisme merupakan “roh” dari suatu perjanjian. Hal ini tersimpul dari kesepakatan para pihak, namun demikian pada situasi tertentu terdapat perjanjian yang tidak mencerminkan wujud kesepakatan yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan adanya cacat kehendak yang mempengaruhi timbulnya perjanjian.
21
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hal.109
22
Mariam Darus Badrulzaman, Menuju Hukum Perikatan Indonesia, Op.Cit, hal. 17
23
(38)
Dengan demikian, asas konsensualisme sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata angka 1, yang menyatakan bahwa perjanjian itu telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat, hendaknya tidak juga diinterpretasi semata-mata secara gramatikal. Pemahaman asas konsensualisme yang menekankan pada “sepakat” para pihak ini, berangkat dari pemikiran bahwa yang berhadapan dalam kontrak itu adalah orang yang menjunjung tinggi komitmen dan tanggung jawab serta orang yang beritikad baik, yang berlandaskan pada “satunya kata satunya perbuatan”.24
c. Asas Pacta Sunt Servanda
Pacta sunt servanda berasal dari bahasa latin yang berarti “janji harus
ditepati”. Pacta sunt servanda merupakan asas atau prinsip dasar dalam sistem hukum civil law. Pada dasarnya asas ini berkaitan dengan perjanjian yang dilakukan diantara individu, yang mengandung makna bahwa:
1) Perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya; 2) Ingkar terhadap kewajiban yang ada pada perjanjian merupakan tindakan
melanggar janji atau wanprestasi.
Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda
merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
24
(39)
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.
d. Asas Iktikad Baik
Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata menyatakan bahwa, “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Apa yang dimaksud dengan iktikad baik, perundang-undangan tidak memberikan definisi yang tegas dan jelas. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan iktikad adalah kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud, kemauan. Iktikad baik juga dibedakan dalam sifatnya yang nisbi dan mutlak. Pada iktikad baik yang nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada iktikad baik yang mutlak atau hal yang sesuai dengan akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran objektif untuk menilai keadaan sekitar perbuatan hukumnya.
Wirjono Prodjodikoro membagi iktikad baik menjadi dua macam, yaitu: 25
1) Iktikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Iktikad baik di sini biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa syarat-syarat yang diperlukan telah terpenuhi ketika dimulai hubungan hukum. Dalam konteks ini hukum memberikan perlindungan kepada pihak yang beriktikad baik, sedang pihak yang beriktikad tidak baik harus bertanggung jawab dan menanggung resiko. Iktikad baik semacam ini dapat disimak dari ketentuan Pasal 1977 ayat (1) KUH Perdata dan Pasal 1963 KUH Perdata,
25
(40)
dimana terkait dengan salah satu syarat untuk memperoleh hak milik atas barang melalui daluwarsa. Iktikad baik ini bersifat subjektif dan statis.
2) Iktikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam hubungan hukum itu. Pengertian iktikad baik semacam ini sebagaimana diatur dalam pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata adalah bersifat objektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan hukumnya. Titik berat iktikad baik di sini terletak pada tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai pelaksanaan sesuatu hal.
e. Asas Kepribadian
Asas ini memberikan pengertian bahwa seseoarang yang akan melakukan atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini mengacu pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KH Perdata. Pasal 1315 menyatakan bahwa : “Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkan suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri”. Ini berarti bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian adalah untuk dirinya sendiri. Selanjutnya Pasal 1340 menyatakan bahwa : “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya”. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana dalam pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan bahwa : “Lagi pun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkan suatu janji guna kepentingan seorang pihak ke tiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain, memuat suatu janji yang seperti itu”. Pasal ini menyebut bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, dengan
(41)
adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan Pasal 1318 KUH Perdata, hanya mengatur perjanjian untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUH Perdata memiliki ruang lingkup yang luas.
Di samping kelima asas itu, di dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselengarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Dapartemen Kehakiman dari tanggal 17 sampai dengan tanggal 19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskan delapan asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asas tersebut, yaitu: 26
1. Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan di antara mereka di belakang hari.
2. Asas Persamaan Hukum
Yang dimaksud dengan asas persamaan hukum adalah bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak dibeda-bedakan antara satu sama lain, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama dan ras.
3. Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk
26
(42)
menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik.
4. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
5. Asas Moral
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang yang tidak dapat menuntut haknya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela. Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan sebagai panggilan hati nuraninya.
6. Asas Kepatutan
Asas kepatutan tertuang dalam pasal 1339 KUH Perdata. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.
7. Asas Kebiasaan
Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.
(43)
8. Asas perlindungan
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur, karena pihak debitur berada pada pihak yang lemah.
Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari pihak dalam menetukan dan membuat kontrak.
D. Wanprestasi
Perikatan yang bersifat timbal balik senantiasa menimbulkan sisi aktif dan sisi pasif. Sisi aktif menimbulkan hak bagi kreditor untuk menuntut prestasi, sedangkan sisi pasif menimbulkan beban kewajiban bagi debitur untuk melaksanakan prestasinya. Namun pada perikatan tertentu prestasi tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga muncul peristiwa yang disebut wanprestasi. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian.27 Selanjutnya, terkait dengan wanprestasi
tersebut Pasal 1243 KUH Perdata menyatakan, bahwa : “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya”. Adapun
27
(44)
bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu: 28
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Sehubungan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam, yaitu:29
1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
2) Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya; 3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Wanprestasi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan somasi. Seorang debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh kreditur atau pejabat yang berwenang untuk itu. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan lalu
28
Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Putra Abadin, 1999, Jakarta, hal.18
29
(45)
pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau tidak. Somasi adalah teguran dari si kreditur kepada debitur agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara keduanya.30
E. Onrechtmatige Daad
Onrechtmatige daad diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi
perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum ini sudah menjadi kebiasaan dalam praktik perkara perdata dan yang menjadi acuan dasar hukumnya yaitu Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Sebelum tahun 1919, Belanda mengartikan perbuatan melawan hukum sebatas melanggar peraturan-peraturan yang tertulis. Akan tetapi sejak kasus Lindenbaum versus Cohen tahun 1919, perbuatan melawan hukum tidak hanya melanggar perbuatan peraturan yang sifatnya tertulis, namun diartikan secara luas, yakni:31
1. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain;
2. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; 3. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan;
4. Perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan atau keharusan yang terdapat dalam masyarakat terhadap diri atau barang orang lain.
30
Salim, Op.Cit, hal. 9.
31
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 1-9
(46)
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:32
a. Perbuatan tersebut haruslah perbuatan yang melanggar hukum; b. Perbuatan tersebut membawa kerugian terhadap orang lain;
c. Adanya unsur kesalahan dalam perbuatan yang merugikan tersebut.
Unsur kesalahan merupakan unsur mutlak berlakunya ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, jika unsur kesalahan tidak ditemukan, maka berlakulah ketentuan Pasal 1366 KUH Perdata yang menyatakan bahwa : Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya”.
Sedangkan dalam Rancangan Hukum Perikatan Nasional, rumusan perbuatan melawan hukum sebagai berikut:33
1) Perbuatan melawan hukum adalah tiap pelanggaran hak orang lain dan perbuatan atau kelalaian yang bertentangan dengan kewajiban menurut undang-undang atau dengan suatu kepatutan yang harus diindahkan dalam masyarakat menurut hukum tertulis kecuali ada dasar yang membenarkan.
2) Barang siapa melakukan perbuatan melawan hukum, yang
dipertanggungjawabkan kepadanya, diwajibkan memberi ganti rugi kepada pihak yang menderita akibat perbuatan itu.
3) Pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas suatu perbuatan melawan
32
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal. 42
33
(47)
hukum, apabila hal itu adalah karena kesalahannya atau karena sesuatu sebab yang menurut undang-undang atau menurut pendapat yang berlaku dalam masyarakat adalah merupakan tanggungjawabnya.
Mengenai pertanggungjawaban di atas, Mahadi membedakannya menjadi tanggung jawab individual dan tanggung jawab kualitatif. Pada tanggung jawab individual yang dipertanyakan adalah siapa yang bersalah. Sedangkan, yang dipersoalakan pada tanggung jawab kualitatif adalah siapa yang bersalah dan siapa yang harus memikul resiko atas terjadinya perbuatan melawan hukum tersebut.34 Adapun dasar hukum yang dipakai dalam tanggung jawab kualitatif
diatur dalam Pasal 1367, 1368 dan 1369 KUH Perdata.
34
(48)
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG MESIN HEMODYALISA DI RUMAH SAKIT UMUM
A. Pengertian Rumah Sakit Umum
Rumah sakit adalah sebuah institusi perawatan kesehatan profesional yang pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli kesehatan lainnya.
Rumah Sakit adalah suatu fasilitas umum (public facility) yang berfungsi sebagai
pusat pelayanan kesehatan meliputi pencegahan dan penyembuhan penyakit, serta
pemeliharaan, peningkatan dan pemulihan kesehatan secara paripurna.
Berdasarkan Undang-Undang RI No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit,
rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap,
rawat jalan dan gawat darurat.
Batasan rumah sakit banyak macamnya. Beberapa diantaranya yang dipandang penting adalah :
1. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang melalui tenaga medis profesional yang terorganisir serta srana kedokteran yang permanen menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan yang diderita oleh pasien. 2. Rumah sakit adalah tempat dimana orang sakit mencari dan menerima
pelayanan kedokteran serta tempat dimana pendidikan klinik untuk mahasiswa kedokteran, perawat dan berbagai tenaga profesi kesehatan lainnya diselenggarakan.
3. Rumah sakit adalah pusat dimana pelayanan kesehatan masyarakat, pendidikan serta penelitian kedokteran diselenggarakan.35
35
Azrul Azwar, Fungsi Perencanaan Pada PUSKESMAS, Media Asseulapius, Oktober, Jakarta, 2008, hal. 21.
(49)
Dari batasan ini segeralah mudah dipahami bahwa fungsi dan kegiatan rumah sakit pada saat ini memang sangat bervariasi sekali. Sesungguhnya rumah sakit pada saat ini tidak sama dengan masa yang lalu. Sesuai dengan perkembangan jaman, maka pada saat ini Rumah sakit mengalami berbagai perkembangan pula.
Perkembangan yang dimaksud paling tidak dapat dibedakan atas empat macam yakni :
1. Perkembangan pada fungsi yang dimilikinya. Jika dahulu fungsi rumah sakit hanya untuk menyembuhkan orang sakit (nasocoium/hospital), maka pada saat ini telah berkembang menjadi suatu pusat kesehatan (health center). Dengan munculnya kebutuhan akan kesinambungan pelayanan serta perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran, maka fungsi rumah sakit pada saat ini telah mencakup pula pendidikan dan penelitian.
2. Perkembangan pada ruang lingkup kegiatan yang dilakukannya. Jika dahulu ruang lingkup kegiatannya hanya merupakan tempat beristrirahat para musafir (xenodochium), tempat mengasuh anak yatim (phanotrophium) serta tempat tinggal orang jompo (gerontocpnium), maka pada saat ini telah berkembang menjadi suatu institusi kesehatan (health institution). Dengan munculnya diverifikasi dalam kehidupan masyarakat maka ruang lingkup kegiatan rumah sakit yang semula mencakup berbagai aspek sosial, pada saat ini telah membatasi diri hanya pada aspek kesehatan saja.
3. Perkembangan pada masing-masing fungsi yang dimiliki oleh rumah sakit. Dengan kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran, maka fungsi pelayanan, pendidikan dan penelitian yang diselenggarakan oleh rumah sakit tidak lagi pada hal-hal yang sederhana saja, tetapi lebih mencakup pula hal-hal yang spesialistik dan bahkan subspesialistik.
4. Perkembangan pada pemilikan rumah sakit. Jika dahulu rumah sakit hanya didirikan oleh badan-badan keagamaan, badan-badan sosial (charitabel hospital) dan ataupun oleh pemerintah (public hospital), maka pada saat ini telah didirikan pula oleh berbagai badan-badan swasta. Rumah sakit yang dahulu tidak pernah memikirkan masalah untung rugi karena semata-mata didirikan untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan, pada saat ini telah berubah menjadi salah satu kegiatan ekonomi. Malah untuk yang dikelola oleh badan-badan swasta, kegiatan rumah sakit telah dijadikan sebagai salah satu usaha yang mencari keuntungan.36
36
(50)
Pada tahap awal perkembangannya, yang dimaksud dengan masyarakat rumah sakit amat sederhana sekali. Pada tahap awal tersebut, rumah sakit sering dikelola oleh satu atau dua orang tenaga dokter saja. Masyarakat rumah sakit pada waktu itu hanya para dokter serta pemakai jasa pelayanan rumah sakit saja.
Pada tahap selanjutnya, ketika fungsi rumah sakit mulai berkembang dan apalagi dengan berkembangnya pula berbagai ilmu dan tehnologi kedokteran, maka yang dimaksud dengan masyarakat rumah sakit tidak terbatas hanya pada para dokter dan pemakai jasa pelayanan saja, tetapi juga berbagai tenaga kesehatan lainnya. Untuk kelancaran pelayanan, diperlukan tenaga perawat dan karena itu perawat sebagai bagian dari tenaga kesehatan, termasuk dalam masyarakst rumah sakit pula.
Ketika pengelolaan rumah sakit telah begitu majemuknya, maka muncullah kebutuhan akan jenis tenaga lain. Pekerjaan-pekerjaan administrasi, telah tidak mungkin lagi ditangani oleh tenaga kesehatan. Sedangkan untuk menangani berbagai masalah tehnis, dibutuhkan pula berbagai kategori tenaga tehnisi. Tenaga administrasi, tehnisi medis dan tehnisi non-medis, akhirnya memang turut memperkaya pengertian masyarakat rumah sakit.
Sesuai dengan perkembangan yang dialami, pada saat ini rumah sakit dapat dibedakan atas beberapa jenis yakni :
1. Menurut pemilik
Jika ditinjau dari pemiliknya, rumah sakit dapat dibedakan atas dua macam, yakni rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta
2. Menurut filosofi yang dianut
Jika ditinjau dari filosofi yang dianut, rumah sakit dapat dibedakan atas dua macam yakni rumah sakit yang tidak mencari keuntungan, dan rumah sakit yang mencari keuntungan.
(51)
Jika ditinjau dari jenis pelayanan yang diselenggarakan, rumah sakit dapat dibedakan atas dua macam yakni rumah sakit umum jika semua jenis pelayanan kesehatan diselenggarakan serta rumah sakit khusus jika hanya satu jenis pelayanan kesehatan saja yang diselenggarakan.
4. Menurut lokasi rumah sakit
Jika ditinjau dari lokasinya, rumah sakit dapat dibedakan atas beberapa macam yang kesemuanya tergantung dari pembegian sistem pemerintahan yang dianut. Misalnya rumah sakit pusat jika lokasinya di ibukota negara, rumah sakit propinsi jika letaknya diibukota propinsi dan begitu seterusnya.37
Sedangkan di Indonesia rumah sakit dapat dibedakan atas dua macam, yaitu :
1. Rumah sakit pemerintah
Rumah sakit yang dimaksudkan disini dapat dibedakan atas dua macam, yakni:
a. Pemerintah Pusat.
Pada dasarnya ada dua macam pemerintah pusat yang dimaksudkan disini yakni :
- Departemen kesehatan.
Beberapa rumah sakit langsung dikelola oleh Departemen Kesehatan, misalnya Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo di Jakarta dan Rumah Sakit Dr. Soetomo di Surabaya
- Departemen lain
Beberapa departemen lainnya seperti departemen Pertahanan keamanan, departemen pertambangan serta Departemen Perhubungan juga mengelola rumah sakit sendiri. Peranan Departemen Kesehatan disini
37
(52)
adalah merumuskan kebijakan pokok bidang kesehatan saja, yang harus dipakai sebagai landasan dalam melaksanakan setiap upaya kesehatan. Beberapa pengecualian memang dibenarkan asal tidak bertentangan dengan kebijaksanaan pokok bidang kesehatan yang telah dirumuskan. b. Pemerintah daerah.
Sesuai dengan Undang-Undang Pokok Pemerintah Daerah No. 5 Tahun 1974, maka rumah sakit – rumah sakit yang berada di daerah dikelola oleh Pemerintah daerah. Pengelolaan yang dimaksud tidak hanya dalam bidang pembiayaan saja, tetapi juga dalam bidang kebijaksanaan, seperti misalnya yang menyangkut pembangunan sarana, pengadaan peralatan dan ataupun penetapan tarif pelayanan.
Peranan Departemen Kesehatan disini adalah merumuskan kebijakan pokok upaya kesehatan saja, di samping dalam batas-batas tertentu juga turut membantu dalam bidang pembiayaan, tenaga dan ataupun obat-obatan, yakni dalam rangka menjalankan asas perbantuan dari sistem pemerintahan di Indonesia.
2. Rumah sakit Swasta
Kecuali itu sesuai dengan Undang-Undang Kesehatan No. 23 tahun 1992, beberapa rumah sakit yang ada di Indonesia juga dikelola oleh pihak swasta. Undang-Undang Pokok Kesehatan dan juga Sistem Kesehatan Nasional memang mengakui adanya peranan pihak swasta. Jika ditinjau dari perkembangan yang dialami kini, rumah sakit swasta di Indonesia tampak telah berkembang dengan pesat.
(53)
Sebagai akibat dari telah dibenarkannya pemilik modal bergerak dalam perumahsakitan, menyebabkan mulai banyak ditemukan rumah sakit swasta yang telah dikelola secara komersial serta yang berorientasi mencari keuntungan. Walaupun untuk yang terakhir ini kehendak untuk mempertahankan fungsi sosial rumah sakit tetap ditemukan, yakni dengan mewajibkan rumah sakit swasta tersebut menyediakan sekurang-kurangnya 20% dari tempat tidurnya untuk masyarakat golongan tidak mampu.
Jika ditinjau dari kemampuan yang dimilki, rumah sakit di Indonesia dibedakan atas lima macam yakni :
1. Rumah sakit kelas A
Rumah sakit kelas A adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialias dan subspesialis luas. Oleh pemerintah, rumah sakit kelas A ini telah ditetapkan sebagai tempat pelayanan rumah sakit tertinggi atau disebut pula sebagai rumah sakit pusat.
2. Rumah sakit kelas B
Rumah sakit kelas B adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis luas dan sub spesialis terbatas. Direncanakan rumah sakit kelas B didirikan di setiap Ibukota propinsi yang menampung pelayanan rujukan dari rumah sakit kabupaten. Rumah sakit pendidikan yang tidak termasuk kelas A juga diklasifikasikan sebagai rumah sakit kelas B.
3. Rumah sakit kelas C
Rumah sakit kelas C adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis terbatas. Pada saat ini ada empat macam pelayanan
(54)
spesialis ini yang disediakan yakni pelayanan penyakit dalam, pelayanan bedah, pelayanan kesehatan anak serta pelayanan kebidanan dan kandungan. Direncanakan rumah sakit kelas C ini akan didirikan di setiap ibukota kabupaten yang menampung pelayanan rujukan dari PUSKESMAS.
4. Rumah sakit kelas D
Rumah sakit kelas D adalah rumah sakit yang bersifat transisi karena pada satu saat akan ditingkatkan menjadi rumah sakit kelas C. Pada saat ini kemampuan rumah sakit kelas D hanyalah memberikan pelayanan kedokteran umum dan kedokteran gigi. Sama halnya dengan rumah sakit kelas C, rumah sakit kelas D ini juga menampung pelayanan rujukan yang berasal dari Puskesmas.
5. Rumah sakit kelas E.
Rumah sakit kelas E adalah rumah sakit khusus yang menyelenggarakan hanya satu macam pelayanan kedokteran saja. Pada saat ini banyak sekali rumah sakit kelas E yang telah ditemukan. Misalnya rumah sakit jiwa, rumah sakit kusta, rumah sakit paru, rumah sakit kanker, rumah sakit jantung, rumah sakit ibu dan anak dan lain sebagainya.
B. Sarana dan Prasarana Rumah Sakit Umum
Sarana dan prasarana rumah sakit umum meliputi: 1. Gedung Administrasi
2. Gedung Perawatan Bertingkat. 3. Gedung Perawatan 1 ( Satu ) Lantai.
(55)
4. Gedung Laundry. 5. Gedung Apotik.
6. Gedung Radiologi & Laboratorium. 7. Gedung Central Medical Unit. 8. Gedung Unit Gawat Darurat. 9. Gedung Rehabilitasi Medik. 10.Gedung Poliklinik.
11.Gedung Rawat Inap . 12.Gedung Vasculer Center. 13.Transcranial Doppler (T.C.D). 14.Mesin Anaesthesi.
15.Monitor.
16.Echocardiography.
17.Poliklinik Penyakit Dalam
18.Poliklinik Penyakit Dalam Umum 19.Poliklinik Geriatry
20.Poliklinik Konsul Penyakit Dalam 21.Poliklinik Jantung
22.Poliklinik Penyakit Anak
23.Poliklinik Kebidanan dan Penyakit Kandungan 24.Poliklinik Bedah
25.Poliklinik Penyakit Mata
(56)
27.Poliklinik Konsultasi Jiwa 28.Poliklinik Syaraf
29.Poliklinik Penyakit kulit dan Kelamin 30.Poliklinik Konsultasi Gizi
31.Poliklinik Kesehatan Gigi dan Mulut 32.Instalasi Rawat Inap.
C. Pengertian Mesin Hemodyalisa
Hemodialisis berasal dari kata “hemo” artinya darah, dan “dialisis ” artinya pemisahan zat-zat terlarut. Hemodialisis berarti proses pembersihan darah dari zat-zat sampah, melalui proses penyaringan di luar tubuh. Hemodialisis menggunakan ginjal buatan berupa mesin dialisis. Hemodialisis dikenal secara awam dengan istilah ‘cuci darah’.
Pada hemodialisis darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan diedarkan dalam sebuah mesin di luar tubuh, sehingga cara ini memerlukan jalan keluar-masuk aliran darah. Untuk itu dibuat jalur buatan di antara pembuluh arteri dan vena atau disebut fistula arteriovenosa melalui pembedahan. Lalu dengan selang darah dari fistula, darah dialirkan dan dipompa ke dalam mesin dialisis. Untuk mencegah pembekuan darah selama proses pencucian, maka diberikan obat antibeku yaitu Heparin.
Sebenarnya proses pencucian darah dilakukan oleh tabung di luar mesin yang bernama dialiser. Di dalam dialiser, terjadi proses pencucian, mirip dengan yang berlangsung di dalam ginjal. Pada dialiser terdapat 2 kompartemen serta
(57)
sebuah selaput di tengahnya. Mesin digunakan sebagai pencatat dan pengontrol aliran darah, suhu, dan tekanan.
Aliran darah masuk ke salah satu kompartemen dialiser. Pada kompartemen lainnya dialirkan dialisat, yaitu suatu carian yang memiliki komposisi kimia menyerupai cairan tubuh normal. Kedua kompartemen dipisahkan oleh selaput semipermeabel yang mencegah dialisat mengalir secara berlawanan arah. Zat-zat sampah, zat racun, dan air yang ada dalam darah dapat berpindah melalui selaput semipermeabel menuju dialisat. Itu karena, selama penyaringan darah, terjadi peristiwa difusi dan ultrafiltrasi. Ukuran molekul sel-sel dan protein darah lebih besar dari zat sampah dan racun, sehingga tidak ikut menembus selaput semipermeabel. Darah yang telah tersaring menjadi bersih dan dikembalikan ke dalam tubuh penderita. Dialisat yang menjadi kotor karena mengandung zat racun dan sampah, lalu dialirkan keluar ke penampungan dialisat.
Difusi adalah peristiwa berpindahnya suatu zat dalam campuran, dari bagian pekat ke bagian yang lebih encer. Difusi dapat terjadi bila ada perbedaan kadar zat terlarut dalam darah dan dalam dialisat. Dialisat berisi komponen seperti larutan garam dan glukosa yang dibutuhkan tubuh. Jika tubuh kekurangan zat tersebut saat proses hemodialisis, maka difusi zat-zat tersebut akan terjadi dari dialisat ke darah.
Ultrafiltrasi merupakan proses berpindahnya air dan zat terlarut karena perbedaan tekanan hidrostatis dalam darah dan dialisat. Tekanan darah yang lebih tinggi dari dialisat memaksa air melewati selaput semipermeabel. Air mempunyai molekul sangat kecil sehingga pergerakan air melewati selaput diikuti juga oleh
(1)
keahlian arbiter mengenai persoalan yang disengketakan dibandingkan dengan kepada pengadilan.
3. Cepat dan hemat biaya.
Sebagai suatu proses, arbitrase tidak terlalu formal sehingga mekanismenya lebih fleksibel. Dibandingkan dengan proses litigasi di pengadilan. Dengan demikian arbitrase proses pengambilan keputusannya lebih cepat sehingga biaya penyelesaian sengketa relatif lebih murah daripaa litigasi, sebab untuk putusan arbitrase tidak ada kemungkinan upaya hukum banding.
4. Bersifat rahasia.
Oleh karena arbitrase lebih bersifat privat dan tertutup dibandingkan pengadilan, pemeriksaan sengketa di dalam forum arbitrase bersifat rahasia. Sifat itu melindungi para pihak dan publisitas yang merugikan serta segala akibatnya, seperti penyelesaian sengketa di pengadilan negeri sulit dihindarkan karena pengadilan negeri terikat oleh asas sifat terbukanya persidangan, yang memungkinkan setiap orang dapat hadir dan mendengarkan pemeriksaan perkara di pengadilan.
5. Pertimbangan putusan arbitrase lebih bersifat privat.
Dalam mempertimbangkan penyelesaian sengketa privat pengadilan dan arbitrase sangat berbeda. Pengadilan adalah lembaga publik, sehingga ketika menyelesaikan sengketa privatpun seringkali memanfaatkan momentum penyelesaian sengketa privat untuk mengutamakan kepentingan umum, sementara kepentingan privat menjadi pertimbangan kedua. Sebaliknya, forum arbitrase merupakan lembaga privat, oleh sebab itu para arbiter dalam
(2)
mempertimbangkan penyelesaian sengketa yang ditanganinya juga lebih bersifat priver daripada bersifat publik/umum.
6. Kecenderungan yang modern.
Dalam dunia perdagangan internasional, kecenderungan yang terlihat adalah liberalisasi peraturan perundang-undangan arbitrase untuk lebih mendorong penggunaan arbitrase daripada penyelesaian sengketa dagang melalui peradilan umum.
7. Putusan arbitrase final dan mengikat
Sesuai dengan kehendak dan niat daripara pihak pelaku bisnis yang menghendaki putusan penyelesaian sengketa pada forum arbitrase bersifat final dan mengikat (final and binding) kedua belah pihak. Sedangkan putusan pengadilan masih terbuka berbagai upaya hukum, sehingga untuk memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap, memerlukan waktu yang cukup lama.
Di kalangan dunia usaha, arbitrase merupakan suatu pilihan yang tepat dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka. Menurut Eman Suparman, tujuan pihak-pihak yang bersengketa memilih forum arbitrase adalah : agar konflik yang dihadapi dapat diselesaikan dengan proses yang cepat, dapat terjamin kerahasiaannya, ditangani oleh arbiter atau wasit yang ahli dalam bidangnya, sehingga sengketanya dapat diputuskan menurut keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono). Pada akhirnya tujuan memilih arbitrase akan bermuara pada tujuan akhir dalam penyelesaian sengketa yakni untuk mendapatkan keadilan substansial yang lebih bermartabat dan tidak sekedar memperoleh keadilan formal yang tidak memiliki makna apapun.
(3)
Pada prinsipnya undang-undang memberikan kebebasan kepada para pihak yang menentukan sendiri acara dan proses arbitrase yang akan digunakan. Hal ini ditegaskan oleh Pasal 31 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa para pihak bebas menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
Secara umum dapat dikatakan bahwa jalannya pemeriksaan dalam arbitrase tidak jauh berbeda dengan jalannya pemeriksaan perkara perdata oleh pengadilan yang menjurus ke arah perniagaan pada umumnya. Akan tetapi struktur dalam arti susunan kelembagaan, antara arbitrase dengan pengadilan memang sangat berlainan.
Praktek maupun literatur dapat dijumpai pembedaan bentuk arbitrase yaitu: arbitrase terlembaga (institutional arbitration) dan arbitrase ad hoc. Secara fungsional kedua bentuk arbitrase ini memiliki fungsi masing-masing sesuai tujuan pembentukannya dalam rangka penyelesaian sengketa.
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional, tidak ada rumusan yang diberikan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Secara penafsiran argumentum a contrario dapat dirumuskan bahwa putusan arbitrase nasional adalah putusan yang dijatuhkan di wilayah hukum Republik Indonesia berdasarkan ketentuan hukum Republik Indonesia. Pasal 59 disebutkan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diputusan diucapkan, lembaran asli atau salinan otentik putusan diucapkan, lembaran asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri untuk selanjutnya dapat dilakukan eksekusi oleh Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
(4)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Proses perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan adalah dengan terlebih dahulu adanya penawaran dari pihak PT. Mendjangan Jakarta kepada Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan. Penawaran yang dilakukan tersebut tentunya memiliki dasar yaitu untuk pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan. Setelah terjadinya proses penawaran yang diikuti dengan pembuatan perjanjian hitam di atas putih. yang kemudian diikuti pula dengan penandatangan perjanjian tersebut oleh kedua belah pihak.
2. Bentuk perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. pirngadi Medan dilakukan secara tertulis yaitu ada hitam di atas putih, serta diberi judul "Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Antara RSUD Dr. Pirngadi Medan Dengan PT. Mendjangan Jakarta". Kemudian surat perjanjian tersebut diberi nomor oleh masing-masing pihak
3. Akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan maka apabila ada salah satu pihak melalaikan perjanjian atau tidak memenuhi isi perjanjian sebagaimana yang telah mereka sepakati bersama-sama, maka apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasi yang sudah disepakatinya pihak tersebut telah melakukan wanprestasi.
(5)
4. Bentuk Penyelesaian sengketa dalam perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan maka kedua belah pihak memilih penyelesaian secara Musyawarah, bila masih belum tercapai kesepakatan maka Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permasalahannya kepada Panitia Arbitrase yang terdiri dari masing-masung satu anggota yang ditunjuk oleh Pihak Pertama dan Pihak Kedua serta seorang Ketua merangkap Anggota yang ditunjuk bersama oleh Kedua Belah Pihak. Bilamana perselisihan diatas tidak dapat diselesaikan sesuai Butir 1, maka penyelesaiannya dilaksanakan di Kantor Pengadilan Negeri Medan
B. Saran
1. Proses perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan hendaknya dilakukan secara terbuka dengan cara mensosialisasikannya kepada masyarakat.
2. Hendaknya bentuk perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. pirngadi Medan tetap dilakukan secara tertulis untuk mengantisipasinya wanprestasi.
3. Hendaknya akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan dapat memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.
4. Bentuk Penyelesaian sengketa dalam perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan melalui arbitrase hendaknya dapat dipertahankan.
(6)
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku:
Abdulkadir, Muhammad, 2000, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung.
Abdul R, Saliman, dkk, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia. Prenada Media. Jakarta.
Advendi, Simangunsong dan Elsi, Kartika, Sari, 2004, Hukum Dalam Ekonomi, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Agus, Yudha, Hernoko, 2011, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial), Kencana, Jakarta.
Arifin, Syamsul, 2011, Falsafah Hukum, Uniba Press, Medan.
Azrul, Azwar, 2008, Fungsi Perencanaan Pada PUSKESMAS, Media Asseulapius, Oktober, Jakarta.
Badrulzaman, Darus, Mariam, 1986, Menuju Hukum Perikatan Indonesia, Alumni, Bandung.
Djaja S, Meliala, 2007, Perkembangan Hukum Perdata Tentang benda dan Hukum Perikatan, Nuansa Aulia, Bandung.
Fuady, Munir, 2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung,.
____________, 2002, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Johannes, Ibrahim dan Lindawaty, Sewu, 2004, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, PT Refika Aditama, Bandung,.
Salim, 2003, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), Sinar Grafika, Jakarta.
Kartini, Muljadi dan Gunawan, Widjaja, 2004, Perikatan Pada Umumnya, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
____________, 1993, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, Alumni, Bandung.