Kebendaan Sebagai Jaminan Hak Tanggungan Pada Perjanjian Kredit Yang Bermasalah Di PT. Bank Sumut Cabang Utama

(1)

KEB

Dia

PR

BENDAAN PERJ ( STUDI P

ajukan untu DEP ROGRAM

UN

SEBAGAI ANJIAN K PADA PT. uk Memen Mempero V N PARTEME M KEKHUS

FAK

NIVERSIT

I JAMINAN KREDIT Y BANK SU SKRIP uhi dan M oleh Gelar S

Oleh VINNO ISV NIM : 0902

EN HUKUM SUSAN HU

KULTAS

TAS SUM

MEDA

2013

N HAK TA YANG BER UMUT CAB PSI elengkapi S Sarjana Hu : VARA 200303 M KEPER UKUM PER

HUKUM

MATERA

AN

3

ANGGUNG RMASALAH BANG UTA Syarat-syar ukum DATAAN RDATA DA

M

UTARA

GAN PADA H AMA) rat untuk AGANG A


(2)

KEBENDAAN SEBAGAI JAMINAN HAK TANGGUNGAN PADA PERJANJIAN KREDIT YANG BERMASALAH

( STUDI PADA PT. BANK SUMUT CABANG UTAMA)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Oleh :

VINNO ISVARA NIM : 090200303

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. H. HASIM PURBA, SH.M.HUM NIP. 196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS Zulkifli Sembiring, SH, MH NIP:196204211988031004 NIP:196101181988031010

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAKSI

Perjanjian kredit merupakan perjanjian antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debiturnya untuk memberikan pinjaman sejumlah dana kepada debitur. Namun sering kali terjadi bila kredit sudah diberikan kepada debitur ternyata debitur tidak dapat mengembalikan lagi sejumlah uang, barang atau jasa yang diperjanjikan untuk dikembalikan pada waktu yang telah ditetapkan dan menjadi kredit bermasalah sehingga bank tidak dapat menarik lagi dana yang telah diberikan itu. Disini bank membuat suatu peraturan, jika seseorang ingin melakukan peminjaman kredit maka harus ada jaminan berupa Hak Tanggungan yang diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996. Jika suatu saat ketika kreditur sudah memberikan pinjaman kepada debitur dan debitur tersebut wanprestasi, maka jaminan Hak Tanggungannya dapat dilelang dan dieksekusi. Hak Tanggungan yang biasa dipakai dalam suatu perjanjian kredit adalah Hak Tanggungan berupa hak atas tanah beserta isi-isinya yang berkaitan dengan tanah tersebut.

Permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimanakah kedudukan benda sebagai jaminan Hak Tanggungan dalam pemberian kredit di PT. Bank Sumut Cabang Utama, bagaimanakah pengelolaan kredit bermasalah dengan jaminan Hak Tanggungan di PT. Bank Sumut Cabang Utama dan apakah benda jaminan dapat di eksekusi langsung dalam upaya penyelesaian kredit bermasalah di PT. Bank Sumut Cabang Utama.

Dalam penulisan skripsi ini metode yang dipergunakan adalah dengan penelitian pustaka (Library research) yaitu: penelitian dilakukan dengan cara memperoleh bahan dari kepustakaan berupa buku-buku, karya ilmiah para sarjana, peraturan perundang-undangan, majalah-majalah, dan lain-lain yang memiliki kaitan dengan judul skripsi ini. Penelitian juga dilakukan dengan cara penelitian lapangan (Field Reasearch) yaitu: pengambilan data, konsultasi dengan Bapak Muhsin Adlin, SH selaku Kepala Bagian Administrasi Kredit di PT. Bank Sumut Caban Utama, dimana konsultasi ini bertujuan untuk mengetahui berbagai hal yang berhubungan dengan Kebendaan Sebagai Jaminan Hak Tanggungan Pada Perjanjian Kredit Yang Bermasalah Di PT. Bank Sumut Cabang Utama.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala berkat, nikmat, karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Salawat dan salam atas junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang menjadi sumber inspirasi dan motivasi dalam menjalankan hidup ini.

Menjadi suatu kewajiban bagi setiap mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk menyusun dan menyelesaikan suatu skripsi, dan untuk itu penulis menyusun suatu skripsi yang berjudul “Kebendaan Sebagai Jaminan Hak Tanggungan Pada Perjanjian Kredit Yang Bermasalah Di PT. Bank Sumut Cabang Utama”.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof.Dr.Runtung,S.H,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H. M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Syafruddin, S.H. M.H. D.F.M selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(5)

4. Bapak Muhammad Husni,SH,M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. H. Hasim Purba S.H. M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan

6. Prof. Dr. Tan Kamello, S.H. MS selaku Dosen Pembimbing I yang telah memeriksa dan memperbaiki kesalahan-kesalahan pada skipsi ini dan kemudian memberikan pengetahuan serta arahan dan nasehat kepada penulis dalam proses awal hingga akhir skripsi ini.

7. Bapak Zulkifli Sembiring, SH. MH selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi ini.

8. Bapak/Ibu para dosen dan seluruh staf administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dimana penulis menimba ilmu selama ini. 9. Bapak Muhsin Adlin, SH selaku Kepala Bagian Kredit di PT. Bank

Sumut beserta seluruh staf yang terlibat langsung dalam memberikan data dan informasi yang diperlukan oleh penulis.

10.Buat mama dan papa tercinta Hj. Lisa Permata Sari dan H. Gustian Danil, SE, MBA yang telah mendidik dan membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang dan kesabaran serta meridhoi langkah penulis untuk menimba ilmu, sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan skripsi ini dengan baik.

11.Buat adik tersayang Sacharissa Renada dan Fazira Salsabila yang memberikan semangat selama ini kepada penulis.


(6)

12.Buat andong, atok, kakek dan oma Hj. Rohani Darus Danil, SH, Alm. H. Drs. Danil Ahmad, H. Sukardi dan Hj. Ratna yang telah memberikan kesabaran, doa dan dukungan yang sangat besar kepada penulis.

Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat berguna dan dimanfaatkan baik secara teori maupun praktek ilmu hukum. Penulis juga mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak yang berminat dengan topik skripsi ini guna pendidikan dan penelitian ilmu hukum dimasa mendatang.

Medan, Mei 2013

Penulis


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penulisan ... 5

D. Manfaat Penulisan ... 6

E. Keaslian Penulisan ... 6

F. Metode Penelitian ... 7

G. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT A. Dasar Hukum Perjanjian Kredit ... 11

B. Tujuan dan Fungsi Kredit... 17

C. Bentuk dan Jenis-Jenis Kredit ... 20

D. Subjek, Objek, Hak dan Kewajiban serta Hubungan Hukum Dalam Perjanjian Kredit ... 24

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN A. Pengertian Hak Tanggungan ... 28


(8)

B. Subjek dan Objek Hak Tanggungan ... 30

C. Asas-Asas Hak Tanggungan ... 33

D. Prosedur Pembebanan Hak Tanggungan ... 44

E. Peralihan dan Hapusnya Hak Tanggungan ... 48

F. Eksekusi Hak Tanggungan ... 52

BAB IV KEBENDAAN SEBAGAI JAMINAN HAK TANGGUNGAN PADA PERJANJIAN KREDIT YANG BERMASALAH DI PT. BANK SUMUT CABANG UTAMA A. Sejarah PT. Bank Sumut ... 55

B. Bagaimanakah kedudukan Hak Tanggungan sebagai jaminan kebendaan dalam pemberian kredit di PT. Bank Sumut ... 63

C. Peranan Hak Tanggungan sebagai jaminan kebendaan pada perjanjian kredit di PT. Bank Sumut ... 66

D. Bagaimanakah pengelolaan kredit bermasalah di PT. Bank Sumut Cabang Utama ... 68

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 74

B. Saran ... 76 DAFTAR PUSTAKA


(9)

ABSTRAKSI

Perjanjian kredit merupakan perjanjian antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debiturnya untuk memberikan pinjaman sejumlah dana kepada debitur. Namun sering kali terjadi bila kredit sudah diberikan kepada debitur ternyata debitur tidak dapat mengembalikan lagi sejumlah uang, barang atau jasa yang diperjanjikan untuk dikembalikan pada waktu yang telah ditetapkan dan menjadi kredit bermasalah sehingga bank tidak dapat menarik lagi dana yang telah diberikan itu. Disini bank membuat suatu peraturan, jika seseorang ingin melakukan peminjaman kredit maka harus ada jaminan berupa Hak Tanggungan yang diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996. Jika suatu saat ketika kreditur sudah memberikan pinjaman kepada debitur dan debitur tersebut wanprestasi, maka jaminan Hak Tanggungannya dapat dilelang dan dieksekusi. Hak Tanggungan yang biasa dipakai dalam suatu perjanjian kredit adalah Hak Tanggungan berupa hak atas tanah beserta isi-isinya yang berkaitan dengan tanah tersebut.

Permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimanakah kedudukan benda sebagai jaminan Hak Tanggungan dalam pemberian kredit di PT. Bank Sumut Cabang Utama, bagaimanakah pengelolaan kredit bermasalah dengan jaminan Hak Tanggungan di PT. Bank Sumut Cabang Utama dan apakah benda jaminan dapat di eksekusi langsung dalam upaya penyelesaian kredit bermasalah di PT. Bank Sumut Cabang Utama.

Dalam penulisan skripsi ini metode yang dipergunakan adalah dengan penelitian pustaka (Library research) yaitu: penelitian dilakukan dengan cara memperoleh bahan dari kepustakaan berupa buku-buku, karya ilmiah para sarjana, peraturan perundang-undangan, majalah-majalah, dan lain-lain yang memiliki kaitan dengan judul skripsi ini. Penelitian juga dilakukan dengan cara penelitian lapangan (Field Reasearch) yaitu: pengambilan data, konsultasi dengan Bapak Muhsin Adlin, SH selaku Kepala Bagian Administrasi Kredit di PT. Bank Sumut Caban Utama, dimana konsultasi ini bertujuan untuk mengetahui berbagai hal yang berhubungan dengan Kebendaan Sebagai Jaminan Hak Tanggungan Pada Perjanjian Kredit Yang Bermasalah Di PT. Bank Sumut Cabang Utama.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dan berdasarkan Pancasila dan Undang–undang Dasar 1945 secara berkesinambungan dan peningkatan pembangunan yang berasaskan kekeluargaan, perlu kelestariannya dipelihara dengan baik. Guna mencapai tujuan tersebut, maka pelaksanaan pembangunan di bidang ekonomi harus lebih memperhatikan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan unsur–unsur pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional.1

Pembangunan nasional juga merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur. Dalam rangka memelihara keseimbangan pembangunan tersebut, pelakunya meliputi pemerintah maupun masyarakat sebagai perseorangan dan badan hukum. Dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat pula keperluan akan tersedianya dana, yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan perkreditan. Untuk memajukan dunia usaha, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijaksanaan perkreditan dan berbagai kemudahan dalam perkreditan bank yang diberikan kepada masyarakat.

      

1

H. AS. Mahmoedin, Etika Bisnis Perbankan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994. hal.130.


(11)

Bank dalam perkembangannya dimaksudkan sebagai suatu jenis pranata finansial yang melaksanakan jasa-jasa keuangan yang cukup beraneka ragam, seperti pinjaman, memberikan pinjaman, mengedarkan mata uang, mengadakan pengawasan terhadap mata uang, bertindak sebagai penyimpanan untuk benda-benda berharga, membiayai usaha-usaha perusahaan.2

Dalam era globalisasi, bank juga telah menjadi bagian dari sistem keuangan dan sistem pembayaran dunia. Salah satu pilar pembangunan ekonomi Indonesia terletak pada industri perbankan. Di dalam sistem hukum Indonesia, bentuk-bentuk praktek perbankan harus memiliki fundamental berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam ideologi negara Indonesia yakni Pancasila dan Tujuan Negara Indonesia dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Suatu sarana yang mempunyai peran strategis dalam menyerasikan dan menyeimbangkan masing–masing unsur dari Trilogi pembangunan adalah aspek perbankan. Peran yang strategis tersebut terutama disebabkan oleh fungsi bank sebagai suatu wahana yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien, yang berdasarkan demokrasi ekonomi mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil–hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional kearah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.

Pemberian kredit merupakan salah satu jenis usaha bank yaitu dengan menyalurkan dana yang terhimpun dari masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat. Di negara – negara berkembang, pemberian kredit merupakan       

2

Rachmadi Usman, Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan Mediasi Perbankan, Mandar Maju, Bandung, 2011, hal 2.


(12)

salah satu kegiatan dari bank yang sangat penting. Sehingga industri perbankan yang sehat akan dapat berperan maksimal dalam pembangunannya. Industri yang sehat akan tercermin dari bank yang sehat sebagai elemen dasarnya. Bank yang sehat berarti bank yang tumbuh dan berkembang secara wajar, dalam arti berkembang sesuai dengan kemampuannya sehingga dapat memenuhi tuntutan masyarakat yang memerlukan jasa perbankan. Dengan pemberian kredit diharapkan kepada masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya menyangkut kebutuhan produktif, misalnya untuk meningkatkan dan memperluas kegiatan usahanya.

Perjanjian kredit merupakan perjanjian antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debiturnya untuk memberikan pinjaman sejumlah dana kepada debitur. Namun sering kali terjadi bila kredit sudah diberikan kepada debitur ternyata debitur tidak dapat mengembalikan lagi sejumlah uang, barang atau jasa yang diperjanjikan untuk dikembalikan pada waktu yang telah ditetapkan dan menjadi kredit bermasalah sehingga bank tidak dapat menarik lagi dana yang telah diberikan itu.

Sarana dalam mengupayakan suatu pencegahan atau yang merupakan upaya preventif dalam perjanjian kredit yang beresiko tinggi salah satunya adalah dengan adanya suatu jaminan atau agunan, baik itu jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan yang di berikan oleh pihak debitur kepada pihak kreditur, yang akan menjadi suatu jaminan bagi kreditur tersebut. Salah satu jaminan yang sering dipergunakan di dalam praktek perbankan saat ini adalah hak tanggungan


(13)

yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda – Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.3

Hak Tanggungan yang dimaksud merupakan salah satu lembaga jaminan yang dianggap kuat dan dapat memberi perlindungan hukum. Hak Tanggungan berfungsi sebagai salah satu jaminan kredit perbankan untuk menghindari terjadinya kredit bermasalah. Terbitnya Undang – Undang Hak Tanggungan merupakan piranti hukum yang sangat diharapkan dapat menampung serta sekaligus mengamankan kegiatan perkreditan dalam upaya memenuhi kebutuhan tersedianya dana untuk menunjang kegiatan nasional.

UUHT sangat bermanfaat dalam hal menciptakan unifikasi hukum tanah khususnya dibidang hak jaminan atas tanah. Tersedianya lembaga jaminan akan memberikan perlindungan hukum bagi semua pihak yang berkepentingan. Dalam hal ini tanah sebagai objek dari hak tanggungan dimana tanah merupakan barang yang tidak bergerak dan dapat dijadikan sebagai jaminan atas suatu hutang. Tanah merupakan harta yang berharga dan memiliki peran penting dalam kelangsungan hidup manusia. Tanah juga merupakan objek jaminan yang paling disukai oleh bank yang memberikan fasilitas kredit, karena tanah gampang dijual, harga terus meningkat dan memberikan tanda bukti atas tanah yang dijadikan objek Hak Tanggungan tersebut.

Pengaturan mengenai Hak Tanggungan baik dari segi sistem, lembaga, asas maupun sifat dalam UUHT memiliki perbedaan dengan Hak Tanggungan       

3

ST. Remy Sjahdeini, Asas – asas, Ketentuan – ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Perbankan ( Suatu Kajian Mengenai Undang – Undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999, hal.1.


(14)

yang menggunakan ketentuan hipotik dan Creditverband. Oleh karenanya sangat menarik untuk mengetahui tentang Hak Tanggungan terutama dalam tata cara atau proses pembebanannya pada tanah sebagai jaminan hutang pada perjanjian kredit.

B. Rumusan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa permasalahan yang akan dikemukakan. Adapun yang menjadi masalah dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Kedudukan Benda sebagai jaminan Hak Tanggungan dalam pemberian kredit di PT. Bank Sumut Cabang Utama ?

2. Bagaimanakah Pengelolaan Kredit bermasalah dengan jaminan Hak Tanggungan di PT. Bank Sumut Cabang Utama?

3. Apakah benda jaminan Hak Tanggungan dapat dieksekusi langsung dalam upaya penyelesaian kredit bermasalah di PT. Bank Sumut Cabang Utama?

C. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui kedudukan Benda sebagai jaminan Hak Tanggungan dalam pemberian kredit di PT. Bank Sumut Cabang Utama

2. Untuk mengetahui pengelolaan kredit bermasalah dengan jaminan Hak Tanggungan di PT. Bank Sumut Cabang Utama.


(15)

3. Untuk mengetahui benda jaminan Hak Tanggungan dapat dieksekusi langsung dalam upaya penyelesaian kredit bermasalah di PT. Bank Sumut Cabang Utama

D. Manfaat Penulisan

Penulisan ini dapat kiranya dijadikan sebagai masukan bagi ilmu pengetahuan khususnya mengenai Kebendaan Sebagai Jaminan Hak Tanggungan Pada Perjanjian Kredit Yang Bermasalah.

Diharapkan agar tulisan ini dapat memberikan informasi kepada praktisi hukum dan masyarakat umum mengenai Kebendaan Sebagai Jaminan Hak Tanggungan Pada Perjanjian Kredit Yang Bermasalah di PT. Bank Sumut dan agar dapat bisa mempergunakan untuk bacaan mengenai Hak Tanggungan yang dipergunakan sebagai jaminan pada perjanjian kredit yang bermasalah di PT. Bank Sumut.

E. Keaslian Penulisan

Bahwa skripsi ini yang membahas tentang Kebendaan Sebagai Jaminan Hak Tanggungan Pada Perjanjian Kredit Yang Bermasalah, merupakan hasil karya dan ide sendiri dari Penulis yang sudah diperiksa diperpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan tidak adanya judul yang sama. Jika ada judul yang mirip dengan judul penulisan skripsi ini, tetapi permasalahan dalam penulisan skripsi ini berbeda.


(16)

Berdasarkan pertimbangan khusus inilah maka timbul ide atau niat penulis untuk mengangkat judul skripsi tersebut diatas dengan harapan dapat memberi inspirasi-inspirasi, selanjutnya bagi mereka yang ingin mengetahui tentang Kebendaan Sebagai Jaminan Hak Tanggungan Pada Perjanjian Kredit Yang Bermasalah. Untuk hal tersebut penulis berpedoman pada buku-buku tentang hukum pada permasalahan atau tema yang sama, serta adapun berpedoman pula kepada peraturan-peraturan yang berlaku.

F. Metode Penelitian

Metode Penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari : 1. Sifat / Jenis Penelitian

Sifat / Jenis Penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah bersifat deskriptif analisis mengarah kepada penelitian yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain. 4

2. Sumber Data

Sumber data penelitian ini diambil berdasarkan data sekunder. Data sekunder didapatkan melalui :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan – bahan hukum yang mengikat, yakni seperti KUH Perdata, KUH Dagang, serta Undang – Undang Nomor 7 tahun 1992 Jo. Undang – Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan.

      

4

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal 32


(17)

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti : studi dokumen dengan cara mengumpulkan bahan hukum dengan mempelajari berkas-berkas seperti buku, yurisprudensi, buku-buku ilmiah, bahan seminar, undang-undang, majalah, internet,. ataupun jurnal yang mengulas tentang pelaksanaan Hak Tanggungan dan lain-lain yang ada kaitannya dengan skripsi ini sebagai bahan acuan dalam pembahasan skripsi ini. Penelitian ini memberikan porsi yang sama antara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Untuk itu digunakan metode library research (penelitian pustaka) yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap data-data yang diperoleh dari yurisprudensi, buku-buku ilmiah, yang telah disebutkan sebelumnya itu.

c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup :

1) Bahan – bahan yang memberi petunjuk – petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder.

2) Bahan – bahan primer, sekunder dan tertier ( penunjang ) diluar bidang hukum seperti kamus, insklopedia, majalah, koran, makalah dan sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan

3. Alat Pengumpul Data

Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen, bukti empiris tidak mendalam dengan melakukan wawancara dan penelusuran kepustakaan.


(18)

4. Analisis Data

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi dokumen, dan penelitian lapangan maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisa kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang teori-teori yang dikemukakan, sehingga dari teori – teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Materi skripsi ini pada garis besarnya terbagi menjadi lima bab, dimana didalam setiap bab masih terbagi lagi menjadi beberapa sub bab, yaitu sebagai berikut :

BAB I : Isinya merupakan Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. BAB II : Isinya merupakan Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kredit

yang terdiri dari : Dasar Hukum Perjanjian Kredit, Tujuan dan Fungsi Kredit, Bentuk dan Jenis –Jenis Kredit dan Subjek, Objek Hak dan Kewajiban Serta Hubungan Hukum dalam Perjanjian kredit.

BAB III : Isinya merupakan Tinjauan Umum Tentang Hak Tanggungan yang terdiri dari Pengertian Hak Tanggungan, Subjek dan Objek


(19)

Pembebanan Hak Tanggungan, Peralihan dan Hapusnya Hak Tanggungan, dan Eksekusi Hak Tanggungan.

BAB IV : Isinya merupakan Kebendaan Sebagai Jaminan Hak Tanggungan Pada Perjanjian Kredit Bermasalah Di PT. Bank Sumut Cabang Utama, yang terdiri dari Bagaimanakah Kedudukan Benda sebagai jaminan Hak Tanggungan dalam Pemberian Kredit di PT. Bank Sumut Cabang Utama, Pengelolaan Kredit Bermasalah dengan jaminan Hak Tanggungan di PT. Bank Sumut Cabang Utama, dan Apakah Benda Jaminan dapat di eksekusii langsung dalam upaya penyelesaian kredit bermaslah di PT. Bank Sumut Cabang Utama.

BAB V : Merupakan kesimpulan dan saran berdasarkan apa yang telah dikemukakan pada bab–bab sebelumnya sebagai hasil dari


(20)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT

A. Dasar Hukum Perjanjian Kredit 1. Pengertian Perjanjian

Pengertian perjanjian berbeda dengan perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan antara dua orang atau dua pihak, dimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.5

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang tersebut saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janj-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.6 R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.7 Dari pendapat-pendapat di atas, maka pada dasarnya perjanjian adalah proses interaksi atau hubungan hukum dan dua       

5

R Subekti, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bhakti, Jakarta, 1987. hal.1.

6

Ibid, hal.6.

7

  R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung, 1987, hal. 49


(21)

perbuatan hukum yaitu penawaran oleh pihak yang satu dan penerimaan oleh pihak yang lainnya sehingga tercapai kesepakatan untuk menentukan isi perjanjian yang akan mengikat kedua belah pihak.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, dinyatakan bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan

overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst tersebut lazim diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sama artinya dengan perjanjian.8

Pengertian perikatan lebih luas dari pada pengertian perjanjian. Perikatan bersumber dari perjanjian dan Undang–Undang. Perikatan yang bersumber dari Undang–Undang ada dua, yaitu : yang lahir dari Undang–Undang saja dan yang lahir karena perbuatan manusia.9 Perikatan yang lahir karena perbuatan manusia terbagi dua, yaitu : perbuatan yang halal dan perbuatan yang melanggar hukum.10 Sedangkan perjanjian adalah sumber perikatan, dan merupakan perbuatan para pihak yang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dengan demikian pengertian perikatan bersifat abstrak sedangkan perjanjian bersifat konkret.11

Menurut M. Yahya Harahap, “Perjanjian mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang

       8

  Solahudin, SH, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Visimedia, 2008, hal.466.

9

R Subekti, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bhakti, Jakarta, 1987. hal.1.

10

Ibid, hal.2.

11


(22)

memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak yang lain untuk menunaikan prestasi”.12

Menurut pasal 1320 KUH Perdata untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikat dirinya ; b. Cakap untuk membuat sesuatu perjanjian ; c. Mengenai sesuatu hal tertentu ;

d. Suatu sebab yang halal.

Syarat sepakat dan cakap bagi sahnya perjanjian, disebut sebagi syarat subjektif karena menyangkut orang atau pihak – pihak yang terlibat dalam perjanjian, sedangkan syarat mengenai suatu hal tertentu dan sebab yang halal disebut sebagai syarat objektif karena menyangkut objek yang diperjanjikan oleh orang – orang atau subjek yang membuat perjanjian.

Jika suatu syarat subjektif tidak terpenuhi ( sepakat mereka yang mengikatkan dirinya atau cakap untuk berbuat sesuatu ) maka perjanjiannya dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak. Apabila syarat objektif tidak terpenuhi (mengenai sesuatu hal tertentu atau sebab yang halal) maka perjanjiannya batal demi hukum.13

Pengertian perjanjian perdata batal demi hukum berbeda dengan perjanjian dapat dimintakan pembatalan. Perjanjian batal demi hukum berarti secara yuridis dari semula tidak ada perjanjian dan juga tidak ada pula suatau perikatan diantara subjek yang membuat perjanjian itu. Pada perjanjian yang dapat dimintakan       

12

M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni Bandung, 1986, hal.6.

13


(23)

pembatalan, berarti Undang-Undang menyerahkan kepada para pihak yang berkepentingan untuk membatalkan perjanjian itu atau tidak.14

Pasal 1337 KUH Perdata menyebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh Undang-Undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum. Dan pasal 1338 KUH Perdata menyebutkan semua persetujuan yang dibuat sesuai Undang-Undang berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh Undang-Undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik.

Hukum perjanjian Indonesia menganut sistem terbuka, artinya bahwa hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk membuat perjanjian apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. 15

Terkait dengan masalah perjanjian maka tidak terlepas dari hal prestasi, prestasi adalah sesuatu yang dapat dituntut. Jadi dalam suatu perjanjian suatu pihak (biasanya kreditur) menuntut prestasi pada pihak lainnya (biasanya debitur). Menurut pasal 1234 KUH Perdata prestasi terbagi dalam 3 macam:16

1. Prestasi untuk menyerahkan sesuatu;

2. Prestasi untuk melakukan sesuatu atau berbuat sesuatu; dan 3. Prestasi untuk tidak melakukan atau tidak berbuat sesuatu       

14

  Ibid, hal. 22

15

Ibid., hal.14.

16

Marindra Prahandi Ferdianto, Perbuatan Melanggar Hukum atau Wanprestasi,


(24)

Apabila seseorang telah ditetapkan prestasi sesuai dengan perjanjian itu, maka kewajiban pihak tersebut untuk melaksanakan atau menaatinya. Dan apabila seseorang yang telah ditetapkan prestasi sesuai dengan perjanjian tersebut tidak melaksanakan atau tidak memenuhi prestasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka orang tersebut disebut melakukan wanprestasi, atau apabila debitur tidak melaksanakann kewajibannya maka ia telah dikatakan wanprestasi. Kata wanprestasi dalam bahasa Indonesia berarti lalai, alpa atau ingkar janji. Wanprestasi atau ingkar janji dapat berupa :17

1. Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukan ;

2. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan ;

3. Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat ;

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

2. Perjanjian Kredit a. Pengertian Kredit

Kata kredit berasal dari bahasa Romawi yaitu credere yang artinya percaya. Artinya pemberi pinjaman percaya bahwa penerima pinjaman mampu memenuhi perikatannya.

Didalam kepustakaan Hukum Perdata terdapat beberapa pendirian mengenai arti kredit antara lain :

       17


(25)

1) Savelbergmengatakan bahwa kredit mempunyai arti antara lain :

a) Sebagai dasar perikatan dimana seseorang berhak menuntut sesuatu dari orang lain ;

b) Sebagai jaminan, dimana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk memperoleh kembali apa yang telah diserahkannya.

2) Levy merumuskan arti kredit yaitu menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit.18

Pengertian kredit dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang merupakan perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan; Kredit adalah : Penyedian uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah janhka waktu tertentu dengan pemberian bunga

Pasal 1 angka 12 UU Perbankan 1998 mengartikan Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.

Dari pengertian kredit dan pembiayaan diatas ternyata pengertian kredit pada UU Perbankan 1998 lebih luas bila dibandingkan pengertian pembiayaan dalam UU Perbankan 1998. Karena dalam UU Perbankan 1998 hanya

       18


(26)

diisyaratkan adanya bunga, sedangkan dalam UU Perbankan 1998 tentang pembiayaan selain mengisyaratkan adanya bunga, juga ada mengisyaratkan adanya imbalan atau pembagian hasil keuntungan.

b. Perjanjian Kredit

Jika syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata sudah dipenuhi, maka berdasarkan pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian telah mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan kekuatan suatu Undang-Undang.19

Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, ditenukan bahwa kredit diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain, namun Undang-Undang tersebut tidak menentukan lebih lanjut mengenai bagaimana bentuk persetujuan pinjam-meminjam tersebut.

Pengertian tentang perjanjian kredit belum dirumuskan, oleh karenanya perlu untuk memahami pengertian perjanjian kredit yang diutarakan oleh para pakar hukum antara lain:

Marhainis Abdul Hay mengemukakan bahwa perjanjian kredit adalah identik dengan perjanjian pinjam-meminjam dan dikuasai oleh ketentuan Bab XIII dari Buku III KUH Perdata.20

       19

 Megarita, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Saham Yang Di Gadaikan, USU Press, Medan, 2008, hal 49.

20

 Marhainis Abdul Hay, Hukum Perbankan di Indonesia, Pradnya Paramita, Bandung, 1975, hal.67


(27)

Demikian juga halnya yang dikemukakan pula oleh Mariam Darus Badrulzaman:

Dari rumusan yang terdapat didalam Undang-Undang Perbankan mengenai perjanjian kredit, dapat disimpulkan bahwa dasar perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754. Perjanjian pinjam-meminjam ini juga mengandung makna yang luas yaitu objeknya adalah benda yang menghabis jika verbruiklening termasuk didalamnya uang. Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam ini pihak penerima pinjaman menjadi pemilik yang dipinjam dan kemudian harus dikembalikan dengan jenis yang sama kepada pihak yang meminjamkan. Karenanya perjanjian kredit ini merupakan perjanjian yang bersifat riil, yaitu bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh “penyerahan” uang oleh bank kepada nasabah.21

Perjanjian kredit bank berasaskan konsensualisme, artinya mengikat setelah ada kesepakatan dari pihak yang melakukan perjanjian. Dengan demikian, perjanjian kredit ini tunduk pada Buku III KUH Perdata juga ketentuan UU Perbankan 1992 dan UU Perbankan 1998.

Volmar mengemukakan bahwa Undang-undang membedakan perjanjian menjadi dua, yaitu perjanjian bernama tertentu, dan perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang ditentukan Undang-undang secara khusus, terdapat antara lain dalam Bab V sampai Bab XVIII Buku III KUH Perdata.22 Menurut Mariam Darus Badrulzaman perjanjian kredit bank di Indonesia termasuk perjanjian bernama.

Peraturan perbankan Indonesia mengharuskan bentuk perjanjian dibuat dalam bentuk tertulis, dalam prakteknya tiap perjanjian kredit dibuat dalam bentuk       

21

 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung. 1994. hal. 110-111

22


(28)

tertulis yang berupa suatu surat akta. Bentuk akta ini, dimaksudkan untuk membuktikan adanya perjanjian kredit dan juga kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban antara bank dengan debiturnya.

Dalam prakteknya di PT. Bank Sumut Cabang Utama untuk perjanjian yang jumlah pinjamannya besar perjanjian kreditnya dibuat dengan akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris (yang sering disebut juga akta notaris).23

Dalam praktek, setiap bank telah menyediakan blanko (formulir,model) perjanjian kredit, yang isinya telah disiapkan terlebih dahulu ( standart form ). Formulir ini diberikan kepada setiap permohonan kredit. Isinya tidak dibicarakan terlebih dahulu kepada pemohon. Kepada pemohon hanya dimintakan pendapatnya apakah dapat menerima syarat-syarat yang tersebut di dalam formulir itu atau tidak. Hal-hal yang kosong (belum diisi) dalam blanko itu adalah hal-hal yang tidak mungkin diisi sebelumnya yaitu antara lain jumlah pinjaman, bunga, tujuan dan jangka waktu kredit.24 Hal diatas menunjukkan bahwa perjanjian kredit didalam praktek tumbuh sebagai perjanjian standart (standart contract).25

B. Tujuan Dan Fungsi Kredit

Ditinjau dari segi ekonomi kredit bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dengan cara pengorbanan sekecil-kecilnya untuk dapat memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Menurut Thomas Suyatno,26 tujuan kredit yang hanya mendapatkan keuntungan semata-mata hanya terdapat di negara-negara       

23

 Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Bapak Muhsin Adlin, SH

24

Mariam Darus Badrulzaman,op.cit.,hal.35.

25 Ibid 26


(29)

liberal. Di Indonesia yang sedang membangun, tujuan utama kredit yaitu untuk mensukseskan pembangunan. Mensukseskan pembangunan di sini berarti pembangunan fisik dan mental bangsa Indonesia.

Indonesia yang dasar hukumnya adalah Undang-undang Dasar 1945 dengan berdasarkan Pancasila yang juga sebagai falsafah hidup bangsa maka tujuan kredit di Indonesia tidaklah semata-mata hanya untuk mencari keuntungan, melainkan harus disesuaikan dengan tujuan negara kita, yaitu untuk mencapai masyarakat adil dan makmur yang berdasarkan Pancasila.

Fungsi kredit dalam kehidupan perekonomian perdagangan dan keuangan di Indonesia secara garis besarnya adalah sebagai berikut :27

a. Kredit dapat meningkatkan utility (daya guna) dari modal atau uang dana yang tersimpan pada suatu bank akan bermanfat bagi para pengusaha untuk memperluas usahanya. Karena dana yang ada tersebut tidaklah diam, tetapi dana tersebut disalurkan untuk usaha-usaha yang bermanfaat baik kemanfaatan bagi pengusaha-usaha juga bagi masyarakat luas.

b. Kredit dapat meningkatkan utility (daya guna) sesuatu barang

Dengan mendapatkan kredit para pengusaha dapat memproses bahan baku menjadi barang jadi kemudian dijual makan dengan kredit yang diterima, pengusaha tersebut dapat memproduksi barang mentah menjadi barang jadi yang kemudia hasilnya dijual kepasar.

c. Kredit meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang

Melalui kredit maka peredaran uang kartal maupun uang giral akan lebih berkembang baik itu di daerah terpencil maupun di daerah perkotaan.

d. Kredit menimbulkan gairah usaha masyarakat

Kegiatan ekonomi akan selalu berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dengan cara tidak langsung akan memacu kegairahan masyarakat untuk berusaha. Dengan pemberian kredit maka bank memberikan bantuan permodalan guna meningkatkan usaha pihak pengusaha ( masyarakat ).

e. Kredit sebagai alat stabilitas ekonomi       

27

 Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah Dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Bandung, Citra Aditya Bakti.1996, hal.152.


(30)

Bahwa pemberian kredit dapat menekan arus inflasi, dapat meningkatkan eksport, rehabilitasi, prasarana, dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok rakyat sehingga stabilitas ekonomi tetap terjaga.

f. Kredit sebagai jembatan untuk peningkatan pendapatan nasional

Dengan meningkatnya usaha degan pemberian kredit maka memperluas usaha dan mendirikan proyek baru yang membutuhkan tenaga kerja maka akan membuka lapangan pekerjaan sehingga meningkatkan pendapat nasional.

g. Kredit sebagai alat untuk meningkatkan hubungan Internasional

Bank sebagai pemberi kredit tidak hanya menjalankan usaha di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Bank asing yang berada di Indonesia misalnya : tidak hanya beroperasi di negara asalnya tetapi juga di Indonesia.

C. Bentuk Dan Jenis-Jenis Kredit 1. Bentuk Perjanjian Kredit

Menurut hukum perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis, yang terpenting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata. Namun dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya. Dalam dunia modern perjanjian secara lisan tentu sudah tidak dapat disarankan lagi untuk dipergunakan meskipun secara teori diperbolehkan, karena perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat pembuktian bila terjadi masalah dikemudian hari. Untuk itu setiap perjanjian apapun harus dibuat akta dengan bentuk tertulis yang digunakan sebagai alat bukti.

Pasal 1 angka 11 UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan menyebutkan “penyediaan uang atau tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.


(31)

Maka dari kalimat tersebut menunjukkan bahwa pemberian kredit harus dibuat dengan bentuk tertulis berupa surat akta perjanjian, agar seluruh perjanjian jelas dan jika perjanjian tidak ditepati oleh salah satu pihak akan di dilakukan upaya hukum yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Bentuk perjanjian kredit didalam praktek perbankan dapat dibagi menjadi dua:

a. Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan

Maksud dari perjanjian kredit yang dibuat dibawah tangan adalah perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh bank kemudian ditawarkan kepada debitur untuk disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat kerja bank, biasanya bank sudah menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standart ( standard form )28

Kalau perjanjian (standart) kredit itu kita pelajari lebih mendalam lagi, maka perjanjian kredit dibedakan menjadi dua bagian, yaitu ”perjanjian induk” (hoofdcontract) dan “perjanjian tambahan” (hulp contract). Perjanjian induk mengatur tentang hal – hal pokok dari perjanjian tambahan, perjanjian tambahan menguraikan apa yang terdapat dalam perjanjian induk.29

b. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris (dinamakan akta otentik atau akta notariil)

Yang membuat perjanjian ini bisa seorang notaris, bisa dibuat dihadapan notaris, dan bisa dibuat oleh para pihak dan didaftarkan       

28

Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, cet.3, Bandung:Alfabeta, Bandung, 2005, hal.100

29


(32)

kepada notaris. Namun pada prakteknya semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh bank kemudian diberikan kepada notaris untuk dirumuskan dalam akta notariil. Akta ini biasanya dibuat untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal kerja, dan kredit sindikasi.

2. Jenis-Jenis Kredit

Dalam praktek perbankan, kredit dapat dibedakan berdasarkan faktor-faktor yang terdapat dalam pemberian kredit tersebut sehingga dapat ditemukan jenis-jenis kredit berdasarkan jangka waktunya, sifat penggunaannya, dan juga berdasarkan cara pemakaiannya.

a. Berdasarkan jangka waktunya, kredit terbagi menjadi :30

1) Kredit jangka pendek yaitu kredit yang mempunyai jangka waktu sampai satu tahun. Kredit ini diberikan untuk jangka waktu tiga bulan, enam bulan, dan selama-lamanya satu tahun. Setelah berakhir jangka waktunya maka bank dapat memberikan perpanjangan waktu lagi atas permohonan debitur. Jenis kredit jangka pendek ini sering diberikan untuk Kredit Modal Kerja, kredit dalam perdagangan ekspor dan impor.

2) Kredit jangka menengah yaitu kredit yang jangka waktunya antara satu tahun hingga tiga tahun. Biasanya kredit ini diberikan       

30

Munir Fuadi, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002. hal. 13.


(33)

untuk investasi yang tidak lebih dari tiga tahun, misalnya untuk membeli kendaraan bermotor, kredit untuk keperluan produksi, atau untuk Kredit Modal Kerja.

3) Kredit jangka panjang yaitu kredit yang jangka waktunya lebih dari tiga tahun. Kredit ini biasanya diberikan untuk investasi dalam rangka rehabilitasi, ekspansi atau pendirian suatu proyek. b. Kredit menurut sifat penggunaannya terbagi menjadi dua yaitu:

1) Kredit konsumtif, yaitu kredit yang digunakan untuk keperluan yang bersifat konsumsi. Kebutuhan ini berupa kebutuhan primer seperti kebutuhan akan tempat tinggal, dan kebutuhan sekunder. 2) Kredit produktif, yaitu kredit yang digunakan untuk tujuan

roduksi baik untuk meningkatkan usaha debitur dalam berproduksi, investasi, maupun untuk perdagangan.

c. Kredit ditinjau dari segi cara pemakaiannya terbagi menjadi :

1) Kredit rekening Koran bebas, yaitu kredit dalam bentuk rekening Koran (kredit berdasarkan perhitungan debet dan kredit, dimana bank selalu membukukan pengambilan dan setoran oleh debitur) yang diberikan secara berangsur-angsur dimana rekening korannya telah diisi menurut besarnya kredit (maksimum jumlah kredit) dan debitur bebas melakukan penarikan rekening Koran selama kredit berjalan.

2) Kredit rekening Koran terbatas, yaitu kredit rekening Koran dengan pembatasan tertentu dalam penarikan uang dari rekening


(34)

korannya secara berangsur-angsur. Disini debitur dilarang menarik uang sekaligus, tetapi secara teratur dan sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan laporan perkembangan usaha debitur. 3) Kredit rekening Koran aflopend, disini debitur dapat menarik

seluruh maksimum jumlah kredit. Dalam kredit ini yang diatur adalah saldo debet pada waktu-waktu tertentu yang harus ditaati debitur. Kredit ini biasanya digunakan pada kredit investasi. 4) Revolving credit, disini penarikan kredit sama dengan pada jenis

kredit rekening Koran bebas dan masa penggunaannya satu tahun tetapi dengan syarat penarikannya yaitu pada akhir triwulan kesatu saldo peminjam harus tersisa nol, dan pada triwulan kedua debitur dapat menarik lagi secara bebas dan seterusnya sampai akhir satu tahun. Bila bank beranggapan bahwa kredit masih dapat dilanjutkan maka dapat diadakan pembaharuan kredit. 5) Term loan, jenis kredit ini mirip dengan kredit rekening Koran

bebas tetapi penggunannya sangat fleksibel, artinya debitur dapat menggunakan kreditnya untuk keperluan apa saja dan bank tidak tahu tentang penggunaannya. Jenis kredit ini dapat digunakan untuk kredit perdagangan dan investasi.

Ada juga penamaan jenis kredit didasarkan pada penggunannya, yaitu Kredit Usaha Tani, Kredit Konsumtif dan Kredit Profesi, Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja, Kredit Usaha Kecil (KUK) dan lain-lain.31

      

31


(35)

D. Subjek, Objek, Hak Dan Kewajiban Serta Hubungan Hukum Dalam Perjanjian Kredit

Berdasarkan pasal 1 angka 12 UUP 1998, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Berdasarkan pasal 1 angka 12 UUP 1998, subjek hukum dalam perjanjian kredit bank, yaitu:

a. Bank, yang umumnya disebut sebagai kreditor atau pemberi pinjaman. b. Pihak peminjam, yang umumnya disebut sebagai debitor atau

penerima pinjaman.

Menurut R Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian, mendefinisikan bahwa subjek hukum itu adalah pembawa hak atau subjek dalam hukum. Begitu juga menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia, menjelaskan bahwa subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum.

Subjek dalam perjanjian kredit bank adalah pihak-pihak yang terkait/ikut dalam perjanjian kredit tersebut sehingga dapat dikatakan pihak bank sebagai kreditur (pemberi kredit) dan pihak peminjam/nasabah sebagai debitur (penerima kredit).


(36)

Kreditur kadangkala merasa benda yang dijadikan jaminan belum dirasakan cukup untuk melunasi hutang debitur, oleh karena itu kreditur meminta pihak ketiga untuk dijadikan pihak penjamin hutang debitur. Oleh karena itu, subjek hukum dalam perjanjian kredit selain kreditur dan debitur, ada pula pihak ketiga yang dijadikan penjamin.

Berdasarkan pasal 1 angka 12 UU Perbankan 1998, objek hukum dalam perjanjian kredit berupa :

1. Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu 2. Pelunasan hutang atau pinjaman

3. Pemberian sejumlah bunga

Bank yang sistem operasionalnya tidak berdasarkan hukum islam, menjadikan sejumlah bunga sebagai objek hukum dalam perjanjian kredit. Sedangkan bank yang sistem operasionalnya berdasarkan hukum islam menjadikan pembagian hasil keuntungan sebagai objek hukum perjanjian kredit.

Kewajiban kreditur berupa pemberian pinjaman kepada debitur didasarkan pada perjanjian kredit pada waktu yang telah ditentukan. Hak debitur yaitu berupa mendapatkan sejumlah uang pinjaman yang telah disepakati dalam jangka waktu tertentu ditambah dengan sejumlah bunga yang ditetapkan. Sedangkan kewajiban debitur berupa pelunasan sejumlah uang pinjaman dalam jangka waktu tertentu ditambah dengan sejumlah bunga, dan debitur berhak mendapatkan pinjaman uang dari kreditur pada waktu yang telah ditentukan.

Objek dari suatu perjanjian adalah “prestasi”. Prestasi tersebut berdasarkan apa yang diperjanjikan kedua belah pihak yang melakukan perjanjian


(37)

kredit. Jadi objek dari perjanjian kredit adalah kredit itu sendiri. Hubungan hukum dalam perjanjian kredit menurut Pasal 1234 KUH Perdata adalah “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.

Jadi dalam hal perjanjian kredit, maka kreditur wajib menyerahkan sejumlah uang atau sejumlah barang pada debitur (peminjam). Sedangkan debitur berkewajiban untuk melakukan pelunasan hutang pada jangka waktu yang telah diperjanjikan, maka hubungan hukum dalam perjanjian kredit adalah timbulnya hak dan kewajiban antara kreditur sebagai pemberi kredit dan debitur sebagai pemegang kredit. Hak bank adalah menerima pelunasan hutang pada jangka waktu yang telah ditetapkan, kewajiban bank adalah memberikan sejumlah uang yang telah diperjanjikan.


(38)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN

A. Pengertian Hak Tanggungan

Menurut pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan selanjutnya disebut UUHT atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan dinyatakan sebagi berikut:

Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut benda atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

Dari rumusan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996 tersebut juga dikatakan bahwa pada dasarnya suatu Hak Tanggungan adalah suatu bentuk jaminan pelunasan hutang, dengan hak mendahulu, dengan objeknya berupa hak-hak atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau Undang-Undang Pokok Agraria.32

Dari pengertian diatas terdapat beberapa unsur pokok dari hak tanggungan yang termuat dalam defenisi diatas, unsur-unsur pokok itu adalah:       

32

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan Hak Tanggungan, Kencana, Jakarta, 2005, hal.13.


(39)

1. Hak Tanggungan adalah jaminan untuk pelunasan hutang

2. Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai Undang-Undang pokok Agraria

3. Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya ( hak atas tanah ) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu

4. Hutang yang dijamin harus suatu hutang tertentu

5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.33

Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu kepada kreditur-kreditur lain.

Hak Tanggungan hanya dapat dibebani dengan tanah saja, tetapi dapat pula dibebani berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Dengan kata lain Undang-Undang Hak Tanggungan hanya mengatur lembaga hak jaminan atas tanah berikut benda yang berkaitan dengan tanah. Pengertian tanah disini bukan pengertian secara fisik, yang menunjuk tanah dalam mewujudkan alamiah, namun yang dimaksud adalah pengertian tanah secara hukum, yaitu hak atas tanah.

Terkait dengan hal diatas, antara definisi Hak Tanggungan dengan Hipotik, dijumpai bahwa perancang Undang-Undang Hak Tanggungan ternyata dapat lebih baik dalam merumuskan definisi Hak Tanggungan bila dibandingkan

       33


(40)

dengan para pembuat KUH Perdata ketika mereka harus merumuskan definisi Hipotik. Namun menurut Sutan Remy Sjahdeni belum semua unsur yang berkaitan dengan Hak Tanggungan telah dimasukkan dalam rumusan definisinya. Misalnya, dalam rumusan defenisi Hak Tanggungan itu belum dimasukkannya pengertian bahwa Hak Tanggungan adalah suatu Hak Kebendaan.34

Dari bunyi Pasal 1 angka 1 UUHT tampak, bahwa pembuat Undang-undang tidak hendak memberikan perumusan tentang Hak Tanggungan pada umumnya, tetapi hanya membatasi diri dengan memberikan perumusan masalah Hak Tanggungan atas tanah beserta dengan benda-benda yang berikaitan dengan tanah saja.

Perumusan yang demikian memberikan peluang untuk dikemudian hari adanya pengaturan tentang Hak Tanggungan atas benda lain. Jadi perumusan Pasal 1 angka 1 UUHT ini bukan merupakan perumusan umum Hak Tanggungan atas tanah (beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah) saja.35

B. Subjek Dan Objek Hak Tanggungan 1. Subjek Hukum Hak Tanggungan

Subjek Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 9 UUHT. Dalam kedua pasal itu dinyatakan bahwa yang dapat menjadi subjek hukum dalam pembebanan Hak Tanggungan adalah pemberi Hak Tanggungan dan pemegang Hak Tanggungan. Pemberi Hak Tanggungan dapat perorangan atau Badan Hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum       

34

Ibid.,hal.13.

35

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku 2, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal.65.


(41)

terhadap objek Hak Tanggungan. Pemegang Hak Tanggungan terdiri dari perorangan atau Badan Hukum yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang. Biasanya dalam praktik pemberi Hak Tanggungan disebut debitur, yaitu orang yang meminjam uang di lembaga perbankan, sedangkan penerima Hak Tanggungan disebut dengan istilah kreditur yaitu orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang.

Kewenangan melakukan perbuatan hukum itu adalah perjanjian pemberian Hak Tanggungan kepada pemegang Hak Tanggungan. Kewenangan ini harus ada pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan, karena lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat Hak Tanggungan didaftarkan maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan diharuskan ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pembuatan buku tanah Hak Tanggungan. Dengan demikian keabsahan kewenangan tersebut pada saat didaftarkannya Hak Tanggungan.

Dalam prakteknya untuk pemberi Hak Tanggungan lazimnya perorangan sedangkan untuk pemegang Hak Tanggungan lebih banyak berbentuk badan hukum misalnya Bank. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan untuk orang perorangan dapat memanfaatkan lembaga Hak Tanggungan hal ini ditegaskan dalam pasal 9 Undang-undang Hak Tanggungan.

2. Objek Hak Tanggungan

Pada dasarnya tidak setiap hak atas tanah selalu dijadikan sebagai jaminan hutang, tetapi hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan hutang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:


(42)

a. Dapat dinilai dengan uang, karena hutang yang dijamin berupa uang b. Termasuk hak yang didaftarkan dalam daftar umum, karena harus

memenuhi syarat publisitas

c. Mempunyai sifat dapat dipindah tangankan, karena apabila debitur wanprestasi maka benda yang dijadikan jaminan hutang akan dijual dimuka umum

d. Memerlukan penunjukan dengan Undang-undang36

UUHT No. 4 Tahun 1996 dalam pasal 4 sampai dengan pasal 7 telah menunjuk secara tegas hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan hutang, ada lima jenis hak atas tanah yang dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan, yaitu :

1) Hak Milik 2) Hak Guna Usaha 3) Hak Guna Bangunan

4) Hak Pakai, baik Hak Milik atas tanah maupun Hak atas tanah Negara 5) Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah

ada atau akan ada merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan hak milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dan dinyatakan dalam akta pemberian hak atas tanah yang bersangkutan.

6) Tanah Hak Girik dengan syarat tertentu

Dengan dimungkinkan pembebanan Hak Tanggungan selain hak atas tanah juga meliputi benda-benda yang berkaitan dengan tanah, baik yang telah ada       

36

  H.Salim.HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Bandung, 2008, hal.104


(43)

atau yang akan ada dikemudian hari. Adapun benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut adalah bangunan (baik bangunan yang ada berada diatas maupun di bawah permukaan), tanaman, dan hasil karya (seperti candi, patung, gapura).

Menurut pasal 4 ayat (4) dan ayat (5) Undang-undang Hak Tanggungan, agar benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut dapat dibebankan pula pada Hak Tanggungan, maka harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a) Bangunan, tanaman dan hasil karya itu merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan yang dibebani dengan Hak Tanggungan;

b) Bangunan, tanaman dan hasil karya itu merupakan milik, pemegang hak atas tanah yang dibebani dengan hak tanggungan;

c) Pembebanannya dengan tegas dinyatakan didalam Akta Pemberian Hak Tanggungan, yang ditanda tangani bersama oleh pemiliknya dan pemegang hak atas tanahnya atau kuasa mereka dengan akta otentik.37

C. Asas – Asas Hak Tanggungan

Ada beberapa asas dari Hak Tanggungan yang perlu dipahami yang membedakan Hak Tanggungan dari jenis dan bentuk jaminan-jaminan lainya. Dalam pasal UUHT terdapat beberapa asas mengenai Hak Tanggungan antara lain:38

1. Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan.

Sesuai yang dkemukakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu kepada kreditur lain. Maka kedudukan pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak untuk menjual objek yang telah diperjanjikan apabila debitur cedera janji, yaitu dengan       

37

Rachmadi Usman, Pasal-pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, Djambatan,

Jakarta, 1999, hal.73

38


(44)

cara menjual objek Hak Tanggungan tersebut melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan pihutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulukan daripada kreditur-kreditur lain.

Asas ini juga berlaku bagi Hipotik yang telah diganti oleh Hak Tanggungan sepanjang menyangkut tanah. Asas ini disebut sebagi asas droit de preference.

Penjelasan umum Undang-Undang Hak Tanggungan Pasal 1 dan angka 4 Penjelasan Umum Undang-Undang Hak Tanggungan dapat diketahui juga bahwa hak kreditur yang menjadi pemegang Hak Tanggungan tersebut sekalipun diutamakan terhadap hak tagihan kreditur-kreditur lain, tetapi harus mengalah terhadap pihutang-pihutang Negara. Dengan kata lain, hak Negara lebih utama dari kreditur pemegang Hak Tanggungan.

2. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi

Pasal 2 Undang-Undang Hak Tanggungan menentukan bahwa Hak Tanggungan mempunyai sifat yang tidak dapat dibagi-bagi. Maksud dari sifat yang tidak dapat dibagi-bagi adalah bahwa Hak Tanggungan membebani secara utuh objek Hak Tanggungan dan setiap bagian daripadanya. Telah dilunasinyan sebagian hutang yang dijamin tidak berarti terbebasnya sebagian objek Hak Tanggungan dari pembebanan Hak Tanggungan, tetapi membebani seluruh objek Hak Tanggungan untuk sisa yang belum dilunasi (penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Hak Tanggungan).


(45)

Akan tetapi terdapat pengecualian atas asas tidak dapat dibagi-baginya Hak Tanggungan apabila para pihak yang bersepakat menginginkannya dengan memperjanjikannya dalam akta pemberian Hak Tanggungan hal ini terdapat pada Pasal 2 ayat 1 jo. Ayat 2 Undang-Undang Hak Tanggungan dengan syarat-syarat sepanjang :

a. Hak Tanggungan tersebut dibebankan beberapa hak atas tanah

b. Pelunasan hutang yang dijamin dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga kemudian Hak Tanggungan hanya membebani sisa objek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa hutang yang belum dilunasi.

3. Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang Hak Tanggungan menentukan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan (memberikan Hak Tanggungan) harus ada pada Pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan. Artinya Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada dan Hak Tanggungan tidak mungkin pada suatu hak atas tanah yang baru akan ada di kemudian hari.

4. Hak Tanggungan dapat dibebankan selain atas tanah juga berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut


(46)

Berdasarkan Pasal 4 ayat 4 Undang-Undang Hak Tanggungan, Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan saja pada hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan tetapi juga berikut bangunan tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut. Bangunan tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut adalah yang dimaksudkan oleh Undang-Undang Hak Tanggungan sebagai benda yang berkaitan dengan tanah.

5. Hak Tanggungan dapat dibebankan juga atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada dikemudian hari

Hal ini berbeda pada asas bahwa Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada Hak atas tanah yang telah ada, akan tetapi dalam Pasal 4 ayat 4 Undang-Undang Hak Tanggungan memungkinkan Hak Tanggungan dapat dibebankan pula atas benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sekalipun benda-benda tersebut belum ada, tetapi baru akan ada dikemudian hari. Benda yang belum ada itu contohnya benda-benda yang baru ditanam atau bengunan dan juga hasil karya.

Hal ini juga terdapat dalam Pasal 1165 KUH Perdata yang menganut asas pelekatan bahwa setiap Hipotik meliputi juga segala apa yang menjadi satu dengan benda itu karena pertumbuhan atau pembangunan. Dengan kata lain, tanpa harus diperjanjikan terlebih dahulu, segala benda yang berkaitan dengan tanah yang baru aka nada dikemudian hari demi hukum terbebani pula dengan Hipotik


(47)

yang telah dibebankan sebelumnya di atas hak atas tanah yang menjadi objek Hipotik.

6. Perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian Accessoir

Maksudnya perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian berdiri sendiri. Keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain yang disebut perjanjian induk. Perjanjian induk ini adalah perjanjian hutang pihutang.

Perjanjian Hak Tanggungan adalah suatu perjanjian Accessoir yang terdapat dalam butir 8 Penjelasan Umum Undang-Undang Hak Tanggungan ; yang menyebutkan “Oleh karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikatan atau accessoir pada suatu pihutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaanya ditentukan oleh adanya pihutang yang dijamin pelunasannya.”

Dasar hukum bahwa Hak Tanggungan adalah perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian Accessoir terdapat dalam Pasal 10 ayat 1 dan Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Hak Tanggungan.

7. Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan untuk hutang yang baru akan ada Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Hak Tanggungan, Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan untuk :

a. Hutang yang telah ada

b. Hutang yang baru aka nada, tetapi telah diperjanjikan sebelumnya dengan jumlah tertentu


(48)

c. Hutang yang baru akan ada tetapi telah diperjanjikan sebelumnya dengan jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan ditentukan berdasarkan perjanjian utang piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang piutang yang bersangkutan.

Dengan demikian, hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan dapat berupa hutang yang sudah ada maupun yang belum ada, yaitu yang baru aka nada dikemudian hari,tetapi harus sudah diperjanjikan sebelumnya.

Dalam penjelasan Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Hak Tanggungan, dapat dijadikan Hak Tanggungan untuk menjamin hutang yang baru akan ada dikemudian hari adalah untuk menampung kebutuhan dunia perbankan berkenan dengan timbulnya hutang dari nasabah bank sebagai akibat pembebanan bunga atas pinjaman pokok dan pembebanan ongkos-ongkos lain yang jumlahnya baku dapat ditentukan kemudian.

8. Hak Tanggungan dapat menjamin lebih dari satu hutang

Pasal 3 ayat 2 Undang-undang Hak Tanggungan menentukan sebagai berikut:

“Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu hutang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu hutang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum”

Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Hak Tanggungan, memungkinkan pemberian satu Hak Tanggungan untuk :


(49)

a. Beberapa kreditur yang memberikan hutang kepada satu debitur berdasarkan satu perjanjian utang piutang

b. Beberapa kreditur yang memberikan hutang kepada satu debitur berdasarkan beberapa perjanjian utang piutang bilateral antara masing-masing kreditur dengan debitur yang bersangkutan

Dengan adanya ketentuan Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Hak Tanggungan itu tertampung sudah kebutuhan pemberian Hak Tanggungan bagi kredit sindikasi perbankan, yang dalam hal ini seorang debitur memperoleh kredit lebih dari satu bank, tetapi berdasarkan syarat-syarat dan ketentuan yang sama yang dituangkan dalam satu perjanjian kredit saja.

9. Hak Tanggungan mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek itu berada Pasal 7 Undang-Undang Hak Tanggungan menetapkan asas bahwa Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek itu berada. Dengan demikian Hak Tanggungan tidak akan berakhir sekalipun objek Hak Tanggungan beralih kepada pihak lain oleh karena sebab apapun juga.

Ketentuan dalam Pasal 7 Undang-Undang Hak Tanggungan merupakan meterialisasi dari asas yang disebut “droit de suite” atau “zaakgevolg”. Asas ini juga merupakan asas yang diambil dari pihak Hipotik yang diatur dalam Pasal 1163 ayat 2 dan Pasal 1198 KUH Perdata.

Dalam hal ini, asas ini memberikan sifat kepada Hak Tanggungan sebagai hak kebendaan (zakelijkrecht). Hak ini bersifat mutlak, artinya hak ini dapat


(50)

dipertahankan terhadap siapapun. Bagi pemegang hak kebendaan berhak untuk menuntut siapapun juga yang menggangu haknya itu.

Asas atau sifat dari Hak Tanggungan ini memberikan kepastian kepada kreditur mengenai haknya untuk memperoleh pelunasan dari hasil penjualan atas tanah atau hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan itu apabila debitur ingkar janji, sekalipun tanah atau hak atas tanah tersebut dijual oleh pemberi atau pemilik Hak Tanggungan kepda pihak ketiga.

10.Diatas Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan sita oleh Pengadilan

Banyak kasus yang memperlihatkan bahwa pengadilan meletakkan sita di atas tanah (hak atas tanah) yang telah dibebani dengan Hipotik. Penetapan pengadilan yang demikian itu sangat disesalkan oleh banyak kalangan hukum dan perbankan. Sita yang diletakkan itu adalah sita jaminan maupun sita eksekusi yang dilakukan dalam rangka memenuhi permintaan pihak ketiga.

Menurut hemat penulis, memang seharusnya menurut hukum terhadap Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan sita. Alasannya adalah karena tujuan dari (diperkenalkannya) hak jaminan pada umumnya dan khususnya Hak Tanggungan itu sendiri. Tujuan dari Hak Tanggungan adalah untuk memberikan jaminan yang kuat bagi kreditur yang menjadi pemegang Hak Tanggungan itu untuk didahulukan dari kreditur-kreditur lain. Bila terhadap Hak Tanggungan itu dimungkinkan sita oleh pengadilan, berarti pengadilan mengabaikan. Bahkan meniadakan kedudukan yang diutamakan dari kreditur pemegang Hak Tanggungan.


(51)

Penegasan dalam Undang-undang Hak Tanggungan bahwa terhadap Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan sita, dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak. Bila tidak dimuat penegasan yang demikian itu, hanya akan menimbulkan perbedaan pendapat yang menyangkut penafsiran hukum.

11.Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu

Asas ini menghendaki bahwa Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang ditentukan secara spesifik. Asas Spesialitas dalam Undang-Undang Hak Tanggungan dapat disimpulkan pada Pasal 8 dan Pasal 11 ayat 1 huruf e Undang-Undang Hak Tanggungan, karena dalam Pasal 8 menentukan bahwa pemberi Hak Tanggungan harus mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan (Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Hak Tanggungan) dan kewenangan tersebut harus ada pada saat pendaftaran dilakukan (Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang Hak Tanggungan), ketentuan tersebut hanya mungkin dipenuhi apabila objek Hak Tanggungan telah ada dan telah tertentu pada tanah yang telah ditentukan.

Ketentuan lain mengenai Asas Spesialitas ada pada Pasal 11 ayat 1 huruf e yang menunjukkan bahwa objek Hak Tanggungan harus secara spesifik dapat ditunjukkan dalam akta pemberian Hak tanggunan yang bersangkutan. Terkecuali pada benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut yang baru akan ada.


(52)

12.Hak Tanggungan wajib didaftarkan

Berlakunya Asas Publisitas atau Asas Keterbukaan dalam pasal 13 Undang-undang Hak Tanggungan, pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada kantor pertanahan. Pendaftaran pemberian Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikutnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga.

Asas Publisitas juga merupakan asas hipotik yang tercantum dalam pasal 1179 KUH Perdata. Menurut pasal tersebut pembukuan Hipotik harus dilakukan dalam register-register umum yang memang khusus disediakan untuk itu. Jika pembukuan demikian tidak dilakukan, Hipotik yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan apapun juga terhadap kreditur-kreditur preferen.

13.Hak Tanggungan dapat diberikan dengan disertai janji-janji tertentu

Menurut pasal 11 ayat 2 Undang-undang Hak Tanggungan, Hak Tanggungan dapat diberikan disertai janji-janji tertentu. Janji-janji tersebut dicantumkan dalam akta pemberian Hak Tanggungan. Janji yang ada pada pasal 11 ayat 2 Undang-undang Hak Tanggungan bersifat fakultatif dan tidak limitatif.

Bersifat fakultatif karena janji-janji itu boleh dicantumkan atau tidak dicantumkan, baik sebagian maupun seluruhnya. Bersifat tidak limitatif karena dapat pula diperjanjikan dengan janji-janji lain selain dari janji-janji yang telah disebutkan dalam Pasal 11 ayat 2 Undang-undang Hak Tanggungan.


(53)

14.Objek Hak Tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki sendiri oleh pemegang Hak Tanggungan bila debitur cedera janji

Pasal 12 Undang-undang Hak Tanggungan, janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitur cedera janji, maka janji tersebut batal demi hukum. Asas ini diambil dari asas yang berlaku bagi Hipotik, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1178 KUH Perdata. Janji yang demikian ini dikenal dengan sebutan

vervalbeding.

15.Pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan mudah dan pasti

Menurut pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan, apabila debitur cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaannya sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan pihutangnya dari hasil penjualan tersebut. Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan tersebut memberikan hak bagi pemegang Hak Tanggungan untuk melakukan parate eksekusi, artinya pemegang Hak Tanggungan bukan saja tidak perlu memperoleh persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan, tetapi juga tidak perlu meminta penetapan dari pengadilan setempat apabila akan melakukan eksekusi. Pemegang Hak Tanggungan dapat langsung datang dan meminta kepada kepala kantor lelang untuk melakukan pelelangan atas objek Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Dalam sertifikat Hak Tanggungan yang merupakan tanda bukti adanya Hak Tanggungan yang diterbitkan oleh kantor pertanahan dan memuat irah-irah


(54)

dengan kata-kata “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa “, mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah (Pasal 14 ayat 1, 2 dan 3 Undang-undang Hak Tanggungan). Dengan demikian untuk melakukan eksekusi terhadap Hak Tanggungan yang telah dibebankan atas tanah dapat dilakukan tanpa harus melalui proses gugat-menggugat (proses litigasi) apabila debitur cedera janji.

D. Prosedur Pembebanan Hak Tanggungan

Dalam penjelasan umum angka 7 Undang-undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan, yaitu:

1. Tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatkan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh pejabat Pembuat Akta Tanah, yang didahului dengan perjanjian hutang-piutang

2. Tahap pendaftarannya oleh kantor pertanahan, yang merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan.

Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian hutang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lain yang menimbulkan hutang-hutang-piutang (Pasal 10 ayat 1 Undang-undang Hak Tanggungan).


(55)

Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) sesuai peraturan yang berlaku (Pasal 10 ayat 2 Undang-undang Hak Tanggungan). Bila objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi lama yang memenuhi syarat untuk didaftarkan tetapi belum didaftarkan maka pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah itu (pasal 10 ayat 3 Undang-undang Hak Tanggungan).

Dalam APHT wajib dicantumkan nama, identitas, domisili pemegang dan pemberi Hak Tanggungan, hutang yang di jamin, nilai tanggungan dan uraian singkat mengenai objek Hak Tanggungan (asas spesialitas/Pasal 11 ayat 1 Undang-undang Hak Tanggungan). Disamping itu pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan (asas publisitas Pasal 13 ayat 1 Undang-undang Hak Tanggungan)

Janji dalam APHT yang berisi pemberian kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitur cedera janji adalah batal demi hukum (Pasal 12 Undang-undang Hak Tanggungan). Ketentuan ini dibuat guna melindungi kepentingan debitur pemberi Hak Tanggungan lainnya, terutama pada objek Hak Tanggungan yang nilainya melebihi hutang yang di jamin.

Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan kepada Kantor Pertanahan. Pendaftaran APHT dilakukan selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah penandatanganan APHT, kemudian PPAT wajib mengirim APHT dan warkah-warkah lain (yang meliputi surat-surat bukti yang berkaitan dengan objek Hak


(56)

Tanggungan termasuk di dalamnya Sertifikat Tanah jika telah bersertifikat) kepada Kantor Pertanahan. Kantor Pertanahan membuat Buku Tanah Hak Tanggungan dan menyalin pembebanan Hak Tanggungan di dalam Buku Tanah Sertifikat Tanah tersebut serta menyalin catatan itu pada sertifikat Tanah tersebut.

Hak Tanggungan lahir pada tanggal pembuatan Buku Tanah Hak Tanggungan, yaitu pada tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagipendaftaran.

Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, sesuai peraturan yang berlaku (Pasal 14 ayat 1 Undang-undang Hak Tanggungan).

Sertifikat Hak Tanggungan berisi irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Sertifikat Hak Tanggungan ini berkekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti Gross Akta Hipotik (Pasal 14 ayat 2 Undang-undang Hak Tanggungan).

Apabila diperjanjikan lain, Sertifikat Tanah yang telah dibubuhi catatan Pembebanan Hak Tanggungan itu dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah itu (Pasal 14 ayat 4 Undang-undang Hak Tanggungan). Setelah Kantor Pertanahan menerbitkan Hak Tanggungan maka Sertifikat Hak Tanggungan diserahkan kepada pemegang Hak Tanggungan (Pasal 14 ayat 5 Undang-undang Hak Tanggungan).

Pada asasnya pembebanan Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan. Akan tetapi, jika pemberi Hak Tanggungan tidak dapat


(57)

hadir di hadapan PPAT maka diperbolehkan menggunakan SKMHT ( Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan ) sebagimana disebutkan dalam Penjelasan umum dan penjelasan pasal 15 Undang-undang hak Tanggungan.

SKMHT wajib dibuat dengan akat notaris akta PPAT, dan SKMHT itu harus memenuhi persyaratan sebagai berikut (Pasal 15 Undang-undang Hak Tanggungan):

1. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain selain membebankan Hak Tanggungan.

2. Tidak memuat hak subsitusi artinya penerima kuasa tidak dapat digantikan oleh pihak lain.

3. Mencantumkan mengenai objek Hak Tanggungan, jumlah hutang yang dijamin, dan nama serta identitas kreditur dan debiturnya jika debitur bukan pemberi Hak Tanggungan, artinya jika penjamin meminjamkan hak miliknya untuk dijadikan objek Hak Tanggungan untuk menjamin pelunasan hutang debitur.

Kuasa membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir dengan sebab apapun juga terkecuali karena kuasanya telah dilaksanakan atau telah habis masa jangka waktunya ( Pasal 15 ayat 2 Undang-undang Hak Tanggungan).

SKMHT untuk hak atas tanah yang telah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan ( APHT ) selambat-lambatnya satu bulan sejak SKMHT diberikan ( Pasal 15 ayat 3 Undang-undang Hak tanggungan).


(58)

SKMHT untuk hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti pembuatan APHT selambat-lambatnya dalam jangka waktu tiga bulan sejak pemberian SKMHT ( Pasal 15 ayat 4 Undang-undang Hak Tanggungan).

E. Peralihan dan Hapusnya Hak Tanggungan 1. Peralihan Hak Tanggungan

Pada dasarnya Hak Tanggungan dapat dialihkan kepada pihak lainnya. Peralihan Hak tanggungan ini diatur dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 17 UUHT. Peralihan Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan cara :

a. Cessie

Menurut KUH Perdata adalah penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik atau akta di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Dari hal tersebut dapat dipelajari bahwa yang diatur dalam Pasal 613 ayat [1] adalah penyerahan tagihan atas nama dan benda-benda tak bertubuh lainnya.  

b. Subrogasi

Menurut KUHPerdata adalah penggantian hak-hak oleh seorang pihak ketiga yang membayar kepada kreditur. Subrogasi dapat terjadi baik melalui perjanjian maupun karena ditentukan oleh undang-undang. Subrogasi harus dinyatakan secara tegas karena subrogasi berbeda dengan pembebasan utang. Tujuan pihak ketiga melakukan pembayaran kepada


(59)

kreditur adalah untuk menggantikan kedudukan kreditur lama, bukan membebaskan debitur dari kewajiban membayar utang kepada kreditur.

c. Pewarisan

Menurut KUH Perdata adalah kesemuanya kaidah hukum yang mengatur nasib kekeayaan seseorang setelah ia meninggal dunia dan menentuakan siapa orang yang dapat menerimanya.

d. Sebab-sebab lainnya

Hal-hal lain yang dirinci dalam ayat ini, misalnya dalam hal terjadinya pengambil alihan atau penggabungan perusahaan sehingga menyebabkan beralihnya pihutang dari perusahaansemula kepada perusahaan baru (Pasal 16 ayat 1 Undang-undang Hak Tanggungan).

Beralihnya Hak tanggungan kepada debitur baru wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan ( Pasal 16 ayat 2 Undang-Undang Hak Tanggungan). Pendaftaran beralihnya Hak tanggungan itu dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan mencatatnya pada Buku Tanah Hak Tanggungan dan buku hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan serta menyalin catatan itu pada sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan ( Pasal 16 ayat 5 Undang-Undang Hak Tanggungan). Tanggal pencatatan Buku Tanah Hak Tanggungan dan buku tanah yang bersangkutan adalah tanggal ketujuh setelah diterimanya secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran Hak Tanggungan, dan jika hari ketujuh jatuh pada hari libur maka catatan itu diberi tanggal hari kerja berikutnya ( Pasal 16 ayat 4 Undang-Undang hak Tanggungan).


(1)

2. Letak objek lelang yang kurang strategis sehingga menyebabkan orang kurang berminat untuk pelelangan tersebut.

3. Resiko munculnya gugatan dari pihak pemilik atau debitur.

Resiko munculnya gugatan tersebut adalah sesuatu yang bisa terjadi dalam suatu pelelangan, walaupun sudah diatur sebelumnya dalam sebuah perjanjian kredit, apabila pihak debitur tidak dapat membayar atau mengembalikan sejumlah uang pinjaman kepada kreditur maka akan dilakukan eksekusi Hak tanggungan. Disini pihak debitur yang dikatakan salah karena tidak mengembalikan sejumlah uang pinjaman tersebut akan tetap melakukan gugatan kepada kreditur, walaupun pada akhirnya tetap pihak debitur yang salah di pengadilan.51

       51


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan apa yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan dari apa yang telah dibahas. Dalam bab terakhir ini akan dikemukakan beberpa kesimpulan dan saran sebagai hasil dari penelusuran skripsi, yaitu:

1. Kedudukan benda sebagai jaminan Hak Tanggungan dalam pemberian kredit di PT. Bank Sumut Cabang Utama mempunyai kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya. Maksudnya adalah apabila kreditur cidera janji, kreditur pemegang Hak Tanggungan dapat menjual barang agunan melalui pelelangan umum untuk pelunasan hutang debitur. Kedudukan diutamakan tersebut tentu tidak mempengaruhi pelunasan hutang debitur terhadap kreditur-kreditur lainnya. Dan bagi debitur yang ingin meminjam sejunlah uang dengan jaminan Hak Tanggungan maka jaminannya harus bersertifikat hak milik baru bisa langsung dilaksanakan Hak Tanggungan antara kreditur dan debitur. Jika belum bersertifikat hak milik maka ada proses terlebih dahulu untuk peningkatan surat yang belum bersertifikat hak milik menjadi hak milik melalui notaris.


(3)

2. Pengelolaan kredit bermasalah dengan jaminan Hak Tanggungan di PT. Bank Sumut Cabang Utama pada penerapannya mempunyai cara sendiri baik dengan kredit bermasalah dan dengan pembebanan Hak Tanggungan yaitu dilakukan dengan dua cara yaitu Non Litigasi : pengelolaan dilakukan lebih melalui pendekatan secara persuasive, dilakukan dengan peringatan dengan cara melakukan mengirim surat kepada pihak debitur dan upaya kekeluargaan. Cara yang kedua adalah dengan Litigasi yaitu : dilakukan dengan cara ranah hukum, melakukan somasi terhadap pihak debitur, eksekusi pengikatan jaminan dan melakukan gugatan perdata. Pengelolaan kredit bermasalah ini dilakukan oleh pihak Devisi Penyelamatan Kredit bidang administrasi laporan yang berada dikantor pusat.

3. Benda jaminan dengan Hak Tanggungan dapat dieksekusi langsung dalam upaya penyelesaian kredit bermasalah di PT. Bank Sumut Cabang Utama dan dilakukan oleh KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan negara dan Lelang) dan sangat efektif dalam penyelesaian kredit bermasalah dengan dasar : objek agunan terpublikasi melalui media masa seperti Koran dan majalah, harga limit yang ditetapkan kurang lebih sama dengan harga pasar, dan adanya kepastian hukum terhadap objek yang dibeli oleh pembeli lelang ( adanya risalah lelang ).


(4)

B. Saran

1. Agar dapat dibuat mengenai aturan yang lebih jelas mengenai lembaga jaminan lain sehingga aturannya sama dengan lembaga jaminan Hak Tanggungan sehingga kedudukannya menjadi sama dalam upaya memperoleh kredit tidak hanya di PT. Bank Sumut Cabang Utama tetapi juga pada bank-bank komerisal lainnya.

2. Dalam kredit bermasalah, hendaknya PT. Bank Sumut lebih memperhatikan calon debitur agar tidak terjadi kredit bermasalah dalam pemberian kredit, apakah debitur tersebut mampu untuk menyelesaiakan kreditnya dengan melihat penghasilan calon debitur dan lain sebagainya.

3. Dalam perjanjian kredit, PT. Bank Sumut dan pihak debitur sebaiknya selalu beriktikad baik dalam perjanjian dan tidak terpengaruh oleh pihak-pihak lain yang mencoba mencari keuntungan dari perjanjian telah ada, agar perjanjian antara kedua belah pihak dapat tercapai dan terlaksana dengan baik.

4. Dalam proses pengikatan jaminan yaitu tanah, pihak debitur kepada pihak PT. Bank Sumut sebagai kreditu sebaiknya mematuhi ketentuan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan agar terhindar dari kerugian yang timbul karena tidak mengikuti aturan-aturan yang telah ditentukan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada 2003

Dahlan Siamat, Manajemen Bank Umum, Intermedia, Jakarta, 1993.

H. AS. Mahmoedin, Etika Bisnis Perbankan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994.

H.Salim.HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Bandung 2008.

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku 2, Citra aditya Bakti, Bandung, 2004.

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum harta kekayaan Hak Tanggungan, Jakarta, Kencana, 2005.

M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni Bandung, 1986.

Marindra Prahandi Ferdianto, perbuatan melanggar hukum atau wanprestasi, hukumonline.com

Marhainis Abdul Hay, Hukum Perbankan di Indonesia, Pradnya Paramita, Bandung, 1975,

Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian kredit bank, Alumni, Bandung, 1991. Megarita, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Saham Yang Di Gadaikan, USU Press,Medan, 2008

Munir Fuadi, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.


(6)

Rachmadi Usman, Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan Mediasi Perbankan, CV. Mandar Maju, Bandung, 2011.

Rachmadi Usman, Pasal-pasal Tentang Hak Tanggungan atas tanah, Djambatan, Jakarta, 1999

R. Subekti, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bhakti,, Jakarta, 1987.

R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung, 1987

ST. Remy Sjahdeini, Asas – asas, Ketentuan – ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Perbankan ( Suatu Kajian Mengenai Undang – Undang Hak Tanggungan, Alumni, Bandung, 1999.

Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, cet.3, Bandung: Alfabeta, Bandung, 2005.

Sri Soedewi Mascjcuoen Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980.

Sutojo Siswanto, Analisa Kredit Bank Umum, PT Ikrar Mandiri, Jakarta, 1997.

Thomas Suyatno dkk, Kelembagaan Perbankan, Jakarta; Gramedia, 1990.

Peraturan PerUndang-Undangan

Indonesia, Solahudin, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Acara Pidana, & Perdata, Cetakan Pertama, Visimedia, Jakarta, 2008

Indonesia, Undang-Undang tentang Hak Tanggungan, UU No. 4 Tahun 1996, Sinar Grafika, Jakarta, 2002.

Indonesia, Undang-Undang Perbankan, UUP No. 10 Tahun 1998, Fokusmedia, Bandung, 2004