BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF G. Pengertian Perjanjian Jaminan - Hak Atas Tanah Sebagai Jaminan Utang Dalam Perjanjian Kredit Dengan Hak Tanggungan (Studi Kasus Pada PT. Bank Rakyat Indonesia, TBK Cabang Medan)

BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF G. Pengertian Perjanjian Jaminan Istilah “jaminan” dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai

  pada Pasal 1131 KUHPerdata dan penjelasan Pasal 8 UUP, namun dalam kedua peraturan tersebut tidak dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan jaminan.

  Meskipun demikian dari kedua ketentuan tersebut dapat diketahui, bahwa jaminan erat hubungannya dengan masalah utang. Biasanya dalam perjanjian pinjam meminjam uang, pihak kreditur meminta debitur agar menyediakan jaminan berupa sejumlah harta kekayaannya untuk kepentingan pelunasan utang, apabila

   setelah jangka waktu yang diperjanjikan ternyata debitur tidak melunasi.

  Arti dan pentingnya jaminan dalam hal ini, memberikan keamanan modal dan kepastian hukum bagi si pemberi modal untuk pelunasan hutangnya juga agar debitur berperan serta dalam transaksi yang dibiayai oleh kreditur, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usahanya yang dapat merugikan diri sendiri atau perusahaan dapat dicegah serta memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi perjanjian kredit yang telah disetujui agar tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada kreditur.

  Sesuai dengan tujuannya, barang jaminan bukan untuk dimiliki kreditur, karena perjanjian hutang piutang bukan perjanjian jual beli yang mengakibatkan perpindahan hak milik atas suatu barang. Barang jaminan dipergunakan untuk 13 Pasal 8 UUP Tahun 1992 sebagaimana telah diubah UUP No. 10 Tahun 1998

  28 melunasi hutang, dengan cara sebagaimana peraturan yang berlaku, yaitu barang jaminan dijual lelang. Hasilnya untuk melunasi hutang, dan apabila masih ada sisanya dikembalikan kepada debitur. Barang jaminan tidak selalu milik debitur, tetapi undang-undang juga memperbolehkan barang milik pihak ketiga, asalkan pihak yang bersangkutan merelakan barangnya dipergunakan sebagai jaminan hutang debitur. Dengan demikian, jaminan adalah suatu perikatan antara kreditur dengan debitur, dimana debitur memperjanjikan sejumlah hartanya untuk pelunasan hutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, apabila dalam waktu yang ditentukan terjadi kemacetan pembayaran

   hutang di debitur.

  Undang-undang tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian jaminan KUH Perdata dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132, hanya mengatur secara

  

  umum saja. Dalam kedua pasal tersebut dinyatakan sebagai berikut :

  Pasal 1131 KUHPerdata : “ Segala kebendaan si berutang baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan “. Pasal 1132 KUHPerdata : “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang menguntungkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing- masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.” Jadi apabila seseorang mengadakan perjanjian, misalnya 14 Gatot Suparmono, Perbankan dan Masalah Kredit; Tinjauan Yuridis. (Jakarta :

  Djambatan. Edisi Revisi. Cet Kedua. 1997), hal. 46 15 A.Hamzah, dan Senjun Manullang, Lembaga Fidusia dan penerapannya di Indonesia.

  (Jakarta : Indhill-Co tahun 1997), hal 11-13 pinjam uang dari bank, maka ketentuan dari Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata, dinyatakan bahwa segala kebendaan si berhutang menjadi jaminannya. Oleh karena itu orang yang meminjam uang, tidak hanya wajib mengembalikan yang dipinjamnya itu saja, akan tetapi juga wajib menyediakan barang-barang atau harta bendanya sebagi jaminan pelunasan hutangnya.

  Perjanjian jaminan adalah suatu hubungan hukum antara pemberi jaminan dan penerima jaminan berdasarkan kesepakatan dengan tujuan untuk

  

  menimbulkan akibat hukum M. Yahya Harahap, pengertian perjanjian adalah : suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang rnemberi kekuatan hak kepada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan

   pada pihak lain tentang suatu prestasi.

  Berdasarkan pengertian tersebut dapat dilihat beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain hubungan hukum yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang atau lebih yang memberi hak kepada satu pihak dan kewajiban kepada pihak lain tentang Jaminan yang bersifat khusus dapat ditemui dalam KUHPerdata berupa gadai, hipotik dan borghtocht yang diatur berturut-turut dalam (Pasal 1150, 1162 dan 1820) KUHPerdata. Selain itu bentuk jaminan yang bersifat khusus yang dikenal dengan nama creditverband yang diatur dalam Stb. No. 542 Tahun 1908.

  16 Wawancara dengan Prof. Dr. Tan Kamello, SH.,M.Hum Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tanggal 27 September 2013 17 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung, Alumni, 1986, hal.6.

H. Jenis-jenis Jaminan 1.

  Jaminan Perorangan Dalam Pasal 1820 KUHPerdata dinyatakan jaminan perorangan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berhutang mana kala orang itu sendiri tidak memenuhinya. Jaminan yang bersifat perorangan dijumpai dalam bentuk perjanjian penangungan (borghtocht) yang berupa bank

   garantie, bouraw garantie, credit garantie , saldo garantie. Dengan demikian

  jaminan perorangan dapat dilakukan tanpa sepengetahuan si debitur. Tuntutan kreditur terhadap seseorang penjamin tidak diberikan suatu “previlege” atau kedudukan istimewa dibandingkan atas tuntutan-tuntutan kreditur lainnya, maka

   jaminan perorangan ini tidak banyak dipraktekkan dalam dunia perbankan.

2. Jaminan Kebendaan

  Benda dalam arti luas, ialah segala sesuatu yang dapat di haki oleh orang lain. Juga perikatan benda itu dipakai dalam arti yang sempit yaitu sebagai barang yang dapat dilihat saja. Ada lagi dipakai bahwa benda itu dimaksudkan kekayaan

  

  seseorang. Dari pengertian benda sebagai kekayaan seseorang, maka benda tersebut termasuk juga kekayaan yang tidak dapat dilihat, misalnya hak piutang.

  Jaminan yang bersifat kebendaan dijumpai dalam bentuk hipotik, pand (gadai),

  18 19 A.Hamzah, dan Senjun Manullang,Op. Cit., hal 21 Muhamad Djunhana. Hukum Perbankan di Indonesia. (Bandung : Citra Aditya Bakti.

  Cet 12, 1997), hal 233-235 20 R. Soebekti, Pokok-pokok Hukum Perdata. (Jakarta :Intermassa Cet ke 13Tahun 1997), hal 50

  

creditverband . Selain itu juga beberapa hak yang sedikit banyak memberi jaminan

   dengan privelege dan hak retensi.

  Jaminan kebendaan, yaitu jaminan yang dilakukan oleh kreditur dengan debiturnya, ataupun antara kreditur dengan seseorang pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si debitur. Dalam praktik, jaminan kebendaan diadakan suatu pemisahan bagian dari kekayaan seseorang (si pemberi jaminan), yaitu melepaskan sebagian kekuasaan atau sebagian kekayaan tersebut dan semuanya itu diperuntukkan guna memenuhi kewajiban si debitur bila diperlukan.

  Kekayaan tersebut dapat berupa kekayaan si debitur itu sendiri, ataupun kekayaan pihak ketiga. Dengan demikian menurut Soebekti, maka pemberian jaminan kebendaan kepada si kreditur memberikan suatu keistimewaan baginya terhadap

   kreditur lainnya.

I. Hak atas Tanah sebagai Jaminan Hukum

  Pada umumnya kredit yang diterima oleh debitur diamankan dengan adanya jaminan kredit. Faktor jaminan merupakan faktor yang sangat penting bagi kreditur, karena diperlukan kepastian, bahwa pinjaman yang diberikan itu akan dilunasi debitur tepat pada waktunya, jadi fungsi pemberian jaminan adalah dalam rangka memperkecil risiko kerugian yang mungkin akan timbul, apabila debitur ingkar janji. Dengan kata lain fungsi pemberian jaminan adalah memberi hak dan kekuasaaan kepada bank, untuk mendapatkan pelunasan dari hasil lelang benda

  21 22 A. Hamzah, dan Senjun Manullang, Op Cit. hal 21 Ibid. hal 234-235

  yang dijaminkan apabila debitur tidak membayar kembali hutangnya tepat pada waktunya yang telah ditentukan dalam perjanjian kredit.

  Jaminan kredit adalah suatu jaminan baik berupa benda atau orang, yang diberikan oleh debitur kepada kreditur, yang diperlukan untuk memperlancar pemberian kredit dan ditunjukan untuk menjamin agar kreditur tidak dirugikan, apabila debitur ingkar janji atau tidak mampu mengembalikan pinjamannya tepat pada waktunya.

  Objek jaminan adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai, mudah digunakan, yang diikat dengan janji untuk dijadikan jaminan untuk pembayaran hutang debitur. Jaminan yang dikehendaki oleh pemberi kredit atau bank, adalah jaminan yang berdaya guna dan berhasil guna, artinya jaminan tersebut harus dapat memberikan kepastian kepada pemberi kredit dan mudah untuk dijual atau digunakan, guna menutup pinjaman yang tidak dapat dilunasi oleh debitur.

   Jaminan yang diminta oleh bank adalah: 1.

  Jaminan kebendaan 2. Jaminan perorangan atau penanggungan 3. Memberikan kedudukan istrimewa kepada kreditur untuk dapat terlebih dahulu mengambil piutang dengan mengesampingkan kreditur-kreditur lainnya. Bentuk jaminan kebendaan adalah hak atas tanah. Hak atas tanah merupakan objek jaminan yang paling disukai oleh kreditur, karena mudah dijual, harganya terus meningkat, mempunayi sertifikat atau tanda bukti hak, tercatat dan

  

diakses tanggal 15 Juli 2013 dapat dibebani hak tanggungan yang memberikan hak istimewa kepada kreditur. Pembebanan hak tanggungan terhadap hak atas tanah yang dijadikan objek jaminan didasarkan atas pemberlakukan UUHT.

  Hak atas tanah sebagai jaminan pembayaran hutang mengandung pengertian bahwa hak atas tanah tertentu, oleh yang berhak menjaminkan hak itu.

  Disediakan secara khusus kepada kreditur untuk lebih meyakinkan kreditur, bahwa hutang tertentu dari seorang debitur akan dilunasi pada saat yang diperjanjikan jika debitur mengingkari janjinya, maka kreditur berhak menjual hak atas tanah itu dan mengambil uang dari hasil penjualan untuk diperhitungkan sebagai pembayaran hutang debitur.

  Hak atas tanah dapat dijadikan jaminan kredit di bank berdasarkan perjanjian kredit yang disepakati oleh kedua belah pihak baik kreditur maupun debitur. Kesepakatan yang diberikan oleh debitur untuk menjaminkan hak atas tanah yang dimiliki harus dilakukan sesuai dengan haknya terhadap tanah yang dijadikan jaminan olehnya. Pemilikan hak atas tanah dapat dalam suatu pemilikan bersama, antara lain pemilikan bersama dalam hal harta bersama yang tergabung akibat dari suatu perkawinan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa harta bersama, berupa hak atas tanah dapat dijadikan objek jaminan hak tanggungan

  Objek hak tanggungan adalah hak atas tanah, bukan tanahnya itu sendiri. Hak atas tanah yang akan dijadikan jaminan atas suatu utang dengan dibebani hak tanggungan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a.

  Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang b. Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi syarat publisitas c.

  Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitur cedera janji benda yang dijadikan jaminan akan dijual di muka umum.

   d.

  Memerlukan penunjukkan dengan undang-undang.

  J. Kaitan Jaminan dengan Perjanjian Kredit

  Sehubungan dengan kegiatan perkreditan tersebut, maka hak tanggungan adalah salah satu hak jaminan di bidang hukum yang dapat memberi perlindungan khusus kepada kreditur dalam kegiatan perkreditan. Jika dikaitkan dengan sifatnya, maka hak tanggungan sebagai hak jaminan atas tanah sebagai agunan memberikan kedudukan diutamakan (preference) kepada kreditur. Kreditur yang bersangkutan dapat memperoleh pelunasan atas piutangnya terlebih dahulu dari kreditur-kreditur lainnya, karena objek hak tanggungan tersebut disediakan khusus untuk pelunasan piutang kreditur tertentu.

  Hak atas tanah dewasa ini merupakan objek jaminan kredit yang paling disukai oleh bank, sebab tanah dianggap lebih bernilai secara ekonomis. Lembaga jaminan yang dibebankan atas tanah dan bangunan oleh bank adalah hak tanggungan. Patut dikemukakan, bahwa kreditur selalu harus waspada, agar debitur dikemudian hari tidak mendapatkan kesulitan dalam mengeksekusi atau menjual tanah dan bangunan tersebut. Sertifikat sebagai bukti yang kuat, karena dalam sertifikat itu mengenai jenis hak pemegang hak serta peristiwa hukum yang penting sehubungan dengan tanah tertentu, dan karena semuanya itu diisi oleh pejabat yang berwenang, maka apa yang dibaca dalam sertifikat harus dianggap benar.

24 Ibid

  Keberadaan jaminan tanah yang belum bersertifikat dapat diajukan sebagai jaminan kredit, tetapi nilai kredit yang dimohonkan dengan hak atas tanah yang belum bersertifikat menjadi turun dan kurang memiliki harga apabila dibandingkan dengan tanah yang telah bersertifikat. Beberapa aspek yuridis yang merupakan kondisi dari kekuatan pendaftaran dan penerbitan sertifikat hak tanggungan sebagai jaminan kredit kepada usaha kecil dalam menerima hak atas tanah sebagai objek jaminan kredit adalah : 1.

  Segi kepemilikan tanah yang dijadikan objek jaminan.

  2. Pemeriksaan sertifikat tanah dan kebenaran letak tanah yang dijadikan objek jaminan.

  3. Segi kewenangan untuk membebankan hak tanggungan atas tanah yang dijadikan objek jaminan.

  4. Segi kemudahan untuk melakukan eksekusi atau penjualan tanah yang dijadikan objek jaminan.

  5. Segi kedudukan bank sebagai kreditur yang preferen

  K. Macam-Macam Hak Atas Tanah

  Berkaitan dengan hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUHT jo. Pasal 25, Pasal 33 dan Pasal 39 UUPA adalah :

1. Hak Milik (HM) a.

  Pengertian dan Sifat Hak Milik

  Artinya bahwa Hak Milik atas tanah tersebut dapat digunakan untuk usaha pertanian dan juga untuk mendirikan bangunan. 4)

  Sertipikat Dan Permasalahan, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2002), hal. 5-6

  Subyek dan Obyek Hak Milik Sesuai dengan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UUPA, maka yang dapat mempunyai Hak Milik adalah :

  b.

  Dapat dijadikan jaminan dengan dibebani Hak Tanggungan;

  Dapat beralih dan dialihkan; 5)

  3) Terpenuh;

  Pasal 20 UUPA didalamnya dinyatakan bahwa Hak Milik adalah: “Hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai atas tanah dengan mengingat fungsi sosial, yang dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”.

  Terkuat; Artinya bahwa Hak Milik atas tanah tersebut yang paling kuat diantara Hak-hak atas tanah yang lain.

  Artinya Hak Milik atas tanah dimaksud dapat beralih karena hukum dari seseorang pemilik tanah yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. 2)

  1) Turun-temurun;

  

  berikut :

  

Eigendom . Dengan demikian, maka Hak Milik mempunyai ciri-ciri sebagai

  Hak Milik adalah hak yang “terkuat dan terpenuh” yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak tersebut merupakan hak “mutlak”, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat sebagai Hak

6) Jangka waktu tidak terbatas.

25 Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan; Pemberian Hak Atas Tanah Negara,

  1) Warga Negara Indonesia;

  2) Badan-badan Hukum yang ditunjuk oleh pemerintah melalui Peraturan

  Pemerintah Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah, PP No. 38 Tahun 1963 sumbernya meliputi : a.

  Bank-bank yang didirikan oleh negara; b. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan

  Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958; c. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria aetelah mendengar Menteri Agama; d.

  Badan hukum sosial

  Pasal 21 ayat (3) UUPA, dinyatakan bahwa: Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh Hak Milik, karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu, di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu, Hak Milik tersebut tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum, dengan ketentuan Hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung”. Khusus terhadap kewarganegaraan Indonesia, maka sesuai dengan Pasal 21 ayat (4) UUPA ditentukan bahwa : “Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing, maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan Hak Milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat 3 pasal ini”. Dengan demikian yang berhak memiliki hak atas tanah dengan Hak Milik adalah hanya Warga Negara Indonesia tunggal dan Badan Hukum yang ditunjuk oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah.

  c.

  Terjadinya Hak Milik Menurut Pasal 22 ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa “Terjadinya Hak Milik menurut Hukum Adat diatur dengan Peraturan Pemerintah”, sedangkan dalam ayat (2) dinyatakan bahwa selain cara sebagaimana diatur dalam ayat (1), Hak Milik dapat terjadi karena : 1)

  Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

2) Ketentuan undang-undang.

  Hal ini bertujuan agar supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan umum dan negara. Hal ini berkaitan dengan Pasal 5 UUPA yang dinyatakan bahwa :

  “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang ayat ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan Sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang- undang ini dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada Hukum Agama “.

  d.

  Hapusnya Hak Milik Berdasarkan ketentuan Pasal 27 UUPA Hak Milik dapat hapus oleh karena sesuatu hal, meliputi ; 1)

  Tanahnya jatuh kepada negara oleh karena:

  a) Pencabutan hak; (UU No.20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya); b) Penyerahan secara sukarela oleh pemiliknya; (KEPPRES No.55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan

  Umum)

  c) Diterlantarkan; (PP No.36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan

  Pendayagunaan Tanah Terlantar);

  d) Ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2). 2) Tanahnya musnah.

  2. Hak Guna Bangunan (HGB) a.

  Pengertian Hak Guna Bangunan Hak Guna Bangunan adalah salah satu hak atas tanah yang dinyatakan dalam UUPA. Pengertian Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 35 ayat (1) dinyatakan bahwa : “Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun”. Pernyataan Pasal 35 ayat (1) tersebut mengandung pengertian bahwa pemegang HGB bukanlah pemegang hak milik

  

  atas bidang tanah dimana bangunan tersebut didirikan. Sehubungan dengan hal tersebut, Pasal 37 UUPA menyatakan bahwa HGB dapat terjadi terhadap tanah Negara yang dikarenakan penetapan pemerintah. Selain itu HGB dapat terjadi di atas sebidang tanah Hak Milik yang dikarenakan adanya perjanjian yang berbentuk autentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh Hak Guna Bangunan itu yang bermaksud menimbulkan hak tersebut. 26 Ibid, hal 190

  Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain serta dapat dijadikan jaminan hutang. Dengan demikian, maka sifat-sifat dari Hak Guna

27 Bangunan adalah :

  1) Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dalam arti dapat diatas Tanah Negara ataupun tanah milik orang lain.

2) Jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun lagi.

  3) Dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain;

  4) Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan

  b. Subyek dan Obyek Hak Guna Bangunan Hak Guna Bangunan dapat dipunyai oleh Warga Negara Indonesia maupun badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 36 ayat (1) UUPA. Pada ayat (2) dinyatakan bahwa: “Orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat (1) Pasal ini, dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat”.

  Ketentuan tersebut berlaku juga bagi pihak lain yang memperoleh Hak Guna Bangunan jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika HGB yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan peraturan 27 Ali Achmad Chomzah, (2) Hukum Pertanahan, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2002), hal.

  31 pemerintah. Mengenai tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan telah diatur dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah. Bila melihat pada Pasal 37 UUPA, maka dapat dimengerti bahwa HGB dapat diberikan di atas tanah Negara yang didasari penetapan dari pemerintah. Selain itu HGB juga dapat diberikan di atas tanah Hak Milik berdasar pada adanya kesepakatan yang berbentuk autentic antara pemilik tanah dengan pihak yang bermaksud menimbulkan atau memperoleh HGB tersebut.

  Ketentuan Pasal 21 PP No.40 Tahun 1996, maka tanah yang dapat diberikan dengan hak guna bangunan adalah Tanah Negara; Tanah Hak Pengelolaan; dan Tanah Hak Milik. Dengan demikian dapat diketahui pula bahwa obyek dari HGB adalah Tanah Negara, tanah hak pengelolaan dan tanah Hak Milik dari seseorang. Ketentuan mengenai Hak Guna Bangunan yang diberikan di atas tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan, diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 22 dan Pasal 23 PP No. 40 Tahun 1996, dan pada dasarnya HGB yang diberikan di atas tanah Negara dan tanah Hak Pengelolaan diberikan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN, dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No.3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.

  c. Jangka Waktu Hak Guna Bangunan Berdasarkan ketentuan Pasal 35 UUPA, Hak Guna Bangunan diberikan dalam jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu

  20 tahun lagi, selain itu HGB dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Mengenai jangka waktu pemberian HGB juga diatur dalam Undang-Undang No.

  40 Tahun 1996, pada Pasal 25 ayat (1) dinyatakan bahwa : ”Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun”. Sedangkan pada ayat (2) dinyatakan bahwa : “Sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan dan perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada bekas pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Bangunan di atas tanah yag sama”. Lebih lanjut dinyatakan dalam Pasal 29, dinyatakan bahwa : (1) Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun. (2) Atas kesepakatan antara pemegang Hak Guna Bangunan dengan pemegang Hak Milik, Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik dapat diperbaharui dengan pemberian Hak Guna Bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan hak tersebut wajib didaftarkan. Maksud dari ketentuan Pasal 25 dan Pasal 29 tersebut yaitu bahwa HGB yang diberikan di atas Tanah Negara dan tanah Hak Pengelolaan dapat diperpanjang selama 20 tahun kemudian, sedangkan HGB yang diberikan di atas tanah Hak Milik tidak dapat diperpanjang melainkan hanya diperbaharui setelah berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam pemberiannya tersebut.

  Adapun syarat-syarat untuk dapat diperpanjang maupun diperbaharui hak guna bangunan tersebut antara lain yaitu: 1)

  Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut;

  2) Syarat-syarat pemberian hak, dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;

  Tanah itu musnah 7) Ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2).

  (3) dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;

  (b) Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hUkum yang tetap;

  Tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan/ atau Pasal 14;

  (2) dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir karena: (a)

  (1) berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya;

  a) Hak Guna Bangunan hapus karena :

  Ketentuan Pasal 40 UUPA tersebut selanjutnya juga di atur dalam Pasal 35 PP No.40 Tahun1996, dinyatakan :

  Tanah tersebut ditelantarkan 6)

  3) Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak;

  Dicabut untuk kepentingan umum 5)

  Dilepaskan oleh pemegangnya sebelum jangka waktu berakhir; 4)

  Dihentikan sebelum waktu berakhir karena salah satu syarat tidak terpenuhi; 3)

  Jangka waktunya telah berakhir; 2)

  UUPA, yang dinyatakan bahwa : Hak Guna Bangunan hapus karena: 1)

  d. Hapusnya Hak Guna Bangunan Ketentuan mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan di atur dalam Pasal 40

  

  4) Tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan.

  (4) dicabut berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 1961; (5) ditelantarkan; (6) tanahnya musnah; (7) ketentuan Pasal 20 ayat (2). 28 Ibid

  b.

  Ketentuan lebih lanjut mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden.

3. Hak Pakai (HP) a.

  Pengertian Hak Pakai Pengertian hak pakai dinyatakan dalam Pasal 41 ayat (1) UUPA bahwa hak pakai adalah :“hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang.

  b. Subyek dan Obyek Hak Pakai Hak Pakai dapat dipunyai oleh Warga Negara Indonesia maupun Warga

  Negara Asing termasuk badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia juga badan hukum asing, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 42 UUPA. Pengaturan subyek Hak Pakai diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 39 PP No. 40 Tahun 1996, yaitu “Yang dapat mempunyai Hak Pakai adalah :

  1) Warga Negara Indonesia;

  2) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;

  3) Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah

  Daerah 4)

  Badan-badan keagamaan dan sosial; 5)

  Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; 6)

  Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia;

7) Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Intemasional.

  Mengenai tanah yang dapat diberikan dengan Hak Pakai telah diatur dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, khususnya ketentuan Pasal 41 dinyatakan :

  “Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Pakai adalah :

  a) Tanah Negara;

  b) Tanah Hak Pengelolaan;

c) Tanah Hak milik.

  Ketentuan Pasal 42 PP No. 40 Tahun 1996, Hak Pakai dapat diberikan atas: (1)

  Hak Pakai atas tanah Negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2)

  Hak Pakai atas Hak Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan. (3)

  Ketentuan mengenai tata cara dan syarat permohonan dan pemberian Hak Pakai atas tanah Negara dan tanah Hak Pengelolaan diatur Iebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

  c. Jangka Waktu Hak Pakai Jangka waktu pemberian HP juga diatur dalam Undang-Undang No. 40

  Tahun 1996, pada Pasal 45 dinyatakan bahwa : 1)

  Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 diberikan untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh tahun ataudiberikan, untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. 2)

  Sesudah jangka waktu Hak Pakai atau perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) habis, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Pakai atas tanah yang sama. 3)

  Hak Pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama dipergunakan untuk keperluan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan kepada : a) Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah

  Daerah;

  b) Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional;

c) Badan keagamaan dan badan sosial.

  L. Hak-Hak Atas Tanah Menurut UUPA

  Dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, dikatakan bahwa bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara”. Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam UUPA (Pasal 1 ayat 2) memberi wewenang kepada Negara untuk : mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan memeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; menentukan dan mengatur hubungan- hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

  Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum (UUPA, Pasal 4 ayat 1). Pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

   1.

  Hak Milik Jenis jenis Hak Atas Tanah 2.

  Hak Guna Usaha 3. Hak Pakai 4. Hak Sewa 5. Hak Membuka Tanah 6. Hak Memungut Hasil Hutan

  Ad. 1 Hak Milik a.

  Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah b.

  Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

  c.

  Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik.

  d.

  Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya (bank Negara, perkumpulan koperasi pertanian, badan keagamaan dan badan sosial) e. Terjadinya hak milik, karena hukum adat dan Penetapan Pemerintah, serta karena ketentuan undang-undang f.

  Hak milik, setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak lain, harus didaftarkan di Kantor Pertanahan setempat. Pendaftaran dimaksud merupakan pembuktian yang kuat. Ad.2. Hak Guna Usaha a.

  Adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan dengan 29 Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Sesudah jangka waktu dan perpanjangannya berakhir ke pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Usaha di atas tanah yang sama.

  b.

  Diberikan paling sedikit luasnya 5 hektar, jika lebih dari 25 hektar harus dikelola dengan investasi modal yang layak dnegan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman.

  c.

  Hak guna usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain d. Hak Guna Usaha dapat dipunyai warga negara Indonesia, dan Badan

  Hukum yang didirikan berdasarkan Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia e.

  Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah Tanah Negara f. Hak Guna Usaha terjadi karena penetapan Pemerintah g.

  Hak Guna Usaha setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak lain, harus didaftarkan di Kantor Pertanahan setempat. Pendaftaran dimaksud merupakan pembuktian yang kuat h. Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak

  Tanggungan Ad.3. Hak Guna Bangunan a.

  Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, yang dapat berupa tanah Negara, tanah hak pengelolaan, tanah hak milik orang lain dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun. Setelah berakhir jangka waktu dan perpanjangannya dapat diberikan pembaharuan baru Hak Guna Bangunan di atas tanah yang sama.

  b.

  Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

  c.

  Hak Guna Bangunan dapat dipunyai warga negara Indonesia, dan Badan Hukum yang didirikan berdasarkan Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia d.

  Hak Guna Bangunan terjadi karena penetapan Pemerintah e. Hak Guna Bangunan setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak lain, harus didaftarkan di Kantor Pertanahan setempat.

  Pendaftaran dimaksud merupakan pembuktian yang kuat f. Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak

  Tanggungan Ad.4. Hak Pakai

  a. Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang b. Hak pakai dapat diberikan : 1)

  Selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu; 2)

  Dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.

  3) Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.

   Yang dapat mempunyai hak pakai ialah : a.

  Warga negara Indonesia b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia c. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia d.

  Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

  e.

  Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin penjabat yang berwenang.

  f.

  Hak pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.

  Ad.5. Hak Sewa a.

  Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk

30 Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960

  keperluan bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.

  b.

  Pembayaran uang sewa dapat dilakukan : 1)

  Satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu;

2) Sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan.

  3) Perjanjian sewa tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.

   Yang dapat menjadi pemegang hak sewa ialah :

  1) Warganegara Indonesia;

  2) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;

  3) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;

4) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

  Ad.6. Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan a.

  Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warganegara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

  b.

  Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu.

  Hak atas tanah yang ada dalam UUPA haknya dapat dialihkan dengan cara antara lain melalui :

31 Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960

  1) Dalam Pasal 1457 KUHPerdata, dinyatakan bahwa jual beli adalah “suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga

   yang telah dijanjikan”.

  2) Tukar menukar adalah pengalihan pemilikan dan atau penguasaan barang tidak bergerak milik negara kepada pihak lain dengan menerima penggantian utama dalam bentuk barang tidak bergerak dan tidak merugikan negara

  3) Penyertaan dalam modal adaah sebagai tanda penyertaan atau pemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas.

  Saham berwujud selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas tersebut adalah pemilik perusahaan yang menerbitkan surat berharga. Porsi kepemilikan ditentukan oleh seberapa besar penyertaan yang ditanamkan pada suatu perseroan tersebut.

  4) Dalam Pasal 1666 KUH Perdata, dinyatakan bahwa Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghihah, di waktu hidupnya, dengan cuma- cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.

  Undang-undang tidak mengakui lain-lain hibah selain hibah-hibah diantara orang-orang yang masih hidup.

  5) Pewarisan adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki atau 32 perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun hak-hak

  Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Jual Beli, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003),hal. 7 yang diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat.

  Selain dengan dialihkan hak atas tanah dapat berakhir atau hapusnya dikarenakan antara lain :

  1. Jangka waktu yang berakhir 2.

  Dibatalkan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat yang tidak dipenuhi

  3. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegan haknya sebelum jangka waktunya berakhir

  4. Dicabut untuk kepentingan umum 5.

  Diterlantarkan 6. Tanahnya musnah 7. Beralih ke warganegara asing (khusus Hak Milik) atau badan hukum asing

  (khusus HGU dan HGB)