Pertanggungjawaban Yuridis Tentang Keabsahan Akta Dalam Perikatan Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit Pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Studi Pada PT. Bank Rakyat Indonesia Cabang Blang Pidie)
PERTANGGUNGJAWABAN YURIDIS TENTANG
KEABSAHAN AKTA DALAM PERIKATAN HAK
TANGGUNGAN SEBAGAI JAMINAN KREDIT PADA PT.
BANK RAKYAT INDONESIA (STUDI PADA PT. BANK
RAKYAT INDONESIA CABANG BLANG PIDIE)
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
OLEH:
ANDI REZA PUTRA NIM 090200416
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
PERTANGGUNGJAWABAN YURIDIS TENTANG
KEABSAHAN AKTA DALAM PERIKATAN HAK
TANGGUNGAN SEBAGAI JAMINAN KREDIT PADA PT.
BANK RAKYAT INDONESIA (STUDI PADA PT. BANK
RAKYAT INDONESIA CABANG BLANG PIDIE)
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara OLEH:
ANDI REZA PUTRA NIM 090200416
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
Disahkan/Diketahui Oleh:
KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
NIP. 196603031985081001 Dr. Hasim Purba, SH., M.Hum.
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Tan Kamello. SH., MS.
NIP. 19620421198031004 NIP. 1968011281994032001 Puspa Melati Hsb., SH., M.Hum.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan, kenikmatan dan anugerah kepada penulis, menuntun dan membimbing penulis dalam segala kasih dan karunia-Nya, dan tidak lupa shalawat dan salam penulus haturkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah mengajarkan kepada umat manusia tentang ilmu dan amal serta hidup taat dan patuh kepada Allah SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul:
“PERTANGGUNGJAWABAN YURIDIS TENTANG KEABSAHAN AKTA DALAM PERIKATAN HAK TANGGUNGAN SEBAGAI JAMINAN KREDIT PADA PT. BANK RAKYAT INDONESIA (STUDI PADA PT. BANK RAKYAT INDONESIA CABANG BLANG PIDIE)”.
Dalam melakukan penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan baik dari isi tulisan maupun cara penulisannya. Hal ini dikarenakan oleh terbatasnya pengetahuan dan pengalaman penulis untuk menuangkannya ke dalam skripsi ini, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan maupun saran guna memperbaiki kualitas dari penulisan dan bermanfaat pada masa yang akan datang.
Dalam penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik Secara langsung maupun tidak langsung. Penulis menyadari tidak akan mampu untuk membalas kebaikan dari berbagai pihak tersebut, dan penulis hanya dapat berdo’a agar semua pihak yang membantu penulis selalu dalam lindungan Allah SWT.
(4)
Sebagai ungkapan terima kasih, maka izinkanlah penulis untuk menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Dr. Hasim Purba, SH., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH., M.S., selaku Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk memberikan pengarahan, petunjuk kepada penulis, baik berupa saran dan arahan yang membangun dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Ibu Puspa Melati Hsb., SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II dan Dosen Wali penulis, yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaganya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan serta petunjuk kepada penulis dalam pembuatan skripsi ini.
5. Bapak/Ibu Dosen dan Asisiten Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara yang telah mendidik dan memberikan tambahan wawasan ilmu dan pengetahuan hukum kepada penulis selama menjalankan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Seluruh staf dan pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu selama proses perkuliahan yang dijalani penulis selama ini. 7. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak PT. Bank Rakyat
Indonesia Cabang Blang Pidie, yang memberikan izin kepada penulis untuk melakukan riset pada bank tersebut.
(5)
8. Penulis ingin mengucapkan rasa sayang yang besar kepada ungku (Alm) H. Bagindo Bachtiar dan umi (Alm) Hj. Yusnah yang semasa hidupnya selalu memberikan perhatian dan kasih sayang yang sebesar-besarnya kepada penulis dan tidak perrnah lelah untuk memberikan masukan yang terbaik buat penulis. 9. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih dan rasa sayang yang tak
terhingga kepada Ayahanda H. Dirwan, SH., Sp.N., dan Ibunda Hj. Asnida Bachtiar., yang tidak pernah lelah memberikan bantuan, dukungan, semangat, do’a, serta kasih sayang yang tiada batas kepada penulis.
10.Terima kasih kepada Kakanda Dian Utami, S.Farm., dan Adinda Nanda Yustiansyah, yang telah memberi bantuan, semangat, dan dukungan yang tidak pernah henti kepada penulis.
11.Terima kasih kepada Om dan Tante Harry Setiawan Bachtiar, Dr. Ir. Hj. Salmiah Bachtiar, M.S., dr. Hj. Werina Bachtiar yang telah memberikan dukungan, semangat, dan masukan kepada penulis
12.Terima kasih kepada sepupuku tersayang: Delfi Kurniawan, M. Gusti Hariandi, Putri Nadhira, M. Haris Afrianda, Putri Rizky Azzahra, dan semua sepupu yang tidak dapat dituliskan satu persatu yang telah membantu serta mendoakan penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
13.Terima kasih kepada Annisa Febrina yang telah memberikan motivasi kepada penulis untuk tetap semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
14.Terima kasih kepada para sahabat Try Purnomo, SH., Abdul Hadi, SH., Marco Tanteri, SH., Willy Erlangga, SH., Milyardi Gagah Diningrat, SH., Fahmi Anggia Lbs, SH., M. Fauzi Syareza, SH., Ahmad Najam, M. Husin,
(6)
Mutamamin Ula, Supon, Ibal, Anes, Ceko, Wira, Damhury, Obe, Wahyu, James, Omo, Bang Eddy, Bang Dedy, Kak Rizky Nadra.
15.Teman-teman seperjuangan angkatan 2009 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu memberikan dukungan, semangat, dan saran kepada penulis.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi kontribusi yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum.
Medan, Juni 2014 Penulis
(7)
ABSTRAK
*) Andi Reza Putra
**) Tan Kamello
***) Puspa Melati Hsb
Salah satu fungsi bank sebagai perantara pihak-pihak yang
kelebihan dana dan menyalurkan dana kepada pihak-pihak yang
kekurangan dan memerlukan dana. Oleh karena itu, dibuat suatu
perjanjian yang akan mengikat kedua belah pihak antara pihak bank
(kreditor) dan penerima dana (debitor). Dimana dalam perjanjian akan
muncul suatu perikatan antara pihak yang membuat perjanjian.
Penelitian dilakukan untuk mengetahui prosedur pelaksanaan
perikatan hak tanggungan menggunakan akta perikatan jaminan dan
untuk mengetahui pertanggungjawaban pemberi kuasa dan penerima
kuasa terhadap akta perikatan. Metode penelitian yang digunakan
adalah penelitian kepustakaan
(Library research)
dan penelitian
lapangan
(Field Research)
.
Library research
dilakukan dengan cara
mengambil dari sumber-sumber bacaan atau bahan-bahan tertulis,
sedangkan
Field Research
adalah penelitian lapangan yang dilakukan
melalui pemeriksaan data-data, serta wawancara yang diperoleh
langsung dari pegawai PT. Bank Rakyat Indonesia Cabang Blang
Pidie untuk melengkapi bahan skripsi ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prosedur pelaksanaan
perikatan hak tanggungan menggunakan akta perikatan jaminan pada
Bank BRI Cabang Blang Pidie melalui dua tahap, yaitu: tahap
pemberian hak tanggungan dengan dibuatnya Akta Pemeberian Hak
Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang
didahului dengan perjanjian hutang piutang yang dijamin, dan tahap
pendaftaran oleh kantor pertanahan yang merupakan saat akhirnya hak
tanggungan yang dibebankan. Sementara itu pertanggungjawaban
pemeberi kuasa adalah membayar angsuran dan bunga serta mebayar
biaya-biaya yang timbul karena pelaksanaan perjanjian kredit dan
mematuhi segala ketentuan yang termuat di dalam perjanjian kredit,
sementara pertanggung jawaban penerima kuasa adalah memberikan
pelayanan yang terbaik, menyerahkan uang pinjaman kredit,
menyerahkan kembali hak milik pemberi kuasa apabila telah melunasi
hutangnya, dan memenuhi segala ketentuan yang termuat di dalam
perjanjian kredit.
(8)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………. i
ABSTRAK ………... v
DAFTAR ISI ……… vi
BAB I PENDAHULUAN ………... 1
A. Latar Belakang ………... 1
B. Permasalahan ……….. 3
C. Tujuan Penulisan ……… 4
D. Manfaat Penulisan ……….. 4
E. Keaslian Penulisan ………. 4
F. Metode Penelitian ………... 5
G. Sistematika Penulisan ……… 6
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN AKTA MENURUT KUH PERDATA ……… 8
A. Pengertian Perjanjian dan Perjanjian Kredit ………. 8
B. Syarat Sah Perjanjian ………. 16
C. Asas-Asas Hukum dalam Suatu Perjanjian ………... 20
D. Pengertian Akta Menurut KUH Perdata ….………... 26
E. Jenis-jenis Akta Menurut KUH Perdata ……… 27
BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI AKTA PERIKATAN DALAM HAK TANGGUNGAN JAMINAN KREDIT ……..……… 39
(9)
B. Jaminan Sebagai Tanggungan dalam Akta Perikatan ……… 50
C. Kedudukan Hukum Perikatan dalam Hak Tanggungan Jaminan Menurut KUH Perdata ……… 58
BAB IV PERTANGGUNG JAWABAN YURIDIS KEABSAHAN AKTA DALAM PERIKATAN HAK TANGGUNGAN SEBAGAI JAMINAN KREDIT PADA PT. BANK RAKYAT INDONESIA (STUDI PADA PT. BANK RAKYAT INDONESIA CABANG BLANG PIDIE) ………... 68
A. Keabsahan Akta Perikatan Dalam Hak Tanggungan jaminan Kredit………. 68
B. Prosedur Pelaksanaan Perikatan Hak Tanggungan Menggunakan Akta Perikatan Jaminan ……….. 71
C. Pertanggungjawaban Pemberi Kuasa dan Penerima Kuasa Terhadap Akta Perikatan ………... 84
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………. 89
A. Kesimpulan ……… 89
B. Saran ……….. 90
DAFTAR PUSTAKA ……….. 92
(10)
ABSTRAK
*) Andi Reza Putra
**) Tan Kamello
***) Puspa Melati Hsb
Salah satu fungsi bank sebagai perantara pihak-pihak yang
kelebihan dana dan menyalurkan dana kepada pihak-pihak yang
kekurangan dan memerlukan dana. Oleh karena itu, dibuat suatu
perjanjian yang akan mengikat kedua belah pihak antara pihak bank
(kreditor) dan penerima dana (debitor). Dimana dalam perjanjian akan
muncul suatu perikatan antara pihak yang membuat perjanjian.
Penelitian dilakukan untuk mengetahui prosedur pelaksanaan
perikatan hak tanggungan menggunakan akta perikatan jaminan dan
untuk mengetahui pertanggungjawaban pemberi kuasa dan penerima
kuasa terhadap akta perikatan. Metode penelitian yang digunakan
adalah penelitian kepustakaan
(Library research)
dan penelitian
lapangan
(Field Research)
.
Library research
dilakukan dengan cara
mengambil dari sumber-sumber bacaan atau bahan-bahan tertulis,
sedangkan
Field Research
adalah penelitian lapangan yang dilakukan
melalui pemeriksaan data-data, serta wawancara yang diperoleh
langsung dari pegawai PT. Bank Rakyat Indonesia Cabang Blang
Pidie untuk melengkapi bahan skripsi ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prosedur pelaksanaan
perikatan hak tanggungan menggunakan akta perikatan jaminan pada
Bank BRI Cabang Blang Pidie melalui dua tahap, yaitu: tahap
pemberian hak tanggungan dengan dibuatnya Akta Pemeberian Hak
Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang
didahului dengan perjanjian hutang piutang yang dijamin, dan tahap
pendaftaran oleh kantor pertanahan yang merupakan saat akhirnya hak
tanggungan yang dibebankan. Sementara itu pertanggungjawaban
pemeberi kuasa adalah membayar angsuran dan bunga serta mebayar
biaya-biaya yang timbul karena pelaksanaan perjanjian kredit dan
mematuhi segala ketentuan yang termuat di dalam perjanjian kredit,
sementara pertanggung jawaban penerima kuasa adalah memberikan
pelayanan yang terbaik, menyerahkan uang pinjaman kredit,
menyerahkan kembali hak milik pemberi kuasa apabila telah melunasi
hutangnya, dan memenuhi segala ketentuan yang termuat di dalam
perjanjian kredit.
(11)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Republik Indonesia merupakan suatu Negara yang memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang cukup besar diberbagai bidang, salah satunya dibidang perekonomian. Pada perkembangan ekonomi di Indonesia diperlukan adanya pengelolaan sumber-sumber ekonomi oleh lembaga-lembaga yang tersedia secara terarah dan terpadu, serta dimanfaatkan secara maksimal bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Dengan adanya lembaga-lembaga keuangan, baik itu lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan bukan bank haruslah bahu membahu dalam mengelola dan menggerakkan roda perekonomian agar menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat. Tentu saja tujuan tersebut hanya akan terwujud apabila didukung oleh sistem perbankan yang sehat dan stabil.
Lembaga perbankan dituntut untuk mewujudkan tujuan perbankan nasional sebagaimana terkandung dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang selanjutnya disebut dengan UUP, dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem keuangan yang semakin maju, diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi, termasuk
(12)
Perbankan. Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang perseorangan, badan-badan usaha swasta, badan-badan usaha milik negara, bahkan lembaga-lembaga pemerintah menyimpan dana-dana yang dimilikinya. Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian.1
Dalam menyalurkan dana kepada pihak yang kekurangan dan membutuhkan dana harus dibuat suatu perjanjian yang akan mengikat kedua belah pihak antara pihak bank sebagai kreditur dan pihak penerima dana sebagai debitur. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana dua orang atau dua pihak saling berjanji untuk melakukan suatu hal atau suatu persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.
Berkaitan dengan pengertian bank pada Pasal 3 UUP, dinyatakan bahwa fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Dari ketentuan ini tercermin fungsi bank sebagai perantara pihak-pihak yang kelebihan dana dan menyalurkan dana kepada pihak-pihak-pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa bank berperan sebagai salah satu penggerak kemajuan perekonomian di Indonesia.
2
1
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005, hal. 7
2
Ibid, hal.71
Di dalam perjanjian akan muncul suatu perikatan antara para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Setiap isi dari perjanjian antara pihak debitur dengan kreditur akan dimuat di dalam akta perikatan, dimana akta perikatan tersebut digunakan sebagai bukti bahwa kedua belah pihak telah
(13)
membuat perjanjian yang telah disepakati. Akta tersebutlah yang menjadi dasar hukum bagi kedua belah pihak yang berjanji.
Akta yang digunakan di dalam perjanjian ini adalah akta otentik yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan Undang-Undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang di tempat dimana akta itu dibuat. Akta tersebut telah memiliki kedudukan hukum yang tetap dan telah diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1868, Pasal 165 HIR, dan Pasal 285 RBg.
Sehubungan dengan penjelasan di atas, maka akan dibahas “Aspek Yuridis Tentang Keabsahan Suatu Akta Perikatan Dalam Hak Tanggungan Jaminan Kredit Pada PT Bank Rakyat Indonesia (Studi Pada PT Bank Rakyat Indonesia Cabang Blang Pidie)”.
Hal ini disebabkan pentingnya akta perikatan di dalam perjanjian kredit pada perbankan untuk memberikan kepastian hukum untuk melindungi hak dan kewajiban kedua belah pihak.
B. Permasalahan
Sehubungan dengan adanya akta perikatan dalam hak tanggungan jaminan kredit, penulis mengemukakan beberapa maslaah dan sekaligus menjadi batasan dalam pembahasan selanjutnya. Adapun permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana keabsahaan akta hak tanggungan didalam perikatan kredit
2. Bagaimana prosedur pelaksanaan perikatan hak tanggungan menggunakan akta perikatan jaminan pada PT. Bank Rakyat Indonesia Cabang Blang Pidie.
(14)
3. Bagaimana pertanggungjawaban pemberi kuasa dan penerima kuasa terhadap akta perikatan pada PT. Bank Rakyat Indonesia Cabang Blang Pidie.
C. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui keabsahan akta hak tanggungan dalam perjanjian kredit 2. Untuk mengetahui prosedur pelaksanaan perikatan hak tanggungan
menggunakan akta perikatan jaminan pada PT. Bank Rakyat Indonesia Cabang Blang Pidie.
3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pemberi kuasa dan penerima kuasa terhadap akta perikatan pada PT. Bank Rakyat Indonesia Cabang Blang Pidie.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Menambah wawasan bagi penulis dalam bidang hukum umumnya dan khususnya tentang akta perikatan dalam hak tanggungan jaminan kredit.
2. Memberikan informasi bagi penulis/mahasiswa/dosen/praktisi hukum dalam memahami manfaat akta perikatan dalam hak tanggungan jaminan kredit.
E. Keaslian Penulisan
Skripsi dengan judul “Aspek Yuridis Tentang Keabsahan Suatu Akta Perikatan Dalam Hak Tanggungan Jaminan Kredit Pada PT Bank Rakyat Indonesia (Studi Pada PT Bank Rakyat Indonesia Cabang Blang Pidie)” belum
(15)
pernah dibahas sebelumnya oleh orang lain dan ide untuk menulis skripsi dengan topik ini adalah berdasarkan inisiatif sendiri. Apabila ada skrispi dengan topik pembahasan yang sama, tentu ada perbedaannya terlihat dalam hal permasalahannya. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa karya ilmiah ini adalah asli karya penulis sendiri sesuai dengan asas-asas keilmuan: jujur, rasional, objektif, dan terbuka.
F. Metode Penulisan
Dalam penulisan ini, penulis memberikan bukti dan fakta atau data yang akurat untuk mendukung hasil yang baik dari suatu karya ilmiah. Sehubungan dengan hal tersebut, metode yang dipergunakan dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut:
1. Penelitian Hukum Normatif (Library Research)
Nama lain dari penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum doktriner, juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen, penelitian ini dilakukan atau ditujukan kepada peraturan-peraturan tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain.3
3
Bambang Sugono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal.52
Sebagai penelitian perpustakaan ataupun studi dokumen, penelitin ini lebih banyak dilakukan terhadap data bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Hal ini dilakukan dengan cara melakukan penelitian dari sumber-sumber bacaan atau bahan-bahan tertulis seperti karangan ilmiah, buku-buku, dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan objek pembahasan skripsi ini yang dapat dipakai
(16)
sebagai pedoman dalam penelitian dan analisa terhadap masalah yang dihadapi.4
2. Penelitian Hukum Empiris (Field Research)
Terhadap penelitian hukum empiris, istilah lain yang digunakan adalah penelitian hukum sosiologis dan dapat disebut juga penelitian lapangan. Jika penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang didasarkan atas data sekunder, maka penelitian hukum sosiologis ini bertitik tolak dari data primer. Data primer didapat dari masyarakat melalui data lapangan. Juga dapat dilakukan wawancara secara langsung dengan Bapak T. Mahyulizar Supervivisor ADK (Administrasi Kredit).5
G. Sistemetika Penulisan
Dengan mengemukakan masalah-masalah dalam pembatasan permasalahan, penulis mencoba memberikan uraian-uraian dengan membagi dalam lima bab penulisan yang mana setiap bab mempunyai kaitan dengan bab yang lainnya, sehingga terintegrasi sesui dengan judul skripsi ini. Bab-bab tersebut dapat dijelaskan sebagai berikiut:
BAB I : Pendahuluan
Dalam bab ini diuraikan tentang landasan dan dasar pemikiran dalam penyusunan skripsi ini, baik mengenai latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penulisan, dan sistemetika penulisan.
4
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal.13
5
Wawancara dengan Bapak T. Mahyulizar Supervisor ADK PT BANK RAKYAT INDONESIA, Blang Pidie, tanggal 28 November 2013
(17)
BAB II : Perjanjian Menurut KUH Perdata
Dalam bab ini diuraikan tentang pengertian dan perjanjian kredit, syarat sah perjanjian, asas-asas hukum dalam suatu perjanjian, pengertian akta menurut KUH Perdata, dan jenis-jenis akta.
BAB III : Tinjauan Umum Mengenai Akta Perikatan Dalam Hak Tanggungan Jaminan Kredit
Dalam bab ini diuraikan tentang hak tanggungan dalam jaminan kredit, jaminan sebagai tanggungan dalam akta perikatan, dan kedudukan hukum perikatan dalam hak tanggungan jaminan menurut KUH Perdata.
BAB IV : Pertanggung Jawaban Yuridis Keabsahan Akta Dalam Perikatan Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit Pada PT BANK RAKYAT INDONESIA
Dalam bab ini diuraikan hasil penelitian tentang keabsahan akta dalam perikatan jaminan kredit, prosedur pelaksanaan perikatan hak tanggungan menggunakan akta perikatan jaminan, dan pertanggungjawaban pemberi kuasa dan penerima kuasa terhadap akta perikatan.
BAB V : Kesimpulan Dan Saran
(18)
BAB II
PERJANJIAN MENURUT KUH PERDATA
A. Pengertian Perjanjian dan Perjanjian Kredit
Perjanjian adalah hubungan yang terjadi di antara dua orang atau lebih, yang terdapat di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.
Hukum perjanjian diatur dalam buku ke III KUH Perdata dimana KUH Perdata digunakan kata “persetujuan untuk menyatakan perjanjian”.
Pengertian perjanjian menurut Burgerlijk Wetboek atau yang biasa dikenal di Indonesia dengan KUH Perdata yang diterjemahkan oleh Subekti disebutkan dengan persetujuan, yang diatur dalam Pasal 1313. Pasal 1313 KUH Perdata yang menyatakan sebagai berikut:
“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih”.
Dari uraian di atas sesungguhnya persetujuan dan perjanjian mempunyai pengertian yang sama, yaitu melakukan persetujuan atau perjanjian agar dapat melaksanakan apa yang mereka janjikan atau mereka setujuai.
Untuk lebih menguatkan, Subekti menyatakan suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu, dapat dikatakan bahwa dua perkataan (persetujuan dan perjanjian) itu adalah sama artinya.
Wirjono Prodjodikoro mengemukakan pengertian perjanjian adalah diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan,
(19)
antara dua pihak dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan sesuatu, sedang pihak lain menuntut pelaksanaan janji itu.6
Perjanjian adalah salah satu sumber perikatan. Perjanjian melahirkan perikatan, yang menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban yang dibebankan pada debitur dalam perjanjian, memberikan hak kepada pihak kreditur dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut. Pelaksanaan prestasi dalam perjanjian yang telah disepakati oleh pihak dalam perjanjian adalah pelaksanaan dari perikatan yang terbit dari perjanjian tersebut. Dalam hal debitur tidak melaksanakan perjanjian yang telah disepakati, maka kreditur berhak menuntut pelaksanaan kembali perjanjian yang belum, tidak sepenuhnya atau tidak sama sekali dilaksanakan atau telah dilaksanakan secara bertentangan atau tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, dengan atau tidak disertai dengan penggatian berupa bunga kerugian dan biaya yang telah dikeluarkan oleh kreditur.7
Rumusan yang terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah suatu kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi
6
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1979,hal 49
7
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 91
(20)
hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum.
Pada rumusan yang terdapat dalam Pasal 1313 dan Pasal 1314 KUH Perdata tersebut dikembangkan lebih jauh, dengan menyatakan bahwa atas prestasi yang wajib dilakukan oleh debitur dalam perjanjian tersebut, debitur yang berkewajiban tersebut dapat meminta dilakukannnya kontra-prestasi dari lawan pihaknya tersebut. Kedua rumusan tersebut memberikan banyak arti bagi ilmu hukum. Dengan adanya kedua rumusan yang saling melengkapi tersebut dapat dikatakan bahwa pada dasarnya perjanjian dapat melahirkan perikatan yang bersifat sepihak (dimana hanya satu pihak yang wajib berprestasi) dan perikatan yang bertimbal balik (dengan kedua belah pihak saling berprestasi). Dengan demikian dimungkinkan suatu perjanjian melahirkan lebih dari satu perikatan, dengan kewajiban berprestasi yang saling bertimbal balik. Pada saat yang bersamaan, debitur pada satu sisi menjadi kreditur pada sisi yang lain. Ini adalah karakteristik khusus dari perikatan yang lahir dari perjanjian. Pada perikatan yang lahir dari undang-undang, hanya ada satu pihak yang menjadi debitur dan pihak lain yang menjadi kreditur yang berhak atas pelaksanaan prestasi debitur.
Perjanjian juga mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan harta benda antara dua orang atau lebih yang memberikan kekuatan hak pada satu
(21)
pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak yang lain untuk menunaikan prestasi.
Dari pengertian singkat di atas dapat dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang memberikan wujud pengertian perjanjian, antara lain hubungan hukum yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lainnya tentang suatu prestasi.
Kalau demikian perjanjian adalah hubungan hukum oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu, perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perorangan adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum. Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian bukan suatu hubungan yang bias timbul dengan sendirinya seperti yang kita jumpai dalam harta benda kekeluargaan.
Dimana dalam perjanjian hubungan hukum antara pihak yang satu dengan yang lain tidak bias timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena adanya “tindakan hukum”. Tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk memenuhi prestasi.8
Dapat dikatakan bahwa perikatan merupakan pengertian yang abstrak. Sebab tidak dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam alam pikiran kita,
8
(22)
sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa atau kejadian yang konkrit karena kita dapat melihat atau membaca suatu perjanjian.9
Dalam pemberian kredit, Bank wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang dipinjamkan. Pada hakekatnya pemberian kredit didasarkan atas kepercyaan yang berarti bahwa pemberian kredit adalah pemberian kepercayaan oleh Bank sebagai pemberi, dimana prestasi yang diberikan benar-benar sudah diyakini akan
Perjanjian mempunya sifat yang dapat dipaksakan. Dalam perjanjian kreditur berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Hak mendapatkan prestasi tadi “dilindungi” oleh hukum berupa “sanksi”. Ini berarti kreditur diberi kemampuan oleh hukum untuk memaksa debitur untuk menyelesaikan pelaksanaan kewajiban atau prestasi yang mereka perjanjikan.
Apabila debitur enggan secara sukarela memenuhi prestasi, kreditur dapat meminta kepada pengadilan untuk melaksanakan sanksi hukum, baik berupa eksekusi, ganti rugi, dan uang paksa. tetapi tidak seluruhnya perjanjian punya sifat yang dapat dipaksa.
Di dalam perjanjian pihak-pihak kreditur dan debitur itu dapat diganti. Penggantian debitur harus diketahui atau disetujui oleh kreditur , sedangkan penggantian kreditur dapat terjadi secara sepihak. Bahkan untuk hal-hal tersebut pada saat sesuatu perikatan lahir antara pihak-pihak, secara apriori disetujui hakikat penggantin kreditur itu.
9
(23)
dapat dibayar kembali oleh si penerima kredit sesuai dengan syarat-syarat yang telah disepakati bersama dalam perjanjian kredit.
Di dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, perjanjian kredit tidak ada pengaturannya. Istilah perjanjian kredit terdapat di dalam Instruksi Pemerintah yang ditujukan kepada kalangan perbankan yang menyatakan bahwa, untuk pemberian kredit bank wajib menggunakan akad perjanjian. Instruksi ini terdapat di dalam Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/E/In/1996 tanggal 3 Oktober 1996, Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit 1 Nomor 2/649/UPK/Pem,b, tanggal 20 Oktober 1966 dan Instruksi Presidium Kabinet Ampera Nomor 10/In/1966 tanggal 6 Februari 1967.
Dalam pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 dikatakan bahwa:
“Kredit adalah penyediaan utang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan”.
Berdasarkan batasan yang diberikan oleh undang-undang tersebut, bahwa dalam pengertian kredit terkandung perkataan perjanjian pinjam meminjam sebagai dasar diadakannya perjanjian kredit. Atas hal itu pula, dapat dikatakan bahwa kredit merupakan suatu perjanjian yang lahir dari persetujuan.
Perjanjian kredit menurut Hukum Perdata Indonesia adalah suatu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur dalam KUH Perdata pada Pasal1754-1759. Dengan demikian pembuatan suatu perjanjian kredit dapat berdasarkan ketentuan-ketentuan KUH Perdata, tetapi dapat pula berdasarkan
(24)
kesepakatan diantara para pihak, artinya dalam hal tertentu yang memaksa maka harus sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam KUH Perdata, sedangkan dalam hal ketentuan yang tidak memaksa diserahkan kepada para pihak. Pasal 1754 KUH Perdata meyatakan bahwa:
“Pinjam-meminjam ialah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang akan habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.
Sebaagai suatu perjanjian, maka pengertian perjanjian kredit itu tidak dapat terlepas dari KUH Perdata dan Undang-Undang Perbankan. Mariam Darus Badrulzaman menyebutkan, bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian pendahuluan (voorovereenkomst), dalam hal ini yang dimaksudkan adalah perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang. Dimana apabila kedua belah pihak telah mufakat mengenai semua unsur-unsur dalam perjanjian pinjam mengganti ini, maka tidak berarti bahwa perjanjian tentang pinjam mengganti akan telah terjadi, perjanjian tersebut adalah bersifat konsensuil obligator yang dikuasai oleh Undang-Undang Nomor 14 tahun 1967 dan bagian umum KUH Perdata, bila uang telah diserahkan (bersifat riil atau nyata) kepada peminjam, maka lahirlah perjanjian pinjam mengganti.
Dalam pelaksanaanya, pengertian perjanjian kredit ini selalu dikaitkan dengan bentuk perjanjian yang ditegaskan dalam model-model formulir bank dari masing-masing bank. Bentuk dan materi perjanjian kredit antara satu bank dengan bank yang lain tidaklah sama karena harus disesuaikan dengan kebutuhannya masing-masing. Jadi dapat dikatakan bahwa perjanjian perjanjian kredit tersebut
(25)
belum mempunyai bentuk yang tertentu (tetap), hanya saja dalam prakteknya banyak hal yang biasanya dicantumkan dalam perjanjian kredit, misalnya defenisi istilah-istilah yang akan dipakai dalam perjanjian ini terutama dalam perjanjian dengan pihak asing, jumlah dan batas waktu pinjaman, serta pembayaran pinjaman, penetapan bunga pinajaman dan denda bila debitur lalai membayar bunga dan lain sebagainya.
Selain itu pula si peminjam diminta memberikan representation,
warranties, dan convenants. Yang dimaksud dengan representation adalah
keterangan-keterangan yang diberikan oleh debitur guna pemrosesan pemberian kredit. Warranties dapat diartikan sebagai suatu janji, misalnya perjanjian bahwa si debitur akan melindungi kekayaan perusahaannya atau asset yang telah dijadikan jaminan untuk mendapatkan kredit tersebut. Covenants adalah perjanjian untuk tidak melakukan sesuatu misalnya, janji bahwa si debitur tidak akan melakukan marger dengan perusahan lain atau menjual seluruh maupun sebagian assetnya tanpa seizin kreditur (bank). Walaupun bentuk dan materi perjanjian kredit belum mempunyai bentuk yang tertentu (tetap), tetapi materi perjanjian kredit itu haruslah lahir dari kesepakatan kedua belah pihak.
Perjanjian kredit perlu mendapatkan perhatian yang khusus, baik oleh bank sebagai kreditur maupun oleh nasabah sebagai debitur, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaan maupun pelaksanaan kredit itu.10
10
(26)
B. Syarat Sah Perjanjian
Sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian, sebab dengan melalui perjanjian pihak-pihak dapat membuat segala macam perikatan, sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang terkandung dalam Buku III KUH Perdata, tetapi kebebasan berkontrak tersebut bukan berarti boleh membuat perjanjian secara bebas, melainkan harus memenuhui syarat-syarat tertentu untuk sahnya suatu perjanjian. Maksud kebebasan berkontrak adalah bebas untuk menentukan atau menetapkan isi dan macam perjanjian, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum (Pasal 1337 dan Pasal 1338 KUH Perdata). Dengan kata lain, para pihak pembuat perjanjian tersebut dalam keadaan bebas, tetapi bebas dalam arti tetap selalu berada dalam ruang gerak yang dibenarkan atau sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Di dalam Pasal 1320 KUH Perdata telah diatur syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang berbunyi: “untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan 4 (empat) syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya; 2. Cakap untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu;
(27)
Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif, karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian. Sedangkan kedua syarat terakhir disebut sebagai syarat objektif, karena mengenai objek yang diperjanjikan.11
Kesepakatan yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah persesuaian kehendak antara para pihak, yaitu bertemunya antara penawaran dan penerimaan. Kesepakatan ini dapat dicapai dengan berbagai cara, baik dengan cara tertulis maupun dengan cara tidak tertulis. Dikatakan tidak tertulis, bukan lisan karena perjanjian dapat saja terjadi dengan cara tidak tertulis dan juga tidak lisan, tetapi bahkan hanya dengan menggunakan simbol-simbol atau dengan cara lainnya yang tidak secara lisan.12
Dengan diperlukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunya kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat suatu tekanan yang mengakibatkan adanya “cacat” bagi perwujudan kehendak tersebut.
13
Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui
(overeenstemende wilsverklaring) antara para pihak. Pernyataan pihak yang
menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).14
Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian menyatakan bahwa menurut ajaran yang lazim yang dianut sekarang, perjanjian harus dianggap dilahirkan
11
Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001,hal.73
12
Ahmadi Miru, dkk, Hukum perikatan:Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008, hal.68
13
Op.Cit, hal.73
14
(28)
pada saat dimana pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Bahwasannya mungkin ia tidak membaca surat itu, hal itu menjadi tanggung jawabnya sendiri. Ia dianggap sepantasnya membaca surat-surat yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.15
Dilihat dari syarat-syarat sahnya perjanjian ini, maka Asser membedakan bagian perjanjian ini, yaitu bagian inti (wezenlijk oordeel) dan bagian yang bukan inti (non wezenlijk oordeel). Bagian inti disebut esensialia, bagian non-inti terdiri dari naturalia dan aksidentialia.16
Sementara itu, mengenai cakap (bekwaam) yang dimaksud dalam pasal ini adalah kemampuan menurut hukum untuk melakukan perbuatan hukum (perjanjian). Kecakapan ini ditandai dengan dicapainya umur 21 tahun atau telah menikah, walaupun usianya belum mencapai 21 tahun. Khusus untuk orang yang Esensialia: bagian ini merupakan sifat yang harus ada di dalam perjanjian. Sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta (constructieve oordeel). Seperti, persetujuan antara para pihak dan objek perjanjian.
Naturalia: bagian ini merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti menjamin tidak ada cacat dalam benda yang dijual (vrijwarning).
Aksidentialia: bagian ini merupakan sifat yang melekat dalam perjanjian dalam hal secara tegas diperjanjikan oleh para pihak, seperti ketentuan-ketentuan mengenai domisili para pihak.
15
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermassa, Jakarta, 1979, hal 13
16
Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 74
(29)
menikah sebelum usia 21 tahun tersebut, tetap dianggap cakap walaupun dia bercerai sebelum mencapai usia 21 tahun. Jadi, janda atau duda tetap dianggap cakap walaupun usianya belum mencapai 21 tahun.17
Walaupun ukuran kecaakapan didasarkan pada usia 21 tahun atau sudah menikah, tidak semua orang yang mencapai usia 21 tahun dan telah menikah secara otomatis dapat dikatakan cakap menurut hukum karena berada dibawah pengampunan, misalnya karena gila, atau bahkan karena boros.18
Menurut Pasal 433 KUH Perdata, orang-orang yang diletakkan di bawah pengampunan adalah setiap orang dewasa yang selalu berada di dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap dan boros. Dalam hal ini pembentuk undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menyadari tanggung jawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian. Apabila seorang yang belum dewasa dan mereka yang diletakan di bawah pengampunan itu mengadakan perjanjian, maka yang mewakilinya masing-masing adalah orang tua dan pengampunnya.19
Mengenai hal tertentu, sebagai syarat ketiga untuk sahnya perjanjian ini menerangkan tentang harus adanya objek perjanjian yang jelas. Jadi suatu perjanjian tidak bisa dilakukan tanpa objek tertentu. Jadi tidak bisa seseorang menjual “sesuatu” (tidak tertentu) dengan harga seribu rupiah misalnya karena kata sesuatu itu tidak menunjukan hal tertentu, tetapi hal yang tidak tertentu.20
17
Ahmadi Miru, dkk, Hukum perikatan:Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 68
18
Ibid, hal. 68
19
Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal.78
20
(30)
Pada Pasal 1333 KUH Perdata mempertegas tentang apa yang dimaksud dengan “hal tertentu” sebagai syarat objektif dari syarat sahnya perjanjian yakni barang yang sudah ditentukan minimal sudah ditentukan jenisnya, termasuk juga barang yang baru dapat ditentukan atau dihitung kemudian, walaupun pada saat perjanjian dibuat belum ditentukan.
Syarat keempat mengenai suatu sebab yang halal, ini juga merupakan syarat tentang isi perjanjian. Kata halal di sini bukan dengan maksud untuk memperlawankan dengan kata haram dalam hukum Islam, tetapi yang dimaksudkan di sini adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak dapat bertentangan dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum.21
C. Asas-asas Hukum Dalam Suatu Perjanjian
Pada Pasal 1335 KUH Perdata mempertegas kembali tentang salah satu syarat objektif dari keabsahan perjanjian, yaitu mengenai sebab yang halal, dimana kalau suatu perjanjian bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum, maka perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan atau yang lazim disebut batal demi hukum. Sedangkan pada Pasal 1336 KUH Perdata menjelaskan tentang keabsahan suatu perjanjian digantungkan pada sebab yang halal, walaupun hal itu tidak dicantumkan secara jelas dalam perjanjian.
Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak, oleh kitab undang-undang hukum perdata diberikan
21
(31)
berbagai asas umum, yang merupakan pedoman atau patokan, serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaan atau pemenuhannya. Berikut di bawah ini dibahas asas-asas umum hukum perjanjian yang diatur dalam kitab undang-undang hukum perdata.
1. Asas Personalia
Menurut asas personalia, seseorang hanya diperbolehkan mengikatkan diri untuk kepentingan dirinya sendiri dalam suatu perjanjian. Asas tersebut terdapat pula dalam pasal 1315 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri.
Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subjek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri. Dengan kapasitas kewenangan tersebut, sebagai seorang yang cakap bertindak dalam hukum, maka setiap tindakan, perbuatan yang dilakukan oleh orang perorangan, sebagai subjek hukum pribadi yang mandiri, akan mengikat diri pribadi tersebut, dan dalam lapangan perikatan, mengikat seluruh harta kekayaan yang dimiliki olehnya secara pribadi.
Pihak ketiga tidak dapat diperjanjikan oleh pihak yang mengadakan perjanjian, karena salah satu syarat sahnya perjanjian harus ada kata sepakat, yang berarti dalam perjanjian itu pihak ketiga tidak memberikan kata sepakat.
(32)
Logikanya kalau dalam suatu perjanjian ditetapkan suatu janji untuk pihak ketiga, maka akan merugikan pihak ketiga yang tidak tahu apa-apa dan tidak mengikatkan dirinya. Namun demikian undang-undang memberikan pengecualian terhadap asas ini sebagai mana ditetapkan dalam Pasal 1316 KUH Perdata. Pihak yang mengadakan perjanjian, diperbolehkan menetapkan janji untuk pihak ketiga sebagai penanggung akan berbuat sesuatu.
Pada umumnya sesuai dengan asas personalia, yang diberikan dalam Pasal 1315 KUH Perdata, masalah kewenangan bertindak seseorang sebagai individu dapat kita bedakan ke dalam:
1. Untuk dan atas namanya serta bagi kepentingan dirinya sendiri.
Dalam hal ini maka ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata berlaku baginya secara pribadi;
2. Sebagai wakil dari pihak tertentu mengenai perwakilan ini, dapat kita bedakan kedalam:
a. Yang merupakan suatu badan hukum dimana orang perorangan tersebut bertindak dalam kapasitasnya selaku yang berhak dan berwenang untuk mengikat badan hukum tersebut dengan pihak ketiga. Dalam hal ini berlakulah ketentuan mengenai perwakilan yang diatur dalam anggaran dasar dari badan hukum tersebut, yang akan menentukan sampai sebarapa jauh kewenangan yang dimilikinya untuk mengikat badan hukum tersebut serta batasan-batasannya.
(33)
b. Yang merupakan perwakilan yang ditetapkan oleh hukum, misalnya dalam bentuk kekuasaan orang tua, kekuasaan wali dari anak di bawah umur, kewenangan curator untuk mengurus harta pailit. Dalam hal ini berlakulah ketentuan umum yang diatur dalam buku I KUH Perdata dan undang-undang kepailitan.
3. Sebagai kuasa dari orang atau pihak yang memberikan kuasa.
Dalam hal ini berlakulah ketentuan yang diatur dalam Bab XVI buku III KUH Perdata, mulai dari Pasal 1792 hingga Pasal 1819 KUH Perdata.
2. Asas Konsensualitas
Asas ini dapat ditemukan di dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata penyebutannya tegas sedangkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata ditemukan dalam istilah “semua”. Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi ke semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.22
22
Mariam DarusBadrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 87
Asas konsensualitas memperlihatkan kepada kita semua, bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua orang atau lebih orang telah mengikat, dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau consensus, meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata. Ini berarti pada
(34)
prinsipnya perjanjian yang mengikat dan berlaku sebagai perikatan bagi para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas, walau demikian, untuk menjaga kepentingan pihak debitur (atau yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi) diadakanlah bentuk-bentuk formalitas, atau dipersyaratkan adanya suatu tindakan yang nyata.
Asas konsensualiatas adalah ketentuan umum yang melahirkan perjanjian konsensuil. Sebagai pengecualian dikenalah perjanjian formil dan perjanjian riil, oleh karena dalam kedua jenis perjanjian yang disebut terakhir ini kesepakatan saja belum mengikat pada pihak yang berjanji.
3. Asas Kebebasan Berkontrak
Seperti halnya asas konsensualitas, asas kebebasan berkontrak menemukan dasar hukumnya pada rumusan Pasal 1320 KUH Perdata. Jika asas konsensualitas menemukan dasar keberadaannya pada ketentuan angka 1 (satu) dari Pasal 1320 KUH Perdata maka asas kebebasan berkontrak mendapatkan dasar eksistensinya dalam rumusan angka 4 (empat) Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan asas kebebasan berkontrak ini para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja. Selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang atau diterlarang. Ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata yang menyatakan bahwa:
“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.
(35)
Hal ini memberikan gambaran umum kepada kita semua, bahwa pada dasarnya semua perjanjian dapat dibuat dan diselenggarakan oleh setiap orang. Hanya perjanjian yang mengandung prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak yang melanggar undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum saja yang dilarang.
Hukum perjanjian bersifat mengatur. Sebagaimana diketahui bahwa hukum dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu:
1. Hukum memaksa; 2. Hukum mengatur.
Maka hukum tentang perjanjian pada perinsipnya tergolong ke dalam hukum mengatur. Artinya adalah bahwa hukum tersebut baru berlaku sepanjang para pihak tidak mengaturnya lain. Jika para pihak dalam perjanjian mengaturnya secara lain dari yang diatur dalam hukum perjanjian, maka yang berlaku adalah apa yang diatur sendiri oleh para pihak tersebut. Kecuali undang-undang menentukan lain.
Di dalam perkembangannya, asas kebebasan berkontrak ini semakin sempit dilihat dari beberapa segi, yaitu:23
- Dari segi kepentingan umum
- Dari segi perjanjian baku (standard) - Dari segi perjanjian dengan pemerintah 4. Asas pacta sunt servanda
23
(36)
Asas ini mengajarkan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah mempunyai ikatan hukum yang penuh. KUH Perdata kita juga menganut prinsip ini dengan melukiskan bahwa suatu perjanjian berlaku seperti undang-undang bagi para pihak (Pasal 1338 KUH Perdata).
5. Asas Obligatoir dari suatu perjanjian
Menurut hukum perjanjian, suatu perjanjian bersifat obligator, maksudnya adalah setelah sahnya suatu perjanjian maka perjanjian tersebut sudah mengikat, tetapi baru sebatas menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak. Tetapi pada taraf tersebut hak milik belum berpindah kepihak lain. Untuk dapat memindahkan hak milik, diperlukan perjanjian lain yang disebut dengan perjanjian kebendaan yang sering disebut dengan “penyerahan”.
D. Pengertian Akta Menurut KUH Perdata
Akta adalah suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditanda tangani oleh pembuatnya. Dengan demikian maka unsur-unsur yang penting untuk digolongkan dalam pengertian akta adalah kesengajaan untuk membuatnya sebagai suatu bukti tulisan tersebut. Yang dimaksud dengan tanganan ialah membubuhkan nama si penanda-tangan, sehingga membubuhkan paraf (singkatan tanda tangan) dianggap belum
(37)
cukup. Nama itu harus ditulis tangan oleh penanda-tangan sendiri atas kehendaknya sendiri.24
Dipersamakan dengan tanda tangan pada suatu akta dibawah tangan ialah sidik jari (cap jempol atau cap jari) yang dikuatkan dengan suatu keterangan yang diberi tanggal oleh seorang notaris atau pejabat lain yang ditunjuk (Stb. 1867 Nomor 29 Pasal 1, 286 RBg). Tanda tangan juga disamakan dengan stempel atau cap tanda tangan asal dibubuhkan oleh yang berwenang atau diberi wewenang.
Tanda tangan dengan nama orang lain tidak sah atau batal.
25
E. Jenis-jenis Akta Menurut KUH Perdata
Akta dapat dibedakan menurut bentuknya menjadi 2 (dua) macam yaitu akta otentik dan akta dibawah tangan.
1. Akta Otentik
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan. Akta otentik terutama memuat keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihat di hadapannya. Akta-akta tersebut harus selalu dianggap
benar, kecuali jika dibuktikan sebaliknya di muka pengadilan. Di dalam HIR Pasal 165, akta otentik disebutkan bahwa : “Akta otentik yaitu suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan
24
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
1979, hal. 106
25
(38)
bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bukan tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka; akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari pada akta”.
Sedangkan akta otentik juga diatur di dalam Pasal 1868 KUH Perdata yang berbunyi: “Suatu akta otentik ialah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan di dalam undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta dibuat”.
Maka yang dimaksud sebagai akta otentik harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Bentuknya sesuai Undang-Undang Bentuk dari akta notaris, akta perkawinan, akta kelahiran, dan lain-lain sudah ditentukan format dan isinya oleh Undang-Undang. Sebuah akta otentik memiliki bentuk pola sendiri. Jadi, seseorang yang ingin membuat akta otentik di hadapan notaris tidak dapat membuat dengan format sembarangan. Namun ada juga akta-akta yang bersifat perjanjian antara kedua belah pihak yang isinya berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak sesuai dengan asas kebebasan berkontrak.
2. Akta otentik dibuat di hadapan pejabat umum yang diangkat Negara. Notaris adalah salah satu pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat akta otentik.
(39)
4. Akta otentik dibuat oleh pejabat yang berwenang atau notaris yang berhak. Seorang notaris yang sedang cuti atau sedang bermasalah tidak berwenang untuk membuat akta otentik. Seorang notaris yang sedang dibekukan izinnya atau yang belum memiliki izin, tidak dapat membuat sebuah akta otentik.
5. Kalau disangkal mengenai kebenarannya, maka penyangkal harus membuktikan mengenai ketidakbenarannya.
Dari penjelasan pasal ini, akta otentik dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum. Pejabat yang dimaksudkan antara lain ialah notaris, panitera, jurusita, pegawai pencatat sipil, hakim dan sebagainya. Otentik tidaknya suatu akta tidaklah cukup apabila akta itu dibuat oleh dan di hadapan pejabat saja. Di samping itu caranya membuat akta otentik itu haruslah menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang. Suatu akta yang dibuat oleh seorang pejabat tanpa ada wewenang dan tanpa ada kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi syarat, tidaklah dapat dianggap sebagai akta otentik, tetapi mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan apabila ditandatangani oleh pihak - pihak yang bersangkutan.
Sebagai keterangan dari seorang pejabat, yaitu apa saja yang dikatakan oleh pejabat itu adalah sebagai yang dilihatnya dianggap benar terjadi di hadapannya, maka ketentuan pembuktiannya berlaku bagi setiap orang. Karena akta otentik itu merupakan risalah dari pejabat, maka hanyalah merupakan bukti dari pada apa yang terjadi di hadapnnya saja.
(40)
Oleh karena dalam hal akta otentik itu pejabat terikat pada syarat-syarat dan ketentuan dalam undang-undang, sehingga hal itu cukup merupakan jaminan dapat dipercayakannya pejabat tersebut, maka isi dari pada akta otentik itu cukup dibuktikan oleh akta itu sendiri. Jadi dianggaplah bahwa akta otentik itu dibuat sesuai dengan kenyataan seperti yang dilihat oleh pejabat itu, sampai dibuktikan sebaliknya.
Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap atau tidak berwenang atau bentuknya cacat, maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata:26
1. Akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik atau disebut juga sebagai akta otentik, oleh karena itu tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik.
2. Namun akta yang demikian, mempunya nilai kekuatan sebagai akta di bawah tangan, dengan syarat apabila akta tersebut ditandatangani para pihak.
2. Akta di Bawah Tangan
A. Pengertian Akta di Bawah Tangan
Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat sendiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan tanpa bantuan pejabat umum. Akta di bawah tangan ini tidak ada diatur dalam HIR (untuk Jawa dan Madura), tetapi diatur dalam peraturan yang termuat dalam Stb. 1867 Nomor 29, karena pada waktu HIR dibuat (sebelum 1848) akta dibawah tangan tersebut tidak ada diatur di dalamnya, melainkan
26
(41)
diatur Secara khusus dala suatu ordonasi tentang kekuatan pembuktian tulisan-tulisan di bawah tangan yang termuat dalam Stb. 1867 Nomor 29 tersebut.
Akta di bawah tangan dirumuskan dalam pasal 1874 KUH Perdata, Pasal 286 RBg. Menurut pasal diatas, akta di bawah tangan:
a. Tulisan atau akta yang ditanda tangani di bawah tangan,
b. Tidak dibuat dan ditanda tangani di hadapan pejabat yang berwenang (pejabat umum), tetapi dibuat sendiri oleh seseorang atau para pihak, c. Secara umum terdiri dari segala jenis tulisan yang tidak dibuat oleh
atau di hadapan pejabat, meliputi: 1. Surat-surat,
2. Register-register,
3. Surat-surat urusan rumah tangga,
4. Lain-lain tulisan yang dibuat tanpa permintaan pejabat umum. d. Secara khusus ada akta di bawah tangan yang bersifat partai yang
dibuat oleh paling sedikit dua pihak.
Sehingga segala bentuk tulisan atau akta yang bukan akta otentik disebut akta di bawah tangan atau dengan kata lain, segala jenis akta yang tidak dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum, termasuk rumpun akta di bawah tangan.27
1. Surat atau tulisan itu ditanda tangani,
Akan tetapi, dari segi hukum pembuktian, agar suatu tulisan bernilai sebagai akta di bawah tangan, diperlukan persyaratan pokok:
27
(42)
2. Isi yang diterangkan di dalamnya menyangkut perbuatan hukum (reschtshandeling) atau hubungan hukum (reschts bettrekking),
3. Sengaja dibuat untuk dijadikan bukti dari perbuatan hukum yang disebut di dalamnya.28
B. Syarat Akta di Bawah Tangan
Syarat yang dimaksud di dalam akta di bawah tangan pada dasrnya keabsahan akta di bawah tangan bertumpu pada dipenuhi atau tidak syarat formil dan materiil.
1. Syarat formil akta di bawah tangan Syarat formilnya, terdiri dari: a. Berbentuk tertulis atau tulisan,
b. Dibuat Secara partai (dua pihak atau lebih) tanpa bantuan atau di hadapan seorang pejabat umum,
c. Ditanda tangani oleh para pihak,
d. Mencantumkan tanggal dan tempat penandatanganan.
Inilah syarat formil pokok akta di bawah tangan yang digariskan Pasal 1874 KUH Perdata, Pasal 286 RBg. Syarat tersebut bersifat kumulatif tidak boleh kurang dari itu. Sekiranya akta di bawah tangan itu bersifat partai, tidak sah
28
Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya paramita, Jakarta, 1993, hal
(43)
apabila hanya ditanda tangani satu pihak saja. Apabila tidak ditanda tangani para pihak, mengakibatkan akta di bawah tangan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan pembuktian formil maupun materiil.
Apabila akta di bawah tangan itu bersifat sepihak, syarat formilnya itu terdiri dari:
a. Dibuat sendiri oleh yang bersangkutan, b. Ditanda tangani oleh pembuatnya. 2. Syarat materiil akta di bawah tangan
Mengenai syarat materiil dapat dijelaskan dengan ringkas hal-hal berikut:
a. Keterangan yang tercantum dalam akta di bawah tangan berisi persetujuan tentang perbuatan hukum (reschts handeling) atau hubungan hukum (reschts betterkking).
Suatu akta yang dibuat oleh para pihak, tetapi keterangan yang termuat di dalamnya hanya penuturan tentang cuaca atau peristiwa alam, kisah perjalanan dan sejenisnya, tidak memenuhi syarat materiil, karena keterangan yang demikian bukan merupakan perbuatan maupun hubungan hukum. Sekiranya akta di bawah tangan itu bersifat sepihak, sama syarat materiilnya. Mesti berisi keterangan yang berkenaan dengan perbuatan atau hubungan hukum dengan pihak lain.29
b. Sengaja dibuat sebagai alat bukti
29
(44)
Syarat materiil yang kedua, pembuatan akta di bawah tangan oleh pembuat atau para pembuat disengaja sebagai alat bukti untuk membuktikan kebenaran perbuatan atau hubungan hukum yang diterangkan dalam akta. Jadi pembuatan akat di bawah tangan merupakan tindakan preventif atas kemungkinan terjadinya sengketa dikemudian hari. Sejak semula telah ada kepastian mengenai kebenaran perbuatan atau hubungn hukum yang terjadi sebagai yang diterangkan dalam akta.
c. Daya Kekuatan Pembuktian Akta di Bawah Tangan
Daya kekuatan pembuktian akta di bwah tangan, tidak seluas dan setinggi derajat akta otentik. Seperti yang dijelaskan, akta otentik memiliki tiga jenis daya kekuatan yang melekat padanya, yang terdiri dari daya pembuktian luar, formil dan materiil. Tidak Demikian halnya dengan akta di bawah tangan. Pada dasrnya tidak melekat daya kekuatan pembuktian luar, Tetapi hanya terbatas pada daya kekuatan pembuktian formil dan materiil dengan bobot kualitas yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan akta otentik.
1. Daya kekuatan pembuktian formil
Sejauh mana daya kekuatan pembuktian formil akta di bawah tangan, dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Orang yang bertanda tangan dianggap benar menerangkan hal yang tercantum dalam akta
Berdasarkan kekuatan formil ini, hukum mengakui, siapa saja atau orang yang menanda tangani akta dibwah tangan:
(45)
b) Berdasarkan kekuatan formil yang demikian, mesti dianggap terbukti tentang adanya pernyataan dari penanda tangan: surat keterangan yang saya tanda tangani benar berisi keterangan saya,
c) Dengan demikian daya kekuatan pembuktian akta di bawah tangan tersebut, meliputi:
- Kebenaran identitas penanda tangan,
- Menyangkut kebenaran identitas orang yang memberi keterangan Berarti, Setiap ada tulisan yang ditanda tangani seseorang yang berisi perbuatan hukum, secara formil identitas orang yang bertanda tangan dan yang membuat keterangan, sama dengan identitas penanda tangan tersebut. Kebenaran identitas penanda tangan dan yang meberi keterangan identik dengan identitas penanda tangan, dan mengenai kebenaran itu tidak diperlukan lagi syarat dan kekuatan lain.
b. Tidak mutlak untuk keuntungan pihak lain
Pada akta otentik penanda tanganan akta, bersifat mutlak untuk keuntungan pihak lain, karenan penanda tanganan dilakukan dan disahkan oleh pejabat umum. Tidak demikian dengan akta di bawah tangan. Daya pembuktian formilnya, tidak bersifat mutlak, karena daya formilnya itu sendiri tidak dibuat dihadapan pejabat umum. Dengan demikian, keterangan yang tercantum di dalamnya tidak mutlak untuk keuntungan pihak lain. Kemungkinan dapat menguntungkan dan merugikan para pihak, atas alasan:
(46)
- Karena isi keterangan yang tercantum di dalam akta dibawah tangan belum pasti merupakan persesuaian keterangan para pihak,
- Sebab tanpa melalaui bantahan atas kepalsuan akta di bawah tangan, masing-masing pihak berhak dan dibenarkan hukum untuk mengingkari isi dan tanda tangan.
Kebolehan mengingkari isi dan tanda tangan, diatur dalam Pasal 1876 KUH Perdata atau Pasal 189 RBg yang menegaskan, barang siapa yang terhadapnya diajukan akta di bawah tangan diwajibkan Secara tegas mengakui atau mengingkari tanda tangannya. Berarti kalau diakui oleh pihak lawan, maka penanda tangangan akta di bawah tangan dapat dikatakan untuk keuntungan pihak lain, akan tetapi apabila dimungkiri, yang terjadi bukan menguntungkan, bahkan dapat mendapatkan kerugian. Itu sebabnya dapat dikatakan, akta di bawah tangan pada dasrnya:
- Sering mengandung kerawanan dan ketidakpastian,
- Selama tidak ada pengingkaran, eksistensinya sebagai akta dan alat bukti, dpat dikatakan aman, tetapi apabila isi dan tanda tangan dimungkiri, hilang kepastian dan keamanannya sebagai akta dan alat bukti.
2. Daya kekuatan pembuktian materiil
Jika pada daya pembuktian formil titik permasalahannya menyangkut kebenran identitas tanda tangan dan penanda tangan, maka pada daya pembuktian materiil, fokus permasalahannya berkenaan dengan kebanaran isi keterangan yang tercantum di dalam akta di bawah tangan.
(47)
a. Isi keterangan yang tercantum harus dianggap benar
Prinsip yang harus ditegakkan menghadapi penerapan daya pembuktian materiil adalah:
- Secara materiil isi keterangan yang tercantum di dalam akta di bawah tangan, harus dianggap benar,
- Dalam arti, apa yang diterangkan dalam akta oleh penanda tangan, dianggap benar sebagai keterangan yang dikehendakinya,
- Dengan demikian Secara materiil, isi yang tercantul dalam akta di bawah tangan mengikat kepada diri menanda tangan.
b. Memiliki daya mengikat kepada ahli waris dan orang yang mendapat hak dari padanya
Hal ini diatur dalam Pasal 1875 KUH Perdata dan Pasal 288 RBg. Suatu akta di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan atau akta itu hendak dipakai, dianggap sebagai diakui sehingga akta di bawah tangan tersebut mempunyai daya kekuatan yang sempurna dan mengikat. Seperti akta otentik:
- Kepada orangorang yang menanda tanganinya,
- Serta kepada ahli waris orang-orang itu dan kepada orang yang mendapat hak dari mereka.
Jika daya pembuktian formil yang mengajarkan harus dianggap terbukti dan benar pernyataan penanda tangan, bahwa surat yang ditanda tanganinya berisi keterangan dihubungkan dengan daya kekuatan pembuktian materiil yang dikemukakan diatas, ahli waris dan orang yang mendapat hak dari penanda tangan
(48)
mempunya hak dan kewajiban yang persis sama dengan penanda tangan sesuai dengan keterangan yang tercantum didalamnya.
Dengan demikian anggapan kebenaran isi akta di bawah tangan mempunya daya kekuatan mengikat bukan hanya kepada diri mereka, tetapi juga kepada ahli waris dan orang yang mendapat hak dari mereka. Ahli waris adalah orang yang mendapatkan hak berdasarkan title umum yang digariskan Pasal 833 ayat 1 KUH Perdata, yang mengatakan, sekalian ahli waris dengan sendirinya menurut hukum memperoleh piutang pewaris. Sedangkan orang yang mendapat hak dari mereka diluar pewarisan, diperoleh melalui title khusus, bias jadi untuk keseluruhan atau sebagaian dari hak yang disebut dalam akta di bawah tangan yang brsangkutan.30
30
Pitlo, Pembuktian Dan Daluwarsa, Inter Masa, Jakarta, 1999, hal 66
Jika yang diperoleh hanya sebagaian, daya kekuatan mengikat pembuktian materiilnya juga, hanya untuk sebagian yakni sebesar hak yang diperolehnya dari penanda tangan semula.
(49)
BAB III
TINJAUAN UMUM MENGENAI AKTA PERIKATAN DALAM HAK TANGGUNGAN JAMINAN KREDIT
A. Hak Tanggungan Dalam Jaminan Kredit
Meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi, dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, sehingga memerlukan lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberi kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sampai dengan saat ini, ketentuan-ketentuan yang lengkap mengenai Hak Tanggungan sebagai lembaga hak jaminan yang dapat dibebankan atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah, belum terbentuk. Ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan ketentuan mengenai Credietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190, yang berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, masih diberlakukan sementara sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Hak Tanggungan, dipandang tidak sesuai lagi dengan
(50)
kebutuhan kegiatan perkreditan, sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi Indonesia sedangkan perkembangan yang telah dan akan terjadi di bidang pengaturan dan administrasi hak-hak atas tanah serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak, selain Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan yang telah ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Hak Pakai atas tanah tertentu yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan, perlu juga dimungkinkan untuk dibebani Hak Tanggungan.
Berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, maka dibentuklah Undang-Undang yang mengatur Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, sekaligus mewujudkan unifikasi Hukum Tanah Nasional.
Hak tanggungan lahir dengan sebuah perjanjian. Dalam kenyataan, banyak pihak pemberi hak tanggungan yang ternyata lalai atau sengaja melalaikan kewajiban dalam pelaksanaan perjanjian, misalnya melakukan penjualan terhadap barang jaminan. Sehingga perlu kiranya dikaji lebih jauh kedudukan kreditor penerima tanggungan dalam hal terjadinya wanprestasi dari pemberi tanggungan.
Dalam kamus Bahasa Indonesia, tanggungan diartikan sebagai barang yang diserahkan sebagai jaminan. Jaminan itu sendiri artinya tanggungan atas pinjaman yang diterima. Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 disebutkan pengertian hak tanggungan. Bahwa yang dimaksud dengan hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagai
(51)
mana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang peraturan dasar pokok-pokok agrarian berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.31
1. Hak jaminan yang dibebankan atas tanah, yang dimaksud dengan hak jaminan atas tanah adalah hak penguasaan yang secara khusus dapat diberikan kepada kreditur, yang memberi wewenang kepadanya, jika debitur cedera janji, menjual lelang tanah yang secara khusus pula ditujukan sebagai agunan piutangnya dan mengambil seluruh atau sebahagian hasilnya untuk pelunasan tersebut, dengan hak mendahului dari pada kreditur-kreditur lainnya (droit de preference). Selain berkedudukan mendahului, kreditur pemegang hak jaminan dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasi penjualan tersebut, sungguhpun Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Adapun beberapa unsur-unsur pokok yang tercantum dalam pengertian hak tanggungan disajikan sebagai berikut:
31
(52)
tanah bersangkutan sudah dipindahkan kepada pihak lain, hak kebendaan mengikut bendanya (droit de suite).
2. Hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Pada dasarnya, hak tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah semata-mata, tetapi dapat juga hak atas tanah tersebut berikut dengan benda-benda yang ada di atasnya.
3. Untuk pelunasan utang tertentu, maksud untuk pelunasan utang tertentu adalah hak tanggungan itu dapat membereskan dan selesai dibayar utang-utang debitur yang ada pada kreditur.
4. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lainnya.32
Adapun ciri-ciri hak tanggungan adalah :
1. Droit de prefenrence (Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat (1) UUHT). 2. Droit de suite (Pasal 7 UUHT).
3. Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas.
4. Asas spesialitas yaitu asas yang mewajibkan dalam muatan akta pemberian hak tanggungan harus mencantumkan ketentuan-ketentuan seperti ditegaskan dalam Pasal 11 UUHT. Sedangkan asas publisitas yaitu asas yang mewajibkan didaftarkannya hak tanggungan pada kantor pertanahan setempat (Pasal 13 UUHT).
5. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
32
(53)
6. Objek hak tanggungan tidak masuk dalam boedel kepailitan pemberi hak tanggungan sebelum kreditor pemegang hak tanggungan mengambil pelunasan dari hasil penjualan objek hak tanggungan (Pasal 21 UUHT). Sedangkan sifat-sifat hak tanggungan antara lain:
1. Tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 UUHT)
Meskipun sifat hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, artinya hak tanggungan membenani objek secara utuh, namun sifat ini tidak berlaku mutlak dengan pengecualian dimungkinkan roya parsial, sepanjang diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
2. Bersifat accesoir atau perjanjian buntutan/ikutan, maksudnya perjanjian jaminan utang atas hak tanggungan tidak berdiri sendiri karena ikut pada perjanjian pokok yaitu perjanjian utang-piutang, apabila perjanjian pokok hapus atau batal, maka otomatis perjanjian accesoir menjadi hapus pula. Selain unsur pokok, ciri-ciri dan sifat hak tanggungan perlu juga dipahami mengenai asas-asas hak tanggungan. Dimana asas-asas hak tanggungan tersebut merupakan dasar atau tumpuan dilaksanakannya hak tanggungan. Adapun asas-asas hak tanggungan tersebut ialah:
1. Hak tanggungan memberikan kedudukan hak yang diutamakan.
Hak tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu dengan kreditor-kreditor lainnya ( Pasal 1 UU No. 4 Tahun 1996). Karena bisa dibebankan lebih dari satu orang, penentuan peringkat hak tanggungan hanya dapat ditentukan berdasarkan pada saat pendaftarannya. Dan apabila pendaftarannya dilakukan pada saat yang bersamaan, barulah peringkat
(54)
hak tanggungan ditentukan berdasarkan pada saat pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan. Hal ini termuat dalam Pasal 5 UU No. 4 Tahun 1996.
2. Hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi.
Berdasarkan Pasal 2 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan penjelasannya menyatakan bahwa hak tanggungan membebani secara utuh objek hak tanggungan. Ini berarti bahwa, dengan dilunasinya sebagian hutang tidak berarti bahwa benda dapat dikembalikan sebagian.
3. Hak tanggungan hanya dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada.
Asas ini diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UU No. 4 Tahun 1996. Asas ini sebelumnya juga sudah ada dalam hipotek. Menurut Pasal 1175 KUH Perdata, hipotek hanya dapat dibebankan pada benda-benda yang sudah ada. Hipotek atas benda-benda yang baru akan ada dikemudian hari adalah batal, begitupun juga dengan hak tanggungan.
4. Hak tanggungan dapat dibebankan selain atas tanahnya juga benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) UU No. 4 Tahun 1996, “Hak tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan”. Sehingga dapat pula disimpulkan, yang bisa
(55)
dijadikan jaminan bukan hanya yang berkaitan dengan tanah saja melainkan juga benda-benda yang merupakan milik pemegang hak atas tanah tersebut. 5. Hak tanggungan dapat dibebankan juga atas benda-benda yang berkaitan
dengan tanah yang baru akan ada dikemudian hari.
Meskipun hak tanggungan hanya dapat dibebankan tanah yang sudah ada, hak tanggungan juga dapat dibebankan pula benda-benda yang berkaitan dengan tanah sekalipun benda-benda tersebut belum ada dan baru akan ada dikemudian hari.
6. Perjanjian hak tanggungan adalah perjanjian accesoir.
Hak tanggungan lahir dari sebuah perjanjian yang bersifat accesoir, yang mengikuti perjanjian pokoknya yakni hutang piutang.
7. Hak tanggungan dapat dijadikan jaminan untuk utang yang akan ada.
Hak tanggungan memperbolehkan menjaminkan hutang yang akan ada, sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) UU No. 4 tahun 1996. Utang yang dijamin dengan hak tanggungan dapat berupa utang yang sudah ada maupun yang belum ada tetapi sudah diperjanjikan, misalnya utang yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditor untuk kepentingan debitor dalam rangka pelaksanaan bank garansi. Jumlahnya pun dapat ditentukan secara tetap di dalam perjanjian yang bersangkutan dan dapat pula ditentukan kemudian berdasarkan cara perhitungan yang ditentukan dalam perjanjian yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang bersangkutan, misalnya utang bunga atas pinjaman pokok dan ongkos-ongkos lain yang jumlahnya baru dapat ditentukan kemudian. Perjanjian yang dapat menimbulkan hubungan utang-piutang dapat berupa
(56)
perjanjian pinjam meminjam maupun perjanjian lain, misalnya perjanjian pengelolaan harta kekayaan orang yang belum dewasa atau yang berada di bawah pengampunan, yang diikuti dengan pemberian hak tanggungan oleh pihak pengelola (Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 4 tahun 1996).
8. Hak tanggungan dapat menjamin lebih dari satu hutang.
Hak tanggungan dapat menjamin lebih dari satu hutang, hal ini didasarkan pada ketentuan yang tercantum dalam Pasal 3 ayat (2), “Hak tanggungan dapat diberikan untuk suatu hutang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu hutang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum”. 9. Hak tanggungan mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek hak
tanggungan itu berada.
Hak tanggungan tidak akan berakhir sekalipun objek hak tanggungan itu beralih kepada pihak lain. Asas ini termuat dalam Pasal 7 UU No. 4 Tahun 1996 yang berisi, “Hak tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada”. Asas ini disebut juga sebagai DROIT DE SUITE.
10. Diatas hak tanggungan tidak dapat diletakkan sita oleh pengadilan.
Tujuan dari hak tanggungan adalah untuk memberikan jaminan yang kuat bagi kreditor yang menjadi pemegang hak tanggungan untuk didahulukan dari kreditor-kreditor lain. Bila dimungkinkan sita, berarti pengadilan mengabaikan bahkan meniadakan kedudukan yang diutamakan dari kreditor pemegang hak tanggungan.
(57)
11. Hak tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu.
Asas ini merupakan asas spesialiteit dari hak tanggungan, baik subjek, objek maupun utang yang dijamin. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) huruf e,”uraian yang jelas mengenai objek hak tanggungan”. Maksudnya meliputi rincian mengenai sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan atau bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian mengenai kepemilikan, letak, batas-batas, dan luas tanahnya. Hal ini juga menghindari salah eksekusi karena tanah yang dijadikan objek hak tanggungan sudah jelas disebutkan. 12. Hak tanggungan wajib didaftarkan.
Dari ketentuan yang ada dalam Pasal 13 UU No. 4 Tahun 1996 secara tegas telah dijelaskan bahwa saat pendaftaran pembebanan hak tanggungan adalah saat lahirnya hak tanggungan tersebut. Sebelum pendaftaran dilakukan, maka hak tanggungan dianggap tidak pernah ada. Selain itu hanya dengan pencatatan pendaftaran yang terbuka bagi umum memungkinkan pihak ketiga dapat mengetahui tentang adanya pembebanan hak tanggungan atas suatu tanah.
13. Hak tanggungan dapat diberikan dengan disertai dengan disertai janji-janji tertentu.
Asas hak tanggungan ini termuat dalam Pasal 11 ayat (2) UU No. 4 Tahun 1996. Janji-janji yang disebutkan dalam pasal ini bersifat fakultatif (boleh dicantumkan atau tidak, baik seuruhnya maupun sebagian) dan tidak limitatif (dapat diperjanjikan lain selain yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UU No. 4 Tahun 1996).
(58)
14. Hak tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki sendiri oleh pemegang hak tanggungan apabila cedera janji.
Pengaturan mengenai asas ini termuat dalam Pasal 12 UU No. 4 Tahun 1996, “janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk memiliki objek hak tanggungan apabila debitor cidera janji, batal demi hukum”. Ketentuan ini diadakan dalam rangka melindungi kepentingan debitor dan pemberi hak tanggungan lainnya, terutama jika nilai objek hak tanggungan melebihi besar-nya utang yang dijamin. Pemegang hak tanggungan dilarang untuk secara serta merta menjadi pemilik objek hak tanggungan karena debitor cidera janji. Walaupun demikian tidaklah dilarang bagi pemegang hak tanggungan untuk menjadi pembeli objek hak tanggungan asalkan melalui prosedur yang diatur dalam Pasal 20 UU No. 4 Tahun 1996. 15. Pelaksaan eksekusi hak tanggungan mudah dan pasti.
Prioritas pertama pemegang hak tanggungan adalah untuk menjual objek hak tanggungan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU No. 4 Tahun 1996 apabila terjadi cidera janji. Title eksekutorial yang terdapat dalam Sertifikat hak tanggungan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) UU No. 4 Tahun 1996, obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang hak tanggungan dengan hak mendahului dari pada kreditor-kreditor lainnya. Dengan disebutkannya 2 dasar eksekusi di atas
(59)
dalam Pasal 20 UU No. 4 Tahun 1996, terpenuhi maksud Pembentukan Undang-Undang akan cara pelaksanaan eksekusi yang mudah dan pasti.33
1. dapat dinilai dengan uang;
Objek hak tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang diatur dalam UUPA. Benda-benda (tanah) akan dijadikan jaminan atas suatu utang dengan dibebani hak tanggungan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
2. harus memenuhi syarat publisitas;
3. mempunyai sifat droit de suite apabila debitor cidera janji; 4. memerlukan penunjukkan menurut UU.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas yang dapat dijadikan objek hak tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dan dapat juga dibebani hak tanggungan.
Dijadikannya hak pakai sebagai objek hak tanggungan merupakan langkah maju dalam hukum pertanahan kita juga bagi warga Negara asing menjadi pemegang hak pakai atas tanah Negara yang bila hak tersebut akan dijadikan jaminan disertai persyaratan bahwa modal yang diperoleh harus dipergunakan untuk kegiatan pembangunan di Indonesia. Pengawasan pemerintah terhadap WNA dalam pencapaian tujuan tersebut masih susah untuk dilaksanakan karena memang tidak ada penjabaran lebih lanjut dari maksud ketentuan persyaratan tersebut.
33
Leonita Verea Pratiwi,
(1)
f. Membayar premi asuransi.
g. Menjaga dan memelihara segala sesuatu yang diserahkan hak miliknya. h. Mematuhi segala ketentuan yang termuat di dalam perjanjian kredit.
(2)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Suatu akta dapat dinyatakan akta otentik apabila dibuat oleh pejabat yang berwenang, dibuat di hadapan pejabat, pejabat yang berwenang yang membuat akta tersebut sehingga akta tersebut memiliki kekuatan hukum yang tetap.
2. Setelah memenuhi persyaratan-persyaratan yang diajukan oleh pihak Bank selaku kreditor kepada debitor, selanjutnya prosedur pelaksanaan perikatan hak tanggungan menggunakan akta perikatan jaminan pada PT. Bank Rakyat Indonesia Cabang Blang Pidie dilakukan dengan cara:
a. Tahap pemberian hak tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin.
b. Tahap pendaftaran oleh kantor pertanahan, yang merupakan saat akhirnya hak tanggungan yang dibebankan.
3. Hak dan kewajiban pihak kreditor dan debitor dalam pemberian kredit pada PT. Bank Rakyat Indonesia Cabang Blang Pidie yaitu sesuai dengan klausul-klausul yang dituangkan dalam perjanjian kredit. Adapun yang menjadi hak bagi pihak kreditor (PT. Bank Rakyat Indonesia) adalah menerima angsuran dan bunga yang telah disepakati dalam perjanjian
(3)
kredit serta menerima jaminan dan dokumen yang diperlukan dan kreditor juga berhak untuk melaksanakan eksekusi jaminan dan/atau melaksanakan hak-haknya atas jaminan berdasarkan perjanjian kredit, syarat-syarat umum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, apabila terjadi sesuatu (keadaan-keadaan) lalai. Sedangkan kewajiban kreditor adalah untuk memberikan layanan yang terbaik kepada debitor dan mengembalikan jaminan jika pihak debitor telah melunasi pinjamannya. Sedangkan debitor berhak meneriman sejumlah pinjaman yang telah disepakati oleh pihak kreditor dan debitor. Pihak debitor berhak menerima kembali jaminan dan dokumen penting yang diserahkan kepada PT. Bank Rakyat Indonesia Cabang Blang Pidie jika sudah melunasi pinjaman. Kemudian pihak debitor memiliki kewajiban untuk membayar angsuran dan bunga serta membayar biaya-biaya yang timbul karena pelaksanaan perjanjian kredit. Perjanjian yang dilaksanakan antara kreditor dan debitor didasarkan kepada KUH Perdata sebagai peraturan pengaturan umumnya dan undang-undang perbankan beserta peraturan pelaksanaannya berlaku sebagai peraturan khusus.
B. Saran
1. Agar masalah yang dihadapi oleh pelaku usaha khususnya berkenaan dengan modal dapat teratasi, maka sangat dibutuhkan peran dari pemerintah dan lembaga terkait untuk lebih meningkatkat informasi sekaligus sosialisasi kepada pelaku usaha tentang tata cara mengakses
(4)
permodalan tersebut sehingga mereka tidak dimanfaatkan oleh para pihak yang mengambil untung dari pihak yang membutuhkan dana.
2. Agar para pihak diharapkan untuk memperhatikan serta melaksanakan setiap hak dan kewajibannya masing-masing sesuai dengan yang diperjanjikan terlebih dahulu, agar dikemudian hari tidak terjadi hal-hal yang menimbulkan kerugian terhadap pihak kreditor maupun pihak debitor.
3. Agar pihak PT. Bank Rakyat Indonesia Cabang Blang Pidie selaku kreditor untuk selalu mengayomi dan memberikan informasi yang dibutuhkan oleh pihak yang membutuhkan modal agar tercapai kemakmuran sehingga tercapai masyarakat yang sejahtera.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Aman, E.P. (2001). Kredit Perbankan Suatu Yuridis. Yogyakarta: Liberty. Az, L.S. (2011). Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank. Yogyakarta: Pustaka
Yustisia.
Badrulzaman, M.D., dkk. (2001). Kompilasi Hukum Perikatan.Bandung: Citra Aditya Bakti.
Darwini, T. (2008). Hukum Pembiayaan Perbankan. Medan: Fakultas Hukum USU.
Firdaus, R., dan Maya A. (2004). Manajemen Perkreditan Bank Umum. Bandung: Alfabeta.
Harahap, M.Y. (2008). Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika. ___________. (1986). Segi-segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni.
Hermansyah. (2005). Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta: Kencana. Kasmin. (2010). Pengantar Manajemen Keuangan. Jakarta: Kencana.
Miru, A., dkk. (2008). Hukum perikatan:Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Halaman 68-69.
Muljadi, K., dan Gunawan W. (2003). Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Parlindungan, A.P. (1996). Komentar Tentang Hak Tanggungan. Bandung: Mandar Maju.
Prajitno, A.A.A. (2010). Hukum Fidusia, Malang: Selaras.
Prodjodikrono, W. (1959). Asas-Asas Hukum Perjanjian. Bandung: Sumur. ______________. (1979). Hukum Acara Perdata di Indonesia. Bandung: Sumur. Subekti. (1979). Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermassa.
(6)
Sugono, B. (1997). Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Waluyo, B. ( 1996). Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika.
Widjaya, G., dan Ahmad Y. (2001). Jaminan Fidusia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
B. WEBSITE
Pratiwi, L.V. (2012). Pengertian Asas-Asas Hak Tanggungan.
C. HASIL WAWANCARA
Wawancara dengan Bapak T. Mahyulizar, Supervisor ADK PT. Bank Rakyat Indonesia Cabang Blang Pidi. Tanggal 28 November 2013.