Pengaruh Peradaban Kuno India terhadap I

PENGARUH PERADABAN KUNO INDIA TERHADAP
INDONESIA MASA KLASIK
UAS Sejarah Dunia
Prita Permatadinata

India adalah salah satu bangsa yang memiliki peradaban kuno yang mempengaruhi
beberapa bangsa lain di dunia. Salah satunya adalah peradaban yang mengembangkan agama
Hindu Buddha, yang kemudian memberi pengaruh besar pada masa klasik di Indonesia.
Sangat banyak peninggalan arkeologi masa Hindu-Buddha di Indonesia yang tidak lepas dari
pengaruh India. Pun setelah kedatangan agama Islam dan Kristen serta melalui masa kolonial
Belanda dan Jepang, pengaruh India masih kental melekat dalam budaya Indonesia,
khususnya Jawa dan Bali. Beberapa daerah di Indonesia yang tidak terkena pengaruh budaya
India adalah Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Peradaban kuno India yang akan dibahas di sini adalah peradaban yang dimulai dari
kota Mohenjodaro dan Harappa. Peradaban yang berkembang di kota itu mempengaruhi
munculnya ajaran Hindu yang kini menjadi agama dengan pemeluk mayoritas di India. Tidak
kalah penting, India merupakan tempat dimana Siddharta Gautama, Sang Buddha, lahir dan
menyebarkan ajarannya. Ajaran Buddha kini sudah menyebar ke seluruh dunia. Di Indonesia,
meskipun pemeluk Buddha tergolong minoritas, tapi terdapat cukup banyak produk budaya
yang dipengaruhi oleh ajaran Buddha dari India. Selain itu, penganut Buddha juga pernah
jadi penduduk mayoritas di Indonesia masa klasik.

Masa klasik Indonesia sendiri adalah masa dimana Indonesia didominasi pengaruh
Hindu-Buddha, sekitar abad 4-15 M. Rentang waktu tersebut adalah rentang waktu dimana
banyak kerajaan Hindu-Buddha berkembang di Indonesia, dimulai dari Kerajaan Kutai
dengan prasasti tertuanya yang bertarikh abad 4, hingga keruntuhan Majapahit pada abad 15.
Pengaruh peradaban kuno India terhadap Indonesia masa klasik sangat kental,
mengingat eratnya hubungan antara dua bangsa ini. Pengaruh budaya tersebut yang akan
dibahas di esai ini.

1

Peradaban Kuno India
Peradaban kuno India dimulai dari kota-kota pertama yang berkembang di Lembah
Sungai Indus. Dua kota yang akan dibahas di tulisan ini adalah Mohenjodaro dan Harappa,
keduanya berkembang pada 2600 SM (Chase, 2014:64). Kedua kota yang berada di tepi
Sungai Indus ini memiliki tinggalan benda seni yang mirip dengan tinggalan bangsa Sumeria
dan Susiana di Mesopotamia dan Persia (Masson-Ousel, 2013:34).

Peta 1. Kota-kota kuno di Lembah Sungai Indus. Sumber: Chase, 2014

Peradaban di kota-kota kuno ini menjadi awal dari berkembangnya budaya Hindu.

Tidak banyak tinggalan sejarah yang menggambarkan asal mula agama Hindu, tapi terdapat
2

epos-epos kuno yang memuat syair sejarah, seperti Mahabharata (Masson-Ousel, 2013:23).
Tidak ada angka tahun yang pasti untuk memberi penanggalan terhadap perkembangan
Hindu. Agama Hindu ini berkembang dari agama Veda kuno yang percaya akan banyak
dewa. Dalam Hindu juga terdapat banyak dewa dengan kekuatan personal masing-masing.
Hindu

mempercayai

bahwa

rentang

waktu

terbagi

menjadi


tiga,

yaitu

satyayuga/kritayuga atau Masa Kebenaran, dimana orang-orang tidak memiliki duka maupun
suka. Manusia hidup damai selama ribuan tahun di masa ini. Kemudian ada masa tretayuga,
zaman ketika moral manusia sempurna. Manusia sudah mulai melakukan dosa, tapi secara
umum, kehidupan berlangsung lancar. Selanjutnya, dvaparayuga, zaman yang didominasi
oleh rasa empati dan kebenaran. Terakhir, kaliyuga, zaman kehancuran. Masa yang lebih baru
mengandung lebih banyak keburukan dan kerusakan dibanding masa yang sebelumnya.
Hindu juga membagi manusia menjadi 4 kelas sosial atau kasta, yaitu brahmana, para
agamawan atau brahmana; kshatriya, para prajurit atau ksatria; vaisya, pedagang dan
bangsawan; dan sudra, para pekerja (Kosambi, 1986).
Kemudian, poin penting lainnya dari sejarah India adalah penyebaran Buddha oleh
Sang Buddha. Ia terlahir sebagai pangeran dari klan Sakya dengan nama Siddharta Gautama.
Belum ada yang dapat menentukan kapan tepatnya Buddha mulai menetap, tetapi
diperkirakan hidupnya berlangsung antara abad 6-5 SM. Selama ini, informasi mengenai
kehidupan dan ajaran Buddha berasal dari naskah-naskah yang disusun selama masa
hidupnya. Ia menolak hidup duniawi. Ia mencapai Budhhabhava (atau jalan kebuddhaan),

dengan menyadari adanya dukkha, atau penderitaan manusia. Ia merumuskan dharma dengan
delapan jalan untuk keluar dari dukkha. Peninggalan arkeologi yang terlihat dari Buddha
adalah stupa Buddha, bangunan separuh bola yang difungsikan sebagai tempat menyimpan
relik Buddha dan para pendeta. Ajaran Buddha dan perluasan ekonomi, sosial, dan politiknya,
berkembang di lembah Ganga, lokasi yang jadi pelopor bagi urbanisme dan kota-kota
monarki (Shaw, 2013:87-88).

3

Peta 2. Kota-kota pra-Buddha dan Buddha di India. Sumber: Shaw, 2013

Indonesia Masa Klasik
Bukti sejarah tertua yang pernah ditemukan di Indonesia adalah prasasti Mulawarman
dari Kerajaan Kutai, kerajaan di Kalimantan yang bernapaskan Hindu, yang menyebutkan
keagungan dan silsilah Raja Mulawarman. Berdasarkan keagungan dan silsilah ini, dapat
diketahui bahwa kerajaan ini mendapat banyak pengaruh India. Selain itu, terdapat beberapa
budaya yang berasal dari India dan diterima dengan baik di Indonesia. Budaya-budaya
tersebut di antaranya:



Agama Hindu, yang berkembang di Jawa dan Bali. Pada masa klasik, terdapat
banyak kerajaan bernapaskan Hindu, di antaranya adalah Kutai, Tarumanagara,

4

Mataram Hindu, Kadiri, Singasari, dan Majapahit. Hindu kini menjadi agama


mayoritas di Pulau Bali.
Agama Buddha, berkembang di Sumatra dan Jawa. Kerajaan di Indonesia klasik
yang bernapaskan Buddha adalah Kalingga, Sriwijaya, Melayu, Mataram
Buddha. Kerajaan Sriwijaya sendiri sempat menjadi pusat belajar agama
Buddha. Biksu dan orang-orang dari berbagai tempat datang ke Sriwijaya untuk
belajar agama. Kemungkinan, lokasi belajar di Sriwijaya ini terletak di
Kompleks Percandian Muarojambi, kompleks candi Buddha terbesar di
Sumatra. Lainnya, peninggalan bernapaskan Buddha adalah Borobudur, candi





Buddha terbesar.
Aksara Pallava, menjadi aksara yang diadaptasi menjadi aksara Jawa Kuno.
Bahasa Sansekerta yang masuk ke Indonesia oleh bangsa India berkembang
menjadi bahasa Jawa Kuno. Bahasa ini juga tersebar dari epos-epos India kuno.

Contoh Pengaruh Peradaban Kuno India terhadap Indondesia Masa Klasik
Ini menggambarkan bahwa Indonesia pada abad 4 sudah mendapat pengaruh dari India.
Pengaruh ini bukan pengaruh dari hubungan antar-bangsa yang baru berlangsung beberapa
tahun, melainkan yang sudah berlangsung puluhan, atau mungkin ratusan tahun. Kerajaan
Kutai, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, mendapatkan cukup banyak pengaruh
budaya India. Setelah runtuhnya Kerajaan Kutai dan berkembangnya banyak kerajaan lain di
Jawa, Bali, dan Sumatra, hubungan dengan India pun masih sangat erat. Baik dalam aspek
sosial, ekonomi, maupun religi.
Sejak abad ke-5, Jawa sudah melakukan perdagangan dengan Asia Tenggara, Cina
Selatan, Mediterania, dan Asia Selatan, termasuk India. Pada abad-9, Kerajaan Mataram
sedang dalam masa keemasannya (Wade, 2009:248). Prasasti-prasasti yang ditemukan di
Jawa Barat dan Kalimantan, bertanggal abad 4-5, juga menjelaskan hubungan dagang ini
(Lansing, 2004). Menurut Jan Christie (dalam Wade, 2009:248), dampak dari perdagangan
maritim pada ekonomi masyarakat Jawa sangat dalam. India sebagai salah satu mitra dagang
maritim Indonesia, tentu memberikan pengaruh besar yang kini dapat dilihat melalui

tinggalan arkeologi.
Menurut Ardika dan Bellwood, hubungan dagang India dengan Indonesia sudah
berlangsung dari 2000 tahun yang lalu. Salah satu buktinya adalah ekskavasi di Sembiran,
5

situs arkeologi di utara Bali, yang menghasilkan temuan berupa pecahan tembikar yang mirip
dengan tipe Arikamedu.

Tipe Arikamedu ini juga terdapat di India. Di situs ini juga

ditemukan prasasti-prasasti abad 9-12, yang berbahasa Jawa Kuno dan Bali Kuno. Prasastiprasasti ini menceritakan bangsawan-bangsawan dari tempat yang jauh, petugas pasar, dan
profesi perdagangan tepi laut lainnya. Terdapat pula istilah juru kling dalam prasasti-prasasti
tersebut, yang kemungkinan mengacu pada orang India dan keturunannya (Lansing, 2004).
Seni Jawa klasik yang sarat dengan pengaruh India merupakan karya seni terbaik di
seluruh Asia Tenggara. Menilai bahwa karya seni tersebut adalah kombinasi dari sudut
pandang terhadap simbol tertentu dengan kompetensi formal. Karya seni ini juga
merepresentasikan peleburan antara tujuan religi dan seni yang dipadukan dengan kearifan
lokal orang Indonesia. Seni Jawa klasik sarat dengan pengaruh India, dan ini merupakan
karya seni terbaik di seluruh Asia Tenggara. Menilai bahwa karya seni tersebut adalah
kombinasi dari sudut pandang terhadap simbol tertentu dengan kompetensi formal. Karya

seni ini juga merepresentasikan peleburan antara tujuan religi dan seni yang dipadukan
dengan kearifan lokal orang Indonesia (Rawson, 1967:203).
Beberapa pelabuhan di Sumatra, di sisi Selat Malaka, sudah ramai pada abad
pertengahan. Pelabuhan ini didominasi oleh Kerajaan Sriwijaya, Temasik, Malaka, dan
Singapur (Wade, 2009:252). Kerajaan-kerajaan tersebut adalah mitra atau tributary dari
kerajaan-kerajaan yang ada di India.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, salah satu peninggalan Buddha yang
bersifat kebendaan adalah stupa. Di Indonesia, khususnya Jawa, sangat banyak tinggalan
stupa, khusunya di candi-candi bernapaskan Buddha. Candi terbesar di dunia, Borobudur,
terletak di Magelang, Jawa Tengah. Candi ini memiiki 72 stupa dengan arca-arca Buddha
dengan berbagai posisi mudra atau bentuk tangan semedi. Setiap posisi mudra ini memiliki
makna tersendiri. Stupa dan arca-arca ini disusun dalam posisi berundak-undak dengan
tingkat paling sakral di bagian paling atas, posisi khas masyarakat Indonesia menempatkan
bangunan religi.
Di Sumatra, tepatnya Jambi, wilayah bekas kekuasaan Kerajaan Sriwijaya, terdapat
kompleks candi Buddha seluas lebih dari 12 km2. Kompleks Muarojambi ini terletak 30 km
dari Sungai Batanghari, dengan denah seperti biara. Terdapat candi dan ruang-ruang yang
diperkirakan sebagai asrama. Denah dan pola seperti ini mirip dengan Nalanda, biara Buddha
di India kuno.
6


Kesimpulan
Pengaruh peradaban India kuno terhadap Indonesia masa klasik sangat kental. India,
sebagai asal dari agama Hindu-Buddha, menyebarkan langsung agama tersebut lewat
hubungan dagang yang sudah berlangsung selama ribuan tahun dengan Indonesia. Setelah
penduduk Indonesia banyak menganut agama tersebut, hubungan dagang itu berkembang lagi
menjadi hubungan yang didasarkan oleh kepentingan agama, contohnya adalah perjalanan
untuk belajar agama. Beberapa peninggalan masa klasik Indonesia sangat memperlihatkan
pengaruh India, seperti Candi Borobudur, Kompleks Percandian Muarojambi, dan prasastiprasasti dengan aksara Jawa Kuno yang merupakan turunan dari aksara Pallava. Hingga kini,
budaya Indonesia masa klasik yang dipengaruhi India masih dapat ditemukan. Misalnya,
masyarakat Jawa masih menggunakan kalender Jawa, kalender yang perhitungannya
mengadaptasi kalender Saka, kalender India. Selain itu, terdapat juga kosakata-kosakata
dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Sansekerta. Meskipun setelah masa klasik
Indonesia mendapat banyak pengaruh Islam dan Kristen, serta melalui masa kolonial Belanda
dan Jepang, pengaruh India ini tetap tidak lepas.

7

Daftar Pustaka
Chase, B., Ajithprasad, P., Rajesh, S. V., Patel, A., & Sharma, B. (2014). Materializing

Harappan Identities: Unity and Diversity in the Borderlands of the Indus Civilization.
Journal of Anthropological Archaeology, 35, 63-78.
Kosambi, D. D. (1986). The Culture and Civilization of Ancient India in Historical Outline.
Vani Educational Books.
Lansing, J. S., Redd, A. J., Karafet, T. M., Watkins, J., & al, e. (2004). An Indian Trader In
Ancient Bali? Antiquity, 78(300), 287-293.
Masson-Ousel, P., Stern, P., & Willman-Grabowska, H. (2013). Ancient India and Indian
Civilization. Routledge.
Rawson, P. (1967). Art of South East Asia. Thames & H.
Shaw, J. (2013). “Archaeologies of Buddhist propagation in ancient India:‘ritual’and
‘practical’models of religious change”, dalam World Archaeology, 45(1), 83-108.
Wade, G. (2009). “An early age of commerce in Southeast Asia, 900–1300 CE”, dalam
Journal of Southeast Asian Studies, 40(2), 221-265.

8