Kontribusi sikap, norma subjektif, dan perceived behavioral control terhadap intensi berselingkuh

(1)

Kontribusi Sikap, Norma Subjektif, dan Perceived

Behavioral Control terhadap Intensi Berselingkuh

Oleh:

DESI PUSRIKASARI 106070002169

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat memperoleh

gelar sarjana psikologi

Fakultas Psikologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta


(2)

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Desi Pusrikasari

NIM : 106070002169

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Kontribusi Sikap, Norma Subjektif, dan Perceived Behavioral Control terhadap Intensi Berselingkuh”

adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan karya tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam skripsi. Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan undang-undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau ciplakan dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya.

Jakarta, Desember 2010

Yang Menyatakan

Desi Pusrikasari

NIM 106070002169


(3)

ABSTRAK

A) Fakultas Psikologi B) Desember

C) Desi Pusrikasari

D) Kontribusi Sikap, Norma Subjektif, dan Perceived Behavioral Control

terhadap Intensi Berselingkuh

E) xiv + 79 Halaman (belum termasuk lampiran)

F) Angka perceraian di berbagai daerah di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun dan penyebabnya di dominasi oleh orang ketiga (perselingkuhan). Di Jakarta Timur pada bulan Februari 2009 dari 167 perkara menjadi 369 perkara pada bulan Januari dan Februari 2010. Di Bandung, Jawa Barat pada bulan Januari-April 2009 angka perceraian mencapai 420 perkara dan 155 diantaranya karena perselingkuhan. Di Lebak, Jawa Barat dari 184 kasus pada tahun 2007 menjadi 266 kasus pada tahun 2008. Di Kediri, selama tahun 2007, 2.300 pasangan mengajukan gugat cerai dan 75% diantaranya karena perselingkuhan.

Menurut teori planned behavior, pada dasarnya perilaku didahului oleh intensi dan intensi tersebut dipengaruhi oleh sikap, norma subjektif dan perceived behavioral control, dengan demikian jika seseorang memiliki sikap, norma subjektif, dan perceived behavioral control yang positif maka intensi berselingkuh pun akan tinggi, begitu juga sebaliknya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa kontribusi sikap, norma subjektif, dan perceived behavioral control terhadap intensi berselingkuh. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah orang-orang yang telah menikah dan masih produktif bekerja di daerah Palembang, sebanyak 100 orang. Analisis data pada penelitian ini menggunakan uji regresi pada taraf signifikansi 0,05.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa norma subjektif mempengaruhi intensi berselingkuh secara signifikan dengan kontribusi sebesar 11,8%, sedangkan sikap dan perceived behavioral control tidak mempengaruhi intensi berselingkuh secara signifikan.

Berdasarkan hasil penelitian, diharapkan penelitian selanjutnya dapat mengangkat salah satu faktor yang melatarbelakangi intensi seperti faktor demografi, kepribadian, atau faktor lingkungan menjadi variabel independen, mengingat ketiga independen variabel yang telah diteliti dalam penelitian ini hanya memberikan kontribusi sebesar 14,9%. Selain itu juga menambah jumlah sampel saat melakukan elisitasi untuk mendapatkan jawaban yang lebih variatif sehingga lebih banyak item yang dapat dimasukkan dalam pembuatan skala.


(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahiim

Syukur Alhamdullilah penulis panjatkan untuk kehadirat Allah SWT, karena berkat segala limpahan keanugrehan dan rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam terlimpahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW serta pengikutnya sampai akhir zaman.

Terselesaikannya skripsi ini sebenarnya juga tidak luput dari bantuan pihak luar, oleh karena itu, izinkanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Jahja Umar, Ph. D, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya.

2. Neneng Tati Sumiati, M.Si, Psi dan Rena Latifa, M.Psi yang telah membimbing, mengarahkan dan memberikan saran dalam penyusunan skripsi ini. Penulis mendapatkan banyak masukan dari beliau-beliau tersebut, serta terimakasih banyak atas wawasan dan waktu yang telah diberikan.

3. S. Evangeline I Suaidy, M.Psi, Psi Pembimbing akademik.

4. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya dengan kesabaran dan keikhlasan. 5. Seluruh responden yang telah bersedia memberikan waktunya untuk mengisi

angket.

6. Kedua orang tuaku yang tercinta, Ayah Basroni Rachman dan Ibu Nurpelam yang senantiasa memberikan dukungan serta doa dalam proses penyelesaian skripsi ini.

7. Kakakku Agsuari Rahmawati yang telah menjadi kakak yang baik buatku, adik-adikku Muhammad Mirza & Hodijah As Rini yang rela meluangkan waktu untuk membantu Cik mengentry data.

8. Masku yang jauh disana, yang selalu memberikan dukungan dalam


(5)

9. Ibu Yunita, Bapak Fatur, Dima, Cimi, Mbak Wati, Bik Manis, dan Mang Andi kalian adalah keluarga keduaku.

10.Teman-teman seperjuanganku Ndest, Tety, Maihan, dan Rika dalam meraih asa, kemudian Amy, Mutia, Kori, Isni dan Adyo yang sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

11.Teman-teman Mentor Akademik, yang telah menyempatkan waktunya untuk melakukan brainstorming bersama penulis, serta terima kasih atas wawasan yang tidak ternilai tersebut.

12.Teman-teman angkatan 2006 khususnya kelas A dan adik-adik tingkatku, terima kasih atas kebersamaan dan pembelajaran selama ini.

13.Staff bagian Perpustakaan, Akademik, Umum, dan Keuangan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

14.Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu tetapi tidak mengurangi rasa terima kasih penulis atas dukungan moral serta pengertian mereka penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

Hanya asa dan doa yang penulis panjatkan semoga pihak yang membantu penyelesaian skripsi ini mendapatkan balasan yag berlipat ganda dari Allah SWT. Amin.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah diharapkan untuk menyempurnakan skripsi ini.

Akhir kata, besar harapan penulis semoga skripsi ini memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi siapa saja yang membaca.

Jakarta, Desember 2010


(6)

DAFTAR ISI

Cover...

Lembar Pengesahan Pembimbing... i

Pengesahan Oleh Panitia Ujian ... ii

Motto... iii

Abstrak ... iv

Kata Pengantar ... v

Pernyataan Bukan Plagiat ... vii

Daftar Isi………...viii

Daftar Tabel ... xi

Daftar Bagan……….xiii

Daftar Lampiran………xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Batasan Masalah dan Rumusan Masalah ... 8

1.2.1 Batasan Masalah ... 8

1.2.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 9

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 10

1.4Sistematika Penulisan ... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Intensi... 12

2.1.1 Teori-Teori Yang Membahas Tentang Intensi... 12

2.1.1.1 Teori Reason Action... 12

2.1.1.2 Teori Planned Behavior... 13

2.1.2 Definisi Intensi... 14


(7)

2.1.3.1 Faktor Internal... 16

2.1.3.2 Faktor Eksternal ... 17

2.1.4 Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Intensi... 18

2.2 Intensi Berselingkuh ... 20

2.2.1 Definisi Perselingkuhan ... 20

2.2.2 Pengertian Intensi Berselingkuh ... 20

2.2.3 Tipe-Tipe Perselingkuhan ... 20

2.2.4 Faktor-Faktor Penyebab Perselingkuhan ... 23

2.2.5 Tahapan Dalam Perselingkuhan Seksual ... 28

2.2.6 Cyberaffair... 29

2.2.7 Dampak Perselingkuhan ... 31

2.2.8 Proses Healing Perselingkuhan... 33

2.3 Determinan Intensi... 34

2.3.1 Sikap ... 34

2.3.2 Norma Subjektif... 36

2.3.3 Perceived Behavioral Control... 38

2.4 Kerangka Berfikir ... 39

2.5 Hipotesis ... 41

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 42

3.2 Populasi dan Sampel ... 42

3.2.1 Populasi... 42

3.2.2 Sampel... 43

3.3 Variabel Penelitian... 43

3.3.1 Identifikasi Variabel... 43

3.3.1.1 Definisi Variabel Terikat (DV) ... 44

3.3.1.2 Definisi Variabel Bebas (IV) ... 44

3.4 Pengumpulan Data ... 45

3.4.1 Instrumen Penelitian ... 45


(8)

3.5 Uji Alat Ukur ... 49

3.5.1 Uji Validitas ... 49

3.5.2 Uji Realibilitas ... 51

3.6 Prosedur Penelitian ... 52

3.6.1 Persiapan Uji Coba Alat Ukur ... 52

3.6.2 Persiapan Pengambilan Data... 53

3.6.3 Pelaksanaan Pengambilan Data ... 53

3.7 Analsis Data ... 54

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian... 56

4.2 Analisis Deskriptif ... 59

4.2.1 Kategorisasi Skor Intensi Berselingkuh... 59

4.3 Hasil Uji Hipotesis ... 63

4.4 Analisis Tambahan... 69

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 70

5.2 Diskusi ... 70

5.3 Saran... 75

5.3.1 Saran Teoritis ... 76

5.3.2 Saran Praktis ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 78 LAMPIRAN


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Blue Print Skala Sikap ... 45

Tabel 3.2 Blue Print Skala Norma Subjektif... 46

Tabel 3.3 Blue Print Skala Perceived Behavioral Control... 46

Tabel 3.4 Blue Print Skala Intensi Beselingkuh ... 46

Tabel 3.5 Skor Behavioral Belief... 48

Tabel 3.6 Skor Evaluation to Behavioral Belief... 48

Tabel 3.7 Blue Print Skala Sikap Setelah Try Out... 50

Tabel 3.8 Blue Print Skala Perceived Behavioral Control Setelah Try Out... 51

Tabel 4.1 Jumlah Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 56

Tabel 4.2 Tingkat Pendidikan ... 57

Tabel 4.3 Tingkat Pendidikan Laki-laki... 57

Tabel 4.4 Tingkat Pendidikan Perempuan ... 57

Tabel 4.5 Rentangan Usia ... 58

Tabel 4.6 Rentangan Usia Laki-laki... 58

Tabel 4.7 Rentangan Usia Perempuan ... 58

Tabel 4.8 Descriptive Statistic... 59

Tabel 4.9 Persebaran Skor Intensi Berselingkuh ... 60

Tabel 4.10 Persebaran Skor Intensi Berselingkuh Berdasarkan Jenis Kelamin.... 60

Tabel 4.11 Persebaran Skor Intensi Berselingkuh Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 61

Tabel 4.12 Persebaran Skor Intensi Berselingkuh Berdasarkan Rentangan Usia ... 61

Tabel 4.13 Koefisien Regresi... 63

Tabel 4.14 Hasil Uji Regresi Pengaruh Norma Subjektif terhadap Intensi Berselingkuh ... 65

Tabel 4.15 Hasil Uji Regresi Pengaruh PBC terhadap Intensi Berselingkuh ... 65

Tabel 4.16 Hasil Uji Regresi Pengaruh Sikap terhadap Intensi Berselingkuh... 66 Tabel 4.17 Hasil Uji Regresi Pengaruh Sikap, Norma Subjektif, dan PBC


(10)

terhadap Intensi Berselingkuh ... 67 Tabel 4.18 Proporsi Varian Oleh Masing-Masing Variabel Independen terhadap

Intensi Berselingkuh... 68 Tabel 4.19 Kesimpulan Hasil Uji Hipotesis... 68 Tabel 4.20 Hasil Uji-t... 69


(11)

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Teori Reason Action... 13

Bagan 2.2 Teori Planned Behavior... 14

Bagan 2.3 Faktor yang Melatarbelakangi Intensi ... 19


(12)

Motto

“Jika salah seorang dari kalian melihat seorang

perempuan dan tergoda, hendaklah Ia mendatangi

istrinya karena hal tersebut dapat mencegah apa yang

terdapat dalam dirinya (Nafsu).”

(HR. Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi)


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Perceraian didefinisikan sebagai sesuatu pemutusan ikatan pernikahan yang resmi.

Perceraian telah menjadi hal yang umum bagi semua orang baik dilihat dari segi

umur, sosioekonomi, religiusitas, dan ras / etnis. Perceraian telah berubah dalam

beberapa decade, di California sebelum tahun 1970 perceraian membuat

seseorang merasa bersalah, tetapi setelah tahun 1970 tidak ada pasangan yang

merasa bersalah dan pernikahan dianggap tidak bekerja (Williams, 2006).

Pergeseran ini membuat seseorang mudah untuk memilih perceraian sebagai suatu

solusi dari permasalahan dalam rumah tangganya.

Angka perceraian di berbagai daerah di Indonesia pun semakin meningkat

dari tahun ke tahun. Di Jakarta Timur pada bulan Februari 2009 angka perceraian

sebanyak 167 perkara, sedangkan pada bulan Januari dan Februari 2010 angka

perceraian mengalami peningkatan, yaitu mecapai 202 perkara pada bulan Januari

dan 167 perkara pada bulan Februari. Ironisnya penyebab perceraian tersebut di

dominasi oleh orang ketiga (Ririn, 2010).

Di Jawa barat, perceraian akibat perselingkuhan dalam empat bulan

terakhir cenderung meningkat. Tahun lalu masalah ini paling banyak terjadi di

Majalengka dan Sumedang. Catatan Pengadilan Tinggi Agama Bandung


(14)

dan kota di Jawa Barat bercerai. Rinciannya adalah bulan Januari 92 kasus,

Februari 96 kasus, Maret 105 kasus, dan April 127 kasus. Dari angka itu,

perceraian akibat orang ketiga di wilayah kerja Pengadilan Agama Majalengka

mencapai 103 kasus dan 52 kasus di Pengadilan Agama Sumedang, sementara di

daerah lain lebih kecil lagi (Kampungtki, 2010).

Angka perceraian sepanjang 2007-2008 yang diputuskan Pengadilan

Agama (PA) di Kabupaten Lebak Jawa barat dalam dua tahun terakhir juga

meningkat sekitar 45%. Pada tahun 2007 tercatat 184 kasus, sedangkan pada 2008

meningkat menjadi 266 kasus (Kampungtki, 2010).

Demikian juga yang terjadi di daerah Kediri, selama tahun 2007, jumlah

pasangan yang mengajukan gugatan cerai di PA Kediri mencapai 2.300 pasangan.

Angka ini setara dengan 150-175 pasangan cerai setiap bulan atau 10-15 pasangan

setiap hari. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.438 pasangan sudah diputus cerai

oleh hakim, sedangkan 777 diputus talak. Gugatan cerai adalah gugatan yang

diajukan istri, sedangkan gugatan talak diajukan oleh suami. Panyebab perceraian

itu pun beragam, tetapi hampir 75% diantaranya karena perselingkuhan (Warsono,

2008).

Perselingkuhan adalah suatu kondisi dimana satu pasangan yang terikat

dalam pernikahan menyalurkan sumber-sumber emosi seperti cinta romantis,

waktu, dan perhatian kepada orang lain atau bahkan melakukan aktivitas seksual

dengan orang lain selain pasangan sahnya (Buss & Shackelford, 1997, h.1035).

Selain itu, Glass dan Staeheli (dalam Ginanjar, 2009) menyatakan bahwa


(15)

tetapi kemudian berlanjut semakin dalam ketika masing-masing membuka diri dan

saling menceritakan masalah.

Akhir-akhir ini pun perselingkuhan tidak hanya terjadi di dunia nyata,

tetapi juga terjadi di dunia maya, apalagi jejaring sosial dapat di akses dengan

mudah. Cyberaffair (perselingkuhan di dunia maya) secara umum di definisikan sebagai hubungan seksual atau romantis dimulai melalui komunikasi secara

online, percakapan melalui elektronik ini terjadi di dalam komunitas seperti chat rooms, game interaktif, dan grup berita. Menurut data dari President of American Academy of Matrimonial Lawyers perselingkuhan di dunia maya ini pun telah dilaporkan memiliki pengaruh dalam kasus-kasus perceraian (Young, 2000).

Berdasarkan review terhadap beberapa penelitian tentang perselingkuhan pada para pria dan wanita, Eaves & Robertson- Smith (dalam Ginanjar,2009)

menyimpulkan bahwa pria umumnya melakuan perselingkuhan yang disertai

hubungan seksual (sexual infidelity), sementara kebanyakan wanita berselingkuh untuk memperoleh kedekatan emosional (emosional infidelity). Hasil penelitian dari Sabini & Green (2004) menunjukan bahwa laki-laki membayangkan

perselingkuhan seksual pasangan lebih menyakitkan dari pada perselingkuhan

emosional pasangan dan diasosiasikan dengan kemarahan dan menyalahkan

pasangan. Sedangkan wanita membayangkan perselingkuhan emosi pasangan

lebih menyakitkan dari pada perselingkuhan seksual dan ini diasosiasikan dengan


(16)

Hasil The Janus Report mengenai tingkah laku seksual menduga bahwa lebih dari 1/3 pria dan ¼ wanita mengaku pernah melakukan pengalaman seksual

di luar pernikahan minimal satu kali. Survey dari National Opinion Research Centre (University of Chicago) menemukan presentase yang lebih rendah, yaitu 25 % pria dan 17% wanita. Jika diterjemahkan arti dari persentase di atas bahwa

19 juta suami dan 12 juta istri mempunyai affair (Anderson, K., 2002 dalam

Suciptawati & Susilawati).

Schwartz & Rutter mengidentifikasi 7 faktor yang terlibat dalam

perselingkuhan seksual (dalam Regan, 2003). Ke tujuh faktor tersebut antara lain:

Ketidakcocokan emosi antara kedua pasangan, kebosanan, ketidakcocokan

seksual, kemarahan, rayuan, hasrat untuk mengakhiri hubungan, dan cinta.

Perselingkuhan dapat terjadi di mana saja dan kapan saja dengan penyebab

yang beraneka macam pula. Menurut Sadarjoen (2005), penyebab perselingkuhan

terbagi menjadi 2, yaitu penyebab internal seperti konflik dalam perkawinan yang

tidak kunjung selesai, kekecewaan, ketidakpuasan dalam kehidupan seksual,

masalah financial, persaingan antar pasangan, dan kejenuhan. Sedangkan penyebab esternal seperti lingkungan pergaulan yang mendorong seseorang untuk

mengambil keputusan mencoba menjalin hubungan perselingkuhan, kedekatan

dengan teman lawan jenis di tempat kerja yang berawal dari saling mencurahkan

kesusahan dan kekecewaaan dalam rumah tangga, godaan erotis-seksual dari


(17)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Susiptawati dan Susilawati (2010)

menunjukkan bahwa penyebab tindakan selingkuh 34% oleh faktor eksternal

(godaan wanita lain dan ingin mencari selingan) 22% karena komunikasi, 20 %

karena kurangnya perhatian pasangan (terutama untuk kebutuhan batin),16%

karena faktor ekonomi, dan 8% karena tidak ada ketentraman dalam rumah

tangga.

Perselingkuhan yang tidak diketahui oleh pasangan biasanya tidak

memberikan dampak negatif. Bahkan mereka yang berselingkuh memperoleh

pengalaman-pengalaman yang menyenangkan sehingga merasa lebih bahagia.

Namun saat perselingkuhan terungkap, mulailah masa-masa yang amat sulit

dalam pernikahan, baik bagi pasangan yang menjadi korban maupun pasangan

yang berselingkuh (Glass & Staeheli, 2003; Subotnik & Harris, 2005).

Menurut Bringle dan Buunk (dalam Regan 2003) banyak penelitian yang

menunjukkan konsekuensi negatif dari perselingkuhan. Perselingkuhan juga

memberikan dampak yang negatif terhadap hubungan interpersonal. Pasangan

yang terikat dalam aktifitas seksual di luar pernikahan seringkali merasa bersalah

dan mengalami konflik karena menipu pasangannya dan melanggar moral atau

standar individu tentang kesetiaan, kecemasan dan ketakutan tertular penyakit

melalui hubungan seksual, takut akan kehamilan, dan tertangkap basah pasangan

yang lain. Sedangkan pasangan yang diselingkuhi akan merasa dikhianati,

cemburu, marah, dan kecewa.

Dampak perselingkuhan tidak hanya di rasakan oleh pasangan yang


(18)

dari masalah keluarga yang terjadi antara suami-isteri, akhirnya sering

menimbulkan keributan dan pertengkaran. Konflik yang terjadi pada kedua

orangtua pasti akan berimbas pada anak-anak mereka. Remaja dalam keluarga

yang bercerai lebih baik dari pada remaja dalam keluarga yang tidak bercerai

tetapi memiliki konflik yang tinggi. Dengan demikian, hidup di lingkungan

keluarga yang sering bertengkar, akan menyulitkan bagi remaja untuk

mengembangkan kepribadian yang sehat. Hal ini membuka peluang bagi

perkembangan rasa kurang percaya diri yang intens, yang membuat mereka sering

mengalami kegagalan dalam meraih prestasi sosial yang optimal (Santrock, 2003).

Hubungan keluarga yang buruk merupakan bahaya psikologis pada setiap

usia, terlebih selama masa remaja karena pada saat ini anak laki-laki dan

perempuan sangat tidak percaya pada diri sendiri dan bergantung pada keluarga

untuk mendapatkan rasa aman. Yang lebih penting lagi, mereka memerlukan

bimbingan dan bantuan dalam menghadapi tugas perkembangan masa remaja.

Jika hubungan keluarga ditandai dengan pertentangan-pertentangan serta

perasaan-perasaan tidak aman yang berlangsung lama, maka remaja akan

memiliki kesempatan yang kurang untuk mengembangkan pola perilaku yang

tenang dan matang. Remaja yang hubungan keluarganya kurang baik juga dapat

mengembangkan hubungan yang buruk dengan orang-orang di luar rumah

(Hurlock, 2002, h. 238).

Walaupun telah banyak fakta yang menunjukkan dampak negatif dari

perselingkuhan, tetapi perselingkuhan masih seringkali terjadi. Menurut teori


(19)

berselingkuh terlebih dahulu. Intensi berselingkuh yaitu kemungkinan subjektif

seseorang untuk berselingkuh. Banyak faktor yang mempengaruhi intensi

berselingkuh antara lain sikap, norma subjektif, perceived behavioral control, informasi, keahlian, kemampuan, emosi, kompulsi, peluang, dan ketergantungan

dengan orang lain (Ajzen, 1991).

Namun, dari seluruh faktor tersebut terdapat tiga determinan (penentu)

utama intensi berselingkuh yaitu sikap terhadap perilaku berselingkuh, norma

subjektif terhadap perilaku berselingkuh, dan perceived behavioral control

terhadap perilaku berselingkuh. Dengan demikan, seseorang yang yakin bahwa

menampilkan perilaku berselingkuh akan membawa hasil yang positif akan

memegang sikap yang favorable terhadap perilaku berselingkuh tersebut, sedangkan seseorang yang yakin bahwa menampilkan perilaku berselingkuh akan

membawa hasil yang negatif akan memegang sikap yang unfavorable terhadap perilaku berselingkuh tersebut. Begitu juga dengan norma subjektif, jika

seseorang yakin bahwa kebanyakan orang-orang yang penting baginya

menyetujuinya menampilkan perilaku berselingkuh, maka ia akan

menampilkannya. Begitu pula sebaliknya, jika ia yakin bahwa kebanyakan

orang-orang yang penting baginya tidak menyetujuinya menampilkan perilaku

berselingkuh, maka ia tidak akan menampilkannya. Sedangkan untuk perceived behavioral control sendiri memiliki implikasi motivasional terhadap intensi. Seseorang yang merasa tidak memiliki kemampuan atau kesempatan untuk

melakukan perselingkuhan tidak akan membentuk intensi yang kuat untuk


(20)

perselingkuhan dan percaya bahwa orang lain yang dekat dengannya akan setuju

bila ia melakukan perselingkuhan tersebut (Ajzen, 1991).

Dengan demikian untuk memprediksi perilaku berselingkuh maka harus

dilihat intensi berselingkuhnya terlebih dahulu dengan ketiga determinan yang

mempengaruhi intensi tersebut, sehingga peneliti merasa perlu untuk melihat

intensi berselingkuh seseorang dan melihat bagaimana kontribusi dari ketiga

variabel yang mempengaruhinya, yaitu sikap, norma subjektif, dan PBC terhadap

intensi berselingkuh tersebut, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian yang berjudul “Kontribusi Sikap, Norma Subjektif, dan Perceived Behavioral Control terhadap Intensi Berselingkuh”

1.2 Batasan Masalah dan Rumusan Masalah

1.2.1 Batasan Masalah

Agar permasalahan dalam penelitian ini tidak melebar jauh, maka perlu di buat

pembatasan masalah, antara lain:

1. Sikap adalah penilaian positif atau negatif seseorang terhadap perilaku tertentu

yang tampak.

2. Norma subjektif adalah persepsi seseorang terhadap tekanan sosial

(orang-orang yang penting baginya) untuk menampilkan perilaku atau tidak.

3. Perceived Behavioral Control (PBC) adalah pengamatan seseorang terhadap kemudahan atau kesulitan untuk menampilkan perilaku tertentu.

4. Intensi berselingkuh yaitu kemungkinan subjektif seseorang untuk


(21)

1.2.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain:

1. Apakah ada kontribusi yang signifikan antara sikap, norma subjektif, dan PBC

terhadap intensi berselingkuh?

2. Apakah ada kontribusi yang signifikan antara sikap terhadap intensi

berselingkuh?

3. Apakah ada kontribusi yang signifikan antara norma subjektif terhadap intensi

berselingkuh?

4. Apakah ada kontribusi yang signifikan antara PBC terhadap intensi

berselingkuh?

5. Variabel manakah yang memiliki kontribusi paling signifikan terhadap intensi

berselingkuh?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini antara lain:

1. Mengetahui kontribusi sikap, norma subjektif, dan PBC yang signifikan

terhadap intensi berselingkuh.

2. Mengetahui kontribusi sikap yang signifikan terhadap intensi berselingkuh.

3. Mengetahui kontribusi norma subjektif terhadap intensi berselingkuh.


(22)

5. Mengetahui kontribusi paling besar antara sikap, norma subjektif, dan PBC

terhadap intensi berselingkuh.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Teoritis

Memberikan gambaran mengenai kontribusi sikap, norma subjektif, dan PBC

terhadap intensi berselingkuh.

Praktis

Dengan mengetahui hasil penelitian ini diharapkan kita dapat menyikapi

perselingkuhan dengan bijak dan mencari cara untuk menghindarinya.

1.4 Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai isi dan materi yang dibahas

dalam skripsi ini, maka penulis mengemukakannya dengan sistematika penulisan

sebagai berikut :

BAB 1. Pendahuluan, mengemukakan latar belakang penelitian, batasan dan

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika

penulisan.

BAB 2. Kajian Pustaka, berisi teori-teori yang berhubungan dengan

permasalahan penelitian, yakni intensi, teori-teori yang membahas

tentang intensi, teori reason action, teori planned behavior, definisi intensi, faktor-faktor pengontrol intensi, faktor internal, faktor eksternal,


(23)

definisi perselingkuhan, pengertian intensi berselingkuh, tipe-tipe

perselingkuhan, faktor-faktor penyebab perselingkuhan, tahapan dalam

perselingkuhan seksual, cyberaffair, dampak perselingkuhan, proses

healing perselingkuhan, determinan intensi, sikap, noma subjektif,

perceived behavioral control dan terakhir kerangka berfikir.

BAB 3. Metode Penelitian, yaitu mengungkapkan pendekatan dan jenis

penelitian, populasi dan sampel, variabel penelitian, identifikasi variabel,

definisi variabel terikat, definisi variabel bebas, pengumpulan data,

instrument penelitian, tipe dan cara skoring instrument, uji alat ukur, uji

validitas, uji reliabilitas, prosedur penelitian, persiapan uji coba alat

ukur, persiapan pengambilan data, pelaksanaan pengembalian data, dan

analisis data.

BAB 4. Analisis Hasil Penelitian, yaitu mengemukakan tentang gambaran umum

subjek penelitian, analisis deskriptif, kategorisasi skor intensi

berselingkuh, hasil uji hipotesis, dan analisis tambahan.

BAB 5. Kesimpulan, Diskusi dan Saran, yaitu menyajikan tentang kesimpulan

hasil penelitian, diskusi dan saran praktis serta metodologis yang


(24)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Intensi

2.1.1 Teori-Teori yang membahas tentang intensi 2.1.1.1 Teori Reason Action.

Dalam teori ini intensi dapat memprediksi perilaku, yang mana perilaku ini dibawah kontrol kemauan, teori reason action merupakan teori yang membahas tentang anteseden penyebab dari perilaku yang dilakukan atas kemauan sendiri. Teori ini berdasarkan asumsi bahwa manusia biasanya berperilaku dengan cara yang masuk akal, mempertimbangkan semua informasi yang ada dan secara eksplisit maupun implisit manusia mempertimbangkan implikasi dari tindakan mereka. Dengan demikian, teori ini menyebutkan bahwa intensi seseorang untuk menampilkan perilaku atau tidak tergantung dari determinan (faktor yang menentukan) tindakan tersebut (Ajzen, 1991).

Menurut teori ini, intensi merupakan fungsi dari dua determinan dasar, yaitu faktor personal dan faktor pengaruh lingkungan. Faktor personal ini merupakan sikap dan faktor pengaruh lingkungan adalah norma subjektif. Menurut Fishbein & Ajzen (1975) secara simbolis, rumus utama teori dapat diwakili sebagai berikut:

2

1 ( )

) (

~ I A w SN w


(25)

Pada rumus di atas, B (behavior) adalah perilaku, I adaah intensi untuk terwujudnya perilaku BI, AB (attitude) adalah sikap terhadap terwujudnya perilaku

B, SN (Subjecive Norm) norma subjektif, dan w1 dan w2 adalah pertimbangan yang menentukan secara empiris

Bagan 2.1 Teori Reason Action

Norma Subjektif

Perilaku Intensi

Sikap terhadap perilaku

2.1.1.2 Teori Planned Behavior.

Konsep dari teori planned behavior merupakan pengembangan dari teori reason action. Ajzen (1991) menganggap bahwa teori reason action tidak menjelaskan mengenai perilaku yang tidak dapat dikendalikan sepenuhnya oleh individu, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor non motivational yang dianggap sebagai kesempatan yang dibutuhkan agar perilaku dapat dimunculkan. Faktor utama dari teori ini adalah intensi seseorang untuk menampilkan perilaku. Teori ini menambahkan satu faktor penentu dari intensi, yaitu perceived behavioral control.


(26)

Sedangkan kedua faktor lainnya sama dengan teori reason action, yaitu sikap dan norma subjektif.

Bagan 2.2

Teori Planned Behavior

Norma Subjektif

Sikap terhadap

perilaku

Intensi Perilaku

Perceived Behavioral

Control

2.1.2 Definisi Intensi

Pengertian intensi menurut Fishbein dan Ajzen (1975), yaitu:

Intention defined as person’s location on a subjective probability dimension involving a relation between himself and some action. A behavioral intention, therefore, refers to a person’s subjective probability that he will perform some behavior”.


(27)

“Intensi didefinisikan sebagai lokasi seseorang pada sebuah dimensi probabilitas yang subjetif yang mencakup hubungan antara dirinya dan beberapa tindakan. Sebuah intensi perilaku, oleh kerena itu, mengarah pada probabilitas subjektif seseorang yang akan membentuk suatu perilaku”.

Pengertian intensi menurut Ajzen (1991):

Intentions are assumed to capture the motivational factors that have an impact on a behavior; they are indications of how hard people are willing to try, of how much of an effort they are planning to exert, in order to perform the behavior. These intension remain behavioral dispositions until, at the appropriate time and opportunity, an attempt is made to translate the intention into action ”.

“Intensi-intensi diasumsikan untuk menangkap faktor-faktor motivational yang memiliki dampak terhadap perilaku, merupakan indikasi seberapa keras seseorang berusaha, seberapa banyak usaha yang mereka persiapkan untuk digunakan, agar menampilkan perilaku. Intensi tetap menjadi sebuah disposisi sampai (pada waktu dan kesempatan yang tepat) sebuah usaha dibuat untuk mewujudkan intensi ke dalam perilaku”.

Sehingga intensi dapat dikatakan sebagai kemungkinan subjektif seseorang untuk memunculkan tingkah laku tertentu. Keputusan untuk menampilkan tingkah laku ini merupakan hasil dari proses rasional yang diarahkan pada suatu tujuan tertentu dan mengikuti urutan-urutan berpikir. Pilihan tingkah laku dipertimbangkan, konsekuensi dan hasil dari setiap tingkah laku dievaluasi dan dibuat sebuah keputusan apakah akan bertindak atau tidak.


(28)

2.1.3 Faktor-Faktor Pengontrol Intensi

Menurut Ajzen (1991) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kontrol seseorang terhadap perilaku, antara lain:

2.1.3.1 Faktor Internal.

Berbagai macam faktor internal pada seseorang dapat mempengaruhi kesuksesan pemunculan perilaku dari sebuah intensi. Beberapa faktor ini dimodifikasi dengan latihan dan pengalaman, sementara faktor yang lainnya lebih sulit untuk diubah. Faktor-faktor tersebut antara lain:

a) Informasi, keahlian, dan kemampuan.

Seseorang yang memiliki intensi untuk memunculkan perilaku tidak hanya membutuhkan usaha untuk melakukannya, tetapi juga membutuhkan informasi, keahlian, dan kemampuan. Sebagai contoh, kita hendak memperbaiki alat perekam yang tidak berfungsi, walaupun kita memiliki intensi untuk berperilaku, tetapi perilaku itu belum dapat diwujudkan karena kurangnya informasi, keahlian, dan kemampuan. Sehingga terjadilah kegagalan dalam usaha untuk mewujudkan intensi.

b) Emosi dan kompulsi

Keahlian, kemampuan, dan informasi dapat menghasilkan kontrol perilaku, tetapi hal ini biasanya diasumsikan sebagai hal yang tidak terlalu prinsipil dan masalah ini dapat diatasi. Tetapi sebaliknya, beberapa perilaku merupakan subjek yang memaksa yang berada jauh di luar kendali kita.

Perilaku emosional terlihat memiliki karakteristik yang sama. Terkadang individu tidak dapat bertanggung jawab atas munculnya perilaku yang terjadi di


(29)

bawah tekanan atau dalam kehadiran emosi yang kuat. Kontrol perilaku yang lemah pada diri seseorang sering disebut ‘dikuasai oleh emosi’, dan tak banyak usaha yang dapat dilakukan untuk mengubah hal tersebut.

Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor internal dapat mempengaruhi kesuksesan pemunculan perilaku yang memiliki intensi. Hal ini dapat cukup mudah dilihat pada kontrol terhadap faktor-faktor informasi dan kemampuan yang dibutuhkan untuk menampilkan perilaku. Sedangkan faktor lain seperti emosi, stress, atau kompulsi lebih sulit untuk dinetralisir.

2.1.3.2 Faktor Eksternal.

Kontrol seseorang terhadap pencapaian tujuan-tujuan perilaku dipengaruhi oleh situasi atau faktor lingkungan yang berada di luar individu. Hal ini menentukan faktor mana yang ada di lingkungan luas yang memfasilitasi atau menginvestasi perwujudan sebuah perilaku.

a) Peluang

Faktor kebetulan atau peluang merupakan hal yang penting untuk suksesnya eksekusi sebuah perilaku yang memiliki intensi. Sebagai contoh, sebuah intensi untuk melihat pertandingan tidak dapat menjadi perilaku jika tiket terjual habis.

Kurangnya peluang yang sesuai pada diri individu dapat merubah intensi mereka. Kurangnya kesempatan ini dapat menghalangi usaha untuk mewujudkan suatu perilaku. Dalam keadaan seperti ini, seseorang berusaha untuk mewujudkan intense namun gagal karena keadaan lingkungan sekitar


(30)

menghalanginya. Walaupun intensi langsung akan terpengaruh, keinginan dasar untuk melakukan sebuah perilaku tidak harus di ubah. Dengan kata lain, lingkungan menghambat perilaku untuk mewujudkan perilaku dan akan memaksa untuk merubah rencana, namun tidak selalu dapat merubah intensi seseorang.

b) Ketergantungan pada orang lain

Singkatnya, kurangnya peluang dan ketergantunga pada orang lain hanya membawa pada perubahan yang sementara pada intensi. Ketika lingkungan menolak terwujudnya sebuah perilaku, maka individu akan menunggu peluang yang lebih baik.

2.1.4 Faktor-faktor yang melatarbelakangi intensi

Menurut Ajzen (2005) berdasarkan teori planned behavior, determinan (penentu) utama dari intensi yang diikuti perilaku antara lain perilaku, normatif, dan kontrol perilaku. Banyak veriabel yang mungkin berhubungan atau mempengaruhi kepercayaan yang seseorang pegang, seperti: umur, jenis kelamin, etnis, status sosial ekonomi, pendidikan, kebangsaan, agama, keanggotaan, kepribadian, suasana hati, emosi, sikap, dan nilai secara umum, intelegensi, anggota kelompok tertentu, pengalaman masa lalu, paparan informasi, dukungan sosial, kemampuan

coping, dan lain sebagainya.

Seseorang yang tumbuh dalam lingkungan sosial yang berbeda dapat memiliki informasi yang berbeda tentang isu-isu yang berbeda, informasi yang menyediakan dasar bagi kepercayaan mereka tentang konsekuensi sebuah


(31)

perilaku, tentang pengharapan normatif tentang pentingnya seseorang, dan tentang penghalang yang dapa mencegah mereka dalam menampilkan perilaku. Semua faktor ini dapat mempengaruhi perilaku, normatif, dan kontrol kepercayaan, dan sebagai hasilnya mempengaruhi intensi dan tindakan.

Faktor-faktor yang melatarbelakangi ini dibagi ke dalam kategori personal, sosial, dan informasi. Kategori personal antara lain sikap umum, kepribadian (personality trait), nilai-nilai, emosi, dan inelegensi. Untuk kategori sosial diantaranya usia, jenis kelamin, ras, etnik, pendidikan, pendapatan, dan agama. Sedangkan pada kategori informasi antara lain pengalaman dan pengetahuan.

Bagan 2.3

Faktor yang Melatarbelakangi Intensi

Faktor-Faktor yang melatarbelakangi intensi Personal Sikap umum Trait kepribadian Nilai Emosi Intelegensi Sosial Umur, gender Ras, suku Pendidikan Penghasilan Agama Informasi Pengalaman Pengetahuan Media Behavioral Beliefs Sikap terhadap perilaku Normative Beliefs Norma

Subjektif Intensi Perilaku

Control Beliefs

Perceived Behavioral


(32)

2.2 Intensi Berselingkuh

2.2.1 Definisi Perselingkuhan

Perselingkuhan adalah suatu kondisi dimana satu pasangan yang terikat dalam pernikahan menyalurkan sumber-sumber emosi seperti cinta romantis, waktu, dan perhatian kepada orang lain atau bahkan melakukan aktivitas seksual dengan orang lain selain pasangan sahnya (Buss & Shackelford, 1997, h.1035).

2.2.2 Pengertian intensi berselingkuh

Intensi berselingkuh yaitu kemungkinan subjektif seseorang untuk berselingkuh. Intensi berselingkuh ditentukan oleh tiga faktor, yaitu sikap terhadap tingkah laku (evaluasi positif atau negatif terhadap perilaku berselingkuh), dan norma subjektif (persepsi orang apakah orang lain akan menyetujui atau menolak perilaku berselingkuh) serta kontrol tingkah laku yang dipersepsikan (penilaian terhadap kemampuan sikap untuk berselingkuh) yaitu perceived behavior control.

2.2.3 Tipe-tipe perselingkuhan

Menurut Buss & Shackelford (1997) perselingkuhan dibedakan menjadi dua tipe, yaitu:

1. Perselingkuhan seksual

Perselingkuhan seksual mengacu pada aktivitas seksual yang dilakukan dengan orang lain selain pasangan.


(33)

2. Perselingkuhan emosional

Peselingkuhan emosional terjadi saat salah satu pasangan menyalurkan sumber-sumber emosi seperti cinta romantis, waktu, dan perhatian kepada orang lain.

Menurut Glass & Staeheli serta Subtonik & Harris (dalam Ginanjar, 2009) terdapat tiga komponen dari perselingkuhan emosional, yaitu keintiman emosional, kerahasiaan, dan sexual chemistry, walaupun hubungan yang terjalin tidak diwarnai oeh hubungan seks, namun perselingkuhan ini tetap membahayakan keutuhan pernikahan karena hubungan ini dapat menjadi lebih penting dari pada pernikahan itu sendiri.

Perselingkuhan dapat dibagi menjadi beberapa bentuk. Penggolongannya didasarkan derajat keterlibatan emosional dari pasangan yang berselingkuh (Subtonik & Harris, 2005). Beberapa bentuk perselingkuhan antara lain:

1. Serrial Affair

Tipe perselingkuhan ini paling sedikit melibatkan keintiman emosional tetapi terjadi berkali-kali. Hubungan yang terbentuk dapat berupa perselingkuhan semalam atau perselingkuhan yang berlangsung cukup lama. Dalam serial affair tidak terdapat keterlibatan emosional, hubungan yang dijalin hanya untuk memperoleh kenikmatan atau pertualangan sesaat. Inti dari perselingkuhan ini hanya untuk mendapatkan gairah baru dan seks.

2. Flings

Hampir sama dengan serial affair, flings juga ditandai oleh minimnya keterlibatan emosional antar pasangan selingkuh. Hubungan yang terjadi dapat


(34)

berupa perselingkuhan satu malam atau hubungan yang terjadi selama beberapa bulan, tetapi hanya terjadi satu kali saja.

3. Romantic Love Affair

Perselingkuhan tipe ini melibatkan hubungan emosional yang mendalam. Hubungan yang terjadi antara pasangan selingkuh menjadi amat penting. Seringkali pasangan selingkuh berpikir untuk melepaskan pernikahannya dan menikahi kekasihnya. Bila perceraian tidak memungkinkan maka perselingkuhan ini dapat berlangsung lama.

4. Long Term Affair

Perselingkuhan ini melibatkan keterlibatan emosional yang paling mendalam. Hubungan dapat bertahan bertahun-tahun atau bahkan berlangsung sepanjang kehidupan pernikahan. Cukup banyak pasangan yang merasa memiliki hubungan yang lebih baik dengan pasangan selingkuh dari pada pasangan sahnya. Karena perseligkuhan telah berlagsung cukup lama, tak jarang perselingkuhan ini diketahui oleh pasangan sah atau keluarga dekat lainnya.

Menurut Clanton (dalam Hyde, 1990) perselingkuhan seksual sendiri memiliki tiga tipe, antara lain:

1. Clandestine extramarital sex

Perselingkuhan ini tersembunyi dari pasangan 2. Consensual extramarital sex

Aktifitas perselingkuhan seksual ini diketahui oleh pasangan, dan pasangan tersebut menyetujuinya.


(35)

3. Ambiguous extramarital sex

Yang mana aktivitas perselingkuhan ini diketahui oleh pasangan, tetapi pasangan tersebut pura-pura tidak tahu.

Akhir-akhir ini pun perselingkuhan tidak hanya terjadi di dunia nyata, tetapi juga terjadi di dunia maya, apalagi jejaring sosial dapat di akses dengan mudah. Cyberaffair (perselingkuhan di dunia maya) secara umum di definisikan sebagai hubungan seksual atau romantis dimulai melalui komunikasi secara

online, percakapan melalui elektronik ini terjadi di dalam komunitas seperti chat rooms, game interaktif, dan grup berita (Young, 2000).

2.2.4 Faktor-faktor penyebab perselingkuhan

Menurut Blow (dalam Ginanjar, 2009) penyebab perselingkuhan amat beragam dan biasanya tidak hanya disebabkan oleh satu hal saja. Ketidakpuasan dalam pernikahan merupakan penyebab utama yang dikeluhkan oleh pasangan, tetapi ada pula faktor-faktor lain di luar pernikahan yang mempengaruhi masuknya orang ketiga dalam pernikahan. Berdasarkan beberapa sumber, ada sejumlah alasan terjadinya perselingkuhan antara lain:

1. Kecemasan menghadapi transisi, seperti mendapatkan anak pertama, anak memasuki usia remaja, anak yang telah dewasa meninggalkan rumah, dan memasuki masa pensiun.

2. Pelarian dari pernikahan yang tidak membahagiakan.

3. Tidak tercapainya harapan-harapan dalam pernikahan dan ternyata didapat dari pasangan selingkuh.


(36)

4. Perasaan kesepian.

5. Suami atau istri memiliki ide tentang pernikahan atau cinta yang tidak realistis. Ketika pernikahan mulai bermasalah, pasangan menganggap bahwa cinta mereka telah padam.

6. Kebutuhan yang besar akan perhatian.

7. Terbukanya kesempatan untuk melakukan perselingkuhan, yaitu kemudahan bertemu dengan lawan jenis di tempat kerja, tersedianya hotel dan apartemen yang memudahkan untuk melakukan pertemuan rahasia, dan berbagaimacam sarana yang mendukung perselingkuhan.

8. Kebutuhan seks yang tidak terpenuhi dalam perkawinan

9. Ketidakhadiran pasangan baik secara fisik maupun emosional. Misalnya pada pasangan yang bekerja di kota yang berbeda, pasangan yang terlalu sibuk berkarir, dan pasangan yang sering berpergian dalam jangka waktu yang lama. 10.Perselingkuhan sudah sering terjadi di dalam keluarga besar sehingga

memudarkan nilai-nilai kesetiaaan.

Schwartz & Rutter mengidentifikasi tujuh faktor yang terlibat dalam perselingkuhan seksual (dalam Regan, 2003). Ke tujuh faktor tersebut antara lain: 1. Ketidakcocokan emosi antara kedua pasangan

Pasangan bertahan dalam hubungan pernikahan yang kurang kasih sayang demi anak atau demi alasan ekonomi dan sosial mungkin mencari selingkuhan untuk memperoleh gairah, kegembiraan, dan kasih sayang.

2. Kebosanan

Seseorang kadang-kadang terikat dalam perselingkuhan semata-mata karena motif hiburan. Mereka mungkin mencintai pasangan mereka dan memiliki


(37)

kehidupan seks yang menyenangkan, tetapi pada saat itu juga mereka merasa membutuhkan pertualangan seks.

3. Ketidakcocokan seksual

Seseorang yang memiliki hasrat seks lebih dari orang lain, atau seseorang yang mengharapkan terikat dalam aktivitas – aktivitas yang orang lain tidak ingin mencobanya memungkinkan untuk mengejar seks di luar suatu hubungan.

4. Kemarahan

Seseorang terikat dalam hubungan seks di luar pernikahan karena kemarahan atau sebagai cara menghukum pasangan. Seperti yang diungkapkan oleh Schwartz dan Rutter, “Kemarahan membuat hubungan seks dengan pasangan menjadi sulit dan juga membuat hubungan seks di luar pernikahan terlihat menyenangkan”. Kemarahan juga mengurangi perasaan perasaan bersalah atau malu, di balik kemarahan juga ketidaksetiaan pasangan bisa dipahami, rasionalisasi, atau pembenaran pelanggaran seks.

5. Rayuan

Tentunya, terkadang seseorang berselingkuh karena mereka bertemu dengan seseorang yang sangat menarik dan menggairahkan, yang mana mereka kalah dengan godaan.

6. Hasrat untuk mengakhiri hubungan

Laki-laki atau perempuan yang menggunakan strategi ini karena ketidakyakinan apakah mereka benar-benar ingin meninggalkan hubungan mereka atau tidak mampu berbicara langsung dengan pasangan mereka


(38)

tentang perasaan mereka, dengan berselingkuh mereka menciptakan situasi yang dapat membuat pasangannya marah.

7. Cinta

Beberapa hubungan perselingkuhan berawal dari hubungan persahabatan yang telah lama terjalin atau hubungan sesama pekerja, mereka terlibat dalam kasih sayang dan cinta yang kuat, dan lama kelamaan perasaan mereka mengarah ke hubungan seksual.

Menurut Sadarjoen (2005), perselingkuhan dapat disebabkan berbagai penyebab internal dan penyebab eksternal.

A. Penyebab internal

Perselingkuhan dapat disebabkan berbagai penyebab internal, diantaranya : 1. Konflik dalam perkawinan yang tidak kunjung selesai dan terus menerus

oleh perbedaan latar belakang pendidikan, perkembangan kepribadian, subkultur, serta pola hidup yang menyebabkan ketidakserasian relasi antar pasangan.

2. Kecewaaan oleh berbagai macam sebab seperti sifat yang berbeda, cara berkomunikasi yang kurang terasa pas, dan sebagainya.

3. Ketidakpuasan dalam kehiupan seksual oleh disfungsi seksual atau penyimpangan perilaku seksual lainnya.

4. Problem finansial.

5. Persaingan antar pasangan baik dalam karier dan perolehan penghasilan. 6. Avonturir sebab kejenuhan relasi dengan pasangan perkawinan terasa


(39)

B. Penyebab eksternal

Penyebab eksternal perselingkuhan, yaitu:

1. Lingkungan pergaulan yang mendorong seseorang untuk mengambil keputusan mencoba menjalin hubungan perselingkuhan, demi tidak mendapat sebutan STS (Suami Takut Istri) di kalangan rekan sepergaulannya.

2. Kedekatan dengan teman lain jenis ditempat kerja yang berawal dari saling mencurahkan kesusahan dan kekecewaan dalam rumah tangga. Dari curhat, terjalin kedekatan emosional yang berlanjut dengan kontak fisik intim.

3. Godaan erotis-seksual dari berbagai pihak dengan motif untuk memperoleh pekerjaan atau menjadi rekanan/pemasok peralatan atau prasarana dari departeman atau organisasi tertentu.

Macklin (1987) menggambarkan keterlibatan dalam perselingkuhan seksual tergantung pada faktor-faktor di bawah ini, antara lain:

1. Merasa memiliki kesempatan.

Memiliki pasangan selingkuh yang cocok dan tempat bertemu yang bersifat pribadi.

2. Siap untuk mengambil keuntungan dari kesempatan yang ada.

Memiliki kebutuhan yang tidak terpenuhi, seperti ketergantungan, kedekatan emosi, keintiman fisik, dan menganggap akan mendapatkan kepuasan di luar dari pernikahan.


(40)

3. Harapan akan kepuasan.

Tertarik pada seseorang, berdasaran pengalaman yang lampau atau dari perkatan orang lain bahwa perselingkuhan itu akan menyenangkan.

4. Harapan konsekuensi negatif yang kecil

Keyakinan bahwa hanya sedikit waktu yang dimiliki dengan pasangan selingkuh untuk keluar bersama, atau pemikiran bahwa keluar bersama orang lain memiliki konsekuensi negatif yang sedikit.

2.2.5 Tahapan dalam perselingkuhan seksual

Aktivitas seksual yang dilakukan dalam hubungan pria-wanita (heteroseksual) umumnya berkembang intensitasnya dari ringan hingga berat dan demikian pula aktivitas seksual yang terjadi dalam perselingkuhan.

Menurut Duvall & Miller (1985) aktivitas seksual pada hubungan heteroseksual biasanya berjalan sebagai berikut:

1. Bersentuhan (touching)

Sentuhan di sini seperti bergandengan tangan dan berpelukkan. 2. Berciuman (kissing)

Ciuman ini berkisar dari ciuman ringan ke ciuman yang lama dan intim yang biasa di sebut “deep kissing”.

3. Bercumbuan (petting)

Mengelus atau membelai daerah erotis dari tubuh pasangan, biasanya berlanjut dari elusan ringan menuju elusan berat.


(41)

2.2.6 Cyberaffair

Cyberaffair (perselingkuhan di dunia maya) secara umum di definisikan sebagai hubungan seksual atau romantis dimulai melalui komunikasi secara online, percakapan melalui elektronik ini terjadi di dalam komunitas seperti chat rooms, game interaktif, dan grup berita (Young, 2000).

Tidak seperti pasangan-pasangan yang dapat menangkap suami atau istrinya saat berselingkuh di dunia nyata, pasangan pada awalnya dapat mengevaluasi situasi dari tanda-tanda peringatan sebagai sebuah petunjuk untuk mendeteksi perselingkuhan jenis ini (Young, 2000). Tanda-tanda tersebut antara lain:

1. Perubahan dalam pola tidur

Chat rooms dan tempat-tempat bertemunya perselingkuhan di dunia maya tidak berhenti sampai malam, sehingga pasangan yang berselingkuh cenderung bergadang.

2. Menuntut privasi

Jika seseorang mulai berselingkuh, baik melalui dunia maya atau dunia nyata, mereka seringkali menjaga jarak untuk menutupi kebenaran dari pasangannya. Dalam perselingkuhan di dunia maya, ia akan cenderung memiliki privasi yang lebih besar dalam penggunaan computer, seperti menaruh computer di tempat yang lebih tersembunyi atau bahkan mengganti password.

3. Menolak pekerjaan rumah tangga

Dengan penggunaan internet yang meningkat, tentunya pekerjaan rumah tangga menjadi terbengkalai. Saat pasangan mulai menginvestasikan banyak waktu dan energi pada aktiviats di internet da megabaikan pekerjaan rumah,


(42)

4. Menunjukkan kebohongan

Pasangan yang berselingkuh mungkin akan menyembunyikan rekening kartu kredit untuk servis online, rekening telepon, dan berbohong tentang alasan pengunaan internet yang berlebihan.

5. Perubahan kepribadian

Pasangan seringkali terkejut dan bingung melihat banyak perubahan dari mood

pasangan mereka dan tingkah laku tersebut berubah sejak internet elanda mereka. Sebagai contoh, seorang istri yang hangat dan sensitive menjadi dingin dan tertutup. Suami yag tadinya baik hati dan periang menjadi suami yang pendiam dan serius.

6. Kehilangan ketertarikan dalam urusan seks

Beberapa perselingkuhan dalam dunia maya pada akhirnya dapat mengadakan pertemuan atau melakukan seks dalam telepon dan masturbasi dengan arahan dari seseorang di dalam komputer tersebut. Ketika pasangan tiba-tiba menunjukkan kekurangtertarikan dengan seks, itu merupakan indikator bahwa ia telah memiliki penyaluran seks yang lain. Jika hubungan seks tersebut tetap dilanjutkan maka pasangan yang berselingkuh akan terlihat kurang antusias. 7. Penurunan kualitas hubungan

Pasangan yang berselingkuh enggan berlama-lama dalam hubungan pernikahan walaupun ia memiliki waktu luang, ia lebih memilih bersenang-senang dengan pasangan selingkuhnya dari pada pasangan sahnya.


(43)

2.2.7 Dampak Perselingkuhan

Menurut Bringle dan Buunk (dalam Regan, 2003) banyak penelitian yang menunjukkan konsekuensi negatif dari perselingkuhan. Perselingkuhan juga memberikan dampak yang negatif terhadap hubungan interpersonal. Pasangan yang terikat dalam aktifitas seksual di luar pernikahan seringkali merasa bersalah dan mengalami konflik karena menipu pasangannya dan melanggar moral atau standar individu tentang kesetiaan, kecemasan dan ketakutan tertular penyakit melalui hubungan seksual, takut akan kehamilan, dan tertangkap basah pasangan yang lain. Sedangkan pasangan yang diselingkuhi akan merasa dikhianati, cemburu, marah, dan kecewa.

Menurut Sadarjoen (2005) dari sepuluh kasus perselingkuhan yang berkonsultasi dengannya, terdeteksi bahwa yang paling menderita secara batin oleh perilaku selingkuh adalah itri dari laki-laki yang berselingkuh. Reaksi emosional yang muncul antara lain:

a. Reaksi depresi terselubung yang ringan hingga moderat dengan penurunan gairah hidup yang ditandai runtuhnya kepercayaan terhadap suami, penurunan keyakinan diri, kecemasan dan rasa cemburu.Reaksi ini biasanya diikuti dengan keinginan kuat untuk mencermati dan mengetahui isi kantung, tas, dan dompet, serta nomor telepon yang sering dihubungi suami melalui telepon seluler. Kecenderungan untuk mengabaikan aspek privasi kehidupan suami pun meningkat dan justru perilaku ini menjadi salah satu sumber pertengkaran hebat yang terjadi antara suami istri.


(44)

b. Reaksi depresi terselubung ekstem yang ditandai oleh penyertaan berbagai keluhan psikosomatis, seperti sesak napas, ketidakstabilan tekanan darah yang bersifat fluktuatif, badan menggigil, reaksi histeris yang tidak terkendali, seperti menjerit-jerit, yang terkadang juga disertai amukan tanpa terkendali.

Santrock (2003) mengungkapkan bahwa dampak perselingkuhan tidak hanya di rasakan oleh pasangan yang berselingkuh dan pasangan yang diselingkuhi saja tetapi juga oleh anak. Berawal dari masalah keluarga yang terjadi antara suami-isteri, akhirnya sering menimbulkan keributan dan pertengkaran. Konflik yang terjadi pada kedua orangtua pasti akan berimbas pada anak-anak mereka. Remaja dalam keluarga yang bercerai lebih baik dari pada remaja dalam keluarga yang tidak bercerai tetapi memiliki konflik yang tinggi. Dengan demikian, hidup di lingkungan keluarga yang sering bertengkar, akan menyulitkan bagi remaja untuk mengembangkan kepribadian yang sehat. Hal ini membuka peluang bagi perkembangan rasa kurang percaya diri yang intensi, yang membuat mereka sering mengalami kegagalan dalam meraih prestasi sosial yang optimal.

Hubungan keluarga yang buruk merupakan bahaya psikologis pada setiap usia, terlebih selama masa remaja karena pada saat ini anak laki-laki dan perempuan sangat tidak percaya pada diri sendiri dan bergantung pada keluarga untuk mendapatkan rasa aman. Yang lebih penting lagi, mereka memerlukan bimbingan dan bantuan dalam menghadapi tugas perkembangan masa remaja. Jika hubungan keluarga ditandai dengan pertentangan-pertentangan serta perasaan-perasaan tidak aman yang berlangsung lama, maka remaja akan


(45)

memiliki kesempatan yang kurang untuk mengembangkan pola perilaku yang tenang dan matang. Remaja yang hubungan keluarganya kurang baik juga dapat mengembangkan hubungan yang buruk dengan orang-orang di luar rumah (Hurlock, 2002, h. 238).

2.2.8 Proses healing Perselingkuhan

Menurut Subotnik & Harris (dalam Ginanjar, 2009) kesedihan dalam perselingkuhan dapat dijelaskan melalui model “proses berduka” dari Kubler-Ross yang terdiri dari 5 tahapan, antara lain:

1. Tahap penolakan (denial)

Awal tahap ini diwarnai dengan perasaan tidak percaya, penolakan terhadap informasi tentang perseligkuhan yang dilakukan pasangan. Bahkan beberapa pasangan yang merasa mati rasa yang merupakan respon perlindungan terhadap rasa sakit yang berlebihan. Bila tidak berlarut-larut, penolakan ini menjadi mekanisme otomatis yang menghindarkan diri dari luka batin yang mendalam.

2. Tahap kemarahan (anger)

Setelah melewati masa penolakan, pasangan yang diselingkuhi akan mengalami perasaan marah yang amat dahsyat. Mereka biasanya memaki-maki pasangannya atas perbuatan tersebut atau bahkan melakukan kekerasan fisik terhadap pasangan. Kemarahan seringkali di lampiaskan pula kepada pasangan selingkuh suami / istri. Keinginan untuk balas dendam kepada pasangan yang berselingkuh amatlah besar, muncul keinginan untuk melakukan perselingkuhan atau membuat pasangan menderita.


(46)

3. Tahap tawar menawar (bargaining)

Ketika perasaan marah sudah mereda, maka pasangan yang diselingkuhi akan memasuki tahap tawar menawar (bargaining). Karena menyadari kondisi pernikahan yang sedang dalam masa krisis maka pasangan yang diselingkuhi mencoba melakukan hal yang positif asalkan pernikahan tidak hancur.

4. Tahap depresi (depression)

Kelelahan fisik, perubahan mood yang terus menerus, dan usaha untuk memperbaiki pernikahan dapat membuat pasangan yang diselingkuhi masuk ke dalam kondisi depresi.

5. Tahap penerimaan (acceptance)

Setelah istri mencapai tahap penerimaan barulah dapat terjadi perkembanagn yang positif. Penerimaan ini terbagi menjadi dua tipe, pertama penerimaan intelektual yang artinya menerima dan memahami apa yang telah terjadi. Kedua, penerimaan emosional yang artinya dapat mendiskusikan perselingkuhan tanpa reaksi-reaksi berlebihan. Proses menuju penerimaan ini tidak sama bagi semua orag dan rentang waktunya juga berbeda.

2.3 Determinan Intensi

2.3.1 Sikap

Menurut Ajzen (1991) sikap adalah penilaian positif atau negatif seseorang terhadap perilaku tertentu yang tampak.

Sedangkan menurut Fishbein dan Ajzen (1975) sikap adalah kecenderungan seseorang untuk merespon favorable atau unfavorable terhadap


(47)

objek, orang, institusi, atau kejadian. Sikap didefinisikan sebagai posisi seseorang pada suatu dimensi afektif atau bipolar terhadap suatu objek, tindakan atau kejadian.

Menurut Ajzen (1991) dalam pembentukan sikap itu sendiri ada dua hal yang mempengaruhi, antara lain:

a) Behavioral Belief, yaitu salient beliefs (keyakinan yang menonjol) terhadap perilaku yang mana setiap behavioral belief ini menghubungkan perilaku pada hasil tertentu. Dengan kata lain, behavioral belief merupakan keyakinan yang dimiliki seseorang terhadap suatu perilaku.

b) Evaluation to Behavioral Belief, yaitu evaluasi seseorang terhadap perilaku yang dihubungkan dengan kekuatannya. Dengan kata lain, evaluation to behavioral belief merupakan penilaian seseorang terhadap konsekuensi dari perilaku yang akan dmunculkan, penilaian ini dapat berupa penilaian positif atau negatif.

Selain itu, menurut Ajzen (1991) hubungan antara behavioral belief dan

evaluation to behavioral belief dengan sikap dapat dilihat dari symbol di bawah ini:

i i n B b e

A ∞∑

AB : Attitude toward behavior (sikap terhadap perilaku)

b : belief (kemungkinan subjektif yang mana menampilkan perilaku B akan menimbulkan hasil i)

ei : evaluasi hasil i


(48)

Dengan demikian, seseorang yang yakin bahwa menampilkan perilaku tertentu akan membawa hasil yang positif akan memegang sikap yang favorable

terhadap perilaku, sedangkan seseorang yang yakin bahwa menampilkan perilaku akan membawa hasil yang negatif akan memegang sikap yang unfavorable

terhadap perilaku.

2.3.2 Norma Subjektif

Menurut Ajzen (1991) norma subjektif merupakan penentu kedua terhadap intensi, norma subjektif ini memiliki fungsi yang sama dengan belief , tetapi belief

dalam bentuk yang berbeda, yaitu keyakinan seseorang bahwa orang-orang tertentu atau kelompok tertentu menerima jika perilaku ditampilkan. Untuk kebanyakan perilaku rujukan merupakan hal yang penting, seperti orang tua, pasangan, teman dekat, rekan kerja, psikolog, dan lain-lain.

Norma subjektif adalah persepsi seseorang terhadap tekanan sosial (orang-orang yang penting baginya) untuk menampilkan perilaku atau tidak (Fishbein dan Ajzen, 1975). Ajzen (1991) mengungkapkan bahwa dalam pembentukan norma subjektif itu sendiri ada dua hal yang mempengaruhi, antara lain:

a) Normative Belief, adalah belief (keyakinan) yang mendasari norma subjektif, yaitu keyakinan akan norma-norma yang berlaku. Keyakinan yang berhubungan dengan pendapat orang-orang yang penting bagi individu apakah ia harus melakukan atau tidak suatu perilaku tertentu.

b) Motivation to Comply, yaitu sejauh mana keinginan eseorang untuk mengikuti pendapat tokoh atau orang-orang yang penting tersebut.


(49)

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jika seseorang yakin bahwa kebanyakan orang-orang yang menjadi rujukan menyetujuinya menampilkan perilaku tertentu, maka ia akan menampilkan perilaku tersebut. Norma subjektif dapat di ukur dengan bertanya kepada responden apakah orang-orang yang penting bagi mereka akan menerima perilaku mereka atau tidak.

Hubungan antara normative belief dengan norma subjektif dapat dilihat dari symbol di bawah ini:

i i nbm

SN∞∑

SN adalah norma subjektif, bi adalah normative belief berdasarkan rujukan, ini adalah motivation to comply, n adalah jumlah salient normative beliefs

(Ajzen,1991).

Selain itu, seseorang berintensi untuk menampilkan perilaku ketika mereka menilai perilaku tersebut positif dan mereka yakin bahwa orang-orang penting menginginkan mereka untuk menampilkan perilaku tersebut. Untuk beberapa intensi, sikap merupakan hal yang lebih penting dari pada norma subjektif, sedangkan untuk intensi yang lainnya norma subjektif lebih penting. Dari sepuluh penelitian tentang intensi yang dilakukan, delapan diantaranya menunjukkan bahwa sikap memiliki peranan lebih penting dari pada norma subjektif, dan dua yang lainnya menunjukkan bahwa norma subjektif memiliki peranan lebih penting terhadap intensi. Kedelapan intensi tersebut antara lain intensi menggunakan pil KB, intensi menyusui ASI vs botol, intensi merokok ganja, intensi menghadiri gereja, intensi memilih, intensi membeli bir Miller, intensi bergabung di unit penanganan alkohol, dan intensi bekerja sama. Sedangkan kedua intensi yang


(50)

memiliki hasil yang berlawanan, antara lain intensi melakukan aborsi dan intensi memiliki anak lagi (Ajzen, 1991).

2.3.3 Perceived Behavioral Control (PBC)

Menurut Ajzen (1991) faktor ini berkenaan dengan pengamatan seseorang terhadap kemudahan atau kesulitan untuk menampilkan perilaku tertentu dan hal ini mengambarkan pengalaman masa lalu. Dengan kata lain, semakin favorable

sikap dan norma subjektif yang dimiliki individu, dan semakin besar perceived behavioral control seseorang, maka intensi untuk menampilkan perilaku akan semakin kuat.

Dua keistimewaan utama dari teori planned behavior antara lain:

a) Teori ini menganggap perceived behavioral control memiliki implikasi motivational terhadap intensi.

b) Kemungkinan hubungan langsung antara perceived behavioral control dengan perilaku.Dengan kata lain, perceived behavioral control bisa mempengaruhi perilaku tidak secara langsung, yaitu melalui intensi, dan PBC ini juga bisa digunakan untuk memprediksi perilaku secara langsung karena PBC dapat dipertimbangkan sebagai pengganti untuk mengukur kontrol aktual.

Dalam beberapa situasi perceived behavioral control tidak selalu realistis. Keadaan seperti ini dapat terjadi ketika seseorang hanya memiliki sedikit informasi tentang perilaku, sumber informasi telah berubah, atau ketika elemen yang baru atau tidak di kenal masuk ke dalam situasi tersebut. Dibawah kondisi tersebut pengukuran perceived behavioral control memberikan sedikit keakuratan


(51)

dalam memprediksi perilaku. Hubungan antara perceived behavioral control

dengan perilaku diharapkan muncul hanya ketika terdapat kesesuaian antara persepsi terhadap kontrol dan kontrol aktual individu terhadap perilaku.

2.4 Kerangka Berfikir

Pernikahan yang sejatinya merupakan ikatan yang suci kini makna tersebut telah bergeser, ungkapan “rumahku adalah surgaku” nampaknya tidak cocok lagi bagi kebanyakan pasangan suami istri. Pernikahan tidak lagi mendatangan kebahagiaan dan kehangatan seperti yang dulu diharapkan, yang ada hanyalah kekakuan dan koflik. Konflik yang terjadi terus menerus antara pasangan suami istri dapat membuat hubungan antara keduanya semakin merenggang dan tak sedikit yang akhirnya jatuh ke pelukkan wanita atau laki-laki lain yang dianggap lebih pengertian dari pada pasangan sebelumnya dan terjadilah perselingkuhan baik secara emosional maupun seksual.

Menurut teori planned behavior, sebelum perilaku muncul akan ada intensi yang merupakan kecenderungan seseorang untuk berperilaku, intensi ini dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu sikap, norma subjektif, dan perceived behavioral control. Sebelum membentuk suatu sikap terhadap intensi berselingkuh, terlebih dahulu individu mengawalinya dengan keyakinan bahwa suatu perilaku mempunyai konsekuensi tertentu. Apakah ia menilai positif atau negatif konsekuensi tersebut. Keyakinan mengenai perselingkuhan dapat di bentuk melalui pengalaman langsung individu dengan objek sikap. Jika ia menganggap dengan berselingkuh ia akan mendapatkan sesuatu hal yang baru maka ia


(52)

cenderung untuk melakukannnya, sedangkan jika ia menganggap berselingkuh itu akan menyakiti pasangannya, maka ia cenderung akan menghindarinya.

Norma subjektif terbentuk setelah individu mempunyai keyakinan normatif yaitu sejauh mana individu bersedia melakukan perselingkuhan berdasarkan orang-orang di sekelilingnya, misalnya jika individu berada dalam lingkungan yang permisif terhadap perselingkuhan, maka tentunya individu akan cenderung menampilkan perilaku berselingkuh, lain halnya jika individu tersebut berada pada lingkungan yang menganggap perilaku selingkuh itu perbuatan yang tidak bermoral, tentunya ia akan menghindari perilaku berselingkuh tersebut. Dengan demikian, individu mempertimbangkan pendapat orang lain tentang perilaku selingkuh dan termotivasi untuk berselingkuh atau tidak, sesuai dengan apa yang diinginkan orang-otang terdekatnya.

Perceived behavioral control memiliki implikasi motivasional terhadap intensi. Seseorang yang beranggapan bahwa ia tidak memiliki kemampuan ataupun kesempatan untuk melakukan perselingkuan tentu tidak akan membentuk intensi yang kuat untuk melakukan perselingkuhan walaupun ia memiliki sikap positif terhadap perselingkuhan dan percaya bahwa orang lain yang dekat dengannya akan setuju bila ia melakukan perselingkuhan tersebut. Dalam hal ini hubungan antara perceived behavioral control dengan intensi tidak diperantarai oleh sikap dan norma subjektif. Jadi, walaupun seseorang memiliki sikap positif terhadap tingkah laku berselingkuh dan yakin bahwa orang-orang dekatnya akan setuju bila ia melakukan perselingkuhan (tetapi tentunya bukan pasangan sahnya, bisa jadi orang dekat tersebut rekan-rekan kantor), hal itu belum cukup bila orang tersebut beranggapan bahwa ia tidak memiliki kemampuan atau kesempatan untuk


(53)

Bagan 2.4 Kerangka Berpikir Behavioral Belief terhadap perselingkuhan Evaluation of Consequences terhadap perselingkuhan. Normatives Beliefs terhadap perselingkuhan

Motivation to comply

terhadap perselingkuhan Sikap terhadap peraselingkuhan Norma Subjektif terhadap perselingkuhan Intensi Berselingkuh Perceived Behavioral Control terhadap

perilaku berselingkuh

Motivation to comply terhadap

perselingkuhan

2.5 Hipotesis

H1 : Ada kontribusi yang signifikan sikap, norma subjektif dan perceived behavior control terhadap intensi berselingkuh.

H2 : Ada kontribusi signifikan sikap terhadap intensi berselingkuh.

H3 : Ada kontribusi signifikan norma subjektif terhadap intensi berselingkuh. H4 : Ada kontribusi signifikan perceived behavior control terhadap intensi


(54)

BAB III

METODE PENELITIAN

Bab ini menjelaskan tentang metode penelitian yang terdiri dari tujuh

subbab. Subbab tersebut adalah pendekatan dan jenis penelitian, populasi dan

sampel, variable penelitian, pengumpulan data, uji alat ukur, prosedur penelitian,

dan analisis data.

3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif, proses

penelitian yang dilakukan secara terstruktur dan sistematis. Data yang terkumpul

berupa angka-angka yang kemudian dianalisis secara statistik. Jenis penelitian

non-eksperimental dengan melakukan pengukuran pengaruh variabel bebas

terhadap variabel terikat tanpa memberikan perlakuan-perlakuan khusus terhadap

variabel terikat.

3.2 Populasi dan Sampel

3.2.1 Populasi

Populasi didefinisikan sebagai kumpulan dari individu dengan kualitas serta

ciri-ciri yang telah ditetapkan (Nazir, 2005). Berdasarkan tujuan penelitian maka

populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah warga tiga kecamatan di kota

Palembang, yaitu kecamatan Sako, Borang, dan Plaju yang telah menikah dan


(55)

3.2.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi, untuk itu penelitian ini menggunakan sampel

sebanyak 100 orang. Teknik pengumpulan sampel atau teknik sampling yang

digunakan dalam penelitian ini adalah Purposive Sampling, yaitu sampel ditentukan berdasarkan kriteria yang akan diteliti. Tehnik ini tergolong non-probability sampling yang berarti tidak semua anggota populasi memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi subjek penelitian. Berdasarkan tujuan

penelitian, maka karakteristik subjek penelitian ini antara lain:

a. Warga tiga kecamatan di kota Palembang (Sako, Borang, Plaju) yang telah

menikah.

b. Masih aktif bekerja.

3.3 Variabel Penelitian

3.3.1 Identifikasi Variabel

Variabel adalah simbol atau lambang yang padanya kita letakkan bilangan atau

nilai (Kerlinger, 2006). Variabel pada penelitian ini terdiri dari variabel bebas

(independent variable) dan Variabel terikat (dependent variable). Penelitian ini menempatkan intensi berselingkuh sebagai variabel terikat dan sikap, norma

subjektif serta Perceived Behavioral Control sebagai variabel bebas.

Menurut Kerlinger (2006) variabel bebas adalah sebab yang dipandang


(56)

sebagai akibatnya. Variabel bebas adalah anteseden dan variabel terikat adalah

konsekuensi.

3.3.1.1 Definisi Variabel Terikat (DV)

Definisi Konseptual: Intensi berselingkuh adalah kemungkinan subjektif

seseorang untuk berselingkuh.

Definisi Operasional: Skor yang diperoleh seseorang dengan

menggunakan skala intensi berselingkuh.

3.3.1.2 Definisi Variabel Bebas (IV)

1 Sikap

Definisi Konseptual: Sikap adalah penilaian positif atau negatif seseorang

terhadap perilaku tertentu yang tampak.

Definisi Operasional: Skor yang diperoleh dengan menggunakan skala sikap.

2 Norma Subjektif

Definisi Konseptual: Norma subjektif adalah persepsi seseorang terhadap

tekanan sosial (orang-orang yang penting baginya) untuk menampilkan

perilaku atau tidak.

Definisi Operasional: Skor yang diperoleh dengan menggunakan skala norma

subjektif.

3 Perceived Behavioral Control

Definisi Konseptual: Perceived Behavioral Control (PBC) adalah pengamatan seseorang terhadap kemudahan atau kesulitan untuk menampilkan perilaku


(57)

Definisi Operasioanal: Skor yang diperoleh dengan menggunakan skala

Perceived Behavioral Control.

3.4

Pengumpulan Data

3.4.1 Instrumen Penelitian

Adapun instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan

skala Likert yang terdiri atas sejumlah pernyataan yang semuanya menunjukkan

sikap terhadap objek tertentu dan skala Semantic Differensial yang terdiri atas sejumlah ciri yang dinyatakan dengan kata sifat berdasarkan dua kutub yang

berlawanan. Berikut blue print dari skala sikap, norma subjektif, perceived behavioral control dan intensi untuk berselingkuh.

Tabel 3.1

Blue Print Skala Sikap

No. Aitem

No Aspek Indikator

Favorable Unfavorable Jumlah

1 Sikap terhadap

perilaku berselingkuh • Keyakinan-keyakinan terhadap konsekuensi-konsekuensi perilaku berselingkuh. (Behavioral Belief)

• Evaluasi dari keyakinan terhadap konsekuensi-konsekuensi perilaku berselingkuh. (Evaluation to Behavioral Belief)

3, 6, 9,12, 15, 16, 17, 21, 24.

3, 6, 9, 12, 15, 16, 17, 21, 24.

1, 2, 4, 5, 7, 8, 10, 11, 13,14, 18, 19, 20, 22, 23, 25,26, 27, 28.

1, 2, 4, 5, 7, 8, 10, 11, 13, 14, 18, 19, 20, 22, 23, 25, 26, 27, 28.

28

28


(58)

Tabel 3.2

Blue Print Skala Norma Subjektif

No Aspek Indikator Jumlah

1 Norma Subjektif

• Keyakinan individu yang berhubungan dengan harapan dan keyakinan orang lain yang dapat mempengaruhi seseorang terhadap perilaku berselingkuh. (Normative Belief)

• Motivasi untuk memenuhi keyakinan normatif (Motivation to comply)

8

8 Jumlah 16

Tabel 3.3

Blue Print Skala Perceived Behavioral Control

No Aspek Indikator Jumlah

1 Perceived Behavioral

Control

• Hal-hal yang mendorong niat seseorang untuk berselingkuh.

• Hal-hal yang menghambat atau menyulitkan niat seseorang untuk berselingkuh.

19

13

Jumlah 32

Tabel 3.4

Blue Print Skala Intensi Berselingkuh

No Aspek Indikator Jumlah

1 Intensi untuk

berselingkuh

• Sikap

• Norma Subjektif

Perceived Behavioral Control

1 1 1


(59)

3.4.2 Tipe dan Cara Skoring Instrument

Berikut ini tipe dan cara scoring instrument yang digunakan oleh peneliti

pada masing-masing skala:

1. Skala sikap terhadap perilaku berselingkuh

Untuk mengukur sikap terhadap perilaku berselingkuh, peneliti

menggunakan model skala Likert. Skala yang digunakan yaitu dengan

menggunakan empat pilihan respon untuk menyikapi setiap pernyataan yang ada.

Peneliti menggunakan jumlah respon genap dengan pertimbangan bahwa jumlah

responden yang ganjil akan menimbulkan kecenderungan jawaban ragu-ragu atau

netral. Adapun kategori dari masing-masing skala tersebut, yaitu:

a) Behavioral Belief

1 Sangat setuju

2 Setuju

3 Tidak setuju

4 Sangat tidak setuju

b) Evaluation to Behavioral Belief

1 Sangat Baik

2 Baik

3 Buruk

4 Sangat Buruk

Penulisan penetapan penskoran dari 1 sampai 4 dapat dilihat pada tabel


(60)

Tabel 3.5 Skor Behavioral Belief

Point Favorable Unfavorable

1 STS SS

2 TS S

3 S TS

4 SS STS

Tabel 3.6

Skor Evaluation to Behavioral Belief

Point Favorable Unfavorable

1 SBU SBA

2 BU BA

3 BA BU

4 SBA SBU

2. Skala Norma Subjektif

Untuk mengukur norma subjektif, peneliti juga menggunakan model skala

Likert. Skala yang digunakan yaitu dengan menggunakan empat pilihan respon

untuk menyikapi setiap pernyataan yang ada. Peneliti menggunakan jumlah

respon genap dengan pertimbangan bahwa jumlah responden yang ganjil akan

menimbulkan kecenderungan jawaban ragu-ragu atau netral. Adapun kategori dari

skala tersebut yaitu:

a. Sangat setuju

b. Setuju

c. Tidak setuju

d. Sangat tidak setuju

3. Skala Perceived Behavioral Control


(61)

pilihan respon untuk menyikapi setiap pernyataan yang ada. Peneliti

menggunakan jumlah respon genap dengan pertimbangan bahwa jumlah

responden yang ganjil akan menimbulkan kecenderungan jawaban ragu-ragu atau

netral. Adapun kategori dari skala tersebut yaitu:

a. Sangat setuju

b. Setuju

c. Tidak setuju

d. Sangat tidak setuju

4. Skala Intensi

Untuk mengukur intensi, peneliti menggunakan model skala semantic differensial yang mengukur setiap variabel penelitian berdasarkan format alat yang disarankan oleh Fishbein dan Ajzen. Skala yang digunakan yaitu dengan

menggunakan empat pilihan respon untuk menyikapi setiap pernyataan yang ada.

3.5

Uji Alat Ukur

Data yang diperoleh dari pelaksanaan uji coba kemudian diolah secara statistik

dengan menggunakan program SPSS 12 untuk mengetahui reliabilitas dan

validitas pada masing-masing alat ukur. Pengukuran uji validitas ini menggunakan

rumus Pearson Product Moment dan pengukuran reliabilitas menggunakan tehnik

Cronbach Alpha. Suatu penelitian yang reliabel, hasil yang diperoleh akan tetap sama apabila diukur pada waktu yang berbeda. Suatu konstruk variabel dikatakan

reliabel bila memiliki nilai Cronbach Alpha mendekati satu. 3.5.1 Uji Validitas


(62)

Suatu item dikatakan valid bila korelasi pearsonnya didapatkan > 0,3.

Berdasarkan uji validitas yang dilakukan dari 28 pada skala Behavioral Belief

yang diuji coba terdapat 21 item yang valid. Untuk skala Evaluation To Behavioral Belief dari 28 item yang diuji coba terdapat 26 item yang valid. Namun dikarenakan jumlah kedua skala harus sama, maka peneliti hanya

mengambil item-tem yang valid di kedua skala tersebut, sehigga hanya 19 item

yang dapat digunakan.

Untuk skala Normative Belief dari 6 item yang diuji coba terdapat 6 item yang valid. Untuk skala Motivation to Comply dari 6 item yang diuji coba terdapat 6 item yang valid. Untuk skala Perceived Behavioral Control dari 32 item yang diuji terdapat 22 item yang valid. Dan untuk skala intensi dari 3 item yang diuji

coba terdapat 3 item yang valid.

Tabel 3.7

Blue Print Skala Sikap Setelah Try Out

No. Aitem

No Aspek Indikator

Favorable Unfavorable Jumlah

1 Sikap terhadap

perilaku berselingkuh • Keyakinan-keyakinan terhadap konsekuensi-konsekuensi perilaku berselingkuh.

(Behavioral Belief)

• Evaluasi dari keyakinan terhadap

konsekuensi-konsekuensi perilaku berselingkuh.

(Evaluation to Behavioral Belief)

3*, 6*, 9*,

12*, 15,

16*, 17,

21*, 24*.

3, 6, 9, 12,

15*, 16,

17*, 21, 24.

1, 2, 4, 5, 7, 8, 10, 11, 13, 14, 18, 19, 20, 22, 23, 25, 26, 27, 28.

1, 2, 4, 5, 7, 8, 10, 11, 13, 14, 18, 19, 20, 22, 23, 25, 26, 27, 28.

28

28

Jumlah 18 38 56

Keterangan:


(63)

Tabel 3.8

Blue Print Skala Perceived Behavioral Control Setelah Try Out

No Aspek Indikator Jumlah

1 Perceived Behavioral

Control

• Hal-hal yang mendorong niat seseorang untuk berselingkuh.

• Hal-hal yang menghambat atau menyulitkan niat seseorang untuk berselingkuh.

19

13

Jumlah 32

3.5.2 Uji Reliabilitas

Berdasarkan uji reliabilitas melalui SPSS 12 didapatkan nilai koefisien cronbach alpha pada skala Behavior Belief sebesar 0,919, sehingga alat ukur ini dapat dikatakan reliabel untuk mengukur sikap (behavior belief). Untuk skala

Evaluation to Behavior Belief didapat koefisien cronbach alpha sebesar 0,967, sehingga alat ukur ini dapat dikatakan reliabel untuk mengukur sikap (evaluation to behavioral belief).

Untuk skala Normative Belief didapat koefisien cronbach alpha sebesar 0,902, sehingga alat ukur ini dapat dikatakan reliabel untuk mengukur normative belief. Untuk skala Motivation to Comply didapat koefisien cronbach alpha

sebesar 0.915, sehingga alat ukur ini dapat dikatakan reliabel untuk mengukur

motivation to comply. Untuk skala Perceived Behavior Control didapat koefisien

cronbach alpha sebesar 0,843, sehingga alat ukur ini dapat dikatakan reliabel untuk mengukur perceived behavior control. Untuk skala Intensi berselingkuh di dapat koefisien cronbach alpha sebesar 0,764, sehingga alat ukur ini reliabel untuk mengukur intensi berselingkuh.


(1)

merupakan hal yang salah. Polling ini dilakukan terhadap penduduk Amerika, 70% memiliki keyakinan perselingkuhan selalu salah dan 15% hampir selalu salah. Meskipun Denmark memiliki kebebasan dalam berbagai urusan seks, seperti hubungan seks sebelum menikah, hamil di luar nikah, pornografi, dan cenderung melakukan perselingkuhan, tetapi hampir setengah dari laki-laki dan perempuan Denmark yang tidak dapat menerima perselingkuhan.

Sedangkan untuk responden yang merasa mudah dan mungkin untuk melakukan perselingkuhan menjawab alasan terkuatnya adalah ketidakharmonisan di dalam keluarga dan banyak menghabiskan waktu di kantor sehingga sering bertemu dengan lawan jenis yang menarik. Hasil penelitian Suciptawati dan Susilawati menunjukkan dari 50 responden, hanya 8% responden yang setuju ketidakharmonisan dalam rumah tangga menjadi penyebab perselingkuhan, sedangkan faktor-faktor yang lain antara lain kurang komunikasi, kurang komunikasi, dan faktor ekonomi.

Sadarjoen (2005) menyebutkan curhat dengan lawan jenis merupakan awal dari perselingkuhan karena dalam hubungan perselingkuhan ini kedua belah pihak merasa saling dipahami oleh pasangan selingkuh dan posisi pasangan di rumah menjadi tidak menarik, membosankan dan tidak membangkitkan gairah.

5.3 Saran

Melalui analisis seluruh proses dan isi dari laporan, peneliti merasa masih banyak kekurangan yang harus dilengkapi agar penelitian ini menjadi lebih baik.


(2)

Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa saran yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya.

5.3.1 Saran Teoritis

1. Mengangkat salah satu faktor yang melatarbelakangi intensi seperti faktor demografi, kepribadian, atau faktor lingkungan menjadi variabel independen. 2. Menambah jumlah sampel saat melakukan elisitasi untuk mendapatkan

jawaban yang lebih variatif sehingga lebih banyak item yang akan dimasukan dalam pembuatan skala.

3. Menggunakan sampel penelitian yang mewakili populasi untuk mendapatkan validitas eksternal penelitian.

5.3.1 Saran Praktis

1. Bagi konsultan pernikahan hendaknya melakukan tindakan preventif dengan cara menggalakkan konseling pra nikah guna memberikan pengetahuan bagi pasangan yang akan menikah, dengan demikian masalah-masalah yang muncul dalam pernikahan termasuk perselingkuhan dapat ditekan.

2. Konsultan pernikahan juga hendaknya memberikan penyuluhan mengenai informasi dan memaparkan fakta-fakta yang menunjukkan dampak-dampak negatif perselingkuhan bagi orang-orang terdekat bagi pasangan suami istri yang merasa hubungannya telah renggang karena orang ketiga, dengan demikian hal ini dapat merubah normative belief dari pasangan berselingkuh


(3)

77

dan diharapkan dapat memotivasinya untuk mengikuti keinginan orang-orang terdekatnya untuk menyudahi perselingkuhan yang ia lakukan.

3. Bagi pasangan yang merasa rumah tangganya kurang harmonis diharapkan segera mencari bantuan psikolog, konsultan pernikahan, atau orang-orang yang penting bagi subjek karena jika meminta bantuan kepada orang yang salah maka rumah tangga tersebut akan semakin berantakan, mengingat norma subjektif (motivation to comply) memiliki pengaruh terhadap intensi berselingkuh.

4. Dengan mengetahui hasil penelitian ini, diharapkan masyarakat luas dapat memahami bahwa orang-orang terdekat mempunyai pengaruh terhadap intensi berselingkuh, untuk itu masyarakat luas harus memperhatikan lingkungan dimana ia tinggal.


(4)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A: Hasil Elisitasi, Skala Behavioral Belief, Skala Evaluation to Behavioral Belief, Skala Normative Belief, Skala Motivation to Comply, Skala Perceived Behavioral Control, Skala Intensi Berselingkuh (Try Out dan Field Study), dan Hasil Validitas Dan Reliabilitas Skala.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Ajzen, I. (1991). Attitudes, personality, and behavior. Milton Keynes: Open University Press.

Ajzen, I. (2005). Attitudes, personality, and behavior. England: Open Univesity Press.

Buss, D. M & Shackelford, T. K. (1997). Cues to Infidelity. Personality and social psychology Bulletin, 23, 1034-1045.

Collins, R. (1987). Sociology of marriage and the family. Chicago: Nelson-Hall. Duvall, E. M & Miller, B.C. (1985). Marriage and family development (6th ed).

New York: Harper & Row.

Fishbein, M & Ajzen, I. (1975). Belief, attitude, intention, and behavior. Canada: Addison-Wesley Publishing Company.

Ginanjar, A. S. (2009). Proses healing pada istri yang mengalami perselingkuhan suami. Makara, Sosial Humaniora, 13, 66-76.

Hurlock, E. B. (2002). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Hyde, J. S. (1990). Understanding human sexuality (4th ed). United State of America: McGraw-Hill.

Kimberly, S. Y. (2000). Cybersex and infidelity online: Implications for evaluation and treatment. Sexual Addiction and Complusivity, 10, 59-74. Kerlinger, F. N. (1986). Foundations of behavioral research. Chicago: Holf,

Rinehari & Winston.

Miller, R.S., Perlman, D., & Brehm, S. S. (2007). Intimate relationships. United State: Mc Graw Hill.

Nazir, M. (2005). Metode penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.

Pedhazur, E.J. (1982). Multiple regression in behavioral research, explanation and prediction. Second Edition. New York: Holt, Renehart and Winston. Inc.


(6)

79

Peluso, P. (2007). Infidelity: A practitioner’s guide to working with couple in crisis. New York: Routledge

Perceraian akibat selingkuh meningkat (2010). diperoleh tanggal 10 April 2010. Available: http://kampungtki.com/baca/3034

Regan, P. (2003). The mating game: A primer on love, sex, and marriage. United Kingdom: Sage Publications.

Ririn (2010). Perceraian akibat perselingkuhan makin tinggi di Jakarta. Diperoleh tanggal 10 April 2010. Available:

http://www.republika.co.id/berita/breaking.news/metropolitan/10/03/26/10 8257

Sabini, J & Green, M. C. (2004). Emotional responses to sexual and emotional infidelity: Constants and differences across genders, samples, and methods. Personality and Social Psychology Bulletin, 11,1375-1388.

Sadarjoen, S. S. (2005). Pendampingku tak seperti dulu lagi. Jakarta: Kompas. Santrock, J. W. (2003). Adolescence: Perkembangan remaja. Jakarta: Erlangga. Suciptawati, N. L. P & Susilawati, M (2010). Faktor-faktor penyebab

perselingkuhan serta tindak lanjut mengatasinya.

Warsono (2008). Setiap hari 10-15 pasutri cerai di Kediri. Diperoleh tanggal 10 April 2010. Available:

http://www.news.okezone.com/read/2008/01/16/1/75781/1/setiap-hari-10-15-pasutri-cerai-di-kediri

Williams, B. K., Sawyer, S. C., & Wahlstrom, C. M. (2006). Intimate relationship: A practical introduction. United State of America : Pearson.