PEMIKIRAN KEMBALI TENTANG DEMOKRASI DAN

PEMIKIRAN KEMBALI TENTANG
DEMOKRASI DAN NOMOKRASI
DALAM NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS

Bagi suatu bangsa yang baru lahir kembali,
milik yang paling berharga adalah "kemerdekaan" dan
"kedaulatan".
(Soekarno, 30 September 1960)

Bagian Ke-I :
IDE KEDAULATAN, DEMOKRASI DAN NOMOKRASI
A. IDE KEDAULATAN YANG MEMPENGARUHI GAGASAN DEMOKRASI DAN
NOMOKRASI
Pada pembahasan mengenai demokrasi dan nomokrasi ini, pada awalnya kita membahas
mengenai kedaulatan. Sebab suatu kedaulatan (kekuasaan) yang melahirkan suatu ide tentang

demokrasi dan nomokrasi. Kedaulatan merupakan konsep yang biasa dijadikan objek dalam
filsafat politik dan hukum kenegaraan. Didalamnya terkandung konsepsi yang berkaitan dengan
konsepsi ide kekuasaan tertinggi yang di kaitkan dengan negara. Pengertian kata kedaulatan
dalam makna klasiknya berkaitan erat dengan gagasan mengenai kekuasaan tertinggi baik di
bidang ekonomi maupun terutama di lapangan politik. Akan tetapi dalam kaitannya dengan

makna kekuasaan yang bersifat tertinggi itu, terkandung pula dimensi waktu dan proses
peralihannya sebagai proses fenomena yang bersifat alamiah.
Pandangan seperti ini terkandung juga dalam pemikiran Ibnu Khaldun ; mengenai naik
tenggelamnya kekuasaan manusia dalam sejarah umat manusia. Sebagaimana ditulis dalam
Mukadimah, muncul dan tenggelamnya negara (kerajaan-kerajaan) dimasa lalu atau disebut oleh
Ibnu Khaldun dengan Al-daulah itu merupakan tututan alamiah yang sangat rasional. Pandangan
Ibnu Khaldun inilah yang sebenarnya mempengaruhi Niccolo Maciavelli ketika menulis karya
menumentalnya l’Prince. Buku l’Prince ini, seperti Mukadimah, juga mengemukakan teori
sangat mirip mengenai naik-tenggelamnya negara dalam sejarah umat manusia. Hal ini
menunjukkan bahwa gagasan kedaulatan yang berkembang di Timur sebelumnya pernah turut
terbawa serta ke Eropa bersamaan dengan pengaruh pemikiran-pemikiran kaum muslimin ke
Eropa pada abad pertengahan, sebelum munculnya gerakan Renaissance. Namun demikian,
dalam perkembangan lebih lanjut, gagasan kedaulatan itu sendiri di dunia Barat mengalami
perubahan dan perkembangannya sendiri.
Ide kedaulatan dikembangkan atas dasar pemikiran berkenaan dengan konsep-konsep
kekuasaan yang bersumber kepada pemikiran Yunani dan Romawi. Berikut beberapa konsep
kedaulatan menurut para ahli :[1]
Menurut Jean Bodin, ada tiga unsur konsep kedaulatan :
1. Kekuasaan itu bersifat tertinggi, tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi, dan asli dalam arti tidak
berasal dari atau bersumber dari kekuasaan lain yang lebih tinggi

2. Mutlak dan sempurna dalam arti tidak terbatas dan tidak ada kekuasaan lain yang membatasinya

3. Tidak terpecah dan terbagi-bagi
Menurut J.J. Rousseau, konsep kedaulatan itu bersifat kerakyatan dan didasarkan pada
kemauan umum rakyat yang menjelam menjadi perundang-undangan. Selain itu, menurutnya
Hukum kodrati hanya menganugrahi kedaulatan yang tidak dapat dicabut kepada warga
masyarakat sebagai satu kesatuan. Oleh sebab itu, menurutnya, konsep kedaulatan mempunyai
1.
2.
3.
4.

sifat-sifat, yaitu :
Kesatuan (unite), bersifat monotis,
Bulat dan tidak terbagi (indivisibilite),
Tidak dapat dialihkan (inalienabilite),
Tidak dapat berubah (imprescriptibilite)
Sebagai salah satu alat analisis yang penting, dapat pula dikemukakan bahwa pemahaman
terhadap konsep kedaulatan itu dapat dibagi kedalam dua aspek. Keduanya saling berkaitan satu
sama lain, yaitu soal lingkup kekuasaan (scope of power) dan soal jangkauan kekuasaan itu

(domain of power). Lingkup kedaulatan berkenaan dengan soal aktivitas yang tercakup dalam
fungsi kedaulatan, sedangkan jangkauan kedaulatan berkaitan dengan siapa yang menjadi subjek
dan pemegang kedaulatan sebagai konsep mengenai kedaulatan tertinggi (the sovereign). Dalam
khazanah pemikiran tentang negara dan praktik kenegaraan sepanjang peradaban manusia,
dikenal lima teori tentang kedaulatan negara, kelima teori ini adalah :[2]

1.
2.
3.
4.
5.

Teori kedaulatan Tuhan
Teori kedaulatan Raja
Teori kedaulatan Negara
Teori kedaulatan Rakyat
Teori kedaulatan Hukum
Kedaulatan rakyat menjadi landasan berkembangnya demokrasi dan negara republik.
Rakyatlah yang pada hakikatnya memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Pemerintahan
dalam suatu negara dilakukan dari, oleh dan untuk rakyat.


B. GAGASAN DEMOKRASI (Democracy) YANG MENJADI AWAL LAHIRNYA
KEKUATAN RAKYAT

Menurut etimologi/bahasa, demokrasi berasal dari bahasa yunani yaitu dari demos adalah
“rakyat”

dan

cratos

atau

cratein

adalah

“pemerintahan”

atau


“kekuasaan”. Demokrasi berarti pemerintahan rakyat atau kekuasaan rakyat. Oleh karena itu
dalam sistem demokrasi rakyat mendapat kedudukan penting didasarkan adanya rakyat
memegang kedaulatan. Dari uraian ini dapat kita ketahui bahwa dalam sebuah negara yang
menganut paham demokrasi tentunya mendasari dirinya pada kedaulatan rakyat layaknya
pengertian demokrasi yang sebenarnya. Demokrasi tidak boleh hanya dijadikan hiasan bibir dan
bahan retorika belaka. Demokrasi juga bukan hanya menyangkut pelembagaan gagasan luhur
tentang kehidupan bernegara yang ideal, melainkan juga mengenai persoalan tradisi dan budaya
politik yang egaliter dalam realitas pergaulan hidup yang berkeragaman atau plural, dengan
saling menghargai perbedaan satu sama lain. Oleh karena itu, perwujudan demokrasi haruslah
bedasar atas hukum. Perwujudan gagasan demokrasi memerlukan instrument hukum, evektivitas
dan keteladanan kepemimpinan, dukungan pendidikan masyarakat, serta basis kesejahteraan
sosial ekonomi yang berkembang makin meratadan berkeadilan [3].
Demokrasi dibedakan dalam dua bentuk pada tahapan praktiknya, yaitu demokrasi
langsung dan demokrasi tidak langsung. Prof. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya yang berjudul
“Konstitusi dan Konstitusionalisme” menjabarkan kedua demokrasi ini dengan mencontohkan
praktik demokrasi yang diselenggarakan di Indonesia, namun beliau dalam istilah demokrasi
tidak langsung menggunakan istilah demokrasi perwakilan. Kedaulatan rakyat (democratie)
Indonesia diselenggarakan secara langsung. Secara langsung, kedaulatan rakyat diwujudkan
dalam tiga cabang kekuasaan yang tercermin dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat yang

terdiri atas Dewan Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah sebagai pemegang
kekuasaan legislatif, Presiden dan Wakil Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, dan

Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Dalam
menentukan kebijakan pokok pemerintahan dan mengatur ketentuan-ketentuan hukum berupa
Undang-Undang Dasar dan Undang-undang (fungsi legislatif), serta dalam menjalankan fungsi
pengawasan (fungsi kontrol) terhadap jalannya pemerintahan, pelembagaan kedaulatan rakyat itu
disalurkan melalui sistem perwakilan, yaitu melalui Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Daerah. Di daerah-daerah provinsi kabupaten/kota, pelembagaan kedaulatan rakyat
juga disalurkan melalui sistem perwakilan, yaitu melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [4].
Dari uraian pendapat ini, dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan Demokrasi langsung
ialah keterlibatan rakyat secara langsung dalam menjalankan roda pemerintahan dalam sebuah
negara, namun perlu juga dipahami bahwa tidak semua rakyat ikut terlibat secara langsung dalam
menjalankan roda pemerintahan, melainkan sebagian dari rakyat yang menjadi wakil atau
legitimasi dari rakyat secara keseluruhan, hal ini disebut dengan demokrasi tidak langsung atau
sistem perwakilan.
Keterlibatan rakyat secara langsung melalui sistem perwakilan dalam negara yang
demokratis, Prof. Jimly juga menambahkan bahwa penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung
(Direct Democracy) dilakukan melalui pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pelaksanaan
referendum untuk menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap rencana perubahan atas

pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Dasar. Disamping itu, kedaulatan rakyat dapat pula
disalurkan setiap waktu melalui pelaksanaan Hak atas kebebasan berpendapat, hak atas
kebebasan Pers, Hak atas kebebasan informasi, hak atas kebebasan berorganisasi dan berserikat
serta hak-hak asasi lainnya yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar [5]. Namun demikian,
prinsip kedaulatan rakyat yang bersifat langsung hendaklah dilakukan melalui saluran-saluran
yang sah sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan. Walaupun banyak yang mengatakan

bahwa demokrasi itu baik, namun terdapat juga kelemahannya. Sebagaimana pendapat dari
Janedjri M. Gaffar menyatakan bahwa Kelemahan lain dari demokrasi adalah sulitnya mencapai
kesepakatan umum tentang penyelenggaraan negara. Akibatnya, dalam mekanisme demokrasi,
aturan hukum dan kebijakan lebih merupakan kehendak mayoritas [6]. Hal ini juga merupakan
konsekuensi dari demokrasi yang melihat suara rakyat dari sisi kuantitas.
C. NOMOKRASI (Nomocracy) SEBAGAI PENGAWAL DEMOKRASI DALAM SEBUAH
NEGARA
Nomokrasi adalah kekuasaan yang didasarkan pada norma atau hukum, nomokrasi
berkaitan erat dengan kedaulatan hukum, sehingga memiliki kedudukan yang tertinggi. Dalam
konsep nomokrasi, maka terdapat supremasi hukum, persamaan dalam bidang hukum dan
pemerintahan, dan berlaku asas legalitas dalam seluruh aspek kehidupan. [7] Dalam hal ini,
hukum lebih dilihat secara formal, yaitu dari sisi bentuknya sebagi produk yang mengikat
segenap warga negara. dengan demikian hukum dapat saja ditentukan oleh penguasa untuk

kepentingan kekuasaannya, namun belum tentu sesuai dengan prinsip keadilan masyarakat. Ide
utama nomokrasi ini menghasilkan suatu unsur yang utama yaitu supremasi konstitusi.
Konstitusi menjadi supreme karena diasumsikan sebagai wujud kesepakatan seluruh rakyat
bukan hanya kesepakatan minoritas rakyat.
Salah satu wujud dari nomokrasi yaitu dengan adanya kekuasaan kehakiman, yang salah
satu kewenangannya adalah melakukan pengujian terhadap undang-undang (Judicial Review)
yang ditetapkan oleh lembaga legislatif. Kewenangan tersebut dapat dilaksanakan oleh
Mahkamah Agung suatu negara ataupun oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tersendiri.
Judicial Review adalah mekanisme untuk menjamin sifat konstitusi yang supreme, sehingga
peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya harus sesuai dan tidak boleh
bertentangan dengan konstitusi. Dalam paham nomokrasi ini, terdapat pula kelemahan dalam

pelaksanaannya. Konsep nomokrasi berdasar pada keadilan normatif, sebab nomokrasi bermula
dari ide kaidah normatif. Kelemahan nomokasi dapat menimbulkan suatu titik penyelewengan
hukum, yaitu hanya dijadikan sebagai legitimasi kekuasaan dan sama sekali tidak memberikan
batasan. Menurut Wheare, dengan menempatkan konstitusi pada kedudukan yang tertinggi
(supreme) ada semacam jaminan bahwa [8] :
“konstitusi itu akan diperhatikan dan ditaati dan menjamin agar konstitusi tidak akan dirusak dan
diubah begitu saja secara sembarangan. Perubahannya harus dilakukan secara hikmat, penuh
kesungguhan dan pertimbangan yang mendalam. Agar maksud ini dapat dilaksanankan dengan

baik maka perubahannya pada umumnya mensyaratkan adanya proses dan prosedur yang khusus
atau istimewa”.
Dewasa ini, banyak muncul pendapat bahwa hukum perlu pembaharuan atau reformasi
dibidang hukum (Law reforms). Selama ini hukum lebih dominan diterapkan kepada kaum-kaum
yang lemah (hukum dalam arti sanksinya). Jika demikian, hukum hadir dalam kehidupan
masyarakat hanya sebagai pembeda. Istilah pembeda yang digunakan penulis disini adalah
bahwa dengan penerapan hukum seperti ini, secara tidak langsung hukum (sanksi) itu hadir
hanya mampan kepada kaum lemah sedangkan bagi mereka para penguasa yang dapat dikatakan
sebagai kaum yang kuat, hukum (sanksi) tidak mampan bagi mereka. Dahulu hukum dikenal
dengan jargon “Pisau yang tajam bermata dua”. Dimana pisau tersebut memiliki mata yang
menusuk ke bagian bawah dan bagian atas, artinya hukum dalam penegakkannya berlaku bagi
kaum lemah dan berlaku juga bagi kaum yang kuat dan tidak ada perbedaan, penerapan sanksi
hukum semua sama bagi masyarakat, baik itu masyarakat (kaum) lemah maupun masyarakat
(kaum) yang kuat. Tetapi, pada masa sekarang ini, amat disayangkan bahwa “Pisau yang tajam
bermata dua” ini salah satunya sudah tumpul dan tidak tajam lagi. Pisau yang menusuk untuk
bagian atas sudah tidak tajam lagi atau telah tumpul, sekarang hanya pisau yang menusuk ke
bawah yang semakin tajam. Artinya, penegakkan hukum dewasa ini telah berubah, yaitu
penerapannya hanya diprioritaskan terhadap masyarakat lemah sedangkan bagi mereka yang

kuat, penerapan hukum tidaklah mampan. Dengan ini, secara tidak langusng keberpihakkan

hukum terjadi, hukum hanya berpihak bagi mereka yang berkuasa. Hukum dan masyarakat
memang suatu hal yang tidak dapat di pisahkan. Oleh sebab itu hukum juga harus memberi
dampak yang baik dalam keberlakuannya di masyarakat.
Bertolak dari pemikiran mengenai nomokrasi, maka sudah seharusnya hukum sebagai
supreme harus memenuhi hal-hal yang berdampak postif terhadap keberlakuannya dalam
masyarakat. Kedaulatan hukum tidak terlepas dukungannya dari masyarakat yang memiliki
peran yang sangat penting dalam penegakkan hukum. Kalau kita berbicara tentang hukum pada
umumnya yang dimaksudkan adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah
dalam suatu kehidupan bersama : keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam
suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. [9].
Sebuah konsekuensi logis dalam kedaulatan hukum bahwa hak dan kewajiban haruslah
diformulasikan dalam suatu aturan hukum. Paham kedaulatan hukum memang memberi
kedudukan hukum dalam peringkat teratas, tetapi apabila paham kedaulatan hukum ini tidak
diselingi dengan ke munculan hak dan kewajiban, maka akan memunculkan kekuasaan tak
terbatas dari hukum sendiri yang memicu timbulnya kesewenang-wenangan. Hukum harus
dibedakan dari hak dan kewajiban, yang timbul kalau peristiwa yang konkrit. Tetapi keduaduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.[10]
Pembahasan mengenai nomokrasi tidak terlepas dari sebuah kekuasaan. Membahas
kekuasaan tentunya identik dengan Penguasa karena tanpa penguasa atau orang yang berkuasa
ide tentang kekuasaan tidak akan ada. Dalam paham nomokrasi yang berkuasa adalah hukum.
Dalam hal ini hukum berada dibawah kekuasaan penguasa, sebab logikanya hukum tidak akan

berjalan tanpa ada yang menjalankannya. Jika ditarik dalam sebuah negara maka paham
nomokrasi merupakan kedaulatan hukum yang dimana pengelolaan negara dijalankan menurut

hukum-hukum yang berlaku. Dalam sebuah negara tentunya terdapat sebuah pemerintahan yang
dijalankan oleh para pemerintah. Peran kedaulatan hukum dalam hal ini sebagai pondasi bagi
para pemerintah untuk menjalankan sebuah pemerintahan.
Apabila pemerintah bertindak tidak sesuai dengan hukum yang berlaku, maka negara
tersebut tidak mencerminkan paham nomokrasi atau kedaulatan hukum. penyelewengan
kekuasaan kerap kali terjadi, hal ini bukan lagi perbincangan yang baru. Kita dapat mengambil
contoh para pemerintah . Dalam konstitusi (UUD’45) telah memuat suatu ketentuan bahwa
“Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat 3)”. Sebagai negara hukum, tentunya Indonesia
juga menganut paham nomokrasi. Suatu konsekuensi logis bahwa negara Indonesia harus
menjunjung tinggi hukum. Namun, jika kita bandingkan dengan kenyataan yang terjadi sangatlah
berbeda. Hukum tidak lah lebih sebagai huruf mati tanpa makna dalam penerapanya, para
pemerintah dan jajaran penegak hukum lainnya justru menempatkan hukum di posisi yang paling
terakhir, yang di utamakan oleh mereka adalah kepentingan pribadi, politik dan lain sebagainya.
Dengan melihat kejadian ini, muncul pertanyaan apakah negara ini masih layak disebut sebagai
negara hukum yang konsekuensinya juga berkedaulatan hukum?. Hukum sebagai pengaturan
perbuatan-perbuatan manusia oleh kekuasaan dikatakan sah bukan hanya dalam keputusan
(peraturan-peraturan yang dirumuskan) melainkan juga dalam pelaksanaannya sesuai dengan
hukum harus sesuai dengan hukum kodrati. Dengan kata lain hukum harus sesuai dengan
ideologi bangsa skaligus pengayom rakyat.[11]
Bagian Ke – II :
PEMIKIRAN TENTANG
NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS
Pemikiran atau konsepsi negara hukum lahir dan berkembang dari situasi kesejarahan.
Oleh karena itu, meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep yang universal, tetapi
pada tataran implementasinya ternyata memiliki karakteristik yang beragam. Dalam sejarah

perkembangan negara hukum, dikenal dua bentuk Konsep negara hukum, yaitu negara hukum
Rechtsstaat dan konsep Negara Hukum Rule Of Law. Negara Hukum dengan konsep Rechtsstaat
ini juga dianut oleh negara-negara Eropa-Kontinental. Ide Negara Hukum Rechtsstaat
dikembangkan oleh seorang ahli hukum yang bernama Friederich Julius Sthal yang mengilhami
pemikiran Immanuel Kant. Menurut Sthal, unsur-unsur yang terdapat dalam Negara Hukum
(Rechtsstaat) adalah sebagai berikut :[12]
a.
b.
c.
d.

Perlindungan Hak Asasi Manusia
Pemisahan Kekuasaan atau Pembagaian Kekuasaan untuk menjamin Hak-hak itu
Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan
Peradilan administrasi dalam Perselisihan
Adapun A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam Negara Hukum yang disebut
dengan Istilah Rule Of Law, yaitu :[13]

a. Supremacy of law
b. Equality before the law
c. Due Process of law
Sementara itu, Konsep Rechtsstaat bertumpu kepada sistem hukum continental yang
disebut Civil law, sedangkan Konsep The rule of law berdasarkan sistem hukum Common law.
Karakteristik Civil law adalah Adminsitratif, sedangkan Common law adalah Judicial. Perbedaan
karakteristik ini terjadi karena latar belakang kerajaan. Dengan demikian, kalau di Eropa daratan
bertambah besar peran administrasi negara, sedangkan di negara-negara Anglo Saxon peran
peradilan dan para hakimlah yang semakin menonjol. Berdasarkan latar belakang tersebut, kalau
di Eropa Kontinental dipikirkan langkah-langkah untuk membatasi kekuasaan kekuasaan
Administrasi Negara, sedangkan di negara-negara Anglo Saxon dipikirkan langkah-langkah
untuk mewujudkan peradilan yang adil dan penahanan yang tidak sewenang-wenang [14]. Selain
hal yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam Konsep Rechtsstaat terdapat pula asas-asas
demokratis yang melandasinya, sebagaimana dikembangkan oleh Couwenberg, meliputi :[15]
- Asas hak-hak Politik
- Asas Mayoritas

- Asas Pertanggungjawaban
- Asas Perwakilan
- Asas Publik
Keempat prinsip Negara Hukum, baik itu Rechtsstaat yang dikembangkan oleh Julius Sthal
diatas, kemudian prinsip Negara Hukum Rule of law, yang dikembangkan oleh A.V. Dicey
digabungkan untuk menandai ciri Negara Hukum modern dijaman sekarang. Bahkan oleh The
International Commission of Jurists, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan
Prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (Independence and Impartiality of Judiciary) yang
pada jaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi.
Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut The International
Commission of Jurists itu adalah sebagai berikut :[16]
1. Negara harus tunduk pada hukum
2. Pemerintahan menghormati hak-hak individu
3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak
Menurut Jimly Asshiddiqie, merumuskan dua belas pokok negara hukum yang berlaku
dijaman sekarang. Kedua belas prinsip pokok negara hukum merupakan pilar-pilar utama yang
menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum
(The rule of law maupun Rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya. Kedua belas prinsip tersebut
ialah sebagai berikut :[17]
1. Supremasi Hukum (Supremacy of law)
2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the law)
3. Asas Legalitas (Due process of law)
4. Pembatasan Kekuasaan
5. Organ-organ Eksekutif Independen
6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak
7. Peradilan Tata Usaha Negara
8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court)
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia

10. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat)
11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Walfare Rechtsstaat)
12. Transparansi Kontrol Sosial
13. Berketuhanan Yang Maha Esa
Setiap Negara Hukum, baik dalam konsep Rechtsstaat maupun Rule of law, pada
prinsipnya sama dan kedua konsep negara Hukum ini juga menjunjung tinggi Hak Asasi
Manusia. Sebuah negara tanpa rakyat bukanlah Negara dan Negara tanpa Hukum juga bukanlah
Negara. dari ungkapan ini, tentunya memunculkan suatu pertanyaan mendasar yaitu manakah
yang menjadi prioritas? Rakyat atau Hukum?. Pertanyaan ini mengingatkan kita dengan
perdebatan yang telah muncul seiring perkembangan Negara. perdebatan dalam sejarah
perkembangan hukum dalam sebuah Negara telah melalui sejarah yang sangat panjang.
Kemunculan perdebatan-perdebatan ini di ilhami oleh sudut pandang yang berbeda dalam
menilai kegunaan atau keberlakuan hukum dalam Negara. Dari sudut pandang yang bebeda
tersebut, kemudian melahirkan beberapa Paham yang kemudian dianut dan juga saling
mempertentangkan paham antar satu sama lain. Positivisme merupakan salah satu paham yang
mempengaruhi perkembangan Hukum dari masa lampau sampai saat ini. aliran ini
mengidentikan hukum dengan Undang-Undang. Tidak ada hukum diluar undang-undang, satusatunya sumber hukum adalah undang-undang. Perkembangan positivisme hukum ini di ilhami
oleh pemikiran John Austin. Pandangan Austin terhadap hukum ialah bahwa hukum merupakan
perintah dari penguasa, dalam arti bahwa perintah dari mereka yang memegang kekuasaan
tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan.
Selanjutnya Austin berkata bahwa hukum adalah perintah yang dibebankan untuk
mengatur makhluk berpikir, perintah mana dilakukan oleh makhluk berpikir yang memegang dan
mempunyai kekuasaan [18]. Inti dari pemikiran Austin terhadap hukum jika disimpulkan berarti

bahwa ia memandang hukum itu dari sudut aturan yang telah disusun dalam suatu produk hukum
berupa undang-undang (Hukum positif). Selain pemikiran Positivisme, terdapat pula pemikiran
lain yang mengilhami perkembangan hukum, yaitu Pemahaman terhadap Sejarah atau Aliran
Sejarah. Pemikiran ini di ilhami oleh Von Savigny, pandangannya berpangkal kepada bahwa
didunia ini terdapat bermacam-macam bangsa yang pada tiap-tiap bangsa mempunyai suatu
Volgeist (Jiwa rakyat).[19]
Pemikiran Von Savigny ini merupakan reaksi atas Pemikiran Thibaut yang menyatakan
perlunya Kodifikasi. Menurut Von Savigny, kodifikasi hukum selalu membawa serta efek
negatif, yakni menghambat perkembangan hukum. Sejarah berkembang terus tetapi Hukum
sudah ditetapkan [20]. Hukum menurut pendapat Savigny, berkembang dari suatu masyarakat
yang sederhana yang pencerminannya Nampak dalam tingkah laku semua individu kepada
masyarakat yang modern dan kompleks dimana kesadaran hukum rakyat itu Nampak pada apa
yang diucapkan oleh para akhli hukumnya.[21]
A. Peran Lembaga Negara Untuk Mencapai suatu Negara Hukum yang Demokratis
Uraian perkembangan pemikiran yang pada akhirnya melahirkan suatu pemikiran
mengenai gagasan negara hukum yang demokratis. Pada dasarnya seperti yang diajarkan oleh
Rousseau, manusia itu dilahirkan sebagai makhluk yang baik, walaupun didalam pergaulan
hidupnya mengalami pertentangan kepentingan satu sama lain. Akibat pertentangan kepentingan
itu, pelanggaran-pelanggaran hak setiap individu, termasuk yang mereka bawa sejak lahir, sering
terjadi. Untuk mengatasinya, perlu diadakan suatu perjanjian masyarakat, mendirikan negara dan
menunjukan siapa yang memegang kekuasaan untuk mengatur tata tertib diatara anggota
masyarakat itu. Ajaran Rousseau ini menghasilkan teori kedaulatan rakyat yang merupakan
landasan bagi pemerintah demokrasi. Lain halnya dengan Thomas Hobbes yang mengemukakan

bahwa manusia itu pada hakikatnya egois, sehingga didalam masyarakatnya mereka itu menjadi
binatang buas terhadap manusia lainnya. Untuk menyelamatkan hidup dan kepentingannya,
mereka berlindung pada serigala besar yang disebut leviathan.
Berdasarkan ajaran Thomas Hobbes, timbullah pemerintahan yang Absolut. Adapun
pendapat John Locke yang menitikberatkan ajarannya pada anggapan bahwa manusia itu
merupakan makhluk yang berakal, Homo sapiens. Untuk melindungi kepentingan-kepentingan
mereka, manusia itu membentuk suatu Body politc, dimana setiap individu menyerahkan
kekuasaannya kepada kolektivitas yang pada gilirannya melindungi dan menjujung tinggi
peraturan-peraturan yang dibuat. Ajaran Locke membawa kita kepada pemerintahan yang
Konstitusional [22]. Gagasan Hobbes dan Locke menandai transisi dari dukungan terhadap
negara Absolut kepada perjuangan Liberalisme melawan Tirani. Gagasan kedua tokoh inilah
yang kemudian dilanjutkan dan menjadi acuan bagi pemikir-pemikir berikutnya. Selanjutnya,
teori tentang pemisahan dan pembatasan kekuasaan (Separation of power) dari Locke dan
Montesquieu, banyak mewarnai konsepsi negara hukum modern.
Sebelumnya, Jhon Locke membagi tiga kekuasaan negara dalam tiga fungsi, tetapi berbeda
isinya. Menurut Jhon Locke, fungsi-fungsi kekuasaan negara itu meliputi :[23]
1) Fungsi Legislatif
2) Fungsi Eksekutif
3) Fungsi Federatif
Dalam bidang legislatif dan eksekutif pendapat Locke dan Montesquieu sama, namun dalam
bidang yang ketiga pendapat kedua ahli ini berbeda. Sebab dalam rumusan Montesquieu fungsi
ketiga adalah fungsi Yudisial. Menurutnya, dalam sebuah negara fungsi Yudisial yang merupakan
kekuasaan kehakimanlah yang harus dikuatkan. Sedangkan menurut Locke, dengan adanya
fungsi federatif ini merupakan penjelmaan dari fungsi defincie baru timbul apabila diplomacie
terbukti gagal. Sedangkan fungsi Yudisial bagi Locke cukup dimasukan dalam kategori

Eksekutif, yaitu terkait dengan fungsi Pelaksanaan Hukum. Dari uraian diatas, terlihat jelas
bahwa dalam suatu Negara Hukum yang Demokratis, peran serta lembaga negara dan bentuk
lembaga negara sangat berpengaruh dalam mewujudkan esensi dari sebuah negara hukum
demokratis.
B. Pengaruh Konstitusi dalam Mewujudkan Negara Hukum Demokratis
Konstitusi merupakan suatu naskah dasar suatu negara yang menjadi hukum tertinggi. Pada
masa peralihan feodal monarki atau oligarki dengan kekuasaan mutlak penguasa hingga akhirnya
ke negara nasional demokrasi, konstitusi berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat
dengan penguasa yang kemudian secara berangsur-angsur mempunyai fungsi sebagai alat rakyat
dalam perjuangan kekuasaan melawan golongan penguasa.
Perkembangan Negara sangat mempengaruhi keberadaan Konstitusi sebagai Nasakah dasar
atau Aturan dasar tertinggi dalam sebuah negara. Dalam sejarah perkembangan negara-negara di
wilayah Barat, Konstitusi dimaksudkan untuk menentukan batas wewenang penguasa, menjamin
hak rakyat, dan mengatur jalannya pemerintahan. Kemudian, dengan kebangkitan paham
kebangasaan sebagai kekuatan Pemersatu, serta dengan kelahiran Demokrasi sebagai paham
politik yang progresif dan militant, konstitusi menjamin alat rakyat untuk mengatur kehidupan
bersama dan untuk mencapai cita-citanya dalam bentuk negara. berkaitan dengan itu, konstitusi
dijaman modern tidak hanya memuat aturan-aturan hukum, tetapi juga merumuskan atau
menyimpulkan prinsip-prinsip hukum, haluan negara, dan patokan kebijaksanaan, yang
kesemuanya mengikat penguasa.[24]
Keberadaan konstitusi dalam negara, juga melambangkan bahwa negara tersebut menganut
paham Nomokrasi. Sebagaimana diketahui bahwa Nomokrasi merupakan paham kedaulatan
hukum, artinya konstitusi yang juga sebagai naskah dasar hukum suatu negara telah

mengisyaratkan hal demikian. Selain hal itu, perlu juga diketahui bahwa negara yang
mendeklarasikan dirinya sebagai negara yang berpaham demokrasi (kedaulatan rakyat) pada
prinsipnya dalam konstutusinya juga harus mencerminkan ide demokrasi.
Janedjri M. Gaffar mengemukakan bahwa apabila demokrasi dan nomokrasi dianut
bersama-sama dalam suatu negara, keduanya akan melahirkan konsep negara hukum yang
demokratis. Dari sisi pemahaman kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi dalam suatu negara
berada ditangan rakyat. Kekuasaan tertinggi ditangan rakyat itu dibatasi oleh kesepakatan yang
mereka tentukan sendiri secara bersama-sama, yang dituangkan dalam aturan hukum, yang
berpuncak pada rumusan Konstitusi, sebagai produk kesepakatan tertinggi dari seluruh rakyat.
[25] Sebagai produk kesepakatan, maka Konstitusi juga dapat diubah.
Menurut Mahfud MD, ini wajar saja sebab konstitusi adalah kesepakatan politik yang
harus ditetapkan dari berbagai pilihan yang berdasar perspektifnya sendiri sama-sama baik dan
rasional [26]. Harus diingat bahwa tidak ada di dunia ini Konstitusi yang sempurna dan dapat
disetujui selruh isinya oleh semua orang. Di dalam negara demokrasi, perbedaan dan kontroversi
adalah keniscayaan, sekurang-kurangnya hampir dapat dipastikan adanya pandangan yang
berbeda, namun memang dari perbedaan-perbedaan itulah Demokrasi menjadi penyaring untuk
mencapai resultante mealui prosedur hukum yang sah.[27]
Sebuah negara yang menganut Paham demokrasi, maka konsekuensi yang harus lahir
dalam konstitusinya pun harus menuangkan atau mencirikan paham demokrasi tersebut.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pada dasarnya konstitusi merupakan Resultante
(Kesepakatan) antara rakyat dengan para penguasa di dalam negara, dengan demikian telah jelas
bahwa kesepakatan yang dari rakyat kepada pemerintah haruslah memuat aspirasi dari rakyat itu
sendiri. Konstitusi dapatlah dikatakan juga sebagai Produk politik, sebab dari kesepakatan antara

rakyat dengan pemerintah tersebut, maka dituangkanlah suara kesepakatan itu didalam suatu
naskah yang menjadi dasar dan tonggak berdirinya Hukum dalam sebuah Negara. Selain itu, jika
dikaji dari ajaran Hans Kelsen maka Konstitusi merupakan Norma dasar Negara
(Staatfundamental noorm).

Bagian Ke – III :
NEGARA HUKUM DEMOKRATIS & HAK ASASI MANUSIA
Pengakuan, Penghormatan dan Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia merupakan
salah satu prinsip fundamental dalam negara hukum. paham atau konsepsi negara hukum yang
dikemukakan oleh para ahli selalu menempatkan posisi kepada Hak Asasi Manusia sebagai salah
satu prinsip utama dalam Negara Hukum. Eksistensi negara hukum berkaitan erat dengan
perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi. Ketika suatu negara
mengklaim dirinya sebagai negara hukum, maka pada saat yang sama, negara tersebut harus
memprakarsai demokrasi dengan pilar-pilar penyanggahnya, termasuk perlindungan HAM. Hal
ini yang kemudian melahirkan istilah “Negara Hukum Demokratis”.[28]
Negara merupakan tempat berdiamnya warganya serta tumbuh dan berkembang di dalam
negara tersebut. Sudah semestinya negara yang dapat di ibaratkan sebagai sebuah rumah harus
melindungi penghuninya dari segala ancaman yang dapat membahayakan para penghuninya.
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak yang dimiliki manusia berdasarkan martabatnya
sebagai manusia dan bukan karena pemberian masyarakat atau negara. HAM ada dan melekat
pada setiap diri manusia sejak ia di lahirkan di dunia ini dan harus di lindungi oleh Negara.
Mengingat sejarah perkembangan HAM dalam sebuah Negara, membawa kita dalam
sebuah perjanjian antara rakyat dengan penguasa Negara yang dikenal dengan istilah Teori
Kontrak Sosial, di prakarsai oleh Locke dan para ahli lainnya. John Locke beranggapan

berargumen bahwa untuk menghindari ketidak pastian hidup dalam alam ini, maka warga
masyarakat menyepakati suatu kontrak sosial dengan penguasa negara. Melalui kontrak sosial
tersebut, warga masyarakat “menyerahkan” hak-hak mereka yang tidak dapat dicabut kepada
penguasa Negara [29].
Namun perlu juga diketahui bahwa Hak asasi manusia (Human Rights) berbeda dengan
Hak warga negara (Citizen’s Rights). Dalam Hal ini Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa :[30]
“….Namun, tidak semua constitutional rights itu identik dengan human rights, karena ada juga
hak-hak konstitusional warga negara (the citizen’s constitutional rights) yang bukan atau tidak
termasuk dalam pengertian hak asasi manusia (human rights). Misalnya, hak setiap warga negara
dalam menduduki jabatan dalam pemerintahan adalah the citizen’s constitutional rights, tetapi
tidak berlaku bagi setiap orang yang bukan warga negara. Karena itu, tidak semua the citizen’s
rights adalah the human rights, tetapi dapat dikatakan bahwa semua the human rights adalah the
citizen’s rights.”
Jimly Asshiddiqie juga mengklasifikasi Hak warga negara dalam dua pengertian, yang
Pertama dalam pengertian Hak Konstitusional (Legal Rights) yakni Hak yang dijamin dalam dan
oleh UUD’45 (Konstitusi), dan yang Kedua dalam pengertian Hak Hukum (Legal Rights), ialah
timbul berdasarkan jaminan undang-undang dan peraturan perundang-undangan dibawahnya
(Subordinate Legislations) [31]. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa HAM dalam
pengertian Hak konstitusional (Constitutional Rights) adalah hak warga negara yang tetuang
dalam sebuah konstitusi negara sebagai naskah dasar negara tersebut, sedangkan dalam
pengertian Hak Hukum (Legal Rights) adalah hak warga yang telah diperinci dalam undangundang yang berada dibawah Undang-undang dasar (Konstitusi) atau dalam peraturan
perundang-undangan.
Suatu konsekuensi logis bahwa negara harus menjamin hak asasi manusia sebagai prakarsa
demokrasi (Kedaulatan rakyat), sebab negara berdiri karena manusia yang tergolong dalam satu
kelompok yakni masyarakat dan manusia juga yang menjadi penguasa atas negara tersebut. Oleh

karena itu, kekuasaan negara diperoleh bukan dari status sosial kebangsawanan ataupun dari
tuhan, melainkan dari manusia yang membentuk negara.
Agar negara betul-betul bertujuan untuk melindungi HAM, pemerintahan negara harus
dibentuk oleh rakyat. Sehingga pemegang kekuasaan negara pafa hakikatnya hanyalah wakil
rakyat, yang melaksanakan kekuasaan semata-mata untuk menjalankan amanat rakyat. Dalam
negara demokratis, HAM menjadi tujuan yang utama. Sebab, demokrasi pada hakikatnya adalah
dari, oleh dan untuk rakyat, maupun sebagai mekanisme pembentukan pemerintahan hanya dapat
terwujud jika ada jaminan perlindungan dan pemenuhan HAM. Untuk menjalankan demokrasi,
sudah pasti harus ada jaminan kebebasan berkeyakinan, kebebasan berpendapat, dan kebebasan
berserikat. Jaminan atas hak dan kebebasan semakin berkembang seiring dengan perkembangan
demokrasi itu sendiri.[32]

KESIMPULAN :
Dari semua penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa demokrasi yang berslogan dari,
oleh dan untuk rakyat yang diaplikasikan dalam sebuah negara baik itu melalui pemerintahan
yang secara langsung melibatkan rakyat maupun dalam penyelenggaraan hak asasi manusia
dalam bentuk apapun misalnya kebebasan bergerak, berpendapat dan lain sebagainya, harus pula
dibarengi dengan ketentuan hukum. Sebab, demokrasi dan nomokrasi harus berjalan bersamasama dalam sebuah negara untuk mewujudkan cita negara hukum yang demokratis sesuai
harapan dari rakyat itu sendiri. Kemudian, sebagai negara hukum yang demokratis, negara
tersebut melalui konstitusinya harus juga memuat ketentuan mengenai Hak asasi manusia, karena
jika negara tersebut mengatakan bahwa ia adalah negara hukum yang demokratis, maka dapat
diketahui dalam isi konstitusinya.

DAFTAR PUSTAKA

Dahlan Thalib, Jazim Hamidi & Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, cetakan ke-9.
Jakarta : RajaGrafindo Persada, maret 2011.
Jadnedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional, praktik ketatanegaraan Indonesia setelah
perubahan UUD 1945, cetakan I. Jakarta : Konpress, Oktober 2012
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta Timur : Sinar Grafika
Offset, Mei
2010.
______________, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada,
2010.
______________, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca Reformasi. Jakarta : PT.
Bhuana Ilmu Populer, 2007.
Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia, dari Proklamasi Hingga Reformasi. Jakarta : PT.
Grafitri Budi Utami, 2007.
Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan-Hukum Materiil dalam Hukum Pidana
Indonesia. Bandung : PT. Alumni, 2013.
Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum. Bandung : Alumni, 1985
Mahfud MD, Konstiusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada,
2009.
Sudikno Martokusumo, Mengenal Hukum (suatu Pengantar), Edisi Ketiga,Yogyakarta : Liberty,
1991.

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara. Jakarta : Rajawali Pers, 2011.
Walter Wanggur, Hak Asasi Manusia, Bahan Materi Perkuliahan Hak Asasi Manusia semester
VI. Bandung : Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 2011.
JURNAL/Website Internet :
Lasiyo, Jurnal : demokrasi versus nomokrasi dalam kehidupan nasional.

Google:

www.kemdikbud.go.id. (Tanpa tahun).

[1] Walter Wanggur, Bahan Materi Perkuliahan Hak Asasi Manusia semester VI. Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 2011. Hlm, 6.
[2]Jadnedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional, praktik ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan UUD 1945, cetakan I.
Jakarta : Konpress, Oktober 2012. Hlm 4-5.
[3] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta Timur : Sinar Grafika Offset, Mei 2010. Hlm 58.
[4] Ibid. Hlm, 59.
[5] Ibid.
[6] Janedjri M. Gaffar, Loc.Cit.,Hlm, 5.
[7] Lasiyo, Jurnal : demokrasi versus nomokrasi dalam kehidupan nasional. Google: www.kemdikbud.go.id. (Tanpa tahun). Hlm,
8.
[8] Dahlan Thalib, Jazim Hamidi & Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, cetakan ke-9. Jakarta : RajaGrafindo Persada,
maret 2011. Hlm., 62.
[9] Sudikno Martokusumo, Mengenal Hukum (suatu Pengantar), Edisi Ketiga,Yogyakarta : Liberty, 1991. Hlm, 38.
[10] Ibid,. Hlm, 39
[11] Dahlan Thalib, Jazim Hamidi & Ni’matul Huda, Op.Cit., Hlm., 72.
Tulisan dibuku ini mengutip pendapat dari A. Gunawan Setiardja dalam bukunya berjudul Dialektika Hukum dan Moral Dalam
Pembangunan Masayakat Indonesia. diterbitkan oleh : Kanisius, di Yogyakarta pada tahun 1990. Hlm 113.
[12] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara. Jakarta : Rajawali Pers, 2011. Hlm, 3.
[13] Jimly Asshiddiqie…, Op. Cit., Hlm, 126.
[14] Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia, dari Proklamasi Hingga Reformasi. Jakarta : PT. Grafitri Budi Utami, 2007.
Hlm, 22.
[15] Ibid… Hlm, 24.
[16] Jimly Asshiddiqie,…., Loc.Cit.
[17] Ibid., Hlm, 127-134.
[18] Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum. Bandung : Alumni, 1985. Hlm, 40.
[19] Ibid, Hlm 46.
[20] Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan-Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia. Bandung : PT.
Alumni, 2013. Hlm, 13.
[21] Lili Rassjidi, Loc.Cit.
[22] Krisna Harahap,….., Op.Cit. Hlm 25.
[23] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2010. Hlm, 283.
[24] Dahlan Thalib, …………., Op.Cit. Hlm, 17.
[25] Janedjri M. Gaffar,…… Op.Cit. Hlm, 6.
[26] Mahfud MD, Konstiusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2009. Hlm, 114.
[27] Ibid.., Hlm, 115.
Catatan : Istilah Resultante di kutip oleh Mahfud MD dalam bukunya K.C. Wheare yang berjudul The Modern Constitution
(London- New York- Toronto : Oxford University Press, 3rd Impression, 1975), Hlm 67.
[28] Walter Wanggur, …Op.Cit. Hlm, 9.
[29] Ibid.., Hlm, 5.

[30] Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca Reformasi. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007.
Hlm, 616.
[31] Ibid… Hlm, 617.
[32] Janedjri M. Gaffar,…… Op.Cit., Hlm, 31.