PERBANDINGAN PEDOMAN WHO DENGUE 1997 200

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK RSHS/FKUP
Sari Kepustakaan
:
/Mei 2012
Oleh
: Herdiana
Subdivisi
: Infeksi dan penyakit Tropis
Pembimbing
: Prof. H. Azhali M.S., dr., SpA(K)
Prof. H. Herry Garna, dr., SpA(K), Ph.D.
Prof. H. Alex Chairulfatah, dr., SpA(K)
H. Djatnika Setiabudi, dr., SpA(K), MCTM
Anggraini Alam dr. SpA(K)
PERBANDINGAN ANTARA PANDUAN DENGUE WHO 1997, 2009 DAN 2011
PENDAHULUAN
Infeksi dengue merupakan infeksi arthtopode-borne virus yang paling penting pada manusia.
Beban global infeksi dengue sangat besar, diperkirakan 50 juta infeksi terjadi per tahun di negara
endemis, sekitar 2,5 miliar orang berisiko terkena infeksi karena tinggal di daerah endemis
dengue, dan diperkirakan angka ini semakin meningkat dengan adanya transmisi penyebaran ke
wilayah regional yang bertetanggaan.1-3 Dengue Fever (DF) dan Dengue Hemorrhagic Fever

(DHF) merupakan endemi pada lebih dari 100 negara di Afrika, Amerika, Mediterania Timur,
Asia Tenggara, dan Pasifik Barat. Epidemi dengue semakin sering dilaporkan. Sekitar lima ratus
ribu orang dirawat karena DHF setiap tahunnya, sekitar 90% merupakan anak-anak berusia di
bawah lima tahun, dan 2,5% meninggal dunia.3
Sejak awal tahun 1970-an, WHO secara aktif telah terlibat dalam pengembangan dan
peningkatan strategi tatalaksana dan kontrol dengue.1 WHO telah mempublikasikan panduan
diagnosis dan tatalaksana dengue pada tahun 1997, kemudian diperbarui pada tahun 2009. WHO
kantor regional Asia Tenggara mempublikasikan panduan komprehensif pencegahan dan kontrol
DF dan DHF pada tahun 2011.1-3
Deteksi dini dan tata laksana infeksi dengue, terutama pada kasus berat untuk mencegah
kematian.4 Kematian akibat komplikasi dengue sebanyak 20%, jika dikenali sejak awal dan
ditatalaksana dengan tepat, kematian kurang dari 1%, sehingga akan sangat berguna jika tanda,
gejala, dan parameter laboratoris yang berhubungan dengan komplikasi dikenali dan
mendapatkan perhatian lebih. Rekomendasi diagnosis dan tata laksana WHO mengalami
perkembangan dalam memenuhi kebutuhan diagnosis dan tata laksana yang tepat. Pada sari
pustaka ini akan dibahas perbandingan ketiga panduan dengue WHO.
SEJARAH KLASIFIKASI DAN PANDUAN DENGUE WHO
Klasifikasi dengue WHO pertama kali diformulasikan oleh Technical Advisory Comittee pada
pertemuan di Manila tahun 1974 berdasarkan penelitian pendahuluan di rumah sakit anak
1


Bangkok, Thailand tahun 1960. Klasifikasi ini dipublikasikan oleh WHO pusat pada tahun 1980,
1986, 1997 dan juga oleh WHO regional (WHO 1993, 1995a, 1995b, 1998, 1999; Pan American
Health Organisation 1994).1, 5
Seiring dengan penyebaran dengue di seluruh dunia, sejumlah penelitian menunjukkan
bahwa klasifikasi penyakit ini menjadi Dengue Fever (DF), Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)
derajat I dan II, dan Dengue Shock Syndrome (DHF derajat III dan IV) tidak dapat dipakai secara
universal dalam tata laksana klinis.4-8 Pada tahun 2006, WHO Dengue Scientific Working Group
merekomendasikan riset dalam mengoptimalkan tata laksana klinis, terutama dalam
pengembangan dan validasi diagnosis dengue dan analisis metode baru dan panduan triase dan
perawatan penderita dengue.9 Sebuah penelitian multisenter yang dilakukan pada 13 negara
tahun 2009 mengindikasikan kebutuhan akan evaluasi dan standarisasi panduan klinis dengue,
terutama klasifikasi kasus dengue dalam kategori tidak berat dan berat serta tata laksananya.10
Pertemuan para ahli dunia pada September 2008 di Jenewa merekomendasikan revisi
klasifikasi kasus dalam Pedoman diagnosis, tata laksana, pencegahan dan kontrol dengue WHO
2009 menjadi dengue, dengue dengan tanda bahaya (warning sign), dan dengue berat (severe
dengue). Pedoman ini ditulis oleh tim yang terdiri dari sejumlah peneliti, konsultan penelitian,
dan ahli epidemiologi.2
Pada tahun 2008, WHO regio Asia Tenggara dan Pasifik Barat mengembangkan Asia
Pacific Dengue Srategic Plan (2008-2015) biregional untuk menahan kenaikan kejadian dengue

di kedua negara ini. Pedoman komprehensif pencegahan dan kontrol Dengue dan DHF tahun
2011 berfokus pada relevansi terkini negara anggota regio Asia Tenggara. Draft pedoman ini
dibuat dan ditelaah oleh para ahli dengue se-Asia Tenggara di Bangkok, Thailand.3
PERBANDINGAN KLASIFIKASI KASUS DENGUE
Panduan Dengue WHO 1997
Klasifikasi kasus dengue 1997 memasukkan dua pokok utama yaitu DF dan DHF/DSS.
Klasifikasi ini terutama berdasarkan pengalaman dengan populasi anak di Asia Tenggara. 11
Diagnosis DHF ditegakkan jika memenuhi empat kriteria (tabel1). Definisi kasus DHF sangat
kaku. Pada penderita dimana semua kriteria tidak dapat ditemukan, manifestasi penyakit berat
seringkali salah diklasifikasikan menjadi DF.

6, 7, 12, 13

dalam memenuhi kriteria klasifikasi DHF.6-8,

13

Kebanyakan penulis melaporkan kesulitan

Klasifikasi DHF/DSS mengeksklusi penyakit


dengue berat yang berhubungan dengan perdarahan yang tidak biasa atau unusual manifestation.4

2

Pada klasifikasi 1997 ini jumlah trombosit dan hematokrit memainkan peranan penting
dalam penegakan diagnosis. Kriteria hemokonsentrasi sebagai salah satu bukti peningkatan
permeabilitas kapiler, sulit dipenuhi pada daerah yang tidak dapat melakukan pemeriksaan darah
rutin setiap hari, selain itu pemberian cairan intravena oleh dokter selama perjalanan penyakit
dapat mengubah kadar hematokrit.11 Hematokrit konvalesen dapat dipakai sebagai pengganti
hematokrit dasar untuk menunjukkan hemokonsentrasi, akan tetapi hal ini menimbulkan
kesulitan karena diagnosis DHF menjadi retrospektif. 5 Beberapa penelitian mengekstrapolasikan
hematokrit dasar populasi sehat daerah tersebut untuk mengidentifikasi hemokonsentrasi sejak
awal.6 Tidak semua negara memiliki data hematokrit populasi sehat sesuai usia, sehingga sulit
untuk menemukan hemokonsentrasi sejak awal.
Berbagai penelitian menunjukkan adanya kasus yang awalnya diklasifikasikan sebagai DF
karena tidak memenuhi kriteria DHF ternyata mengalami syok.6,

7, 14


Hal ini menujukkan

klasifikasi WHO 1997 tidak mampu mendeteksi kasus berat dengue. Srikiathachorn dkk 15
menguji klasifikasi WHO 1997 ini dan menemukan sensitivitas keempat kriteria kasus DHF
sebesar 62% dan spesifisitas sebesar 92%. Penelitian Narvaez dkk 11 menunjukkan sensitivitas
dan spesifisitas dalam mendeteksi kasus berat adalah sebesar 39% dan 75,5%. Setiati dkk
menemukan sensitivitas dalam mendeteksi penderita dengan syok sebesar 86%. Balmaseda dkk, 7
Bandyopadhyay dkk,5 dan Setiati dkk16 menekankan perlunya revisi sistem klasifikasi infeksi
dengue karena klasifikasi dengue WHO 1997 terlalu kaku, sangat tergantung pada hasil
laboratorium dan tidak memasukkan bentuk penyakit yang berat.17
Panduan Dengue WHO 2009
Pertemuan para ahli dunia pada klasifikasi dengue merekomendasikan klasifikasi kasus yang
telah direvisi menjadi dua yaitu dengue dan severe dengue, akan tetapi untuk alasan praktis maka
dibagi lagi kelompok penderita non-severe dengue menjadi dua subgrup yaitu dengan tanda
bahaya dan tanpa tanda bahaya (tabel 1). Pada klasifikasi baru ini penderita tanpa disertai tanda
bahayapun dapat menjadi severe dengue. Rekomendasi ini berdasarkan penelitian DENCO
(Dengue Control) dan pendapat para ahli untuk membedakan dengue dengan dan tanpa tanda
bahaya.17
Klasifikasi dengue 2009 ini mampu mendeteksi penderita dengan severe dengue. Gangguan
organ dimasukkan ke dalam severe dengue, sehingga unusual manifestation yang disebutkan

dalam klasifikasi dengue 1997 tidak terlewatkan. Kriteria keparahan dengue ini memiliki
3

sensitivitas sebesar 95% dan spesifisitas 97%. 17 Hal serupa didapatkan dari penelitian Narvaez
dkk yaitu sensitivitas sebesar 92% dan spesifisitas 78,5% dalam mendeteksi kasus berat. 11
Klasifikasi ini mudah diaplikasikan dalam praktek sehari-hari serta berguna dalam triase dan tata
laksana, serta tidak memerlukan evaluasi hasil laboratorium yang ekstensif untuk menyimpulkan
kondisi penderita12 dibandingkan dengan klasifikasi dengue 1997.
Kelemahan sistem klasifikasi ini adalah kelonggaran kriterianya, sehingga menyebabkan
overestimasi kasus berat dengue. Negara-negara endemis dengue akan mengalami peningkatan
rawat penderita terutama pada masa outbreak atau saat insidensi tinggi, sehingga dibutuhkan
banyak personel medis di tiap unit kesehatan dan biaya perawatan. Sebuah penelitian kohort
anak di Nikaragua selama tahun 2004─2008 persentase penderita yang dirujuk ke rumah sakit
pendidikan bervariasi antara 11% dan 36%, tetapi selama 2009 persentase kasus yang dirujuk
meningkat menjadi 83% setelah diimplementasikannya sistem klasifikasi dengue 2009.11
Istilah severe dengue dan dengue with warning sign memiliki definisi yang sangat luas
sehingga sulit menentukan patofisiologi penyakit ini. Sindrom spesifik kebocoran plasma yang
merupakan karakteristik fase kritis dengue menjadi hilang dalam klasifikasi dengue 2009.11
Panduan dengue WHO 2011
Pedoman dengue WHO 2011 dibuat dan ditelaah oleh para ahli dengue se-Asia Tenggara.

Pedoman ini berfokus pada relevansi terkini negara-negara di Asia Tenggara. Pedoman dengue
WHO 2011 memasukkan expanded dengue syndrome, isolated organopathy, dan unusual
manifestation ke dalam manifestasi simtomatik infeksi dengue. Pedoman WHO ingin
menekankan penting dan beratnya manifestasi ini pada penderita DHF dan DF. Manifestasi ini
bisa berhubungan dengan koinfeksi, komorbiditas atau komplikasi syok yang lama.3
Klasifikasi kasus dengue 2011 sama dengan pedoman dengue WHO 1997. Pada probable
diagnosis DF ditambahkan kriteria trombositopenia dan peningkatan hematokrit (5–10%).
Kriteria diagnosis DHF/DSS sama dengan kriteria diagnosis DHF/DSS pada pedoman WHO
1997, sehingga pemeriksaan hematokrit dan trombosit rutin tetap dibutuhkan dalam penegakan
diagnosis.
Pedoman ini juga menambahkan warning sign (tanda bahaya) yang harus diperhatikan pada
penderita-penderita dengue, yaitu:3
-

Tidak ada perbaikan atau adanya perburukan sebelum transisi dari fase afebris ke fase
febris seiring dengan perjalanan penyakit

-

Muntah persisten, tidak mau minum

4

-

Nyeri perut berat

-

Letargis dan/atau gelisah, perubahan tingkah laku tiba-tiba

-

Perdarahan: epistaksis, BAB hitam, hematemesis, menstruasi yang banyak, urin berwarna
DBD derajat I dengan peningkatan Ht > 20%

gelap (hemoglobinuria) atau hematuria

Cairan awal

-


Kaki dan tangan yang pucat, dingin dan lembab

-

Tidak ada atau sedikit urin selama 4–6 jam

RL/NaCl 0,9% atau RLD5/NaCl 0,9% + D5,
6-7 mL/kgbb/jam

Hepatomegali >2 cm yang
sebelumnya pada pedoman dengue WHO 2009 termasuk ke dalam
Monitor tanda vital/nilai Ht dan trombosit tiap 6 jam
warning sign, tidak lagi termasuk ke dalam warning sign pada
pedoman dengue WHO 2011
Tidak ada perbaikan
3
karena hepatomegali
Tidak gelisah tergantung pada pemeriksa. Sampai saat ini belum ada penelitian yang


Gelisah

Nadi kuat

membandingkan
antara
klasifikasi kasus dengue WHO 2009 dengan 2011.
Distres pernafasan
Tekanan
darah stabil
Diuresis cukup
(12 mL/kgbb/jam)
Ht turun
(2 kali pemeriksaan)
PERBANDINGAN
DIAGNOSIS

Pedoman Dengue WHO 1997

Frekuensi nadi naik

Ht tetap tinggi/naik
Tek. nadi < 20 mmHg
Diuresis kurang/tidak ada

LABORATORIS
Tanda vital memburuk
Ht meningkat

Tetesan dikurangi
5 ml/kg/jam

Tetesan dinaikkan
10-15 mL/kgbb/jam
Tetesan dinaikkan bertahap

PERBANDINGAN TATA LAKSANA

Perbaikan

Pedoman Dengue WHO 1997

Evaluasi 12-24 jam

Tidak semua penderita DHF harus dirawat, karena syok terjadi pada sepertiga kasus. Penurunan
Tanda vital tidak stabil

trombosit dengan kenaikan hematokrit merupakan indikator penting onset syok. Orang tua dan
Ht turunseperti lemah,
orang yang merawat harus mengetahui tanda perburukan,
tanda bahaya syok
Distres pernafasan
3 mL/kgbb

Ht naik

gelisah, nyeri perut akut, ekstremitas dingin, kulit pucat atau oliguria.
Transfusi darah segar 10 mL/kgbb
Pemberian
cairan
harian pada penderita DHF
IVFD stop pada
24-48 jam
Koloid derajat I dan II dapat menggunakan rumus
Bila tanda vital/Ht stabil

20-30 mL/kgbb

Diuresiscairan
cukup
kebutuhan
harian Holliday-Segar ditambahkan 5% dehidrasi. Cairan yang diberikan

adalah kristaloid. Kecepatan cairan dapat dilihat pada gambarPerbaikan
1 di bawah ini.
Gambar 1 Tatalaksana DBD Derajat II dengan Hemokonsentrasi > 20%4

5

DHF derajat III & IV

Oksigenasi (berikan O2 2-4 L/menit)
Penggantian volume plasma segera (cairan kristaloid isotonis)
Ringer laktat/NaCl 0,9% 20 mL/kgbb secepatnya (bolus dalam 30 menit)

Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi ?
Pantau tanda vital tiap 10 menit
Catat keseimbangan cairan selama pemberian cairan i.v.

Syok tidak teratasi

Syok teratasi
Kesadaran membaik
Nadi teraba kuat
Tekanan nadi > 20 mmHg
Tidak sesak nafas/sianosis
Ekstremitas hangat
Diuresis cukup 1 mL/kg/jam

Kesadaran menurun
Nadi lembut/tidak teraba
Tekanan nadi < 20 mmHg
Distres pernafasan/sianosis
Kulit dingin dan lembab
Ekstremitas dingin
Periksa kadar gula darah

Cairan dan tetesan disesuaikan
10 ml/kgbb/jam

Lanjutkan cairan
20 mL/kgbb/jam

Evaluasi ketat
Tanda vital
Tanda perdarahan
Diuresis
Hb, Ht, trombosit

Tambahkan koloid/plasma
Dekstran/FPP
10-20 (maks. 30) ml/kgbb/jam

Tata laksana DSS tampak pada gambar 2 di bawah ini
Stabil dalam 24 jam
Tetesan 5 mL/kgbb/jam

Koreksi asidosis
Evaluasi 1 jam

Syok belum teratasi
Syok teratasi

Tetesan 3 mL/kgbb/jam
Ht turun

Infus stop tidak melebihi 48 jam setelah syok terasi

Transfusi darah segar
10 mL/kgbb diulang sesuai kebutuhan

6
Gambar 2 Tatalaksana DBD Derajat III dan IV4

Ht tetap tinggi/naik
Koloid 20 mL/kgbb

Pedoman Dengue WHO 2009
Penderita dengue without warning sign dikelompokkan ke dalam grup A, yaitu yang dapat
dirawat di rumah dengan pemeriksaan darah setiap hari, orang tua diedukasi untuk perawatan di
rumah dan mengenali tanda bahaya.
Penderita dengue with warning sign dikelompokkan ke dalam grup B, yaitu yang perlu
dirujuk untuk perawatan di rumah sakit. Penderita yang mampu menoleransi cairan oral tidak

7

perlu diberikan cairan intravena. Cairan intravena biasanya dibutuhkan selama 24–48 jam.
Algoritma tata laksana penderita grup B tampak pada gambar 3.
Penderita severe dengue membutuhkan terapi dan rujukan segera. Tata laksana syok dibagi
menjadi syok terkompensasi dan syok hipotensif. Definisi syok terkompensasi adalah syok yang
ditandai dengan tekanan sistolik normal, tetapi perfusi berkurang. Algoritma tata laksana severe
dengue dapat dilihat pada gambar 4. Bolus cairan intravena pada syok hipotensif dapat dilakukan
sebanyak tiga kali jika syok belum teratasi. Pemberian cairan intravena dihentikan setelah 48
jam. Tata laksana pada perdarahan pasien severe dengue dengan transfusi darah dengan transfusi
PRC 5─10 ml/kg atau 10─20 ml/kg FWB.
Pedoman Dengue WHO 2011
Pedoman dengue WHO 2011 mencantumkan jalur triase pasien dengue, sehingga diharapkan
pasien tersangka dengue dapat dikenali dengan cermat dan perawatan lebih ketat. Hal ini penting
sangat berguna terutama pada keadaan epidemi, kondisi rumah sakit penuh dengan pasien
dengue.

8

Gambar 3 Tata laksana dengue with warning sign

9

Definisi kasus DF diklasifikasikan



Probable, penyakit febris akut dengan dua atau lebih manifestasi klinis:
-

Sakit kepala

-

Nyeri retro-orbital

-

Myalgia

-

Atralgia

-

Ruam

-

Menifestasi perdarahan

-

Lekopenia

Dan
-

Serologi mendukung (titer resiprokal antibodi Hemagglutination-inhibisi ≥1280), titer
IgG enzym-linked immunosorbent assay (ELISA) yang dapat dibandingkan atau tes
antibodi IgM positif pada fase akut lanjut atau konvalesen)

Atau
-

Adanya kasus dengue yang telah terkonfirmasi pada lokasi waktu yang sama.



Confirmed – kasus yang sudah terkonfirmasi dengan kriteria laboratorium.



Reportable – setiap kemungkinan atau kasus yang terkonfirmasi harus dilaporkan.

Kriteria laboratorium untuk mengkonfirmasi DF adalah:
-

Isolasi dari virus dengue dari darah atau otopsi jaringan

-

Perubahan dari IgG dan IgM titer antibodi dari satu atau lebih antigen virus dengue pada
sampel darah

-

Adanya virus dengue antigen pada otopsi jaringan, sampel darah atau cairan
serebrospinal

-

Deteksi sekuens gen virus dengue pada otopsi jaringan atau cairan serebrospinal dengan
Polymerase Chain reaction (PCR).

Definisi kasus DHF, yaitu ditemukannya semua kriteria di bawah ini:





Demam, atau riwayat demam akut, berlangsung 2─7 hari, sering bifasik
Manifestasi perdarahan, ditandai dengan paling tidak satu dari:
- Tes tourniquet positif
- Petekie, ekimosis atau purpura
- Perdarahan dari mukosa, saluran gastrointestinal, tempat suntikan atau lokasi lain.
- Hematemesis atau melena.
Trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang)
10



Bukti adanya kebocoran plasma karena meningkatnya permeabilitas vaskuler, dengan
manifestasi klinis salah satu dari:
- Peningkatan hematokrit ≥20 % di atas rata-rata untuk usia, jenis kelamin, dan populasi
- Penurunan hemotokrit ≥20 % setelah dilakukan pemberian cairan
-

Tanda dari kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites, dan hipoproteinemia.

Definisi kasus DSS, yaitu semua kriteria DHF ditambah bukti adanya kegagalan sirkulasi dengan
manifestasi:


Nadi cepat dan lemah, dan



Tekanan nadi menyempit (

Dokumen yang terkait

PERBANDINGAN BUDIDAYA "AIR LIUR" SARANG BURUNG WALET ANTARA TEKNIK MODERN DAN TEKNIK KONVENSIONAL (Studi Pada Sarang Burung Burung Walet di Daerah Sidayu Kabupaten Gresik)

6 108 9

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR SISWA MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TAKE AND GIVE DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE PADA MATA PELAJARAN GEOGRAFI KELAS XI-IIS DI SMA NEGERI 7 BANDA ACEH

0 47 1

DETEKSI MIGRASI POLYMORPHONUCLEAR NEUTROPHIL (PMN) AKIBAT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) PADA CAIRAN SULKUS GINGIVA DAN WHOLE SALIVA

0 13 18

FAKTOR-FAKTOR PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI DESA BALUNG LOR KECAMATAN BALUNG KABUPATEN JEMBER

11 93 15

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA ANTARA PEMBELAJARAN YANG MENGGUNAKAN LEARNING CYCLE 5E DENGAN PROBLEM BASED LEARNING

0 21 58

STUDI PERBANDINGAN HASIL BELAJAR DAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DITINJAU DARI PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

6 77 70

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) DENGAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL)

11 75 34

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING(PBL) DAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE GROUP INVESTIGATION (GI)

6 62 67

BUKU PEDOMAN

17 184 4

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR IPS TERPADU ANTARA PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN AUDIO-VISUAL DENGAN MEDIA PEMBELAJARAN GRAFIS KELAS VII SMP NEGERI 3 TERBANGGI BESAR LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2014/2015

3 51 68