Carl Gustav Hempel tentang Eksplanasi il

Carl Gustav Hempel tentang
Eksplanasi Ilmiah, Teori Konfirmasi
dan Paradoks Burung Gagak

Tugas mata kuliah Filsafat Abad XX sebagai pengganti UTS
Semester Genap 2008/2009

Dosen: Vincensius Y. Jolasa, Ph.D

Oleh: Satrio Arismunandar
NPM: 0806401916

Program S3 Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Indonesia
Maret 2009
1

I. Pengantar
Carl Gustav Hempel (1905-1997), filsuf kelahiran Jerman yang berimigrasi ke
Amerika, adalah salah satu filsuf sains terkemuka pada abad ke-20. Paradoks burung
gagaknya (Raven’s Paradox) –sebagai ilustrasi paradoks-paradoks konfirmasi—telah

menjadi tantangan tetap terhadap teori-teori konfirmasi.
Bersama Paul Oppenheim, ia mengusulkan perhitungan kuantitatif terhadap
derajat konfirmasi hipotesis lewat pembuktian. Model nomologis-deduktif yang
diajukannya bagi eksplanasi (penjelasan) ilmiah menempatkan eksplanasi pada
landasan logis yang sama seperti prediksi; yakni keduanya adalah argumen-argumen
deduktif.
Perbedaannya adalah soal pragmatis, katakanlah bahwa dalam sebuah
eksplanasi, konklusi argumen dimaksudkan agar dianggap benar. Sedangkan, dalam
prediksi, tujuannya adalah untuk menghadirkan kasus yang meyakinkan untuk
konklusi. Hempel juga mengusulkan ukuran kuantitatif bagi kekuatan teori untuk
mensistematisasikan datanya.
Dalam kehidupannya kemudian, Hempel meninggalkan proyek logika
induktif. Ia juga menekankan problem-problem dengan positivisme logis (empirisme
logis), khususnya yang berkaitan dengan kriteria kebisaan untuk diverifikasikan
(verifiability). Hempel akhirnya meninggalkan analisis positivis logis terhadap sains,
dan berpaling ke arah analisis yang lebih empiris dalam peristilahan sosiologi sains.
Hempel belajar matematika, fisika, dan filsafat di Gottingen, Heidelberg,
Vienna, dan Berlin. Di Vienna, ia menghadiri beberapa pertemuan Lingkaran Vienna.
Dengan pertolongan Rudolf Carnap, ia dapat meninggalkan Eropa sebelum Perang
Dunia II, dan ia datang ke Chicago dengan hibah riset yang diusahakan oleh Carnap.

Hempel kemudian mengajar di Universitas Kota New York, Universitas Yale, dan
Universitas Princeton.

II. Riwayat Singkat dan Filsuf-filsuf yang Mempengaruhinya

Hempel lahir di

Oranienburg, Jerman, pada 1905.

Ia belajar

di

Realgymnasium di Berlin, dan pada 1923 ia diterima di Universitas Gottingen, di
mana ia belajar matematika bersama David Hilbert dan Edmund Landau, serta belajar
logika simbolis bersama Heinrich Behmann.
2

Hempel sangat terkesan pada program Hilbert untuk membuktikan konsistensi
matematika dengan cara metode-metode elementer. Ia juga belajar filsafat, namun

merasakan bahwa logika matematis lebih menarik daripada logika tradisional.
Pada tahun yang sama, ia pindah ke Universitas Heidelberg, di mana ia belajar
matematika, fisika, dan filsafat. Dari 1924, Hempel belajar di Berlin, di mana ia
bertemu Reichenbach yang memperkenalkannya ke Lingkaran Berlin. Hempel
menghadiri kursus-kursus Reichenbach tentang logika matematis, filsafat ruang dan
waktu, dan teori probabilitas. Ia belajar fisika bersama Max Planck dan belajar logika
bersama von Neumann.
Pada 1929, Hempel ikut serta dalam kongres pertama filsafat ilmiah yang
diselenggarakan oleh penganut positivis logis. Ia bertemu Rudolf Carnap dan sangat
terkesan pada Carnap, sehingga ia pindah ke Vienna. Di sana ia menghadiri tiga
kursus bersama Carnap, Schlick, dan Waismann, dan ambil bagian dalam pertemuan –
pertemuan Lingkaran Vienna.
Pada tahun-tahun yang sama, Hempel dianggap layak sebagai guru sekolah
menengah, dan akhirnya pada 1934, ia meraih doktor filsafat di Berlin, dengan
disertasi tentang teori probabilitas.
Pada tahun yang sama, ia berimigrasi ke Belgia, berkat pertolongan seorang
rekan Reichenbach, Paul Oppenheim (Reichenbach memperkenalkan Hempel dengan
Oppenheim pada 1930). Dua tahun kemudian, Hempel dan Oppenheim menerbitkan
buku Der Typusbegriff im Lichte der neuen Logik tentang teori logis konsep-konsep
ilmiah metrik, komparatif, dan pengklasifikasi.

Pada 1937, Hempel diundang—dengan bantuan Carnap—ke Universitas
Chicago sebagai Pendamping Riset bidang filsafat. Sesudah sempat tinggal lagi
sebentar di Belgia, Hempel berimigrasi ke Amerika pada 1939. Ia mengajar di New
York, di City College (1939-1940) dan Queens College (1940-1948).

III. Permasalahan dan Fokus Perhatian Hempel

Pemikiran Hempel tampaknya erat berkaitan dengan filsafat sains. Filsafat
sains merangkul seluruh pertanyaan yang muncul dari refleksi terhadap sains. Sains
secara meluas diyakini sebagai cara terbaik yang tersedia untuk memperoleh
pengetahuan. Selain itu, teori-teori ilmiah tampaknya memberi kita banyak masukan

3

tentang hakikat dan bagaimana berfungsinya dunia. Maka filsafat sains terasa saling
tumpang tindih dengan epistemologi dan metafisika.
Pertanyaan yang paling mendasar bagi filsafat sains adalah: Apakah sains itu?
(walaupun sejumlah filsuf beranggapan bahwa pertanyaan ini salah arah, karena tidak
ada ciri-ciri yang sama pada semua hal yang kita sebut sebagai sains).
Pertanyaan penting lain adalah: Apakah ada metode tunggal dengan mana

seluruh sains memperoleh kemajuan (progress)? Apakah yang dinamakan teori ilmiah
itu? Derajat kepercayaan seperti apa yang patut kita berikan pada teori-teori ilmiah?
Apa hubungan antara teori-teori dalam sains-sains yang berbeda? Dan lain-lain.
Banyak diskusi dalam filsafat sains berkaitan dengan hubungan antara teori
dan bukti. Kita biasanya berasumsi bahwa jika sebuah teori memprediksi beberapa
hasil (result) bagi sebuah eksperimen tertentu, dan hasil itu kemudian diamati, maka
pengamatan itu adalah bukti positif bagi kebenaran teori, dan teori itu
dikonfirmasikan olehnya.
Bagaimanapun, problem induksi (lihat epistemologi) adalah tak ada jumlah
bukti bagi generalisasi universal tertentu

(sebut saja, misalnya ―semua angsa

berwarna putih‖) yang tidak konsisten dengan satu bukti yang menolaknya
(katakanlah, angsa berikutnya yang diobservasi berwarna hitam).
Karl Popper telah mencoba menghindari problem ini dengan menyebutkan
bahwa teori-teori tidak pernah dikonfirmasikan oleh bukti, tapi hanya difalsifikasi.
Sejauh suatu teori belum difalsifikasi, walaupun kita sudah berusaha sekeras mungkin
untuk memfalsifikasinya, maka kita punya alasan untuk terus menggunakan teori
tersebut. Namun, kita tidak boleh pernah berpikir bahwa teori itu sudah didukung

secara induktif.
Filsuf-filsuf lain telah berargumentasi bahwa problem induksi muncul kembali
pada teori Popper tentang metodologi ilmiah (yang disebut falsifikasionisme), dan
bahwa kita tidak dapat berbuat tanpa semacam teori konfirmasi.
Setiap teori konfirmasi harus menghindari apa yang dinamakan paradoksparadoks konfirmasi, yang muncul jika kita mengadopsi sebuah teori yang jelas bagi
konfirmasi, yang menyiapkan intuisi-intuisi.

IV. Karya-karya Hempel

4

Pada tahun-tahun sekitar 1939-1948, Hempel tertarik pada teori konfirmasi
dan eksplanasi, dan menerbitkan beberapa artikel dengan topik tersebut: "A Purely
Syntactical Definition of Confirmation‖ (The Journal of Symbolic Logic, 8, 1943);
"Studies in the Logic of Confirmation" (Mind, 54, 1945); "A Definition of Degree of
Confirmation" (dengan P. Oppenheim, di Philosophy of Science, 12, 1945); "A Note
on the Paradoxes of Confirmation" (Mind, 55, 1946); dan "Studies in the Logic of
Explanation" (dengan P. Oppenheim di Philosophy of Science, 15, 1948).
Antara 1948 dan 1955, Hempel mengajar di Universitas Yale. Karyanya
Fundamentals of Concept Formation in Empirical Science diterbitkan pada 1952 di

International Encyclopedia of Unified Science. Dari 1955, ia mengajar di Universitas
Princeton. Aspects of Scientific Explanation and Philosophy of Natural Science
diterbitkan pada 1965 dan 1966 berturut-turut. Sesudah usia pensiun, ia terus
mengajar di Berkley, Irvine, Jerusalem, dan dari 1976 hingga 1985, di Pittsburgh.
Sementara itu, perspektif filsafatnya berubah dan ia berpaling dari positivisme
logis: "The Meaning of Theoretical Terms: A Critique of the Standard Empiricist
Construal" (dalam Logic, Methodology and Philosophy of Science IV, disunting oleh
Patrick Suppes, 1973); "Valuation and Objectivity in Science" (dalam Physics,
Philosophy and Psychoanalysis, disunting oleh R. S. Cohen dan L. Laudan, 1983);
"Provisoes: A Problem Concerning the Inferential Function of Scientific Theories"
(dalam Erkenntnis, 28, 1988).
Bagaimanapun, ia tetap setia bergabung dengan empirisme logis. Pada 1975,
ia menjabat sebagai redaksi (bersama W. Stegmüller dan W. K. Essler) pada seri baru
jurnal Erkenntnis. Hempel meninggal pada 9 November 1997 di kotapraja Princeton,
New Jersey.

V. Eksplanasi Ilmiah

Bersama Paul Oppenheim, pada 1948 Hempel mengembangkan teori persis
logis, yang dikenal sebagai Model Nomologis-Deduktif (Deductive-Nomological

Model) atau Model Hukum yang Mencakup (Covering-Law Model) bagi eksplanasi.
Eksplanasi ilmiah dari sebuah fakta adalah deduksi dari sebuah pernyataan
(disebut explanandum), yang menggambarkan fakta yang ingin kita jelaskan; premispremis (disebut explanans), yaitu hukum-hukum ilmiah; dan kondisi-kondisi awal
yang cocok. Agar eksplanasi bisa diterima, explanans itu harus benar.
5

Menurut model nomologis-deduktif, eksplanasi sebuah fakta dengan demikian
direduksi menjadi hubungan logis antara pernyataan-pernyataan.

Explanandum

adalah konsekuensi dari explanans. Ini adalah metode yang umum dalam filsafat
positivisme logis. Aspek-aspek pragmatis dari eksplanasi tidak dipertimbangkan.
Penjabaran lainnya adalah bahwa sebuah eksplanasi mensyaratkan adanya
hukum-hukum ilmiah; fakta-fakta dijelaskan ketika mereka digolongkan di dalam
hukum-hukum. Maka, pertanyaan pun muncul tentang hakikat suatu hukum ilmiah.
Menurut Hempel dan Oppenheim, sebuah teori fundamental dirumuskan
sebagai pernyataan yang benar, di mana pembilang-pembilangnya (quantifiers) tidak
dapat dicabut (sebagai contoh, sebuah teori fundamental tidaklah sama dengan sebuah
pernyataan tanpa pembilang), dan tidak mengandung konstanta individual.

Setiap pernyataan yang digeneralisasikan (generalized statement), yang
merupakan konsekuensi logis dari sebuah teori fundamental, adalah teori turunan
(derived theory). Gagasan yang mendasari perumusan ini adalah bahwa sebuah teori
ilmiah berurusan dengan properti umum, yang diekspresikan oleh pernyataanpernyataan universal.
Rujukan terhadap kawasan ruang-waktu spesifik atau terhadap hal-hal
individual tidaklah diizinkan. Misalnya, hukum Newton adalah benar untuk semua
benda di setiap waktu dan setiap ruang. Namun, terdapat hukum-hukum (misalnya,
hukum-hukum Kepler awal) yang sah (valid) di bawah kondisi terbatas dan merujuk
ke obyek-obyek spesifik, seperti matahari dan planet-planetnya.
Karenanya, ada pembedaan antara sebuah teori fundamental, yang bersifat
universal tanpa pembatasan, dengan sebuah teori turunan yang dapat mengandung
rujukan terhadap obyek-obyek individual. Perlu dicatat, di sini dipersyaratkan bahwa
teori-teori itu benar. Secara tersirat, ini berarti hukum-hukum ilmiah bukanlah alat
untuk membuat prediksi, namun hukum-hukum itu merupakan pernyataan sejati yang
menggambarkan dunia –sebuah sudut pandang yang realistis.
Ada karakteristik menarik lain dari model Hempel-Oppenheim, yaitu bahwa
eksplanasi dan prediksi memiliki struktur logis yang persis sama. Sebuah eksplanasi
dapat digunakan untuk memprakirakan, dan sebuah prakiraan adalah sebuah
eksplanasi yang sah.
Akhirnya, model nomologis-deduktif juga berhubungan dengan eksplanasi

hukum-hukum. Dalam kasus demikian, explanandum adalah hukum ilmiah dan dapat
dibuktikan dengan bantuan hukum-hukum ilmiah lainnya.
6

Aspects of Scientific Explanation (1965), menghadapi problem eksplanasi
induktif, di mana explanans mencakup hukum-hukum statistik. Menurut Hempel,
dalam eksplanasi semacam itu, explanans hanya memberi derajat probabilitas yang
tinggi pada explanandum, yang bukan merupakan konsekuensi logis dari premispremis bersangkutan.
Patut dicatat bahwa eksplanasi induktif menuntut suatu hukum yang
mencakup (covering law); di mana fakta dijelaskan lewat sarana hukum-hukum
ilmiah. Namun sekarang, hukum-hukum itu tidak deterministik; hukum-hukum
statistik juga diterima. Bagaimanapun, dalam banyak hal, eksplanasi induktif itu mirip
dengan eksplanasi deduktif.

Baik eksplanasi deduktif maupun induktif bersifat nomologis (maka, mereka
memerlukan hukum-hukum universal).
Fakta yang relevan adalah relasi logis antara explanans dan explanandum.
Dalam eksplanasi deduktif, explanandum merupakan konsekuensi logis dari
explanans. Sedangkan dalam eksplanasi induktif, hubungan itu bersifat
induktif. Namun di masing-masing model, hanya aspek-aspek logis yang

dianggap relevan. Hal-hal pragmatis tidak diperhitungkan.
Simetri antara eksplanasi dan prediksi dipertahankan.
Explanans itu harus benar.
VI. Pembentukan Konsep dalam Ilmu Empiris

Dalam monografnya, Fundamentals of Concept Formation in Empirical
Science (1952), Hempel menjabarkan metode-metode, yang digunakan untuk
merumuskan kuantitas-kuantitas fisik. Hempel menggunakan contoh pengukuran
massa.
Sebuah timbangan berlengan sama panjang digunakan untuk menentukan
apakah dua benda memiliki massa yang sama, dan apakah massa salah satu benda
lebih besar daripada massa benda yang lain. Dua benda itu memiliki massa yang sama
jika –ketika dua benda itu masing-masing ditaruh di lengan timbangan—
keseimbangan tetap merata (equilibrium).
Jika salah satu ujung lengan timbangan turun, sedangkan ujung yang lain naik,
maka benda di sisi yang paling rendah memiliki massa yang lebih besar. Dari sudut
7

pandang logis, prosedur ini merumuskan dua relasi, sebut saja E dan G. Seperti
berikut:
E(a,b) jika dan hanya jika a dan b memiliki massa yang sama;
G(a,b) jika dan hanya jika massa a lebih besar daripada massa b.

Hubungan (relasi) antara E dan G memenuhi kondisi-kondisi berikut:

1. E adalah hubungan refleksif, simetris, dan transitif.
2. G adalah hubungan irefleksif, asimetris, dan transitif.
3. E dan G sama-sama eksklusif –sehingga, jika E(a,b), maka bukan
G(a,b).
4. Untuk setiap a dan b, satu dan hanya satu dari penegasan-penegasan di
bawah ini yang benar:
E(a,b)

G(a,b)

G(b,a)

Hubungan E dan G dengan demikian merumuskan suatu tatanan parsial.

Langkah kedua terdiri dari pendefinisian sebuah fungsi m yang memenuhi tiga
kondisi:
5. Sebuah prototip yang cocok dipilih, di mana massanya adalah satu
kilogram.
6. Jika E(a,b) maka m(a) = m(b)
7. Terdapat sebuah operasi, sebut saja ©, yang mengkombinasikan dua
benda a dan b, sehingga
m(a © b) = m(a) + m(b)

Kondisi (1) sampai (7) menjabarkan pengukuran bukan hanya untuk massa,
tetapi juga untuk panjang, waktu, dan setiap kuantitas fisik yang ekstensif. (Sebuah
kuantitas dinyatakan ekstensif jika terdapat operasi yang mengkombinasikan obyekobyek sesuai kondisi 7. Jika tidak memenuhi kondisi seperti itu, kuntatitas itu
dinyatakan sebagai intensif. Temperatur, misalnya, adalah intensif).

8

VII. Perkembangan Pemikiran Hempel

Hempel melihat, tugas sains adalah menunjukkan fenomena

sebagai

konsekuensi hukum yang tak terbantahkan. Implikasi utamanya adalah model hukum
yang mencakup (covering-law) tentang pengertian ilmiah, dengan penekanan bahwa
terdapat simetri antara eksplanasi dan prediksi, di mana satu-satunya perbedaan
adalah soal temporal.
Dalam kasus eksplanasi, apa yang kita terangkan adalah sesuatu yang sudah
terjadi. Sedangkan dalam kasus prediksi, sesuatu yang kita prediksi itu belum terjadi.
Namun, kita melihat kini pergeseran dari filsafat sains yang preskriptif ke posisi yang
lebih deskriptif. Juga, dari keprihatinan eksklusif terhadap ilmu-ilmu fisik ke minat
yang lebih umum di bidang seperti biologi dan psikologi.
Dalam The Meaning of Theoretical Terms (1973), Hempel mengritik sebuah
aspek teori positivisme logis tentang sains: pembedaan antara term observasional dan
teoretis, dan problem yang berkaitan tentang makna term-term teoretis.
Menurut Hempel, terdapat asumsi tersirat dalam analisis neopositivis terhadap
sains, katakanlah bahwa makna term teoretis dapat dijelaskan lewat metode-metode
linguistik. Karena itu, problem utamanya adalah bagaimana seperangkat pernyataan
dapat ditentukan sehingga memberi makna pada term-term teoretis. Hempel
menganalisis berbagai teori yang diusulkan oleh positivisme logis.
Menurut Schlick, makna konsep-konsep teoretis ditentukan oleh dalil-dalil
(aksioma) teori. Jadi, dalil-dalil itu memainkan peran sebagai definisi tersirat.
Karenanya, term-term teoretis harus ditafsirkan dengan suatu cara yang membuat
teori itu benar.
Hempel menyatakan keberatan, karena berdasarkan penafsiran semacam itu
sebuah teori ilmiah akan selalu benar, teori itu benar secara konvensi, dan setiap teori
ilmiah adalah secara a priori benar. Kata Hempel, ini adalah bukti bahwa penafsiran
Schlick tentang makna term-term teoretis tidak dapat dipertahankan.
Solusi lain terhadap problem makna term-term teoretis adalah didasarkan pada
aturan-aturan korespondensi (rules of correspondence), yang juga dikenal sebagai
postulat-postulat makna. Term-term teoretis dengan demikian memperoleh penafsiran
parsial lewat term-term observasional.
Hempel mengajukan dua keberatan terhadap teori ini. Pertama, ia menegaskan
bahwa konsep-konsep observasional tidaklah eksis. Ketika sebuah teori ilmiah
9

memperkenalkan term-term teoretis yang baru, term-term itu terkait dengan term-term
teoretis lama, yang biasanya menjadi bagian dari teori ilmiah terkonsolidasi yang
sudah ada. Karena itu, penafsiran term-term teoretis baru itu tidaklah didasarkan pada
term-term observasional, namun diberikan oleh term-term teoretis yang lain.
Sehingga, dalam arti tertentu, ini dirasakan lebih familiar daripada yang baru.
Keberatan

kedua,

menyangkut

hakikat

konvensional

dari

aturan

korespondensi. Suatu postulat makna merumuskan makna sebuah konsep dan karena
itu –dari sudut pandang logis—itu haruslah benar. Namun, setiap pernyataan dalam
teori ilmiah berpotensi bisa dibuktikan kekeliruannya (falsifiable).
Tidak ada pernyataan ilmiah yang berada di luar yurisdiksi pengalaman
(experience). Jadi, sebuah postulat makna juga dapat keliru. Maka, ini tidak bersifat
konvensional dan tidak merumuskan makna sebuah konsep, melainkan benar-benar
hipotesis yang bersifat fisik. Postulat makna tidaklah eksis.
VIII. Paradoks Burung Gagak (Raven’s Paradox)
Semua ilmuwan menggunakan penalaran dan logika pada beberapa tahap,
untuk menciptakan hipotesis dan merancang eksperimen-eksperimen yang kuat.
Secara indah dan anggun, pada 1965, Hempel menunjukkan bahwa terdapat cacatcacat dalam proses ilmiah yang sudah lama mapan tersebut. Paradoks Burung Gagak
yang dikemukakan Hempel mempertanyakan proses penalaran induktif, generalisasi,
dan falsifiabilitas (falsifiability) yang sudah mapan tersebut.

8.1. Hipotesis Induktif

Bayangkanlah bahwa seorang ilmuwan, sesudah bertahun-tahun berjalan ke
berbagai penjuru lokasi, mengamati bahwa setiap gagak yang pernah ia temui
berwarna hitam. Sebagai peneliti yang patuh pada aturan, ia menggunakan penalaran
induktif untuk mendalilkan sebuah hipotesis: ―Semua gagak berwarna hitam.‖
Ini adalah hipotesis kondisional yang secara sempurna bisa diterima. Pertama,
hipotesis ini bisa diuji, karena kita dapat membuat sampel populasi gagak dan
membuktikan bahwa gagak-gagak itu berwarna hitam. Pernyataan ini juga bisa
dibuktikan jika keliru (falsifiable), karena cukup dengan ditemukannya satu ekor

10

gagak berwarna tidak-hitam di antara populasi yang dijadikan sampel, akan
membantah hipotesis tersebut.
Seluruh sains sejauh ini mengikuti metode penalaran induktif yang sudah
mapan. Peneliti bahkan dapat merancang eksperimen untuk membuat sampel dari
populasi gagak, dengan ribuan ekor gagak diamati.
Jika semua burung gagak itu hitam, berarti hipotesis ini didukung dan masuk
akal. Dengan berlalunya waktu, eksperimen dan pengamatan yang berulang-ulang
juga lebih jauh mengkonfirmasikan hal ini, dan hipotesis itu pun diterima sebagai
hukum.

8.2. Problem Generalisasi dan Falsifiabilitas

Bagian pertama dari proposal Paradoks Burung Gagak mempertanyakan
proses generalisasi tersebut. Secara praktis, tidaklah mungkin untuk mengambil
sampel terhadap setiap burung gagak di dunia, dan mungkin saja ada beberapa gagak
yang berwarna tidak-hitam. Hempel tidak mencooba berkomentar tentang sains
eksakta, namun sebagai informasi sampingan yang menarik, sekitar 1 dari 10.000
telur gagak mengandung sebagian atau seluruhnya burung albino.
Sebagian besar burung albino lebih jelas terlihat oleh pemangsa (predator),
menderita problem kesehatan, dan mungkin merupakan fenomena yang sangat lokal.
Maka kemungkinan menemui atau melihat seekor gagak albino sangat tipis. Seorang
peneliti bisa membuat sampel atas ribuan gagak, dan tidak melihat satu pun gagak
putih, walaupun gagak berwarna putih itu ada.
Maka, gagasan falsifiabilitas itu dipertanyakan dan dirusak oleh Paradoks
Burung Gagak. Walaupun hipotesis awalnya secara teknis bisa difalsifikasikan, dalam
pendekatan praktis sangatlah sulit untuk menolak hipotesis tersebut. Karena peluang
melihat seekor gagak putih sangat tipis. Bahkan jika kita mengambil sampel seluruh
populasi gagak yang diketahui, mungkin saja ada kelompok gagak yang belum
ditemukan, yang sebagian anggotanya tidak-hitam.

8.3. Cacat-cacat dalam Proses Penalaran Induktif

Bagian berikutnya dari Paradoks Burung Gagak mempertanyakan proses
penalaran dan deduksi, yang menjadi bagian integral dari proses ilmiah. Ketika
11

seorang peneliti menyatakan bahwa ―semua gagak berwarna hitam,‖ hukum logika
menuntut bahwa pernyataan kondisional ini memiliki pernyataan kontrapositif.
Karena itu, menurut penalaran induktif, ―segala sesuatu yang tidak-hitam
bukanlah burung gagak.‖ Ini berarti setiap obyek tidak-hitam yang diamati, yang
bukan gagak, secara setara memperkuat hipotesis. Padahal tidak terhitung jumlahnya
benda-benda tidak-hitam yang ada di alam semesta ini!
Untuk mengembangkan analogi lebih jauh, seorang peneliti lain di bagian lain
dunia, secara kebetulan, mungkin hanya pernah melihat seekor gagak sepanjang
hidupnya, dan kebetulan gagak itu berwarna putih. Hipotesis lewat deduksi yang
dilakukannya mungkin menyatakan, ―semua gagak berwarna putih.‖
Jadi, setiap obyek tidak-putih, yang bukan burung gagak, memperkuat
hipotesis ini yang bertentangan dengan hipotesis sebelumnya (yang mengatakan,
―semua gagak berwarna hitam‖). Inilah yang dinamakan Paradoks Burung Gagak.
IX. Arti Penting Pemikiran Hempel dan Konteks Indonesia

Lalu, apa arti keberadaan paradoks ini? Apakah dunia sains lantas runtuh
begitu saja? Jawabannya: tidak. Paradoks Burung Gagak adalah observasi filosofis
yang bermanfaat, dan membantu memastikan bahwa kita secara terus-menerus
mengamati dan menguji langkah-langkah proses ilmiah yang sudah mapan. Contohcontoh yang diberikan dalam paradoks ini bersifat simplistik dan tampaknya tak akan
terjadi. Itu hanya berfungsi sebagai latihan untuk menguji batas-batas filsafat sains.
Dalam kenyataan, pada sebagian besar kasus, cara Hempel tidak membuat
perbedaan. Penalaran normal dan proses rancangan eksperimental bekerja cukup
sempurna. Paradoks itu tidak lari dari sains, tetapi mengembangkannya, dengan
mencegah para ilmuwan dari kepercayaan bahwa mereka telah membuktikan sesuatu
yang di luar keraguan.
Paradoks Burung Gagak sepatutnya mengingatkan para ilmuwan tentang
bahaya generalisasi, dan bahwa mereka harus memastikan agar semua hipotesis
secara realistis bisa difalsifikasi. Jika seorang peneliti mengatakan, ―semua burung
gagak di Pulau Jawa berwarna hitam,‖ ini lebih realistis karena para ahli ilmu burung
(Ornitologi) secara layak dapat mengamati setiap gagak di Pulau Jawa.
Bahkan teori-teori yang sudah bertahan lama, yang menjadi mapan sebagai
hukum dan paradigma yang tidak bisa digeser, suatu waktu dapat dibuktikan keliru.
12

Sains sebenarnya adalah soal menguji probabilitas dan asumsi. Jika sesuatu memiliki
99% peluang untuk benar, maka itu sebaiknya diterima sebagai eksplanasi yang pas.
Peluang seseorang hanya melihat seekor gagak dalam hidupnya, di mana
kebetulan gagak yang dilihat itu adalah gagak putih, sangatlah kecil. Meski
peluangnya sangat kecil, itu bukan berarti tidak mungkin, dan kemungkinan itu tidak
boleh diabaikan. Inilah sebabnya mengapa semua eksperimen harus secara ketat
divalidasi dan ditinjau sebelum memperoleh penerimaan secara meluas, untuk
meminimalisir dampak Paradoks Burung Gagak.
Misalnya, hukum-hukum Newton telah diterima sebagai kebenaran, sampai
teori-teori Einstein meruntuhkannya. Pada gilirannya, teori Relativitas Umum
Einstein bukanlah jawaban terhadap fisika fundamental dan telah dilampaui oleh
teori-teori lain.
Inilah bagaimana sains berkembang, dengan menantang dan mengadaptasi
paradigma dan hukum-hukum yang sudah mapan. Penciptaan Teori Chaos adalah
contoh sempurna dari ilmuwan-ilmuwan ―pemberontak‖ yang mengikis hukumhukum yang sudah mapan, sampai teori baru itu tak bisa lagi diabaikan. Teori itu
akhirnya hadir dalam kesadaran publik, dan model-model fractal dari Teori Chaos
muncul dalam bentuk desain-desain unik di T-shirt.
Paradoks Burung Gagak dari Hempel hadir untuk mengingatkan kita bahwa
tidak ada teori, seberapa mapan pun, yang kebal terhadap tantangan dan debat. Ketika
bukti baru terungkap, sains harus beradaptasi dan berubah untuk menyesuaikan diri
dengan data yang baru.
Bagi para filsuf, pemikir, dan ilmuwan di Indonesia, pemikiran Hempel masih
sangat relevan dan bermanfaat. Tradisi ilmiah dan semangat pencarian kebenaran
lewat keilmuan masih belum cukup kuat dan berakar di negeri ini. Oleh karena itu,
pemikiran dan semangat Hempel sepatutnya memberi inspirasi pada para ilmuwan,
pemikir, dan filsuf Indonesia, untuk giat menggali ilmu dan pemikiran.
Sedangkan, pada saat yang sama, para ilmuwan, pemikir, dan filsuf Indonesia
juga harus cermat, teliti, hati-hati, dan waspada terhadap potensi sesat pemikiran dan
kekeliruan penalaran, akibat kurang dikuasainya metode berpikir yang benar. Inilah
signifikansi sumbangan pemikiran Hempel untuk konteks filsafat dan dunia keilmuan
Indonesia. ***

Depok, Maret 2009
13

Referensi:
1. Hempel, Carl G. 1945. ―On the Nature of Mathematical Truth,‖ American
Mathematical Monthly 52. Dicetak ulang di Feigl, H., dan W. Sellars (ed.).
1949. Readings in Philosophical Analysis. New York: Appleton-CenturyCrofts. Dicetak ulang di Newman, James R. 1956. The World of Mathematics,
vol. III. New York: Simon and Shuster. Dituliskan ke format hypertext oleh
Andrew Chrucky, 4 Feb 2001.
2. Hempel, Carl G. 1945. ―Geometry and Empirical Science,‖ American
Mathematical Monthly 52. Dicetak ulang di Feigl, H., dan W. Sellars (ed.).
1949. Readings in Philosophical Analysis. New York: Appleton-CenturyCrofts. Dicetak ulang di Newman, James R. 1956. The World of Mathematics,
vol. III. New York: Simon and Shuster. Dituliskan ke format hypertext oleh
Andrew Chrucky, 7 Feb 2001.
3. Hempel, Carl G. 1950. ―Problems and Changes in the Empiricist Criterion of
Meaning.‖ dalam 11 Rev. Intern: de Philos. 41, halaman 41-63.
4. http://www.iep.utm.edu/h/hempel.htm
5. http://articlesbase.com/science-articles/the-raven-paradox-how-hempelstreatise-led-to-questioning-of-the-inductive-reasoning-process-559856.html
6. www.experiment-resources.com
7. www.amethyst-web.net
8. Kearney, Richard (ed.). 2006. Twentieth-Century Continental Philosophy.
Knowledge History of Philosophy Volume VIII. New York: Routledge.
9. Goldstein, Laurence. 1990. The Philosopher’s Habitat: An Introduction to
Investigations in, and Applications of, Modern Philosophy. New York:
Routledge.
10. Honderich, Ted. 1995. The Oxford Companion to Philosophy. Oxford/New
York: Oxford University Press.
11. Russell, Bertrand. 1948. History of Western Philosophy and Its Connection
with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present
Day. London: George Allen and Unwin Ltd.

14