DENPASAR KOTA BAGI SEMUA HATI TINJAUAN S

DENPASAR : KOTA BAGI SEMUA HATI
(TINJAUAN SOSIAL – BUDAYA TERKAIT ISU KESEHATAN)

Abstrak
Sebagai salah satu kota yang merepresentasikan Bali yang fenomenal di mata dunia,
Denpasar pada masa kini merupakan surga bagi semua manusia. Pantai, matahari, dan nafas
kebudayaan masyarakatnya tergambar dalam perpaduan yang khas membentuk kehidupan
kota ini; dimana kesemuanya terutama keanggunan wanita Bali, membuat semua manusia
yang datang kemudian melebur dan terbuai dalam romantisme kehidupan.

Berbagai peristiwa yang mewarnai kehidupan kota Denpasar, memang terbentuk
dalam sejarah dan fenomena yang sangat mempengaruhi citra pulau Bali. Di kota ini,
keberlangsungan interaksi manusia bertransformasi sedemikian rupa dalam proses kehidupan
yang terlihat terfragmentasi di permukaan. Namun bila dirunut maka akan menunjukan
sistem kehidupan yang jelas mapan, dimana peran masyarakat lokal kemudian sangat
signifikan, dikarenakan eksistensi mereka mengakomodir dan menyokong jalannya proses
kehidupan tersebut. Dan hadir pula didukung kesepakatan masyarakat luas, yaitu mereka
sendiri sebagai masyarakat lokal Denpasar, masyarakat Hindu Bali/Hindu Dharma secara
keseluruhan, pendatang non- Hindu yang hidup di kota Denpasar, bahkan mereka yang
sekedar bersimpatik dengan kota ini.


Kata kunci : Migran, kehidupan sosial, kesehatan, zoonotic disease

Pendahuluan
Denpasar sebagai Ibukota Provinsi Bali, pada masa kini berkembang dengan pesat
sebagai salah satu kota besar di Indonesia yang ramai, didatangi berbagai macam orang dari
suku dan ras yang berbeda-beda. Mereka yang kemudian dalam tulisan ini saya definisikan
sebagai migran, tersebar di seluruh pelosok Denpasar dan kemudian terbagi dalam dua
golongan yaitu migran lokal dan internasional. Migran lokal adalah mereka penduduk
Indonesia yang datang ke Denpasar baik dari wilayah lain di pulau Bali atau luar pulau Bali,
sementara migran internasional adalah mereka yang datang ke Denpasar namun bukan
penduduk Indonesia. Dua kelompok migran tersebut datang ke pulau Bali dengan motif yang
berbeda-beda, namun bagi kebanyakan migran lokal maka faktor ekonomi menjadi satu
bentuk konsensus umum motif kedatangan mereka. Sementara migran internasional lebih
dikarenakan untuk keperluan wisata atau alasan ketertarikan mereka lainnya.

Terlepas dari motif imigran datang ke Denpasar yang saya rasa semua orang sudah
pasti mengerti, dalam tulisan ini saya kemudian lebih mencoba memahami kompleksitas
kehidupan Denpasar pada masa kini dengan meningkatnya kehadiran kelompok migran.
Sebagai peneliti saya pribadi merasa bahwa isu ini sangat menarik untuk dibahas mengingat
pluralitas kehidupan sosial Denpasar, sebenarnya sudah terbentuk sedari dahulu kala. Dan hal

itu kemudian menjadi penting untuk dibahas, karena menunjukan interkoneksi dalam
menjelaskan berbagai realita, yang terhubung antara satu dan yang lainnya -semisal isu
kesehatan di kota Denpasar yang kemudian menjadi tekanan utama dari penelitian ini.

Kota Kosmopolitan Sejak Dulu
Denpasar awalnya dikenal sebagai pusat kegiatan perekonomian kerajaan Badung
yang menguasai daerah Bali Selatan. Lalu dimulai sejak awal masa kemerdekaan Indonesia
yaitu tahun 1949, kota ini seketika bertransformasi menjadi gerbang pariwisata Bali dan
berkembang seperti pada masa sekarang. Pemerintah Indonesia pada masa itu membangun
secara besar-besaran pariwisata Bali, untuk menanggulangi defisit keuangan dan merangsang
kedatangan pihak asing (Caballero,2002,hlm.13-14). Awalnya rencana tersebut terealisasi
dengan dibangunnya bandara udara pertama di Bali yaitu, Bandar udara Ngurah Rai dan hotel
kelas internasional, Bali Beach Hotel pada tahun 1966 di pantai sanur.

Pemilihan Denpasar sebagai gerbang pariwisata Bali kemudian memang terbukti tepat
dikarenakan secara geografis, letaknya berada di tengah mayoritas jalur pariwisata Bali seperti Pantai Kuta, Gianyar, Nusa Dua, Jimbaran , dll. Alhasil setidaknya pada masa kini,
bisa dikatakan Denpasar merupakan kota yang lengkap, karena selain merupakan pusat
pemerintahan, serta memiliki beberapa obyek wisata penting, - seperti Pantai Sanur, Pantai
Sindhu, Pura Jagat Natha, Museum Bali ,dll- letak geografis Denpasar juga berkembang
menghubungkan industri pariwisata di Pulau Bali.


Jauh sebelum pariwisata mendongkrak pamor Denpasar, sebenarnya wilayah ini
sudah berkembang sangat kosmopolitan sedari dahulu kala. Seperti namanya yang secara
etimologis berarti “pasar di sebelah utara” – Den (Utara) Pasar (Pasar)-. Pada zaman
kerajaan Badung, wilayah ini sudah sangat ramai dengan aktifitas perdagangan yang
menghadirkan interaksi berbagai macam orang dari berbeda suku dan ras.

“…the capitals of the princes’ districts, the seats of the regencies, are commercialized halfEuropean, half-Chinese towns like Denpasar and Buleleng; but the true life of Bali is
concentrated in thousands of villages and hamlets”. (Covarrubias,1973, hlm.39)

Masyarakat lokal membawa hasil pertanian dan ternak untuk diperjual belikan, sementara
pedagang dari luar Bali seperti orang Jawa1, Belanda, Bugis, Cina, dll juga ramai hadir.
1

 Memiliki pengaruh fenomenal dengan kehadiran Majapahit. Kebanyakan orang Bali  bahkan menelusuri kawitan‐
nya(keturunan) ke tanah Jawa. 
 

Mereka berinteraksi dalam konteks perdagangan, di mana dalam prosesnya kemudian
membentuk kehidupan sosial Kota Denpasar yang sangat plural. Dominasi kolonialisme

Belanda (1840) dan Jepang (1940) di kemudian hari pada kenyataannya juga tetap tidak dapat
merusak tatanan kehidupan sosial tersebut. Walaupun secara administratif wilayah ini
dikuasai silih berganti oleh kehadiran mereka, pengaruhnya tidak pernah dapat
mengintervensi penuh dalam lokalitas kehidupan masyarakat. Setidaknya hal tersebut
kemudian dapat kita lihat dalam kebijakan pemerintah kolonial Belanda, yang pada akhirnya
malah tertarik menjaga keutuhan kehidupan Bali layaknya sebagai suatu museum. Dengan
sentimentil eksotis (kolonialisme), mereka kemudian lebih memilih menikmati dan
menjadikan Bali sebagai satu destinasi pariwisata2 (dimulai tahun 1920), daripada
membinasakan habis kehidupan masyarakatnya sebagai suatu tanda kekuasaan. Kebijakan
tersebut kemudian mulai merepresentasikan kehidupan Bali di dunia luar, yang mana
pamornya pada masa kini, terkadang bahkan mengalahkan nama Indonesia itu sendiri.

Pariwisata yang kemudian lebih membuka kehadiran khalayak ramai dalam
kehidupan sosial Denpasar tidak pula kemudian membuat -seperti juga wilayah lain di Pulau
Bali- pengaruh dunia luar ditelan mentah-mentah oleh masyarakatnya. Mereka selalu punya
cara untuk mentransformasikan akibat pengaruh dari luar secara kultural, seperti dengan cara
perkawinan dengan orang- orang dari luar pulau Bali yang malah membawa pihak- pihak
tersebut masuk ke dalam kultur Bali itu sendiri. Begitu juga dengan artikulasi identitas
masyarakat lokal yang kemudian sangat kuat dan khas, dalam membentuk dialog
kebudayaan. Seperti leluhur mereka yang mati-matian3 menjaga kehormatan wilayah ini,

eksistensi masyarakat lokal dalam kehidupan memang memiliki andil besar dan berperan
sangat penting bahkan sampai pada masa kini. Mereka terkesan selalu mencoba menaungi
kehadiran kelompok etnis lain, dimana itu terlihat dalam legitimasi mereka yang besar dalam
segala hal di kehidupan. Sementara itu di lain pihak yaitu para pendatang, mereka pada
dasarnya tidak mempermasalahkan identifikasi yang ditujukan masyarakat lokal tersebut
karena di satu sisi memang menguntungkan. Terlebih reaksi utama masyarakat luas dalam
menganggapi peristiwa bom di Bali memang merujuk pada kesepakatan ini, seperti apa yang
digambarkan Couteau (2003), di mana semenjak beberapa bom meledak di Bali maka reaksi

2

 Melalui agensi travel Belanda (KPM) 
 Tercatat ada beberapa pertempuran besar terjadi di wilayah ini dari masa kerajaan (Puputan Badung) dan masa 
kemerdekaan (Puputan Margarana). 

3

gelombang solidaritas meningkat, dan timbul ketegangan stabilitas yang mendorong politisasi
lembaga adat untuk memperketat kontrol terhadap arus masuk penduduk pendatang.


Menarik untuk kemudian menelisik fakta yang saya temukan di lapangan bahwa
dalam menanggapi peristiwa bom yang terjadi di Bali, masyarakat lokal sebenarnya tidak
menanggapinya sebagai suatu bentuk dendam. Menurut mereka kebanyakan yang mati adalah
bukan orang Bali dan yang meledak kemudian hanyalah situs –situs profan atau dalam artian
bukan sesuatu yang mereka anggap sakral -seperti Pura, bersama dengan benda sakral seperti
Pertima dan Pelinggih. Tetapi mereka melihat peluang dari reaksi masyarakat luas seperti apa
yang dijelaskan Coeteau (2003) diatas, terutama dalam hal dorongan politisasi lembaga adat
yang manifestasinya kemudian adalah penguatan peran Banjar. Banjar sebagai suatu pranata
sosial terpenting dalam kehidupan masyarakat lokal kemudian memang lebih mengemban
kewajiban terdepan dalam mengatur tata kelola kehidupan sosial pada masa kini. Institusi ini
kemudian bukan hanya perpanjangan tangan dari pemerintah provinsi, melalui kesatuan Desa
Pakraman, namun juga merupakan representasi dari kontrol lembaga adat itu sendiri. Dengan
kata lain melalui Banjar, masyarakat lokal menjadi memiliki peran besar dalam mengatur
ketentraman kehidupan sosial karena merupakan manifestasi dari desakan dan kemauan
masyarakat secara keseluruhan. Banjar sebagai institusi masyarakat lokal, awalnya berfungsi
untuk mengatur kewajiban dan tanggung jawab di dalam kehidupan sosial mereka. Penetapan
kesemuanya bahkan diperkuat dalam awig-awig (peraturan) masing-masing Banjar, dimana
isi kesepakatannya memang berbeda-beda setiap Banjar. Namun, seiring dengan makin
banyaknya kehadiran migran di pulau Bali, kehadiran Banjar kemudian turut melingkupi
kehidupan mereka. Bagi para imigran walaupun pada kenyataannya Banjar kemudian tidak

dapat mengakomodir secara keseluruhan kehidupan mereka, tetapi institusi ini kemudian kuat
mempengaruhi kehidupan sosial mereka dalam porsit tertentu, seperti layaknya fakta sosial
yang menghasilkan kekuatan yang sifatnya memaksa, karena posisinya menguat atas desakan
dan kepentingan mereka itu sendiri.

Konflik antara kelompok masyarakat lokal di Denpasar pada masa kini, bila di tinjau
lebih lanjut kemudian berkembang sebatas cerita-cerita hiperbolis untuk sekedar
menonjolkan eksistensi masing-masing. Dan menjadi wajar apabila kita mengetahui bahwa
Denpasar sedari dahulu kala memang merupakan wilayah yang menjadi zona perdagangan
kerajaan Badung. Artinya seperti layaknya di pasar, interaksi sosial sedari dulu berjalan
dalam satu bentuk tawar menawar, gosip, mengumpat dan lain lain, namun intinya

kepercayaan adalah satu hal yang esensial. Pada situasi tersebut peran Banjar sedari dahulu
kemudian menjadi penjaga keseimbangan dalam kehidupan masyarakat secara langsung,
dimana jelas terbukti dapat meredam atau setidaknya menurunkan skala konflik sebelum
membesar. Perlu diingat juga, bahwa dalam rentang sosiohistoris, masyarakat lokal telah
mengalami dialektika kehidupan yang makin mendewasakan mereka dalam berpikir dan
bertindak. Pembantaian massal terhadap simpatisan PKI akibat meletusnya peristiwa
G30SPKI di Jakarta dan berlakunya land reform yang ditindak lanjuti dengan praktek
pengambilan tanah paksa oleh pemerintah adalah dua hal penting yang kemudian dapat

dijadikan contoh.

Kebudayaan : Metafor Dalam Kehidupan
Definisi kebudayaan sebagaimana terkadang ditafsir salah oleh khalayak luas, sebagai
hanya sekedar tarian, ritual, upacara, dll; pada akhirnya kemudian tidak akan membimbing
dalam satu bentuk pemahaman mendalam mengenai kehidupan sosial Denpasar. Terlebih di
Bali sebagaimana kemudian Pierre Dubois4 jauh-jauh hari menjelaskan dan memperingati
dalam laporannya, bahwa tipu muslihat adalah seni transedental yang dikembangkan
masyarakat lokal. Mereka terbiasa mengembangkan berbagai strategi dalam menjalani
kehidupan, dimana contohnya sangat terlihat dari berbagai ritual yang mereka lakukan. Apa
yang perlu ditekankan disini, adalah pada saat kita mencoba menjelaskan tentang kehidupan
sosial, maka pemaknaan masyarakat kemudian harus dinterpretasi secara mendalam, karena
pada dasarnya kebudayan adalah suatu kesepakatan dan bukan suatu bentuk ideasonal dalam
kognitif seseorang(contoh: local knowledge, folklore,dll); bukan juga sesuatu yang nyata
seperti kita bisa lihat denga mata (contoh: tarian, ritual, dll).

“Culture ,...... thus is public,like a burlesqued wink or a mock sheep raid. Though
ideational, it does not exist in someone‟s head; though unphsycal it is not an occult
entity.”(Geertz,1973,hlm.10)
Dengan kata lain, layaknya suatu satuan organisme, kebudayaan adalah kehidupan-nya yang

terbuka dalam interaksi dengan alam sekitar (von Bertalanffy, 1950,1968, 1968).

Erat kaitannya dengan kesehatan sebagai tekanan dalam tulisan saya ini, maka
berdasarkan jabaran singkat saya mengenai kebudayaan, perlu kita ketahui bahwa dalam
4

 Peneliti Eropa pertama yang melakukan penelitian avant la lettre di Bali. Disewa pemerintah kolonial Belanda untuk 
membeli budak di Bali yang akan diperkejakan membantu perang di Jawa. 

kehidupan orang Bali, hidup dan mati berhubungan erat dengan pemahaman metafisis mereka
yang terangkum dalam pemahaman terhadap dunia Niskala dan Sekala. Niskala yaitu sumber
dari mana ancaman seperti gempa, gagal panen, serta epidemi berulang-ulang dll, sedangkan
tugas dari mereka yang berwenang dimana kemudian melindungi masyarakat dari ancamanancaman tersebut adalah kewajiban yang disebut Sekala. Perlindungan yang diberikan
kemudian memiliki implikasi luas karena pada dasarnya setiap orang berusaha memaknai
kehidupan dengan tidak dapat mengabaikan penderitaan dan kematian yang merupakan hal
esensial dalam kehidupan (Van Baal,1981,hlm.316). Dalam kehidupan sehari-hari, orang Bali
kemudian memang sangat dinamis dalam memahami perbedaan pandangan hidup di kalangan
migran terutama menyangkut soal kesehatan. Sebagai contoh seperti berbagai bentuk hiburan
di kota Denpasar yang kemudian lekat dengan masalah kesehatan -seperti praktek prostitusi,
diskotik, dll- kemudian ditempatkan berdekatan dengan pantai atau laut. Menurut

kepercayaan lokal, semua yang mengandung unsur negatif dalam kehidupan memang harus
di lepas ke lautan; tetapi dalam pandangan kesehatan, hal tersebut juga mengisyaratkan
adanya kepentingan mereka untuk menghindarkan ancaman bahaya penyakit yang mungkin
disebabkan oleh berbagai aktivitas tersebut dari pemukiman mereka. Memang kemudian
masih ada pemukiman warga dalam kesatuan Desa Pakraman, lengkap dengan banjar- banjar
tersebar di wilayah pantai. Namun, peran masyarakat lokal disana selain sebagai pengawas
aktivitas kegiatan hiburan, mereka kemudian juga turun tangan langsung dalam
meminimalisir ancaman penyakit (kebersihan). Bentuk- bentuk intervensi mereka terliht
dalam berbagai aturan yang dibuat mereka dalam menjaga aktivitas tersebut, dan bahkan
mereka kemudian memasukan pihak – pihak terkait dalam aktivitas hiburan tersebut sebagai
bagian dari satu ritual pensucian5. Pada bagian ini dapat kita pahami bagaimana peran mereka
menempatkan diri dalam peran Sekala, yang kemudian berusaha menghindarkan para PSK
tersebut dari sumber penyakit (Niskala). Suatu contoh legitimasi tindakan dalam kehidupan
sosial, yang tanggung jawabnya bertransformasi kemudian mengakomodir kehadiran migran
pula.

Kesadaran golongan migran mengenai kesehatan di kota Denpasar kemudian tidak
dipengaruhi oleh perilaku pada saat berada di wilayah asalnya, seperti misal kebiasaan hidup
mereka di wilayah asal, begitu juga dengan dinamika pekerjaan yang kemudian juga tidak
5


 Di salah satu rumah yang menyediakan jasa PSK, pada hari tertentu seorang nenek saya lihat sedang  memberikan 
percikan air tirta kepada para PSK.  

menjadi faktor utama penyebab mereka tidak memperhatikan kesehatan. Tetapi perbedaan
perilaku dan kesadaran dalam menjaga kebersihan bagi saya lebih terlihat dari bagaimana
mereka memaknai keterikatan mereka dengan kota Denpasar. Antara mereka yang kemudian
terperangkap dalam tindakan-tindakan praktis semata -karena menganggap kota ini
persinggahan sementara- sehingga jarang memperhatikan kebersihan; atau yang kebalikannya
yaitu mereka yang sedang membentuk dan menata keberlangsungan hidupnya di kota
Denpasar. Di sisi lain, kepercayaan masyarakat lokal di Denpasar (Hindu Dharma)
menekankan agar di kehidupan untuk terus menjaga kebersihan dan menata kesehatan
lingkungan. Hal itu kemudian menjadi krusial terutama dikarenakan dalam kehidupan rohani
harus selalu dipenuhi dengan berbagai macam ritme ritual yang mana kemudian
membutuhkan tiga unsu utama yaitu air, api, dan bunga. Air menjadi obyek utama dalam satu
bentuk penyucian dan pemberkatan sebagaimana Hindu kemudian dikenal sebagai agama
tirta. Sedangkan api dan bunga adalah unsur pelengkap yang tak kalah penting dimana
manifestasinya terlihat dalam dupa dan bebanten (persembahan). Ketiga unsur utama yang
harus dipenuhi tersebut, memiliki asosiasi terhadap kelestarian alam karena hanya akan
ditemukan bila keseimbangan lingkungan (kebersihan) dijaga dengan baik.

Ibu dalam keluarga Bali kemudian berperan besar dalam mewujudkan ketiga unsur
tersebut tetap hadir dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut terlihat dengan berbagai
kegiatan mereka dalam merawat lingkungan rumah, termasuk mengurusi penyajian bebanten
(persembahan), dan berperan layaknya pengatur kebersihan. Apabila

mereka kemudian

menjadikan rumahnya sebagai kos-kosan/kontrakan, mereka bahkan tak segan-segan
menyindir para migran yang sekiranya melewati batas yang sudah seharusnya. Hal ini saya
simpulkan dengan mengamati keseharian seorang Ibu pemilik kos/kontrakan yang
memperhatikan secara detil kebersihan anak-anak kecil penghuni kos/kontrakan. Suatu waktu
bahkan saya melihat ia menawarkan diri untuk memotong rambut panjang seorang anak
perempuan yang banyak kutu. Kepada orang tua anak itu, ia bahkan meminta ijin yang mana
makna sebenarnya adalah sindiran. Pengawasan mereka yang ketat tersebut kemudian agak
berkurang, saat mereka memiliki kos-kosan/kontrakan yang berada jauh dari rumah
tinggalnya.

Kewajiban Ibu yang berperan penting dalam kebersihan lingkungan hidup sudah
diatur secara adat dan keharusan untuk menunaikannya adalah suatu pemenuhan jati diri
mereka sebagai wanita Bali. Pada zaman globalisasi seperti ini, di mana berbagai pandangan

dunia luar terlalu superior namun dangkal dalam memahami kehidupan wanita Bali sebagi
suatu bentuk ketidaksetaraan gender, mereka nampaknya tetap tidak peduli karena merasa
apa yang mereka lakukan adalah pemenuhan kewajiban sebagai seorang wanita Hindu.
Kewajiban yang diatur dalam agama Hindu di Bali memang agak berbeda dengan pemaknaan
agama Hindu di India (Rudyansjah,1986,hlm.20-23), dikarenakan Hindu yang mayoritas
dianut masyarakat Bali adalah Hindu Dharma, dimana hubungan antara manusia dengan
tuhan dan alam menjadi kewajiban utama yang harus dijaga, dikarenakan disanalah letak
keseimbangan6 dalam kehidupan. Untuk itu wajar jika sampai pada masa kini, wanita Bali
selalu memegang teguh pengabdiannya dalam memenuhi kewajiban. Mereka kemudian tidak
pernah banyak protes terhadap apa yang dilakukan kaum laki-laki dalam keluarga, namun
perintah dan saran dan mereka sangat didengar seluruh anggota keluarga. Disanalah letak
keanggunan wanita-wanita Bali pada umumnya, pengabdian mereka bagi keluarga membuat
orang sangat menghormati kehadiran mereka di dalam kehidupan.

Zoonotic Disease dan Penanggulangannya
Orang Bali terutama kaum laki-lakinya sangat suka memiliki hobi. Salah satu
kegemaran mereka adalah memelihara binatang seperti anjing, burung, ayam, dll. Rabies dan
flu burung, dua penyakit yang beberapa kali serius mengancam kegemaran mereka tersebut,
namun pada akhirnya tetap tidak dapat memadamkan kecintaan terhadap binatang
kesayangan. Ancaman-ancaman tersebut malah membuat mereka semakin mawas diri dan
merasa perlu adanya penanggulangan secara efektif dan preventif.
Efektif dimaknai sebagai upaya penanggulangan yang dilaksanakan serempak dalam
skala besar, melibatkan penuh kesatuan masing-masing Banjar, dan tepat sasaran. Pada point
ini, mereka bahkan memahami satu bentuk pemusnahan apabila memang mendesak maka
sudah seharusnya dilakukan. Dukungan mereka terhadap pembantaian anjing yang
dilaksanakan pemerintah provinsi sekitar tahun 2008 di Denpasar, kemudian dapat dijadikan
contoh nyata. Bagi mereka peristiwa yang bahkan sempat dikecam dunia luas tersebut, sudah
seharusnya terjadi sebab merebaknya penyakit rabies menandakan sepatutnya alam yang
tidak seimbang coba untuk diseimbangkan dengan nalar manusia. Mereka memang kemudian
selalu menafsir itu semua sebagaimana layaknya siklus proses pembentukan alam, dimana
kehancuran selalu mendatangkan berkah pula sesudahnya (Schrieke,1957,hlm.77-78).
6

 Konsep Tri Hita Karana. 

Upaya preventif kemudian mereka maknai sesuai kesadaran dan kemampuan masingmasing orang di dalam mengubah perilaku dalam kehidupan, dimana keterikatan mereka
dengan hewan peliharan dan kepentingan menanggapi ancaman penyakit menjadi alasan
utama. Ibu sebagai sosok yang sangat dihormati dalam keluarga Bali kemudian bertindak
sebagai “agency” dalam proses perubahan perilaku orang-orang di dalam keluarga dan
sekitarnya. Mereka menentukan apa-apa yang harus dihindari, dibetulkan, dan dibangun
untuk menjaga kehidupan dari berbagai ancaman penyakit yang disebabkan kehadiran hewan.
Kebanyakan dari mereka memang sangat paham bagaimana kaum laki-laki Bali tidak dapat
dipisahkan dengan kegemarannya terhadap hewan peliharaan. Terkait dengan masalah
penyakit rabies pada waktu lalu, untuk menghindari epidemi itu berulang, contoh dari upaya
prefentif yang mereka coba lakukan adalah dengan memilih meliarkan anjing di jalanan
dengan maksud untuk dibiarkan di makan orang lain. Kemungkinan etnis Batak dan Flores/
Indonesia timur memang gemar menyantap daging hewan ini, terlebih banyaknya bertebaran
Lapo Batak dan Rumah makan “RW” khas Flores di Denpasar.

KONKLUSI

Setidaknya sampai pada masa sekarang, bagi masyarakat Bali dengan adanya
berbagai ancaman kematian dalam kehidupan7, maka hal itu kemudian tidak dapat
dikesampingkan dalam pemahaman mereka mengenai politik. Artinya bahwa kesadaran
untuk mewujudkan satu kehidupan yang berkelanjutan, kemudian menjadi satu hal yang
sangat menentukan bagi eksistensi kekuasaan. Kekuasaan sendiri bagi mereka adalah suatu
pranata yang didukung oleh basis masa dan ritual yang kuat, dimana keteraturan kemudian
menjadi representasi dari keterikatan massa dengan kekuasaan. Singkatnya berbagai bentuk
implementasi rencana untuk mengakomodir kehidupan yang lebih baik akan berjalan mulus,
selama memenuhi fungsi komplementer dari sistem kehidupan masyarakat lokal. Oleh karena
itu pula masyarakat lokal adalah manifestasi dari satu bentuk kekuasaan itu sendiri, dan posisi
mereka sangat sentral di masa kini. Sistem kehidupan sosial mereka sudah berjalan sangat
mapan dalam rentang waktu yang cukup panjang, dan pada kenyataannya dapat
7

 Terutama dalam konteks penelitian ini  adalah disebabkan penyakit. 

menginkorporasikan berbagai hal baru dalam kehidupan yang sekiranya perlu. Seperti misal
berbagai upaya pengembangan untuk kesehatan, ekonomi, dan keberlangsungan hidup.