MOVIE THEATER IN SHOPPING MALLS: CONSUMPTION AND COMMODIFICATION IN URBAN CULTURE
BIOSKOP DI MAL: KONSUMSI DAN KOMODIFIKASI DALAM BUDAYA URBAN MOVIE THEATER IN SHOPPING MALLS: CONSUMPTION AND COMMODIFICATION IN URBAN CULTURE
Gorivana Ageza, Aquarini Priyatna, R.M. Mulyadi
Program Studi Magister Kajian Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjajaran e-mail: [email protected], [email protected], [email protected]
Naskah Diterima: 8 Mei 2018
Naskah Direvisi: 25 Juli 2018
Naskah Disetujui: 10 September 2018
Abstrak
Di Kota Bandung, hampir semua mal memiliki bioskop, dan sebaliknya, tidak ada bioskop di luar mal. Artikel ini akan memaparkan konsekuensi dari keberadaan bioskop di mal. Artikel ini disusun berdasarkan observasi lapangan dan studi pustaka, yang kemudian ditafsirkan secara hermeneutika dengan pendekatan teori kritis. Observasi lapangan dilakukan di dua bioskop terbesar di Kota Bandung yakni CGV Cinemas Mal Paris van Java dan Ciwalk XXI Mal Cihampelas Walk. Fenomena bioskop di mal menunjukkan bahwa kehidupan urban menyebabkan komodifikasi ruang dan pengalaman. Berbelanja di mal dan menonton film di bioskop mal mengarahkan warga urban untuk melakukan konsumsi, serta memaksimalkan keuntungan yang didapat oleh mal dan bioskop.
Kata kunci: mal, bioskop, penonton, ruang, pengalaman.
Abstract
In Bandung city, virtually all shopping malls list movie theaters among their venue. Conversely, there is no movie theater located out of shopping mall. This article explains consequences of movie theater in shopping malls. This article is written based on field observation and literature study, which then was interpreted hermeneutically, using critical theory approach. Field observations were conducted at two biggest movie theaters i n Bandung’s shopping malls, which are CGV Cinemas in Paris van Java Mall and Ciwalk XXI in Cihampelas Walk Mall. This phenomenon indicates that urban life causes commodification on space and experience. Both the act of shopping and watching movies in shopping malls lead urban people to a consumptive lifestyle while maximizing the revenues of both shopping malls and movie theaters.
Keywords: shopping mall, movie theater, audience, space, experience.
bioskop di mal yakni Ciwalk XXI di Mal Tutupnya Regent 21 dan Astor Cihampelas Walk, CGV Cinemas Paris secara berturut-turut pada rentang tahun van Java di Mal Paris van Java, Cinemaxx 2011-2013 menandai bahwa di Kota Istana Plaza di Mal Istana Plaza, BTC XXI Bandung tidak ada lagi bioskop yang di Mal Bandung Trade Center, Empire BIP berbentuk bangunan mandiri (Adi, 2013;
A. PENDAHULUAN
XXI di Mal Bandung Indah Plaza, CGV Maradona, 2011). Akibatnya, sejak saat itu Cinemas Paskal23 di Mal Paskal23, Braga bioskop hanya berada di mal (pusat
XXI di Mal Braga Citywalk, TSM XXI di perbelanjaan). Hingga awal April tahun Trans Studio Mall, CGV Cinemas BEC di 2018, di Bandung terdapat lima belas Mal Bandung Electronic Center, Feslink
300 Patanjala Vol. 10 No. 2 Juni 2018: 299 - 314
XXI di Mal Festival Citylink, CGV awalnya dimungkinkan karena Cinemas Miko di Milan Kopo Mall (Miko kepemilikan yang sama antara jaringan Mall), CGV Cinemas Metro Indah Mall di bioskop Cineplex 21 dengan jaringan pasar Metro Indah Mall, Transmart Buah Batu swalayan Golden Truly (Sen, 2009: 108).
XXI di Mal Transmart, Ubertos XXI di Seiring perkembangan zaman, keberadaan Mal Ujung Berung Town Square, dan Jatos bioskop-bioskop dalam bentuk bangunan
21 di Mal Jatinangor Town Square 1 . mandiri dan kepemilikan mandiri (di luar Kelima
belas bioskop tersebut jaringan bioskop Cineplex 21) mulai tutup. menunjukkan dua hal. Pertama, nama Kondisi tersebut diperparah oleh situasi bioskop diambil dari nama mal yang perfilman tanah air yang terpuruk pada era ditambahkan dengan merek jaringan tahun 1990-an. Bioskop jaringan dengan bioskop. Kedua, nyaris semua mal di format sinepleks diuntungkan karena Bandung memiliki bioskop. Fenomena afiliasinya dengan pasar swalayan, tersebut
kemudian menimbulkan pemutaran film-film impor, serta fasilitas pertanyaan: Bagaimana relasi antara mal bioskop yang nyaman dan mutakhir (Sen, dan bioskop, serta apa konsekuensi dari 2009: 107). Saat ini di Indonesia, kita penyatuan keduanya?
mengenal jaringan-jaringan bioskop lain, Sejak tahun 1986, terjadi perubahan seperti CGV Cinemas dan Cinemaxx, konsep bioskop yang dipelopori jaringan sebagai kompetitor dari jaringan bioskop bioskop Cineplex 21 (Sen, 2009: 107). Cineplex 21. Saat ini baik bioskop jaringan Pada
mulanya bioskop berbentuk maupun bioskop non-jaringan memilih bangunan mandiri dan hanya terdiri atas bergabung dengan mal, dan ini merupakan sebuah
menonton fenomena yang akan didedah lebih lanjut (studio/teater/auditorium) berukuran besar dalam artikel ini. yang dapat menampung ratusan penonton.
ruangan
untuk
Keberadaan mal sendiri adalah salah Sementara itu, bioskop dengan bentuk baru satu penanda kehidupan urban atau kota memiliki format sinepleks (kompleks modern. Walter Benjamin menegaskan ide sinema), yakni sebuah bioskop yang terdiri tersebut dengan ungkapan “… an arcade is atas beberapa ruangan untuk menonton
a city, a world of miniature” (Buck-morss, (studio/teater/auditorium). Sebuah bioskop, 1989). Arcade adalah bentuk pusat dengan demikian, memiliki sejumlah perbelanjaan di abad 20, berupa variasi
tipe lorong/gang dengan deretan toko di studio/teater/auditorium yang dapat dipilih sepanjang
film
dan
kiri-kanannya. Dengan oleh calon penonton. Sebagai catatan, perkataan lain, mal adalah miniatur dari jaringan bioskop Cineplex 21 juga menjadi kota urban. Sementara itu, Karl Marx dan pelopor konsep bioskop berjaringan di Friedrich Engels sebagaimana dikutip oleh Indonesia.
mengatakan bahwa Bersinggungan
Simon
Parker
konsep kapitalisme yang menciptakan kota sinepleks, terjadi pula perubahan lain yakni modern, dan bukan sebaliknya (2004). integrasi antara bioskop dengan pusat Kedua premis tersebut mengisyaratkan perbelanjaan. Masuknya bioskop sinepleks bahwa
dengan
arcade atau mal adalah ke dalam bangunan pusat perbelanjaan pengejawantahan dari sistem kapitalisme. Berdasarkan penelusuran kami, di Indonesia belum ada penelitian atau artikel 1 Bioskop Jatos 21 terletak pada pusat
perbelanjaan Jatinangor Town Square yang yang menelaah fenomena bioskop di mal.
terletak di area perbatasan antara Bandung dan Sementara dari luar Indonesia, terdapat dua Sumedang. Secara administratif Jatinangor
artikel yang berkelindan dengan artikel termasuk pada area Kabupaten Sumedang,
Mal: Konsumsi dan namun pada laman internet situs resmi
Bioskop
di
Komodifikasi dalam Budaya Urban . Cineplex 21 (www.21cineplex.com), Jatos 21
Pertama, tulisan dari William Paul yang dikategorikan pada area Bandung.
Bioskop di Mal..... (Gorivana Ageza, Aquarini Priyatna, R.M. Mulyadi) 301 bertajuk The K-Mart Audience at the Mall mempertahankan hal-hal yang bernilai
Movies dimuat dalam jurnal Film History (Barker, 2014: 53). Saat ini teori kritis vol. 6, no. 4 (1994). Tulisan The K-Mart tidak lagi hanya identik dengan Mazhab Audience at the Mall Movies meneliti Frankfurt, melainkan menjadi terminologi sejarah sinema dunia yakni bagaimana yang dipakai secara luas, yakni sebagai bioskop yang mulanya berupa bangunan analisis tekstual dan budaya yang mandiri dan hanya terdiri atas sebuah didasarkan pada pemikiran kunci dari ruang pemutaran (studio/teater/auditorium) Teori Kritis Mazhab Frankfurt (Barker, kemudian berubah menjadi kompleks 2014: 54). sinema (sinepleks) yang terdiri atas beberapa
ruang
pemutaran B. METODE PENELITIAN
(studio/teater/auditorium), serta berada di Artikel ini disusun dengan metode pusat perbelanjaan. Industri perfilman studi kepustakaan dan observasi lapangan. Hollywood dan dinamika sosial di Analisis dalam artikel ini menggunakan Amerika Serikat menjadi faktor yang hermeneutika. Hermeneutika adalah ilmu memelopori perubahan format bioskop di menafsir makna (Maulana, 2002: 43). dunia. Kedua, tulisan berjudul Les Terminologi hermeneutika berasal dari Flaneurs du Mal(l): Cinema and the bahasa Yunani, hermeneuin yang berarti Postmodern Condition yang merupakan menafsir. Pada mulanya hermeneutika salah satu bab dalam Window Shopping: digunakan untuk menafsir teks kitab suci, Cinema and Postmodernism karya Anne namun
perkembangannya Friedberg (1993). Friedberg (1991: 423) hermeneutika akhirnya digunakan untuk memaparkan bahwa layar bioskop analog menafsirkan segala jenis “teks”, termasuk dengan jendela pajang pada toko-toko di realitas hidup keseharian (Maulana, 2002: mal. Mal adalah konsekuensi logis dari 49). keberadaan bioskop (Friedberg, 1991:
pada
Tesis ini akan mengaplikasikan 425).
424) Hermeneutika versi Hans-Georg Gadamer. menggarisbawahi
Friedberg
fenomena tersebut Dalam hermeneutika versi Hans Georg dengan ungkapan “the mall is a theatre”.
Gadamer, dikotomi rigid antara subjek dan Artikel ini akan menunjukkan objek tidak ada lagi: subjek mempengaruhi konsekuensi dari keberadaan bioskop di objek, dan objek mempengaruhi subjek mal.
Sebagai catatan, artikel ini (Maulana, 2002: 49). Dalam melakukan menggunakan pendekatan teori kritis. penafsiran, objektivitas tidak dapat dicapai Teori kritis adalah corak pemikiran yang sebab setiap penafsir memiliki pengalaman diinisiasi oleh para pemikir dari Mazhab dan kerangka pikiran yang berbeda dalam Frankfurt. Mazhab Frankfurt adalah memahami suatu realitas (Maulana, 2002: sebuah lembaga penelitian yang didirikan 49). Gadamer menyebutkan istilah di Frankfurt, Jerman, pada tahun 1923 “lingkaran
hermeneutis ” untuk (Barker, 2014: 53). Beberapa pemikir menjelaskan teorinya (Maulana, 2002: 49). utama dari Mazhab Frankfurt adalah Terjadi interaksi dua arah, atau dengan Theodore Adorno, Max Horkheimer, dan kata lain, terjadi dialog yang memperkaya Herbert Marcuse (Barker, 2014: 53).
pemikiran. Dengan demikian, tercipta Mazhab Frankfurt menggunakan suatu makna baru yang disebut Gadamer pendekatan interdisipliner, antara lain dengan istilah peleburan/fusi horizon. marxisme, filsafat kritis, dan psikoanalisis, Hermeneutika Gadamer menuntut adanya untuk mengkritik kapitalisme, khususnya koherensi antara keseluruhan teks dengan industri budaya (Barker, 2014: 53). bagian-bagiannya (Wattimena, 2009). Mazhab Frankfurt mengembangkan tradisi Proses pemaknaan atas sesuatu merupakan filsafat Jerman yakni kritik yang berupaya proses yang berlangsung tiada akhir untuk memperbaiki, sekaligus juga (Wattimena, 2009).
302 Patanjala Vol. 10 No. 2 Juni 2018: 299 - 314
Kajian budaya dipengaruhi oleh C. HASIL DAN BAHASAN
hermeneutika dalam perkara kebebasan Terdapat keserupaan antara CGV bagi pembaca “teks” dalam menyusun Cinemas Paris van Java dengan Ciwalk penafsiran (Barker, 2014: 121). Penafsiran
XXI meskipun keduanya berada di pusat dari pembaca terlepas dan dibebaskan dari perbelanjaan yang berbeda, serta terafiliasi
intensi pembuat “teks” (Barker, 2014: dengan jaringan bioskop yang berbeda 121) . Penafsiran terhadap “teks” tidak pula. Kondisi dan gejala yang nampak dari dapat dan tidak perlu dilepaskan dari posisi kedua bioskop tersebut, sekaligus pula dan sudut pandang penafsir (Barker, 2014: menunjukkan kondisi dan gejala yang 122). Dengan perkataan lain, tidak ada terjadi secara general pada fenomena makna tunggal dan absolut. Hermeneutika bioskop di mal. memungkinkan terciptanya reproduksi
makna dan penciptaan makna baru 1. Bioskop CGV Cinemas Paris van
(Barker, 2014: 122).
Java di mal Paris van Java dan
Metode hermeneutika dipilih karena
Ciwalk XXI di mal Cihampelas Walk
memungkinkan peleburan antara kami Cihampelas Walk atau yang sebagai peneliti dengan fenomena yang disingkat menjadi Ciwalk adalah mal yang diamati yakni mal dan bioskop. Di satu berdiri pada tahun 2004, dan berlokasi di pihak, kami mengalami dan menghidupi Jalan Cihampelas 160. Sementara Paris kedirian sebagai manusia urban yang van Java adalah mal yang berdiri pada mengunjungi mal dan menonton film pada tahun 2006, dan berlokasi di Jalan pada bioskop di mal. Di saat bersamaan, Sukajadi 131-139. Kedua mal tersebut kami mengambil jarak dari lokus memiliki beberapa kemiripan. Pertama, kehidupan keseharian tersebut agar dapat keduanya memiliki gaya bangunan yang memahami kehidupan urban dengan menyerupai arcade (pusat perbelanjaan refleksi kritis dan objektif.
awal abad 20), yakni berupa lorong Objek penelitian dari artikel ini panjang dengan deretan toko-toko di kiri- adalah dua bioskop terbesar di Kota kanannya. Kedua, kedua mal tersebut Bandung, yakni CGV Cinemas Paris van mempunyai konsep bangunan hijau (green Java dan Ciwalk XXI. CGV Cinemas Paris building ) yang ditunjukkan dengan van Java berada di mal Paris van Java. keberadaan taman dan area terbuka hijau. Ciwalk XXI berada di mal Cihampelas Ketiga, kedua mal tersebut memiliki Walk (Ciwalk).
bioskop terbesar di Bandung. Keempat, Pembahasan artikel ini akan terbagi kedua bioskop tersebut terletak di lantai menjadi
Pertama, teratas dan/atau berada di area pojok dari pembahasan mengenai bioskop CGV bangunan mal. Cinemas Paris van Java dan Ciwalk XXI.
empat
bagian.
Sebelum diakusisi oleh perusahaan Kedua, pembahasan mengenai bagaimana multinasional Korea Selatan, dahulu CGV bioskop di mal mengomodifikasi ruang. Cinemas
bernama Blitz Megaplex Ketiga, pembahasan mengenai bagaimana (Bookmyshow, 2017a). Blitz Megaplex bioskop
dan yang terletak di mal Paris van Java berdiri mengomodifikasi
di mal
mengubah
pengalaman hidup pada tahun 2006, dan merupakan bioskop manusia urban. Bagian terakhir akan pertama di Indonesia milik jaringan Blitz membahas bagaimana korelasi antara Megaplex. CGV Cinema Paris van Java komodifikasi ruang dan pengalaman, serta merupakan bioskop terbesar di Bandung konsekuensi keduanya.
dengan keberadaan sebelas auditorium yang meliputi delapan auditorium regular, sebuah auditorium 4DX, dan dua auditorium Velvet Class. Sebagai catatan, CGV Cinemas menggunakan istilah
Bioskop di Mal..... (Gorivana Ageza, Aquarini Priyatna, R.M. Mulyadi) 303 auditorium untuk menyebut ruangan Premiere antara lain, loket tiket dan kafe
menonton. Velvet Class adalah auditorium yang terpisah dari penonton regular, yang
memungkinkan penonton tempat duduk penonton berupa sofa yang menyaksikan film dari atas ranjang yang sandaran tubuh dan kakinya dapat diatur, dilengkapi dengan selimut, dan bukannya serta ketersediaan meja dan selimut. kursi seperti umumnya ruangan bioskop. Jumlah kursi dalam sebuah studio The Penonton dari auditorium Velvet Class Premiere juga lebih sedikit ketimbang dapat memanggil pegawai CGV Cinemas studio regular. Serupa dengan CGV melalui bel untuk memesan makanan atau Cinemas Paris van Java, Ciwalk XXI juga minuman.
adalah dilengkapi dengan kafe dan ruang tunggu auditorium yang memungkinkan penonton eksekutif. mengalami sensasi empat dimensi dari tayangan yang ditontonnya, seperti kemunculan
menyerupai kilat, air, serta kursi penonton yang dapat bergerak. CGV Cinemas Paris van Java juga dilengkapi dengan keberadaan toko roti dan kafe Tous les Jours , serta ruang tunggu eksekutif.
Gambar 2. Suasana Ciwalk XXI di Mal Cihampelas Walk Sumber: Ageza, 2018.
CGV Cinemas dan Cineplex 21 menampilkan citra bioskop yang relatif berbeda. CGV Cinemas menampilkan bioskop
tempat untuk Gambar 1. Suasana CGV Cinemas di Mal Paris
sebagai
mendapatkan pengalaman dan ruang van Java
bermain. Hal tersebut tercermin dari Sumber: Ageza, 2018.
ketiadaan batas yang tegas antara area bioskop dengan area mal (lapak/toko
Cineplex 21 didirikan pada tahun lainnya), sehingga memberikan kesan 1986, dan menguasai industri bioskop dinamis. Tata ruang CGV Cinemas nasional selama lebih dari tiga dekade. merupakan kombinasi dari gaya bioskop Grup Cineplex 21 memiliki empat merek Amerika klasik (lampu-lampu bohlam, dagang yakni Cinema 21, Cinema XXI, ornamen retro seperti mural Marilyn The Premiere , dan IMAX (Bookmyshow, Monroe), dan gaya industrial (dengan 2017b). Hingga April 2018, Cinema 21 dinding bata, pipa, dominasi warna hitam sudah memiliki 989 layar bioskop yang dan warna natural). Para pegawai CGV tersebar di 176 lokasi yang tersebar pada Cinemas menegaskan citra tersebut dengan
41 kota di Indonesia (Cineplex21, 2018b). seragam yang mereka kenakan yakni Bioskop Ciwalk XXI terdiri atas 10 berupa jumpsuit bergaya pekerja industri
studio, yakni 8 studio regular dan 2 studio atau montir. Citra bermain ditegaskan juga The Premiere . Sebagai catatan, Cineplex oleh mural yang ditampilkan di dinding
21 menggunakan istilah studio untuk CGV Cinemas Paris van Java “Play at menyebut
ruangan menonton. The CGV”. Untuk membedakan diri dari Premiere adalah studio yang menawarkan jaringan bioskop lain, dinding CGV fasilitas lebih mewah ketimbang studio Cinemas menampilkan mural bertuliskan regular. Fasilitas yang disediakan The
Patanjala 304 Vol. 10 No. 2 Juni 2018: 299 - 314 “We’re Unique in Everyway” dan “Cut
Away the Old Framework ”. Berbeda dari CGV Cinemas, Cineplex 21 menampilkan citra bioskop yang elegan dan eksklusif. Citra eksklusif tercermin dari keberadaan dinding dan pintu kaca yang membatasi area mal dengan area bioskop. Sementara kesan elegan tercermin dari lantai marmer, karpet, serta pencahayaan dan ornamen ruangan yang menggunakan warna hangat seperti krem dan coklat. Citra tersebut ditegaskan pula dengan seragam pekerja Cineplex 21 yang berwarna hitam bergaya elegan, menyerupai seragam pramugari. Pekerja perempuan Cineplex 21, baik yang bertugas di area tiket, penjaga di studio, hingga petugas kebersihan diwajibkan menggulung rambutnya.
Sebagaimana kekhasan jaringan Cineplex 21, bioskop Ciwalk XXI menawarkan variasi film Indonesia dan Hollywood kepada calon penonton. Cineplex 21 juga memutarkan film Hongkong, namun dalam jumlah minim. Misalnya, pada akhir bulan Januari 2018, Ciwalk XXI memutarkan film Hongkong Bleeding Steel yang dibintangi oleh Jackie Chan. Sementara itu, CGV Cinemas memiliki variasi tawaran film yang lebih luas di samping film Indonesia dan film Hollywood, seperti film Thailand, film Korea Selatan, film Jepang, dan animasi Jepang. CGV Cinemas Paris van Java dan Ciwalk XXI juga memilliki kesamaan film yang ditawarkan. Misalnya, pada pekan pertama Februari 2018 film Dilan 1990 dan Maze Runner menjadi dua film yang tidak hanya mendominasi CGV Cinemas Paris van Java dan Ciwalk XXI, melainkan juga tiap-tiap bioskop di Kota Bandung. Film Dilan 1990 bahkan diputar di tiga auditorium CGV Cinemas Paris van Java (CGVCinemas, 2018b).
Aspek
promosi
dan jadwal pemutaran bioskop menjadi faktor penting untuk mempertemukan antara film dan penonton. Neon box dan layar datar LED yang berada di area bioskop mal menampilkan jadwal pemutaran dan
poster-poster film yang tengah atau akan diputarkan.
Sementara itu, jadwal pemutaran dan promosi film yang ditujukan kepada publik dilakukan melalui iklan pada media cetak (umumnya di surat kabar), media elektronik, dan media sosial. Selain itu terdapat pula situs resmi bioskop yang dapat diakses oleh publik. Situs resmi Cineplex 21 (2018a) dan CGV Cinemas (2018a) menampilkan tidak hanya promosi film dan jadwal pemutaran bioskop, melainkan juga memungkinkan penonton untuk membeli tiket dan memilih tempat duduk secara daring.
Salah satu faktor signifikan dari keberadaan bioskop adalah teknologi. Penguasaan terhadap teknologi menjadi pembeda antarbioskop, sekaligus pula menjadi keunggulan yang dijual masing- masing bioskop kepada calon penonton. Teknologi mengacu pada fasilitas yang terdapat pada ruangan menonton film (studio/teater/auditorium)
dan pada keseluruhan area bioskop. Contoh fasilitas dalam ruangan menonton adalah teknologi suara Dolby Atmos. Pada Ciwalk XXI, penggunaan
teknologi di toilet mengejawantah pada keberadaan keran dan dispenser sabun dengan sensor otomatis. Pada CGV Cinemas Paris van Java, ekspos pada teknologi tercermin dari keberadaan mesin-mesin
tiket
swalayan (self- ticketing ), layar-layar datar LED penampil menu makanan minuman, serta layar besar (megatron) yang menampilkan cuplikan film terbaru. Di Ciwalk XXI terdapat pula fasilitas khusus yang tidak dapat ditemui di CGV Cinemas Paris van Java, yakni arena videogame yang disebut XXI Games. Selain teknologi yang berada pada area bioskop, bioskop juga didukung oleh terknologi informasi yang menghubungkan pihak bioskop dengan calon penonton di luar area mal. Misalnya, laman situs resmi bioskop memungkinkan penonton melihat jadwal pemutaran film melalui, dan melakukan pemesanan tiket secara daring.
Teknologi juga merupakan faktor signifikan dalam keberlangsungan mal. Misalnya
pada
sistem parkir,
Bioskop di Mal..... (Gorivana Ageza, Aquarini Priyatna, R.M. Mulyadi) 305 eskalator/travelator/lift, sistem keamanan keamanan yang dilengkapi dengan alat
(kamera pengawas, alarm peringatan detektor logam. Keberadaan pintu kaca bahaya, alat sensor, dsb), dan sistem tidak hanya memisahkan area mal dengan transaksi keuangan (sistem barcode, mesin bioskop, melainkan juga mengontrol arus kasir, ATM, mesin debet/kredit, dsb). keluar masuk calon penonton, sehingga Dapat dikatakan bahwa produk teknologi lebih mudah diawasi dan diperiksa oleh adalah komoditas yang dijual di mal.
petugas keamanan. Kondisi yang umum Meski mal sendiri memiliki berbagai terjadi adalah petugas keamanan meminta fasilitas dan tawaran produk, bioskop di penonton yang membawa makanan dan mal menyediakan fasilitas mandiri yang minuman dari luar bioskop untuk khusus diperuntukkan bagi penontonnya, menitipkan makanan dan minumannya di seperti toilet, kafe/restoran, serta lapak loker sebelum memasuki area bioskop. yang menjual makanan dan minuman
Sebagaimana yang sudah disinggung ringan seperti brondong jagung dan sebelumnya, konsep bangunan hijau yang minuman bersoda. Oleh karena itu, ditampilkan oleh Mal Ciwalk dan Mal makanan/minuman yang dibeli dari lapak Paris van Java juga merangsek ke dalam lain di mal tidak diperkenankan untuk area bioskop. Pada area Ciwalk XXI dibawa ke dalam ruangan menonton ditempatkan tanaman-tanaman hidup di (studio/teater/auditorium).
Produk seputar area bioskop. Pada area tunggu makanan dan minuman yang ditawarkan terdapat jendela kaca berukuran besar yang pihak bioskop cenderung dibandrol dengan memungkinkan
pengunjung melihat harga yang lebih mahal ketimbang produk pemandangan hijau di belakang gedung sejenis yang dijual oleh lapak lain di mal Mal Cihampelas Walk. Kafe The Premiere (Halim, 2017).
Ciwalk XXI memberikan pilihan tempat Pada kedua bioskop, makanan yang duduk dalam ruangan (indoor) atau di luar ditawarkan mengakomodasi cita rasa ruangan (outdoor) kepada konsumennya. global, antara hotdog, hamburger, kentang
CGV Cinemas Paris van Java goreng, dan minuman soda. Untuk memiliki kondisi serupa. Pada lantai memberikan variasi dari standar global, pertama area CGV Cinemas Paris van Java ditambahkan menu-menu lokal. Sebagai terdapat pintu kaca yang terhubung dengan catatan, umumnya menu lokal tetap area hijau dan area parkir. Sementara pada ditampilkan dalam bahasa Inggris. Sebagai lantai kedua, tepatnya pada lorong yang contoh, CGV Cinemas Paris van Java menghubungkan
auditorium regular menyediakan menu kudapan pisang goreng dengan Velvet Class, terdapat kandang dan risoles.
burung dan kandang ayam. Tidak hanya kafe, restoran, dan toilet yang terpisah dari pengelolaan mal, bioskop juga memiliki petugas kebersihan dan keamanan tersendiri yang berbeda dari petugas kebersihan dan keamanan mal. Upaya memelihara keamanan tercermin dari keberadaan kamera pengawas di dalam dan luar studio/teater/auditorium, serta petugas keamanan. Umumnya toko dan lapak di mal tidak memiliki petugas
keamanan pribadi. Sebagai contoh, Gambar 3. Tanaman hijau dan suasana area bioskop-bioskop di bawah jaringan
kafe The Premiere Ciwalk XXI di Mal Cineplex 21 mengeksplisitkan prinsip
Cihampelas Walk. keamanan ini dengan keberadaan pintu
Sumber: Ageza, 2018. kaca sebagai akses masuk, dan petugas
306 Patanjala Vol. 10 No. 2 Juni 2018: 299 - 314
penyatuan mal dan bioskop dapat Modernitas telah mengubah cara memperkecil modal dan biaya operasional manusia memahami ruang dan waktu yang dikeluarkan, serta memberikan (Redana, 2016). Dalam pemahaman baru, keuntungan kepada masing-masing pihak. waktu dimaknai menjadi sesuatu yang
2. Komodifikasi Ruang
Selain hal yang dipaparkan oleh objektif dan mekanis. Sementara itu, ruang William Paul (1994), integrasi bioskop ke manusia
bersama, dalam bangunan mal berkaitan dengan diprivatisasi. Georg Simmel, seperti paradigma masyarakat urban mengenai diterangkan Parker (Parker, 2004), ruang dan waktu yakni pemampatan ruang. menegaskan bahwa kota dan ketepatan Paradigma tersebut memungkinkan ruang waktu adalah hal yang tidak dapat berukuran terbatas memiliki fungsi yang dipisahkan. Mekanisasi waktu tercermin maksimal. Mal adalah sebuah ruang yang dalam berbagai pengaturan waktu, salah memiliki banyak elemen dan fungsi. satunya adalah jadwal pemutaran film di
untuk
hidup
faktor pendukung bioskop.
Terdapat
keberadaan mal, antara lain prinsip Privatisasi ruang hidup manusia efektivitas dan efisiensi, serta kemacetan menyebabkan kelangkaan atas ruang yang umum terjadi di daerah urban. publik. Kondisi tersebut kemudian Pemampatan
ruang memberikan dimanfaatkan oleh keberadaan mal. Mal keuntungan lain, yakni penghematan menjadi pseudo ruang publik: seolah-olah waktu. Keberadaan mal dan konsep one adalah ruang publik. Sementara itu, stop shopping memungkinkan warga urban Friedberg (1991: 424) menyatakan bahwa menghemat waktu dan uang dengan tidak mal adalah tempat untuk menunda realitas perlu berpindah antartempat. Kondisi urban, dan memblokir kerusakan urban tersebut berbanding terbalik dengan seperti kejahatan, kemacetan, perubahan konsep bioskop masa lampau berupa cuaca, dan kaum marjinal. Mal juga bangunan mandiri. Dengan keberadaan menghadirkan ilusi akan keamanan, bioskop di mal, pengunjung mal tidak kebersihan, dan kenyamanan (Friedberg, hanya dapat menonton film, melainkan 1991: 424). Ruang yang ditawarkan oleh juga dapat sekaligus memenuhi kebutuhan mal perlu dikompensasi dengan alat tukar lainnya. Prinsip integrasi diterapkan pula objektif yakni uang.
pada lapak lain di mal, misalnya pasar Dalam The K-Mart Audience at Mall swalayan. Istilah toko serba ada (toserba) Movies , Paul (1994: 493) memaparkan yang mengacu pada pasar swalayan bahwa masuknya bioskop ke dalam menunjukkan bagaimana konsumen dapat bangunan mal menguntungkan kedua belah membeli berbagai macam kebutuhan pihak. Pihak bioskop diuntungkan karena sehari-hari tanpa harus keluar dari area dua hal. Pertama, karena bioskop tidak lagi pasar swalayan. berupa bangunan mandiri, ia tidak perlu
Integrasi yang dilakukan mal, secara diberatkan dengan biaya properti yang tidak langsung telah menciptakan ruang semakin lama semakin tinggi. Kedua, kondusif bagi terciptanya co-opetition bioskop memiliki keleluasaan untuk (cooperative competition) antartoko/lapak menyewa lantai teratas dari bangunan mal. di mal. Co-opetition adalah neologisme Di lain pihak, mal diuntungkan karena yang mengacu pada kondisi ketika iklan film yang umumnya memiliki kompetisi justru saling menguntungkan jangkauan secara nasional secara tidak masing-masing pihak. Prinsip co-opetition langsung mengiklankan mal. Berdasarkan dipaparkan dalam buku Theory of Games observasi lapangan yang kami lakukan, and Economic Behaviour karya John von pemikiran Paul tersebut dieksplisitkan Neumann dan Oskar Morgenstern (2004). dengan penamaan bioskop yang memuat Sebagaimana kompetisi yang terjadi di nama mal. Dengan perkataan lain, antara berbagai toko dan lapak yang berada
Bioskop di Mal..... (Gorivana Ageza, Aquarini Priyatna, R.M. Mulyadi) 307 di mal, kompetisi juga terjadi di bioskop.
Pertama, bioskop berkompetisi dengan toko/lapak lain yang berada di mal. Kedua, film-film yang diputarkan di suatu bioskop saling bersaing satu sama lain untuk mendapatkan penonton. Kondisi ini tercermin dari keberadaan neon box yang menampilkan poster, dan layar yang memutarkan trailer dari film-film yang
ditawarkan oleh pihak bioskop kepada Gambar 4. Bioskop selalu berada di lantai calon penonton. Dengan perkataan lain,
teratas mal. jika film adalah produk, maka bioskop
Sumber: Ageza, 2018. adalah etalase atau jendela pajangnya.
Pada contoh kasus kompetisi antara film Selain argumentasi dari kedua Dilan 1990 dan Maze Runner tercermin pemikir tersebut, berdasarkan observasi
pula hal lain, yakni kompetisi global: lapangan,
mendapati bahwa produk lokal bersaing dengan produk keberadaan bioskop yang memberikan
kami
impor. Kompetisi produk lokal dan kesan terisolir memberikan keuntungan impor/multinasional terjadi pula di lain yakni bioskop dapat memonopoli berbagai toko/lapak lain di dalam mal. berbagai aktivitas yang dilakukan oleh Ketiga, kompetisi antarmal. Keempat, penonton dan calon penonton. Salah satu kompetisi antarbioskop, khususnya bagi contohnya adalah toilet khusus untuk bioskop yang terafiliasi dengan jaringan penonton bioskop. Meskipun di mal yang berbeda. Cineplex 21 dan CGV terdapat berbagai fasilitas, serta lapak yang Cinemas
konkret menjual makanan dan minuman, bioskop kompetisi global. CGV Cinemas dimiliki tetap menyediakan fasilitas mandiri yang oleh CJ CGV, perusahaan asal Korea diperuntukkan
menjadi
contoh
khusus kepada Selatan. Sementara Cineplex 21 yang penontonnya. Dengan demikian, bioskop
selama 30 tahun merupakan perusahaan tidak hanya mendapatkan keuntungan dari lokal, terhitung sejak 2016 membagi penjualan tiket film, melainkan juga dari kepemilikan sahamnya dengan perusahaan berbagai produk pendamping lain yang asal Singapura (Kompas, 2016).
ditawarkannya. Sebagai catatan, pihak CGV Cinemas Paris van Java, bioskop memberlakukan harga makanan
Ciwalk XXI, dan bioskop-bioskop lain dan minuman yang cenderung lebih tinggi selalu terletak di lantai teratas dan area ketimbang harga rata-rata di tempat lain pojok dari bangunan mal. Paul (1994: 493) dengan tujuan untuk menjaga harga tiket menjelaskan
dengan bioskop agar tetap terjangkau (Halim, mengatakan bahwa bioskop membutuhkan 2017). tempat yang tersembunyi agar memberikan
fenomena
ini
Fasilitas yang juga ditonjolkan oleh kesan misterius dan menimbulkan rasa pihak bioskop adalah teknologi. Teknologi
ingin tahu. Sementara itu, Friedberg (1991: adalah faktor yang membuat bioskop tetap 425) mengatakan bahwa keberadaan bertahan dari kompetisi dengan televisi bioskop di area terpojok dari bangunan mal (Corbett, 2001) dan internet. Penguasaan secara tidak langsung memaksa pengujung terhadap teknologi selalu terkait dengan untuk melewati, serta diseduksi oleh perkara kapital. Semakin besar kapital berbagai lapak dan deretan jendela pajang yang dimiliki, maka semakin mutakhir dari toko-toko yang berada di mal.
pula teknologi yang disediakan. Teknologi menjadi pembeda antarbioskop. Kondisi
tersebut menunjukkan pula kompetisi yang didasarkan pada teknologi: semakin mewah dan tinggi kelas sosial dari
308 Patanjala Vol. 10 No. 2 Juni 2018: 299 - 314 konsumen suatu mal, maka semakin adalah contoh dari merek-merek global.
mutakhir teknologi yang dimiliki dan Terdapat keseragaman dalam aspek ditawarkannya kepada penonton.
keruangan dan produk merek-merek global Teknologi yang terdapat di bioskop tersebut. Sebagai perusahaan dengan memberikan keuntungan kepada penonton jangkauan nasional, Cineplex 21 juga dan bioskop sendiri. Di satu pihak, menerapkan sistem standarisasi. Prinsip penonton diberikan kemudahan. Misalnya, tersebut nampak dari keserupaan tampilan dengan keberadaan mesin tiket, pembeli ruangan dan film yang ditawarkan oleh tidak perlu mengantre panjang pada loket berbagai cabang bioskop Cineplex 21 se- konvensional. Sensor otomatis pada sabun Indonesia. Standarisasi memungkinkan dan keran membuat pengguna lebih mal dan bioskop memperkecil pengeluaran higienis,
serta berkontribusi pada modal, memperbesar keuntungan kapital, penghematan air. Di lain pihak, bioskop menjangkau pasar yang luas, serta mudah pun diuntungkan dari teknologi tersebut: diidentifikasi di mana pun keberadaannya. meminimalisasi jumlah pekerja di loket
Prinsip no-thing bekerja secara tiket konvensional, serta mengurangi biaya simultan dengan prinsip some-thing, yakni penggunaan sabun dan air. Contoh lain variasi di tingkat detil. Prinsip something dari pemanfaatan teknologi adalah sistem terkait dengan glokalisme (global-lokal- pembelian
Bioskop isme), yakni manifestasi globalisasi di diuntungkan karena pengurangan jumlah tingkat
tiket
daring.
Prinsip some-thing antrean pembeli tiket di loket, serta memungkinkan perusahaan multinasional memungkinkan bioskop mendapatkan seperti CGV Cinemas menjual produk pembayaran
lokal.
daripada lokal seperti pisang goreng. pembelian
lebih
cepat
Sebagaimana yang sudah dipaparkan Penguasaan terhadap teknologi memiliki pada subjudul sebelumnya bahwa bioskop andil terhadap tutupnya bioskop non- Ciwalk XXI dan CGV Cinemas Paris van jaringan dan bioskop di luar mal di Java berupaya menghadirkan suasana alam Bandung. Bioskop yang tidak dilengkapi yang asri ke dalam lingkungan bioskop. dengan teknologi mutakhir sulit untuk Friedberg (1991: 424) menjelaskan kondisi bersaing mendapatkan penonton.
di loket
konvensional.
ini dengan mengatakan bahwa mal Perkara
ruang, fasilitas, dan menghadirkan ilusi luar-ruangan (outdoor) teknologi kemudian terkait dengan prinsip untuk membuat pengunjung merasa betah standarisasi. George Ritzer mengatakan dan nyaman. Sementara itu, Lefebvre bahwa mal adalah pengejawantahan dari menyatakan bahwa kota mencerabut prinsip no-thing (2004). Nothing dalam kehidupan keseharian manusia untuk pemikiran Ritzer berarti “generally kemudian dikomodifikasi. Bertolak dari centrally conceived and controlled social kedua
tersebut, maka forms that are comparatively devoid of keberadaan area hijau pada mal dan distinctive substantive content” (2004: xi). bioskop di mal adalah contoh komodifikasi
pemikiran
Prinsip tersebut membuat mal di berbagai yang diakibatkan oleh perubahan dari tempat di dunia memiliki keserupaan ruang hidup manusia: ruang hidup alamiah bentuk, serta diisi oleh merek-merek dan asri berubah menjadi kota. internasional yang serupa. Dengan kata
mengikuti pendapat lain, pada tingkat general hanya terdapat Lefebvre (1991: 26) “(social) space is a keserupaan,
Dengan
terdapat (social) product”, dapat diargumentasikan keistimewaan. Mal Paris van Java dan bahwa jika ruang adalah kapital dan CGV Cinemas adalah contoh dari prinsip produk, maka penambahan berbagai tersebut. CGV Cinemas dan toko-toko fasilitas, teknologi, standarisasi, dan ilusi yang terdapat di mal Paris van Java seperti luar-ruangan pada ruang pada bioskop di Zara, H&M, Stradivarius, dan Mango mal menunjukkan bagaimana kapital perlu
dan
tidak
Bioskop di Mal..... (Gorivana Ageza, Aquarini Priyatna, R.M. Mulyadi) 309 selalu direproduksi untuk memaksimalkan film. Dengan demikian, film di bioskop
keuntungan dan menghasilkan lebih menjadi sejajar dengan (misalnya) kopi di banyak kapital.
lapak kedai kopi, baju di toko fashion, dan makanan di restoran cepat saji.
Untuk memaksimalisasi keuntungan, Integrasi antara mal dan bioskop bioskop perlu menjangkau segmentasi tidak hanya sekadar penyatuan ruang yang pasar yang luas. Oleh sebab itu, bioskop memungkinkan keduanya bersinergi dan menyediakan
3. Komodifikasi Pengalaman
variasi vertikal dan bersimbiosis untuk menarik keuntungan horizontal kepada calon penonton. Hal ini lebih banyak, melainkan juga mengubah berkaitan pula dengan sistem sinepleks cara hidup manusia urban. Bioskop di mal yang diterapkan oleh bioskop di mal. membuat pengalaman berbelanja di mal Sistem sinepleks membuat variasi ini dan menonton di bioskop berlangsung dimungkinkan. Variasi horizontal yakni secara simultan. Dengan demikian, berupa variasi genre dan rating usia film. penonton film di bioskop pasti adalah juga Variasi vertikal yakni berupa variasi kelas konsumen mal.
atau fasilitas menonton, seperti teknologi Kondisi tersebut membawa beberapa layar, suara, dan tempat duduk. konsekuensi logis. Pertama, menonton film
Kontrol adalah prinsip yang di suatu bioskop hanya dapat dilakukan membentuk kehidupan urban. Mal oleh orang dengan kapital yang sesuai beroperasi dengan didasarkan pada dengan segmentasi mal yang dituju: kontrol.
mal mengontrol semakin mewah suatu mal, semakin mahal pengalaman pengunjung mal dan/atau pula biaya tiket menonton. Kedua, warga penonton film di bioskop agar senantiasa kota dari kelas bawah tidak lagi memiliki berada dalam koridor pengalaman yang akses ke bioskop. Sebab segmentasi pasar aman, bersih, dan nyaman. Kedua, mal dan konsumen mal menyasar kelas menengah bioskop di mal juga mengontrol ruang. dan atas. Kondisi ini berbeda jauh dengan Ketiga, mal dan bioskop di mal era sebelum masuknya bioskop ke mal, mengontrol pilihan konsumen. Kontrol yakni ketika bioskop masih berupa atas ruang tercermin dari keberadaan bangunan mandiri dan/atau belum terkait kamera pengawas (CCTV) di area bioskop dengan
Pertama,
jaringan bioskop. Bioskop dan di dalam ruangan menonton memiliki rentang harga yang lebih (studio/teater/auditorium). Cineplex 21 bervariasi (menjangkau berbagai kelas mengeksplisitkan aspek kontrol tersebut sosial-ekonomi). Ketiga, sebagaimana dengan keberadaan pintu kaca, dan petugas produk yang tersedia di mal, bioskop keamanan dengan alat detektor logam di hanya akan memutarkan film-film yang Ciwalk XXI. Kontrol atas pilihan laris saja. Sebagai contoh adalah film tercermin dari pilihan-pilihan film, Dilan 1990 dan Maze Runner yang makanan, dan minuman yang disodorkan diputarkan oleh mayoritas bioskop di kepada calon penonton. Terkait dengan Bandung, termasuk di CGV Cinemas Paris pemaparan sebelumnya bahwa keberadaan van Java dan Ciwalk XXI. Terdapat pula bioskop di mal telah menyempitkan posisi anggapan bahwa film yang bagus berarti penonton pada pengunjung mal, maka film yang laku ditonton oleh banyak orang bioskop akan cenderung memberikan (Nova, 2014). Keempat, karena mal tawaran film-film yang laris. Film yang diasosiasikan sebagai tempat hiburan, cenderung ditawarkan kepada calon maka film yang diputarkan bioskop di mal penonton adalah film yang menampilkan memiliki penekanan pada unsur hiburan. kisah yang sejalan dengan gaya hidup yang Kelima, film menjadi produk. Oleh karena ditawarkan
mal, cenderung itu, terjadi pergeseran penekanan makna menggunakan
oleh
cara pandang atau dari menonton film menjadi mengonsumsi berorientasi pada kelas menengah dan atas,
310 Patanjala Vol. 10 No. 2 Juni 2018: 299 - 314 serta berkelindan dengan kehidupan diputarkan di layar bioskop. Konsumsi atas
masyarakat urban. Dengan demikian, mal ide
sesuatu yang tidak dan bioskop di mal dapat memaksimalkan terhindarkan sebab ide termaktub di dalam keuntungan yang diperoleh, sekaligus pula film dan iklan yang ditampilkan pada layar memelihara gaya hidup pengunjung mal bioskop.
menjadi
tersebut kemudian dan penonton bioskop.
Ide
mengarahkan penonton untuk melakukan Pada bagian sebelumnya telah konsumsi produk. Sebagai contoh, ide dijelaskan tujuan dari penempatan bioskop mengenai pelajar SMA yang romantis dan di lantai teratas mal. Salah satu tujuannya menjadi idola dalam film Dilan 1990 adalah agar calon penonton terlebih dahulu membangkitkan kembali tren jaket jeans melewati dan melihat jendela pajang toko- (Librianty, 2018). toko sebelum tiba di area bioskop. Layar
itu Friedberg bioskop analog dengan jendela pajang toko menjelaskan konsumsi atas pengalaman di mal (Friedberg, 1991: 423). Friedberg dengan “Shopping-mall cinemas demand (1991:
Sementara
420) menyebutkan istilah an expenditure. They offer the pleasure of consumerspectator (konsumen-penonton) purchase, but instead of delivering a untuk menunjuk pengunjung mal. Layar tangible product, they supply an bioskop dan jendela pajang membingkai, experience.” (1991: 424). Kembali pada mempertontonkan, dan menjual produk pemikiran
Lefebvre (1991) yang (1991: 423). Berdasarkan penjelasan dipaparkan pada subjudul sebelumnya Friedberg tercermin bahwa pada jendela bahwa kota urban mencerabut pengalaman pajang toko, maneken dan produk hidup
keseharian agar dapat ditampilkan secara statis, sementara tubuh dikomodifikasi. Maka, pengalaman yang pengunjung mal bergerak. Pada layar dihadirkan oleh film menjadi contoh bioskop terjadi kondisi sebaliknya: adanya konkret dari pemikiran tersebut. gerak dari film dan iklan yang
Keberadaan fasilitas auditorium ditayangkan, sementara tubuh penonton 4DX pada CGV Cinemas Paris van Java dibuat statis.
dan area permainan video (videogame) Berkesesuaian dengan Friedberg, pada Ciwalk XXI menjadi dua contoh dari Debord (1970) menyebutkan istilah intensifikasi pengalaman. Paul mengatakan spectacle of society : segala yang dapat bahwa mesin videogame di bioskop dipertontonkan adalah komoditas, dan menunjukkan sinergi antara film dan
komoditas perlu dipertontonkan. Friedberg videogame (1994: 497-498). Dalam dan Deborg meradikalkan istilah menonton pemikiran
sinergi tersebut dengan tidak hanya terbatas pada perkara dimungkinkan karena terjadinya perubahan menonton film. Mengacu kepada kedua cara menonton, yakni bioskop berupa pemikiran tersebut, maka kondisi dua arah bangunan mandiri dengan sebuah layar terjadi di mal. Pertama, pengunjung tunggal, kemudian menjadi kompleks menonton segala hal yang terdapat di sinema (sinepleks) dengan ruangan ruang mal, seperti jendela pajang toko, menonton yang lebih kecil. Perubahan maneken, neon box poster film, film dan tersebut
Paul,
menunjukkan terjadinya iklan di layar bioskop, serta sesama penurunan skala atmosfer dalam menonton pengunjung. Kedua, pengunjung mal film (Paul, 1994: 501). Penurunan skala berbelanja produk, ide, dan pengalaman.
tontonan tersebut analog dengan kegiatan Kegiatan menonton film di bioskop menonton videogame (Paul, 1994: 498). Di mal mengeksplisitkan peristiwa konsumsi samping
pendapat Paul tersebut, atas ide dan pengalaman. Di dalam berdasarkan observasi kami, sinergi antara ruangan
menonton (studio/teater/ videogame dan film dimungkinkan karena auditorium), produk yang dibeli penonton keserupaan produk yakni berupa gambar adalah ide dan pengalaman yang bergerak
yang
mengintensifikasi
Bioskop di Mal..... (Gorivana Ageza, Aquarini Priyatna, R.M. Mulyadi) 311 pengalaman hidup riil, serta simbiosis
Di saat bersamaan, kota menjadi mutualisme dari adaptasi videogame lokus dari kapitalisme modern. Walter menjadi film. Tidak hanya fasilitas 4DX, Benjamin sebagaimana dikutip oleh slogan yang terdapat pada mural di dinding Gilloch mengatakan CGV Cinemas Paris van Java juga mengisyaratkan
“… to the representation of the city komoditas. Mural slogan yang terdapat di
pengalaman
sebagai
as the essential locus of modern CGV Cinemas Paris van Java antara lain
capitalism dan its attendant evils of “Envolving beyond movies, bring cinema
exploitation, injustice, alienation, to your life” dan “Where your special
and the diminution of human movie experience begins”.
experience” (1996: 1). Dengan
demikian,
peristiwa
menonton film tidak hanya mencerabut Mengacu pada kedua kondisi tersebut, pengalaman hidup keseharian, melainkan maka dapat dikatakan bahwa mekanisme- juga memungkinkan penonton merasakan mekanisme yang dipergunakan untuk pengalaman baru dan mengintensifkan mengatur warga kota, di saat bersamaan pengalaman melalui film-film yang digunakan
untuk mengeruk ditontonnya.
pula
dan mengeksploitasi. pengalaman riil, pengalaman yang didapat Pemikiran Walter Benjamin tersebut melalui menonton film di bioskop adalah berkesesuaian dengan pemikian Lefebvre pengalaman
Namun, berbeda
dari keuntungan
yang didasarkan pada yang sudah dipaparkan pada bagian atmosfer mal, yakni aman, bersih, dan sebelumnya. nyaman (Friedberg, 1991: 424), serta
Ruang terkait dengan pengalaman. tubuh yang statis (karena hanya sebagai Perubahan atas ruang mengubah pula penonton). Meskipun film menampilkan pengalaman hidup manusia. Kapitalisme adegan genting dan berbahaya, penonton menguasai dan memprivatisasi ruang kota, hanya bergeming dengan nyaman di akibatnya pengalaman hidup manusia tempat duduk bioskop.
mengalami komodifikasi pula. Mal adalah miniatur dari kota, oleh karena itu cara
4. Bioskop di Mal sebagai Miniatur
kerja kota termaktub pula di dalam cara
kerja mal. Kota perlu mencerabut Kota berupaya menciptakan suasana pengalaman hidup riil keseharian manusia kehidupan yang aman dan nyaman bagi urban, agar dapat menjualnya kembali warga urban yang jumlahnya tinggi dan dalam bentuk komoditas. Mal menjadi heterogen. Sebagai perbandingan, jumlah tempat untuk menjajakan komoditas. penduduk desa tidak setinggi di kota, dan
Kota
Bioskop di mal menunjukkan warganya cenderung homogen (misalnya bagaimana ruang-ruang yang mulanya dalam hal pekerjaan) (Basundoro, 2012: terpisah disatukan. Penyatuan tersebut 18-19). Oleh sebab itu, kota perlu bertujuan untuk memperkecil biaya menerapkan sejumlah mekanisme untuk operasional,
dan memaksimalkan mengatur warga kota, antara lain melalui keuntungan bagi mal dan bioskop. Di satu kontrol dan standarisasi. Selain untuk pihak, ruang (fisik) dimampatkan. Di pihak memperbesar keuntungan (seperti yang lain, pengalaman (mental) diperluas dan sudah
bagian diintensifkan. Perluasan dan intensifikasi sebelumnya), standarisasi diberlakukan dari kegiatan menonton film di bioskop karena kota tidak mampu mengakomodasi membuat
dipaparkan
pada
penonton mengalami kepentingan/kehendak dari tiap-tiap warga pengalaman hidup yang berbeda dari kota yang jumlahnya banyak dan pengalaman hidup riil keseharian yang heterogen.
cenderung monoton, terkontrol, dan terstandar. Mural di dinding CGV
312 Patanjala Vol. 10 No. 2 Juni 2018: 299 - 314 Cinemas Paris van Java menunjukkan hal dimaksimalkan.
Komodifikasi ruang tersebut dengan slogan “Fun and unique kemudian menyebabkan perubahan cara
experience ”. Singer (2001) manusia urban dalam mengalami peristiwa menegaskannya
dengan menyatakan berbelanja di mal dan menonton di bahwa kehidupan modern urban yang bioskop. Berbelanja dan menonton monoton
urban menjadi sebuah kesatuan kegiatan yang membutuhkan
membuat
warga