Pengaruh Desentralisasi Fiskal dalam Hal

Pengaruh Desentralisasi Fiskal dalam Hal Perimbangan Keuangan
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah tertinggal di Indonesia
Nukman
Widyono Soetjipto
Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomi

ABSTRAK

Tesis ini membahas pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
2005 – 2009 oleh pemerintah terhadap pelaksanaan pembangunan di daerah tertinggal di
Indonesia. Kebijakan pemerintah pusat yang diwujudkan dalam instrumen kebijakan fiskal
berupa dana perimbangan (Intergovermental transfer ). Besaran dana perimbangan yang telah
diberikan pemerintah pusat diharapkan akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan
mempercepat proses pembangunan di daerah tertinggal. Analisis desentralisasi fiskal pada
penelitian ini difokuskan pada indikator pengeluaran, yang merupakan rasio total pengeluaran
pemerintah daerah terhadap total pengeluaran pemerintah pusat, serta menggunakan satu set
variabel kontrol yang terdiri dari Level Awal Pertumbuhan, Pertumbuhan Penduduk,
Investasi, dan Human Capital sebagai variabel independen dan pertumbuhan PDRB percapita
sebagai variabel dependen. Data berupa data panel dan diestimasi dengan pendekatan Least
Square Dummy Va riabel (LSDV) atau dikenal juga sebagai Fixed Effect Model (FEM)

dengan crosssection weigth (pembobotan). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
desentralisasi fiskal berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di
daerah tertinggal namun nilai pertumbuhan yang dihasilkan relatif masih sangat kecil
sehingga rata-rata PDRB per kapita di daerah tertinggal masih jauh di bawah rata-rata PDRB
perkapita nasional.
Kata kunci :
Desentralisasi Fiskal, Perimbangan Keuangan, Pertumbuhan Ekonomi, Daerah Tertinggal.

ABSTRACT

This thesis discusses the implementation of the National Mid-term Development Plan
(RPJMN) 2005 – 2009 by the government in developing disadvantaged regions in Indonesia.
Central government policies embodied in the instruments of fiscal policy in the form of
grants (Intergovernmental transfer). The amount of grants which is provided by the central
government is expected to accelerate economic growth and development in disadvantaged
regions. Analysis of fiscal decentralization in this study focused on expenditure approach,
which is the ratio of total expense of local government to the total expense of the central
government, as well as applying a set of control variables consist of Initial Level of Growth,
Population Growth, Investment, and Human Capital as independent variable and regional
srowth as dependent variable. Panel data is used and estimated by adopting Least Square

Dummy variable approach (LSDV), also known as Fixed Effect Model (FEM) with a crosssection weight. The results indicate that the effect of fiscal decentralization have positive and
significant impact on economic growth in disadvantaged regions, but the resulting growth
rate is relatively small, therefore the average of GDP per capita in disadvantaged regions is
far behind the average of national GDP per capita.
Key words :
Fiscal Decentralization, Intergovermental Transfer, Economic Growth, Disadvantaged
Regions.

2

Pendahuluan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2005-2009
menetapkan tiga agenda Pembangunan Nasional Tahun 2005 – 2009, yaitu (i) Menciptakan
Indonesia yang aman dan damai, (ii) Mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis, dan
(iii) Meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Berkaitan dengan Agenda meningkatkan
kesejahteraan masyarakat disusun lima sasaran pokok, prioritas dan arah kebijakan
diantaranya adalah (i) Berkurangnya kesenjangan antar wilayah, (ii) Meningkatnya peran
perdesaan sebagai basis pertumbuhan ekonomi agar mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di pedesaan; (iii) Meningkatnya pembangunan pada daerah-daerah terbelakang
dan tertinggal; (iv) Meningkatnya pengembangan wilayah yang didorong oleh daya saing

kawasan dan produk-produk unggulan daerah; serta (v) Meningkatnya keseimbangan
pertumbuhan pembangunan antar kota-kota metropolitan, besar, menengah, dan kecil dengan
memperhatikan keserasian pemanfaatan ruang dan penatagunaan tanah.
Sejak tahun 2005, Pemerintah melalui Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal
(KPDT) telah menetapkan 199 kabupaten yang dikategorikan sebagai daerah tertinggal, baik
yang termasuk kategori tertinggal parah, sangat tertinggal, maupun agak tertinggal. Dari
sejumlah 199 kabupaten tertinggal tersebut, sebanyak 123 kabupaten tersebar di Kawasan
Timur Indonesia, 58 kabupaten tersebar di Pulau Sumatera, dan sebanyak 18 kabupaten
tersebar di Pulau Jawa dan Bali. Penetapan kabupaten yang masuk dalam kategori tertinggal
ini dimaksudkan untuk dapat menjadi prioritas dalam pelaksanaan pembangunan.
Pelaksanaan pembangunan di Indonesia sejak tahun 2001 telah memasuki era otonomi
daerah dan desentralisasi fiskal. Proses pelaksanaannya diwarnai dengan berbagai
penyempurnaan terhadap kedua UU yang telah ada. Pada tahun 2004 dikeluarkan UU
otonomi daerah yang baru, yakni UU no. 32 tahun 2004 mengganti UU no. 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah serta UU no. 33 tahun 2004 mengganti UU No. 25 tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (PKPD).
Perubahan terutama berkaitan dengan sistem pemilihan kepala daerah langsung. Dengan
lahirnya kedua UU ini, maka sistem hubungan lembaga-lembaga pemerintahan di Indonesia
mengalami perubahan, baik secara vertikal, yakni hubungan antara Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota, maupun hubungan secara horisontal

antara Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif baik di tingkat pusat maupun Daerah. Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 32/2004 dan Undang-Undang Nomor 33/2004 telah menyebabkan
perubahan yang mendasar mengenai pengaturan hubungan pemerintah pusat dan pemerintah

3

daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yang dikenal dengan era otonomi daerah.
Pada periode 2005 - 2009, transfer dana ke daerah-daerah di Indonesia berupa Dana
Perimbangan (DAPER) terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 dana perimbangan
hanya sebesar Rp. 143,2 triliun dan meningkat sebesar 55, 1 % pada tahun 2006 menjadi Rp.
222,1 triliun. Tahun 2007 dana perimbangan mencapai Rp. 243,9 triliun yang meningkat
sebesar 9,8 % dari tahun sebelumnya dan hingga tahun 2009 dana perimbangan mencapai Rp.
285,3 triliun.

Dari alokasi dana perimbangan tersebut jika dipilah pembagiannya antara

daerah tidak tertinggal dan daerah tertinggal maka transfer Dana Perimbangan untuk Daerah
Tertinggal (DAPER DT) pada tahun 2005 hanya sebesar Rp. 38, 3 triliun atau sebesar 26,8
% total dana perimbangan pada tahun 2005. Pada tahun 2006 dana perimbangan daerah

tertinggal mencapai Rp. 70,3 triliun dan hingga tahun 2009 dana perimbangan daerah
tertinggal mencapai Rp. 94.4 triliun.
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dilihat bahwa secara rata-rata pada periode 2005 –
2009 besaran dana perimbangan untuk daerah tertinggal berkisar 26 - 33 % dari total dana
perimbangan yang disediakan pada tahun berjalan. Sementara jumlah daerah tertinggal
sebanyak 199 kabupaten atau sekitar 41,2 % dari total jumlah kabupaten/kota (483 daerah) di
Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa besarnya dana perimbangan bagi daerah tertinggal ini
secara rata-rata masih di bawah daerah non-tertinggal lainnya.
Selain dana desentralisasi tersebut, pemerintah pusat juga mengalokasikan dana untuk
membiayai program dan kegiatan yang menjadi kewenangan pemerintah di daerah, yaitu dana
dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan. Pengaturan dana dekonsentrasi bertujuan untuk
menjamin tersedianya dana bagi pelaksanaan kewenangan Pemerintah yang dilimpahkan
kepada Gubernur (daerah Tk. I) sebagai wakil Pemerintah.
Pada periode 2005 – 2009 perkembangan besaran alokasi untuk dana Tugas
Pembantuan (TP) bagi daerah di Indonesia menunjukan tren peingkatan. Pada tahun 2005 TP
mencapai Rp. 12,12 triliun, tahun 2006 turun 30,44 % menjadi Rp. 8,43 triliun, pada tahun
2007 mengalami peningkatan 89, 72 % menjadi Rp. 16 triliun, dan turun 10% pada tahun
2008 menjadi Rp. 14,4 triliun. Tahun 2009 menjadi Rp. 24,50 triliun atau meningkat sebesar
70 % dari tahun sebelumnya. Jika dipilah peruntukannya antara daerah non-tertinggal dan
daerah tertinggal maka alokasi dana tugas pembantuan untuk daerah tertinggal tiap tahunnya

adalah berkisar 25 % - 27 % dari alokasi yang tersedia. Pada tahun 2005 mencapai Rp. 3, 37
triliun, pada tahun 2009 meningkat menjadi Rp. 6,57 triliun.

4

Pelaksanaan desentralisasi fiskal di daerah-daerah tertinggal pada periode 2005 – 2009
cenderung belum mampu membawa peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. Jika dilihat
dari indikator PDRB perkapita, proporsi pendapatan perkapita daerah tertinggal menunjukan
angka yang relatif kecil, yaitu hanya sekitar 48 - 52 % dibandingkan pendapatan nasional
dan memiliki kecenderungan menurun tiap tahunnya.
Tabel 1.1 Perkembangan Pendapatan Perkapita Indonesia dan Daerah Tertinggal
PDRB Perkapita
Harga Konstan th. 2000
Tahun

2005
2006
2007
2008
2009


Daerah
Tertingal

Indonesia

4,127,008
4,214,513
4,354,482
4,463,897
4,550,167

7,926,329
8,239,517
8,633,609
9,018,352
9,292,465

Proporsi
%

52.07%
51.15%
50.44%
49.50%
48.97%

Sumber : BPS. Telah diolah kembali

Dalam studi ini, paling tidak ada dua hal penting yang melatarbelakangi keinginan
untuk menggali lebih jauh tentang pelaksanaan desentralisasi fiskal di daerah tertinggal di
Indonesia. Pertama, belum adanya satu kajian yang mendalam tentang pengaruh kebijakan
desentralisasi fiskal dalam hal perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah
terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah tertinggal (less developed ) di Indonesia.
Kedua, pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah tertinggal pada periode 2005 – 2009 masih
menunjukan angka di bawah angka rata-rata nasional.
Menurut teori dan berbagai penelitian empiris, dapat disimpulkan bahwa pemerintah
daerah melalui pelaksanaan kebijakan fiskal dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
daerah. Namun apakah pengaruh kebijakan desentralisasi fiskal khususnya dari sisi
pengeluaran terhadap pertumbuhan ekonomi daerah khususnya bagi daerah tertinggal tersebut
positif atau negatif masih belum dapat dipastikan. Terdapat perbedaan teori dan perbedaan

kesimpulan dari berbagai penelitian mengenai pengaruh tersebut, sehingga tidak ada
kesimpulan umum yang dapat dijadikan rujukan untuk memastikannya. Dibutuhkan penelitian
emiris lebih lanjut untuk mendapatkan informasi tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut maka permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian
ini adalah : bagaimana peranan kebijakan desentralisasi fiskal melalui dana perimbangan
terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal ?

5

Sebagaimana yang diuraikan dalam rumusan permasalahan, maka yang akan menjadi
tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh kebijakan desentralisasi fiskal dalam hal perimbangan
keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal di Indonesia sepanjang
periode tahun 2005 – 2009.
2. Mengetahui perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal di era
desentralisasi fiskal jika digolongkan dalam kelompok : Sumatera, Jawa-Bali,
Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.
Tinjauan Teoritis
Menurut Kuznets dalam Jhingan (2004) definisi pertumbuhan ekonomi adalah sebagai
kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin

banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya. Kemampuan ini tumbuh sesuai
dengan kemajuan teknologi dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukannya.
Definisi ini memiliki tiga komponen : Pertama, pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat
terlihat dari meningkatnya secara terus-menerus persediaan barang. Kedua, teknologi maju
merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat pertumbuhan
kemampuan dalam penyediaan aneka macam barang kepada penduduk. Ketiga, penggunaan
teknologi secara luas dan efisien memerlukan adanya penyesuaian di bidang kelembagaan dan
ideologi sehingga inovasi yang dihasilkan dapat dimanfaatkan secara tepat.
Selanjutnya Mankiw (2003) menjelaskan pertumbuhan ekonomi dari sudut pandang
ekonomi dapat direfleksikan oleh pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Variabel ini
sering digunakan untuk mengukur seberapa baik ekonomi suatu negara sudah dikelola dengan
benar. PDB dapat dipandang dalam dua hal. Pertama, total pendapatan yang diterima oleh
setiap orang dalam perekonomian. Kedua, adalah total pengeluaran atas produk barang dan
jasa dalam ekonomi.
Todaro dan Smith (2003) mengidentifikasikan bahwa terdapat tiga faktor utama dalam
pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa, yaitu:
1. Akumulasi modal
Akumulasi modal (capital accumula tion ) terjadi apabila sebagian dari pendapatan
ditabung dan diinvestasikan kembali dengan tujuan memperbesar output dan pendapatan
di kemudian hari. Pengadaan pabrik baru, mesin-mesin dan peralatan dan bahan baku

meningkatkan stok modal (capital stock) fisik suatu negara yakni total nilai riil netto atas
seluruh barang modal produktif secara fisik. Hal itu jelas memungkinkan terjadinya
peningkatan output di masa-masa yang akan datang.
6

2. Pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja
Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja secara tradisional dianggap
sebagai salah satu faktor positif yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah
tenaga kerja yang lebih besar berarti akan meningkatkan tenaga kerja produktif,
sedangkan pertumbuhan penduduk yang lebih besar berarti meningkatkan ukuran pasar
domestiknya.
3. Kemajuan Teknologi
Kemajuan teknologi merupakan sumber pertumbuhan ekonomi yang terpenting. Dalam
pengertiannya yang paling sederhana, kemajuan teknologi terjadi karena ditemukannya
cara baru atau perbaikan atas cara-cara lama dalam menangani pekerjaan-pekerjaan
tradisional. Kemajuan teknologi tersebut dapat beragam sifatnya, yaitu

pertama ,

teknologi yang bersifat netral. Kemajuan teknologi yang netral terjadi apabila teknologi
tersebut memungkinkan kita mencapai tingkat produksi yang lebih tinggi dengan
menggunakan jumlah dan kombinasi faktor input yang sama. Kedua , kemajuan teknologi
yang hemat tenaga kerja, dan ketiga, kemajuan teknologi hemat modal. Di negara-negara
Dunia Ketiga yang melimpah tenaga kerja tetapi langka modal, kemajuan teknologi hemat
modal merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Kemajuan teknologi ini akan
menghasilkan metode produksi padat karya yang lebih efisien.
Ketiga faktor di atas juga menjadi determinan penting dalam teori pertumbuhan
ekonomi yang dikenal sebagai model pertumbuhan Solow (Solow Growth Model). Model ini
dirancang untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan modal, pertumbuhan
angkatan kerja, dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian, serta bagaimana
pengaruhnya terhadap output barang dan jasa suatu negara secara keseluruhan (Mankiw,
2003).
Dalam model Solow (Mankiw, 2003), output atau jumlah barang yang dihasilkan
dalam perekonomian tergantung pada persediaan modal dan tenaga kerja melalui sebuah
fungsi produksi yang memiliki skala hasil konstan.
Y= F (K,L)
Berdasarkan asumsi skala hasil konstan maka dengan membagi kedua sisi persamaan
dengan L (pekerja) maka dapat juga diidentifikasikan bahwa output per pekerja merupakan
fungsi dari modal per pekerja, yaitu Y/L = F(K/L, 1), dan selanjutnya dapat ditulis persamaan
y = f (k), yang menggambarkan bahwa output per pekerja merupakan fungsi dari modal per
pekerja.

7

Selanjutnya Vazquez dan McNab (2001) menjelaskan bahwa kebanyakan studi yang
mempelajari hubungan langsung desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi menerapkan
model pertumbuhan endogenous Barro (Ba rro’s Endogenous Growth Model), dimana fungsi
produksi terdiri dari berbagai input termasuk modal swasta, dan pengeluaran publik dalam
tiga tingkatan pemerintah. Namun dalam beberapa studi yang lain, seperti Xie dkk (1998)
menggunakan variabel dalam model pertumbuhan Solow meliputi investasi, pertumbuhan
penduduk, dan human capital, untuk menguji kerapuhan (fra gility) estimasi desentralisasi
fiskal.
Menurut Ebel dan Yilmaz (2002) ada tiga bentuk/variasi desentralisasi, dalam
kaitannya dengan derajat kemandirian pengambilan keputusan yang dilakukan di daerah,
yaitu:
1. Decontretation
Merupakan pelimpahan kewewenangan dari agen-agen pemeritah pusat yang ada di
ibukota negara pada agen-agen di daerah.
2. Delegation
Merupakan penunjukan oleh pemerintah pusat pada pemerintah daerah untuk
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dengan tanggung jawab pada pemerintah
pusat
3. Devolution
Merupakan penyerahan urusan fungsi-fungsi pemerintah pusat, pada pemerintah
daerah, dimana daerah juga diberi kewenangan dalam mengelolah penerimaan dan
pengeluaran daerahnya.
Mengingat prinsip money follow function dalam pelaksanaan otonomi daerah, maka
desentralisasi fiskal di Indonesia merupakan bentuk dari desentralisasi yang ketiga
(devolution ). Lebih lanjut Slinko (2002) menyatakan bahwa desentralisasi fiskal adalah
sebagai bentuk transfer kewenangan (tanggung jawab dan fungsi) dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah, termasuk di dalamnya pemberian otoritas bagi pemerintah daerah
untuk mengelola penerimaan dan pengeluaran daerahnya sendiri.
Di Indonesia, penerapan otonomi dan desentralisasi fiskal ditandai dengan
diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 pada 1 Januari 2001.
Dalam perjalanannya kedua undang-undang tersebut menimbulkan beberapa permasalahan
yang kemudian diperbaiki oleh pemerintah melalui revisi undang-undang tersebut menjadi
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang diberlakukan pada bulan Desember 2004.
8

Dalam UU No. 32 Tahun 2004, desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang
pemerintah oleh pemerintah (pusat) kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan dalam
UU No. 33 tahun 2004 yang dimaksud dengan perimbangan keuangan antara pusat dan
daerah adalah perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah secara
proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan
kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan. Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah merupakan sistem hubungan
keuangan yang bersifat vertikal antara pemerintah pusat dan daerah (intergovernmental fisca l
relation system), sebagai konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dalam bentuk

penyerahan sebagian wewenang pemerintahan. Oleh karena itu, dikatakan bahwa hubungan
keuangan ini merupakan sebuah sistem pembiayaan penyelenggaraan pemerintah pusat dan
daerah.
Metode Penelitian
Model analitis penelitian ini mengembangkan model yang digunakan oleh Xie dkk
(1998) yang menggunakan variabel dalam model pertumbuhan Solow meliputi investasi,
pertumbuhan penduduk, dan human capital, untuk menguji kerapuhan (fragility) estimasi
desentralisasi fiskal. Dan untuk ukuran desentralisasi fiskal itu sendiri hanya akan
menggunakan indikator pengeluaran.
Penggunaan indikator pengeluaran untuk mengukur derajat desentralisasi fiskal dalam
penelitian ini mempertimbangkan hasil penelitian Akai dan Sakata (2002) yang menyatakan
bahwa indikator pengeluaran itu dapat digunakan dengan baik apabila pengeluaran oleh
pemerintah kabupaten/kota dapat bersumber dari block transfer yang berasal dari pemerintah
pusat. Dengan demikian, porsi pengeluaran oleh pemerintah daerah yang besar tidak serta
merta mengindikasikan adanya kemandirian (otonomi daerah). Hal ini karena dana
perimbangan yang diterima tersebut merupakan salah satu perwujudan otorisasi dari level
pemerintah yang lebih tinggi. Selain indikator pengeluaran yang digunakan untuk
menganalisa pelaksanaan desentralisasi fiskal dalam hal perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah sesuai dengan UU No. 33 tahun 2004 maka dalam penelitian ini
juga akan menambahkan dana Tugas Pembantuan sebagai salah satu variabel desentralisasi
karena dana Tugas Pembantuan adalah salah satu representasi dari besarnya belanja
pemerintah pusat di daerah yang tidak masuk dalam struktur APBD.

9

Selanjutnya penelitian ini juga akan menggunakan beberapa variabel yang telah diakui
secara luas sebagai penentu pertumbuhan ekonomi untuk digunakan sebagai variabel kontrol
antara lain adalah initial level of GDP , pertumbuhan jumlah penduduk, rasio investasi
terhadap GDP dan kualitas sumber daya manusia.
Barry dan Jules (2008) menjelaskan berkaitan dengan variabel level awal
pertumbuhan ekonomi (Initia l Level of GDP ), dimana variabel ini penting dalam analisa
pertumbuhan ekonomi karena digunakan untuk melihat tingkat konvergensi pertumbuhan
ekonomi antar wilayah. Konvergensi ini mengindikasikan hubungan negatif antara
pertumbuhan ekonomi dengan initial per capita regional GDP. Artinya semakin tinggi level
awal pertumbuhan ekonomi (initial per capita regional GDP ) maka akan semakin rendahnya
pertumbuhan ekonomi dalam tahun berikutnya (Levine dan Renelt, 1992). Sementara itu,
porsi investasi dalam Regional GDP diharapkan akan positif karena secara empiris telah
ditemukan bahwa investasi dapat mempengaruhi tingkat produksi di beberapa daerah (Sturm
1998).
Berkaitan dengan pertumbuhan jumlah penduduk, Levine dan Renelt (1992)
menjelaskan bahwa population growth menentukan tingkat kemakmuran ekonomi. Di
samping itu, Becker dkk. (1999) berpendapat bahwa dengan asumsi tingkat fertilitas sebagai
endogenous variable, masyarakat dengan jumlah penduduk yang cukup banyak akan

cenderung untuk melakukan investasi lebih di bidang SDM. Di sisi lain, daerah yang jarang
penduduknya memiliki insentif ekonomi untuk meningkatkan jumlah anak guna mengisi
kekosongan pasar tenaga kerja. Namun demikian, net impact terhadap pencapaian kinerja
ekonomi tidaklah mudah untuk ditentukan. Diungkapkan pula bahwa populasi dapat
menurunkan produktivitas karena adanya efek diminishing returns atas penggunaan tanah dan
sumber daya lainnya (Becker, dkk, 1999).
Selanjutnya sebagaimana disepakati oleh para praktisi dan akademisi bahwa human
capita l atau kualitas sumber daya manusia terkait secara positif terhadap pertumbuhan

ekonomi sehingga modal manusia (human capital) merupakan salah satu faktor penting dalam
proses pertumbuhan ekonomi. Dengan modal manusia yang berkualitas kinerja ekonomi
diyakini juga akan lebih baik. Antara modal manusia dan pertumbuhan ekonomi sebetulnya
terdapat hubungan yang saling mempengaruhi (Ramirez, dkk, 1998). Kualitas modal manusia
ini akan didekati dengan menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) karena IPM
menunjukan kulitas manusia dari beberapa aspek yaitu aspek pendidikan, kesehatan dan aspek
ekonomi (kemampuan daya beli).

10

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas maka dalam penelitian ini
model operasional yang digunakan adalah :
=

+

+

+

_

+

+

+

+

Dimana;
Growth

= Pertumbuhan PDRB perkapita

DF

= Desentralisasi Fiskal

TP

= Tugas Pembantuan

IL_PDRB = Level Awal Pertumbuhan (Initia l Level of GRDP )
POP

= Pertumbuhan Penduduk

INV

= Investasi

IPM

= Indeks Pembangunan Manusia

i

= Cross Section

t

= Time Series

e

= Error term
Pertumbuhan ekonomi yang dimaksud dalam persamaan estimasi adalah pertumbuhan

PDRB riil perkapita kabupaten di daerah tertinggal, menggunakan satuan persen (%). Data
pertumbuhan PDRB diperoleh dari data PDRB terhadap harga konstan tahun 2000 yang
bersumber dari publikasi BPS. Untuk variabel desentralisasi fiskal pada tesis ini menggunakan
indikator pengeluaran sebagai ukuran desentralisasi fiskal, yaitu ratio total belanja pemerintah
daerah terhadap total belanja pemerintah pusat. Selanjutnya untuk variabel belanja pemerintah
pusat di daerah yang diwujudkan dalam bentuk dana Tugas Pembantuan (TP) yaitu merupakan
ratio total belanja pusat di daerah dalam bentuk dana tugas pembantuan terhadap Produk
Domestik Regional Bruto.
Dan untuk variabel kontrol (i) Inia tia l level of GDP (IL_PDRB) merupakan tingkat
PDRB rill perkapita yang dimiliki suatu daerah pada periode sebelumnya (t-1), satuan yang
digunakan adalah dalam jutaan rupiah, (ii) Pertumbuhan penduduk yang dimaksud dalam hal
ini adalah merupakan perubahan jumlah penduduk tahun berjalan dibanding tahun
sebelumnya, menggunakan satuan persen (%), (iii) Variabel investasi dalam penelitian ini
adalah merupakan rasio investasi pemerintah daerah dalam bentuk belanja modal terhadap
Produk Domestik Regional Bruto, menggunakan satuan persen (%), dan (iv) Human Capital,
Ukuran Modal manusia dalam tesis ini akan menggunakan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) regional.

11

Dalam penelitian ini, daerah yang akan dijadikan objek penelitian adalah seluruh
kabupaten tertinggal (199 kabupaten) di Indonesia. Namun untuk penelitian ini hanya
mengambil sa mple sebanyak 155 kabupaten tertinggal dengan periode kurun waktu tahun 2005
sampai 2009. Ada sekita 44 kabupaten yang tidak dijadikan sample karena kabupatenkabupaten tersebut tidak memiliki data yang lengkap sesuai dengan kriteria dalam penelitian
ini. Hal ini mungkin disebabkan beberapa daerah merupakan daerah baru pemekaran sehingga
kondisi pendataannya masih kurang baik.
Untuk mencapai tujuan penelitian yang telah diidentifikasi pada bagian sebelumnya,
maka penelitian ini akan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif dan teknik analisis
kuantitatif. Analisis Kuantitatif yang digunakan adalah teknik Analisis kuantitatif berupa
analisis regresi berganda (Multiple Regression Analysis) digunakan untuk menganalisis
pengaruh desentralisasi fiskal dalam hal perimbangan keuangan terhadap pertumbuhan
ekonomi di daerah tertinggal, dan teknik Analisis varians (Analysis Of Variance) digunakan
untuk mengetahui perbedaan tingkat pertumbuhan daerah tertinggal jika digolongkan ke dalam
7 (tujuh) kelompok wilayah : Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara,
Maluku dan Papua.
Hasil Penelitian
Ditinjau dari sisi penerimaan, penerimaan daerah kabupaten tertinggal di Indonesia
selama pelaksanaan desentralisasi fiskal masih menunjukkan ketergantungan yang tinggi
terhadap sumber-sumber penerimaan yang berasal dari pemerintah pusat, khususnya dalam
bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Ketergantungan ini
sebagai konsekuensi dari rendahnya kemampuan daerah dalam menggali sumber-sumber
Pendapatan Asli Daerah (PAD) ataupun terbatasnya potensi sumber daya lokal yang dapat
dioptimalkan untuk meningkatkan pendapatan daerah. Bahkan jika dicermati, sesungguhnya
kontribusi PAD kabupaten-kabupaten tertinggal masih jauh di bawah rata-rata kontribusi
PAD kabupaten/kota lain di Indonesia yang secara umum juga masih termasuk kecil.
Sementara itu, pada sisi belanja daerah, terlihat bahwa belanja pegawai masih menjadi
pengeluaran terbesar pada anggaran pemerintah daerah. Tetapi, dalam perkembangannya
porsi belanja pegawai ini menunjukkan tren yang semakin menurun sementara alokasi belanja
modal mengalami peningkatan yang cukup besar. Dengan demikian ada pergeseran dalam
alokasi belanja yang dilakukan oleh Pemerintah kabupaten tertinggal di Indonesia dimana
proporsi belanja modal semakin meningkat dibandingkan belanja lainnya. Dengan
memperkuat dan memperbesar alokasi belanja modal dalam anggaran daerah, artinya ada
kecenderungan pemerintah daerah telah melakukan program-program yang berhubungan
12

dengan usaha peningkatan kesejahteraan rakyat dibanding ketika anggaran pemerintah lebih
terfokus pada belanja pegawai dan belanja operasi lainnya.
Selanjutnya mengenai pengaruh desentralisasi fiskal, Sesuai dengan strategi kebijakan
dari desentralisasi fiskal di Indonesia, hal pertama yang harus dipahami adalah bahwa
desentralisasi fiskal adalah instrumen, bukan suatu tujuan. Desentralisasi fiskal adalah salah
satu instrumen yang digunakan oleh pemerintah dalam mengelola pembangunan guna
mendorong perekonomian daerah maupun nasional. Melalui mekanisme hubungan keuangan
yang lebih baik diharapkan akan tercipta kemudahan-kemudahan dalam pelaksanaan
pembangunan di daerah, sehingga tujuan akhirnya adalah kesejahteraan masyarakat. Kedua
adalah bahwa desentralisasi fiskal di Indonesia adalah desentralisasi fiskal di sisi pengeluaran
yang didanai terutama melalui transfer ke daerah. Dengan desain desentralisasi fiskal maka
esensi otonomi pengelolaan fiskal daerah dititikberatkan pada diskresi (kebebasan) untuk
membelanjakan dana sesuai kebutuhan dan prioritas masing-masing daerah. Penerimaan
negara tetap sebagian besar dikuasai pemerintah Pusat, dengan tujuan untuk menjadi keutuhan
berbangsa dan bernegara dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan kegagalan dari sistem desentralisasi
(Prud’homme 1995), yaitu praktek kebijakan desentralisasi yang justru menciptakan
inefisiensi dari perekonomian. Mekanisme atau desain dari desentralisasi fiskal yang dapat
memperparah inefisiensi suatu perekonomian, misalnya terjadi ketika sistem transfer justru
menimbulkan kondisi soft budget constra int , terciptanya local capture yang melemahkan
akuntabilitas dari sistem pemerintahan pada tingkatan yang lebih rendah, serta kondisi low
transa ction costs di tingkat lokal tidak terpenuhi.

Masalah strategis pada desentralisasi fiskal dalam hal perimbangan keuangan di
Indonesia adalah pada sistem transfer antar tingkat pemerintahan. Transfer dari pemerintah
pusat pada prakteknya masih merupakan sumber pembiayaan dominan pada sebagian besar
pemerintah daerah di Indonesia. Sampai saat ini, penerapan sistem transfer di Indonesia
dicirikan oleh: (i) Sering adanya perubahan formula untuk block grants (DAU) dan juga
conditional grants DAK, (ii) Peningkatan cakupan sektor dari dana bagi hasil (DBH) dan

penerapan ea rma rked pengeluaran dari alokasi DBH yang diterima oleh daerah, dan (iii)
Perubahan total alokasi block grants DAU dan DAK, serta 4) belum adanya hubungan antara
transfer dan expenditure a ssignments atau dalam hal ini target pencapaian SPM (standar
pelayanan minimum).
Berdasarkan hasil analisis data melalui uji parsial menunjukan bahwa variabel derajat
desentralisasi fiskal (DF) menunjukan arah yang positif dan siginifikan sedangkan variabel
13

Tugas Pembantuan (TP) menunjukan pengaruh yang tidak signifikan. Hal ini menunjukan
kebijakan desentralisasi fiskal dalam hal perimbangan keuangan untuk daerah-daerah yang
tergolong tertinggal signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah
tertinggal tersebut.
Variabel derajat desentralisasi fiskal (DF) dalam hal ini merupakan representatif dari
besaran dana perimbangan keuangan untuk daerah yang berupa DAU, DAK dan DBH,
dengan nilai p-value dari variabel DF sebesar 0.0089 ( < 0,05) yang berarti bahwa secara
parsial variabel DF signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal. Dan bila
dilihat dari koefesien regresi dari DF adalah 1.984 artinya jika ratio pengeluaran daerah naik
satu satuan maka pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal akan tumbuh sebesar 1.98%, dan
jika ditinjau dari sisi penerimaan daerah tertinggal yang ketergantungannya sangat tinggi
terhadap dana transfer dari pusat maka secara logis peningkatan pengeluaran daerah haruslah
sejalan dengan peningkatan dana perimbangan yang diberikan kepada daerah tertinggal.
dengan minimnya potensi sumber daya alam dan potensi pendapatan yang berasal dari pajak
maka untuk daerah-daerah tertinggal hanya akan bergantung dari besaran dana perimbangan
DAU dan DAK sehingga formulasi dalam penentuan besaran dana perimbangan (DAU dan
DAK) bagi daerah tertinggal haruslah berbeda di bandingkan dengan daerah lain yang
memiliki keunggulan komparatif yang dapat diandalkan.
Sedangkan pada variabel Tugas Pembantuan (TP) yang memiliki nilai p-value untuk
variabel TP pada penelitian ini sebesar 0.2494 (> 0,05), ini menunjukan bahwa variabel TP
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah
tertinggal. Hal ini bisa terjadi dikarenakan pola penyaluran bantuan pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah melalui TP masih dilakukan dalam bentuk spesific grant yaitu penentuan
alokasi anggaran sudah ditentukan oleh pemerintah pusat, dan seringkali dalam format yang
sangat rigid , sehingga implementasi di lapangan banyak terkendala pada urusan administratif.
Selain itu program yang diwujudkan dalam mekanisme TP seringkali menjadikan daerah
tujuan (penerima manfaat) hanya sebagai objek tidak sebagai subjek. Daerah kurang
dilibatkan secara baik dalam proses perencanaan program dan mekanisme pelaksanaannya
sehingga banyak daerah yang masih kebingungan dalam melaksanakan program tersebut dan
mengakibatkan tidak tercapainya tujuan dan sasaran yang diharapkan dari program TP
tersebut. Kurangnya ownership dari daerah terhadap program juga menjadi hal yang perlu
diperhatikan dalam suatu proses pencapaian terhadap keberhasilan satu program.
Pada penelitian ini ada beberapa variabel yang menjadi variabel kontrol yang pada
penelitian-penelitian terdahulu selalu menunjukan hubungan yang signifikan terhadap
14

pertumbuhan ekonomi daerah. Variabel-variabel kontrol itu adalah IL_PDRB, POP, INV, dan
IPM. Hasil estimasi penelitian ini menunjukan variabel kontrol yang berpengaruh positif
terhadap pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal adalah Indeks Pembangunan Manusia
(IPM). Hal ini berarti semakin tinggi variabel tersebut maka pertumbuhan ekonomi akan
semakin tinggi juga. Sebaliknya variabel yang berpengaruh negative dan signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi adalah level awal pertumbuhan dan pertumbuhan penduduk yang
berarti bahwa semakin bertambah variabel ini maka pertumbuhan ekonomi semakin menurun,
sementara variabel investasi hubungannya terhadap pertumbuhan ekonomi tidaklah
signifikan.
Berdasarkan Estimasi intersep

dapat diketahui bahwa prediksi daerah dengan

pertumbuhan ekonomi tinggi adalah yang memiliki intersep bertanda positif dan daerah
dengan pertumbuhan ekonomi rendah adalah yang bertanda negative jika dianggap variabel x
bernilai 0 atau tidak terdapat pengaruh pada variabel x.
Dan sesuai dengan hasil uji parsial diperoleh variabel-variabel yang berpengaruh
signifikan yaitu IL_PDRB menunjukkan pengaruh yang negatif dan secara ekonomi dapat
diinterpretasikan bahwa untuk daerah-daerah yang memiliki pertumbuhan yang tinggi pada
periode awal maka selanjutnya pertumbuhan di daerah tersebut cenderung akan menurun.
Variabel pertumbuhan penduduk menunjukkan pengaruh yang negatif juga dimana
untuk setiap pertambahan 1% pertumbuhan pendudukan maka pertumbuhan ekonomi akan
turun 0.94% jika variabel lain dianggap konstan. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingginya
pertumbuhan penduduk tidak diimbangi dengan ketersediaan lapangan kerja di daerah-daerah
tertinggal sehingga pertumbuhan penduduk ini tidak dibarengi dengan peningkatan
produktifitas. Selain itu rendahnya jumlah angkatan kerja di daerah juga menjadi salah satu
penyebab.
Selanjutnya untuk variabel investasi menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan, hal
ini bisa disebabkan karena beberapa hal. Pertama, Belanja Modal yang di alokasikan dalam
APBD nilainya sangat kecil sehingga belum dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Kedua, Belanja Modal yang dilakukan oleh pemerintah daerah tidak efesien atau cenderung
boros, antara biaya/anggaran yang dikeluarkan untuk barang modal tersebut tidak sebanding
dengan produktifitas dari barang tersebut. Ketiga, masih dibutuhkan waktu yang cukup
panjang untuk mengetahui pengaruh dari investasi pemerintah dalam bentuk belanja modal
ini, lag waktu 1 (satu) tahun yang digunakan dalam penelitian ini masih belum cukup untuk
dapat menangkap impact dari investasi tersebut.

15

Sedangkan variabel indeks pembangunan manusia menunjukaan arah yang positif dan
signifikan sehingga jika pada variabel IPM ini ditambah sebesar satu satuan maka
pertumbuhan ekonomi akan naik sebesar 0.0059% jika variabel lain dianggap konstan. Hal ini
menunjukan peningkatan kualitas modal manusia adalah hal yang penting untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah tertinggal, sehingga jika ditinjau bahwa nilai IPM
yang merupakan representasi dari nilai kualitas dari aspek pendidikan, kesehatan dan daya
beli masyarakat di daerah tersebut. Mengingat pengaruh positif dari IPM maka pemerintah
daerah maupun pemerintah pusat harus meningkatkan berbagai macam programnya
khususnya dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal dalam hal perimbangan keuangan untuk
dapat difokuskan pada aspek peningkatan modal manuisa/IPM. Porsi dana perimbangan
berupa DAK untuk sektor pendidikan dan kesehatan bagi daerah tertinggal harus ditingkatkan
sehingga diharapkan dapat mendorong peningkatan kualitas modal manusia yang ada di
daerah tertinggal.
Selanjutnya mengenai perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal antar
pulau berdasarkan hasil uji ANOVA menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang nyata
pertumbuhan ekonomi antar pulau. sehingga hasil uji selanjutnya menggunakan Beda Nyata
Terkecil (BNT) dan di dapat bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal tertinggi
adalah di pulau Papua dan paling terendah di pulau Kalimantan. Pertumbuhan ekonomi pulau
Kalimantan tidak berbeda nyata dengan pertumbuhan ekonomi kepualaun Nusa Tenggara
namun berbeda nyata dengan pertumbuhan ekonomi pulau lainnya. Pertumbuhan ekonomi
kepualauan Nusa Tenggara tidak berbeda nyata dengan pulau lainnya, kecuali Sulawesi dan
Papua. Pertumbuhan ekonomi kepulauan Maluku tidak berbeda nyata dengan Nusa Tenggara,
Jawa-Bali dan Sumatera. Pertumbuhan ekonomi pulau Papua paling tinggi dan berbeda nyata
dengan pulau lainnya. Pulau yang didampingi minimal 1 notasi huruf yang sama pada uji
BNT menunjukkan bahwa memiliki rata-rata pertumbuhan ekonomi yang tidak saling berbeda
nyata.
Berdasarkan hasil uji beda ini juga menunjukan perbedaan karakteristik wilayah
dimana pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah tertinggal antar pulau memiliki karekteristik
masing-masing. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kondisi geografis, sumber daya alam,
infrastruktur, sosial budaya dan kapasitas sumber daya manusia. Daerah-daerah tertinggal
yang berada di wilayah Papua memiliki nilai rata-rata pertumbuhan yang tertinggi ini
mungkin disebabkan banyaknya program-program pembangunan di berbagai sektor, baik dari
pemerintah pusat, lembaga donor, dan lembaga asing lainya yang beroparesi di wilayah Papua
selain itu wilayah papua juga mendapatkan dana perimbangan tambahan berupa dana otonomi
16

khusus yang nilainya cukup siginifikan sehingga sangat mungkin dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah tersebut. Selain itu hal ini juga menunjukan bahwa
desentralisasi fiskal telah menyebabkan terjadinya transfer pertumbuhan dari Jawa ke luar
Jawa, sehingga pada akhirnya diharapkan daerah-daerah di luar Jawa dan Bali mampu
mensejajarkan terhadap wilayah-wilayah Jawa dan Bali.
Tidak jauh berbeda dengan hasil uji beda tersebut, berdasarkan Estimasi intersep
masing-masing kabupaten untuk Fixed Effect Model Cross-section Weight pada penelitian ini
yang menunjukan bahwa prediksi daerah dengan pertumbuhan ekonomi tinggi adalah yang
memiliki intersep positif tertinggi yaitu 5 (lima) kabupaten teratas berada di wilayah Papua.
Hasil perbedaan ini juga semakin menguatkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2010 -2014 dimana di dalam buku III RPJMN 2010 - 2014 pembangunan
berdimensi kewilayahan dengan tema pengembangan wilayah didasarkan pada pembagian 7
(tujuh) wilayah, yaitu : Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku,
dan Papua.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya maka
dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Hasil penelitian terhadap variabel desentralisasi fiskal (DF) menunjukan arah yang
positif dan signifikan sementara variabel Tugas Pembantuan (TP) menunjukan
arah yang positif serta tidak signifikan. Variabel desentralisasi fiskal walaupun
mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah tetapi nilai pertumbuhan yang
dihasilkan masih relatif kecil sehingga rata-rata PDRB per kapita di daerah
tertinggal masih jauh di bawah rata-rata PDRB perkapita nasional.
2. Tingkat pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal jika digolongkan dalam
kelompok : Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku
dan Papua menunjukan perbedaan yang nyata. Dengan demikian hal ini
menunjukan pertumbuhan ekonomi pada setiap wilayah memiliki karakteristik
masing-masing.
Saran
Adapun saran-saran yang diberikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Pemerintah pusat sebaiknya dalam hal pelaksanaan kebijakan fiskal dalam hal
perimbangan keuangan, membuat satu instrumen dana perimbangan yang khusus
diperuntukan bagi percepatan pembangunan di daerah tertinggal yaitu dengan
DAK daerah tertinggal yang berfungsi sebagai pencapaian prioritas nasional
17

dalam mengurangi kesenjangan daerah, DAK daerah tertinggal ini akan
disesuaikan dengan kebutuhan daerah.
2. Pelaksanaan program/kegiatan oleh pemerintah pusat secara umum dan khususnya
Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) yang dilaksanakan melalui
mekanisme Tugas Pembantuan haruslah lebih memperhatikan kebutuhan dan
keinginan dari daerah dan harus memperhatikan mengenai aspek keunggulan
komparatif dan kompetitif yang dimiliki daerah serta dapat melibatkan pemerintah
daerah secara lebih komprehensif mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan
serta evaluasi sehingga akan tercapai tujuan dan sasaran dari program tersebut.
3. Pemerintah daerah sebaiknya dapat meningkatkan sumber-sumber penerimaan
yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan mengurangi ketergantungan
penerimaan yang berasal dari transfer pusat.
4. Berkaitan dengan faktor selain desentralisasi fiskal yang turut mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah daerah perlu mendorong peningkatan
Human Capital (IPM), karena variabel tersebut terbukti signifikan dalam

mendorong pertumbuhan ekonomi daerah sehingga belanja pemerintah daerah
yang berkaitan dengan hal ini agar menjadi prioritas utama.
5. Penetapan program/kegiatan dalam rangka percepatan pembangunan daerah
tertinggal harus memperhatikan karakteristik wilayah yang dikelompokan dalam
tujuh kelompok; Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara,
Maluku dan Papua. Sehingga setiap program/kegiatan memiki kesesuaian dengan
kebutuhan daerah di setiap wilayah.
6. Belanja modal dalam APBD bukan merupakan proxy yang baik untuk
merepresentasikan investasi, karena nilainya yang sangat kecil. Penelitian
berikutnya dapat menggunakan proxy pengeluaran/belanja kegiatan kementerian
teknis yang jumlahnya cukup besar di daerah.
7. Penelitian ini masih terbatas pada pelaksanaan desentralisasi fiskal dalam hal
perimbangan keuangan di daerah tertinggal. Untuk itu diperlukan penelitian yang
mencakup daerah non tertinggal, sehingga hasil penelitian ini dapat secara
langsung

dibandingkan

tentang

dampak

desentralisasi

fiskal

terhadap

pertumbuhan ekonomi antar daerah tertinggal dan non tertinggal di Indonesia.

18

DAFTAR REFERENSI
Akai, N. dan Sakata, M., 2002. Fisca l Decentralization Contributes to Economic Growth:
Evidence from State-Level Cross-Section Da ta for the United States, Journal of

Urban Economics, LII:93-108.
Barry W. Poulson and Jules Gordon Kaplan (2008). State Income Taxes and Economic
Growth , Cato Journal, Vol. 28, No. 1.

Becker, G.S., Glaeser, E. L., dan Murphy, K. M. (1999). Population and Economic Growth ,
The American Economic Review, LXXXIX (2): 145-49.
Ebel, Robert D dan Seidar Yilmaz. (2002). Concept of Fiscal Decentralization and World
Wide Overview. World Bank Institute.

Jhingan, ML, (2004). Ekonomi Perencanaan dan Pembangunan. Jakarta: Rajawali Pers.
Levine, R. dan Renelt, D. (1992). ‘A Sensitivity Analysis of Cross- Country Growth
Regressions’, American Economic Review, LXXXII (4):942-63.

Mankiw, N. Gregory, (2003). Teori Ma kro Ekonomi . Jakarta: Erlangga.
Prud’homme, Remy, (1995). On The Danger of Decentralization, Washington DC, The
World Bank, Policy Research Working Paper, 1252.
Ramirez, A., G. Ranis, dan F. Stewart. (1998). Economic Growth and Human Capita l. QEH
Working Paper No. 18.
Slinko, Irina (2002). The Impact of Fisca l Decentraliza tion on The Budget Revenue Inequa lity
among municipa lities and Growth of Russian Regions, Moscow: Centre for

Economic and Financial Research.
Todaro, Stephen C. Smith (2003). Pembangunan ekonomi di dunia ketiga jilid 1, Jakarta :
Erlangga
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan da erah.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusa t dan Pemerintah Daerah.

Vazquez, M Jorge dan McNab M Robert, (2001). Fisca l Desentralization & Economic
Growth , Working Paper #01-1, Andrew Young School of Policy Studies, Georgia

State University.
19

Xie, D., Zou, H., dan Davoodi, H. (1998). Fiscal Decentra lization and Economic Growth in
the United States, Journal of Urban Economics XLV:228-39.

20