Akses Keadilan atas Tanah pdf

Akses Keadilan atas Tanah
Efrial Ruliandi Silalahi

Abstrak
Serangkaian peristiwa yang terjadi tiap tahunnya, yakni
sekelompok petani menggelar demonstrasi di depan Gedung
Senayan Jakarta dengan long march1 dari daerahnya, atau
minimal melakukan demonstrasi di daerahnya masing-masing
menolak kebijakan yang diterapkan pemerintah. Tentu ini
adalah sebuah fenomena penting yang menggambarkan
bagaimana petani mengambil peran dalam kebijakan publik.
Demonstrasi itu muncul ketika banyak pihak sibuk pada soalsoal domestik, ketimbang bertindak kritis akan kecenderungan
pasar bebas yang dampaknya langsung menimpa para petani
itu. 2
Pendahuluan
Sebaiknya memang perlu kita lihat aspek tersebut dengan
melihat lebih jauh krisis ekonomi dan politik kita dalam
kerangka global. Momen krisis ekonomi Indonesia saat ini
menunjukkan dua hal, yaitu ketidakmungkinan dan
ketak’terelakkan.
Ketidakmungkinan

artinya
model
pembangunan yang ditempuh negeri berkembang, termasuk
negeri industri baru sejak era post kolonial gagal mewujudkan
sistem yang lebih sejahtera. Impian untuk mendorong
1

Misalnya saja Persatuan Petani Moro-moro Way Serdang, Register 45
Kabupaten Mesuji, Lampung yang melakukan aksi long march setiap
tahunnya setiap tanggal 24 September ke Kantor Bupati Mesuji. Dan aksi
long march yang dilakukan oleh petani jambi menuju Gedung Senayan,
Jakarta pada 2012 silam.
2
Mengapa para petani justru jauh lebih maju melihat gejala globalisasi
sebagai ancaman riil terhadap mereka, ketimbang elemen-elemen dari
masyarakat kita?

perubahan dari negeri kapitalis pinggiran ke negeri kapitalis
pusat ternyata gagal. Indikator pertumbuhan ekonomi yang
begitu pesat dan stabil ternyata sangat rapuh dalam menghadapi

krisis ekonomi regional. Yang terjadi justru pembangunan yang
semakin bergantung.
Celakanya krisis ekonomi yang terjadi merupakan sesuatu yang
tak terelakkan dalam perkembangan kapitalisme dunia.3
Hampir semua negeri berkembang mulai dari Amerika Latin
sampai kawasan Asia Timur (yang diklaim sebagai kesuksesan
resep pembangunan kapitalisme yang diterapkan di negeri
dunia ketiga) tidak dapat menghindarkan diri dari siklus krisis
kapitalisme. Ketidakrelaan penetrasi kapitalisme dunia terhadap
pembangunan dunia ketiga kemudian maknanya diperhalus
dengan istilah globalisasi.
Pembahasan
Salah seorang yang mengkritik kecenderungan globalisasi saat
itu, Saamir Amin melihat adanya konsentrasi kekuasaan di
negara maju (pusat) dalam rupa:4
1. Monopoli teknologi dan pengetahuan untuk menjaga
kepentingan bisnis negara maju dari ancaman
kemajuan/inovasi di dunia ketiga. Monopoli ini ada
dalam sistem hak cipta dan intelektual properti untuk
menghindari peniruan dan pembajakan suatu barang.

Kejadian menarik sebagai contoh misalnya saat ini ada
sebuah perusahaan Jepang telah memegang hak cipta
atas sebuah produk tempe.
2. Kontrol finansial atas sistem keuangan dunia.
Permainan sektor finansial ini yang bisa secara
3

Bonie Setiawan, Peralihan ke Kapitalisme di Dunia Ketiga, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2000
4
Samir Amin, Capitalism In The Age Of Globalization; The Management of
Contemporary Society, Zed Books, Londong, 1997.

mengejutkan
bisa
menghempaskan
sistem
keuangan/moneter regional di asia timur pada
pertengahan 1997 dan dampaknya masih dirasakan
hingga saat ini.

3. Dengan kebangkrutan sistem ekonomi nasional akan
mendorong penguasaan aset-aset sumber daya alam
dunia di tangan modal internasional raksasa.
Kecenderungan ini nampak pada proyek swastanisasi
berbagai perusahaan negara seperti sektor tambang,
perkebunan, jasa, manufaktur, dan sebagainya.
4. Monopoli media massa dan alat komunikasi. Hal ini
mendorong terjadinya penyeragaman kultur dan
memungkinkan terjadinya manipulasi politik.
5. Monopoli kekuatan senjata. Ada konsentrasi modal,
teknologi, penguasaan sumber daya dan pasar dunia
menyebabkan perlunya kekuatan bersenjata (militer)
dari negeri-negeri pusat untuk melanggengkan
kepentingannya, yaitu kelancaran akumulasi modal dari
sistem kapitalisme.
Pembagian kerja internasional baru dan implikasi struktural
terhadap masyarakat Indonesia. Meskipun orde baru sejak
kelahirannya menyatakan dengan tegas bahwa komitmen
ekonominya adalah pro terhadap investasi internasional dengan
melakukan perombakan kebijakan ekonomi rezim sebelumnya,

pada kenyataannya tidak sesederhana itu. Pada dekade 1970-an
terjadi oil boom yang menyebabkan negara orde baru relatif
otonom terhadap modal asing. Pada masa tersebut
dikembangkan
strategi
ekonomi
nasional
dengan
mengembangkan industri substitusi impor. Strategi ISI ini yang
nampak pada industri dasar atau industri hulu mengandalkan
competitive advantage yang mengharuskan negara untuk
membatasi investasi asing melalui sistem proteksi, menaikkan
tarif ekspor, dan pajak yang tinggi bagi bea masuk barang
impor. Pada periode ini pula peran negara sangat dominan

dalam bidang investasi dan ekonomi seperti dengan melakukan
sistem monopoli. Gabungan antara strategi ISI yang tidak
efisien dan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) dengan
watak negara otoriter yang korup, pada awal dekade 1980-an
mengalami kebangkrutan dengan jatuhnya harga minyak bumi

di pasar internasional.
Sementara itu dalam dinamika sistem kapitalisme global,
sedang berlaku suatu sistem pembagian kerja internasional
yang baru (the new international divison of labour ) di mana
suatu produksi komoditi membentuk rantai produksi yang
terpecah dan terpisah di berbagai lokasi mengikuti biaya
produksi yang termurah.5 hal ini menciptakan konfigurasi
produksi di mana industri di negeri maju bersifat padat modal
(highly capital intensive) dan padat teknologi, sementara negeri
dunia ketiga menyediakan tenaga kerja atau buruh yang
melimpah dan murah yang membentuk industri padat karya
(labour insentive industry). Tenaga kerja yang murah dan
melimpah ini kemudian menjadi comparative advantage.
Implikasi struktural dari perkembangan di atas terhadap negeri
berkembang, dalam hal ini Indonesia adalah semakin
bergantungnya pembangunan nasional terhadap proses
industrialisasi. Sementara pada struktur masyarakatnya terjadi
kecenderungan terjauhkan dari akses modal. Hal ini juga
didorong oleh perkembangan mekanisme produksi di sektor
agrikultur yang menyebabkan munculnya angkatan kerja yang

tersingkir dari pedesaan. Dengan merosotnya pendapatan
negara dari sektor minyak bumi dan gas maka sumber
pendapatan negara harus dicari melalui modal asing, yaitu
pertama hutang luar negeri dari lembaga-lembaga keuangan
internasional seperti IMF, World Bank, dan lembaga lainnya.
5

Folker Frobel, Jurgen Heinrichs and Otto Kreye, The New International
Division of Labour; Structural Unemployment in Industrialised Countries
and Industrialisation in Developing Countries, Cambridge University Press,
1978.

Pada konteks ini peran utama negeri berkembang dalam
pembagian kerja internasional baru ini hanyalah sebagai
penyedia tenaga kerja murah, mengingat besarnya cadangan
tenaga kerja. Akibat upah buruh yang rendah maka daya beli
masyarakat negeri berkembang terlalu rendah, hanya cukup
untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.6 Produksi barang
pada negeri berkembang karenanya berorientasi ekspor, untuk
dikonsumsi di pasar negeri industri maju. Kalaupun ada

perusahaan milik kelas borjuis domestik yang dijadikan
subkontrak dari perusahaan induk juga tidak memiliki peran
selain sebagai penyedia lahan untuk pabrik, rekrutmen tenaga
kerja, dan mengurusi administrasi lokal. Sementara untuk
pasokan bahan mentah, mesin-mesin dan suku cadangnya,
struktur kerja, inovasi produk, manajemen, riset dan
pengembangan teknologi, dan akses terhadap pasar sepenuhnya
ditentukan oleh perusahaan induk.
Lebih jauh analisis di atas menjelaskan semakin mengecilnya
kemampuan negara berkembang untuk memiliki kebijakan
ekonomi dan politik yang otonom. Kondisi ini meletakkan
semua kebijakan ekonomi kedalam konstruksi yang dikendaki
oleh berbagai lembaga donor internasional. Akibatnya jelas
bahwa kecenderungan liberalisasi ekonomi menjadi seolah
tidak terhindari, dengan membiarkan para petani berhadapan
secara langsung dengan kekuatan pasar. Di sinilah mengapa
petani kemudian muncul menentang kecenderungan
pragmatisme politik ekonomi nasional yang dikendalikan oleh
arus kapitalisme global itu.
Struktur masyarakat yang terbangun justru terjauhkan dari

akses modal. Di sini berarti akses terhadap penguasaan tanah
oleh petani serta proteksi pasar atas kemampuan produksi hasil
pertanian. Dalam konteks kebijakan negara, dapat dilihat
6

Antonio Giddens, Kritik Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 1999

adanya upaya mempertahankan ketiadaan kebijakan yang adil
akan kepemilikan tanah. Semua gagasan landreform menjadi
tidak penting dalam semua perdebatan kebijakan ekonomi
politik pasca orde baru. Di sinilah para petani dan kaum tak
bertanah mengambil inisiatif dan pilihan untuk melakukan
reclaiming tanah.
Implikasi pada politik domestik
Indonesia tengah menantikan suatu tahap baru dalam
perkembangan tatanan kemasyarakatannya. Namun belum lagi
proses itu selesai, kita ternyata telah dapat menyaksikan
sejumlah kenyataan yang mengecewakan, di antaranya adalah
terbengkalainya agenda politik golongan bawah. Semua itu

dapat kita lihat melalui dari bertemunya beberapa
kecenderungan-kecenderungan.
Pertama, dalam wilayah publik tengah tumbuh semangat kuat
untuk mereposisikan diri dihadapan struktur dan kultur politik
lama yang monolitik dan represif; melepaskan diri dari
genggaman “otoritarianisme” politik orde baru dengan
merumuskan secara mandiri kultur serta sistem moral baru
untuk masa depan. Disini pembelahan-pembelahan kutub sosial
dan politik terjadi secara produktif dengan tampilnya semangat
multi politik dan multi kultural; partai-partai bermunculan
bersamaan dengan tuntutan-tuntutan baru dari “wilayah
pinggiran”, serta elemen-elelemen dan kelompok-kelompok
sosial yang selama orde baru ditekan.
Kedua, bangkitnya perlawanan sosial di berbagai daerah yang
dipelopori oleh kelompok-kelompok sosial terbawah yakni
petani dan buruh perkebunan, serta sejumlah korban PHK.
Berbeda jenis sebelumnya perlawanan di wilayah ini
mengekspresikan kepentingan organik dari basis sosial dan
aktor-aktornya. Dalam beberapa hal, kemunculan perlawanan
di wilayah pedesaan ini tampil lebih dahulu ketimbang


kemunculan kelompok-kelompok lainnya seperti mahasiswa
yang ngetop baru belakangan ini. Mereka tampil dalam bentukbentuk: perebutan tanah, pengambil alihan lahan serta protesprotes massal kepada pemilik.
Pemilu 1999, menjadi pamungkas dari polarisasi politik yang
muncul pasca jatuhnya Suharto; dimana regimentasi politik
tidak hanya menyeret partai pemenang pemilu tapi hampir
semua kekuatan masyarakat yang terkristal dalam partai-partai
tersebut. Dengan kata lain kekuatan politik dengan basis
golongan menengah ini pada akhirnya meninggalkan politik
“arus bawahnya”, sebagai gantinya mereka ikut serta secara
agresif dalam perebutan kekuasaan politik dan sama sekali
meninggalkan rencana-rencana mempertemukan kepentingan
arus bawah.
Dengan kata lain, transisi politik yang ada secara nyata
memang telah mentransformasi kekuatan-kekuatan politik
pinggiran menjadi kekuatan politik elit diseputar kekuasaan
negaa. Tapi transformasi ini tidak secara serta merta menyeret
kekuatan-kekuatan politik populis yang selama ini diklaim
diwakili oleh mereka seperti kaum miskin perkotaan, petani
serta golongan pekerja.
Proses transisi politik yang demikian tidak memiliki perhatian
pada perubahan yang terjadi di arus bawah, bagaimana rakyat
menjadi aktor proses perubahan yang sedang berlangsung.
Dalam dinamika masyarakat tidak bisa ditolak upaya kaum
petani yang justru dengan cepat mentransformasikan dirinya
kedalam ruang peran mempertanyakan tatanan yang tidak adil,
khususnya terhadap akses atas tanah. Betapa hari ini kita bisa
saksikan bagaimana para petani telah menjadi kekuatan yang
signifikan dalam mempengaruhi kebijakan politik pertanahan
dan distribusi modal yang lebih adil melalui serikat tani dan
aksi reclaiming tanah. Petani telah muncul dalam berbagai
organisasi petani yang mandiri dan mulai melakukan peran

signifikan bagi pertanyaan politik pembangunan serta
hubungannya dengan kehidupan petani secara langsung.
Muncul gagasan dan kekuatan pada masyarakat di berbagai
wilayah yang sebelumnya tidak pernah diperhitungkan.
Perkembangan ini jauh dari sekedar eufora politik pasca orba.
Kebangkitan kekuatan rakyat inilah yang tidak mungkin
dihapus begitu saja atau diabaikan. Bangkitnya kekuatan itu
telah menjadi kekuatan yang signifikan , ketika arus pragmatis
politik elite menjadi ancaman bagi demokratisasi. Tanpa terlalu
meninggikan kebangkitan politik arus bawah itu, banyak
kemajuan yang berarti bagi kematangan peran rakyat dan
sebuah ruang transisi politik ini patut diperhitungkan. Ini
adalah transformasi kesadaran politik yang luar biasa besarnya
ketimbang semua kemampuan elite politik bermain di ruangruang perebutan akses kekuasaan.
Dalam jangka panjang pergerakan arus bawah ini akan sangat
menentukan terjadi perubahan pada agen-agen transisi menuju
demokrasi. Konteks perebutan pengaruh politik Jakarta yang
dari waktu ke waktu memanipulasikan kebutuhan-kebutuhan
rakyat, tidaklah dapat dikatakan lebih mampu menentukan
semua proses transisi. Hal ini hanya dapat berlangsung pada
jangka pendek, akibat dari kebutuhan tumbuhnya arus bawah
itu jauh lebih membutuhkan waktu dan tidak dapat begitu saja
menarik perhatian seperti tindakan-tindakan elite politik.
Penutup
Implikasi serius dari keadaan diatas tentu kita akan saksikan
bagaimana arus bawah harus sendirian berhadapan tekanan arus
global ataupun pragmatisme politik elite. Pilihan tani bergerak
merebut akses modal tentunya masih banyak memikul resiko
politik. Lihat saja reaksi elite politik Jakarta atas langkah
reclaiming tanah oleh petani dikembangkan dengan tuduhan
penjarahan, anarkis dan sebagainya. Kesemua reaksi tersebut

jelas merupakan sebuah model upaya mempertahankan prinsip
politik ekonomi yang menolak distribusi akses modal yang
lebih adil.
Harapan atas adanya kebijakan nasional yang lebih adil akan
akses atas tanah ini tidak kunjung datang. Saya sendiri
mengalami kesulitan meletakkan keharusan hukum menjawab
persoalan keadilan atas tanah ini. Sebab hukum yang ada masih
diwarnai oleh watak instrumentasi ekonomi politik kapitalis,
serta masih pula harus menopang watak rezim korup.