Cegah Paham Anti Pancasila di Sekolah di
Brisics Brain Of Physics
FKIP/XVII/06/2017
“Cegah Paham Anti Pancasila di Sekolah, dimulai dari Jiwa Patriot
Seorang Calon Guru”
(Edisi khusus Hari Lahir Pancasila : Kamis, 1 Juni 2017)
Fransiskus Assisi Beyora Liwun
Ideologi secara harafiah diartikan sebagai ilmu atau pengertian-pengertian dasar. Sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ideologi adalah kumpulan konsep bersistem yang
dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan
hidup. Selain itu dalam buku Terorisme : fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam karangan
Abdullah Machmud Hendropriyono (2009), Karl Marx mengartikan Ideologi sebagai
pandangan hidup yang dikembangkan berdasarkan kepentingan sosial atau kelas sosial
tertentu dalam bidang politik atau ekonomi. Selain pengertian-pengertian diatas masih
banyak lagi para ahli lain yang turut memberikan pendapatnya tentang apa itu ideologi.
Ideologi sendiri dapat disimpulkan secara singkat sebagai cita-cita banyak orang karena ide
atau pikiran banyak disamakan sebagai cita-cita dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam sistem kenegaraan kita, ideologi yang kita gunakan adalah Pancasila. Pancasila adalah
cita-cita bangsa Indonesia secara umum, yang mewakili semua warga negaranya. Pancasila
adalah cerminan warga Negara Indonesia yang seharusnya diwujudkan dan diamalkan dalam
kehidupan sehari-hari. Pancasila yang dilahirkan oleh para Pendiri Bangsa tentunya bukan
untuk sebagian kelompok tertentu saja.
Negara Indonesia dikenal sebagai Negara Kesatuan yang dilihat secara kondisi luar, kesatuan
ini mewakili banyaknya pulau yang membentuk Negara Republik Kesatuan Indonesia
(NKRI). Menurut data yang dirilis oleh Dewan Ketahanan Nasional Indonesia, banyaknya
pulau yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebanyak 13.487 buah
pulau yang dilaporkan pada Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Banyak sekali polemik tentang
berapa banyak pulau yang dimiliki oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia antara lain
Kementrian Kelautan dan Perikanan merilis pada bulan agustus 2010 bahwa Indonesia hanya
memiliki 13.000 pulau saja, sedangkan Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia
merilis jumlah pulau di Indonesia sebanyak 17.504 pulau dan dipastikan 7.870 pulau yang
telah diberi nama (sumber: https://dkn.go.id/ruang-opini/9/jumlah-pulau-di-indonesia/)
Walaupun banyak polemik tentang jumlah pulau di Indonesia yang membingungkan sebagian
besar warga Negara Indonesia namun secara mendalam Kesatuan Indonesia yang dimaksud
oleh para Pendiri Bangsa yang ditulis dalam ideologi kita ini adalah kesatuan warga Negara
Edisi Khusus Hari Lahir Pancasila | Kamis, 01 Juni 2017
FKIP/XVII/06/2017
Brisics Brain Of Physics
Indonesia itu sendiri yang mana terdiri dari beragamnya suku, budaya, bahasa, etnis, agama
dan berbagai macam karakter tiap warga Negaranya yang berada di pulau yang berbeda.
Secara terperinci, Badan Pusat Statistik (BPS) melalui sensus tahun 2010 merilis bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki 300 kelompok etnik dengan 1.340 suku yang
memiliki budaya yang berbeda-beda, 1.211 bahasa dengan 1.158 bahasa daerah dan 6 agama
yang diakui oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semua perbedaan dan keberagaman
yang ada pada Negara ini telah disatukan oleh Ideologi kita yaitu Pancasila. Hal ini terlihat
jelas dalam bunyi Pancasila yaitu sila ketiga : Persatuan Indonesia.
Namun pada saat ini, dizaman yang semakin maju dan berkembang ini yang didukung oleh
banyaknya atau majunya alat komunikasi dan bebasnya orang untuk berpendapat, maka
timbulah banyak isu yang digunakan untuk menjatuhkan ataupun melecehkan arti hierarkinya
Pancasila yang mana merupakan ideologi Bangsa Indonesia ini.
Kebebasan dalam memberikan pendapat di dalam Negara ini menjadi tongkaat yang kokoh
bagi para kaum pembenci Pancasila dan membiarkan banyak sekali isu dan berita
kebohongan yang disebar dan sengaja dibesar-besarkan untuk merusak kehakikian Pancasila
Indonesia. Undang- Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) seolah-olah hilang
dan hanyalah menjadi segelintir pasal yang hanya mampu menggeser kaum kardus.
Lalu bagaimana sikap kita sebagai warga Negara Indonesia ? Bagaimana sikap kita para
calon guru dalam mendidik para generasi penerus dan tunas baru di Negara Indonesia ?
Keluarga dan Sekolah
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari ayah sebagai kepala
keluarga, ibu, anak-anak dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di
bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Departemen Kesehatan RI, 1988).
Keluarga merupakan tempat pertama bagi seseorang dalam memperoleh berbagai
pengalaman maupun pendidikan dan juga sebagai tempat pertama dalam pembentukan
karakter seseorang. Bagaimana tidak, seorang anak yang baru saja dilahirkan ke dunia,
dibesarkan oleh keluarga itu sendiri, dididik oleh keluarga itu sendiri, bahkan mulai dari
belajar berjalan, berbicara hingga saat tumbuh menjadi seorang anak yang siap dididik oleh
sekolah.
Segala sesuatu yang terjadi dalam keluarga, baik maupun buruk, pastinya akan
mempengaruhi pola pikir dan sikap seorang anak yang dilahirkan dan dibesarkan dalam
Edisi Khusus Hari Lahir Pancasila | Kamis, 01 Juni 2017
Brisics Brain Of Physics
FKIP/XVII/06/2017
keluarga tersebut. Karena manusia belajar dari apa yang dilihat dan apa yang diajarkan ketika
pertama kali mengalami keadaan tersebut.
Orang tua selaku “nakhoda” dalam keluarga hendaknya mampu mengarahkan anggota
keluarga kearah yang positif. Hal positif tentu bukanlah hal yang sangat besar yang harus
dilakukan oleh orang tua, namun kebiasaan-kebiasaan yang sangat sederhana dapat
membangun jiwa anak-anak yang positif. Namun sebaliknya, jiwa anak-anakpun dapat
tumbuh dan berkembang menjadi jiwa yang negatif. Berawal dari jiwa yang negatif, dapat
memicu para pelaku yang berjiwa paham anti Pancasila. Hal ini dapat disebabkan oleh
tindakan orang tua maupun anggota keluarga dalam mendidik dan mengajarkan anaknya
dalam keluarga baik secara disengaja maupun tidak disengaja.
Menurut survei yang dikeluarkan oleh Komisi Perlindungan Anak didapat beberapa fakta
berikut :
1) Anak sebagai pelaku kekerasan seksual meningkat sejak tahun 2011 yaitu 123 kasus,
324 kasus pada tahun 2012, dan 561 kasus pada tahun 2014.
2) Anak sebagai pelaku bullying pada sekolah menembus angka yang cukup tinggi mulai
tahun 2011 yaitu 48 kasus dan terus meningkat hingga akhir tahun 2016 tercatat 112
kasus sedangkan kasus anak sebagai korban bullying pada tahun 2014 tercatat 159
kasus, terus menurun pada tahun 2015 yaitu 154 kasus dan akhir 2016 jumlah korban
bullying menurun hingga 94 kasus saja.
3) Pada kasus tawuran antar pelajar, anak sebagai pelaku masih terus meningkat tiap
tahunnya dari 64 kasus pada tahun 2011 hingga tahun 2015 tercatat 126 kasus.
4) Selain itu anak pada saat ini juga mulai terjebak dalam kasus pengguna NAPZA
(Narkotika, Perokok dan Zat Adiktif) yang tiap tahunnya meningkat dari 34 kasus
pada tahun 2011 hingga 88 kasus pada tahun 2016.
5) Dalam kasus pembunuhan, anak tidak hanya sebagai korban namun sudah mulai
merajalela sebagai pelaku pembunuhan dan kasus ini meningkat dratis dari 32 kasus
pada tahun 2011 hingga 66 kasus pada tahun 2014.
Semua data yang tercatat diatas hanyalah sebagian dari sekian banyak kasus yang dilakukan
oleh anak sebagai pelaku dalam kasus tersebut, data tersebut dirilis langsung oleh Komisi
Perlindungan Anak dalam website resminya yang dapat diakses oleh masyarakat umum
(sumber : Kasus Pengaduan Anak berdasarkan Klaster Perlindungan Anak, Komisi
Perlindungan Anak Indonesia)
Edisi Khusus Hari Lahir Pancasila | Kamis, 01 Juni 2017
Brisics Brain Of Physics
FKIP/XVII/06/2017
Dari berbagai kasus besar diatas, anak sudah mulai terjebak dan mulai menjadi makhluk yang
mengerikan yang bukan hanya menjadi korban berbagai kasus melainkan menjadi pelaku
kasus. Masih banyak kasus lain yang tidak dapat dirincikan pada artikel ini namun beberapa
kasus diatas dapat mewakili semua kasus yang dilakukan oleh anak yang notabene sebagai
pelaku dan bukan sebagai korban walaupun masih ada beberapa anak yang menjadi korban
dalam beberapa kasus seperti pemerkosaan, pengedar obat terlarang dan pembunuhan.
Namun menurut mantan ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), HM Asrorun
Niam Sholeh dalam wawancaranya pada tanggal 02 januari 2016 menyebutkan bahwa kasus
kekerasan terhadap anak menurun pada 2 semester tahun 2015 namun kasus anak sebagai
pelaku kekerasan meningkat selama 2 semester tahun 2015. Hal ini dibuktikan dengan jumlah
kasus terlapor pada KPAI tentang kekerasan terhadap anak pada semester 1 tahun 2015
tercatat sebesar 100 kasus, namun menurun pada semester 2 tahun 2015 hanya sekitar 80
kasus. Peningkatan kasus dimana anak sebagai pelaku kekerasan meningkat pada 2 tahun
yaitu 2014 dan 2015 tersebut yaitu 69 kasus pada 2014 dan meningkat hingga 79 kasus pada
tahun 2015, sedangkan anak sebagai pelaku tawuran juga meningkat dari 46 kasus pada tahun
2014 hingga pada tahun 2015 tercatat 113 kasus.
KPAI juga berpendapat bahwa penurunan kasus kekerasan terhadap anak ini dikarenakan
adanya isu penerbitan dan pengesahan undang – undang hukuman kebiri bagi para pelaku
kekerasan terhadap anak. Namun sayangnya undang – undang tersebut tak kunjung disahkan
oleh Presiden hingga saat ini.
Menurut KPAI, beredarnya isu pengesahan undang-undang tersebut mampu membuat
penurunan jumlah kasus terhadap anak, hal tersebut mungkin akan sangat efektif bila undang
– undang hukuman kebiri bagi para pelaku kekerasan terhadap anak-anak benar – benar
disahkan dan diberlakukan di Indonesia.
Hal ini berbanding terbalik dengan peningkatan kasus yang dilakukan oleh anak, dimana
anak merupakan pelaku dalam kasus tersebut. Beberapa presepsi mendukung hal ini
dikarenakan adanya pembebasan bagi para pelaku kekerasan maupun kejahatan, yang dalam
hal ini dilakukan oleh anak. Hal ini sangat tercermin ketika banyak kasus yang dilakukan
oleh anak namun diberikan kebebasan atau keringanan hukuman dengan alasan pelaku
kekerasan dan kejahatan adalah seorang anak yang belum cukup dewasa dalam berpikir dan
belum layak untuk mendapatkan hukuman secara undang-undang (penjara). Selain itu,
banyak kasus yang dilakukan oleh anakpun terbebas begitu saja dikarenakan adanya
perlindungan yang ketat atau dapat dikatakan sebagai over protective terhadap anak dari
Edisi Khusus Hari Lahir Pancasila | Kamis, 01 Juni 2017
Brisics Brain Of Physics
FKIP/XVII/06/2017
undang-undang perlindungan anak yang sering diperdebatkan dan direvisi oleh pemerintah
guna melindungi anak. Adapun undang-undang tersebut ialah Undang-Undang No 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak.
Dengan diberlakukannya undang-undang tersebut, banyak anak-anak Indonesia yang
mempunyai pola pikir bahwa mereka bebas melakukan apapun karena mereka dilindungi
oleh undang-undang tersebut dan masih dibawah umur. Pola pikir tersebut merupakan suatu
pola pikir yang sangat menyimpang dari normal atau kewajiban yang seharusnya dilakukan
oleh seorang anak. Dengan berbagai peningkatan kasus kejahatan dan kekerasan dimana anak
sebagai pelaku dalam kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Perlindungan
Anak mengalami kegagalan dalam melindungi hak anak yang seharusnya dapat menekan
peningkatan kasus yang dilakukan oleh anak. Lalu bagaimana peran kita semua terutama
keluarga dan sekolah sebagai pendidik karakter anak ?
Peningkatan kasus yang dilakukan oleh anak merupakan akibat dan pengaruh dari lingkungan
baik itu dalam keluarga maupun lingkungan sekolah. Kegagalan dalam menangani kasus ini
tentu perlu mendapat perhatian serius dari pihak keluarga dimana anak mendapatkan banyak
pengamatan dan karakter anak dibentuk karena keluarga dianggap sebagai faktor internal
yang sangat kuat dalam pembentukan karakter anak. Selain keluarga, sekolah tentu
mempunyai peran yang sangat penting karena di sekolah para anak-anak dididik dan diberi
bekal pengetahuan yang berhubungan dengan tingkat kemampuan akademik sehingga anak
dapat mengembangkan kemampuan dan bakatnya. Pemerintahpun dalam kasus-kasus yang
dihadapi saat ini tentu sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan ataupun kebijakan
yang akan diberlakukan pada masyarakat umum karena kesalahan dalam pembuatan
keputusan dan kebijakan dapat berakibat fatal bagi sasaran kebijakan yaitu masyarakat
Indonesia.
Peran Guru dalam menjaga Ideologi Bangsa
Pendidikan merupakan kunci kemajuan suatu bangsa. Tidak ada bangsa yang maju, yang
tidak didukung pendidikan yang kuat, demikian yang pernah dikatakan oleh mantan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Prof. Dr. Daoed Joesoef (sumber :
www.edukasi.kompas.com). Hal serupa telah tercatat jelas dalam alinea keempat Pembukaan
Undang–Undang Dasar (UUD) tahun 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Mutu dan kemajuan dunia pendidikan tentu tidak lepas dari peran seorang guru dalam
mendidik, membimbing dan mengajar para peserta didik dalam dunia sekolah. Guru adalah
Edisi Khusus Hari Lahir Pancasila | Kamis, 01 Juni 2017
FKIP/XVII/06/2017
Brisics Brain Of Physics
sosok yang benar-benar menjadi teladan sebuah bangsa karena dari sanalah bangsa ini
diarahkan langkahnya. Seorang guru yang professional dan mendukung penuh cita-cita
bangsa tentu mempunyai jiwa nasionalisme dan patriotisme yang tinggi karena tanpa jiwa
nasionalisme dan patriotisme, seorang guru dapat saja mengajarkan dan mendidik berbagai
hal yang bertentangan dengan cita – cita dan ideologi Negara Indonesia.
Namun hal ini belum terealisasi secara utuh dikarenakan masih banyak sekolah yang
mengajarkan paham – paham anti Pancasila dan bertentangan dengan ideologi Pancasila
sebagai dasar negara. Hal ini dibuktikan dengan makin banyaknya pelajar yang terindikasi
radikalisme dari ajaran sekolah seperti yang terjadi di Kabupaten Purwarejo, 70% pelajar
terindikasi pengaruh radikalisme. Angka ini tentu cukup mencengangkan bagi warga
masyarakat. Namun dari hasil penelitian yang dilakukan di Balai Penelitian dan
Pengembangan (Balitbang) Kementerian Agama (Kemenag) menunjukkan bahwa jumlah
pelajar yang terindikasi pengaruh radikalisme angkanya memang sudah cukup tinggi.
“Penelitian dilakukan selama dua bulan dengan sampling di sejumlah SMA Negeri di wilayah
Kedu dan Yogya,” kata Penyuluh Agama Islam (PAI) Kabupaten Purworejo KH Romli
Hasan (Sumber : http://krjogja.com/). Dalam dialog interaktif membentengi anak dari
pengaruh radikalisme yang diselenggarakan Dharma Wanita Persatuan (DPW) Kabupaten
Purworejo di Sanggar Bhakti Pramuka Kwarcab Purworejo, Romli Hasan menandaskan, hal
yang lebih mengejutkan dalam pengisian angket dengan pertanyaan, siapakah tokoh yang
diidolakan dan situs apa yang disenangi ? Ternyata jawaban yang diidolakan adalah Rizieq
Shihab atau Habib Rizieq dan situs yang sering dibaca Millah Ibrahim. “Dalam situs ini,
paham Millah Ibrahim mengutamakan pendirian negara Islam dan mengesampingkan NKRI,”
kata Romli Hasan yang ikut dalam penelitian sebagai perwakilan dari Kemenag Purwarejo.
Menurut paham radikal masuk ke sekolah diantaranya melalui kegiatan kerohanian Islam
(Rohis). Kegiatan pengajian dengan mendatangkan mentor dari luar atau jaringan alumni,
yang ternyata justru membawa paham agama yang tidak moderat. Sehingga membawa
pemahaman dan sikap keagamaan siswa SMA di Purworejo yang bersifat radikal. “Dalam
kegiatan Rohis, di sekolah HTI juga masuk. Namun setelah diketahui mengajarkan anti
Pancasila,
sekolah
menghentikan
kegiatan
HTI,”
papar
Romli
Hasan
(http://krjogja.com/web/news/read/34162/Mayoritas_Pelajar_Terindikasi_Paham_Radikal)
Berdasarkan berita atau artikel yang dikutip diatas dapat dipastikan, para pelaku radikalisme
telah menyerang sumbu utama sebuah bangsa yaitu sekolah dan diajarkan secara langsung di
sekolah-sekolah dan kampus-kampus, melalui buku-buku pelajaran sekolah dan umum yang
Edisi Khusus Hari Lahir Pancasila | Kamis, 01 Juni 2017
FKIP/XVII/06/2017
Brisics Brain Of Physics
sangat fatal akibatnya. Ketika sekolah sudah dipengaruhi oleh paham radikalisme, banyak
sekali yang dapat terjadi dan merupakan suatu gejala buruk bagi sebuah bangsa. Selain
melalui sekolah, paham – paham anti Pancasila atau paham radikalisme dan terorisme juga
telah menyusup jauh memasuki rumah warga dengan berbagai cara yang dipandang sebagai
cara aman yaitu melalui jalur keagamaan, melalui WA dan media sosial lain, melalui
Youtube dan sebagainya.
Dalam jalur pendidikan, sering terjadi bahwa kita menyekolahkan anak – anak generasi
bangsa pada sekolah – sekolah luar negeri dan sekolah – sekolah yang bertaraf internasional
dengan kebanggaan dan berpikir bahwa kita telah mampu bersaing didunia luar ketika kita
menyekolahkan anak – anak kita di sekolah – sekolah bertaraf internasional tersebut. Namun
apakah sudah 100% dapat dijamin sistem pengajaran yang diberikan dalam sekolah – sekolah
tersebut sejalan dengan ideologi Bangsa Indonesia ? Apakah kita dapat juga menjamin bahwa
kualitas dan mutu yang diberikan sekolah – sekolah tersebut mampu menyaingi dunia luar
dengan tetap menjunjung tinggi Ideologi Bangsa Indonesia ? Masih banyak sekali pertanyaan
yang perlu kita teliti yang dapat menjamin bahwa anak – anak penerus bangsa benar – benar
terhindar dari banyaknya pengaruh luar yang justru berdampak pada pemahaman anak – anak
penerus bangsa dalam mengartikan dan memahami ideologi bangsa Indonesia itu sendiri.
Namun selain sekolah – sekolah yang bertaraf internasional, sekolah – sekolah lokal yang
merupakan sekolah yang berdiri di Indonesia dan menganut Pancasila secara utuh pun dapat
juga mengajarkan paham – paham anti Pancasila seperti yang kita lihat pada kutipan berita
diatas, lalu dimanakah yang merupakan pokok permasalahan kita pada masalah penyebaran
paham radikalisme atau paham anti Pancasila ini ?
Dalam masalah ini kita coba melihat pentingnya peran seorang guru dalam memajukan
pendidikan yang tetap menganut secara utuh paham Pancasila dan menjunjung tinggi
Ideologi Bangsa Indonesia sendiri. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dalam 73 tahun
sejak kemerdekaan Indonesia telah mencoba berbagai cara untuk mengantisipasi muncul dan
masuknya paham radikalisme dan anti Pancasila pada sekolah dengan tetap mempertahankan
mutu dan kualitas pendidikan Indonesia agar mampu bersaing di dunia luar layaknya sekolah
– sekolah di luar negeri lainnya yang menjadi idaman banyaknya pelajar Indonesia. Dalam
sejarah Indonesia, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengganti kurikulum
sebanyak 10 kali yaitu mulai dari Kurikulum 1947 (Rencana Pelajaran 1947) hingga saat ini
Kurikulum 2013, dimana banyak pendapat yang pro dan kontra untuk setiap pergantian
kurikulum yang seiring dengan pergantian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Edisi Khusus Hari Lahir Pancasila | Kamis, 01 Juni 2017
FKIP/XVII/06/2017
Brisics Brain Of Physics
Indonesia. Banyak orang yang berpendapat bahwa hal ini terkesan memaksakan namun
banyak diantaranya juga meyakini bahwa pergantian kurikulum ini hanya semata-mata untuk
memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga apa yang diamanatkan dalam UUD
1945 dapat diwujudkan sehingga menjadi Bangsa yang cerdas dan maju dan tetap
menjunjung tinggi Pancasila dalam kehidupan pendidikan Indonesia.
Dengan banyaknya pergantian kurikulum yang dilakukan ternyata mempunyai dampak cukup
buruk bagi pelajar, guru, calon guru dan masyarakat pada umumnya. Pelajar mulai
dibingungkan dengan sistem pengajaran yang diberlakukan pada sekolah. Disisi lain, dengan
banyaknya atau semakin seringnya pergantian kurikulum juga membuat banyak perubahan
pada pencapaian sistem pembelajaran yang berlaku disekolah, perubahan mata pelajaran,
perubahan budaya dan perubahan sistem penilaian dan standar kelulusan serta banyak
perubahan lain yang tentunya mempunyai sisi baik dan buruknya.
Dari sisi perubahan mata pelajaran terkhususnya pada mata pelajaran yang mengajarakan
keterkaitan antara etika, moral sopan santun, kewarganegaraan dan budi pekerti yang
berkaitan langsung dengan Ideologi Bangsa Indonesia yaitu Pancasila, dapat kita tinjau
bahwa mempunyai banyak sekali kekurangan jika kita melihat dari masa sekolah pada tahun
1990-an dibandingkan dengan masa sekolah pada tahun 2000-an ini. Pelajar pada era 1990-an
sangat mengenal identitas bangsa sendiri dibandingkan pelajar pada era 2000-an ini. Sebagai
contoh adalah pelajar pada zaman 1990-an, menghafal dan bahkan menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari apa yang menjadi identitas bangsa sedangkan
TIM REDAKSI
Penanggungjawab
para pelajar dizaman ini sangatlah berbeda dengan apa yang
diharapkan sebagai penerus bangsa ini. Banyak sekali para pelajar
Faradiba, M.Sc
pada zaman ini yang tidak mengetahui dan tidak mengenal identitas
Ketua
Fransiskus Assisi Beyora L
Tata Letak
bangsa Indonesia sendiri secara benar, baik itu Pancasila, butir-butir
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Bhineka Tunggal Ika
Diaz Jubairy P
bahkan nama Presiden dan Wakil Presiden saat ini tidak banyak
Email
diketahui oleh para pelajar dizaman ini. Hal-hal ini terbukti ketika
[email protected]
Presiden Jokowi melakukan kunjungan ke daerah-daerah dan
menanyakan bunyi 5 sila dari Pancasila, banyak pelajar yang salah
mengucapkan dan menertawakan kesalahan tersebut.
Dari sudut pandang pendidikan yang saat ini berkembang dapat kita simpulkan bahwa hal-hal
ini terjadi akibat minimnya pengajaran dan pendidikan secara resmi di sekolah yang
mengajarkan tentang identitas bangsa Indonesia ini. Pergantian nama mata pelajaran yang
Edisi Khusus Hari Lahir Pancasila | Kamis, 01 Juni 2017
FKIP/XVII/06/2017
Brisics Brain Of Physics
juga turut mengurangi materi pengajaran pada pelajaran kewarganegaraan turut memberi
andil besar dalam menghancurkan mental dan karakter para pelajar untuk berjiwa patriotism
dan nasionalisme. Ini mungkin menjadi sebab dan akibat adanya pengajaran dan pendidikan
yang kontra terhadap Pancasila yang berhasil menyusup ke dunia pendidikan Indonesia
sehingga banyak penerus bangsa Indonesia yang terjebak dalam aliran dan ajaran yang anti
Pancasila.
Selain pergantian mata pelajaran dan sistem pengajaran yang diterapkan, hal ini juga
berdampak pada budaya dan karakter yang dibangun dalam sistem pengajaran di sekolah
pada saat ini juga sangat berbeda dan berbanding terbalik dengan budaya dan karakter yang
dibangun dalam sekolah pada era 1990-an. Budaya dan karakter para pelajar pada saat ini
juga sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi yang secara bebas di akses oleh siapa saja
dan dimanapun hendak diakses. Dalam ideologi dan pandangan hidup Negara Indonesia sejak
zaman sebelum kemerdekaan hingga saat ini, masih terus diajarkan budaya gotong royong
yang menjadi satu-satunya budaya di dunia yang dimiliki oleh bangsa Indonesia ini, namun
banyak sekali pelajar pada saat ini yang tidak mencerminkan apa yang menjadi identitas
bangsa kita sebagai bangsa yang peduli terhadap sesama. Hingga saat ini KPAI masih
mendapatkan laporan kekerasan yang dilakukan oleh pelajar baik disekolah maupun diluar
lingkungan sekolah dengan jumlah yang meningkat untuk setiap tahun seperti tawuran dan
bullying yang sangat jelas bahwa perilaku seperti ini sangat berbeda dengan pelajar pada era
1990-an yang mempunyai kepedulian dan sikap tolong menolong terhadap sesama yang
sangat tinggi dan sangat berbeda dengan apa yang menjadi identitas bangsa kita. Hal ini juga
didukung dengan kemajuan teknologi yang membuat pelajar saat ini menjadi lebih egois dan
bersikap kurang menyenangkan yang jauh berbeda dengan apa yang diharapkan.
Jiwa Patriot Seorang Calon Guru
Melihat fakta permasalahan yang semakin banyak terjadi dalam dunia pendidikan bahkan
semakin kompleks, kita membutuhkan banyak pemikiran kreatif untuk menghasilkan solusi
yang tepat agar para pelajar bangsa Indonesia tidak terlepas dari jalur yang sesuai dengan
identitas bangsa kita. Salah satu cara dan solusi terbaik dalam mengatasi banyaknya
persoalan yang mengancam keutuhan dan identitas kita ini adalah melalui jalur pendidikan
karena sebuah bangsa yang besar, cerdas dan maju tentu mempunyai sistem pendidikan yang
maju namun tetap pada jalur sebagai bangsa Indonesia sendiri.
Edisi Khusus Hari Lahir Pancasila | Kamis, 01 Juni 2017
FKIP/XVII/06/2017
Brisics Brain Of Physics
Pendidikan dimulai dari seorang guru yang professional dan seorang guru yang professional
berasal dari seorang calon guru. Calon guru adalah mahasiswa perguruan tinggi pada bidang
keguruan dimana mereka siap dibina dan dibentuk untuk menghasilkan output menjadi
seorang guru yang berkualitas namun tetap pada jalur yang benar dari bangsa Indonesia.
Untuk tetap berada pada jalur pendidikan yang benar tentu proses pengajaran yang dilakukan
untuk membentuk jiwa seorang calon guru harusnya pada jalur benar juga. Jiwa patriotism
dan nasionalisme tentu harus dan wajib ditanam sejak menjalani pendidikan untuk menjadi
seorang guru karena ketika jiwa seorang calon guru berada pada jalur yang salah ataupun
goyah dalam menghadapi permasalahan yang semakin banyak dan kompleks juga semakin
majunya teknologi, tentu hal ini menjadi sangat berbahaya dalam menghasilkan peserta didik
atau pelajar yang mencintai Negara Indonesia sendiri. Karena dengan kemajuan teknologi
mempunyai dampak baik dan buruk bagi para pelajar Indonesia karena banyak sekali
kemudahan yang diberikan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi para calon
guru untuk kelancaran dalam proses belajar mengajar di sekolah tempatnya akan mengabdi.
Kemajuan ini pun harus banyak dimanfaatkan oleh para calon guru untuk beradaptasi dengan
para peserta didik, memperluas jaringan dan pengetahuan tentang dunia luar, sehingga
gurupun memanfaatkannya sebagai media pembelajaran yang dianggap semakin penting dan
memodifikasi proses pembelajaran sehingga muncullah banyak media pembelajaran seperti
aplikasi-aplikasi penghubung antara guru dan peserta didik yang dibuat untuk
mempermudahnya komunikasi dan proses belajar mengajar, layaknya sosial media pada
umumnya guru memberikan tugas bahkan kehadiran siswa dan penilaian siswa dinilai dari
aplikasi-aplikasi tersebut. Modifikasi dan munculnya media belajar yang baik dan kreatif
diimbangi dengan jiwa patriot untuk tetap berada pada jalur ideologi Negara tentu sangat
mendukung hilangnya ajaran-ajaran yang anti Pancasila.
Selain sisi positif dari banyaknya dan semakin canggihnya ilmu pengetahuan dan teknologi,
ternyata juga menimbulkan banyaknya masalah dan tantangan baru bagi para calon pendidik.
Dimulai dengan beredarnya isu atau berita hoax yang mengajarkan paham-paham ati
Pancasila dan pro terhadap radikalisme dan terorisme hingga pada munculnya film-film yang
berbau SARA dan paham anti Pancasila. Disinilah peran para calon guru dalam melihat
masalah yang kian muncul ini. Proses pendidikan dalam menghasilkan para calon guru tentu
harus diperketat dengan tetap menanamkan rasa cinta tanah air kita Indonesia yang pro
terhadap ideologi kita Pancasila. Karena berawal dari jiwa seorang guru yang bersih dan cinta
tanah air, Indonesia dapat terhindar dari segala ancaman radikalisme dan terorisme serta
Edisi Khusus Hari Lahir Pancasila | Kamis, 01 Juni 2017
FKIP/XVII/06/2017
Brisics Brain Of Physics
paham lain yang kontra terhadap Pancasila. Hal ini sangat menjamin masa depan Indonesia
yang maju, cerdas dan tetap menjunjung tinggi Bangsa dan Negara Indonesia (Fr).
Physics Photos
Creation of Fr
Dewa Kematian, Bulan Terpanas dan Memori
Terbesar
“Dewa kematian”
Pada tanggal 14 Juli 2015, umat
manusia melakukan lompatan
besar dalam hal teknologi dan
eksplorasi antariksa. Kita telah
berhasil
memfoto
“Dewa
kematian”!!.
Yang
dimaksud
“Dewa kematian” disini adalah
pluto lho hehehe. Nama pluto
berasal dari mitologi yunani yang
berarti Dewa kematian. Foto
beresolusi tinggi dari objek
antariksa
yang
dulu
pernah
dikategorikan sebagai planet ini
(Pluto) diambil oleh wahana antariksa
New Horizon saat ia berada di titik
terdekatnya
berpapasan
dengan
planet katai Pluto. (Pluto sekarang
dikategorikan
sebagai
planet
katai/kerdil). Wahana New Horizon
diluncurkan pada tahun 2006 dan
sampai pada tahun 2015
Bulan terpanas
Sobat Bri-Sics ngerasa gak sih siang
hari makin panas ?. Ternyata gak
Edisi Khusus Hari Lahir Pancasila | Kamis, 01 Juni 2017
FKIP/XVII/06/2017
“Cegah Paham Anti Pancasila di Sekolah, dimulai dari Jiwa Patriot
Seorang Calon Guru”
(Edisi khusus Hari Lahir Pancasila : Kamis, 1 Juni 2017)
Fransiskus Assisi Beyora Liwun
Ideologi secara harafiah diartikan sebagai ilmu atau pengertian-pengertian dasar. Sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ideologi adalah kumpulan konsep bersistem yang
dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan
hidup. Selain itu dalam buku Terorisme : fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam karangan
Abdullah Machmud Hendropriyono (2009), Karl Marx mengartikan Ideologi sebagai
pandangan hidup yang dikembangkan berdasarkan kepentingan sosial atau kelas sosial
tertentu dalam bidang politik atau ekonomi. Selain pengertian-pengertian diatas masih
banyak lagi para ahli lain yang turut memberikan pendapatnya tentang apa itu ideologi.
Ideologi sendiri dapat disimpulkan secara singkat sebagai cita-cita banyak orang karena ide
atau pikiran banyak disamakan sebagai cita-cita dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam sistem kenegaraan kita, ideologi yang kita gunakan adalah Pancasila. Pancasila adalah
cita-cita bangsa Indonesia secara umum, yang mewakili semua warga negaranya. Pancasila
adalah cerminan warga Negara Indonesia yang seharusnya diwujudkan dan diamalkan dalam
kehidupan sehari-hari. Pancasila yang dilahirkan oleh para Pendiri Bangsa tentunya bukan
untuk sebagian kelompok tertentu saja.
Negara Indonesia dikenal sebagai Negara Kesatuan yang dilihat secara kondisi luar, kesatuan
ini mewakili banyaknya pulau yang membentuk Negara Republik Kesatuan Indonesia
(NKRI). Menurut data yang dirilis oleh Dewan Ketahanan Nasional Indonesia, banyaknya
pulau yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebanyak 13.487 buah
pulau yang dilaporkan pada Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Banyak sekali polemik tentang
berapa banyak pulau yang dimiliki oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia antara lain
Kementrian Kelautan dan Perikanan merilis pada bulan agustus 2010 bahwa Indonesia hanya
memiliki 13.000 pulau saja, sedangkan Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia
merilis jumlah pulau di Indonesia sebanyak 17.504 pulau dan dipastikan 7.870 pulau yang
telah diberi nama (sumber: https://dkn.go.id/ruang-opini/9/jumlah-pulau-di-indonesia/)
Walaupun banyak polemik tentang jumlah pulau di Indonesia yang membingungkan sebagian
besar warga Negara Indonesia namun secara mendalam Kesatuan Indonesia yang dimaksud
oleh para Pendiri Bangsa yang ditulis dalam ideologi kita ini adalah kesatuan warga Negara
Edisi Khusus Hari Lahir Pancasila | Kamis, 01 Juni 2017
FKIP/XVII/06/2017
Brisics Brain Of Physics
Indonesia itu sendiri yang mana terdiri dari beragamnya suku, budaya, bahasa, etnis, agama
dan berbagai macam karakter tiap warga Negaranya yang berada di pulau yang berbeda.
Secara terperinci, Badan Pusat Statistik (BPS) melalui sensus tahun 2010 merilis bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki 300 kelompok etnik dengan 1.340 suku yang
memiliki budaya yang berbeda-beda, 1.211 bahasa dengan 1.158 bahasa daerah dan 6 agama
yang diakui oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semua perbedaan dan keberagaman
yang ada pada Negara ini telah disatukan oleh Ideologi kita yaitu Pancasila. Hal ini terlihat
jelas dalam bunyi Pancasila yaitu sila ketiga : Persatuan Indonesia.
Namun pada saat ini, dizaman yang semakin maju dan berkembang ini yang didukung oleh
banyaknya atau majunya alat komunikasi dan bebasnya orang untuk berpendapat, maka
timbulah banyak isu yang digunakan untuk menjatuhkan ataupun melecehkan arti hierarkinya
Pancasila yang mana merupakan ideologi Bangsa Indonesia ini.
Kebebasan dalam memberikan pendapat di dalam Negara ini menjadi tongkaat yang kokoh
bagi para kaum pembenci Pancasila dan membiarkan banyak sekali isu dan berita
kebohongan yang disebar dan sengaja dibesar-besarkan untuk merusak kehakikian Pancasila
Indonesia. Undang- Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) seolah-olah hilang
dan hanyalah menjadi segelintir pasal yang hanya mampu menggeser kaum kardus.
Lalu bagaimana sikap kita sebagai warga Negara Indonesia ? Bagaimana sikap kita para
calon guru dalam mendidik para generasi penerus dan tunas baru di Negara Indonesia ?
Keluarga dan Sekolah
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari ayah sebagai kepala
keluarga, ibu, anak-anak dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di
bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Departemen Kesehatan RI, 1988).
Keluarga merupakan tempat pertama bagi seseorang dalam memperoleh berbagai
pengalaman maupun pendidikan dan juga sebagai tempat pertama dalam pembentukan
karakter seseorang. Bagaimana tidak, seorang anak yang baru saja dilahirkan ke dunia,
dibesarkan oleh keluarga itu sendiri, dididik oleh keluarga itu sendiri, bahkan mulai dari
belajar berjalan, berbicara hingga saat tumbuh menjadi seorang anak yang siap dididik oleh
sekolah.
Segala sesuatu yang terjadi dalam keluarga, baik maupun buruk, pastinya akan
mempengaruhi pola pikir dan sikap seorang anak yang dilahirkan dan dibesarkan dalam
Edisi Khusus Hari Lahir Pancasila | Kamis, 01 Juni 2017
Brisics Brain Of Physics
FKIP/XVII/06/2017
keluarga tersebut. Karena manusia belajar dari apa yang dilihat dan apa yang diajarkan ketika
pertama kali mengalami keadaan tersebut.
Orang tua selaku “nakhoda” dalam keluarga hendaknya mampu mengarahkan anggota
keluarga kearah yang positif. Hal positif tentu bukanlah hal yang sangat besar yang harus
dilakukan oleh orang tua, namun kebiasaan-kebiasaan yang sangat sederhana dapat
membangun jiwa anak-anak yang positif. Namun sebaliknya, jiwa anak-anakpun dapat
tumbuh dan berkembang menjadi jiwa yang negatif. Berawal dari jiwa yang negatif, dapat
memicu para pelaku yang berjiwa paham anti Pancasila. Hal ini dapat disebabkan oleh
tindakan orang tua maupun anggota keluarga dalam mendidik dan mengajarkan anaknya
dalam keluarga baik secara disengaja maupun tidak disengaja.
Menurut survei yang dikeluarkan oleh Komisi Perlindungan Anak didapat beberapa fakta
berikut :
1) Anak sebagai pelaku kekerasan seksual meningkat sejak tahun 2011 yaitu 123 kasus,
324 kasus pada tahun 2012, dan 561 kasus pada tahun 2014.
2) Anak sebagai pelaku bullying pada sekolah menembus angka yang cukup tinggi mulai
tahun 2011 yaitu 48 kasus dan terus meningkat hingga akhir tahun 2016 tercatat 112
kasus sedangkan kasus anak sebagai korban bullying pada tahun 2014 tercatat 159
kasus, terus menurun pada tahun 2015 yaitu 154 kasus dan akhir 2016 jumlah korban
bullying menurun hingga 94 kasus saja.
3) Pada kasus tawuran antar pelajar, anak sebagai pelaku masih terus meningkat tiap
tahunnya dari 64 kasus pada tahun 2011 hingga tahun 2015 tercatat 126 kasus.
4) Selain itu anak pada saat ini juga mulai terjebak dalam kasus pengguna NAPZA
(Narkotika, Perokok dan Zat Adiktif) yang tiap tahunnya meningkat dari 34 kasus
pada tahun 2011 hingga 88 kasus pada tahun 2016.
5) Dalam kasus pembunuhan, anak tidak hanya sebagai korban namun sudah mulai
merajalela sebagai pelaku pembunuhan dan kasus ini meningkat dratis dari 32 kasus
pada tahun 2011 hingga 66 kasus pada tahun 2014.
Semua data yang tercatat diatas hanyalah sebagian dari sekian banyak kasus yang dilakukan
oleh anak sebagai pelaku dalam kasus tersebut, data tersebut dirilis langsung oleh Komisi
Perlindungan Anak dalam website resminya yang dapat diakses oleh masyarakat umum
(sumber : Kasus Pengaduan Anak berdasarkan Klaster Perlindungan Anak, Komisi
Perlindungan Anak Indonesia)
Edisi Khusus Hari Lahir Pancasila | Kamis, 01 Juni 2017
Brisics Brain Of Physics
FKIP/XVII/06/2017
Dari berbagai kasus besar diatas, anak sudah mulai terjebak dan mulai menjadi makhluk yang
mengerikan yang bukan hanya menjadi korban berbagai kasus melainkan menjadi pelaku
kasus. Masih banyak kasus lain yang tidak dapat dirincikan pada artikel ini namun beberapa
kasus diatas dapat mewakili semua kasus yang dilakukan oleh anak yang notabene sebagai
pelaku dan bukan sebagai korban walaupun masih ada beberapa anak yang menjadi korban
dalam beberapa kasus seperti pemerkosaan, pengedar obat terlarang dan pembunuhan.
Namun menurut mantan ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), HM Asrorun
Niam Sholeh dalam wawancaranya pada tanggal 02 januari 2016 menyebutkan bahwa kasus
kekerasan terhadap anak menurun pada 2 semester tahun 2015 namun kasus anak sebagai
pelaku kekerasan meningkat selama 2 semester tahun 2015. Hal ini dibuktikan dengan jumlah
kasus terlapor pada KPAI tentang kekerasan terhadap anak pada semester 1 tahun 2015
tercatat sebesar 100 kasus, namun menurun pada semester 2 tahun 2015 hanya sekitar 80
kasus. Peningkatan kasus dimana anak sebagai pelaku kekerasan meningkat pada 2 tahun
yaitu 2014 dan 2015 tersebut yaitu 69 kasus pada 2014 dan meningkat hingga 79 kasus pada
tahun 2015, sedangkan anak sebagai pelaku tawuran juga meningkat dari 46 kasus pada tahun
2014 hingga pada tahun 2015 tercatat 113 kasus.
KPAI juga berpendapat bahwa penurunan kasus kekerasan terhadap anak ini dikarenakan
adanya isu penerbitan dan pengesahan undang – undang hukuman kebiri bagi para pelaku
kekerasan terhadap anak. Namun sayangnya undang – undang tersebut tak kunjung disahkan
oleh Presiden hingga saat ini.
Menurut KPAI, beredarnya isu pengesahan undang-undang tersebut mampu membuat
penurunan jumlah kasus terhadap anak, hal tersebut mungkin akan sangat efektif bila undang
– undang hukuman kebiri bagi para pelaku kekerasan terhadap anak-anak benar – benar
disahkan dan diberlakukan di Indonesia.
Hal ini berbanding terbalik dengan peningkatan kasus yang dilakukan oleh anak, dimana
anak merupakan pelaku dalam kasus tersebut. Beberapa presepsi mendukung hal ini
dikarenakan adanya pembebasan bagi para pelaku kekerasan maupun kejahatan, yang dalam
hal ini dilakukan oleh anak. Hal ini sangat tercermin ketika banyak kasus yang dilakukan
oleh anak namun diberikan kebebasan atau keringanan hukuman dengan alasan pelaku
kekerasan dan kejahatan adalah seorang anak yang belum cukup dewasa dalam berpikir dan
belum layak untuk mendapatkan hukuman secara undang-undang (penjara). Selain itu,
banyak kasus yang dilakukan oleh anakpun terbebas begitu saja dikarenakan adanya
perlindungan yang ketat atau dapat dikatakan sebagai over protective terhadap anak dari
Edisi Khusus Hari Lahir Pancasila | Kamis, 01 Juni 2017
Brisics Brain Of Physics
FKIP/XVII/06/2017
undang-undang perlindungan anak yang sering diperdebatkan dan direvisi oleh pemerintah
guna melindungi anak. Adapun undang-undang tersebut ialah Undang-Undang No 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak.
Dengan diberlakukannya undang-undang tersebut, banyak anak-anak Indonesia yang
mempunyai pola pikir bahwa mereka bebas melakukan apapun karena mereka dilindungi
oleh undang-undang tersebut dan masih dibawah umur. Pola pikir tersebut merupakan suatu
pola pikir yang sangat menyimpang dari normal atau kewajiban yang seharusnya dilakukan
oleh seorang anak. Dengan berbagai peningkatan kasus kejahatan dan kekerasan dimana anak
sebagai pelaku dalam kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Perlindungan
Anak mengalami kegagalan dalam melindungi hak anak yang seharusnya dapat menekan
peningkatan kasus yang dilakukan oleh anak. Lalu bagaimana peran kita semua terutama
keluarga dan sekolah sebagai pendidik karakter anak ?
Peningkatan kasus yang dilakukan oleh anak merupakan akibat dan pengaruh dari lingkungan
baik itu dalam keluarga maupun lingkungan sekolah. Kegagalan dalam menangani kasus ini
tentu perlu mendapat perhatian serius dari pihak keluarga dimana anak mendapatkan banyak
pengamatan dan karakter anak dibentuk karena keluarga dianggap sebagai faktor internal
yang sangat kuat dalam pembentukan karakter anak. Selain keluarga, sekolah tentu
mempunyai peran yang sangat penting karena di sekolah para anak-anak dididik dan diberi
bekal pengetahuan yang berhubungan dengan tingkat kemampuan akademik sehingga anak
dapat mengembangkan kemampuan dan bakatnya. Pemerintahpun dalam kasus-kasus yang
dihadapi saat ini tentu sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan ataupun kebijakan
yang akan diberlakukan pada masyarakat umum karena kesalahan dalam pembuatan
keputusan dan kebijakan dapat berakibat fatal bagi sasaran kebijakan yaitu masyarakat
Indonesia.
Peran Guru dalam menjaga Ideologi Bangsa
Pendidikan merupakan kunci kemajuan suatu bangsa. Tidak ada bangsa yang maju, yang
tidak didukung pendidikan yang kuat, demikian yang pernah dikatakan oleh mantan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Prof. Dr. Daoed Joesoef (sumber :
www.edukasi.kompas.com). Hal serupa telah tercatat jelas dalam alinea keempat Pembukaan
Undang–Undang Dasar (UUD) tahun 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Mutu dan kemajuan dunia pendidikan tentu tidak lepas dari peran seorang guru dalam
mendidik, membimbing dan mengajar para peserta didik dalam dunia sekolah. Guru adalah
Edisi Khusus Hari Lahir Pancasila | Kamis, 01 Juni 2017
FKIP/XVII/06/2017
Brisics Brain Of Physics
sosok yang benar-benar menjadi teladan sebuah bangsa karena dari sanalah bangsa ini
diarahkan langkahnya. Seorang guru yang professional dan mendukung penuh cita-cita
bangsa tentu mempunyai jiwa nasionalisme dan patriotisme yang tinggi karena tanpa jiwa
nasionalisme dan patriotisme, seorang guru dapat saja mengajarkan dan mendidik berbagai
hal yang bertentangan dengan cita – cita dan ideologi Negara Indonesia.
Namun hal ini belum terealisasi secara utuh dikarenakan masih banyak sekolah yang
mengajarkan paham – paham anti Pancasila dan bertentangan dengan ideologi Pancasila
sebagai dasar negara. Hal ini dibuktikan dengan makin banyaknya pelajar yang terindikasi
radikalisme dari ajaran sekolah seperti yang terjadi di Kabupaten Purwarejo, 70% pelajar
terindikasi pengaruh radikalisme. Angka ini tentu cukup mencengangkan bagi warga
masyarakat. Namun dari hasil penelitian yang dilakukan di Balai Penelitian dan
Pengembangan (Balitbang) Kementerian Agama (Kemenag) menunjukkan bahwa jumlah
pelajar yang terindikasi pengaruh radikalisme angkanya memang sudah cukup tinggi.
“Penelitian dilakukan selama dua bulan dengan sampling di sejumlah SMA Negeri di wilayah
Kedu dan Yogya,” kata Penyuluh Agama Islam (PAI) Kabupaten Purworejo KH Romli
Hasan (Sumber : http://krjogja.com/). Dalam dialog interaktif membentengi anak dari
pengaruh radikalisme yang diselenggarakan Dharma Wanita Persatuan (DPW) Kabupaten
Purworejo di Sanggar Bhakti Pramuka Kwarcab Purworejo, Romli Hasan menandaskan, hal
yang lebih mengejutkan dalam pengisian angket dengan pertanyaan, siapakah tokoh yang
diidolakan dan situs apa yang disenangi ? Ternyata jawaban yang diidolakan adalah Rizieq
Shihab atau Habib Rizieq dan situs yang sering dibaca Millah Ibrahim. “Dalam situs ini,
paham Millah Ibrahim mengutamakan pendirian negara Islam dan mengesampingkan NKRI,”
kata Romli Hasan yang ikut dalam penelitian sebagai perwakilan dari Kemenag Purwarejo.
Menurut paham radikal masuk ke sekolah diantaranya melalui kegiatan kerohanian Islam
(Rohis). Kegiatan pengajian dengan mendatangkan mentor dari luar atau jaringan alumni,
yang ternyata justru membawa paham agama yang tidak moderat. Sehingga membawa
pemahaman dan sikap keagamaan siswa SMA di Purworejo yang bersifat radikal. “Dalam
kegiatan Rohis, di sekolah HTI juga masuk. Namun setelah diketahui mengajarkan anti
Pancasila,
sekolah
menghentikan
kegiatan
HTI,”
papar
Romli
Hasan
(http://krjogja.com/web/news/read/34162/Mayoritas_Pelajar_Terindikasi_Paham_Radikal)
Berdasarkan berita atau artikel yang dikutip diatas dapat dipastikan, para pelaku radikalisme
telah menyerang sumbu utama sebuah bangsa yaitu sekolah dan diajarkan secara langsung di
sekolah-sekolah dan kampus-kampus, melalui buku-buku pelajaran sekolah dan umum yang
Edisi Khusus Hari Lahir Pancasila | Kamis, 01 Juni 2017
FKIP/XVII/06/2017
Brisics Brain Of Physics
sangat fatal akibatnya. Ketika sekolah sudah dipengaruhi oleh paham radikalisme, banyak
sekali yang dapat terjadi dan merupakan suatu gejala buruk bagi sebuah bangsa. Selain
melalui sekolah, paham – paham anti Pancasila atau paham radikalisme dan terorisme juga
telah menyusup jauh memasuki rumah warga dengan berbagai cara yang dipandang sebagai
cara aman yaitu melalui jalur keagamaan, melalui WA dan media sosial lain, melalui
Youtube dan sebagainya.
Dalam jalur pendidikan, sering terjadi bahwa kita menyekolahkan anak – anak generasi
bangsa pada sekolah – sekolah luar negeri dan sekolah – sekolah yang bertaraf internasional
dengan kebanggaan dan berpikir bahwa kita telah mampu bersaing didunia luar ketika kita
menyekolahkan anak – anak kita di sekolah – sekolah bertaraf internasional tersebut. Namun
apakah sudah 100% dapat dijamin sistem pengajaran yang diberikan dalam sekolah – sekolah
tersebut sejalan dengan ideologi Bangsa Indonesia ? Apakah kita dapat juga menjamin bahwa
kualitas dan mutu yang diberikan sekolah – sekolah tersebut mampu menyaingi dunia luar
dengan tetap menjunjung tinggi Ideologi Bangsa Indonesia ? Masih banyak sekali pertanyaan
yang perlu kita teliti yang dapat menjamin bahwa anak – anak penerus bangsa benar – benar
terhindar dari banyaknya pengaruh luar yang justru berdampak pada pemahaman anak – anak
penerus bangsa dalam mengartikan dan memahami ideologi bangsa Indonesia itu sendiri.
Namun selain sekolah – sekolah yang bertaraf internasional, sekolah – sekolah lokal yang
merupakan sekolah yang berdiri di Indonesia dan menganut Pancasila secara utuh pun dapat
juga mengajarkan paham – paham anti Pancasila seperti yang kita lihat pada kutipan berita
diatas, lalu dimanakah yang merupakan pokok permasalahan kita pada masalah penyebaran
paham radikalisme atau paham anti Pancasila ini ?
Dalam masalah ini kita coba melihat pentingnya peran seorang guru dalam memajukan
pendidikan yang tetap menganut secara utuh paham Pancasila dan menjunjung tinggi
Ideologi Bangsa Indonesia sendiri. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dalam 73 tahun
sejak kemerdekaan Indonesia telah mencoba berbagai cara untuk mengantisipasi muncul dan
masuknya paham radikalisme dan anti Pancasila pada sekolah dengan tetap mempertahankan
mutu dan kualitas pendidikan Indonesia agar mampu bersaing di dunia luar layaknya sekolah
– sekolah di luar negeri lainnya yang menjadi idaman banyaknya pelajar Indonesia. Dalam
sejarah Indonesia, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengganti kurikulum
sebanyak 10 kali yaitu mulai dari Kurikulum 1947 (Rencana Pelajaran 1947) hingga saat ini
Kurikulum 2013, dimana banyak pendapat yang pro dan kontra untuk setiap pergantian
kurikulum yang seiring dengan pergantian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Edisi Khusus Hari Lahir Pancasila | Kamis, 01 Juni 2017
FKIP/XVII/06/2017
Brisics Brain Of Physics
Indonesia. Banyak orang yang berpendapat bahwa hal ini terkesan memaksakan namun
banyak diantaranya juga meyakini bahwa pergantian kurikulum ini hanya semata-mata untuk
memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga apa yang diamanatkan dalam UUD
1945 dapat diwujudkan sehingga menjadi Bangsa yang cerdas dan maju dan tetap
menjunjung tinggi Pancasila dalam kehidupan pendidikan Indonesia.
Dengan banyaknya pergantian kurikulum yang dilakukan ternyata mempunyai dampak cukup
buruk bagi pelajar, guru, calon guru dan masyarakat pada umumnya. Pelajar mulai
dibingungkan dengan sistem pengajaran yang diberlakukan pada sekolah. Disisi lain, dengan
banyaknya atau semakin seringnya pergantian kurikulum juga membuat banyak perubahan
pada pencapaian sistem pembelajaran yang berlaku disekolah, perubahan mata pelajaran,
perubahan budaya dan perubahan sistem penilaian dan standar kelulusan serta banyak
perubahan lain yang tentunya mempunyai sisi baik dan buruknya.
Dari sisi perubahan mata pelajaran terkhususnya pada mata pelajaran yang mengajarakan
keterkaitan antara etika, moral sopan santun, kewarganegaraan dan budi pekerti yang
berkaitan langsung dengan Ideologi Bangsa Indonesia yaitu Pancasila, dapat kita tinjau
bahwa mempunyai banyak sekali kekurangan jika kita melihat dari masa sekolah pada tahun
1990-an dibandingkan dengan masa sekolah pada tahun 2000-an ini. Pelajar pada era 1990-an
sangat mengenal identitas bangsa sendiri dibandingkan pelajar pada era 2000-an ini. Sebagai
contoh adalah pelajar pada zaman 1990-an, menghafal dan bahkan menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari apa yang menjadi identitas bangsa sedangkan
TIM REDAKSI
Penanggungjawab
para pelajar dizaman ini sangatlah berbeda dengan apa yang
diharapkan sebagai penerus bangsa ini. Banyak sekali para pelajar
Faradiba, M.Sc
pada zaman ini yang tidak mengetahui dan tidak mengenal identitas
Ketua
Fransiskus Assisi Beyora L
Tata Letak
bangsa Indonesia sendiri secara benar, baik itu Pancasila, butir-butir
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Bhineka Tunggal Ika
Diaz Jubairy P
bahkan nama Presiden dan Wakil Presiden saat ini tidak banyak
diketahui oleh para pelajar dizaman ini. Hal-hal ini terbukti ketika
[email protected]
Presiden Jokowi melakukan kunjungan ke daerah-daerah dan
menanyakan bunyi 5 sila dari Pancasila, banyak pelajar yang salah
mengucapkan dan menertawakan kesalahan tersebut.
Dari sudut pandang pendidikan yang saat ini berkembang dapat kita simpulkan bahwa hal-hal
ini terjadi akibat minimnya pengajaran dan pendidikan secara resmi di sekolah yang
mengajarkan tentang identitas bangsa Indonesia ini. Pergantian nama mata pelajaran yang
Edisi Khusus Hari Lahir Pancasila | Kamis, 01 Juni 2017
FKIP/XVII/06/2017
Brisics Brain Of Physics
juga turut mengurangi materi pengajaran pada pelajaran kewarganegaraan turut memberi
andil besar dalam menghancurkan mental dan karakter para pelajar untuk berjiwa patriotism
dan nasionalisme. Ini mungkin menjadi sebab dan akibat adanya pengajaran dan pendidikan
yang kontra terhadap Pancasila yang berhasil menyusup ke dunia pendidikan Indonesia
sehingga banyak penerus bangsa Indonesia yang terjebak dalam aliran dan ajaran yang anti
Pancasila.
Selain pergantian mata pelajaran dan sistem pengajaran yang diterapkan, hal ini juga
berdampak pada budaya dan karakter yang dibangun dalam sistem pengajaran di sekolah
pada saat ini juga sangat berbeda dan berbanding terbalik dengan budaya dan karakter yang
dibangun dalam sekolah pada era 1990-an. Budaya dan karakter para pelajar pada saat ini
juga sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi yang secara bebas di akses oleh siapa saja
dan dimanapun hendak diakses. Dalam ideologi dan pandangan hidup Negara Indonesia sejak
zaman sebelum kemerdekaan hingga saat ini, masih terus diajarkan budaya gotong royong
yang menjadi satu-satunya budaya di dunia yang dimiliki oleh bangsa Indonesia ini, namun
banyak sekali pelajar pada saat ini yang tidak mencerminkan apa yang menjadi identitas
bangsa kita sebagai bangsa yang peduli terhadap sesama. Hingga saat ini KPAI masih
mendapatkan laporan kekerasan yang dilakukan oleh pelajar baik disekolah maupun diluar
lingkungan sekolah dengan jumlah yang meningkat untuk setiap tahun seperti tawuran dan
bullying yang sangat jelas bahwa perilaku seperti ini sangat berbeda dengan pelajar pada era
1990-an yang mempunyai kepedulian dan sikap tolong menolong terhadap sesama yang
sangat tinggi dan sangat berbeda dengan apa yang menjadi identitas bangsa kita. Hal ini juga
didukung dengan kemajuan teknologi yang membuat pelajar saat ini menjadi lebih egois dan
bersikap kurang menyenangkan yang jauh berbeda dengan apa yang diharapkan.
Jiwa Patriot Seorang Calon Guru
Melihat fakta permasalahan yang semakin banyak terjadi dalam dunia pendidikan bahkan
semakin kompleks, kita membutuhkan banyak pemikiran kreatif untuk menghasilkan solusi
yang tepat agar para pelajar bangsa Indonesia tidak terlepas dari jalur yang sesuai dengan
identitas bangsa kita. Salah satu cara dan solusi terbaik dalam mengatasi banyaknya
persoalan yang mengancam keutuhan dan identitas kita ini adalah melalui jalur pendidikan
karena sebuah bangsa yang besar, cerdas dan maju tentu mempunyai sistem pendidikan yang
maju namun tetap pada jalur sebagai bangsa Indonesia sendiri.
Edisi Khusus Hari Lahir Pancasila | Kamis, 01 Juni 2017
FKIP/XVII/06/2017
Brisics Brain Of Physics
Pendidikan dimulai dari seorang guru yang professional dan seorang guru yang professional
berasal dari seorang calon guru. Calon guru adalah mahasiswa perguruan tinggi pada bidang
keguruan dimana mereka siap dibina dan dibentuk untuk menghasilkan output menjadi
seorang guru yang berkualitas namun tetap pada jalur yang benar dari bangsa Indonesia.
Untuk tetap berada pada jalur pendidikan yang benar tentu proses pengajaran yang dilakukan
untuk membentuk jiwa seorang calon guru harusnya pada jalur benar juga. Jiwa patriotism
dan nasionalisme tentu harus dan wajib ditanam sejak menjalani pendidikan untuk menjadi
seorang guru karena ketika jiwa seorang calon guru berada pada jalur yang salah ataupun
goyah dalam menghadapi permasalahan yang semakin banyak dan kompleks juga semakin
majunya teknologi, tentu hal ini menjadi sangat berbahaya dalam menghasilkan peserta didik
atau pelajar yang mencintai Negara Indonesia sendiri. Karena dengan kemajuan teknologi
mempunyai dampak baik dan buruk bagi para pelajar Indonesia karena banyak sekali
kemudahan yang diberikan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi para calon
guru untuk kelancaran dalam proses belajar mengajar di sekolah tempatnya akan mengabdi.
Kemajuan ini pun harus banyak dimanfaatkan oleh para calon guru untuk beradaptasi dengan
para peserta didik, memperluas jaringan dan pengetahuan tentang dunia luar, sehingga
gurupun memanfaatkannya sebagai media pembelajaran yang dianggap semakin penting dan
memodifikasi proses pembelajaran sehingga muncullah banyak media pembelajaran seperti
aplikasi-aplikasi penghubung antara guru dan peserta didik yang dibuat untuk
mempermudahnya komunikasi dan proses belajar mengajar, layaknya sosial media pada
umumnya guru memberikan tugas bahkan kehadiran siswa dan penilaian siswa dinilai dari
aplikasi-aplikasi tersebut. Modifikasi dan munculnya media belajar yang baik dan kreatif
diimbangi dengan jiwa patriot untuk tetap berada pada jalur ideologi Negara tentu sangat
mendukung hilangnya ajaran-ajaran yang anti Pancasila.
Selain sisi positif dari banyaknya dan semakin canggihnya ilmu pengetahuan dan teknologi,
ternyata juga menimbulkan banyaknya masalah dan tantangan baru bagi para calon pendidik.
Dimulai dengan beredarnya isu atau berita hoax yang mengajarkan paham-paham ati
Pancasila dan pro terhadap radikalisme dan terorisme hingga pada munculnya film-film yang
berbau SARA dan paham anti Pancasila. Disinilah peran para calon guru dalam melihat
masalah yang kian muncul ini. Proses pendidikan dalam menghasilkan para calon guru tentu
harus diperketat dengan tetap menanamkan rasa cinta tanah air kita Indonesia yang pro
terhadap ideologi kita Pancasila. Karena berawal dari jiwa seorang guru yang bersih dan cinta
tanah air, Indonesia dapat terhindar dari segala ancaman radikalisme dan terorisme serta
Edisi Khusus Hari Lahir Pancasila | Kamis, 01 Juni 2017
FKIP/XVII/06/2017
Brisics Brain Of Physics
paham lain yang kontra terhadap Pancasila. Hal ini sangat menjamin masa depan Indonesia
yang maju, cerdas dan tetap menjunjung tinggi Bangsa dan Negara Indonesia (Fr).
Physics Photos
Creation of Fr
Dewa Kematian, Bulan Terpanas dan Memori
Terbesar
“Dewa kematian”
Pada tanggal 14 Juli 2015, umat
manusia melakukan lompatan
besar dalam hal teknologi dan
eksplorasi antariksa. Kita telah
berhasil
memfoto
“Dewa
kematian”!!.
Yang
dimaksud
“Dewa kematian” disini adalah
pluto lho hehehe. Nama pluto
berasal dari mitologi yunani yang
berarti Dewa kematian. Foto
beresolusi tinggi dari objek
antariksa
yang
dulu
pernah
dikategorikan sebagai planet ini
(Pluto) diambil oleh wahana antariksa
New Horizon saat ia berada di titik
terdekatnya
berpapasan
dengan
planet katai Pluto. (Pluto sekarang
dikategorikan
sebagai
planet
katai/kerdil). Wahana New Horizon
diluncurkan pada tahun 2006 dan
sampai pada tahun 2015
Bulan terpanas
Sobat Bri-Sics ngerasa gak sih siang
hari makin panas ?. Ternyata gak
Edisi Khusus Hari Lahir Pancasila | Kamis, 01 Juni 2017