Chapter II Perjanjian Pelaksanaan Pengadaan Tenaga Kerja Office Boy Antara Pt.Pertamina (Persero) Dengan Pt.Rajawali Karya Mandiri

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian
Para Sarjana Hukum di Indonesia memakai istilah yang berbeda - beda untuk
perjanjian. Menurut Munir Fuady, istilah perjanjian merupakan kesepadanan dari
istilah overeenkomst dalam bahasa Belanda atau agreement dalam bahasa
Inggris. 3Achmad Ichsan memakai istilahverbintenis untuk perjanjian, sedangkan
Utrecht dalam bukunya Pengantar dalam Hukum Indonesia memakai istilah
overeenkomst untuk perjanjian. 4
Hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya selalu terwujud
dalam pergaulan sehari-hari.Hal ini disebabkan adanya tujuan dan kepentingan
yang sangat beraneka ragam.Dalam hal adanya tujuan dan kepentingan yang ingin
dicapai maka untuk mewujudkan kebutuhan para pihak tersebut, terlebih dahulu
harus dipertemukan kehendak yang mereka inginkan.Hal inilah yang menjadi
dasar utama untuk terjadinya suatu perjanjian.
KUH Perdata memberi keleluasaan bagi para pihak yang mengadakan perjanjian
untuk membentuk kesepakatan di dalam maupun di luar KUH Perdata itu
sendiri.Peraturan ini berlaku untuk semua pihak yang mengadakan kesepakatan,
yang tidak bertentangan dengan undang-undang, norma-normakesusilaan yang

berlaku. Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat

3

Munir Fuady., Hukum Kontrak “Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis”, ( Bandung : Citra
Aditya Bakti, 2001), hlm. 2
4
Titik Triwulan Tutik., Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: kencana,
2008), hlm.197

Universitas Sumatera Utara

menumbuhkan kepercayaan di antara para pihak bahwa satu sama lain akan
memenuhi prestasinya dikemudian hari. Dengan adanya kepercayaan ini, kedua
pihak mengikatkan dirinya kepada perjanjian yang mempunyai kekuatan mengikat
sebagai undang-undang. 5
Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang - Undang Hukum
Perdata, yang selanjutnya disebut KUH Perdata dinyatakan bahwa : “Suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Ada beberapa kelemahan dari pengertian perjanjian yang diatur dalam
ketentuan di atas, seperti yang dinyatakan oleh Mariam Darus Badrulzaman
(et.all) dalam bukunya Kompilasi Hukum Perikatan bahwa:
Definisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUH
Perdata adalah tidak lengkap dan terlalu luas, tidak lengkap karena yang
dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu
dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan - perbuatan di
dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin yang merupakan
perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur
dalam KUH Perdata Buku III, perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata
Buku III kriterianya dapat dinilai secara materil, dengan kata lain dinilai
dengan uang. 6
Abdul Kadir Muhammad Menyatakan kelemahan Pasal tersebut adalah sebagai
berikut: 7
1. Hanya menyangkut sepihak saja.
Hal tersebut dapat diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya pada satu orang atau lebih”.Kata “mengikatkan
5

Mariam Darus Badrulzaman (1).,Aneka Hukum Bisnis,(Bandung : Alumni, 1994),


Hlm.42
6

Mariam Darus Badrulzaman, et.all.,Kompilasi Hukum Perikatan, (Jakarta : Citra Aditya
Bakti, 2001), hlm. 65
7
Abdul Kadir Muhammad., Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990),
hlm.78

Universitas Sumatera Utara

diri”sifatnya hanya datang dari satu pihak saja,tidak dari kedua belah pihak
seharusnya dirumuskan saling mengikatkan diri, jadi ada consensus antara
pihak-pihak.
2. Kata “perbuatan”mencakup juga tanpa consensus.
Pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa,
tindakan melawan hukum yang tidak mengandung consensus, seharusnya
digunakan kata persetujuan.
3. Pengertian perjanjian terlalu luas.

Pengertian perjanjian dalam Pasal tersebut terlalu luas karena mencakup juga
pelangsungan perkawinan, yaitu janji kawin yang diatur dalam lapangan
hukum keluarga.Padahal yang dimaksudkan adalah hubungan antara kreditur
dengan debitor dalam lapangan harta kekayaan saja.Perjanjian yang
dikehendaki oleh buku III KUH Perdata sebenarnya adalah perjanjian yang
bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.
4. Tanpa menyebutkan tujuan mangadakan perjanjian.
Tanpa menyebut tujuan mangadakan perjanjian sehingga pihak - pihak yang
mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa. Perjanjian memiliki definisi yang
berbeda-beda menurut pendapat para ahli yang satu dengan yang lain. Secara
umum, perjanjian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah persetujuan
(baik lisan maupun tulisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masingmasing berjanji akan mentaati apa yang disebut dalam persetujuan itu.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Sri Soedewi Masychon Sofwan, perjanjian adalah suatu perbuatan
hukum dimana seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau
lebih. 8
Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah : 9
Suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk

melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.Dalam defenisi
tersebut, secara jelas terdapat consensus antara para pihak, yaitu
persetujuan antara pihak satu dengan pihak lainnya.Selain itu juga,
perjanjian yang dilaksanakan terletak pada lapangan harta kekayaan.
Subekti mengatakan bahwa, “Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang
berjanji kepada seorang lain atau di mana 2 (dua) orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal”. 10Dari perjanjian tersebut maka timbul perikatan.
Perikatan menurut Subekti merupakan suatu perhubungan hukum antara dua
orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu
hal yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi kewajiban itu.
Menurut M. Yahya Harahap,

11

perjanjian atau verbintenis adalah suatu hubungan

hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi
kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus
mewajibkan pada pihak yang lain untuk menunaikan prestasi. Unsur dari wujud
pengertian perjanjian tersebut di atas adalah hubungan hukum yang menyangkut

hukum harta kekayaan antara dua orang (person) atau lebih, yang memberikan
hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.
8

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan., Hukum Perjanjian, (Yogyakarta : Universitas Gadjah
Mada ,1982), hlm. 8
9
Abdul Kadir Muhammad, Op.cit., hlm.4
10
R. Subekti.,Hukum Perjanjian. (Jakarta :Pembimbing Masa, 1980), hlm 1.
11
M. Yahya Harahap., Segi-segi Hukum Perjanjian. (Bandung :Alumni, 1986) , hlm 6

Universitas Sumatera Utara

Menurut Setiawan , perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih. 12
Menurut Wirjono Prodjodikoro, perjanjian adalah suatu perhubungan
hukum mengenai benda antara dua pihak dalam mana salah satu pihak berjanji

untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain
berhak menuntut pelaksanaan janji itu. 13
Menurut Syahmin AK, dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu
rangkaian perkataan yang mengandung janji - janji atau kesanggupan yang
diucapkan atau ditulis. 14
Dari beberapa pengertian di atas, tergambar adanya beberapa unsur
perjanjian, antara lain:
a. Adanya pihak - pihak yang sekurang-kurangnya dua orang.
Pihak - pihak yang dimaksudkan di sini adalah subyek perjanjian yang dapat
berupa badan hukum dan manusia yang cakap untuk melakukan perbuatan
hukum menurut undang - undang. Dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua
pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan
pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor).
Masing - masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu orang atau lebih orang,

12

Setiawan.,Pokok- Pokok Hukum Perikatan, (Bandung : Alumni, 1979), hlm. 4
Wirjono Prodjodikoro (1).,Hukum Perdata tentang Persetujuan - Persetujuan Tertentu,
(Jakarta : Sumur Bandung, 1981), hlm. 11

14
Syahmin AK., Hukum Kontrak Internasional, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2006),hlm .140
13

Universitas Sumatera Utara

bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut juga dapat terdiri
dari satu atau lebih badan hukum. 15
b. Adanya persetujuan atau kata sepakat.
Persetujuan atau kata sepakat yang dimaksudkan adalah consensus antara
para pihak terhadap syarat - syarat dan obyek yang diperjanjikan.
c. Adanya tujuan yang ingin dicapai. 16
Tujuan yang ingin dicapai dimaksudkan di sini sebagai kepentingan para
pihak yang akan diwujudkan melalui perjanjian.
d. Adanya prestasi atau kewajiban yang akan dilaksanakan.
Dengan membuat perjanjian, pihak yang mengadakan perjanjian, secara
“sukarela” mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu atau
untuk tidak berbuat sesuatu guna kepentingan dan keuntungandari pihak
terhadap siapa ia telah berjanji atau mengikatkan diri, dengan jaminan atau

tanggungan berupa harta kekayaan yang dimiliki dan akan dimiliki oleh pihak
yang membuat perjanjian atau yang telah mengikatkan diri tersebut. Dengan
sifat sukarela, perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan
sesuai dengan maksud dari pihak yang membuat perjanjian.Prestasi yang
dimaksud

adalah

melaksanakannya

sebagai
sesuai

kewajiban
dengan

apa

bagi
yang


pihak

-

pihak

disepakati.

untuk

Perjanjian

mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya dari suatu perjanjian lahirlah

15

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja.,Seri Hukum Perikatan “Perikatan yang Lahir
dari Perjanjian” ,(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 92
16

Wirjono Prodjodikoro (2).,Asas - asas Hukum Perjanjian, (Jakarta : Sumur Bandung,
1979),hlm. 84

Universitas Sumatera Utara

kewajiban atau prestasi dari satu orang atau lebih orang (pihak) kepada satu
atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut. 17
e. Adanya bentuk tertentu.
Bentuk tertentu yang dimaksudkan adalah perjanjian yang dibuat oleh para
pihak harus jelas bentuknya agar dapat menjadi alat pembuktian yang sah
bagi pihak - pihak yang mengadakan perjanjian.Untuk beberapa perjanjian
tertentu, undang - undang menentukan suatu bentuk tertentu, yaitu bentuk
tertulis sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak
sah.Dengan demikian, bentuk tertulis tidaklah hanya semata - mata hanya
merupakan pembuktian saja, tetapi juga syarat untuk adanya perjanjian itu. 18
f. Adanya syarat - syarat tertentu.
Syarat - syarat tertentu yang dimaksud adalah substansi perjanjian
sebagaimana yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian. 19

B. Jenis – Jenis Perjanjian
Ada beberapa jenis-jenis perjanjian menurut Mariam Darus adalah sebagai
berikut : 20
1.

Perjanjian Timbal Balik

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi
kedua belah pihak.Misalnya perjanjian jual beli.
2.

Perjanjian Cuma-Cuma dan Perjanjian atas Beban

17

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja., Op.cit., hlm. 2
Mariam Darus Badrulzaman et.all.,Op.cit., hlm 66
19
Wirjono Prodjodikoro (2)., op.cit., hlm 84
20
J.Satrio.,hukum Perikatan yang Lahir (Bandung: Citra Aditya Bakti , 1995), hlm. 19
18

Universitas Sumatera Utara

Perjanjian dengan Cuma-Cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan
bagi salah satu pihak saja.Misalnya hibah. Sedangkan perjanjian atas beban
adalah perjanjian terhadap prestasi dari pihak yang satu dan selalu terdapat
kontrak prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungan
hukum.
3.

Perjanjian

Bernama

(benoemd,

specified)

dan

Perjanjian

Tidak

Bernama(onvenoemd, unspecified).
Perjanjian bernama (Khusus) merupakan perjanjian yang mempunyai
namasendiri. Maksudnya ialah perjanjian-perjanjian tersebut di atur dan
diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling
banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian bernama terdapat dalam Bab V sampai
dengan XVIII KUH Perdata.Di luar perjanjian bernama tumbuh perjanjian
tidak bernama, yaitu perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi
terdapat pada masyarakat.Pada dasarnya jumlah perjanjian ini tidak terbatas.
4.

Perjanjian campuran
Perjanjian campuran merupakan perjanjian yang mengandung berbagai unsur
perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa
menyewa), tetapi juga menyajikan makanan (jual beli) dan juga memberikan
pelayanan lainnya.Terhadap perjanjian campuran ini terdapat berbagai
paham, yaitu :
a. Paham pertama mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai
perjanjian Khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari
perjanjian Khusus tetap ada .

Universitas Sumatera Utara

b. Paham kedua mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang dipakai adalah
ketentuan-ketentuan dari perjanjian-perjanjian yang paling menentukan
(teori absorbsi).
c. Paham ketiga mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan undang-undang
yang diterapkan terhadap perjanjian campuran itu adalah ketentuan
undang-undang yang berlaku untuk itu (teori kombinasi).
5. Perjanjian Obligatoir
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian antara pihak-pihak yang mengikatkan
diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain. Dapat dikatakan bahwa
perjanjian itu merupakan perjanjian yang menimbulkan perikatan misalnya
perjanjian jual beli benda bergerak. Menurut KUH Perdata, perjanjian jual beli
saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli.
Untuk beralihnya hak milik jual beli seperti itu dinamakan perjanjian
obligatoir karena membebankan kewajiban (obligatoir) kepada para pihak
untuk melakukan penyerahan. Penyerahan sendiri merupakan perjanjian
kebendaan.
6. Perjanjian Kebendaan
Perjanjian kebendaan merupakan perjanjian hak atas benda dialihkan
atau diserahkan kepada pihak lain.
7. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Riil
Perjanjian Konsensual adalah perjanjian di antara kedua belah pihak yang telah
tercapainya suatu persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut
KUH Perdata, perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUH Perdata),

Universitas Sumatera Utara

Perjanjian pinjam pakai (Pasal 1740 KUH Perdata). Perjanjian yang terakhir
ini dinamakan juga sebagai perjanjian riil.
8. Perjanjian-perjanjian yang Istimewa sifatnya
Jenis perjanjian yang istimewa sifatnya adalah :
a. Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian para pihak yang membebaskan diri
dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijschelding)
pada Pasal 1438 KUH Perdata.
b. Perjanjian pembuktian, yaitu perjanjian antara para pihak untuk
menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka.
c. Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi, Pasal 1774
KUH Perdata.
d. Perjanjian Publik, yaitu perjanjian yang sebagaian atau seluruhnya
dikuasai oleh hukum publik karena salah satu pihak bertindak sebagai
penguasa (pemerintah). Misalnya perjanjian ikatan dinas dan perjanjian
pengadaan barang pemerintah.
Anser berpendapat bahwa : “Setiap perjanjian mempunyai bagian inti dan
bagian yang bukan inti”. 21
Bagian inti disebut essensialia dan bagian yang bukan inti terdiri dari
naturaliadan aksidentalia. Essensialia adalah bagian-bagian yang harus ada
dalam suatu perjanjian karena bagian ini menentukan atau menyebabkan
perjanjian itu tercipta. Seperti persetujuan antara pihak dan objek perjanjian diamdiam melekat pada perjanjian, akan tetapi hal ini dapat diperjanjikan secara tegas
untuk dihapuskan. Misalnya menjamin tidak ada cacat dalam benda yang
21

Mariam Darus Badrulzaman (2)., KUH Perdata Buku II Hukum Perikatan dengan
Penjelasannya,(Bandung :Alumni, 1993), Hlm. 24

Universitas Sumatera Utara

dijual.Aksidentalia merupakan sifat yang melekat pada perjanjian yaitu secara
tegas diperjanjikan oleh para pihak seperti ketentuan mengenai domisili para
pihak.

C. Asas – Asas Perjanjian
Ada beberapa asas yang terdapat dalam hukum perjanjian, yaitu :
1. Asas Kebebasan Mengadakan Perjanjian (Asas Kebebasan Berkontrak)
Kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting di dalam
hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak yang bebas
pancaran hak asasi manusia . Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata disebutkan bahwa:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”.Secara langsung telah tampak pengertian
bahwa orang bebas untuk membuat perjanjian.Janji mana justru berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka.
Mariam Darus berpendapat bahwa :
“Di dalam Hukum Perjanjian Nasional, asas kebebasan berkontrak yang
bertanggung jawab dan mampu memelihara keseimbangan antara
pengguna hak asasi dengan kewajiban asasi ini perlu tetap dipertahankan
yaitu dengan cara pengembangan kepribadian untuk mencapai
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir dan batin yang serasi, selaras,
dan seimbang dengan kepentingan masyarakat”. 22
Dapat dikatakan bahwa hukum perjanjian menganut sistem terbuka,yang
berarti bahwa setiap orang bebas untuk menyatakan keinginan dan mengadakan
perjanjian-perjanjian dengan bentuk tertentu dan bebas memilih undang-undang
mana yang dipakainya untuk perjanjian itu. Berarti bahwa setiap orang bebas
22

Mariam Darus Badrulzaman et.all ,op.cit., hlm. 86

Universitas Sumatera Utara

untuk menentukan keinginan yang dituangkan dan diatur sebagai isi perjanjian.
Lebih jauh berarti bahwa karena berlaku sebagai undang-undang maka wajib
dilaksanakan dan bila perlu menggunakan alat paksa kepentingan umum. Asas ini
berkaitan erat dengan asas konsensualisme.
2. Asas Konsensualisme
Asas ini berkenaan dengan adanya persesuaian kehendak dari para pihak
yang mengadakan perjanjian sehingga dicapai suatu kesepakatan membuat
perjanjian. Pesan yang terkandung dalam asas ini adalah bahwa setiap orang yang
sepakat berjanji tentang suatu hal, berkewajiban untuk memenuhinya.Secara
implisit

asas

ini

lebih

menekankan

pada

moral

para

pelaku.Pada

perkembangannya asas ini dijelmakan dalam klausa perjanjian yang berisi tentang
hak dan kewajiban para pihak yang berjanji.Apabila salah satu pihak ingkar maka
pihak yang diingkari dapat memohon kepada hakim agar klausa tersebut mengikat
dan dapat dipaksanakan berlakunya.Selain berkaitan erat dengan asas kebebasan
berkontrak, asas ini juga berkaitan dengan asas kepercayaan, sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 1334 KUH Perdata, yang mengatur bahwa barang yang
baru ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi pokok suatu persetujuan.
Dalam hal ini, subjek hukum diberikan kesempatan menyatakan keinginannya
yang dianggap baik untuk mengadakan perjanjian. Maka ia harus memegang
teguh kesepakatan yang diberikan kepadanya.

3. Asas Kepercayaan

Universitas Sumatera Utara

Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuh kembangkan
kepercayaan di antara kedua belah pihak, yang menunjukkan bahwa satu sama
lain akan memegang janjinya. Dengan kata lain, akan memenuhi prestasinya di
belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu maka perjanjian tidak mungkin akan
diadakan oleh para pihak.
Asas kepercayaan dinyatakan dalam Pasal 1338 jo 1334 KUH Perdata.
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat
menumbuhkan kepercayaan di antara para pihak bahwa satu sama lain akan
memenuhi prestasinya di kemudian hari. Dengan adanya kepercayaan ini, kedua
pihak mengikatkan dirinya kepada perjanjian yang mempunyai kekuatan mengikat
sebagai undang-undang. 23
4. Asas Perjanjian Mengikat (Pacta Sunt Servanda)
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.Artinya bahwa kedua belah pihak wajib mentaati dan melaksanakan
perjanjian yang telah disepakati sebagaimana mentaati undang-undang. Oleh
karena itu, akibat dari asas pacta sunt servanda adalah perjanjian itu tidak dapat
ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lain. Hal ini disebutkan dalam Pasal
1338 ayat (2) KUHPerdata yaitu suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali
selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau alasan oleh undang – undang
yang dinyatakan cukup untuk itu .
5. Asas Persamaan Hak

23

Mariam Darus Badrulzaman (1)., Loc.cit

Universitas Sumatera Utara

Asas ini terdapat dalam Pasal 1341 KUH Perdata. Dalam asas ini, para pihak
diletakkan pada posisi yang sama. Dalam perjanjian sudah selayaknya tidak ada
pihak yang bersifat dominan dan tidak ada pihak yang tertekan sehingga tidak
terpaksa untuk menyetujui syarat yang diajukan karena tidak ada pilihan lain.
Mereka melakukannya walaupun secara formal hal tersebut tidak dapat dikatakan
sebagai paksaan.Dalam perjanjian, para pihak harus menghormati pihak
lainnya.Jika prinsip sama-sama menang tidak dapat diwujudkan secara murni,
namun harus diupayakan agar mendekati perimbangan di mana segala sesuatu
yang merupakan hak para pihak tidaklah dikesampingkan begitu saja.
6. Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian, asas
ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan, kreditur mempunyai kekuatan
untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi
melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk
melaksanakan perjanjian dengan itikad baik, dapat dilihat bahwa kedudukan
kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad
baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.
7. Asas Kepentingan Umum
Asas ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari ketentuan Pasal 1337 KUH
Perdata.Ditegaskan agar dalam menyusun dan melaksanakan suatu perjanjian
kedua belah pihak, baik kreditur maupun debitur memperhatikan kepentingan
umum. Asas ini juga mencakup suatu pesan bahwa walaupun subjek hukum
diberikan kebebasan berkontrak, akan tetapi mereka harus berbuat bahwa apa
yang mereka lakukan tidak mengganggu kepentingan umum.

Universitas Sumatera Utara

8. Asas Kepatutan
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata.Dalam hal ini, asas kepatutan
berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.Akan tetapi dalam
prakteknya, asas kepatutan ini selalu dibandingkan dengan kesadaran hukum
masyarakat itu sendiri.Mariam Darus mengatakan bahwa :
“Asas kepatutan ini harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang
hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat”. 24
9.

Asas Moral

Dapat dikatakan bahwa ukuran kepatutan dalam masyarakat, pedoman utamanya
adalah rasa keadilan dalam masyarakat.Asas ini terlihat dalam perikatan biasa,
artinya bahwa suatu perbuatan suka rela dari seseorang tidak menimbulkan hak
baginya untuk menggugat kontrak prestasi dari debitur. Hal ini terlihat juga di
dalam zaakwaarneming,

dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan

sukarela (moral) maka yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk
meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya.
Asas ini terdapat di dalam Pasal 1339 KUH Perdata.Faktor-faktor yang memberi
motivasi pada orang yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan hukum
adalah berdasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.

10. Asas Kebiasaan
Asas ini terdapat dalam Pasal 1339 jo 1347 KUH Perdata yang dipandang sebagai
bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang
diatur secara tegas dalam perjanjian tersebut, akan tetapi juga pada hal-hal yang

24

Ibid, hlm.44

Universitas Sumatera Utara

dalam kebiasaan diikuti. Pada Pasal 1347 KUH Perdata dinyatakan pula bahwa
hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diamdiam dimasukkan di dalam perjanjian meskipun dengan tegas dinyatakan.
Kebiasaan yang dimaksud oleh Pasal 1339 KUH Perdata menurut Mariam
Darus Badrulzaman ialah kebiasaan pada umumnya (gewonte) dan kebiasaan
yang diatur oleh Pasal 1347 KUH Perdata ialah kebiasaan setempat (Khusus) atau
kebiasaan yang lazim berlaku di dalam golongan tertentu . 25
11. Asas Sistem Terbuka
Asas ini penting diperhatikan dalam suatu perjanjian.Sitem perjanjian yang
bersifat terbuka berarti dapat dipertanggungjawabkan dan dipertahankan terhadap
pihak ketiga.Pihak ketiga dapat menuntut bila perjanjian tersebut dianggap
merugikan kepentingannya.
12. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai suatu hukum harus mengandung kepastian hukum.Kepastian
hukum ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang –
undang para pihak.

D. Syarat Sah Perjanjian
Syarat sahnya perjanjian dapat dikaji berdasarkan hukum perjanjian yang terdapat
didalam KUH Perdata.Dalam Pasal 1320 pembuat undang-undang memberikan
suatu patokan umum tentang suatu perjanjian itu lahir. Disana ditentukan
perbuatan-perbuatan apa yang harus dilakukan oleh orang, agar para pihak dapat
secara sah melahirkan hak-hak dan kewajiban bagi mereka atau pihak ketiga.

25

Ibid ., hlm 117.

Universitas Sumatera Utara

Syarat-syarat tersebut diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan seterusnya,
dalam Bab II Bagian Kedua Buku III KUH Perdata.Karena perjanjian merupakan
tindakan hukum, maka tindakan para pihak menutup perjanjian ditujukan kepada
lahirnya akibat hukum yang ada pada suatu perjanjian semacam yang mereka
adakan. 26 Untuk sahnya perjanjian dalam Pasal 1320KUH Perdata dinyatakan ada
empat syarat sahnya perjanjian, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal;
Perjanjian dapat dikatakan sah jika telah memenuhi semua ketentuan yang telah
diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut.Pernyataan sepakat mereka
yang mengikat diri dan kecakapan untuk membuat suatu perjanjian digolongkan
ke dalam syarat subjektif atau syarat mengenai orang yang melakukan perjanjian,
sedangkan tentang suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal digolongkan ke
dalam syarat objektif atau benda yang dijadikan objek perjanjian.Hal-hal tersebut
merupakan unsur-unsur penting dalam mengadakan perjanjian. Keempat syarat
tersebut dapat di jelaskan lebih lanjut adalah :
a. Kata sepakat mereka yang mengikatkan diri
Pengertian “kata sepakat” secara harfiah adalah persetujuan dari pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian tersebut.Sehingga secara langsung dapat juga berarti
bahwa persetujuan itu sendiri lahir karena para pihak merasa dapat menarik
manfaatnya atau memperoleh nilai tambah.

26

J Satrio., Op.cit, hlm 162

Universitas Sumatera Utara

Pengertian dari sisi yuridisnya adalah kebebasan dari para pihak untuk
memberikan persetujuan.Secara mendalam dapat dikatakan walaupun secara
formal telah dapat dibuktikan bahwa perjanjian tersebut dibuat dengan terlebih
dahulu adanya kata sepakat. Akan tetapi apabila dalam pelaksanaan suatu
perjanjian berdasarkan gugatan salah satu pihak yang ada dalam perjanjian
tersebut atau pun pihak lain yang merasa berkepentingan dengan adanya
perjanjian tersebut, ternyata setelah diadakan penelitian dapat diketahui bahwa
kata sepakat itu lahir karena adanya penipuan atau adanya berbagai cara yang
terselubung maupun merupakan hasil dari bentuk kekerasan atau paksaan, yang
direkayasa sehingga tidak berbentuk nyata. Dengan kata lain, jika hanya dilihat
secara formal, hal tersebut tidak akan kelihatan. Dengan adanya alasan ini, hakim
dapat membatalkan suatu perjanjian, karena pada hakekatnya dalam perjanjian
tersebut tidak ada unsur sepakat dari perjanjian yang diadakan.Apabila dalam
perjanjian tidak ada kata sepakat, berarti ada pihak yang dirugikan serta tidak
memenuhi salah satu syarat subjektif dalam Pasal 1320 KUH Perdata.Dengan
dilakukan kata sepakat mengadakan perjanjian, berarti kedua belah pihak haruslah
mempunyai kebebasan kehendak, di mana harus dipertemukan kemauan yang
dikehendaki terhadap hal-hal pokok dari perjanjian tersebut.Apa yang
dikehendaki pihak yang satu juga dikehendaki pihak yang lain. Dapat dikatakan
bahwa perjanjian lahir pada saat tercapainya kata sepakat para pihak sehingga
perjanjian itu sudah sah dan mempuyai kekuatan yang mengikat.Akan tetapi ada
pengecualian oleh undang-undang yang menentukan formalitas tertentu terhadap
beberapa perjanjian, misalnya perjanjian penghibahan, peralihan hak atas tanah
yang harus dilakukan melalui PPAT ataupun Notaris.Demikian juga halnya

Universitas Sumatera Utara

apabila ternyata dalam perjanjian yang dibuat ternyata terdapat suatu kekhilafan,
walaupun perjanjian tersebut telah dibuat dan secara formal kelihatan sempurna,
perjanjian itu masih dapat dibatalkan oleh hakim sebagai suatu perjanjian yang
tidak sempurna yang tidak mengandung unsur kata sepakat.Dalam hal ini A.
Qirom S. Meilala berpendapat bahwa, “Kata sepakat mungkin pula diberikan
karena penipuan, paksaan atau kekerasan.Dalam keadaan ini pun mungkin
diadakan pembatalan oleh pengadilan atau tuntutan dari orang- orang yang
berkepentingan”. 27Bila ada kepincangan kata sepakat dalam suatu perjanjian
maka

perjanjian

itu

dapat

dimintakan

pembatalannya

melalui

hakim

pengadilan.Selama pembatalan itu tidak diminta oleh pihak yang bersangkutan,
perjanjian tetap berlaku. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 1449 KUH Perdatabahwa
:“Perjanjian-perjanjian yang dibuat dengan paksaan, kesilapan atau penipuan,
menerbitkan hak tuntutan untuk membatalkannya”.
Sehubungan dengan kekhilafan atau salah pengertian yang terjadi dalam suatu
perjanjian terdapat pengaturan Khusus dalam KUH Perdata. Pada Pasal 1321
KUH Perdata disebutkan bahwa kekhilafan diletakkan sama posisinya dengan
paksaan dan penipuan. Akan tetapi dalam Pasal 1322 KUH Perdata memberikan
pengaturan secara Khusus dengan dinyatakan bahwa :“Kekhilafan tidak
menyebabkan batalnya suatu persetujuan selain apabila kekhilafan itu terjadi
mengenai barang yang menjadi pokok persetujuan kekhilafan tidak menjadi sebab
kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang yang siapa
seseorang bermaksud membuat suatu persetujuan, kecuali jika persetujuan itu
telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut”.
27

A. Qirom S. Meliala., Pokok-pokok
Perkembangannya,(Yogyakarta : Liberty ,1985 ), Hlm. 10

Hukum

Perjanjian

beserta

Universitas Sumatera Utara

Berkenaan

dengan

indikasi

adanya

paksaan

dalam

suatu

perjanjian.Mengenai paksaan dinyatakan dalam Pasal1323 KUH Perdata
yaitu: “Paksaan yang dilakukan terhadap yang membuat suatu persetujuan
merupakan alasan untuk batalnya persetujuan, jika apabila paksaaan itu
dilakukan oleh seorang pihak ketiga untuk kepentingan siapa persetujuan
tersebut telah dibuat”.
Mengenai penipuan dinyatakan dalam Pasal 1328 KUH Perdata, yaitu
:“Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan persetujuan
apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian
rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat
perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan itu
dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan”.
Jika diteliti ketentuan Pasal 1328 KUH Perdata tersebut, dapat diketahui bahwa
Pasal tersebut mengandung pesan untuk dapat mengatakan telah dilakukan suatu
penipuan tidaklah hanya reka-reka atau diduga saja, akan tetapi haruslah
dibuktikan. Dari ketentuan tersebut juga dapat ditarik pengertian bahwa hukum
tetap ingin berperilaku seimbang dengan tetap melindungi itikad baik dan
menghalangi semua itikad buruk. Dengan demikian pengertian bebas itu sendiri
dapat berarti sebagai suatu keadaan sedemikian rupa di mana para pihak
memberikan persetujuan dalam keadaan yang benar-benar sadar dan wajar
terhadap hal-hal yang

mendasar bagi dibuatnya satu perjanjian. Setidaknya

terdapat kesadaran terdapat hal-hal yang akan saling dipertukarkan. Pada saat kata
sepakat lahir adalah merupakan klimaks dari lahirnya persetujuan kehendak para
pihak yang berjanji.Secara mendasar, dinyatakan dalam Pasal 1454 KUH Perdata

Universitas Sumatera Utara

bahwa perjanjian dianggap lahir pada saat dicapainya kata sepakat di antara para
pihak.

b. Kecakapan dari Para Pihak
Yang dimaksud dengan cakap untuk membuat suatu perjanjian berdasarkan Pasal
1329 KUH Perdata adalah: “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan
– perikatan , jika ia oleh undang - undang tidak dinyatakan tak cakap”. Menurut
Abdul Kadir Muhammad, pada dasarnya setiap orang yang sudah dewasa dan
sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. 28Sedangkan yang dimaksud
dengan tidak cakap untuk membuat satu perjanjian berdasarkan Pasal 1330 KUH
Perdata adalah: “Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:
1) Orang- orang yang belum dewasa;
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3) Perempuan – perempuan bersuami , dalam hal - hal yang ditetapkan oleh
undang - undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang undang telah melarang membuat perjanjian - perjanjian tertentu”.
Orang- orang yang tidak cakap membuat perjanjian berdasarkan ketentuan
tersebut adalah:
a) Orang - orang yang belum dewasa
Kriteria dari orang - orang yang belum dewasa diatur di dalam Pasal 330 KUH
Perdata dimana ditentukan: “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai
umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin”. Apabila

28

Abdul Kadir Muhammad,,Op.cit., hlm. 93

Universitas Sumatera Utara

perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun,
maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. 29
Dengan keluarnya Undang - Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, maka
ketentuan umur dewasa diubah sehingga menjadi 18 tahun (sudah pernah kawin)
dan sebagai suatu undang - undang, maka ketentuan ini berlaku untuk seluruh
warga negara Indonesia. Umur dewasa 18 tahun ini juga telah dikuatkan oleh
Mahkamah Agung dalam putusannya No. 477 K/Sip/1976 tanggal 13 Oktober
1976. Di samping itu, banyak pula perkecualian terhadap umur dewasa ini karena
dalam hal tertentu, seseorang sudah dianggap berwenang untuk melakukan
perbuatan tertentu sungguhpun dia belum dewasa, misalnya:
(1) Dalam hal melakukan kontrak (transaksi) sehari - hari seperti berbelanja di
pasar.
(2) Terhadap hal tertentu yang diatur dengan undang - undang tersendiri,
misalnya:
(a) Untuk memilih dalam pemilihan umum yang diatur dalam undang
- undang tentang Pemilihan Umum;
(b) Untuk membuat perjanjian kawin (asal dia sudah cukup usia
kawin) terdapat dalam Pasal 151 KUH Perdata;
(c) Untuk membuat kontrak perburuhan sepanjang dikuasakan oleh
wakilnya (Pasal 1601KUH Perdata). 30
(d) Untuk menghadapnotaris yang diatur dalam undang - undang
tentang jabatan notaris.
b) Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan
29

Mariam Darus Badrulzaman (2) ., Op.cit , hlm. 103
Munir Fuady., Op.cit., hlm 65

30

Universitas Sumatera Utara

Salah satu golongan orang - yang dianggap tidak cakap untuk membuat perjanjian
adalah orang - orang yang ditaruh di bawah pengampuan. Menurut Pasal 437KUH
Perdata, orang - orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah: “Setiap
orang dewasa yang selalu berada dalam keadaandungu, sakit otak atau mata gelap,
dan boros”. Dalam hal ini, pembentuk undang- undang memandang bahwa yang
bersangkutan tidak mampu menyadari tanggung jawabnya dan karena itu tidak
cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian.Apabila seseorang yang belum
dewasa dan mereka yang diletakkan di bawah pengampuan itu mengadakan
perjanjian, maka yang mewakilinya masing - masing adalah orang tua dan
pengampunya. 31
c) Perempuan - perempuan bersuami
KUH Perdata juga menempatkan perempuan - perempuan bersuami sebagai orang
yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian. Hal yang menunjukkan
perempuan - perempuan bersuami tidak cakap bertindak dalam hukum, misalnya
Pasal 108 ayat (2) KUH Perdatadinyatakan :
“Seorang istri, biar ia telah dikuasakan oleh suaminya, untuk membuat suatu
akta, atau untuk mengangkat sesuatu perjanjian sekalipun, namun tidaklah ia
karena itu berhak, menerima sesuatu pembayaran, atau member perlunasan
atas itu, tanpa izin yang tegas dari suaminya”.
Pasal 108 KUH Perdata dinyatakan istri harus memperoleh izin yang tegas dari
suami untuk membuat suatu akta. Demikian pula Pasal 110 KUH Perdata yang
dinyatakan :

31

Mariam Darus Badrulzaman et.all ,Op.cit., hlm. 78

Universitas Sumatera Utara

“Seorang istri, biar ia kawin diluar persatuan harta kekayaan, atau telah
berpisahan dalam hal itu, biar ia melakukan sesuatu mata pencaharian atas
usaha sendiri sekalipun, namun tak bolehlah ia menghadap di muka Hakim
tanpa bantuan suaminya”.
Pasal 110 KUH Perdata dinyatakan bahwa istri tidak boleh menghadap di muka
pengadilan tanpa bantuan suami.
Dalam perkembangannya, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun
1963 tanggal 4 Agustus 1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Tinggi di seluruh Indonesia ternyata, Mahkamah Agung menganggap Pasal 108
dan 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan
perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau
bantuan dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi. Demikian juga dengan Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 31 ayat (1) dinyatakan
hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dengan masyarakat. Pasal
31 ayat (2) Undang - undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan masing pihak
berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 32
d) Orang yang dilarang oleh undang - undang untuk melakukan perbuatan
tertentu
Ada juga orang - orang tertentu yang oleh undang - undang tertentu dianggap
tidak berwewenang membuat kontrak tertentu dengan cara tertentu atau dengan
pihak tertentu (Pasal 1330 ayat (3) KUH Perdata). Sebagai contoh dalam kontrak

32

Abdul Kadir Muhammad,,loc.cit

Universitas Sumatera Utara

jual - beli, ada pihak tertentu yang dilarang oleh undang - undang untuk
mengadakan perjanjian, antara lain:
(1) Pada prinsipnya antara suami dan istri tidak boleh melakukan kontrak
jual - beli (Pasal 1467 KUH Perdata).
(2) Hakim, jaksa, panitera, advokat, pengacara, jurusita, dan notaris tidak
boleh menerima penyerahan untuk menjadi pemilik untuk dirinya sendiri
atau untuk orang lain atas hak dan tuntutan yang menjadi pokok perkara.
(3) Pegawai dalam suatu jabatan umum dilarang membeli untuk dirinya
sendiri atau untuk perantara atas barang - barang yang dijual oleh atau di
hadapan mereka

c. Suatu Hal Tertentu
Suatu hal tertentu dalam syarat membuat suatu perjanjian mengarah pada objek
tertentu dalam suatu perikatan. Karena para pihak yang telah membuat perjanjian
akan memikul hak dan kewajiban maka diperlukan adanya ketentuan yang
mengatur tentang jenis barang yang menjadi objek dalam perjanjian itu. Perjanjian
baru dianggap ada apabila para pihak yang telah mengetahui dan menentukan apa
yang menjadi objek dibuatnya suatu perjanjian. Batasan yang dapat ditarik adalah
para pihak telah mengetahui setidak-tidaknya macam atau jenis apa yang menjadi
objek perjanjian. Contohnya perjanjian jual beli beras , seharusnya menjelaskan
berapa beratnya, jenisnya atau bila mungkin menyebutkan warnanya. Hal yang
tidak semakin

mempertegas syarat-syarat seperti yang telah disebutkan

sebelumnya sehingga perjanjian yang dibuat memang merupakan sesuatu yang
diinginkan terjadi oleh para pihak. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah

Universitas Sumatera Utara

walaupun bentuk fisik objek perjanjian tidak kelihatan secara langsung, namun
para pihak disyaratkan telah mengetahui apa yang menjadi standarnya. Apabila
perjanjian mengenai barang maka barang tersebut haruslah barang-barang yang
ada di dalam perdagangan.
Dalam ukuran yang ada dalam dunia perdagangan sekarang ini telah berkembang
sedemikian

rupa

dan

sangat

bergantung

pada

kalangan

yang

memperdagangkannya. Dengan kata lain bahwa suatu perjanjian haruslah
mempunyai objek tertentu sekurang-kurangnya dapat ditentukan bahwa objek
tertentu itu dapat berupa benda yang sekarang ada dan nanti akan ada. Dengan
demikian batasannya juga telah berubah yaitu asal saja bukan sesuatu yang secara
nyata dilarang dalam undang-undang, kepatuhan atau pun kebiasaan untuk
diperdagangkan.

d. Suatu sebab yang halal
Undang- undang tidak memberikan pengertian mengenai sebab (causa), tetapi
menurut Yurisprudensi yang ditafsirkan dengan causa adalah isi atau maksud dari
perjanjian. Dalam Pasal 1335 KUH Perdata, dinyatakan bahwa: “Suatu perjanjian
tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau
terlarang, tidak mempunyai kekuatan”.
Pembentuk undang - undang mempunyai pandangan bahwa perjanjian mungkin
juga diadakan tanpa sebab atau dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau
terlarang. Yang dimaksud dengan sebab yang terlarang dalam Pasal 1337 KUH
Perdata adalah: “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang -

Universitas Sumatera Utara

undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.
Perjanjian yang dibuat dengan sebab yang demikian tidak mempunyai kekuatan. 33
Keempat syarat di atas merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian, artinya
setiap perjanjian harus memenuhi keempat syarat ini bila ingin menjadi perjanjian
yang sah.Keempat syarat pokok ini dapat dikelompokkan dalam dua kelompok,
yaitu kelompok syarat subjektif dan kelompok syarat objektif. 34
Dalam penjelasan sebelumnya telah di bahas tentang syarat subjektif mencakup
adanya unsur kesepakatan secara bebas dari pihak yang berjanji dan kecakapan
dari pihak yang melaksanakan perjanjian, sedangkan syarat objektif meliputi
keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan dan
causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan
tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum,
tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat syarat tersebut mengakibatkan
cacat dalam perjanjian dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik
dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap syarat
subjektif) maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya syarat
objektif).

35

Sehubungan dengan pembedaan syarat - syarat sahnya perjanjian oleh banyak ahli
hukum dalam dua kelompok di atas, Hardijan Rusli berpendapat bahwa:

36

“Pasal 1320 KUH Perdata secara jelas menyatakan untuk sahnya
perjanjian - perjanjian diperlukan empat syarat sah. Jadi, secara analogi
dapat dikatakan bahwa dalam hal tidak terpenuhinya salah satu dari empat

33

Mariam Darus Badrulzaman (2), Op.cit., hlm. 78
Hardijan Rusli.,Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Jakarta : Pustaka
Sinar Harapan, 1993), hlm. 44
35
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit.,hlm. 93
36
Hardijan Rusli, Op.cit., hlm. 46
34

Universitas Sumatera Utara

syarat yang ada dalam Pasal 1320 itu, maka perjanjian menjadi tidak sah
atau batal demi hukum bukannya dapat dimintakan pembatalannya .
Sedangkan syarat sah yang Khusus perjanjian antara lain menurut Munir Fuady
adalah:
1) Syarat tertulis untuk perjanjian - perjanjian tertentu
Secara umum dapat dikatakan bahwa undang - undang tidak mensyaratkan
suatu perjanjian tertulis untuk sahnya suatu perjanjian, tetapi untuk perjanjian
tertentu

diperlukan

syarat

Khusus

agar

perjanjian

itu

dapat

mulai

berlaku/mengikat, misalnya perjanjian perdamaian yang memerlukan syarat
Khusus berupa bentuk tertulis. Menurut hukum yang berlaku, kedudukan syarat
tertulis bagi suatu perjanjian adalah:
a) Ketentuan umum tidak mempersyaratkan.
b) Dipersyaratkan untuk perjanjian - perjanjian tertentu.
c) Dipersyaratkan untuk perjanjian atas barang-barang tertentu.
d) Dipersyaratkan karena kebutuhan praktek.
2) Syarat pembuatan perjanjian di hadapan pejabat tertentu
Selain dari syarat tertulis terhadap perjanjian - perjanjian tertentu, untuk
Perjanjian - perjanjian tertentu dipersyaratkan pula bahwa perjanjian tertulis
tersebut harus dibuat oleh/di hadapan pejabat tertentu (dengan ancaman batal),
misalnya :
a) Perjanjian hibah yang harus dibuat di hadapan notaris (Pasal 1682 KUH
Perdata), untuk perjanjian hibah bagi benda tetap memerlukan syarat
tambahan berupa bentuk akta otentik, sedangkan bagi benda bergerak
berwujud memerlukan syarat tambahan berupa penyerahan langsung
bendanya.

Universitas Sumatera Utara

b) Perjanjian jual beli tanah yang harus dibuat oleh PPAT (Pejabat
Pembuat Akta Tanah) sesuai dengan ketentuan dalam perundang undangan bidang pertanahan.
3) Syarat mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang
Pada prinsipnya suatu perjanjian hanyalah urusan para pihak semata - mata,
artinya terserah dari para pihak apa yang mau dianutnya dalam kontrak tersebut,
sehingga campur tangan pihak ketiga pada prinsipnya tidak diperlukan. Akan
tetapi terhadap kontrak tertentu, campur tangan pihak ketiga diperlukan dalam
bentuk keharusan mendapatkan izin, misalnya:
a) Perjanjian peralihan objek tertentu, seperti perjanjian peralihan hak guna
usaha atau perjanjian peralihan hak penguasaan hutan, dalam hal ini
diperlukan izin dari pihak yang berwenang untuk itu.
b) Perjanjian penitipan barang yang sejati yang memerlukan syarat tambahan
berupa penyerahan barangnya secara sungguh - sungguh atau secara
dipersangkakan. 37

E.Wanprestasi
Menurut Kamus Hukum, wanprestasi berarti kelalaian, cidera janji, tidak
menepati

kewajibannya

dalam

perjanjian. 38Dengan

demikian,

wanprestasimerupakan suatu keadaan dimana pihak debitur tidak melaksanakan
prestasinya, sebagai mana telah ditetapkan sebelumnya dalam perjanjian.Jika ada
pihak yang tidak melakukan isi Perjanjian pihak itu dikatakan melakukan
wanprestasi . Perkataan ini dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk

37

Munir Fuady, Op.cit., hlm. 84 - 85
Subekti dan Tjitrosoedibyo., Kamus Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramita , 1996),

38

hlm.10

Universitas Sumatera Utara

(bandingkan: wanbeheer yang berarti pengurusan buruk,.wandaad perbuatan
buruk). Wanprestasiadalah tidak memenuhi atau lalai melaksankan kewajiban
sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan
debitur. Wanprestasi atau tidak dipenuhinya janji dapat terjadi baik karena
sengaja maupun tidak sengaja . 39 Pihak yang tidak sengaja wanprestasiini dapat
terjadi memang tidak mampu untuk memenuhi prestasi tersebut atau juga karena
terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut. Wanprestasi dapat berupa empat
macam yaitu : 40
1. Sama sekali tidak memenuhi prestasi
2. Prestasi yang dilakukan tidak sempurna
3. Terlambat memenuhi prestasi
4. Melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan.
Terjadinya wanprestasi mengakibatkan pihak lain (lawan dari pihak yang
wanprestasi) dirugikan, apalagi kalau pihak lain tersebut adalah pedagang maka
bisa kehilangan keuntungan yang diharapakan. Oleh karena pihak lain dirugikan
akibat prestasi tersebut pihak wanprestasi harus menanggung akibat dan tuntutan
pihak lawan yang dapat berupa tuntutan yaitu : pembatalan kontrak (disertai atau
tidak disertai ganti rugi) dan pemenuhan kontrak (diserati atau tidak disertai ganti
rugi).
Dengan demikian, ada dua kemungkinan pokok yang dapat dituntut oleh pihak
yang dirugikan, yaitu pembatalan atau pemenuhan kontrak. Namun jika dua

39

Salim H.S., Hukum kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika ,2010), hlm . 98
40
Ahmadi Miru.,HukumKontrak & Perancangan kontrak, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada , 2011), hlm. 74

Universitas Sumatera Utara

kemungkinan pokok tersebut diuraikan Iebih lanjut, kemungkinan tersebut dapat
dibagi menjadi empat, yaitu: 41
a. Pembatalan Kontrak saja
b. Pembatalan kontrak disertai tuntutan ganti rugi;
c. Pemenuhan kontrak saja;
d. Pemenuhan kontrak disertai tuntutan ganti rugi.
Pembagian atas empat kemungkinan tuntutan tersebut di atas sekaligus
merupakan pernyataan ketidak setujuan penulis atas pendapat yang membagi atas
lima kemungkinan, yaitu pendapat yang masih menambahkan satu kemungkinan
lagi, “penuntutan ganti rugi saja” karena tidak mungkin seseorang menuntut ganti
rugi saja yang lepas dan kemungkinan dipenuhinya kontrak atau batalnya kontrak
karena dibatalkan atau dipenuhinya kontrak merupakan dua kemungkinan yang
harus dihadapi para pihak dan tidak ada pilihan lain sehingga tidak mungkin ada
tuntutan ganti rugi yang berdiri sendiri sebagai akibat dan suatu wanprestasi.
Tuntutan apa yang harus ditanggung oleh pihak yang wanprestasi tersebut
tergantung pada jenis tuntutan yang dipilih oleh pihak yang dirugikan. Bahkan
apabila tuntutan itu dilakukan dalam bentuk gugatan di pengadilan , pihak yang
wanprestasi tersebut juga dibebani biaya perkara.
Pada prakteknya suatu wanprestasibaru terjadi jika salah satu pihak dinyatakan
telah lalai untuk memenuhi prestasinya dan akibat dari kelalaiannya tersebut
menimbulkan kerugian pada pihak lainnya atau dengan kata lain, wanprestasiada
kalau pihak yang tidak melaksanakan prestasi tersebut itu tidak dapat
membuktikan, bahwa ia telah melakukan wanprestasidi luar kesalahannya

41

Ibid., hlm 75-76

Universitas Sumatera Utara

sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya.Tidak terpenuhinya prestasi
itu kadangkala disebabkan karena adanya suatu peristiwa yang tidak dapat diduga
sebelumnya oleh para pihak, sehingga hal tersebut mengakibatkan salah satu
pihak tidak dapat memenuhi prestasinya

F.Penghentian dan Pemutusan Perjanjian
1. Penghentian
Penghentian kontrak dilakukan bilamana terjadi hal-hal di luar kekuasaan para
pihak untuk rnelaksanakan kewajiban yang ditentukan dalam kontrak, yang
disebabkan oleh timbulnya perang, pemberontakan perang saudara, sepanjang
kejadian-kejadian tersebut berkaitan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
kekacauan serta bencana alam yang dinyatakan resmi oleh pemerintah, atau
keadaan yang ditetapkan dalam kontrak. 42

2. Pemutusan
Pemutusan kontrak dapat terjadi oleh karena :
a. Pemutusan kontrak dapat dilakukan bilamana para pihak yang berjanji tidak
memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya sebagaimana diatur dalam
kontrak.
b. Pemutusan kontrak yang disebabkan oleh kelalaian penyedia barang atau
jasa dikenakan sanksi sesuai yang ditetapkan dalam kontrak berupa:
1) Jaminan pelaksanaan menjadi milik negara;
2) Sisa uang muka harus dilunasi oleh penyedia barang/jasa.
42

Herry Kamaroesid ., “ Tata Cara Penyusunan Kontr