PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT (9)

PANCASILA SEBAGAI SISTEM
FILSAFAT

Disusun oleh:
Kelompok 6

Universitas Gunadarma
2015

BAB I
PENDAHULUAN
I.

II.

III.

Latar Belakang
Pancasila sebagai sistem filsafat di Indonesia tentu saja memegang peranan yang
amat penting, terutama bagi warga dan negara Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara
Indonesia dan pedoman hidup Bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, masyarakat Indonesia

sudah seharusnya memahami apa itu Pacasila sebagai sistem filsafat Indonesia.
Selain itu, diharapkan masyarakat dapat menjalankan nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan sehari-hari agar Bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang maju dan taat
akan peraturan, sehingga warga negara Indonesia tentu akan dijadikan sorotan bangsa
kain dan disegani oleh warga negara asing.
Rumusan Masalah
1. Apa itu Filsafat?
2. Apa pengertian dari Filsafat Pancasila?
3. Bagaimana Pancasila ditinjau dari cabang Filsafat?
4. Bagaimanakah bentuk dari Filsafat Pancasila?
5. Apakah sebenarnya fungsi utama dari Filsafat Pancasila bagi warga Negara
Indonesia?
6. Apa saja kasus-kasus yang terjadi di Indonesia yang berkaitan dengan Filsafat
Pancasila?
Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang pengertian Filsafat
2. Untuk mengetahui tentang pengertian Filsafat Pancasila
3. Untuk mengetahui peninjauan Pancasila dari cabang Filsafat
4. Untuk mengetahui nilai-nilai dari Pancasila dan bisa menerapkan nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupan sehari-hari


BAB 2
PEMBAHASAN

I.

Pengertian Filsafat
Secara etimologis istilah ‘filsafat’ berasal dari Bahasa Yunani yaitu ‘philein’ yang
artinya cinta dan ‘sophos’ yang artinya hikmah. Pancasila sebagai filsafat mengandung
pandangan, nilai, dan pemikiran yang dapat menjadi substansi dan isi dari pembentukan
ideologi Pancasila. Jadi secara harfiah istilah ‘filsafat’ mengandung makna cinta
kebijaksanaan. Keseluruhan arti filsafat yang meliputi berbagai masalah tersebut dapat
dikelompokkan menjadi dua macam sebagai berikut:
a. Filsafat sebagai jenis pengetahuan, ilmu, konsep pemikiran-pemikiran dari para filsuf
pada zaman dahulu yang lazimnya merupakan suatu aliran atau sistem filsafat tertentu,
misalnya rasionalisme, materialisme, pragmatisme, dan lain sebagainya.
b. Filsafat sebagai jenis problematika yang dihadapi oleh manusia sebagai hasil dari
aktivitas berfilsafat. Jadi manusia mencari suatu kebenaran yang timbul dari persoalan
yang bersumber pada akal manusia.
Oleh karena itu filsafat adalah pengetahuan yang mencari nilai, yang kita kenal

dengan istilah seperti baik, buruk, moral, immoral, sehat, salah, dan benar. Jadi dapat
dikatakan bahwa filsafat merupakan usaha untuk mencari arti penilaian.

II.

Pengertian Filsafat Pancasila
Filsafat Pancasila adalah ilmu filsafat yang objeknya adalah Pancasila, dasar filsafat,
asas kerohanian, ideologi Negara Republik Indonesia. Bagi setiap bidang kehidupan negara,
bagi setiap alat perlengkapan negara, bagi setiap pejabat negara, baik sebagai alat
perlengkapan negara maupun sebagai perseorangan, filsafat Pancasila bermanfaat dan perlu
digunakan untuk memperdalam, memperlengkap, dan menyempurnakan pengetahuan dan
pengertian tentang filsafat Pancasila.
Filsafat Pancasila bermanfaat dan perlu digunakan untuk membangun sistem filsafat
Indonesia, yang materinya perlu digali dari adat istiadat, kebudayaan dalam arti luas, dan
agama-agama serta hidup ketatanegaran bangsa Indonesia.
Pancasila terdapat di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang
merupakan naskah pernyataan kemerdekaan, penjelmaan dari proklamasi kemerdekaan dan
rakyat Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, yang di dalam ilmu hukum disebut pokok
kaidah negara yang fundamental.
Adapun sila-sila yang terdapat dalam pembukaan yang merupakan Pancasila itu, inti

unsurnya sebagai filsafat/pandangan hidup bangsa yang selama-lamanya merupakan inti
kesamaan dari adat-istiadat, kebudayaan dan agama. Inti sila- sila Pancasila yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Yaitu meliputi serta menjiwai sila-sila kemanusiaan yang adil dan beradab dan
seterusnya.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
Diliputi dan dijiwai oleh sila ketuhanan yang maha esa serta meliputi dan menjiwai silasila persatuan indonesia dan seterusnya.
3. Persatuan Indonesia

Diliputi dan dijiwai sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab
serta menjiwai dan meliputi sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan/permusyawaratan rakyat dan seterusnya.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan/permusyawaratan rakyat
Dijiwai dan diliputi oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia serta meliputi dan menjiwai keadilan sosial bagi seluruh
rakyat indonesia.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Diliputi dan dijiwai sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan/permusyawaratan rakyat serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia.
III.

Pancasila Ditinjau dari Cabang Filsafat
A. Ontologi
Menurut Aristoteles ontologi adalah ilmu yang meyelidiki hakikat sesuatu atau
tentang ada, keberadaan atau eksistensi dan disamakan artinya dengan metafisika.
Bidang ontologi menyelidiki tentang makna yang ada (eksistensi dan keberadaan)
manusia, benda, alam semesta (kosmologi), metafisika.
Secara ontologis, penyelidikan Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya
untuk mengetahui hakikat dasar dari sila-sila Pancasila. Pancasila yang terdiri atas lima
sila, setiap sila bukanlah merupakan asas yang berdiri sendiri-sendiri, malainkan memiliki
satu kesatuan dasar ontologis.
Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yang memiliki hakikat
mutlak yaitu monopluralis, atau monodualis, karena itu juga disebut sebagai dasar
antropologis. Subyek pendukung pokok dari sila-sila Pancasila adalah manusia. Hal
tersebut dapat dijelaskan bahwa yang Berketuhan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan
yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta yang berkeadilan sosial
pada hakikatnya adalah manusia.

Sedangkan manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis
memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa, jasmani
dan rohani. Sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial
serta sebagai makhluk pribadi dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Maka secara hirarkis

sila pertama mendasari dan menjiwai sila-sila Pancasila lainnya. (lihat Notonagoro, 1975:
53).
Hubungan kesesuaian antara negara dan landasan sila-sila Pancasila adalah berupa
hubungan sebab-akibat:
1. Negara sebagai pendukung hubungan, sedangkan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan
adil sebagai pokok pangkal hubungan.
2. Landasan sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat dan adil adalah
sebagai sebab, dan negara adalah sebagai akibat.
B. Aksiologi
Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar
aksiologis, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga
merupakan suatu kesatuan. Aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas
tentang filsafat nilai Pancasila.
Istilah aksiologi berasal dari kata Yunani axios yang artinya nilai, manfaat, dan logos
yang artinya pikiran, ilmu atau teori. Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang

diinginkan, disukai atau yang baik. Bidang yang diselidiki adalah hakikat nilai, kriteria
nilai, dan kedudukan metafisika suatu nilai. Nilai (value dalam Inggris) berasal dari kata
Latin valere yang artinya kuat, baik, berharga.
Dalam kajian filsafat merujuk pada sesuatu yang sifatnya abstrak yang dapat
diartikan sebagai “keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodness). Nilai itu sesuatu
yang berguna. Nilai juga mengandung harapan akan sesuatu yang diinginkan.
Nilai adalah suatu kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk
memuaskan manusia (dictionary of sosiology an related science). Nilai itu suatu sifat atau
kualitas yang melekat pada suatu obyek.
Ada berbagai macam teori tentang nilai.
Max Scheler mengemukakan bahwa nilai ada tingkatannya, dan dapat



dikelompokkan menjadi empat tingkatan, yaitu:


Nilai-nilai kenikmatan

Dalam tingkat ini terdapat nilai yang mengenakkan dan nilai yang tidak

mengenakkan, yang menyebabkan orang senang atau menderita.


Nilai-nilai kehidupan
Dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang penting dalam kehidupan, seperti
kesejahteraan, keadilan, kesegaran.



Nilai-nilai kejiwaan
Dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan (geistige werte) yang sama
sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan. Nilai-nilai
semacam ini misalnya, keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang
dicapai dalam filsafat.



Nilai-nilai kerohanian
Dalam tingkat ini terdapat moralitas nilai yang suci dan tidak suci. Nilai
semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi. (Driyarkara, 1978)

Walter G. Everet menggolongkan nilai-nilai manusia ke dalam delapan



kelompok:


Nilai-nilai ekonomis
Ditunjukkan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang dapat dibeli.



Nilai-nilai kejasmanian
Membantu pada kesehatan, efisiensi dan keindahan dari kehidupan badan.



Nilai-nilai hiburan
Nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat menyumbangkan pada
pengayaan kehidupan.




Nilai-nilai sosial
Berasal mula dari pelbagai bentuk perserikatan manusia.



Nilai-nilai watak
Keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan.



Nilai-nilai estetis
Nilai-nilai keindahan dalam alam dan karya seni.



Nilai-nilai intelektual
Nilai-nilai pengetahuan dan pengajaran kebenaran.




Nilai-nilai keagamaan
Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam,, yaitu:




Nilai material, yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia.



Nilai vital, yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat
melaksanakan kegiatan atau aktivitas.



Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani yang dapat
dibedakan menjadi empat macam:
1. Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia.
2. Nilai keindahan, atau nilai estetis, yang bersumber pada unsur perasaan
(aesthetis, rasa) manusia.
3. Nilai kebaikan, atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak
(will, karsa) manusia.
4. Nilai religius, yang merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan mutlak.
Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan
manusia.
Dalam filsafat Pancasila, disebutkan ada tiga tingkatan nilai, yaitu nilai
dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis.
1. Nilai dasar, adalah asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang bersifat
mutlak, sebagai sesuatu yang benar atau tidak perlu dipertanyakan lagi.
Nilai-nilai dasar dari Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai
kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.

2. Nilai instrumental, adalah nilai yang berbentuk norma sosial dan norma
hukum yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan
mekanisme lembaga-lembaga negara.
3. Nilai praktis, adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam
kenyataan. Nilai ini merupakan batu ujian apakah nilai dasar dan nilai
instrumental itu benar-benar hidup dalam masyarakat.
Nilai-nilai dalam Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral
merupakan nilai dasar yang mendasari nilai intrumental dan selanjutnya
mendasari semua aktivitas kehidupan masyarakat, berbansa, dan
bernegara.
Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai
Pancasila (subscriber of value Pancasila), yaitu bangsa yang berketuhanan,
yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan
berkeadilan sosial. Pengakuan, penerimaan dan pernghargaan atas nilainilai Pancasila itu nampak dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa
Indonesia sehingga mencerminkan sifat khas sebagai Manusia Indonesia
C. Epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, syarat, susunan, metode,
dan validitas ilmu pengetahuan. Epistemologi meneliti sumber pengetahuan, proses dan
syarat terjadinya pengetahuan, batas dan validitas ilmu pengetahuan. Epistemologi
adalah ilmu tentang ilmu atau teori terjadinya ilmu atau science of science.
Menurut Titus (1984:20) terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi,
yaitu:
a. Tentang sumber pengetahuan manusia;
b. Tentang teori kebenaran pengetahuan manusia;
c. Tentang watak pengetahuan manusia.
Secara epistemologis kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya
untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Pancasila sebagai
sistem filsafat pada hakikatnya juga merupakan sistem pengetahuan. Ini berarti Pancasila
telah menjadi suatu belief system, sistem cita-cita, menjadi suatu ideologi. Oleh karena

itu Pancasila harus memiliki unsur rasionalitas terutama dalam kedudukannya sebagai
sistem pengetahuan.
Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar
ontologisnya. Maka, dasar epistemologis Pancasila sangat berkaitan erat dengan konsep
dasarnya tentang hakikat manusia.
Pancasila sebagai suatu obyek pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah
sumber pengetahuan dan susunan pengetahuan Pancasila. Tentang sumber
pengetahuan Pancasila, sebagaimana telah dipahami bersama adalah nilai-nilai yang ada
pada bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai tersebut merupakan kausa materialis Pancasila.
Tentang susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan, maka Pancasila memiliki
susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi
arti dari sila-sila Pancasila itu. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hirarkis
dan berbentuk piramidal.
Sifat hierarkis dan bentuk piramidal itu nampak dalam susunan Pancasila, di mana
sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainny, sila kedua didasari
sila pertama dan mendasari serta menjiwai sila ketiga, keempat dan kelima, sila ketiga
didasari dan dijiwai sila pertama dan kedua, serta mendasari dan menjiwai sila keempat
dan kelima, sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga, serta
mendasari dan menjiwai sila kelma, sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua,
ketiga dan keempat.
Dengan demikian susunan Pancasila memiliki sistem logis baik yang menyangkut
kualitas maupun kuantitasnya.
IV.

Bentuk Filsafat Pancasila
Bersifat religius yang berarti dalam hal kebijaksanaan dan kebenaran mengenal adanya
kebenaran mutlak yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa (kebenaran religius) dan
sekaligus mengakui keterbatasan kemampuan manusia.
Memiliki arti praktis yang berarti dalam proses pemahamannya tidak sekedar mencari
kebenaran dan kebijaksanaan, serta hasrat ingin tahu, tapi hasil pemikiran yang
berwujud filsafat pancasila tersebut dipergunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari
(way of life / weltanschaung) agar mencapai kebahagiaan lahir dan bathin, dunia
maupun akhirat (Pancasilais).

V.

Fungsi Utama Filsafat Pancasila Bagi Bangsa dan Negara Indonesia
a. Filsafat Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia.
Sebagaimana yang ditujukan dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1979, maka Pancasila
itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia dan dasar
negara kita. Setiap bangsa yang ingin berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas arah
serta tujuan yang ingin dicapainya sangat memerlukan nilai-nilai luhur yang dijunjung
sebagai pandangan/filsafat hidup.
Dalam pergaulan hidup terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicitacitakan oleh suatu bangsa, terkandung pikiran-pikiran yang terdalam dan gagasan
sesuatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Pada akhirnya
pandangan hidup sesuatu bangsa adalah kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki bangsa
itu sendiri, yang diyakini kebenarannya dan menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk
mewujudkannya menjadi negara yang sejahtera (Wellfare State).
b. Filsafat Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.
Pancasila dalam kedudukannya ini sering disebut sebagai Dasar Filsafat atau Dasar
Falsafah Negara (Philosofische Grondslag) dari negara, ideologi negara atau (Staatsidee).
Dalam pengertian ini Pancasila merupakan suatu dasar nilaiserta norma untuk mengatur
pemerintahan negara atau dengan kata lain Pancasila merupakan suatu dasar untuk
mengatur penyelenggaraan negara. Pancasila merupakan sumber dari segala sumber
hukum, Pancasila merupakan sumber kaidah hukum negarayang secara konstitusional
mengatur negara Republik Indonesia beserta seluruh unsur-unsurnya yaitu rakyat,
wilayah serta pemerintahan negara.
Dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 ditegaskan, bahwa Pancasila itu adalah
sumber dari segala sumber hukum yang antara lain sumber hukum formal, undangundang, kebiasaan, traktaat, jurisprudensi, hakim, ilmu pengetahuan hukum.
c. Pancasila Sebagai Jiwa Dan Kepribadian Bangsa Indonesia
Menurut Dewan Perancang Nasional, yang dimaksudkan dengan kepribadian
Indonesia ialah: Keseluruhan ciri-ciri khas bangsa Indonesia, yang membedakan bangsa
Indonesia dengan bangsa-bangsa lainnya. Keseluruhan ciri-ciri khas bangsa Indonesia
adalah pencerminan dari garis pertumbuhandan perkembangan bangsa Indonesia

sepanjang masa. Keperibadian bangsa tetap berakar dari keperibadian individual dalam
masyarakat yang pancasilais serta gagasan-gagasan besar yang tumbuh dan sejalan
dengan filsafat Pancasila.
VI.

Kasus-kasus yang Berkaitan dengan Filsafat Pancasila
A. Kasus pada sila pertama
Bom Bunuh Diri di Solo
Juru bicara jamaah Anshorut Tauhid Jawa Timur Zulkarnain menduga bom bunuh
diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh di Keponton, Solo, Jawa Tengah, berkaitan
langsung dengan gejolak yang terjadi di Ambon beberapa waktu lalu. “Pemerintah
harus waspada, gejolak seperti di Ambon sudah menjalar dan tidak hanya terjadi di
Ambon” kata Zulkarnain kepada Tempo, Ahad 25 September 2011. Bom bunuh diri di
Solo sendiri, tambah dia, merupakan imbas dari ketidakseriusan pemerintah dalam
menuntaskan kasus Ambon.
Konflik yang terjadi di Ambon, tambah dia, telah menyulut banyak kelompok
yang bersiap jihad ke Ambon. Hanya, pengetahuan pintu-pintu masuk ke Ambon
membuat banyak kelompok yang akhirnya memutuskan untuk menyalurkan niatan
jihadnya diluar Ambon.
“Ini sebab-akibat, di Ambon, polisi tidak tegas dan terkesan desmikrimatif,” kata
Zulkarnain sembari mencontohkan tidak transparannya polisi dalam mengungkap
kasus kematian seorang tukang ojek di Ambon.
“Kami tahunya si Tukang ojek di Ambon itu tidak diatopsi. Jadi jangan heran
kalau ada yang marah,”ujar dia. Tak hanya itu, polisi dalam kerusuhan di Ambon
dinilai juga tidak transparan dalam menjelaskan terkait isu penembakan oleh sniper.
Zulkarnain melihat, selama pemerintah ataupun penegak hukum tidak tegas dan
transparan dalam menyikapi kasus Ambon, selama itu pula aksi-aksi seperti yang
terjadi di Solo akan terus terulang.
Dari kasus tersebut, menandakan bahwa sudah dari kasus tersebut, menandakan
bahwa sudah tidak relavannya warga Indonesia dengan nilai pancasila khusus nya
pada sila pertama yaitu menunjukkan bahwa adanya pendangkalan iman.
B. Kasus pada sila kedua
Pelanggaran Hak Asasi terhadap anak di Ponogoro, di lokalisasi kedung
Banteng, anak-anak dari kelompok marginal ini hak-hak anak tidak terpenuhi
dengan baik. Meraka tidak mendapat pendidikan yang layak. Situasi yang sama di
masyarakat pinggir hutan Lenkok Nganjuk, di Desa Bangkak, untuk sekolah TK saja
mereka harus mengeluarkan biaya yang sangat mahal karena habis untuk biaya
tranportasi karena jalan nya rusak total. Biaya seorang anak setara dengan membeli
sapi. Tentunya, ini menjadi tidak seperti yang sering kali muncul di televisi dimana

anak bebas dan gratis menikmati bangku sekolah dan diantar orangtuanya penuh
dengan kegembiraan.
Dari kasus tersebut, menandakan bahwa di Indonesia saat ini hak asasi belum
berjalan sebagaimana mestinya, karena masih banyak orang yang tidak
mendapatkan hak nya secara benar. Hal ini dapat kita lihat dari kurangnya perhatian
pemerintah terhadap anggaran biaya pendidikan terhadap masyarakat yang tidak
mampu atau terhadap daerah yang terisolir dari pantauan pemerintah. Sementara
hal ini bertentangan dengan anggaran biaya seperti fasilitas mobil mewah,rumah
mewah yang disediakan khusus bagi menteri maupun anggota dewan lainnya.
C. Kasus pada sila ketiga
Prabowo lebih hebat daripada Jokowi
Memang demikian katanya. Semua media online, pengamat, televisi, media
cetak yang juga di gemakan oleh para suporter Prabowo dan Gerindra di media sosial
seperti Twitter dan Facebook. Tentu mereka pantas bangga atas kehebatan Prabowo.
Itu hak mereka semua untuk mengklaim demikian, tetapi dengan terpilihnya Jokowi
sebagai presiden seharusnya kubu Prabowo mendukung segala program kinerja yang
dibuat oleh Jokowi. Dari kasus tersebut, menandakan bahwa sudah tidak relavannya
warga Indonesia dengan nilai Pancasila khususnya pada sila ketiga yaitu
menunjukkan bahwa tidak adanya Persatuan Indonesia.
D. Kasus sila keempat
Bupati Sumedang jadi tersangka korupsi
Status Tersangka korupsi itu ditetapkan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat setelah
melakukan serangkaian penyelidikkan. Ade Irawan terjerat kasus penyalah gunaan
dana anggaran perjalan dinas sebesar Rp 1,7 milyar saat ia masih menjabat ketua
DPRD Cimahi. Ade Irawan sebelumnya adalah Wakil Bupati Sumedang, naik jabatan
menjadi Bupati menggatikan Endang Sukandar yang meninggal dunia. Jika Ade
Irawan selaku Bupati Sumedang diberhetikan oleh DPRD maka Kabupaten Sumedang
tidak memiliki kepala daerah. Kasus ini membuktinya belum berjalannya hakikat
Pancasila khususnya sila keempat.
E. Kasus sila kelima
Kasus pelanggaran terhadap sila kelima terkait pada kasus sila kedua yaitu
tentang keadilan. Kasus lain sebagai contohnya adalah kasus di Bangkinang yaitu
kondisi sekolah yang memprihatinkan ditemukan di Kabupaten Kampar, yakni di SDN
008 Kuntu desa Kuntu Darusallam Kecamatan Kampar Kiri. Akibat kekurangan kelas,
tempat parkir dan perumahan guru disulap menjadi ruang kelas. Tempat parkir yang
berukuran 4 x 8 meter disulap menjadi ruang belajar yang berdinding papan dan
triplek bekas dan ditempati anak didik kelas 2a dengan jumlah anak didik 23 orang.
Tempat parkir yang disulap jadi ruang kelas tersebut, juga dilengkapi dengan meja
dan kursi yang kondisinya juga sudah reot dimakan usia. Kasus ini merupakan salah
satu bentuk kurangnya perhatian pemerintah dalam menangani pemasalahan
anggaran biaya pendidikan yang seharusnya ditujukkan untuk pendidikan yang layak

bagi SDN 008 Kuntu Desa Kuntu Darusallam Kecamatan Kampar Kiri. Hal ini tidak
sesuai dengan sila kelima Pancasila yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia.

BAB 3
PENUTUP
I.

Kesimpulan
Filsafat Pancasila sebagai tujuan dan pedoman bagi masyarakat Indonesia itu sendiri
serta untuk menimbulkan kesadaran di dalam diri seseorang agar dapat menerapkan
nilai-nilai Pancasila terhadap kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

Kaelan,MS.DR,2004, Pendidikan Pancasila,edisi 8, penerbit paradigma, Yogyakarta.
Soemasdi Hartati, 1992, Pendidikan tentang filsafat pancasila, Andi offset, Yogyakarta
Wrewksohardjo Prof.Drs.Sunarjo, 2000, Ilmu Pancasila yuridis kenegaraan ilmu filsafat
Pancasila, Pnerbit Andi, Yogyakarta.
Tim MPK UNESA. 2008. Modul Pendidikan Pancasila Edisi Revisi. Surabaya: Unesa
University Press
Pranowo,fx. Djoko dan Natalina,Ary. Filsafat Pancasila. ppt
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pendidikan_pancasila/
http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/tugas-kuliah-lainnya/pancasilasebagai-falsafah-bangsa
www.academia.edu